Anda di halaman 1dari 56

Gangguan cairan dan elektrolit berkaitan dengan pembedahan dan penyakit medis

terkait sering terjadi dalam masa perioperatif. Sejumlah besar cairan intravena sering
dibutuhkan untuk mengkoreksi kekurangan cairan dan mengkompensasi hilangnya darah
selama operasi. Oleh karena itu ahli anestesi harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang
fisiologi cairan dan elektrolit yang normal. Gangguan besar terhadap keseimbangan cairan
dan elektrolit dapat menimbulkan perubahan yang cepat terhadap fungsi kardiovaskular,
neurologis, dan neuromuskular.

OSMOLARITAS, OSMOLALITAS, & TONISITAS


Osmosis adalah pergerakan air melewati membran semi permeable sebagai hasil dari
perbedaan konsentrasi dari zat terlarut yang non difusif antara kedua sisi. Tekanan osmotik
biasanyanya tergantung dari jumlah partikel zat terlarut yang non diffusif. Tonisitas adalah
istilah yang sering dipertukarkan dengan osmolaritas dan osmolalitas. Sebenarnya, tonisitas
menggambarkan efek dari larutan terhadap volume sel. Larutan isotonik tidak mempunyai
efek terhadap volume sel, sedangkan larutan hipotonik dan hipertonik akan meningkatkan dan
menurunkan volume sel.

KOMPARTEMEN CAIRAN

Cairan tubuh didistribusikan antara dua kompartemen besar cairan yang dipisahkan
oleh membran sel menjadi: cairan intra sel (CIS) dan cairan ekstra sel (CES). Cairan ekstra sel
terbagi menjadi kompartemen intravaskular dan interstisial. Cairan interstisial meliputi cairan
yang berada di luar sel dan di luar endotel vaskular.
Table 28–1. Body Fluid Compartments (Based on Average 70-kg
Male).

Compartment Fluid as Percent Body Weight Total Body Water Fluid Volume
(%) (%) (L)
Intracellular 40 67 28
Extracellular
Interstitial 15 25 10.5
Intravaskular 5 8 3.5
Total 60 100 42
Jumlah cairan dalam setiap kompartemen ditentukan oleh komposisi zat yang terlarut
dan konsentrasinya. Perbedaan dari konsentrasi zat terlarut sangat berhubungan dengan
karakteristik fisik dari sekat pemisah yang memisahkan masing-masing kompartemen. Gaya
osmotik dihasilkan dengan `diperangkapnya` zat-zat terlarut yang membentuk distribusi air
antar kompartemen dan yang paling pokok pada masing-masing volume kompartemen.
Table 28–2. The Composition of Fluid Compartments.

Extracellular
Gram-Molecular Intracellular Intravaskular Interstitial
Weight (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L)
Sodium 23.0 10 145 142
Potassium 39.1 140 4 4
Calcium 40.1 <1 3 3
Magnesium 24.3 50 2 2
Chloride 35.5 4 105 110
Bicarbonate 61.0 10 24 28
1
Phosphorus 31.0 75 2 2

Protein 16 7 2
(g/dL)

CAIRAN INTRASELULER

Membran sel bagian luar memegang peranan penting dalam mengatur volume dan
komposisi intraseluler. Pompa ATP-dependent terikat membran akan mempertukarkan Na
dengan K dengan perbandingan 3:2. Oleh karena membran sel relatif tidak permeable tehadap
ion sodium dan ion potassium, potassium terkonsentrasikan di dalam sel sedangkan ion
sodium terkonsentrasikan di ekstra sel. Akibatnya, potassium menjadi faktor dominan yang
menentukan tekanan osmotik intraseluler, sedangkan sodium merupakan faktor terpenting
yang menentukan tekanan osmotik ekstraseluler.
Impermeabilitas membran sel terhadap protein menyebabkan konsentrasi protein
intraseluler yang tinggi. Oleh karena protein merupakan zat terlarut non difusif (anion), rasio
pertukaran yang tidak seimbang dari 3 Na+ dengan 2 K+ oleh pompa membran sel adalah hal
yang penting untuk pencegahan hiperosmolaritas intraseluler relatif. Gangguan pada aktivitas
Na+-K+-ATPase, yang terjadi pada keadaan iskemi atau hipoksia, akan menyebabkan
pembengkakan sel progresif.

CAIRAN EKSTRASELULER
Fungsi dasar dari cairan ekstraseluler adalah menyediakan nutrisi bagi sel dan
memindahkan produk pembuangan sel. Mempertahankan volume ektrasel yang normal-
terutama komponen sirkulasi (volume intravaskular) adalah hal yang sangat penting. Oleh
sebab itu secara kuantitatif sodium merupakan kation ekstraseluler terpenting dan merupakan
faktor utama dalam menentukan tekanan osmotik dan volume. Perubahan dalan volume cairan
ekstraseluler berhubungan dengan perubahan jumlah total sodium dalam tubuh. Hal ini
tergantung dari intake sodium, ekskresi sodium renal, hilangnya sodium ekstra renal (lihat
bawah).

Cairan Interstisial
Normalnya sebagian kecil cairan interstisial dalam bentuk cairan bebas. Sebagian
besar cairan interstisial secara kimia berhubungan dengan proteoglikan ekstraseluler
membentuk gel. Pada umumnya tekanan cairan interstisial adalah negatif (kira-kira -5
mmHg). Bila terjadi peningkatan volume cairan interstisial maka tekanan interstisial juga
akan meningkat dan kadang-kadang menjadi positif. Pada saat hal ini terjadi, cairan bebas
dalam gel akan meningkat secara cepat dan secara klinis akan menimbulkan edema.
Figure 28–1.
The relationship between blood volume and extracellular fluid volume.
(Modified and reproduced, with permission, from Guyton AC: Textbook of Medical
Physiology, 7th ed. W.B. Saunders, 1986
Hanya sebagian kecil dari protein plasma yang dapat melewati celah kapiler, sehingga
kadar protein dalam cairan interstisial relatif rendah (2 g/dL). Protein yang memasuki ruang
interstisial akan dikembalikan kedalam sistim vaskular melalui sistim limfatik.

Caiarn Intravaskular
Cairan intravaskular (plasma) terbatas dalam ruangan intravaskular oleh endotel
vaskular. Sebagian besar elektrolit dapat dengan bebas melalui plasma dan interstisium yang
menyebabkan komposisi elektrolit keduanya tidak jauh berbeda. Bagaimanapun juga, ikatan
antar sel endotel yang kuat akan mencegah keluarnya protein dari ruang intravaskular.
Akibatnya plasma protein (terutama albumin) merupakan satu-satunya zat terlarut secara
osmotik aktif dalam pertukaran cairan antara plasma dan cairan interstisial.

PERTUKARAN CAIRAN ANTAR KOMPARTEMEN

Difusi adalah gerakan acak dari molekul yang disebabkan energi kinetik yang
dimilikinya dan bertanggung jawab terhadap sebagian besar pertukaran cairan dan zat
terlarutnya antara kompartemen satu dengan yang lain. Kecepatan difusi suatu zat melewati
sebuah membran tergantung pada (1) permeabilitas zat terhadap membran, (2) perbedaan
konsentrasi antar dua sisi, (3) perbedaan tekanan antara masing-masing sisi karena tekanan
akan memberikan energi kinetik yang lebih besar, dan (4) potensial listrik yang
menyeberangi membran akan memberi muatan pada zat tersebut.

Difusi Melalui Membran Sel

Difusi antara cairan interstisial dan cairan intraselular dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme: (1) secara langsung melewati lapisan lemak bilayer pada membran sel, (2)
melewati protein chanel dalam membran, (3) melalui ikatan dengan protein carier yang
reversible yang dapat melewati membran (difusi yang difasilitasi). Oksigen, CO2, air, dan
molekul larut lemak akan menembus membran sel secara langsung. Kation-kation seperti Na+,
K+ dan Ca2+ tidak mudah menembus membran dan dapat berdifusi hanya melalui kanal protein
spesifik. Keluarnya ion melalui kanal ini tergantung pada tegangan membran dan ikatannya
dengan pengikat (seperti asetil kolin) terhadap reseptor membran. Glukosa dan asam amino
berdifusi dengan bantuan protein karier terikat membran.
Pertukaran cairan antara ruangan interstisial dan intraselular dibangun oleh daya
osmotik yang diciptakan oleh perbedaan konsentrasi zat terlarut nondifusif. Perubahan relatif
pada osmolalitas antara kompartemen intraselular dan interstisial menghasilkan perpindahan
air dari kompartemen yang hipoosmolar menuju kompartemen yang hiperosmolar.

Diffusi Melalui Endotel Kapiler

Dinding kapiler mempunyai ketebalan 0,5μm, terdiri dari satu lapis sel endotel dengan
membran dasar. Celah interseluler, dengan lebar 6-7 nm, memisahkan masing-masing sel dari
sel didekatnya. Oksigen, CO2, air dan zat larut lemak dapat menembus secara langsung
endotel membran sel. Hanya substansi dengan berat molekul rendah, larut dalam air seperti
sodium, klorida, Potasium, dan glukosa yang dapat melewati celah intersel. Substansi dengan
molekul yang besar seperti plasma protein sangat sulit untuk menembus celah endotel
(kecuali pada hati dan paru-paru dimana terdapat celah yang lebih besar).
Pertukaran cairan melewati kapiler berbeda dengan melewati membran sel dimana hal
ini dihasilkan oleh perbedaan yang signifikan pada tekanan hidrostatik sebagai tambahan dari
daya osmotik (gambar 28-2). Gaya ini bekerja pada arterial dan vena diujung kapiler.
Akibatnya terdapat tendensi bagi cairan untuk bergerak keluar kapiler pada ujung arteri dan
masuk ke dalam kapiler pada ujung vena. Besarnya daya ini berbeda untuk jenis jaringan
yang beragam. Tekanan arteri kapiler ditentukan oleh tonus sfingter prekapiler. Dengan
demikian kapiler membutuhkan tekanan yang tinggi seperti pada glomeruli yang mempunyai
tonus sfingter prekapiler yang lemah sedangkan tekanan kapiler otot yang rendah mempunyai
tonus sfingter prekapiler yang tinggi. Normalnya 10% dari cairan yang difiltrasi akan
direabsorbsi kembali kedalam kapiler. Cairan yang tidak direabsorbsi (kira-kira 2ml/mnt)
akan memasuki cairan interstisial dan dikembalikan melalui aliran limfatik menuju
kompartemen intravaskular kembali.

Figure 28–2.
Capillary fluid exchange. The numbers in this figure are in mm Hg and indicate the pressure
gradient for the respective pressures. "Net" refers to the net pressure at either end of the capillary,
ie, 13 mm Hg at the arterial and 7 mm Hg at the venous end of the capillary.
KELAINAN KESEIMBANGAN CAIRAN

Saat lahir tubuh manusia mengandung kira-kira 75% air dari total beratnya. Saat
berumur 1 tahun akan turun menjadi 65%, dan pada saat dewasa menjadi 60% pada laki-laki
dan 50% pada perempuan. Kandungan lemak yang lebih tinggi pada wanita akan menurunkan
kandungan airnya. Dengan alasan yang sama, obesitas dan usia yang lanjut juga menurunkan
kandungan air.

KESEIMBANGAN CAIRAN NORMAL

Intake cairan yang normal seorang dewasa rata-rata sebanyak 2500ml, dimana kira-
kira 300 ml merupakan hasil dari metabolisme substrat untuk menghasilkan energi..
Kehilangan air harian rata-rata sekitar 2500 ml dan secara kasar diperkirakan 1500 ml hilang
melalui urin, 400 ml melalui penguapan saluran napas, 400 ml melalui penguapan kulit, 100
ml melalui keringat, dan 100 ml melalui feses. Kehilangan cairan melalui proses penguapan
sangatlah penting dalam proses termoregulasi oleh karena normalnya sebesar 20-25% dari
hilangnya panas.
Baik osmolalitas CES dan CIS keduanya diregulasi secara ketat untuk
mempertahankan keseimbangan cairan normal dalam jaringan. Perubahan dalam komposisi
cairan dan volume sel akan menyebabkan timbulnya kerusakan fungsi yang serius, terutama
pada otak (lihat bawah).

HUBUNGAN ANTARA KONSENTRASI SODIUM PLASMA, OSMOLALITAS


EKSTRASEL, DAN OSMOLALITAS INTRASEL

Osmolalitas CES setara dengan jumlah konsentrasi dari semua zat terlarut. Oleh
karena Na+ dan ionnya merupakan hampir 90% dari jumlah zat terlarut maka osmolaritasnya
dapat diperkirakan melalui persamaan :

Plasma Osmolalitas = 2 X Konsentrasi Sodium Plasma


Selanjutnya, oleh karena CIS dan CES berada dalam keadaan keseimbangan osmotik, maka
konsentrasi sodium plasma secara umum merefleksikan osmolalitas seluruh tubuh:

Osmolalitas total tubuh = Zat terlarut Ekstrasel + Zat terlarut Intrasel


Berat Badan Total

Dikarenakan sodium dan potassium adalah zat terlarut intasel dan ekstrasel yang terbesar,
maka berturut-turut:

Total osmolalitas tubuh = (Na+ekstrasel X 2) + (K+intrasel X 2)


Berat Badan Total

Menggabungkan kedua pendekatan :

[Na+] plasma = (Na+ ekstrasel X 2) + (K+ intrasel X 2)


Berat Badan Total

Berdasarkan prinsip-prinsip ini maka efek isotonik, hipotonik, dan hipertonik pada cairan di
kompartemen dan osmolalitas plasma dapat diperhitungkan (table 28-3). Potensi yang
terpenting dari konsentrasi potassium intrasel dapat tergambarkan dari persamaan ini. Oleh
karenanya kehilangan potassium yang signifikan akan menyebakan hiponatremia.

Table 28–3. Effect of Different Fluid Loads on Extracellular and Intracellular Water
Contents.1
A. Normal
Total body solute = 280 mOsm/kg x 42 kg = 11,760 mOsm
Intracellular solute = 280 mOsm/kg x 25 kg = 7000 mOsm
Extracellular solute = 280 mOsm/kg x 17 kg = 4760 mOsm
Extracellular sodium concentration = 280 ÷ 2 = 140 mEq/L
Intracellular Extracellular
Osmolality 280 280
Volume (L) 25 17
Net water gain 0 0
B. Isotonis load: 2 L of Isotonis saline (NaCl)
Total body solute = 280 mOsm/kg x 44 kg = 12,320 mOsm
Intracellular solute = 280 mOsm/kg x 25 kg = 7000 mOsm
Extracellular solute = 280 mOsm/kg x 19 kg = 5320 mOsm
Intracellular Extracellular
Osmolality 280 280
Volume (L) 25 19
Net water gain 0 2
Net effect: Fluid remains in extracellular compartment.
C. Free water (hypotonic) load: 2 L water
New body water = 42 + 2 = 44 kg
New body osmolality = 11,760 mOsm ÷ 44 kg = 267 mOsm/kg
New intracellular volume = 7000 mOsm ÷ 267 mOsm/kg = 26.2 kg
New extracellular sodium concentration = 267 ÷ 2 = 133 mEq/L
Intracellular Extracellular
Osmolality 267.0 267.0
Volume (L) 26.2 17.8
Net water gain +1.2 +0.8
Net effect: Fluid distributes between both compartments.
D. Hypertonic load: 600 mEq NaCl (no water)
Total body solute = 11,760 + 600 = 12,360 mOsm/kg
New body osmolality = 12,360 mOsm/kg ÷ 42 kg = 294 mOsm
New extracellular solute = 600 + 4760 = 5360 mOsm
New extracellular volume = 5360 mOsm ÷ 294 mOsm/kg = 18.2 kg
New intracellular volume = 42 – 18.2 = 23.8 kg
New extracellular sodium concentration = 294 ÷ 2 = 147 mEq/L
Intracellular Extracellular
Osmolality 294.0 294.0
Volume (L) 23.8 18.2
Net water gain –1.2 +1.2
Net effect: An intracellular to extracellular movement of water.

