terkait sering terjadi dalam masa perioperatif. Sejumlah besar cairan intravena sering
dibutuhkan untuk mengkoreksi kekurangan cairan dan mengkompensasi hilangnya darah
selama operasi. Oleh karena itu ahli anestesi harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang
fisiologi cairan dan elektrolit yang normal. Gangguan besar terhadap keseimbangan cairan
dan elektrolit dapat menimbulkan perubahan yang cepat terhadap fungsi kardiovaskular,
neurologis, dan neuromuskular.
KOMPARTEMEN CAIRAN
Cairan tubuh didistribusikan antara dua kompartemen besar cairan yang dipisahkan
oleh membran sel menjadi: cairan intra sel (CIS) dan cairan ekstra sel (CES). Cairan ekstra sel
terbagi menjadi kompartemen intravaskular dan interstisial. Cairan interstisial meliputi cairan
yang berada di luar sel dan di luar endotel vaskular.
Table 28–1. Body Fluid Compartments (Based on Average 70-kg
Male).
Compartment Fluid as Percent Body Weight Total Body Water Fluid Volume
(%) (%) (L)
Intracellular 40 67 28
Extracellular
Interstitial 15 25 10.5
Intravaskular 5 8 3.5
Total 60 100 42
Jumlah cairan dalam setiap kompartemen ditentukan oleh komposisi zat yang terlarut
dan konsentrasinya. Perbedaan dari konsentrasi zat terlarut sangat berhubungan dengan
karakteristik fisik dari sekat pemisah yang memisahkan masing-masing kompartemen. Gaya
osmotik dihasilkan dengan `diperangkapnya` zat-zat terlarut yang membentuk distribusi air
antar kompartemen dan yang paling pokok pada masing-masing volume kompartemen.
Table 28–2. The Composition of Fluid Compartments.
Extracellular
Gram-Molecular Intracellular Intravaskular Interstitial
Weight (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L)
Sodium 23.0 10 145 142
Potassium 39.1 140 4 4
Calcium 40.1 <1 3 3
Magnesium 24.3 50 2 2
Chloride 35.5 4 105 110
Bicarbonate 61.0 10 24 28
1
Phosphorus 31.0 75 2 2
Protein 16 7 2
(g/dL)
CAIRAN INTRASELULER
Membran sel bagian luar memegang peranan penting dalam mengatur volume dan
komposisi intraseluler. Pompa ATP-dependent terikat membran akan mempertukarkan Na
dengan K dengan perbandingan 3:2. Oleh karena membran sel relatif tidak permeable tehadap
ion sodium dan ion potassium, potassium terkonsentrasikan di dalam sel sedangkan ion
sodium terkonsentrasikan di ekstra sel. Akibatnya, potassium menjadi faktor dominan yang
menentukan tekanan osmotik intraseluler, sedangkan sodium merupakan faktor terpenting
yang menentukan tekanan osmotik ekstraseluler.
Impermeabilitas membran sel terhadap protein menyebabkan konsentrasi protein
intraseluler yang tinggi. Oleh karena protein merupakan zat terlarut non difusif (anion), rasio
pertukaran yang tidak seimbang dari 3 Na+ dengan 2 K+ oleh pompa membran sel adalah hal
yang penting untuk pencegahan hiperosmolaritas intraseluler relatif. Gangguan pada aktivitas
Na+-K+-ATPase, yang terjadi pada keadaan iskemi atau hipoksia, akan menyebabkan
pembengkakan sel progresif.
CAIRAN EKSTRASELULER
Fungsi dasar dari cairan ekstraseluler adalah menyediakan nutrisi bagi sel dan
memindahkan produk pembuangan sel. Mempertahankan volume ektrasel yang normal-
terutama komponen sirkulasi (volume intravaskular) adalah hal yang sangat penting. Oleh
sebab itu secara kuantitatif sodium merupakan kation ekstraseluler terpenting dan merupakan
faktor utama dalam menentukan tekanan osmotik dan volume. Perubahan dalan volume cairan
ekstraseluler berhubungan dengan perubahan jumlah total sodium dalam tubuh. Hal ini
tergantung dari intake sodium, ekskresi sodium renal, hilangnya sodium ekstra renal (lihat
bawah).
Cairan Interstisial
Normalnya sebagian kecil cairan interstisial dalam bentuk cairan bebas. Sebagian
besar cairan interstisial secara kimia berhubungan dengan proteoglikan ekstraseluler
membentuk gel. Pada umumnya tekanan cairan interstisial adalah negatif (kira-kira -5
mmHg). Bila terjadi peningkatan volume cairan interstisial maka tekanan interstisial juga
akan meningkat dan kadang-kadang menjadi positif. Pada saat hal ini terjadi, cairan bebas
dalam gel akan meningkat secara cepat dan secara klinis akan menimbulkan edema.
Figure 28–1.
The relationship between blood volume and extracellular fluid volume.
(Modified and reproduced, with permission, from Guyton AC: Textbook of Medical
Physiology, 7th ed. W.B. Saunders, 1986
Hanya sebagian kecil dari protein plasma yang dapat melewati celah kapiler, sehingga
kadar protein dalam cairan interstisial relatif rendah (2 g/dL). Protein yang memasuki ruang
interstisial akan dikembalikan kedalam sistim vaskular melalui sistim limfatik.
Caiarn Intravaskular
Cairan intravaskular (plasma) terbatas dalam ruangan intravaskular oleh endotel
vaskular. Sebagian besar elektrolit dapat dengan bebas melalui plasma dan interstisium yang
menyebabkan komposisi elektrolit keduanya tidak jauh berbeda. Bagaimanapun juga, ikatan
antar sel endotel yang kuat akan mencegah keluarnya protein dari ruang intravaskular.
Akibatnya plasma protein (terutama albumin) merupakan satu-satunya zat terlarut secara
osmotik aktif dalam pertukaran cairan antara plasma dan cairan interstisial.
Difusi adalah gerakan acak dari molekul yang disebabkan energi kinetik yang
dimilikinya dan bertanggung jawab terhadap sebagian besar pertukaran cairan dan zat
terlarutnya antara kompartemen satu dengan yang lain. Kecepatan difusi suatu zat melewati
sebuah membran tergantung pada (1) permeabilitas zat terhadap membran, (2) perbedaan
konsentrasi antar dua sisi, (3) perbedaan tekanan antara masing-masing sisi karena tekanan
akan memberikan energi kinetik yang lebih besar, dan (4) potensial listrik yang
menyeberangi membran akan memberi muatan pada zat tersebut.
Difusi antara cairan interstisial dan cairan intraselular dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme: (1) secara langsung melewati lapisan lemak bilayer pada membran sel, (2)
melewati protein chanel dalam membran, (3) melalui ikatan dengan protein carier yang
reversible yang dapat melewati membran (difusi yang difasilitasi). Oksigen, CO2, air, dan
molekul larut lemak akan menembus membran sel secara langsung. Kation-kation seperti Na+,
K+ dan Ca2+ tidak mudah menembus membran dan dapat berdifusi hanya melalui kanal protein
spesifik. Keluarnya ion melalui kanal ini tergantung pada tegangan membran dan ikatannya
dengan pengikat (seperti asetil kolin) terhadap reseptor membran. Glukosa dan asam amino
berdifusi dengan bantuan protein karier terikat membran.
Pertukaran cairan antara ruangan interstisial dan intraselular dibangun oleh daya
osmotik yang diciptakan oleh perbedaan konsentrasi zat terlarut nondifusif. Perubahan relatif
pada osmolalitas antara kompartemen intraselular dan interstisial menghasilkan perpindahan
air dari kompartemen yang hipoosmolar menuju kompartemen yang hiperosmolar.
Dinding kapiler mempunyai ketebalan 0,5μm, terdiri dari satu lapis sel endotel dengan
membran dasar. Celah interseluler, dengan lebar 6-7 nm, memisahkan masing-masing sel dari
sel didekatnya. Oksigen, CO2, air dan zat larut lemak dapat menembus secara langsung
endotel membran sel. Hanya substansi dengan berat molekul rendah, larut dalam air seperti
sodium, klorida, Potasium, dan glukosa yang dapat melewati celah intersel. Substansi dengan
molekul yang besar seperti plasma protein sangat sulit untuk menembus celah endotel
(kecuali pada hati dan paru-paru dimana terdapat celah yang lebih besar).
Pertukaran cairan melewati kapiler berbeda dengan melewati membran sel dimana hal
ini dihasilkan oleh perbedaan yang signifikan pada tekanan hidrostatik sebagai tambahan dari
daya osmotik (gambar 28-2). Gaya ini bekerja pada arterial dan vena diujung kapiler.
Akibatnya terdapat tendensi bagi cairan untuk bergerak keluar kapiler pada ujung arteri dan
masuk ke dalam kapiler pada ujung vena. Besarnya daya ini berbeda untuk jenis jaringan
yang beragam. Tekanan arteri kapiler ditentukan oleh tonus sfingter prekapiler. Dengan
demikian kapiler membutuhkan tekanan yang tinggi seperti pada glomeruli yang mempunyai
tonus sfingter prekapiler yang lemah sedangkan tekanan kapiler otot yang rendah mempunyai
tonus sfingter prekapiler yang tinggi. Normalnya 10% dari cairan yang difiltrasi akan
direabsorbsi kembali kedalam kapiler. Cairan yang tidak direabsorbsi (kira-kira 2ml/mnt)
akan memasuki cairan interstisial dan dikembalikan melalui aliran limfatik menuju
kompartemen intravaskular kembali.
Figure 28–2.
Capillary fluid exchange. The numbers in this figure are in mm Hg and indicate the pressure
gradient for the respective pressures. "Net" refers to the net pressure at either end of the capillary,
ie, 13 mm Hg at the arterial and 7 mm Hg at the venous end of the capillary.
KELAINAN KESEIMBANGAN CAIRAN
Saat lahir tubuh manusia mengandung kira-kira 75% air dari total beratnya. Saat
berumur 1 tahun akan turun menjadi 65%, dan pada saat dewasa menjadi 60% pada laki-laki
dan 50% pada perempuan. Kandungan lemak yang lebih tinggi pada wanita akan menurunkan
kandungan airnya. Dengan alasan yang sama, obesitas dan usia yang lanjut juga menurunkan
kandungan air.
Intake cairan yang normal seorang dewasa rata-rata sebanyak 2500ml, dimana kira-
kira 300 ml merupakan hasil dari metabolisme substrat untuk menghasilkan energi..
Kehilangan air harian rata-rata sekitar 2500 ml dan secara kasar diperkirakan 1500 ml hilang
melalui urin, 400 ml melalui penguapan saluran napas, 400 ml melalui penguapan kulit, 100
ml melalui keringat, dan 100 ml melalui feses. Kehilangan cairan melalui proses penguapan
sangatlah penting dalam proses termoregulasi oleh karena normalnya sebesar 20-25% dari
hilangnya panas.
Baik osmolalitas CES dan CIS keduanya diregulasi secara ketat untuk
mempertahankan keseimbangan cairan normal dalam jaringan. Perubahan dalam komposisi
cairan dan volume sel akan menyebabkan timbulnya kerusakan fungsi yang serius, terutama
pada otak (lihat bawah).
Osmolalitas CES setara dengan jumlah konsentrasi dari semua zat terlarut. Oleh
karena Na+ dan ionnya merupakan hampir 90% dari jumlah zat terlarut maka osmolaritasnya
dapat diperkirakan melalui persamaan :
Dikarenakan sodium dan potassium adalah zat terlarut intasel dan ekstrasel yang terbesar,
maka berturut-turut:
Berdasarkan prinsip-prinsip ini maka efek isotonik, hipotonik, dan hipertonik pada cairan di
kompartemen dan osmolalitas plasma dapat diperhitungkan (table 28-3). Potensi yang
terpenting dari konsentrasi potassium intrasel dapat tergambarkan dari persamaan ini. Oleh
karenanya kehilangan potassium yang signifikan akan menyebakan hiponatremia.
Table 28–3. Effect of Different Fluid Loads on Extracellular and Intracellular Water
Contents.1
A. Normal
Total body solute = 280 mOsm/kg x 42 kg = 11,760 mOsm
Intracellular solute = 280 mOsm/kg x 25 kg = 7000 mOsm
Extracellular solute = 280 mOsm/kg x 17 kg = 4760 mOsm
Extracellular sodium concentration = 280 ÷ 2 = 140 mEq/L
Intracellular Extracellular
Osmolality 280 280
Volume (L) 25 17
Net water gain 0 0
B. Isotonis load: 2 L of Isotonis saline (NaCl)
Total body solute = 280 mOsm/kg x 44 kg = 12,320 mOsm
Intracellular solute = 280 mOsm/kg x 25 kg = 7000 mOsm
Extracellular solute = 280 mOsm/kg x 19 kg = 5320 mOsm
Intracellular Extracellular
Osmolality 280 280
Volume (L) 25 19
Net water gain 0 2
Net effect: Fluid remains in extracellular compartment.
C. Free water (hypotonic) load: 2 L water
New body water = 42 + 2 = 44 kg
New body osmolality = 11,760 mOsm ÷ 44 kg = 267 mOsm/kg
New intracellular volume = 7000 mOsm ÷ 267 mOsm/kg = 26.2 kg
New extracellular sodium concentration = 267 ÷ 2 = 133 mEq/L
Intracellular Extracellular
Osmolality 267.0 267.0
Volume (L) 26.2 17.8
Net water gain +1.2 +0.8
Net effect: Fluid distributes between both compartments.
D. Hypertonic load: 600 mEq NaCl (no water)
Total body solute = 11,760 + 600 = 12,360 mOsm/kg
New body osmolality = 12,360 mOsm/kg ÷ 42 kg = 294 mOsm
New extracellular solute = 600 + 4760 = 5360 mOsm
New extracellular volume = 5360 mOsm ÷ 294 mOsm/kg = 18.2 kg
New intracellular volume = 42 – 18.2 = 23.8 kg
New extracellular sodium concentration = 294 ÷ 2 = 147 mEq/L
Intracellular Extracellular
Osmolality 294.0 294.0
Volume (L) 23.8 18.2
Net water gain –1.2 +1.2
Net effect: An intracellular to extracellular movement of water.
1
Based on a 70-kg adult male.
Pada keadaan patologis, glukosa dan urea bisa mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
osmolalitas ekstrasel. Perkiraan yang lebih akurat dari osmolalitas plasma dapat kita peroleh
dari persamaan berikut:
Dimana [Na+] dinyatakan dlm mEq/L dan BUN dan Glukosa dinyatakan dalam mg/dl. Urea
merupakan osmol yang tidak efektif dikarenakan sangat mudah menembus membran sel dan
oleh karenanya biasanya diabaikan dari perhitungan ini:
Osmolalitas plasma diregulasi oleh Hipotalamus yang mengontrol sekresi anti diuretik
hormon (ADH) dan mekanisme haus. Osmolalitas plasma akan dijaga pada keadaan yang
relatif normal melalui pemasukan dan pengeluaran cairan.