1
Based on a 70-kg adult male.

Pada keadaan patologis, glukosa dan urea bisa mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
osmolalitas ekstrasel. Perkiraan yang lebih akurat dari osmolalitas plasma dapat kita peroleh
dari persamaan berikut:

Plasma osmolalitas (mOsm/kg) =[Na+] x 2 + BUN + Glukosa


2,8 18

Dimana [Na+] dinyatakan dlm mEq/L dan BUN dan Glukosa dinyatakan dalam mg/dl. Urea
merupakan osmol yang tidak efektif dikarenakan sangat mudah menembus membran sel dan
oleh karenanya biasanya diabaikan dari perhitungan ini:

Osmolalitas plasma efektif =[Na+] x 2 + Glukosa


18
Nilai normal osmolalitas plasma bervariasi antara 280 sampai 290 mOsm/kg.
Diperkirakan konsentrasi sodium plasma menurun sebanyak 1 mEq/L untuk tiap 62 mg/dL
peningkatan konsentrasi glukosa. Ketidaksesuaian antara pengukuran dan perhitungan
osmolalitas menyebabkan timbulnya osmolal gap. Osmolal gap yang signifikan menunjukkan
tingginya konsentrasi yang abnormal dari molekul aktif secara osmotik yang berada dalam
plasma, seperti ethanol, manitol, methanol, ethylene glikol, atau isopropyl alkohol. Gap
osmolal juga dapat terlihat pada pasien dengan gagal ginjal kronik (didukung retensi dari
sebagian kecil solute), pasien dengan ketoasidosis (sebagai hasil dari tingginya konsentrasi
badan keton), dan pada pasien yang banyak menerima glisin (misalnya saat reseksi prostate
transurethtral). Osmolal gap dapat juga terlihat pada pasien dengan hiperlipidemia atau
hiperproteinemia. Protein dan lipid dalam plasma secara signifikan mempunyai kontribusi
terhadap volume plasma; meskipun [Na+] plasma menurun. [Na+] dalam cairan plasma
(osmolalitas plasma yang sebenarnya) adalah normal. Kandungan air dalam plasma
normalnya hanya 93% dari volumenya; 7% terdiri dari plasma lemak dan protein.

PENGONTROLAN OSMOLALITAS PLASMA

Osmolalitas plasma diregulasi oleh Hipotalamus yang mengontrol sekresi anti diuretik
hormon (ADH) dan mekanisme haus. Osmolalitas plasma akan dijaga pada keadaan yang
relatif normal melalui pemasukan dan pengeluaran cairan.

Sekresi Hormon Anti Diuretik


Neuron-neuron khusus di inti supraoptik dan paraventrikular hipotalamus sangat
sensitif terhadap perubahan osmolalitas ekstrasel. Bila osmolalitas CES meningkat maka sel
akan menyusut dan ADH dilepaskan dari hipofisis posterior. Antidiuretik hormon akan
meningkatkan reabsorbsi air di tubulus kolektivus ginjal, dimana akan menurunkan lagi
osmolalitas plasma kembali normal. Sebaliknya, penurunan osmolalitas ekstraselular akan
menyebabkan osmoreseptor membengkak dan menekan pelepasan ADH. Penurunan sekresi
ADH akan menyebabkan terjadinya diuresis air, yang akan meningkatkan osmolalitas sampai
normal. Puncak diuresis timbul setelah ADH yang berada disirkulasi dimetabolisme (90-120
menit). Dengan penekanan penuh terhadap sekresi ADH maka ginjal akan mengekskresikan
sampai 10-20 L air per hari.

PELEPASAN ADH NON OSMOTIK


Baroreseptor karotid (reseptor volume) juga reseptor volume tekanan rendah di atria,
vena cava dan arteri paru, juga menstimulasi pelepasan ADH. Peningkatan aktivitas simpatis
berkaitan dengan kondisi lainnya seperti nyeri, tekanan emosional, dan hipoksia juga
meningkatkan pelepasan ADH.

RASA HAUS
Aktivasi osmoreseptor di area preoptik lateral dari hipotalamus dengan peningkatan
osmolalitas CES menyebabkan timbulnya rasa haus dan menyebabkan seseorang minum air.
Sebaliknya, keadaan hipoosmolal akan menekan rasa haus. Rasa haus merupakan mekanisme
utama pertahanan tubuh untuk mengatasi hiperosmolalitas dan hipernatremia, karena hal ini
merupakan satu-satunya mekanisme untuk meningkatkan intake cairan.

HIPEROSMOLALITAS & HIPERNATREMIA

Hiperosmolalitas akan timbul saat jumlah zat terlarut total dalam tubuh meningkat
relatif terhadap berat badan total dan biasanya tetapi tidak selalu berhubungan dengan
hipernatremia ([Na+] > 145 mEq/L). Hiperosmolalitas tanpa hipernatremia dapat terlihat pada
keadaan hiperglikemia atau bila terjadi akumulasi secara osmotik abnormal dari substansi
aktif dalam plasma (lihat atas). Konsentrasi sodium plasma dapat secara aktual menurun pada
saat air keluar dari kompartemen intrasel menuju kompartemen ekstrasel. Untuk setiap
peningkatan 100 mg/dL konsentrasi glukosa plasma akan menurunkan sodium plasma kira-
kira sebesar 1.6 mEq/L.
Pasien hipernatreia bisa hipovolemik, euvolemik, atau hipervolemik. Hipernatremia
hampir selalu dikarenakan akibat dari kehilangan relaitf cairan pada kelebihan sodium
(hypotonic fluid loss) atau akibat retensi sejumlah besar sodium. Saat kemampuan ginjal
untuk mengkonsentrasikan urin terganggu, rasa haus merupakan mekanisme yang sangat
efektif untuk mencegah hipernatremia. Hipernatremia sering terjadi pada pasien yang sulit
minum, orang tua, orang yang sangat muda, dan pada pasien dengan gangguan kesadaran.
Pasien dengan disnatremia dapat memiliki jumlah total sodium dalam tubuh yang rendah,
normal atau bahkan tinggi.

Differential Diagnosis of Hypernatremia.

Hypovolemic hypernatremia
Body fluid loss (eg, burns, sweating)
Diuretic use
Gastrointestinal loss (eg, vomiting, diarrhea, fistulas)
Heat injury
Osmotic diuresis (eg, hyperosmolar nonketotic coma, enteral feeding)
Post-obstructive diuresis
Euvolemic hypernatremia
Central diabetes insipidus
Nephrogenic diabetes insipidus
Fever
Hyperventilation/mechanical ventilation
Meedicationd (eg. Amphotericin aminoglycosides, lithium, phenytoin)
Sickle cell diasease
Suprasellar and infrasellar tumors
Hypervolemic hypernatremia
Cushing syndrome
Hemodialysis
Hyperaldosteronism
Iatrogenic (eg, salt tablet or salt water ingestion, saline infusions, saline enemas,
Intravenous bicarbonate, enteral feedings)
S

Hipernatremia & Kadar Sodium Tubuh Total yang Rendah


Pada pasien-pasien ini terjadi kehilangan air dan sodium, tetapi kehilangan air
jumlahnya lebih besar dibandingkan kehilangan sodium. Kehilangan hipotonik bisa berasal
dari renal (diuresis osmotik) atau ekstrarenal (diare atau keringat). Pada kasus-kasus tersebut
biasanya pasien akan terlihat adanya tanda-tanda hipovolemia. Konsentrasi sodium urin
biasanya lebih besar dari 20 mEq/L pada kehilangan dari renal, dan kurang dari 10 mEq/L
pada kehilangan dari ekstra renal.

Hipernatremia & Kadar Sodium Tubuh Total yang Normal


Pada kelompok ini pasien akan mengalami kehilangan cairan tanpa menunjukkan
manifestasi tanda-tanda hipovolemia kecuali terjadi kehilangan cairan yang massive. Kadar
sodium total tubuh biasanya normal. Hilangnya cairan terjadi melalui kulit, saluran
pernapasan, atau ginjal. Kadang-kadang kita harus mengamati terjadinya hipernatremia akibat
perpindahan air pada saat olah raga, kejang, atau rhabdomyolisis. Penyebab terpenting dari
hipernatremia dengan kadar sodium yang normal adalah diabetes insipidus (pada orang yang
sadar). Diabetes insipidus ditandai dengan kegagalan fungsi ginjal untuk mengkonsentrasikan
urin yang berhubungan dengan menurunnya konsentrasi hormon ADH (diabetes insipidus
sentral) atau kegagalan tubulus renal untuk merespon secara normal hormon ADH di sirkulasi
(diabetes insipidus nephrogenik). Terkadang, `essensial hipernatremia` bisa ditemukan pada
pasien dengan gangguan sistem saraf pusat. Pada pasien ini memiliki osmoreseptor yang
berfungsi pada ambang osmolalitas yang lebih tinggi.
A. Diabetes Insipidus Sentral:
Kerusakan terdapat pada hipotalamus atau hipofisis yang sering menimbulkan diabetes
insipidus. Diabetes insipidus sering terjadi pada kerusakan otak. Diabetes insipidus sering
ditemukan pada prosedur bedah saraf dan trauma kepala. Diagnosis ini apabila ditemukan
riwayat polidipsi, poliuri (biasanya>6 L/hari), dan tidak adanya hiperglikemia. Pada masa
perioperatif, diagnosis diabetes insipidus diduga apabila terdapat poliuria tanpa glikosuria
dan osmolalitas urin yang lebih rendah dibandingkan osmolalitas plasma. Tidak adanya
rasa haus pada penderita yang tidak sadar menyebabkan kehilangan cairan yang signifikan
dan dapat menimbulkan hipovolemia dengan cepat. Diagnosis diabetes insipidus sentral
dikonfirmasi dengan peningkatan osmolalitas urin setelah pemberian ADH eksogen. Cairan
vasopressin (5-10 unit SK atau IM setiap 4-6jam) merupakan terapi pilihan untuk diabetes
insipidus sentral akut. Vasopresin dalam larutan minyak (0,3 ml IM setiap hari) bekerja
lebih panjang tetapi dapat menyebabkan intoksikasi air. Desmopresin (dDAVP) yang
merupakan analog sintetik dari ADH mempunyai durasi kerja 12-24 jam, tersedia dalam
pemberian intra nasal (10-40 μg/hari sebagai dosis tunggal atau terbagi 2 kali sehari) yang
dapat diberikan pada rawat jalan atau pada saat perioperatif.

B. Diabetes Insipidus Nephrogenik :


Dapat terjadi akibat kelainan kongenital tetapi lebih sering akibat dari kelainan lainnya.
Termasuk akibat penyakit ginjal kronik, hipokalemia, hiperkalsemia, penyakit sickle cell,
hiperproteinemia. Diabetes insipidus nephrogenik dapat juga terjadi secara skunder akibat
efek samping dari obat (amphoterisin B, lithium, methoxyfluran, demeclocyclin, ifosfamid,
manitol). Sekresi ADH pada pasien di atas normal, tetapi ginjal mengalami kegagalan
untuk merespon ADH dan kemampuan untuk mengkonsentrasi urin mengalami kegagalan.
Diagnosis dikonfirmasi dengan kegagalan ginjal untuk memproduksi urin yang hipertonik
setelah pemberian ADH eksogen. Terapinya adalah dengan langsung mengobati penyakit
yang mendasarinya dan memastikan intake cairan yang adekuat. Hilangya cairan akibat
pemberian diuretik thiazide dapat secara paradok menurunkan urine output melalui
pengurangan cairan menuju tubulus pengumpul. Retriksi sodium dan protein dapat pula
mengurangi urin output.

Hipernatremia & Kadar sodium Tubuh Yang Meningkat


Keadaan ini paling sering ditimbulkan akibat pemberian larutan salin hipertonik yang
berlebihan (3% NaCl atau 7,5% NaHCO3). Pasien dengan hiperaldosteronism primer dan
cushing syndrome juga mengalami sedikit peningkatan pada konsentrasi sodium serum
dengan tanda-tanda retensi sodium.

Manifestasi Klinis Hipernatremia


Manifestasi neurologis merupakan manifestasi predominan pada pasien dengan
hipernatremia dan kegelisahan, lethargi, dan hiperreflek dapat berkembang menjadi kejang,
koma, bahkan kematian. Gejala-gejala yang timbul berhubungan dengan kecepatan
perpindahan air keluar dari sel otak dibandingkan dengan level absolut hipernatremia.
Penurunan cepat dari volume otak dapat menyebabkan rupturnya vena serebral dan
mengakibatkan fokal intraserebral atau perdarahan subarachnoid. Kejang dan kerusakan
neurologist serius sering terjadi, terutama pada anak dengan hipernatremia akut dengan [Na +]
plasma lebih dari 158 mEq/L. Hipernatremia kronik dapat lebih ditoleransi daripada bentuk
yang akut. Setelah 24-48 jam osmolalitas interseluler mulai meningkat sebagai akibat dari
peningkatan inositol intraseluler dan konsentrasi asam amino konsentrasi cairan intraseluler
otak secara perlahan kembali normal.

Penatalaksanaan Hipernatremia
Terapi hipernatermia bertujuan untuk mengembalikan osmolalitas plasma kepada
keadaan normal dengan sekaligus mengkoreksi faktor penyebabnya. Defisit cairan harus
diterapi dalam waktu lebih dari 48 jam, dikarenakan koreksi cepat dapat menyebabkan edema
otak. Penggunaan air bebas enteral lebih menguntungkan jika tersedia, tetapi larutan intravena
hipotonis seperti cairan 5% dekstrosa dalam air juga bisa digunakan. Abnormalitas volume
ekstrseluler juga harus dikoreksi. Pasien hipernatremia dengan kadar sodium total tubuh yang
menurun harus diberikan larutan isotonis untuk mengembalikan volume plasma kembali
normal sebelum diberikan terapi dengan larutan hipotonik. Pasien hipernatremik dengan
kadar sodium tubuh yang meningkat harus diterapi dengan loop diuretik dan 5% dekstrosa
dalam air secara intravena.
Figure 28–3.

Algorithm for treatment of hypernatremia.

Koreksi hipernatremia secara cepat dapat menimbulkan kejang, edema otak, kerusakan
neurologi permanen, dan bahkan kematian. Osmolalitas Na+ serial harus diperiksa selama
terapi. Secara umum konsentrasi sodium plasma tidak boleh diturunkan lebih cepat dari 0,5
mEq/L/jam.