RASA HAUS
Aktivasi osmoreseptor di area preoptik lateral dari hipotalamus dengan peningkatan
osmolalitas CES menyebabkan timbulnya rasa haus dan menyebabkan seseorang minum air.
Sebaliknya, keadaan hipoosmolal akan menekan rasa haus. Rasa haus merupakan mekanisme
utama pertahanan tubuh untuk mengatasi hiperosmolalitas dan hipernatremia, karena hal ini
merupakan satu-satunya mekanisme untuk meningkatkan intake cairan.
Hiperosmolalitas akan timbul saat jumlah zat terlarut total dalam tubuh meningkat
relatif terhadap berat badan total dan biasanya tetapi tidak selalu berhubungan dengan
hipernatremia ([Na+] > 145 mEq/L). Hiperosmolalitas tanpa hipernatremia dapat terlihat pada
keadaan hiperglikemia atau bila terjadi akumulasi secara osmotik abnormal dari substansi
aktif dalam plasma (lihat atas). Konsentrasi sodium plasma dapat secara aktual menurun pada
saat air keluar dari kompartemen intrasel menuju kompartemen ekstrasel. Untuk setiap
peningkatan 100 mg/dL konsentrasi glukosa plasma akan menurunkan sodium plasma kira-
kira sebesar 1.6 mEq/L.
Pasien hipernatreia bisa hipovolemik, euvolemik, atau hipervolemik. Hipernatremia
hampir selalu dikarenakan akibat dari kehilangan relaitf cairan pada kelebihan sodium
(hypotonic fluid loss) atau akibat retensi sejumlah besar sodium. Saat kemampuan ginjal
untuk mengkonsentrasikan urin terganggu, rasa haus merupakan mekanisme yang sangat
efektif untuk mencegah hipernatremia. Hipernatremia sering terjadi pada pasien yang sulit
minum, orang tua, orang yang sangat muda, dan pada pasien dengan gangguan kesadaran.
Pasien dengan disnatremia dapat memiliki jumlah total sodium dalam tubuh yang rendah,
normal atau bahkan tinggi.
Hypovolemic hypernatremia
Body fluid loss (eg, burns, sweating)
Diuretic use
Gastrointestinal loss (eg, vomiting, diarrhea, fistulas)
Heat injury
Osmotic diuresis (eg, hyperosmolar nonketotic coma, enteral feeding)
Post-obstructive diuresis
Euvolemic hypernatremia
Central diabetes insipidus
Nephrogenic diabetes insipidus
Fever
Hyperventilation/mechanical ventilation
Meedicationd (eg. Amphotericin aminoglycosides, lithium, phenytoin)
Sickle cell diasease
Suprasellar and infrasellar tumors
Hypervolemic hypernatremia
Cushing syndrome
Hemodialysis
Hyperaldosteronism
Iatrogenic (eg, salt tablet or salt water ingestion, saline infusions, saline enemas,
Intravenous bicarbonate, enteral feedings)
S
Penatalaksanaan Hipernatremia
Terapi hipernatermia bertujuan untuk mengembalikan osmolalitas plasma kepada
keadaan normal dengan sekaligus mengkoreksi faktor penyebabnya. Defisit cairan harus
diterapi dalam waktu lebih dari 48 jam, dikarenakan koreksi cepat dapat menyebabkan edema
otak. Penggunaan air bebas enteral lebih menguntungkan jika tersedia, tetapi larutan intravena
hipotonis seperti cairan 5% dekstrosa dalam air juga bisa digunakan. Abnormalitas volume
ekstrseluler juga harus dikoreksi. Pasien hipernatremia dengan kadar sodium total tubuh yang
menurun harus diberikan larutan isotonis untuk mengembalikan volume plasma kembali
normal sebelum diberikan terapi dengan larutan hipotonik. Pasien hipernatremik dengan
kadar sodium tubuh yang meningkat harus diterapi dengan loop diuretik dan 5% dekstrosa
dalam air secara intravena.
Figure 28–3.
Koreksi hipernatremia secara cepat dapat menimbulkan kejang, edema otak, kerusakan
neurologi permanen, dan bahkan kematian. Osmolalitas Na+ serial harus diperiksa selama
terapi. Secara umum konsentrasi sodium plasma tidak boleh diturunkan lebih cepat dari 0,5
mEq/L/jam.
Contoh: Seorang laki-laki dengan berat badan 70 kg mempunyai [Na+] plasma 160
mEq/L. Berapakah defisit cairannya?
Jika diasumsikan hipernatreminya hanya disebabkan oleh karena kehilangan cairan
saja, kemudian menyebabkan osmolalitas tubuh total tidak berubah. Dengan demikian dengan
mengasumsikan kadar normal [Na+] sebesar 140 mEq/L dan jumlah cairan tubuh total sebesar
60% berat badan:
Normal TBW x 140 = TBW saat ini x [Na+]plasma atau 70 x 0,6 x 140 = TBW saat ini x 160
Pertimbangan Anestetik
Pada penelitian dengan binatang, hipernatremia akan meningkatkan konsentrasi
alveolar minimum (MAC) dari anestesi inhalasi, tetapi secara klinis signifikan lebih
berhubungan dengan defisit cairan. Hipovolemia akan menonjolkan terjadinya vasodilatasi
atau depresi kardiak oleh obat-obat anestesi dan menjadi predisposisi terjadinya hipotensi dan
hipoperfusi jaringan. Penurunan volume distribusi dari obat-obatan mengharuskan dilakukan
pengurangan dosis obat terutama obat-obatan intravena, sedangkan penurunan cardiac output
akan meningkatkatkan uptake dari obat-obatan anestesi inhalasi.
Bahkan peningkatan sodium serum ringan berkaitan dengan peningkatan morbiditas,
mortalitas, dan lama perawatan perioperatif, dan karena itu hipernatremia tidak boleh
diindahkan. Operasi elektif pada pasien dengan hipernatremia yang signifikan (>150 mEq/L)
harus ditunda sampai penyebabnya ditemukan dan defisit cairan yang ada dikoreksi.
Hiponatremia merefleksikan variasi pada retensi cairan, dari peningkatan total cairan
tubuh (TBW) atau hilangnya sodium relatif berlebihan dibandingkan kehilangan air.
Kapasitas normal ginjal untuk untuk memproduksi urin dengan osmolalitas sekitar 40
mOsm/kg (berat jenis 1.001) menyebabkan tejadinnya pengeluaran air lebih dari 10 L perhari
jika diperlukan. Oleh karena besarnya cadangan ini, hiponatremia biasanya hampir selalu
merupakan akibat dari kelainan pada kapasitas dilusi urin (osmolalitas urin > 100 mOsm/kg
atau berat jenis >1.003). Kejadian hiponatremia tanpa abnormalitas kapasitas dilusi ginjal
(osmolalitas urin < 100 mOsm/kg) biasanya dihubungkan dengan polidipsia primer atau
`reset` osmoreseptor; dua kondisi terakhir dapat dibedakan dari retriksi cairannya.
Secara klinis, klasifikasi hiponatremia berdasarkan kadar total sodium tubuh (tabel 49-
6).
Hiponatremia tanpa adanya keadaan edema atau hipovolemia mungkin dapat terjadi
pada insufisiensi glukokortikoid, hipotiroid, terapi obat (klorpropamid dan siklofosfamid),
sindrom sekresi anti diuretik hormon yang tidak tepat (SIADH). Hiponatremia yang
berhubungan dengan hipofungsi adrenal mungkin berhubungan dengan ko-sekresi ADH
dengan corticotrophin release faktor (CRF). Pada pasien HIV sering menunjukkan adanya
hiponatremia yang mungkin terjadi akibat infeksi adrenal oleh sitomegalovirus atau
mikobakteri. Diagnosis SIADH ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab
yang lain dari hiponatremia dan tidak adanya hipovolemia, edema, dan penyakit-penyakit
adrenal, renal, atau penyakit tiroid. Penyakit-penyakit seperti Tumor ganas, penyakit paru, dan
kelainan vena sentral biasanya dihubungkan dengan SIADH. Pada kebanyakan kasus tidak
terjadi peningkatan kadar ADH plasma tetapi terjadi supresi relatif terhadap derajat
osmolalitas plasma yang inadekuat; osmolalitas urin biasanya > 100 mOsm/kg dan
konsentrasi sodium urin > 40 mEq/L.
1
Adapted from Rose RD: Clinical Physiology of Acid-Base and Electrolyte Disorders, 3rd ed.
McGraw-Hill, 1989.
Tanda tanda utama hiponatremia adalah bersifat neurologist dan diakibatkan oleh
peningkatan air pada intrasel. Tingkat keparahannya biasanya dihubungkan dengan kecepatan
terjadinya hipoosmolalitas ekstraseluler. Pasien dengan hiponatremia ringan sampai sedang
([Na] > 125 mEq/L0 biasanya tidak menunjukkan gejala-gejala. Tanda-tanda awal biasanya
tidak spesifik dan dapat berupa anoreksia, nausea, dan kelemahan tubuh. Terjadinya edema
serebral yang progresif menyebabkan timbulnya lethargi, bingung, kejang, koma, dan
akhirnya menimbulkan kematian. Manifestasi yang serius biasanya dihubungkan dengan
konsentrasi sodium plasma yang < 120 mEq/L. Wanita dalam masa premenopause
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan dan kerusakan neurologis
dibandingkan dengan pria.
Pasien dengan kronik hiponatremia atau hiponatremia yang terjadi secara perlahan
biasanya tidak banyak menunjukkan tanda-tanda. Kompensasi bertahap dari hilangnya solute
intraseluler (terutama Na+, K+, dan asam amino) akan terjadi untuk mengembalikan volume
sel menjadi normal. Tanda-tanda neurologist pada pasien dengan hiponatremia kronis
mungkin dihubungkan dengan perubahan potensial membran (berhubungan dengan
rendahnya [Na+]) yang kemudian akan merubah volume sel.
Terapi Hiponatremia
Seperti halnya hipernatremia begitu pula dengan terapi hiponatremia yang dilakukan dengan
mengkoreksi gangguan dasar dan mengkoreksi [Na+] plasma. Salin isotonis (bab 29)
merupakan terapi pilihan pasien hiponatremia dengan penurunan kadar sodium tubuh. Saat
defisit cairan ekstraseluler dikoreksi maka diuresis ari yang spontan akan mengembalikan
[Na] menjadi normal. Sebaliknya, retriksi cairan merupakan terapi untuk pasien hiponatremi
dengan total sodium tubuh yang normal atau meningkat. Terapi yang lebih spesifik dapat pula
dilakukan seperti pemberian hormon pada pasien dengan hipofungsi adrenal atau tiroid den
tindakan-tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan cardiac output pada pasien gagal
jantung. Demeclocyclin yang merupakan antagonis aktivitas ADH pada tubulus renal
dibuktikan sangat berguna sebagi terapi tambahan untuk retriksi cairan pada terapi pasien
dengan SIADH.
Hiponatremia akut simptomatik membutuhkan terapi yang cepat. Koreksi [Na]
menjadi >130 mEq/L biasanya cukup untuk meringankan gejala-gejala. Sejumlah larutan
NaCl diperlukan untuk meningkatkan [Na] plasma lepada nilai yang diinginkan. Defisit [Na]
dapat diestimasi dengan rumus berikut:
Defisit Na+ = Cairan Tubuh Total x ([Na+] yang diinginkan – [Na+] saat ini)
Koreksi hiponatremia yang sangat cepat dapat menyebabkan demyelinisasi pada pons yang
mengakibatkan sekuele neurologist permanent yang serius. Kecepatan untuk mengkoreksi
hiponatremia harus disesuaikan dengan beratnya gejala-gejala. Kecepatan koreksi yang
disarankan adalah:0,5 mEq/L/jam atau kurang untuk gejala yang ringan; 1 mEq/L/jam atau
kurang untuk gejala-gejala moderat; dan 1,5 mEq/L/jam atau kurang untuk Gejala-gejala yang
berat.
Contoh: Seorang wanita dengan berat 80 kg berada dalam keadaan lethargi dengan
[Na] plasma 118 mEq/L. Berapa NaCl yang harus diberikan untuk meningkatkan [Na]
plasmanya menjadi 130 mEq/L ?
Cairan Tubuh Total pada wanita diperkirakan 50% dari berat badan:
Sedangkan saline normal (isotonis) mengandung 154 mEq/L, maka pasien tersebut harus
menerima 480 mEq ÷ 154 mEq/L atau sebanyak 3,12 L saline normal. Kecepatan koreksi
yang dilakukan adalah 0,5 mEq/L/jam, maka jumlah normal saline harus diberikan lebih dari
24 jam (130 ml/jam).
Sebagai catatan bahwa perhitungan tersebut belum termasuk defisit cairan isotonik
yang terjadi bersamaan yang juga harus diganti.
Koreksi hiponatremia yang cepat dapat dilakukan dengan memberikan loop diuretik
untuk merangsang pengeluaran cairan saat mengganti kehilangan sodium urin dengan salin
isotonis. Walaupun koreksi cepat juga dapat dilakukan dengan memberikan Salin hipertonik
(3% NaCl) tetapi ini diindikasikan untuk pasien simptomatik dengan [Na} <110 mEq/L dan
harus diberikan secara hait-hati karena dapat mencetuskan terjadinya edema paru terutama
pada pasien dengan Sodium tubuh yang meningkat.
Pertimbangan Anestesi
Hiponatremia merupakan manifestasi yang serius dari gangguan yang mendasarinya
dan memerlukan evaluasi preoperative yang hati-hati. Konsentrasi sodium plasma yang lebih
dari 130 mEq/L merupakan nilai yang aman bagi pasien yang akan menjalani anestesi umum.
Untuk operasi elektif [a] plasma harus dikoreksi menjadi diatas 130 mEq/L walaupun tidak
terdapat gejala-gejala. Konsentasi yang lebih rendah dari itu dapat menyebabkan edema
serebri yang signifikan yang dapat timbul intraoperatif juga penurunan konsentrasi minimum
alveolar, atau timbulnya agitasi, confusion, atau somnolen yang timbul pada pasca operasi.
Pda pasien yang akan menjalani reseksi prostate transurethtral dapat menyerap jumlah air
irigasi yang signifikan (sebesar 20 ml/menit) dan merupakan resiko tinggi untuk terjadinya
intoksikasi air akut yang dapat terjadi secara cepat ( bab. 33).