Contoh: Seorang laki-laki dengan berat badan 70 kg mempunyai [Na+] plasma 160
mEq/L. Berapakah defisit cairannya?
Jika diasumsikan hipernatreminya hanya disebabkan oleh karena kehilangan cairan
saja, kemudian menyebabkan osmolalitas tubuh total tidak berubah. Dengan demikian dengan
mengasumsikan kadar normal [Na+] sebesar 140 mEq/L dan jumlah cairan tubuh total sebesar
60% berat badan:

Normal TBW x 140 = TBW saat ini x [Na+]plasma atau 70 x 0,6 x 140 = TBW saat ini x 160

Dengan persamaan diatas :


TBW saat ini = 36,7 L
Defisit cairan = Normal TBW- TBW saat ini atau (70 x 0,6) – 36,7 = 5,3L
Untuk menggantikan defisit cairan dalam waktu lebih dari 48 jam, diberikan 5,3L enteral free
water dalam jumlah kecil dalam lebih dari 48 jam atau dektrosa 5% dalam air secara intravena
sebanyak 5300ml, lebih dari 48 jam, atau 110ml/jam.
Sebagai catatan bahwa metode ini mengabaikan defisit cairan isotonis yang terjadi
bersamaan, dimana jika hal ini terjadi harus digantikan dengan larutan isotonis.

Pertimbangan Anestetik
Pada penelitian dengan binatang, hipernatremia akan meningkatkan konsentrasi
alveolar minimum (MAC) dari anestesi inhalasi, tetapi secara klinis signifikan lebih
berhubungan dengan defisit cairan. Hipovolemia akan menonjolkan terjadinya vasodilatasi
atau depresi kardiak oleh obat-obat anestesi dan menjadi predisposisi terjadinya hipotensi dan
hipoperfusi jaringan. Penurunan volume distribusi dari obat-obatan mengharuskan dilakukan
pengurangan dosis obat terutama obat-obatan intravena, sedangkan penurunan cardiac output
akan meningkatkatkan uptake dari obat-obatan anestesi inhalasi.
Bahkan peningkatan sodium serum ringan berkaitan dengan peningkatan morbiditas,
mortalitas, dan lama perawatan perioperatif, dan karena itu hipernatremia tidak boleh
diindahkan. Operasi elektif pada pasien dengan hipernatremia yang signifikan (>150 mEq/L)
harus ditunda sampai penyebabnya ditemukan dan defisit cairan yang ada dikoreksi.

HIPO-OSMOLALITAS & HIPONATREMIA

Hipo-osmolalitas hampir selalu berhubungan dengan hiponatremia ([Na] < 135


mEq/L). Pada tabel 49-5 dapat kita lihat daftar keadaan yang jarang terjadi dimana
hiponatremia tidak selalu merefleksikan hipo-osmolalitas (pseudohiponatremia). Pengukuran
rutin terhadap osmolalitas plasma pada pasien dengan hiponatremia harus dilakukan secara
cepat, mengekslusi pseudohiponatremia.

Table 49–5. Causes of Pseudohyponatremia.1

Hyponatremia with a normal plasma osmolality


Asymptomatic
Marked hyperlipidemia
Marked hyperproteinemia
Symptomatic
Marked glycine absorption during transurethral surgery
Hyponatremia with an elevated plasma osmolality
Hyperglycemia
Administration of mannitol

Hiponatremia merefleksikan variasi pada retensi cairan, dari peningkatan total cairan
tubuh (TBW) atau hilangnya sodium relatif berlebihan dibandingkan kehilangan air.
Kapasitas normal ginjal untuk untuk memproduksi urin dengan osmolalitas sekitar 40
mOsm/kg (berat jenis 1.001) menyebabkan tejadinnya pengeluaran air lebih dari 10 L perhari
jika diperlukan. Oleh karena besarnya cadangan ini, hiponatremia biasanya hampir selalu
merupakan akibat dari kelainan pada kapasitas dilusi urin (osmolalitas urin > 100 mOsm/kg
atau berat jenis >1.003). Kejadian hiponatremia tanpa abnormalitas kapasitas dilusi ginjal
(osmolalitas urin < 100 mOsm/kg) biasanya dihubungkan dengan polidipsia primer atau
`reset` osmoreseptor; dua kondisi terakhir dapat dibedakan dari retriksi cairannya.

Secara klinis, klasifikasi hiponatremia berdasarkan kadar total sodium tubuh (tabel 49-
6).

Hiponatremia & Kadar total Sodium Tubuh Yang Rendah


Kehilangan sodium dan air secara progresif akan mengakibatkan berkurangnya
volume ekstraseluler. Seperti pada defeisit intravaskular yang mencapai 5-10% akan terjadi
aktivasi sekresi ADH (lihat di atas). Dengan pengurangan volume yang berlanjut, stimulus
pelepasan ADH nonosmotik akibat hiponatremia-menyebabkan penekanan pada ADH.
Pemeliharaan volume sirkulasi akan mengorbankan osmolalitas plasma.
Hilangnya cairan pada hiponatremia dapat bersifat renal atau ekstra renal. Kehilangan
yang bersifat renal biasanya berhubungan dengan pemakaian diuretik thiazid dan
menghasilkan urin dengan [Na] lebih dari 20 mEq/L. Kehilangan yang bersifat ekstrarenal
biasanya tipikal untuk gastrointestinal dan biasanya memproduksi urin dengan [Na] kurang
dari 10 mEq/L.

Hiponatremia dengan Peningkatan Kadar Total Sodium Tubuh


Gangguan edematosa ditandakan dengan peningkatan sodium tubuh dan cairan tubuh
total. Bila terjadi peningkatan jumlah air yang berlebihan maka akan menimbulkan keadaan
hiponatremia. Yang termasuk kedalam gangguan edematosa adalah gagal jantung bendungan,
sirosis, gagal ginjal, dan sindrom nefrotik. Pada keadaan tersebut hiponatremia diakibatkan
oleh kegagalan progresif dari fungsi ginjal untuk mengekskresikan air dan biasanya paralel
dengan berat penyakit yang mendasarinya. Mekanisme patofisiologinya termasuk mekanisme
non osmotik dari pelepasan ADH dan penurunan transport cairan menuju segmen distal dari
nephron (bab. 31). Volume efektif dari sirkulasi darah akan dikurangi (lihat bawah).

Hiponatremia Dengan Sodium Total Tubuh Normal

Hiponatremia tanpa adanya keadaan edema atau hipovolemia mungkin dapat terjadi
pada insufisiensi glukokortikoid, hipotiroid, terapi obat (klorpropamid dan siklofosfamid),
sindrom sekresi anti diuretik hormon yang tidak tepat (SIADH). Hiponatremia yang
berhubungan dengan hipofungsi adrenal mungkin berhubungan dengan ko-sekresi ADH
dengan corticotrophin release faktor (CRF). Pada pasien HIV sering menunjukkan adanya
hiponatremia yang mungkin terjadi akibat infeksi adrenal oleh sitomegalovirus atau
mikobakteri. Diagnosis SIADH ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab
yang lain dari hiponatremia dan tidak adanya hipovolemia, edema, dan penyakit-penyakit
adrenal, renal, atau penyakit tiroid. Penyakit-penyakit seperti Tumor ganas, penyakit paru, dan
kelainan vena sentral biasanya dihubungkan dengan SIADH. Pada kebanyakan kasus tidak
terjadi peningkatan kadar ADH plasma tetapi terjadi supresi relatif terhadap derajat
osmolalitas plasma yang inadekuat; osmolalitas urin biasanya > 100 mOsm/kg dan
konsentrasi sodium urin > 40 mEq/L.

Table 28–5. Causes of Pseudohyponatremia.1

Hyponatremia with a normal plasma osmolality


Asymptomatic
Marked hyperlipidemia
Marked hyperproteinemia
Symptomatic
Marked glycine absorption during transurethral surgery
Hyponatremia with an elevated plasma osmolality
Hyperglycemia
Administration of mannitol

1
Adapted from Rose RD: Clinical Physiology of Acid-Base and Electrolyte Disorders, 3rd ed.
McGraw-Hill, 1989.

Manifestasi Klinis Hiponatremia

Tanda tanda utama hiponatremia adalah bersifat neurologist dan diakibatkan oleh
peningkatan air pada intrasel. Tingkat keparahannya biasanya dihubungkan dengan kecepatan
terjadinya hipoosmolalitas ekstraseluler. Pasien dengan hiponatremia ringan sampai sedang
([Na] > 125 mEq/L0 biasanya tidak menunjukkan gejala-gejala. Tanda-tanda awal biasanya
tidak spesifik dan dapat berupa anoreksia, nausea, dan kelemahan tubuh. Terjadinya edema
serebral yang progresif menyebabkan timbulnya lethargi, bingung, kejang, koma, dan
akhirnya menimbulkan kematian. Manifestasi yang serius biasanya dihubungkan dengan
konsentrasi sodium plasma yang < 120 mEq/L. Wanita dalam masa premenopause
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan dan kerusakan neurologis
dibandingkan dengan pria.
Pasien dengan kronik hiponatremia atau hiponatremia yang terjadi secara perlahan
biasanya tidak banyak menunjukkan tanda-tanda. Kompensasi bertahap dari hilangnya solute
intraseluler (terutama Na+, K+, dan asam amino) akan terjadi untuk mengembalikan volume
sel menjadi normal. Tanda-tanda neurologist pada pasien dengan hiponatremia kronis
mungkin dihubungkan dengan perubahan potensial membran (berhubungan dengan
rendahnya [Na+]) yang kemudian akan merubah volume sel.

Terapi Hiponatremia

Seperti halnya hipernatremia begitu pula dengan terapi hiponatremia yang dilakukan dengan
mengkoreksi gangguan dasar dan mengkoreksi [Na+] plasma. Salin isotonis (bab 29)
merupakan terapi pilihan pasien hiponatremia dengan penurunan kadar sodium tubuh. Saat
defisit cairan ekstraseluler dikoreksi maka diuresis ari yang spontan akan mengembalikan
[Na] menjadi normal. Sebaliknya, retriksi cairan merupakan terapi untuk pasien hiponatremi
dengan total sodium tubuh yang normal atau meningkat. Terapi yang lebih spesifik dapat pula
dilakukan seperti pemberian hormon pada pasien dengan hipofungsi adrenal atau tiroid den
tindakan-tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan cardiac output pada pasien gagal
jantung. Demeclocyclin yang merupakan antagonis aktivitas ADH pada tubulus renal
dibuktikan sangat berguna sebagi terapi tambahan untuk retriksi cairan pada terapi pasien
dengan SIADH.
Hiponatremia akut simptomatik membutuhkan terapi yang cepat. Koreksi [Na]
menjadi >130 mEq/L biasanya cukup untuk meringankan gejala-gejala. Sejumlah larutan
NaCl diperlukan untuk meningkatkan [Na] plasma lepada nilai yang diinginkan. Defisit [Na]
dapat diestimasi dengan rumus berikut:

Defisit Na+ = Cairan Tubuh Total x ([Na+] yang diinginkan – [Na+] saat ini)

Koreksi hiponatremia yang sangat cepat dapat menyebabkan demyelinisasi pada pons yang
mengakibatkan sekuele neurologist permanent yang serius. Kecepatan untuk mengkoreksi
hiponatremia harus disesuaikan dengan beratnya gejala-gejala. Kecepatan koreksi yang
disarankan adalah:0,5 mEq/L/jam atau kurang untuk gejala yang ringan; 1 mEq/L/jam atau
kurang untuk gejala-gejala moderat; dan 1,5 mEq/L/jam atau kurang untuk Gejala-gejala yang
berat.
Contoh: Seorang wanita dengan berat 80 kg berada dalam keadaan lethargi dengan
[Na] plasma 118 mEq/L. Berapa NaCl yang harus diberikan untuk meningkatkan [Na]
plasmanya menjadi 130 mEq/L ?

Defisit Na = Total Cairan Tubuh x (130-118)

Cairan Tubuh Total pada wanita diperkirakan 50% dari berat badan:

Defisit Na+ = 80 x 0,5 x (130-118) =480 mEq

Sedangkan saline normal (isotonis) mengandung 154 mEq/L, maka pasien tersebut harus
menerima 480 mEq ÷ 154 mEq/L atau sebanyak 3,12 L saline normal. Kecepatan koreksi
yang dilakukan adalah 0,5 mEq/L/jam, maka jumlah normal saline harus diberikan lebih dari
24 jam (130 ml/jam).
Sebagai catatan bahwa perhitungan tersebut belum termasuk defisit cairan isotonik
yang terjadi bersamaan yang juga harus diganti.
Koreksi hiponatremia yang cepat dapat dilakukan dengan memberikan loop diuretik
untuk merangsang pengeluaran cairan saat mengganti kehilangan sodium urin dengan salin
isotonis. Walaupun koreksi cepat juga dapat dilakukan dengan memberikan Salin hipertonik
(3% NaCl) tetapi ini diindikasikan untuk pasien simptomatik dengan [Na} <110 mEq/L dan
harus diberikan secara hait-hati karena dapat mencetuskan terjadinya edema paru terutama
pada pasien dengan Sodium tubuh yang meningkat.

Pertimbangan Anestesi
Hiponatremia merupakan manifestasi yang serius dari gangguan yang mendasarinya
dan memerlukan evaluasi preoperative yang hati-hati. Konsentrasi sodium plasma yang lebih
dari 130 mEq/L merupakan nilai yang aman bagi pasien yang akan menjalani anestesi umum.
Untuk operasi elektif [a] plasma harus dikoreksi menjadi diatas 130 mEq/L walaupun tidak
terdapat gejala-gejala. Konsentasi yang lebih rendah dari itu dapat menyebabkan edema
serebri yang signifikan yang dapat timbul intraoperatif juga penurunan konsentrasi minimum
alveolar, atau timbulnya agitasi, confusion, atau somnolen yang timbul pada pasca operasi.
Pda pasien yang akan menjalani reseksi prostate transurethtral dapat menyerap jumlah air
irigasi yang signifikan (sebesar 20 ml/menit) dan merupakan resiko tinggi untuk terjadinya
intoksikasi air akut yang dapat terjadi secara cepat ( bab. 33).
Algorithm for treatment of hyponatremia.
GANGGUAN KESEIMBANGAN SODIUM

Volume cairan ekstraseluler secara langsung proporsional dengan dengan jumlah total
sodium dalam tubuh. Variasi volume CES disebabkan karena perubahan jumlah total sodium
tubuh. Keseimbangan sodium yang positif akan meningkatkan volume CES, sedangkan
keseimbangan yang negatif akan menurunkan volume CES. Penting untuk menegaskan
kembali bahwa konsentrasi sodium plasma ekstraseluler lebih indikatif terhadap
keseimbangan cairan dibandingkan jumlah total sodium tubuh.

KESEIMBANGAN SODIUM NORMAL

Keseimbangan sodium sama dengan asupan sodium total (rata-rate 170 mEq/hari pada
dewasa) dikurangi ekskresi sodium oleh renal dan kehilangan sodium ekstra renal. (Satu gram
sodium menghasilkan 43 mEq ion sodium, sedangkan 1 g sodium klorida menghasilkan 17
mEq ion sodium). Kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sodium kurang dari 1 mEq/L
sampai lebih dari 100 mEq/L menyebabkan ginjal sebagai pemegang peranan yang penting
dalam menentukan keseimbangan sodium.

REGULASI KESEIMBANGAN SODIUM & VOLUME CAIRAN EKSTRASELULER

Adanya hubungan antara volume CES dengan kadar sodium tubuh total menyebabkan
regulasinya berhubungan erat dengan yang lainnya. Regulasi ini terjadi melaui sensor (lihat
bawah) yang mendeteksi perubahan komponen penting pada CES yaitu volume efektif
intravaskular. Hal ini lebih berhubungan dengan kecepatan pada perfusi kapiler renal
dibandingkan dengan mengukur volume cairan intravaskular (plasma). Pada gangguan
edematosa (gagal jantung, sirosis, dan gagal ginjal), Volume efektif intravaskular dapat
independent untuk mengukur volume plasma, volume CES, dan bahkan cardiac output.
Volume CES dan jumlah sodium tubuh total dikontrol terutama melalui ekskresi
sodium oleh renal. Pada keadaan dimana tidak adanya kelainan pada ginjal, terapi diuretik,
dan iskemi renal selektif, konsentrasi sodium urin merefleksikan volume interavaskular
`efektif`. Konsentrasi sodium urin yang rendah (<10 mEq/L) secara umum menunjukkan
volume cairan intravaskular `efektif` yang rendah dan merefleksikan adanya retensi sodium
oleh renal.
Mekanisme Kontrol
Banyak mekanisme yang terlibat dalam mengatur volume CES dan keseimbangan
cairan normal yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya tetapi dapat pula berfungsi
independent. Sebagai tambahan dalam perubahan ekskresi sodium renal, beberapa mekanisme
juga menghasilkan kompensasi respon hemodinamik yang cepat saat volume intravaskular
`efektif` berkurang (bab. 19).
A. Sensor Volume: Reseptor volume dalam tubuh adalah baroreseptor. Oleh karena
tekanan darah dihasilkan oleh cardiac output dan tahanan vaskular sistemik (bab. 19), maka
perubahan yang signifikan pada volume intravaskular (preload) tidak hanya akan
mempengaruhi cardiac output tetapi juga mempengaruhi tekanan darah arterial. Dengan
demikian baroreseptor yang berada pada sinus karotikus dan arteriol renal (apparatus
juxtaglomerulus) secara tidak langsung berfungsi sebagai sensor dari volume volume
intravaskular. Perubahan tekanan darah pada sinus karotis akan memodulasi sistem saraf
simpatis dan sekresi ADH nonosmotik, sedangkan perubahan pada arteriol afferent renal akan
memodulasi sistem angiotensin-aldosteron. Reseptor regangan pada atrium juga dapat
mengetahui perubahan pada volume intravaskular; derajat distensinya akan memodulasi
pelepasan hormon natriuretik atrial dan ADH.
B. Efektor Perubahan Volume: Perubahan pada volume akan memberikan efek pada
perubahan ekskresi sodium melalui urin. Penurunan pada volume intravaskular `efektif` akan
menurunkan ekskresi sodium dalam urin, sedangkan peningkatan volume intravaskular
`efektif` akan meningkatkan ekskresi sodium melalui urin. Mekanisme yang terlibat adalah:
1. Renin-angiotensin-aldosteron; Sekresi renin akan menyebabkan peningkatan
pembentukan angiotensin II. Kemudian angiotensin II akan meningkatkan sekresi aldosteron
dan memberikan efek berupa peningkatan reabsorbsi sodium pada tubulus proksimal renal.
Angiotensin II juga merupakan vasokonstriktor direk yang kuat dan mempotensiasi
norepinefrin. Sekresi aldosteron menambah reabsorbsi sodium di distal nefron (bab. 13) dan
merupakan faktor dominant dari ekskresi sodium urin.
2. Atrial Natriuretic Peptide (ANP); Peptida ini akan dilepaskan oleh kedua atrium bila
atrium mengalami distensi. NAP mempunyai dua aksi utama yaitu vasodilatasi dan
meningkatkan ekskresi sodium urin dan air pada saluran pengumpul renal. ANP memediasi
dilatasi arteriolar afferent dan kontriksi arteriole efferent serta meningkatkan GFR. Efek lain
yang dilaporkan berupa inhibisi sekresi renin dan aldosteron dan antagonis dari ADH.
3. Pressure Natriuresis; Peningkatan yang kecil dari tekanan darah sudah dapat
menyebabkan peningkatan besar yang relatif pada ekskresi sodium urin. Pressure diuresis
terjadi secara independent dari mekanisme humoral atau mekanisme neural.
4. Aktivitas Sistem Saraf Simpatik; Peningkatan aktivitas simpatik akan meningkatkan
absorbsi sodium pada tubulus proksimal renal, dan menimbulkan vasokonstriksi renal, yang
akan mereduksi aliran darah renal (bab 31). Sebaliknya, stimulasi reseptor regangan pada
atrial kiri akan menurunkan tonus simpatis renal dan akan meningkatkan aliran darah renal
(reflek kardiorenal) dan filtrasi glomerular.
5.Glomerular Filtration Rate dan konsentrasi sodium plasma; Jumlah sodium yang difiltrasi
oleh ginjal sebanding dengan GFR dan konsentrasi sodium plasma. Dikarenakan GFR secara
langsung berhubungan dengan volume intravaskular maka peningkatan volume intravaskular
akan meningkatkan ekskresi sodium. Sebaliknya, pengurangan volume intravaskular akan
menurunkan ekskresi sodium.
6. Keseimbangan Tubuloglomerular; meskipun terdapat variasi dalam jumlah sodium yang
difiltrasi oleh nefron tetapi reabsorbsi sodium di tubulus proksimal renal dalam keadaan
normal dikontrol dalam batas-batas normal. Faktor-faktor yang dipertimbangkan
bertanggungjawab pada keseimbangan tubuloglomerular adalah kecepatan aliran tubular
renal, dan perubahan hidrostatik kapiler peritubular dan tekanan onkotik. Perubahan
reabsorbsi sodium pada tubulus proksimal akan memberikan efek pada ekskresi sodium renal.
7. Hormon Antidiuretik; Walaupun sekresi ADH mempunyai efek yang kecil pada ekskresi
sodium tetapi sekresi nonosmotik dari hormon ini mempunyai peranan yang penting dalam
menjaga volume ekstraseluler dengan penurunan moderat sampai berat pada volume
intravaskular `efektif`.

Osmoregulasi Ekstraseluler Versus Regulasi Volume


Osmoregulasi melindungi rasio yang normal antara air dan solute. Sedangkan regulasi
volume ekstraseluler mempertahankan solute dan kandungan air. Perbedaan pada kedua
mekanisme ini dapat dilihat pada table 28-7. Sebagai catatan, regulasi volume secara umum
mempunyai presedens lebih dari osmoregulasi.

Table 28–7. Osmoregulation versus Volume Regulation.1

Volume Regulation Osmoregulation


Purpose Control extracellular volume Control extracellular osmolality
Volume Regulation Osmoregulation
+
Mechanism Vary renal Na excretion Vary water intake
Vary renal water excretion

Sensors Afferent renal arterioles Hypothalamic osmoreceptors


Carotid baroreceptors
Atrial stretch receptors
Effectors Renin–angiotensin–aldosterone Thirst
Sympathetic nervous sistem Antidiuretik hormon
Tubuloglomerular balance
Renal pressure natriuresis
Atrial natriuretic peptide
Antidiuretik hormon
Brain natriuretic peptide

1
Adapted from Rose RD: Clinical Physiology of Acid-Base and Electrolyte Disorders, 3rd ed.
McGraw-Hill, 198

Impikasi Anestetik
Masalah-masalah yang berkaitan dengan perubahan keseimbangan sodium dihasilkan
dari manifestasi-manifestasi yang terjadi dan juga dari kelainan yang mendasarinya.
Gangguan keseimbangan sodium akan menimbulkan gejala hipovolemia (defisit sodium) atau
hipervolemia (kelebihan sodium). Kedua gangguan tersebut memerlukan koreksi sebelum
menjalani prosedur pembedahan elektif. Fungsi jantung, hati, dan renal harus dievaluasi
dengan teliti pada keadaan kelebihan sodium (biasanya dimanifetasikan berupa edema
jaringan).
Pasien-pasien dengan hipovolemia sensitif terhadap efek vasodilatasi dan inotropik
negatif dari obat anestesi volatile, barbiturate, dan obat-obatan yang bersifat histamine-release
(morpin, meperidin, kurare, atrakurium). Dosis yang dibutuhkan harus dikurangi untuk
mengkompensasi penurunan volume distribusinya. Pasien hipovolemia sangat sensitif
terhadap blokade simpatis pada anestesi spinal dan epidural. Bila obat anestesi harus
diberikan sebelum koreksi selesai dilakukan, ketamin merupakan obat induksi pilihan pada
anestesi umum; etomidat dapat dipakai sebagai alternative.
Hipervolemia harus dikoreksi sebelum operasi dengan memberikan diuretik.
Abnormalitas pada fungsi jantung, ginjal dan hati harus juga dilakukan jika memungkinkan.
Bahaya yang sangat besar dari peningkatan volume ekstraseluler adalah kegagalan pertukaran
gas yang berhubungan dengan edema paru, edema alveolar, atau efusi pleura dan cairan asites.

GANGGUAN KESEIMBANGAN POTASIUM

Potasium memegang peranan yang penting dalam elektrofisiologi membran sel (bab.
19) sama halnya dengan karbohidrat dan sintesa protein (lihat bawah). Potensial membran
istirahat normalnya tergantung pada rasio konsentrasi potassium intraseluler dan ekstraseluler.
Konsentrasi potassium intraseluler diperkirakan sebesar 140 mEq/L, sedangkan ekstraseluler
normalnya sekitar 4 mEq/L. Meskipun regulasi potassium intraseluler sulit untuk dimengerti,
[K+] ekstraseluler secara umum merefleksikan keseimbangan antara asupan dan ekskresi
potassium.
Pada beberapa keadaan (lihat bawah), redistribusi K+ antara kompartemen CES dan
CIS dapat menghasilkan perubahan [K+] tanpa perubahan pada jumlah potassium total tubuh.

KESEIMBANGAN NORMAL POTASIUM

Asupan potassium melalui makanan pada dewasa rata-rata 80 mEq/hari (40-140


mEq/hari). Kira-kira 70 mEq dari jumlah tersebut normalnya akan diekskresikan melalui urin
sedangkan 10% akan hilang melalui saluran gastrointestinal. Ekskresi melalui renal berkisar
antara 5 mEq/L sampai dengan 100 mEq/L. Hampir semua potassium yang difiltrasi di
glomeruli akan diabsorbsi di tubulus proksimal dan pada loop of henle. Potasium
diekskresikan dalam urin sebagai hasil dari sekresi tubulus distal. Sekresi potassium pada
tubulus distal terjadi berpasangan dengan potassium saat reabsorbsi potassium yang
dimediasi oleh aldosteron (bab. 31).

REGULASI KONSENTRASI POTASIUM EKSTRASELULAR

Konsentrasi potassium ekstraselular hampir seluruhnya diregulasi oleh aktiviatas Na+-


K+ATPase membran sel sebagai [K] plasma. Aktifitas ini mengatur potasium antara sel CES,
sedangkan CES merupakan determinan utama pada ekskresi potassium urin.

PERPINDAHAN POTASIUM INTERKOMPARTEMEN


Perpindahan potassium interkompartemen diketahui akan diikuti dengan perubahan
pada pH ekstraselular (bab.30), level insulin dalam sirkulasi, aktivitas katekolamin di
sirkulasi, osmolalitas plasma dan kemungkinan hipotermia. Insulin dan katekolamin diketahui
diketahui secara langsung mempengaruhi aktivitas Na-K-ATPase. Olah raga dapat pula
menyebabkan peningkatan [K] sebagai hasil dari pelepasan K oleh sel otot; peningkatan [K]
plasma (0,3-2 mEq/L) proporsional dengan intensitas dan durasi aktivitas otot. Perpindahan
potassium interkompartemen juga bertanggung jawab pada perubahan [K] plasma yang terjadi
pada sindrom paralysis periodic (bab.37).
Perubahan pada konsentrasi ion hydrogen (pH) secara langsung mempengaruhi [K]
ekstrasel dikarenakan CIS akan menjadi buffer terhadap asam yang ada didalamnya. Pada saat
asidosis, ion hidrogen ekstraseluler akan memasuki sel, bertukaran dengan ion potassium;
keluarnya ion potassium dari dalam sel akan menjaga keseimbangan listrik tetapi akan
meningkatkan [K] ekstraselular dan plasma. Sebaliknya pada alkalosis, ion potassium
ekstraselular akan masuk ke dalam sel untuk mengimbangi pergerakan ion hidrogen yang
keluar sel; sebagai akibatnya [K] plasma akan mengalami penurunan. Walaupun hubungan
dibawah ini dapat bervariasi, ada sebuah aturan yang sangat berguna dalam perubahan
konsentrasi potassium plasma dimana diperkirakan perubahan 0,6 mEq/L akan merubah pH
arterial sebesar 0,1 unit (0,2-1,2 mEq/L per 0,1 unit).
Perubahan pada level insulin di sirkulasi dapat secara langsung merubah [K] yang
independent terhadap transport glukosa. Insulin akan meningkatkan aktivitas Na-K-ATPase
yang akan meningkatkan ambilan sel terhadap potassium dalam hati dan otot skeletal. Pada
kenyataannya, sekresi insulin memegang peranan yang penting pada kontrol basal dari
konsentrasi potassium plasma dan memfasilitasi peningkatan jumlah potassium.
Aktivitas simpatik juga akan meningkatkan ambilan potassium dengan menambah
aktivitas Na-K-ATPase. Efek ini dimediasi melalui aktivasi reseptor ß2 adrenergik.
Sebaliknya aktivitas α adrenergic dapat menyebabkan hambatan pergerakan K+ intraseluler.
[K+] plasma sering kali mengalami penurunan setelah pemberian ß2 adrenergik agonis sebagai
hasil ambilan potassium oleh otot dan hati. Lebih dari itu, blokade ß adrenergic dapat
menghambat penanganan pemberian potassium pada beberapa pasien.
Peningkatan osmolalitas plasma secara akut (hipernatremia, hiperglikemia, atau
pemberian manitol) telah dilaporkan terjadi pada saat [K] plasma meningkat (kira-kira 0,6
mEq/L per 10 mOsm/L). Pada beberapa kasus, pergerakan air keluar sel (menurun gradient
osmotiknya) disertai dengan pergerakan K keluar sel. Hal ini mungkin disebabkan oleh
`tarikan solven` atau peningkatan [K] intrasel yang menyertai dehidrasi seluler.
Hipotermia dilaporkan dapat terjadi pada keadaan [K] plasma yang rendah sebagai
akibat dari ambilan seluler. Pemanasan kembali akan mengembalikan pergerakan ini dan
dapat mengakibatkan hiperkalemia yang bersifat sementara jika potassium diberikan selama
hipotermia.

Ekskresi Potasium Melalui Urin


Ekskresi potassium melalui urin biasanya paralel dengan konsentrasi ekstraselulernya.
Potassium disekresi oleh sel-sel tubular pada nefron distal (bab. 31). [K] ekstraselular
merupakan faktor dominant untuk sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal. Keadaan
hiperkalemia akan menstimuli sekresi aldosteron, sedangkan hipokalemia akan mensupresi
sekresi aldosteron. Aliran tubular nefron pada distal nefron juga merupakan faktor yang
penting untuk sekresi potassium oleh karena kecepatan aliran tubular yang tinggi (selama
diuresis osmotik) akan meningkatkan sekresi potassium dengan menjaga gradient kapiler dan
tubular renal tetap tinggi untuk terjadinya sekresi potassium. Sebaliknya, kecepatan aliran
tubular yang rendah akan meningkatkan [K] pada cairan tubular dan akan menurunkan
gradient untuk mensekresi K.