Algorithm for treatment of hyponatremia.
GANGGUAN KESEIMBANGAN SODIUM
Volume cairan ekstraseluler secara langsung proporsional dengan dengan jumlah total
sodium dalam tubuh. Variasi volume CES disebabkan karena perubahan jumlah total sodium
tubuh. Keseimbangan sodium yang positif akan meningkatkan volume CES, sedangkan
keseimbangan yang negatif akan menurunkan volume CES. Penting untuk menegaskan
kembali bahwa konsentrasi sodium plasma ekstraseluler lebih indikatif terhadap
keseimbangan cairan dibandingkan jumlah total sodium tubuh.
Keseimbangan sodium sama dengan asupan sodium total (rata-rate 170 mEq/hari pada
dewasa) dikurangi ekskresi sodium oleh renal dan kehilangan sodium ekstra renal. (Satu gram
sodium menghasilkan 43 mEq ion sodium, sedangkan 1 g sodium klorida menghasilkan 17
mEq ion sodium). Kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sodium kurang dari 1 mEq/L
sampai lebih dari 100 mEq/L menyebabkan ginjal sebagai pemegang peranan yang penting
dalam menentukan keseimbangan sodium.
Adanya hubungan antara volume CES dengan kadar sodium tubuh total menyebabkan
regulasinya berhubungan erat dengan yang lainnya. Regulasi ini terjadi melaui sensor (lihat
bawah) yang mendeteksi perubahan komponen penting pada CES yaitu volume efektif
intravaskular. Hal ini lebih berhubungan dengan kecepatan pada perfusi kapiler renal
dibandingkan dengan mengukur volume cairan intravaskular (plasma). Pada gangguan
edematosa (gagal jantung, sirosis, dan gagal ginjal), Volume efektif intravaskular dapat
independent untuk mengukur volume plasma, volume CES, dan bahkan cardiac output.
Volume CES dan jumlah sodium tubuh total dikontrol terutama melalui ekskresi
sodium oleh renal. Pada keadaan dimana tidak adanya kelainan pada ginjal, terapi diuretik,
dan iskemi renal selektif, konsentrasi sodium urin merefleksikan volume interavaskular
`efektif`. Konsentrasi sodium urin yang rendah (<10 mEq/L) secara umum menunjukkan
volume cairan intravaskular `efektif` yang rendah dan merefleksikan adanya retensi sodium
oleh renal.
Mekanisme Kontrol
Banyak mekanisme yang terlibat dalam mengatur volume CES dan keseimbangan
cairan normal yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya tetapi dapat pula berfungsi
independent. Sebagai tambahan dalam perubahan ekskresi sodium renal, beberapa mekanisme
juga menghasilkan kompensasi respon hemodinamik yang cepat saat volume intravaskular
`efektif` berkurang (bab. 19).
A. Sensor Volume: Reseptor volume dalam tubuh adalah baroreseptor. Oleh karena
tekanan darah dihasilkan oleh cardiac output dan tahanan vaskular sistemik (bab. 19), maka
perubahan yang signifikan pada volume intravaskular (preload) tidak hanya akan
mempengaruhi cardiac output tetapi juga mempengaruhi tekanan darah arterial. Dengan
demikian baroreseptor yang berada pada sinus karotikus dan arteriol renal (apparatus
juxtaglomerulus) secara tidak langsung berfungsi sebagai sensor dari volume volume
intravaskular. Perubahan tekanan darah pada sinus karotis akan memodulasi sistem saraf
simpatis dan sekresi ADH nonosmotik, sedangkan perubahan pada arteriol afferent renal akan
memodulasi sistem angiotensin-aldosteron. Reseptor regangan pada atrium juga dapat
mengetahui perubahan pada volume intravaskular; derajat distensinya akan memodulasi
pelepasan hormon natriuretik atrial dan ADH.
B. Efektor Perubahan Volume: Perubahan pada volume akan memberikan efek pada
perubahan ekskresi sodium melalui urin. Penurunan pada volume intravaskular `efektif` akan
menurunkan ekskresi sodium dalam urin, sedangkan peningkatan volume intravaskular
`efektif` akan meningkatkan ekskresi sodium melalui urin. Mekanisme yang terlibat adalah:
1. Renin-angiotensin-aldosteron; Sekresi renin akan menyebabkan peningkatan
pembentukan angiotensin II. Kemudian angiotensin II akan meningkatkan sekresi aldosteron
dan memberikan efek berupa peningkatan reabsorbsi sodium pada tubulus proksimal renal.
Angiotensin II juga merupakan vasokonstriktor direk yang kuat dan mempotensiasi
norepinefrin. Sekresi aldosteron menambah reabsorbsi sodium di distal nefron (bab. 13) dan
merupakan faktor dominant dari ekskresi sodium urin.
2. Atrial Natriuretic Peptide (ANP); Peptida ini akan dilepaskan oleh kedua atrium bila
atrium mengalami distensi. NAP mempunyai dua aksi utama yaitu vasodilatasi dan
meningkatkan ekskresi sodium urin dan air pada saluran pengumpul renal. ANP memediasi
dilatasi arteriolar afferent dan kontriksi arteriole efferent serta meningkatkan GFR. Efek lain
yang dilaporkan berupa inhibisi sekresi renin dan aldosteron dan antagonis dari ADH.
3. Pressure Natriuresis; Peningkatan yang kecil dari tekanan darah sudah dapat
menyebabkan peningkatan besar yang relatif pada ekskresi sodium urin. Pressure diuresis
terjadi secara independent dari mekanisme humoral atau mekanisme neural.
4. Aktivitas Sistem Saraf Simpatik; Peningkatan aktivitas simpatik akan meningkatkan
absorbsi sodium pada tubulus proksimal renal, dan menimbulkan vasokonstriksi renal, yang
akan mereduksi aliran darah renal (bab 31). Sebaliknya, stimulasi reseptor regangan pada
atrial kiri akan menurunkan tonus simpatis renal dan akan meningkatkan aliran darah renal
(reflek kardiorenal) dan filtrasi glomerular.
5.Glomerular Filtration Rate dan konsentrasi sodium plasma; Jumlah sodium yang difiltrasi
oleh ginjal sebanding dengan GFR dan konsentrasi sodium plasma. Dikarenakan GFR secara
langsung berhubungan dengan volume intravaskular maka peningkatan volume intravaskular
akan meningkatkan ekskresi sodium. Sebaliknya, pengurangan volume intravaskular akan
menurunkan ekskresi sodium.
6. Keseimbangan Tubuloglomerular; meskipun terdapat variasi dalam jumlah sodium yang
difiltrasi oleh nefron tetapi reabsorbsi sodium di tubulus proksimal renal dalam keadaan
normal dikontrol dalam batas-batas normal. Faktor-faktor yang dipertimbangkan
bertanggungjawab pada keseimbangan tubuloglomerular adalah kecepatan aliran tubular
renal, dan perubahan hidrostatik kapiler peritubular dan tekanan onkotik. Perubahan
reabsorbsi sodium pada tubulus proksimal akan memberikan efek pada ekskresi sodium renal.
7. Hormon Antidiuretik; Walaupun sekresi ADH mempunyai efek yang kecil pada ekskresi
sodium tetapi sekresi nonosmotik dari hormon ini mempunyai peranan yang penting dalam
menjaga volume ekstraseluler dengan penurunan moderat sampai berat pada volume
intravaskular `efektif`.