HIPOKALEMIA

Hipokalemia didefinisikan sebagai keadaan dimana [K] plasma yang kurang dari 3,5
mEq/L dapat terjadi sebagai akibat dari: (1).perpindahan K interkompartemen (lihat atas),
(2).peningkatan hilangnya potassium, atau (3).asupan potassium yang inadekuat (table 28-8).
Konsentrasi potassium plasma secara tipikal mempunyai korelasi yang kecil terhadap
potassium total. Penurunan [K] plasma dari 4 mEq/L menjadi 3 mEq/L biasanya
menggambarkan defisit sebesar 100-200 mEq, sedangkan [K] plasma yang berada di bawah 3
mEq/L dapat menggambarkan defisit antara 200-400 mEq.

Hipokalemia Akibat Pergerakan Potasium Intraselular


Hipokalemia yang terjadi akibat pergerakan potassium dari intraselular dapat timbul
pada keadaan alkalosis, terapi insulin, agonis ß2 adrenergik, hipotermia, dalam serangan
paralysis hipokalemia periodik (lihat atas). Hipokalemia juga dapat terjadi setelah pemberian
Frozen Red Cell; kehilangan potassium terjadi pada saat proses pengawetan dan pengambilan
potassium akibat proses re-infus. Ambilan K selular oleh RBC (dan platelet) juga
diperkirakan menyebabkan terjadinya hipokalemia yang tejadi pada pasien yang sebelumnya
mendapat terapi dengan folat atau vitamin B12 pada anemia megaloblastik.

Table 28–8. Major Causes of Hypokalemia.

Excess renal loss


Mineralocorticoid excess
Primary hyperaldosteronism (Conn's syndrome)
Glucocorticoid-remediable hyperaldosteronism
Renin excess
Renovaskular hypertension
Bartter's syndrome
Liddle's syndrome
Diuresis
Chronic metabolik alkalosis
Antibiotics
Carbenicillin
Gentamicin
Amphotericin B
Renal tubular acidosis
Distal, gradient-limited
Proximal
Ureterosigmoidostomy
Gastrointestinal losses
Vomiting
Diarrhea, particularly secretory diarrheas
ECF ICF shifts
Acute alkalosis
Hypokalemic periodic paralysis
Barium ingestion
Insulin therapy
Vitamin B12 therapy

Thyrotoxicosis (rarely)
Inadequate intake

Hipokalemia Akibat Peningkatan Hilangnya Potasium


Peningkatan kehilangan potassium hampir selalu berhubungan dengan renal dan
gastrointestinal. Pembuangan potassium dari renal paling sering adalah sebagai akibat dari
proses diuresis atau penguatan aktivitas mineralokortikoid. Penyebab renal lainnya yaitu
hipomagnesemia (lihat bawah, asidosis tubular renal (bab. 30), ketoasidosis, nefropati akibat
pembuangan garam, dan beberapa obat-obatan (karbenisilin, dan amfoterisin B). Peningkatan
kehilangan potassium melalui gastrointestinal biasanya berkaitan dengan muntah,
penghisapan nasogastrik, atau karena diare. Penyebab gastrointestinal lainnya adalah fistula,
penyalahgunaan laksatif, villous adenomas, dan tumor pankreas yang mensekresi vasoaktif
peptide intestinal.
Peningkatan pembentukan keringat yang kronis kadang-kadang dapat menyebabkan
terjadinya hipokalemia, terutama saat terjadi asupan K yang terbatas. Dialisis dengan larutan
dialisat yang sedikit mengandung potassium dapat juga menyebakan hipokalemia. Pasien
dengan uremik biasanya mempunyai defisit potassium tubuh total (terutama intraselular)
meskipun normal atau bahkan terdapat [K] plasma yang tinggi; tidak terjadinya hipokalemia
pada kasus ini kemungkinan berhubungan dengan pergeseran interkompartemen dari asidosis.
Dialisis pada pasien seperti ini dapat menutupi terjadinya defisit potassium tubuh total dan
sering menghasilkan hipokalemia.
[K] urin yang kurang dari 20 mEq/L biasanya merupakan indikasi telah terjadinya
peningkatan kehilangan yang besifat ekstrarenal, sedangkan konsentrasi yang lebih dari 20
mEq/L diduga oleh karena pembuangan K oleh renal.

Hipokalemia Akibat Penurunan Asupan Potasium


Dengan kemampuan ekskresi potassium urin oleh renal yang rendah berkisar 5-20
mEq/L, hal ini menandakan bahwa dibutuhkan reduksi pada asupan potassium untuk
terjadinya hipokalemia. Bagaimanapun juga asupan potassium yang rendah sering
menonjolkan efek-efek akibat kehilangan potassium.

Manifestasi Klinis Hipokalemia


Hipokalemia dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi organ yang luas (table 28-9).
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala sampai [K] turun menjadi di bawah 3
Table 28–9. Effects of Hypokalemia.1

Cardiovaskular
Electrocardiographic changes/arrhythmias
Myocardial dysfunction
Neuromuskular
Skeletal muscle weakness
Tetany
Rhabdomyolysis
Ileus
Renal
Polyuria (nephrogenic diabetes insipidus)
Increased ammonia production
Increased bicarbonate reabsorption
Hormonal
Decreased insulin secretion
Decreased aldosterone secretion
Metabolik
Negatif nitrogen balance
Encephalopathy in patients with liver disease

mEq/L. Efek kardiovaskular adalah efek yang paling menonjol dengan terjadinya
abnormalitas EKG, aritmia, penurunan kontraktilitas jantung, dan labilnya tekanan darah
arterial yang berhubungan dengan disfungsi otonom. Hipokalemia kronis juga dilaporkan
dapat menyebabkan terjadinya fibrosis myocardial. Manifestasi EKG terutama berhubungan
dengan perlambatan repolarisasi ventrikel dan dapat berupa pendataran gelombang T dan
inverse, peningkatan gelombang U prominen, depresi segmen ST, peningkatan amplitude
gelombang P, dan pemanjangan interval PR (gambar 28-5). Peningkatan automatisitas sel
myocardial dan perlambatan repolarisasi menimbulkan disritmia atrial dan ventricular.
Efek-efek neuromuskular akibat hipokalemia dapat berupa kelemahan otot-otot
skeletal (terutama quadriceps), ileus, kram otot, tetani, dan kadang-kadang
rhabdomyolisis.Disfungsi renal juga sering terjadi dan bersifat tipikal yang dapat berupa
kegagalan renal untuk mengkonsentrasikan urin (resisten terhadap ADH, menghasilkan
poliuria), retensi sodium, peningkatan bikarbonat, dan peningkatan produksi ammonia, yang
menyebakan terjadinya kegagalan proses pengasaman urin. Peningkatan produksi ammonia
menggambarkan adanya asidosis intrasel; ion H akan masuk ke dalam sel untuk
mengkompensasi hilangnya potassium intrasel. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
alkalosis metabolik. Mengikuti peningkatan produksi ammonia akan dapat mempresipitasi
terjadinya ensefalopati pada pasien-pasien dengan penyakit hati kronis. Hipokalemia kronis
sering dihubungkan dengan fibrosis renal (nefropati tubulointerstitial).
Hipokalemia dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan sekresi insulin dan akan
mengantagonis efek-efek perifernya, seringkali terjadi hiperglikemia bahkan pada individu
yang sebelumnya tidak memiliki diabetes. Perubahan metabolisme protein selama
hipokalemia kronik juga telah dilaporkan dapat menyebabkan terjadinya keseimbangan
nitrogen yang negatif.

Terapi Hipokalemia
Terapi hipokalemia tergantung dari adanya dan beratnya disfungsi organ yang terjadi.
Perubahan EKG yang signifikan seperti perubahan segmen ST atau disritmia membutuhkan
monitoring EKG secara kontinyu, terutama selama pemberian potassium melalui intravena.
Terapi digoksin (dimana dapat menyebabkan hipokalemia itu sendiri) akan membuat otot
jantung sensitif terhadap perubahan konsentrasi ion potassium. Kekuatan otot harus dinilai
juga secara periodik pada pasien yang mengalami kelemahan otot.
Penggantian secara oral dengan larutan potassium klorida biasanya adalah yang paling
aman (60-80 mEq/hari). Penggantian defisit potassium biasanya membutuhkan waktu
beberapa hari. Penggantian secara intravena biasanya harus dilakukan pada pasien-pasien
dengan manifestasi pada jantung yang serius atau terjadi kelemahan otot. Tujuan terapi
intravena adalah untuk mengeluarkan pasien dari keadaan bahaya secepatnya dan tidak perlu
untuk langsung mengkoreksi seluruh defisit potassium. Penggantian melalui intravena perifer
tidak boleh lebih dari 8 mEq/jam dikarenakan adanya efek iritatif potassium pada vena
perifer. Larutan yang mengandung dekstrosa harus dihindari karena dapat menyebabkan
terjadinya hiperglikemia dan sekresi sekunder insulin akan lebih merendahkan [K].
Penggantian intravena yang lebih cepat (10-20 mEq/jam) memerlukan kateter vena sentral
dan monitoring EKG. Kecepatan penggantian yang lebih tinggi akan lebih aman apabila
diberikan melalui kateter femoral dikarenakan [K] lokal yang sangat tinggi dapat terjadi pada
jantung apabila diberikan dengan kateter vena sentral standar. Penggantian intravena tidak
boleh melebihi 240 mEq/ hari.
Potasium klorida merupakan garam potassium yang dipilih bila terjadi pula alkalosis
metabolik karena larutan ini juga akan mengkoreksi defisiensi klorida yang ada. Potasium
bikarbonat atau ekuivalennya (K asetat atau K sitrat) merupakan pilihan pada pasien dengan
asidosi metabolik. Potasium fosfat dapat pula dipakai sebagai alternative saat terjadi pula
hipofosfatemia (pada ketoasidosis diabetik).

Figure 28–5.

Electrocardiographic effects of hypokalemia. Note progressive flattening of the T wave, an increasingly


prominent U wave, increased amplitude of the P wave, prolongation of the P–R interval, and ST-
segment depression.

Pertimbangan Anestetik
Hipokalemia merupakan temuan preoperatif yang paling sering. Keputusan untuk
melakukan operasi elektif biasanya didasarkan padanilai batas bawah antara 3 dan 3,5 mEq/L.
Bagaimanapun juga keputusan yang diambil harus didasari pada kecepatan terjadinya
hipokalemia dengan ada atau tidaknya disfungsi organ skunder. Pada umumnya hipokalemia
ringan yang kronik (3-3,5 mEq/L) tanpa perubahan EKG yang substansial tidak akan
meningkatkan resiko anestesi. Tetapi hal ini tidak berlaku pada pasien yang sedang
mendapatkan pengobatan digoksin yang mungkin akan meningkatkan resiko terjadinya
toksikasi digoksin akibat hipokalemia; pada sebagian pasien diperlukan [K] plasma lebih dari
4 mEq/L.
Manajemen hipokalemia intraoperatif memerlukan monitoring EKG yang lebih
waspada. Potassium intravena harus diberikan apabila terjadi disritmia atrial atau ventricular.
Larutan intravena yang bebas glukosa harus digunakan dan hindari hiperventilasi untuk
mencegah penurunan [K] lebih lanjut. Peningkatan sensitivitas pelemas otot dapat terlihat
pada beberapa pasien. Dosis pelemas otot harus dikurangi 25-50%, dan harus digunakan
stimulator saraf untuk mengetahui derajat paralysis dan adekuasi reversalnya.

HIPERKALEMIA

Hiperkalemia terjadi bila kadar [K] plasma lebih dari 5,5 mEq/L. Hiperkalemia jarang
terjadi pada individu yang normal oleh karena kapasitas ginjal yang sangat hebat untuk
mengekskresi potassium. Bila terjadi peningkatan asupan potassium secara perlahan, ginjal
dapat menekskresi sebanyak 500 mEq potassium perhari. Sistem simpatis dan sekresi insulin
memegang peranan yang penting dalam pencegahan peningkatan [K] plasma secara akut
setelah pemberian potassium.
Hiperkalemia dapat disebabkan oleh: (1).pergeseran ion potassium interkompartemen,
(2).penurunan ekskresi potassium urin, atau walaupun jarang (3).peningkatan asupan
potassium (tabel 28-10). Pengukuran konsentrasi potassium plasma dapat menjadi tidak benar
apabila terjadi hemolisa RBC pada spesimen darah (paling sering berhubungan dengan
penggunaan tourniquet yang terlalu lama saat pengambilan sample). Secara invitro pelepasan
potassium dari sel darah putih pada spesimen darah dapat pula menimbulkan kesalahan dalam
menunjukkan peningkatan level [K] plasma yang diukur saat hitung leukosit > 70.000/μL. Hal
yang sama terjadi pelepasan potassium dari platelet yang timbul bila hitung platelet >
1.000.000/μL.

Table 28–10. Causes of Hyperkalemia.

Pseudohyperkalemia
Red cell hemolysis
Marked leukocytosis/thrombocytosis
Intercompartmental shifts
Acidosis
Hypertonicity
Rhabdomyolysis
Excessive exercise
Periodic paralysis
Succinylcholine
Decreased renal potassium excretion
Renal failure
Decreased mineralocorticoid activity and impaired Na+ reabsorption

Acquired immunodeficiency syndrome


Competitive potassium-sparing diuretiks
Spironolactone
ACE1 inhibitors

Nonsteroidal antiinflammatory drugs


Pentamidine
Trimethoprim
Enhanced Cl– reabsorption
Gordon's syndrome
Cyclosporine
Increased potassium intake
Salt substitutes

1
ACE, angiotensin-converting enzyme.

Hiperkalemia Akibat Pergerakan Potasium ke Ekstraselular


Pergerakan K+ keluar sel dapat terjadi pada pemberian suksinil kolin, asidosis, lisis sel
akibat kemoterapi, hemolisis, rhabdomyolisis, trauma jaringan yang massif, hiperosmolalitas,
overdosis digitalis, pemberian arginin hidroklorida, blokade ß2 adrenergik, dan selama
episode periodic paralysis hiperkalemik. Peningkatan rata-rata [K] 0,5 mEq/L pada
pemberian suksinilkolin akan semakin menyebabkan terjadinya kelebihan potassium pada
pasien luka bakar, trauma otot berat, dan pada pasien dengan trauma tulang belakang (bab.9).
Blokade ß2 adrenergik akan semakin memperkuat terjadinya peningkatan [K] plasma yang
timbul pada saat aktivitas fisik. Digitalis alkan menghambat aktivitas Na-K-ATPase pada
membran sel, kelebihan dosis digitalis telah dilaporkan sebagai penyebab hiperkalemia pada
beberapa pasien. Penggunaan arginin hidroklorida dalam terapi alkalosis metabolik dapat
menyebabkan terjadinya hiperkalemia melalui masuknya ion arginin kationik ke dalam sel
dan ion potassium akan keluar untuk menjaga netralitas elektron.

Hiperkalemia Akibat Penurunan Ekskresi Potasium Renal


Penurunan ekskresi potassium melalui renal dapat terjadi karena (1) reduksi filtrasi
glomerular, (2) penurunan aktivitas aldosteron, atau (3) kelainan sekresi potassium pada
nefron bagian distal.
Kecepatan filtrasi glomerular yang kurang dari 5 ml/menit hampir selalu berhubungan
dengan hiperkalemia. Pasien-pasien dengan derajat kegagalan ginjal yang lebih ringan dapat
pula menimbulkan terjadinya hiperkalemia bila pada saat tersebut terjadi peningkatan
pemasukan potassium (dietary, katabolic, atau iatragonik). Uremia juga dapat menyebabkan
kegagalan aktivitas Na-K-ATPase.
Penurunan aktivitas aldosteron sebagai akibat dari kelainan primer dalam sintesa
hormon adrenal atau kelainan pada sistem renin-aldosteron. Pasien dengan kelainan
insufisiensi adrenal primer (Addison`s disease) dengan defisiensi enzim isolated 21-
hidroksilase akan menyebabkan kegagalan pada sintesa aldosteron. Pada pasien dengan
sindrom isolated hipoaldosteronism (disebut juga hiporeninemik hipoaldosteronism, atau
asidosis tubular renal tipe IV) biasanya pada penderita diabetik dengan kegagalan ginjal
berbagai derajat; hal ini akan menyebabkan kegagalan kemampuan untuk meningkatkan
sekresi aldosteron sebagi respon terhadap hiperkalemia. Walaupun biasanya asimptomatik,
pada pasien-pasien ini terjadi hiperkalemia saat mereka meningkatkan asupan potasiumnya
atau saat mereka menerima diuretik hemat kalium. Mereka juga memiliki berbagai derajat
pada pembuangan Na dan asidosis metabolik hiperkloremik. Temuan yang sama didapatkan
pada beberapa pasien dengan AIDS dimana mereka mengalami insufisiensi adrenal relatif
(akibat infeksi sitomegalovirus).
Pengaruh obat-obatan terhadap sistem renin-aldosteron juga merupakan hal yang
potensial untuk menyebabkan terjadinya hiperkalemia, terutama bila adanya kegagalan ginjal.
Nonsteroidal anti inflammatory agent (NSAID) (kecuali sulindac) akan menghambat
prostaglandin memediasi pelepasan renin. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor
akan mengganggu kerja angiotensin untuk memediasi pelepasan aldosteron. Dosis besar
heparin akan menggangu sekresi aldosteron. Diuretik hemat kalium-spironolakton secara
langsung akan mengantagonis aktivitas aldosteron pada ginjal. Mekanisme siklosporin yang
menyebabkan hiporeninemik hipoaldosteronism masih belum jelas.
Penurunan ekskresi potassium oleh renal dapat pula timbul sebagai akibat intrinsik
atau sebagai kelainan yang didapat pada kemampuan nefron bagian distal untuk mensekresi
potassium. Kelainan tersebut dapat terjadi meskipun pada fungsi ginjal yang normal dan
ditandai dengan tidak adanya respon terhadap terapi mineralokortikoid. Pasien dengan
pseudohipoaldosteronisme menunjukkan adanya resistensi terhadap aldosteron. Kelainan
yang didapat dapat terjadi pada sistemik lupus erythematosus, sickle cell anemia, obstructive
uropathy, dan siklosporin nefropati pada ginjal yang mengalami tranplantasi.

Hiperkalemia Akibat Peningkatan Asupan Potasium


Pemberian potassium yang meningkat pada individu yang normal jarang sampai
menimbulkan hiperkalemia kecuali diberikan dalam jumlah yang besar dan cepat secara
intravena. Tetapi hiperkalemia dapat terjadi saat intake potassium yang meningkat yang
terjadi pada pasien-pasien yang menerima ß2 adrenergik blocker atau pasien dengan
kegagalan ginjal atau defisiensi insulin. Sumber-sumber potassium yang tidak dikenal antara
lain potassium penicillin, sodium substitute (terutama garam-garam potassium), dan transfusi
whole blood yang telah disimpan. [K] plasma dalam tiap unit whole blood dapat meningkat
30 mEq/L setelah 21 hari disimpan. Resiko terjadinya hiperkalemia pada transfusi multipel
telah dikurangi (tetapi bukan dihilangkan) dengan memperkecil volume plasma yang
diberikan dengan menggunakan transfusi paket sel darah merah (bab. 29).

Figure 28–6.
Electrocardiographic effects of hyperkalemia. Electrocardiographic changes characteristically
progress from symmetrically peaked T waves, often with a shortened QT interval, to widening of
the QRS complex, prolongation of the P–R interval, loss of the P wave, loss of R-wave amplitude,
and ST-segment depression (occasionally elevation)—to an ECG that resembles a sine wave—
before final progression into ventricular fibrillation or asystole.

Manifestasi Klinis Hiperkalemia


Efek terpenting dari hiperkalemia adalah pada otot skeletal dan otot jantung.
Kelemahan otot skeletal biasanya tidak terlihat sampai [K] mencapai lebih dari 8 mEq/L.
Kelemahan ini terjadi karena terdapat pemanjangan depolarisasi spontan dan inaktivasi Na
channel di membran sel (sama dengan suksinilkolin). Akhirnya terjadilah ascending paralysis.
Manifestasi pada jantung (gambar 28-6) pada dasarnya berhubungan dengan perlambatan
depolarisasi dan terjadi bila [K] lebih dari 7 mEq/L. Karakteristik EKG akan berubah secara
progress mulai dari gelombang T yang tinggi (seringkali dengan pemendekan interval QT)→
pelebaran kompleks QRS→ pemanjangan interval PR →hilangnya gelombang P→ hilangnya
amplitude gelombang R→ depresi segmen ST (kadang-kadang elevasi)→ ECG mirip dengan
gelombang sinus→ progresi menjadi ventricular fibrilasi dan asistol. Kontraktilitas tampak
relatif baik dipertahankan. Keadaan hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis akan
memperkuat efek hiperkalemia terhadap jantung.

Terapi Hiperkalemia
Hiperkalemia yang lebih dari 6 mEq/L harus diterapi karena potensial lethal. Terapi
yang dilakukan ditujukan untuk mengatasi manifestasi yang timbul pada jantung, dan
kelemahan yang terjadi pada otot skeletal, dan mengembalikan [K] plasma menjadi normal.
Terapi yang diberikan tergantung dari tingkatan beratnya dan juga penyebab utama dari
hiperkalemianya. Hiperkalemia yang berhubungan dengan hiperaldosteronism dapat diterapi
dengan pemberian mineralokotikoid. Obat-obatan yang dapat menyebabkan hiperkalemia
harus dihentikan dan intake potassium harus dikurangi atau dihentikan.
Kalsium (5-10 ml kalsium glukonas atau 3-5 ml kalsium klorida 10%) secara parsial
akan mengantagonis efek-efek hiperkalemia terhadap jantung dan sangat berguna pada pasien
hiperkalemia berat. Efeknya timbul secara cepat tetapi mempunyai durasi yang pendek.Terapi
harus selalu dievaluasi pada pasien yang mendapatkan terapi digoksin karena kalsium dapat
mempotensiasi terjadinya toksisitas digoksin.
Bila terdapat asidosis metabolik dapt diberikan sodium bikarbonat secara intravena
(biasanya 45 mEq) yang akan meningkatkan pengambilan potassium oleh sel dan akan dapat
menurunkan [K] plasma dalam 15 menit. Agonis ß2 adrenergik akan meningkatkan ambilan
potassium oleh selular dan mungkin sangat berguna pada keadaan hiperkalemia akut yang
terjadi pada transfusi massif (bab. 29); dosis rendah epinefrin (0,5-2 μg/menit) dapat secara
cepat menurunkan [K] plasma dan memberikan efek inotropik pada keadaan ini. Infus glukosa
dan insulin secara intravena (30-50 g glukosa per 10 unit insulin) juga efektif untuk
menaikkan ambilan potassium oleh selular dan menurunkan [K] plasma, tetapi membutuhkan
waktu sampai 1 jam untuk mencapai efek puncaknya.
Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal dapat digunakan furosemid sebagai terapi
tambahan yang sangat berguna untuk meningkatkan ekskresi potassium melalui urin. Pada
keadaan dimana ginjal tidak berfungsi, eliminasi dari potassium yang berlebihan hanya dapat
dilakukan dengan memberikan resin pengganti kation yang tidak diserap seperti pemberian
sodium polystyrene sulfonat baik secara oral atau rectal (kayexalat). Tiap gram resin akan
mengikat sampai 1 mEq K dan melepaskan 1,5 mEq Na; dosis oralnya adalah 20 g dalam 100
ml sorbitol 20%.
Dialisa diindikasikan pada pasien-paasien yang simptomatik dengan hiperkalemia
berat atau refrakter. Hemodialisa dapat dengan cepat dan efektif dibandingkan dengan dialysis
peritoneal dalam menurunkan [K] plasma. Potasium maksimal yang dapat dikeluarkan dengan
hemodialisis mendekati 50 mEq/jam sedangkan pada dialysis peritoneal sebanyak 10-15 mEq/
jam.

Pertimbangan Anestetik
Operasi elektif tidak boleh dilakukan pada pasien dengan hiperkalemia. Pengelolan
anestesi pada pasien hiperkalemia yang menjalani pembedahan diarahkan pada usaha untuk
menurunkan konsentrasi potassium plasma dan mencegah peningkatannya lebih lanjut.
Monitoring EKG harus dilakukan dengan hati-hati. Suksinilkolin merupakan kontra indikasi
begitu pula dengan larutan intravena yang mengandung potassium seperti Ringer`s Lactat.
Pencegahan terjadinya asidosis metabolik atau respiratorik adalah hal yang sangat penting
untuk mencegah peningkatan [K] plasma lebih lanjut. Ventilasi harus dikontrol dengan
anesthesia umum; dengan memberikan hiperventilasi yang ringan. Terakhir, fungsi
neuromuskular juga harus dimonitor ketat oleh karena hiperkalemia dapat memperkuat efek-
efek dari obat pelemas otot.

GANGGUAN KESEIMBANGAN KALSIUM

Walaupun hampir 90% dari jumlah total kalsium tubuh berada dalam tulang namun
pengaturan keseimbangan konsentrasi kalsium ekstraselular yang normal adalah hal yang
penting. Ion-ion kalsium berperan dalam fungsi-fungsi biologis yang penting, seperti pada
kontraksi otot, pelepasan hormon dan neurotransmitter, pembekuan darah, dan metabolisme
tulang. Sehingga tidaklah mengejutkan apabila terjadi abnormalitas keseimbangan kalsium
akan menyebabkan gangguan fisiologis.

KESEIMBANGAN NORMAL KALSIUM

Pemasukan kalsium rata-rata pada orang dewasa berkisar antara 600-800mg/hari.


Absorbsi kalsium dalam usus terutama terjadi di dalam usus kecil bagian proksimal tetapi
juga bervariasi. Kalsium juga disekresikan ke dalam saluran intestinal; sekresi ini bersifat
konstan dan independent dari proses absorbsi. Normalnya lebih dari 80% kalsium akan
dikeluarkan melalui feses.
Ginjal bertanggung jawab terhadap ekskresi kalsium. Ekskresi kalsium melalui ginjal
rata-rata adalah 100 mg/hari tetapi nilainya bervariasi mulai dari 50 mg/hari sampai dengan
lebih dari 300 mg/ hari. Normalnya 90% dari kalsium yang difiltrasi akan diserap kembali.
Reabsorbsi kalsium terjadi bersamaan dengan reabsorbsi sodium yang terjadi di tubulus
proksimal ginjal dan di ascending loop of henle. Reabsorbsi kalsium di tubulus distal
tergantung dari sekresi hormon paratiroid, sedangkan reabsorbsi sodium tergantung dari
sekresi aldosteron. Peningkatan sekresi hormon paratiroid akan meningkatkan reabsorbsi
kalsium dan menurunkan ekskresi kalsium melalui urin.

Konsentrasi Kalsium Plasma


Konsentrasi kalsium plasma yang normal adalah 8,5-10,5 mg/dl (2,1-2,6 mmol/L).
Kira-kira 50%nya berada dalam bentuk ion bebas, 40% terikat dengan protein (terutama
albumin), dan 10% membentuk kompleks dengan anion seperti sitrat dan asam amino.
Konsentrasi ion kalsium bebas secara fisiologis adalah yang terpenting. [Ca] plasma normal
berkisar 4,5-5 mg/dl (2,2-2,5 mEq/L atau 1,1-1,25 mmol/L. perubahan pada konsentrasi
albumin plasma akan mempengaruhi konsentrasi total kalsium tetapi tidak mempengaruhi
konsentrasi ion kalsium; untuk tiap peningkatan atau penurunan 1 g/dl albumin akan diikuti
dengan peningkatan atau penurunan konsentrasi total kalsium plasma kira-kira 0,8-1,0 mg/dl.
Perubahan pada pH plasma secara langsung akan mempengaruhi ikatan dengan
protein dan demikian pula konsentrasi ion kalsium. Peningkatan ion kalsium kira-kira 0,16
mg/dl untuk setiap 0,1 unit penurunan pH plasma dan akan mengalami penurunan dengan
nilai yang sama pada peningkatan tiap satu unit pH.

Regulasi Konsentrasi Ion Kalsium Ekstraselular


Secara normal kalsium akan masuk kedalam cairan ekstraselular melalui absorbsi di
saluran intestinal atau resorbsi dari tulang; hanya 0,5-1% kalsium dalam tulang yang dapat
bertukaran dengan cairan ekstraselular. Sebaliknya kalsium akan keluar dari cairan
ekstraselular secara normal melalui: (1) deposisi kedalam tulang, (2) ekskresi melalui urin, (3)
sekresi kedalam saluran pencernaan, dan (4) melalui pembentukan keringat.[Ca] ekstraselular
diregulasi oleh 3 hormon, yaitu; hormon paratiroid, vitamin D, dan kalsitonin. Ketiga hormon
ini bekerja di dalam tulang, tubulus distal ginjal, dan pada usus kecil.
PTH adalah regulator [Ca] plasma yang terpenting. Penurunan [Ca] plasma akan
menstimulasi sekresi PTH, sedangkan peningkatan [Ca] plasma akan menghambat sekresi
PTH. Efek kalsemik dari hormon paratiroid adalah (1) memobilisasi kalsium dari tulang, (2)
meningkatkan reabsorbsi kalsium di tubulus distal renal (3) secara tidak langsung
meningkatkan kalsium di intestinal melalui akselerasi sintesa 1,25 dihidroksikolekalsiferol di
ginjal (lihat bawah).
Vitamin D dalam tubuh ada dalam beberapa bentuk tetapi 1,25
dihidroksikolekalsiferol adalah bentuk yang mempunyai aktivitas biologis yang
terpenting.Bentuk ini merupakan hasil dari metabolisme dari kolekalsiferol yang oleh hati
akan dirubah menjadi 25 kolekalsiferol dan kemudian oleh ginjal akan dirubah lagi menjadi
1,25 dihidroksikolekalsiferol. Perubahan menjadi bentuk yang terakhir inilah yang
ditingkatkan oleh hormon paratiroid seperti halnya pada hipofosfatemia. Vitamin D akan
menambah absorbsi kalsium dari intestinal, memfasilitasi aksi hormon paratiroid pada tulang,
dan menambah reabsorbsi kalsium di tubulus distal.
Kalsitonin adalah hormon polipeptida yang disekresikan oleh sel parafolikular
kelenjar tiroid. Sekresi hormon ini distimulasi oleh keadaan hiperkalsemia dan diinhibisi oleh
keadaan hipokalsemia. Kalsitonin akan menginhibisi reabsorbsi oleh tulang dan
meningkatkan ekskresi kalsium melalui urin.