1
Adapted from Rose RD: Clinical Physiology of Acid-Base and Electrolyte Disorders, 3rd ed.
McGraw-Hill, 198
Impikasi Anestetik
Masalah-masalah yang berkaitan dengan perubahan keseimbangan sodium dihasilkan
dari manifestasi-manifestasi yang terjadi dan juga dari kelainan yang mendasarinya.
Gangguan keseimbangan sodium akan menimbulkan gejala hipovolemia (defisit sodium) atau
hipervolemia (kelebihan sodium). Kedua gangguan tersebut memerlukan koreksi sebelum
menjalani prosedur pembedahan elektif. Fungsi jantung, hati, dan renal harus dievaluasi
dengan teliti pada keadaan kelebihan sodium (biasanya dimanifetasikan berupa edema
jaringan).
Pasien-pasien dengan hipovolemia sensitif terhadap efek vasodilatasi dan inotropik
negatif dari obat anestesi volatile, barbiturate, dan obat-obatan yang bersifat histamine-release
(morpin, meperidin, kurare, atrakurium). Dosis yang dibutuhkan harus dikurangi untuk
mengkompensasi penurunan volume distribusinya. Pasien hipovolemia sangat sensitif
terhadap blokade simpatis pada anestesi spinal dan epidural. Bila obat anestesi harus
diberikan sebelum koreksi selesai dilakukan, ketamin merupakan obat induksi pilihan pada
anestesi umum; etomidat dapat dipakai sebagai alternative.
Hipervolemia harus dikoreksi sebelum operasi dengan memberikan diuretik.
Abnormalitas pada fungsi jantung, ginjal dan hati harus juga dilakukan jika memungkinkan.
Bahaya yang sangat besar dari peningkatan volume ekstraseluler adalah kegagalan pertukaran
gas yang berhubungan dengan edema paru, edema alveolar, atau efusi pleura dan cairan asites.
Potasium memegang peranan yang penting dalam elektrofisiologi membran sel (bab.
19) sama halnya dengan karbohidrat dan sintesa protein (lihat bawah). Potensial membran
istirahat normalnya tergantung pada rasio konsentrasi potassium intraseluler dan ekstraseluler.
Konsentrasi potassium intraseluler diperkirakan sebesar 140 mEq/L, sedangkan ekstraseluler
normalnya sekitar 4 mEq/L. Meskipun regulasi potassium intraseluler sulit untuk dimengerti,
[K+] ekstraseluler secara umum merefleksikan keseimbangan antara asupan dan ekskresi
potassium.
Pada beberapa keadaan (lihat bawah), redistribusi K+ antara kompartemen CES dan
CIS dapat menghasilkan perubahan [K+] tanpa perubahan pada jumlah potassium total tubuh.
HIPOKALEMIA
Hipokalemia didefinisikan sebagai keadaan dimana [K] plasma yang kurang dari 3,5
mEq/L dapat terjadi sebagai akibat dari: (1).perpindahan K interkompartemen (lihat atas),
(2).peningkatan hilangnya potassium, atau (3).asupan potassium yang inadekuat (table 28-8).
Konsentrasi potassium plasma secara tipikal mempunyai korelasi yang kecil terhadap
potassium total. Penurunan [K] plasma dari 4 mEq/L menjadi 3 mEq/L biasanya
menggambarkan defisit sebesar 100-200 mEq, sedangkan [K] plasma yang berada di bawah 3
mEq/L dapat menggambarkan defisit antara 200-400 mEq.
Thyrotoxicosis (rarely)
Inadequate intake
Cardiovaskular
Electrocardiographic changes/arrhythmias
Myocardial dysfunction
Neuromuskular
Skeletal muscle weakness
Tetany
Rhabdomyolysis
Ileus
Renal
Polyuria (nephrogenic diabetes insipidus)
Increased ammonia production
Increased bicarbonate reabsorption
Hormonal
Decreased insulin secretion
Decreased aldosterone secretion
Metabolik
Negatif nitrogen balance
Encephalopathy in patients with liver disease
mEq/L. Efek kardiovaskular adalah efek yang paling menonjol dengan terjadinya
abnormalitas EKG, aritmia, penurunan kontraktilitas jantung, dan labilnya tekanan darah
arterial yang berhubungan dengan disfungsi otonom. Hipokalemia kronis juga dilaporkan
dapat menyebabkan terjadinya fibrosis myocardial. Manifestasi EKG terutama berhubungan
dengan perlambatan repolarisasi ventrikel dan dapat berupa pendataran gelombang T dan
inverse, peningkatan gelombang U prominen, depresi segmen ST, peningkatan amplitude
gelombang P, dan pemanjangan interval PR (gambar 28-5). Peningkatan automatisitas sel
myocardial dan perlambatan repolarisasi menimbulkan disritmia atrial dan ventricular.
Efek-efek neuromuskular akibat hipokalemia dapat berupa kelemahan otot-otot
skeletal (terutama quadriceps), ileus, kram otot, tetani, dan kadang-kadang
rhabdomyolisis.Disfungsi renal juga sering terjadi dan bersifat tipikal yang dapat berupa
kegagalan renal untuk mengkonsentrasikan urin (resisten terhadap ADH, menghasilkan
poliuria), retensi sodium, peningkatan bikarbonat, dan peningkatan produksi ammonia, yang
menyebakan terjadinya kegagalan proses pengasaman urin. Peningkatan produksi ammonia
menggambarkan adanya asidosis intrasel; ion H akan masuk ke dalam sel untuk
mengkompensasi hilangnya potassium intrasel. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
alkalosis metabolik. Mengikuti peningkatan produksi ammonia akan dapat mempresipitasi
terjadinya ensefalopati pada pasien-pasien dengan penyakit hati kronis. Hipokalemia kronis
sering dihubungkan dengan fibrosis renal (nefropati tubulointerstitial).
Hipokalemia dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan sekresi insulin dan akan
mengantagonis efek-efek perifernya, seringkali terjadi hiperglikemia bahkan pada individu
yang sebelumnya tidak memiliki diabetes. Perubahan metabolisme protein selama
hipokalemia kronik juga telah dilaporkan dapat menyebabkan terjadinya keseimbangan
nitrogen yang negatif.
Terapi Hipokalemia
Terapi hipokalemia tergantung dari adanya dan beratnya disfungsi organ yang terjadi.
Perubahan EKG yang signifikan seperti perubahan segmen ST atau disritmia membutuhkan
monitoring EKG secara kontinyu, terutama selama pemberian potassium melalui intravena.
Terapi digoksin (dimana dapat menyebabkan hipokalemia itu sendiri) akan membuat otot
jantung sensitif terhadap perubahan konsentrasi ion potassium. Kekuatan otot harus dinilai
juga secara periodik pada pasien yang mengalami kelemahan otot.
Penggantian secara oral dengan larutan potassium klorida biasanya adalah yang paling
aman (60-80 mEq/hari). Penggantian defisit potassium biasanya membutuhkan waktu
beberapa hari. Penggantian secara intravena biasanya harus dilakukan pada pasien-pasien
dengan manifestasi pada jantung yang serius atau terjadi kelemahan otot. Tujuan terapi
intravena adalah untuk mengeluarkan pasien dari keadaan bahaya secepatnya dan tidak perlu
untuk langsung mengkoreksi seluruh defisit potassium. Penggantian melalui intravena perifer
tidak boleh lebih dari 8 mEq/jam dikarenakan adanya efek iritatif potassium pada vena
perifer. Larutan yang mengandung dekstrosa harus dihindari karena dapat menyebabkan
terjadinya hiperglikemia dan sekresi sekunder insulin akan lebih merendahkan [K].