HIPERKALSEMIA

Hiperkalsemia dapat timbul akibat berbagai kelainan (tabel 28-11). Terutama adalah
hiperparatioid dimana sekresi paratiroid hormon akan meningkat dan hal ini tidak dipengaruhi
oleh [Ca]. Sebaliknya pada keadaan hiperparatiroid sekunder (gagal ginjal kronik atau
malabsorbsi) peningkatan jumlah hormon paratiroid adalah merupakan respon dari keadaan
hipokalsemia kronik (bab. 32). Hiperparatiroid skunder yang berlarut kadang-kadang akan
menyebabkan sekresi PTH secara otonom yang mengakibatkan [Ca] berada dalam kadar
normal atau meningkat (hiperparatiroid tersier).
Pasien dengan kanker dapat memberikan gambaran hiperkalsemia baik apakah itu
dengan metastase pada tulang ataupun tidak. Destruksi tulang yang terjadi secara langsung
atau sekresi mediator humoral pada hiperkalsemia (PTH like substance, sitokin,, atau
prostaglandin) kemungkinan bertanggung jawab pada sebagian besar pasien. Hiperkalsemia
yang berhubungan dengan peningkatan pengeluaran kalsium dari tulang dapat pula terjadi
pada pasien dengan penyakit yang tidak ganas seperti Paget`s disease dan imobilisasi yang
kronis. Peningkatan absorbsi kalsium oleh intestinal dapat menimbulkan hiperkalsemia pada
pasien dengan milk-alkali syndrome (ditandai dengan peningkatan intake kalsium),
hipervitaminosis D, atau penyakit granulomatosa (memperkuat sensitivitas terhadap vitamin
D). Mekanisme lain terjadinya hiperkalsemia belum banyak diketahui.

Table 28–11. Causes of Hypercalcemia.

Hyperparathyroidism
Malignancy
Excessive vitamin D intake
Paget's disease of bone
Granulomatous disorders (sarcoidosis, tuberculosis)
Chronic immobilization
Milk-alkali syndrome
Adrenal insufficiency
Drug-induced
Thiazide diuretiks
Lithium

Manifestasi Klinis Hiperkalsemia


Hiperkalsemia sering menimbulkan keadaan anoreksia, mual, muntah, kelemahan, dan
poliuria. Ataksia, iritabilitas, lethargi atau konfusi dapt berkembang secara cepat menjadi
koma. Hipertensi sering kali timbul awal sebelum terjadi hipovolemia.Tanda-tanda dari EKG
dapat berupa pemendekan segmen ST dan pemendekan interval QT. Hiperkalsemia akan
meningkatkan sensitivitas jantung terhadap digitalis. Pankreatitis, penyakit ulkus peptikum,
dan gagal ginjal dapat juga menimbulkan hiperkalsemia.

Terapi Hiperkalsemia
Hiperkalsemia yang telah menimbulkan gejala harus secepatnya diterapi. Terapi yang
paling efektif adalah dengan melakukan diuresis cepat (output urin 200-300 ml/jam) dengan
memberikan infuse salin intravena dan loop diuretik untuk mengakselerasi ekskresi kalsium.
Biasanya diperlukan juga penggantian potassium dan magnesium. Hiperkalsemia yang berat
(>15mg/dL) memerlukan juga biphosphonat (pamidronat 60-90 mg) atau kalsitonin (2-8
unit/kg bb). Dialisis diperlukan bila pada pasien terdapat kegagalan ginjal atau jantung. Terspi
tambahan tergantung dari penyebabnya dapat diberikan glukokortikoid, plicamycin
(mythramicyn), atau phosfat.

Pertimbangan Anestesi
Hiperkalsemia merupakan kedaruratan medis dan harus dikoreksi, dan jika
memungkinkan dilakukan sebelum dilakukan pemberian anestesi. Level ion Ca harus
dimonitor secara ketat. Jika pembedahan harus dilakukan maka diuresis dengan salin harus
dilanjutkan intraoperatif dengan memperhatikan jangan sampai terjadi keadaan hipovolemia;
disarankan dilakukan monitoring dengan central venous pressure atau artery pulmonalis
pressure pada pasien dengan penurunan cadangan jantung. Pemeriksaan [K] dan [Mg] serial
akan sangat menolong untuk mendeteksi adanya hipokalemia iatrogenic dan hipomagnesemia.
Respon terhadap anestesi tidak dapat diprediksi. Ventilasi harus dikontrol dengan melalui
anestesi umum. Keadaan asidosis harus dicegah agar tidak terjadi peningkatan [Ca] plasma
lebih lanjut.

HIPOKALSEMIA

Hipokalsemia harus didiagnosis berdasarkan konsentrasi ion kalsium plasma. Bila


pemeriksaan [Ca] plasma secara langsung tidak dapat dilakukan, konsentrasi kalsium total
tetap harus dikoreksi untuk menurunkan konsentrasi albumin plasma (lihat atas). Penyebab
hipokalsemia terdapat dalam tabel 28-12.
Hipokalsemia yang berhubungan dengan keadaan hipoparatiroid relatif sering
menyebabkan hipokalsemia simptomatik. Hipoparatiroid dapat terjadi karena surgical,
idiopatik, bagian dari kelainan endokrin multiple (paling sering insufisiensi adrenal), atau
berhubungan dengan hipomagnesemia. Defisiensi magnesium dikatakan dapat menggagalkan
sekresi PTH dan mengantagonis efeknya pada tulang. Hipokalsemia yang terjadi pada saat
sepsis berhubungan dengan supresi pelepasan hormon paratiroid. Hiperphosfatemia juga
merupakan penyebab yang relatif sering dari hipokalsemia terutama pada pasien dengan gagal
ginjal kronik. Hipokalsemia yang berhubungan dengan defisiensi vitamin D kemungkinan
terutama disebabkan karena reduksi intake (nutrisional), malabsorbsi vitamin D, atau
abnormalitas metabolisme vitamin D.
Reaksi ion kalsium dengan ion sitrat pada pemberian darah merupakan penyebab
terpenting dari hipokalsemia intraoperatif; sama dengan terjadinya penurunan [Ca] yang
secara teori mungkin terjadi setelah pemberian besar infus albumin. Hipokalsemia yang
terjadi pada pankreatitis akut berhubungan dengan terjadinya presipitasi kalsium dengan
lemak setelah pelepasan enzim lipolitik dan nekrosis lemak; Hipokalsemia yang terjadi pada
emboli lemak memiki dasar yang sama. Presipitasi kalsium (pada otot yang cedera) dapat juga
terlihat pada rhabdomyolisis.
Penyebab yang lebih jarang dari hipokalsemia adalah calcitonin-secreting medullary
carcinomas dari tiroid, osteoblastic metastatic disease (kanker payudara dan prostate), dan
pseudohipoparatiroid (unresponsive terhadap hormon paratiroid yang bersifat familial).
Hipokalsemia juga dapat terjadi pada pemberian heparin, protamin, atau glukagon.
Manifestasi Klinis Hipokalsemia
Manifestasinya dapat berupa parestesi, konfusi, laryngeal stridor (laryngospasm),
carpopedal spasme (trousseau`s sign), masseter spasme (chovstek`s sign), dan kejang. Kolik
biliaris dan bronkospasme juga dapat terjadi. Iritabilitas jantung dapat menimbulkan aritmia.
Penurunan kontraktilitas jantung dapat mengakibatkan gagal jantung, hipotensi, atau
keduanya. Penurunan respon terhadap digitalis dan agonis ß- aderenergik telah dilaporkan
dapat terjadi. Pada EKG terjadi pemanjangan interval QT. Tingkatan berat manifestasi pada
EKG tidak berhubungan dengan derajat hipokalsemia.

Table 28–12. Causes of Hypocalcemia.

Hypoparathyroidism
Pseudohypoparathyroidism
Vitamin D deficiency
Nutritional
Malabsorption
Postsurgical (gastrectomy, short bowel)
Inflammatory bowel disease
Altered vitamin D metabolism
Hyperphosphatemia
Precipitation of calcium
Pancreatitis
Rhabdomyolysis
Fat embolism
Chelation of calcium
Multiple rapid red blood transfusions or rapid infusion of large amounts of albumin

Terapi Hipokalsemia
Hipokalsemia yang simptomatik merupak keadaan darurat medis dan harus diterapi
secepatnya dengan kalsium klorida intravena (3-5 ml larutan 10%) atau kalsium glukonas (10-
20 ml larutan 10%).(10 ml dari CaCl2 berisi 272 mg Ca, sedangkan 10 ml kalsium glukonas
10% berisi hanya 93 mg Ca). Untuk mencegah terjadinya presipitasi maka pemberian
calsium intravena tidak boleh diberikan bersamaan dengan larutan yang mengandung
bikarbonat atau phosfat. Disarankan juga untuk melakukan pemeriksaan ion kalsium secara
serial. Pemberian secara bolus yang berulang atau infuse yang kontinyu (Ca 1-2 mg/kg
bb/jam) mungkin diperlukan. Konsentrasi magnesium plasma harus diperiksa untuk
menyingkirkan keadaan hipomagnesemia. Pada keadaan hipokalsemia kronis biasanya
diperlukan pemberian kalsium secara oral (CaCO3), dan vitamin D. Terpi untuk
hipophosfatemia akan dibicarakan di bawah.

Pertimbangan Anestesi
Keadaan hipokalsemia harus dikoreksi saat preoperative. Pada pasien dengan riwayat
hipokalsemia,kadar ion kalsium serial harus selalu dimonitor saat intraoperatif. Alkalosis
harus dihindari untuk mencegah penurunan [Ca] lebih lanjut. Pemberian kalsium intravena
mungkin diperlukan setelah pemberian setelah pemberian secara cepat transfuse darah yang
mengandung produk sitrat atau setelah pemberian larutan albumin dalam jumlah besar.
(bab.29). Potensiasi dari efek inotropik negatif barbiturate dan anestetik volatile dapat terjadi.
Respon terhadap obet pelemas otot bersifat tidak konsisten dan memerlukan monitoring ketat
dengan stimulator saraf.

KELAINAN KESEIMBANGAN PHOSFOR

Phosfor merupakan konstituen intraselular yang penting yang diperlukan pada sintesa
(1) phosfolipid dan phosfoprotein pada sel membran dan organelle intraselular, (2)
phosfonukleatida terlibat dalam sintesa protein dan reproduksi, (3) ATP digunakan untuk
penyimpanan energi. Hanya 0,1% dari total phosphor dalam tubuh yang berada dalam cairan
ekstraselular; 85% berada dalam tulang dan 15% berada dalam intraselular.

KESEIMBANGAN NORMAL PHOSFOR

Intake phosphor rata-rata pada orang dewasa berkisar 800-1500mg/dL. 80% dari
jumlah tersebut diabsorbsi si bagian proksimal dari usus kecil. Vitamin D akan meningkatkan
absorbsi phosphor. Ginjal merupakan tempat ekskresi phosphor yang utama dan
bertanggungjawab pada pengaturan kadar phosphor total dalam tubuh. Ekskresi phosphor
melalui urin tergantung pada intake dan konsentrasi plasmanya. Sekresi hormon paratiroid
akan meningkatkan ekskresi phosphor melalui urin dengan menghambat reabsorbsi pada
tubulus proksimal dimana efek ini disebabkan untuk menyeimbangi pelepasan phosfat dari
tulang yang diinduksi oleh PTH.

Konsentrasi Phosfor Plasma


Phosfor plasma berada dalam bentuk organik maupun nonorganik. Phosfor organik
terutama berada dalam bentuk phosfolipid. 80% dari fraksi phosphor non organik dapat
difiltrasi oleh ginjal, sedangkan 20%nya terikat dengan protein. Phosfor inorganik sebagian
besar berbentuk H2PO4- dan HPO4- dengan rasio 1:4. Phosphor plasma diukur dalam
milligram dari phosfor dasar. Konsentrasi phosphor plasma pada orang dewasa yang normal
berkisar antara 2,5-4,5 mg/dL (0,8-1,45 mmol/L) dan sampai 6 mg/dL pada anak-anak.
Konsentrasi phosphor plasma biasanya diukur pada saat puasa, hal ini dikarenakan intake
karbohidrat akan menurunkan konsentrasi phosphor plasma. Hipophosfatemia akan
meningkatkan produksi vitamin D, sedangkan hiperfosfatemia akan menurunkannya. Keadaan
yang terakhir ini memainkan peranan yang penting pada terjadinya hiperparatiroid skunder
pada pasien dengan gagal ginjal kronik (bab 32).

Hiperphosfatemia
Hiperphosfatemia dapat terjadi pada intake phosphor yang meningkat
(penyalahgunaan laksatif phosphor atau pemberian potassium phosfat yang berlebihan),
penurunan ekskresi phosphor (pada insufisiensi renal), atau lisis sel yang massif (setelah
kemoterapi pada limfoma atau leukemia).

Manifestasi Klinis Hiperphosfatemia


Hiperphosfatemia sendiri tidak mempunyai peranan langsung pada terjadinya
gangguan fungsional, tetapi efeknya pada [Ca] plasma menjadi begitu penting.
Hiperphosfatemia menandakan terdapatnya [Ca] yang rendah melalui presipitasi dan deposisi
kalsium phosfat dalam tulang dan jaringan lunak.

Terapi Hiperphosfatemia
Hiperphosfatemia pada umumnya diterapi dengan memberikan phosfat-binding
antacids seperti alumunium hidroksida atau alumunium karbonat.
Pertimbangan Anestetik
Interaksi antara hiperphosfatemia dengan anestesi secara umum belum dapat
dijelaskan, oleh karenanya fungsi ginjal harus dievaluasi secara hati-hati (bab. 32).
Hipokalsemia tidak termasuk dalam hal tersebut.

HIPOPHOSFATEMIA

Hipofosfatemia merupak akibat dari keseimbangan phosphor yang negatif atau


ambilan selular terhadap phosphor ekstraselular (pergeseran interkompartemen). Pergeseran
phosphor interkompartemen dapat terjadi pada keadaan alkalosis, dan setelah memakan
sejumlah karbohidrat atau pemberian insulin. Pemberian dosis besar antacid yang
mengandung alumunium atau magnesium, luka bakar berat, suplementasi phosphor yang
tidak adekuat selama hiperalimentasi, ketoasidosis diabetik, alcohol withdrawal, dan alkalosis
respiratorik yang memanjang dapat menyebabkan keseimbangan phosphor yang negatif dan
dapat menjadi hipophosfatemia berat (<0,3 mmol/dL atau <1.0 mg/dL). Sebaliknya pada
alkalosis metabolik jarang menyebabkan terjadinya hipophosfatemia.