Penggantian intravena yang lebih cepat (10-20 mEq/jam) memerlukan kateter vena sentral
dan monitoring EKG. Kecepatan penggantian yang lebih tinggi akan lebih aman apabila
diberikan melalui kateter femoral dikarenakan [K] lokal yang sangat tinggi dapat terjadi pada
jantung apabila diberikan dengan kateter vena sentral standar. Penggantian intravena tidak
boleh melebihi 240 mEq/ hari.
Potasium klorida merupakan garam potassium yang dipilih bila terjadi pula alkalosis
metabolik karena larutan ini juga akan mengkoreksi defisiensi klorida yang ada. Potasium
bikarbonat atau ekuivalennya (K asetat atau K sitrat) merupakan pilihan pada pasien dengan
asidosi metabolik. Potasium fosfat dapat pula dipakai sebagai alternative saat terjadi pula
hipofosfatemia (pada ketoasidosis diabetik).
Figure 28–5.
Pertimbangan Anestetik
Hipokalemia merupakan temuan preoperatif yang paling sering. Keputusan untuk
melakukan operasi elektif biasanya didasarkan padanilai batas bawah antara 3 dan 3,5 mEq/L.
Bagaimanapun juga keputusan yang diambil harus didasari pada kecepatan terjadinya
hipokalemia dengan ada atau tidaknya disfungsi organ skunder. Pada umumnya hipokalemia
ringan yang kronik (3-3,5 mEq/L) tanpa perubahan EKG yang substansial tidak akan
meningkatkan resiko anestesi. Tetapi hal ini tidak berlaku pada pasien yang sedang
mendapatkan pengobatan digoksin yang mungkin akan meningkatkan resiko terjadinya
toksikasi digoksin akibat hipokalemia; pada sebagian pasien diperlukan [K] plasma lebih dari
4 mEq/L.
Manajemen hipokalemia intraoperatif memerlukan monitoring EKG yang lebih
waspada. Potassium intravena harus diberikan apabila terjadi disritmia atrial atau ventricular.
Larutan intravena yang bebas glukosa harus digunakan dan hindari hiperventilasi untuk
mencegah penurunan [K] lebih lanjut. Peningkatan sensitivitas pelemas otot dapat terlihat
pada beberapa pasien. Dosis pelemas otot harus dikurangi 25-50%, dan harus digunakan
stimulator saraf untuk mengetahui derajat paralysis dan adekuasi reversalnya.
HIPERKALEMIA
Hiperkalemia terjadi bila kadar [K] plasma lebih dari 5,5 mEq/L. Hiperkalemia jarang
terjadi pada individu yang normal oleh karena kapasitas ginjal yang sangat hebat untuk
mengekskresi potassium. Bila terjadi peningkatan asupan potassium secara perlahan, ginjal
dapat menekskresi sebanyak 500 mEq potassium perhari. Sistem simpatis dan sekresi insulin
memegang peranan yang penting dalam pencegahan peningkatan [K] plasma secara akut
setelah pemberian potassium.
Hiperkalemia dapat disebabkan oleh: (1).pergeseran ion potassium interkompartemen,
(2).penurunan ekskresi potassium urin, atau walaupun jarang (3).peningkatan asupan
potassium (tabel 28-10). Pengukuran konsentrasi potassium plasma dapat menjadi tidak benar
apabila terjadi hemolisa RBC pada spesimen darah (paling sering berhubungan dengan
penggunaan tourniquet yang terlalu lama saat pengambilan sample). Secara invitro pelepasan
potassium dari sel darah putih pada spesimen darah dapat pula menimbulkan kesalahan dalam
menunjukkan peningkatan level [K] plasma yang diukur saat hitung leukosit > 70.000/μL. Hal
yang sama terjadi pelepasan potassium dari platelet yang timbul bila hitung platelet >
1.000.000/μL.
Pseudohyperkalemia
Red cell hemolysis
Marked leukocytosis/thrombocytosis
Intercompartmental shifts
Acidosis
Hypertonicity
Rhabdomyolysis
Excessive exercise
Periodic paralysis
Succinylcholine
Decreased renal potassium excretion
Renal failure
Decreased mineralocorticoid activity and impaired Na+ reabsorption
1
ACE, angiotensin-converting enzyme.
Figure 28–6.
Electrocardiographic effects of hyperkalemia. Electrocardiographic changes characteristically
progress from symmetrically peaked T waves, often with a shortened QT interval, to widening of
the QRS complex, prolongation of the P–R interval, loss of the P wave, loss of R-wave amplitude,
and ST-segment depression (occasionally elevation)—to an ECG that resembles a sine wave—
before final progression into ventricular fibrillation or asystole.
Terapi Hiperkalemia
Hiperkalemia yang lebih dari 6 mEq/L harus diterapi karena potensial lethal. Terapi
yang dilakukan ditujukan untuk mengatasi manifestasi yang timbul pada jantung, dan
kelemahan yang terjadi pada otot skeletal, dan mengembalikan [K] plasma menjadi normal.
Terapi yang diberikan tergantung dari tingkatan beratnya dan juga penyebab utama dari
hiperkalemianya. Hiperkalemia yang berhubungan dengan hiperaldosteronism dapat diterapi
dengan pemberian mineralokotikoid. Obat-obatan yang dapat menyebabkan hiperkalemia
harus dihentikan dan intake potassium harus dikurangi atau dihentikan.
Kalsium (5-10 ml kalsium glukonas atau 3-5 ml kalsium klorida 10%) secara parsial
akan mengantagonis efek-efek hiperkalemia terhadap jantung dan sangat berguna pada pasien
hiperkalemia berat. Efeknya timbul secara cepat tetapi mempunyai durasi yang pendek.Terapi
harus selalu dievaluasi pada pasien yang mendapatkan terapi digoksin karena kalsium dapat
mempotensiasi terjadinya toksisitas digoksin.
Bila terdapat asidosis metabolik dapt diberikan sodium bikarbonat secara intravena
(biasanya 45 mEq) yang akan meningkatkan pengambilan potassium oleh sel dan akan dapat
menurunkan [K] plasma dalam 15 menit. Agonis ß2 adrenergik akan meningkatkan ambilan
potassium oleh selular dan mungkin sangat berguna pada keadaan hiperkalemia akut yang
terjadi pada transfusi massif (bab. 29); dosis rendah epinefrin (0,5-2 μg/menit) dapat secara
cepat menurunkan [K] plasma dan memberikan efek inotropik pada keadaan ini. Infus glukosa
dan insulin secara intravena (30-50 g glukosa per 10 unit insulin) juga efektif untuk
menaikkan ambilan potassium oleh selular dan menurunkan [K] plasma, tetapi membutuhkan
waktu sampai 1 jam untuk mencapai efek puncaknya.
Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal dapat digunakan furosemid sebagai terapi
tambahan yang sangat berguna untuk meningkatkan ekskresi potassium melalui urin. Pada
keadaan dimana ginjal tidak berfungsi, eliminasi dari potassium yang berlebihan hanya dapat
dilakukan dengan memberikan resin pengganti kation yang tidak diserap seperti pemberian
sodium polystyrene sulfonat baik secara oral atau rectal (kayexalat). Tiap gram resin akan
mengikat sampai 1 mEq K dan melepaskan 1,5 mEq Na; dosis oralnya adalah 20 g dalam 100
ml sorbitol 20%.