Manifestasi Klinis Hipophosfatemia


Hipophosfatemia ringan sampai berat (1,5-2,5 mg/dL) biasanya bersifat asimptomatik.
Sebaliknya pada keadaan hipophosfatemia berat (<1,0 mg/dL) sering dihubungkan dengan
disfungsi organ yang luas. Kardiomyopati yang menyebabkan kegagalan penghantaran
oksigen, hemolisis, kegagalan fungsi leukosit, disfungsi platelet, ensefalopati, myopati
skeletal, kegagalan pernapasan, rhabdomyolisis, demineralisasi skeletal, asidosis metabolik,
dan disfungsi hepar, semuanya biasanya dihubungkan dengan hipophosfatemia berat.

Terapi Hipophosfatemia
Penggantian phosphor secara oral lebih menjadi pilihan dibandingkan dengan
pemberian secara intravena, hal ini dikarenakan resiko terjadinya hipokalsemia dan kalsifikasi
metastatik. Potasium atau sodium phosfat (2-5 mg elemen phosphor per kilogram, atau 10-45
mmol secara lambat selama 6-12 jam) secara intravena biasanya digunakan untuk koreksi
hipophosfatemia simptomatik yang berat.

Pertimbangan Anestetik
Manajemen anestesi untuk pasien dengan hipophosfatemia memerlukan pengetahuan
tentang komplikasinya (lihat atas). Keadaan hiperglikemia dan alkalosis respiratorik harus
dihindari untuk mencegah penurunan phosphor plasma yang lebih lanjut. Fungsi
neuromuskular harus dimonitor secara hati-hati bila diberikan obat pelemas otot. Beberapa
pasien dengan hipophosfatemia yang berat memerlukan ventilasi mekanik pada saat post
operatif.

GANGGUAN KESEIMBANGAN MAGNESIUM

Magnesium merupakan kation intraselular yang penting yang berfungsi sebagai ko-
faktor pada beberapa jalur enzim. Hanya 1-2% dari total magnesium tubuh yang tersimpan
dalam kompartemen ekstraselular; 67% terdapat dalam tulang sedangkan sisanya 31%
terdapat dalam intraselular.

KESEIMBANGAN NORMAL MAGNESIUM

Intake magnesium rata-rata pada orang dewasa berkisar 20-30 mEq/hari (240-370
mg/hari). Dari jumlah tersebut hanya 30-40% yang akan diserap terutama di usus kecil bagian
distal. Jalur eliminasinya yang utama adalah melaui ginjal dengan rata-rata 6-12 mEq/hari.
Reabsorbsi magnesium oleh ginjal sangat efisien. 25% magnesium yang difiltrasi akan
direabsorbsi di tubulus proksimal, sedangkan 50-60% akan direabsorbsi dalam loop of henle
pars ascendense. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan reabsorbsi magnesium di ginjal,
yaitu: hipomagnesemia, hormon paratiroid, hipokalsemia, deplesi CES, dan alkalosis
metabolik. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan ekskresi magnesium dari ginjal, yaitu:
hipermagnesemia, ekspansi volume akut, hiperaldosteronism, hiperkalsemia, ketoasidosis,
diuretik, deplesi phosfat, dan minuman alkohol.

Konsentrasi Magnesium Plasma


[Mg] plasma diregulasi berada antara 1,5-2,1 mEq/L (0,7-1 mmol/L atau 1,7-2,4
mg/dL). Meskipun mekanisme-mekanisme dimana magnesium terlibat belum jelas, tetapi
mereka terlibat dalam interaksi di saluran gastrointestinal (absorbsi), tulang (penyimpanan),
dan ginjal (ekskresi). Kira-kira 50-60% magnesium plasma berada dalam keadaan yang tidak
terikat dan mudah berdifusi.

HIPERMAGNESEMIA
Peningkatan [Mg] plasma hampir selalu berhubungan dengan intake yang berlebihan
(antasid atau laksatif yang mengandung magnesium), kegagalan ginjal (GFR <30ml/menit),
atau keduanya. Hipermagnesemia iatrogenic dapat terjadi selama terapi dengan magnesium
sulfat pada hipertensi gestasional yang terjadi baik pada ibu maupun dengan fetus. Penyebab
yang lebih jarang antara lain insufisiensi adrenal, hipotiroid, rhabdomyolisis, dan pemberian
lithium.

Manifestasi Klinis Hipermagnesemia


Hipermagnesemia simptomatik dapat memberikan manifestasi neurologist,
neuromuskular, atau manifestasi kardiak. Karakteristik yang muncul berupa
hiporefleksia,sedasi dan kelemahan otot skeletal. Hipermagnesemia akan menyebabkan
kegagalan pelepasan asetilkolin dan menurunkan sensitivitas motor end-plate di otot terhadap
asetilkolin. Pada level >10mmol/dL (>24 mg/dL) dapat menyebabkan vasodilatasi,
bradikardia, dan depresi myocardial yang dapat menimbulkan hipotensi. Tanda-tanda EKG
tidak konsisten tetapi sering terjadi pemanjangan interval PR dan pelebaran kompleks QRS.
Hipermagnesia berat dapat mengakibatkan respiratory arrest.

Terapi Hipermagnesemia
Semua sumber intake yang mengandung magnesium harus dihentikan (paling sering
antacid). Efek hipermagnesemia secara temporer dapat diantagonis dengan pemberian
kalsium intravena (1g kalsium glukonas). Pemberian loop diuretik dengan infuse normal salin
dalam 5% dekstrosa akan meningkatkan ekskresi Magnesium melalui urin. Diuresis
menggunakan normal salin biasanya tidak dianjurkan pada keadaan hipokalsemia iatrogenik
karena akan mempotensiasi efek hipermagnesemia. Dialisis diperlukan pada pasien dengan
kegagalan ginjal.

Pertimbangan Anestetik
Hipermagnesemia memerlukan monitoring terhadap EKG, tekanan darah, dan fungsi
neuromuskular. Potensiasi dari efek vasodilatasi dan inotropik negatif dari zat anestetik dapat
terjadi. Dosis dari obat pelemas otot harus dikurangi 25-50%. Penggunakan kateter urin
diperlukan bila dipergunakan diuretik dan infuse salin untuk meningkatkan ekskresi
magnesium (lihat atas). Pemeriksaan kadar [Ca] dan [Mg] serial akan berguna.

HIPOMAGNESEMIA
Hipomagnesemia adalah masalah yang umum dan sering terjadi, terutama pada pasien
dengan sakit kritis. Sering kali terdapat hubungan dengan defisiensi komponen intraselular
yang lain seperti potassium dan phosphor. Defisiensi magnesium biasanya dikarenakan intake
yang tidak adekuat, penurunan absorbsi gastrointestinal, atau peningkatan ekskresi renal
(tabel 28-13). Agonis beta adrenergic dapat menyebabkan hipomagnesemia melalui
pengambilan ion oleh jaringan. Obat-obatan dapat meningkatkan pembuangan magnesium
oleh ginjal yaitu ethanol, teofilin, diuretik, sisplatin, aminoglikosid, siklosporin, amfoterisin
B, pentamidin, dan granulocyt colony stimulating faktor.

Manifestasi Klinis Hipomagnesemia


Kebanyakan pasien dengan hipomagnesemia tidak memberikan gejala, namun gejala
yang mungkin timbul berupa anoreksia, kelemahan, fasikulasi, parestesia, konfusi, ataksia,
dan kejang. Hipomagnesemia sering berhubungan dengan keadaan hipokalsemia (karena
kegagalan sekresi hormon paratiroid) dan hipokalemia (berhubungan dengan pembuangan
renal). Manifestasi kardiak dapat berupa iritabilitas elektrik dan potensiasi toksisitas digoksin;
kedua faktor tersebut akan diperberat oleh hipokalemia. Dapat pula timbul pemanjangan
interval PR dan QT dan biasanya merefleksikan hipokalsemia.

Table 28–13. Causes of Hypomagnesemia.

Inadequate intake
Nutritional
Reduced gastrointestinal absorption
Malabsorption syndromes
Small bowel or biliary fistulas
Prolonged nasogastric suctioning
Severe diarrhea
Increased renal losses
Diuresis
Diabetik ketoacidosis
Hyperparathyroidism
Hyperaldosteronism
Hypophosphatemia
Drugs
Postobstructive diuresis
Multifaktorial
Chronic alcoholism
Protein–calorie malnutrition
Hyperthyroidism
Pancreatitis
Burns

Terapi Hipomagnesemia
Hipomagnesemia asimptomatik dapat diterapi secara oral (magnesium sulfat
heptahidrat atau magnesium oksida) atau secara intramuskular (magnesium sulfat).
Manifestasi yang serius seperti kejang harus diterapi dengan magnesium sulfat interavena 1-2
g(8-16 mEq atau 4-8 mol) diberikan secara lambat dalam waktu 15-60 menit.

Pertimbangan anestetik
Meskipun tidak ada interaksi yang spesifik yang dapat digambarkan, namun gangguan
elektrolit yang biasanya menyertainya harus dikoreksi sebelum pembedahan, seperti
hipokalemia, hipophosfatemia, dam hipokalsemia. Hipomagnesemia yang ditemukan harus
dikoreksi sebelum prosedur eleltif karena dapat berpotensi menimbulkan aritmia jantung.
Sedangkan magnesium mempunyai efek antiaritmia intrinsik dan mungkin memiki efek
ptektif terhadap serebral (bab.25).

DISKUSI KASUS: ABNORMALITAS ELEKTROLIT SETELAH DIVERSI URIN

Seorang lelaki berumur 70 tahun dengan karsinoma bladder mengalami sistektomi


radikal dan ileal loop urinary diversion. Beratnya 70 kg dan mempunyai riwayat hipertensi
selama 20 tahun. Pemeriksaan laboratorium preoperative menggambarkan konsentrasi
elektrolit plasma yang normal dan BUN: 20 mg/dL dengan kreatinin serum 1,5 mg/dL.
Operasi berlangsung selama 4 jam dan tidak terdapat komplikasi anestesi. Perkiraan darah
yang hilang sebanyak 900 ml. Cairan yang diberikan sebanyak 3500 ml Ringer`s injection
dan 750ml albumin 5%.
Satu jam setelah di bawa ke ruang pemulihan, tekanan darahnya 130/70 mmhg dan
dapat bernapas dengan baik (18 kali/menit, FiO2=0,4). Pengeluaran urin hanya 20 ml dalam
satu jam terakhir. Pemeriksaan laboratorium: Hb 10,4 g/dL, Na plasma 133 mEq/L, K 3,8
mEq/L, Cl 104 mEq/L, CO2 total 20 mmol/L, PaO2 156 mmhg, pH darah arterial 7,29,
PaCO2 38 mmhg, HCO3- 18 mEq/L.

Apakah penjelasan yang paling tepat untuk keadaan hiponatremia?


Terdapat multiple faktor yang menyebabkan terjadinya hiponatremia post operatif,
yaitu sekresi ADH nonosmotik (stress pembedahan, hipovolemia, dan nyeri), penguapan
yang banyak, dan kehilangan cairan yang fungsional, dan pemberian cairan intravena yang
hipotonik. Hiponatremia sering terjadi pada post operatif pada pasien yang menerima injeksi
Ringer`s laktat dalam jumlah besar ( 130 mEq/L); [Na] post operatif biasanya mendekati 130
mEq/L pada beberapa pasien. (Penggantian cairan pada pasien ini telah sesuai dengan
mempertimbangkan kebutuhan pemeliharaan, kehilangan darah, dan tambahan kehilangan
cairan yang dihubungkan dengan tipe pembedahannya (lihat bab 29).

Mengapa pasien ini mengalami hiperkloremik dan asidosis (pH darah arterial normal
adalah 7,35-7,45)?
Operasi diversi urin supravesica dilakukan pada segmen usus (ileum, segmen
ileocecal, jejunum, atau kolon sigmoid) yang dibuat untuk saluran atau reservoir. Prosedur
yang paling sederhana dan umum adalah dengan mengisolasi ileum sebagai saluran; ujung
proksimal dianastomosis ke ureter dan ujung distal dibuatkan stoma ke kulit.
Saat urin kontak dengan mukosa usus, terjadi potensi perubahan yang signifikan pada
cairan dan elektrolit. Ileum akan secara aktif mengabsorbsi klorida bertukaran dengan
bikarbonat dan sodium bertukaran dengan potassium atau ion hydrogen. Bila absorbsi klorida
melebihi absorbsi sodium maka konsentrasi klorida plasma akan meningkat sedangkan
konsentrasi bikarbonat plasma akan menurun dan terjadilah asidosis metabolik hiperkloremik.
Sebagai tambahan, kolon akan mengabsorbsi NH4 secara langsung dari urin yang dapat juga
ditimbulkan oleh pemecahan urea oleh bakteri.Hipokalemia timbul jika jumlah yang
signifikan dari Na bertukaran dengan K. Kehilangan potassium melalui saluran tersebut akan
ditingkatkan melalui konsentrasi sodium urin yang tinggi. Defisit potassium dapat terjadi-
walaupun tidak terdapat hipokalemia- dikarenakan pergerakan K keluar sel (asidosis skunder)
dapat mencegah penurunan [K] plasma ekstraselular.

Apakah ada faktor yang mendukung peningkatan kemungkinan asidosis metabolik


hiperkloremik setelah diversi Urin?
Semakin panjang urin kontak dengan usus maka semakin besar kemungkinan
terjadinya hiperkloremia dan asidosis akan timbul. Masalah-masalah mekanis seperti
sedikitnya pengosongan atau panjangnya saluran- tersendiri dari hipovolemia- yang dibuat
menjadi predisposisi terjadinya asidosis metabolik hiperkloremik. Kegagalan ginjal yang
sedang terjadi juga menjadi faktor resiko yang besar dan kemungkinan menyebabkan
ketidakmampuan untuk mengkompensasi kelebihan bikarbonat yang berlebihan.

Apakah terapi yang dibutuhkan pada pasien ini (jika ada)?


Ileal loop harus diirigasi dengan salin-dengan memasukkan kateter atau stent- untuk
menyingkirkan obstruksi parsial dan memastikan drainase urin yang bebas. Adanya
hipovolemia harus dipertimbangkan untuk diterapi dengan berdasrkan pada pengukuran
central venous pressure atau respon terhadap fluid challenge (bab 29). Asidosis sistemik yang
ringan sampai sedang (pH arteri.7,25)lebih dapat ditolerir dengan baik pada sebagian besar
pasien. Sedangkan asidosis metabolik hiperkloremik setelah pembuatan saluran ileal sering
kali menyebabkan stasis urin. Asidosis persisten atau yang lebih berat memerlukan terapi
dengan bikarbonat. Penggantian potassium juga diperlukan jika terdapat hipokalemia.

Apakah kelainan elektrolit juga terjadi pada diversi urin tipe lainnya?
Prosedur yang membuat usus sebagai saluran (ileal atau kolonik) lebih dapat
menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik dibandingkan dengan membuat usus sebagai
saluran. Insiden dari asidosis metabolik hiperkloremik mendekati 80% setelah dilakukan
ureterosigmoidostomi. Sebaliknya teknik yang lebih baru dengan reservoir kontinen seperti
the Kock Pouch dan Indiana pouch memiliki insiden yang sangat kecil untuk terjadinya
abnormalitas elektrolit post operatif.

Anda mungkin juga menyukai