Dialisa diindikasikan pada pasien-paasien yang simptomatik dengan hiperkalemia
berat atau refrakter. Hemodialisa dapat dengan cepat dan efektif dibandingkan dengan dialysis
peritoneal dalam menurunkan [K] plasma. Potasium maksimal yang dapat dikeluarkan dengan
hemodialisis mendekati 50 mEq/jam sedangkan pada dialysis peritoneal sebanyak 10-15 mEq/
jam.
Pertimbangan Anestetik
Operasi elektif tidak boleh dilakukan pada pasien dengan hiperkalemia. Pengelolan
anestesi pada pasien hiperkalemia yang menjalani pembedahan diarahkan pada usaha untuk
menurunkan konsentrasi potassium plasma dan mencegah peningkatannya lebih lanjut.
Monitoring EKG harus dilakukan dengan hati-hati. Suksinilkolin merupakan kontra indikasi
begitu pula dengan larutan intravena yang mengandung potassium seperti Ringer`s Lactat.
Pencegahan terjadinya asidosis metabolik atau respiratorik adalah hal yang sangat penting
untuk mencegah peningkatan [K] plasma lebih lanjut. Ventilasi harus dikontrol dengan
anesthesia umum; dengan memberikan hiperventilasi yang ringan. Terakhir, fungsi
neuromuskular juga harus dimonitor ketat oleh karena hiperkalemia dapat memperkuat efek-
efek dari obat pelemas otot.
Walaupun hampir 90% dari jumlah total kalsium tubuh berada dalam tulang namun
pengaturan keseimbangan konsentrasi kalsium ekstraselular yang normal adalah hal yang
penting. Ion-ion kalsium berperan dalam fungsi-fungsi biologis yang penting, seperti pada
kontraksi otot, pelepasan hormon dan neurotransmitter, pembekuan darah, dan metabolisme
tulang. Sehingga tidaklah mengejutkan apabila terjadi abnormalitas keseimbangan kalsium
akan menyebabkan gangguan fisiologis.
HIPERKALSEMIA
Hiperkalsemia dapat timbul akibat berbagai kelainan (tabel 28-11). Terutama adalah
hiperparatioid dimana sekresi paratiroid hormon akan meningkat dan hal ini tidak dipengaruhi
oleh [Ca]. Sebaliknya pada keadaan hiperparatiroid sekunder (gagal ginjal kronik atau
malabsorbsi) peningkatan jumlah hormon paratiroid adalah merupakan respon dari keadaan
hipokalsemia kronik (bab. 32). Hiperparatiroid skunder yang berlarut kadang-kadang akan
menyebabkan sekresi PTH secara otonom yang mengakibatkan [Ca] berada dalam kadar
normal atau meningkat (hiperparatiroid tersier).
Pasien dengan kanker dapat memberikan gambaran hiperkalsemia baik apakah itu
dengan metastase pada tulang ataupun tidak. Destruksi tulang yang terjadi secara langsung
atau sekresi mediator humoral pada hiperkalsemia (PTH like substance, sitokin,, atau
prostaglandin) kemungkinan bertanggung jawab pada sebagian besar pasien. Hiperkalsemia
yang berhubungan dengan peningkatan pengeluaran kalsium dari tulang dapat pula terjadi
pada pasien dengan penyakit yang tidak ganas seperti Paget`s disease dan imobilisasi yang
kronis. Peningkatan absorbsi kalsium oleh intestinal dapat menimbulkan hiperkalsemia pada
pasien dengan milk-alkali syndrome (ditandai dengan peningkatan intake kalsium),
hipervitaminosis D, atau penyakit granulomatosa (memperkuat sensitivitas terhadap vitamin
D). Mekanisme lain terjadinya hiperkalsemia belum banyak diketahui.
Hyperparathyroidism
Malignancy
Excessive vitamin D intake
Paget's disease of bone
Granulomatous disorders (sarcoidosis, tuberculosis)
Chronic immobilization
Milk-alkali syndrome
Adrenal insufficiency
Drug-induced
Thiazide diuretiks
Lithium
Terapi Hiperkalsemia
Hiperkalsemia yang telah menimbulkan gejala harus secepatnya diterapi. Terapi yang
paling efektif adalah dengan melakukan diuresis cepat (output urin 200-300 ml/jam) dengan
memberikan infuse salin intravena dan loop diuretik untuk mengakselerasi ekskresi kalsium.
Biasanya diperlukan juga penggantian potassium dan magnesium. Hiperkalsemia yang berat
(>15mg/dL) memerlukan juga biphosphonat (pamidronat 60-90 mg) atau kalsitonin (2-8
unit/kg bb). Dialisis diperlukan bila pada pasien terdapat kegagalan ginjal atau jantung. Terspi
tambahan tergantung dari penyebabnya dapat diberikan glukokortikoid, plicamycin
(mythramicyn), atau phosfat.
Pertimbangan Anestesi
Hiperkalsemia merupakan kedaruratan medis dan harus dikoreksi, dan jika
memungkinkan dilakukan sebelum dilakukan pemberian anestesi. Level ion Ca harus
dimonitor secara ketat. Jika pembedahan harus dilakukan maka diuresis dengan salin harus
dilanjutkan intraoperatif dengan memperhatikan jangan sampai terjadi keadaan hipovolemia;
disarankan dilakukan monitoring dengan central venous pressure atau artery pulmonalis
pressure pada pasien dengan penurunan cadangan jantung. Pemeriksaan [K] dan [Mg] serial
akan sangat menolong untuk mendeteksi adanya hipokalemia iatrogenic dan hipomagnesemia.
Respon terhadap anestesi tidak dapat diprediksi. Ventilasi harus dikontrol dengan melalui
anestesi umum. Keadaan asidosis harus dicegah agar tidak terjadi peningkatan [Ca] plasma
lebih lanjut.
HIPOKALSEMIA
Hypoparathyroidism
Pseudohypoparathyroidism
Vitamin D deficiency
Nutritional
Malabsorption
Postsurgical (gastrectomy, short bowel)
Inflammatory bowel disease
Altered vitamin D metabolism
Hyperphosphatemia
Precipitation of calcium
Pancreatitis
Rhabdomyolysis
Fat embolism
Chelation of calcium
Multiple rapid red blood transfusions or rapid infusion of large amounts of albumin
Terapi Hipokalsemia
Hipokalsemia yang simptomatik merupak keadaan darurat medis dan harus diterapi
secepatnya dengan kalsium klorida intravena (3-5 ml larutan 10%) atau kalsium glukonas (10-
20 ml larutan 10%).(10 ml dari CaCl2 berisi 272 mg Ca, sedangkan 10 ml kalsium glukonas
10% berisi hanya 93 mg Ca). Untuk mencegah terjadinya presipitasi maka pemberian
calsium intravena tidak boleh diberikan bersamaan dengan larutan yang mengandung
bikarbonat atau phosfat. Disarankan juga untuk melakukan pemeriksaan ion kalsium secara
serial. Pemberian secara bolus yang berulang atau infuse yang kontinyu (Ca 1-2 mg/kg
bb/jam) mungkin diperlukan. Konsentrasi magnesium plasma harus diperiksa untuk
menyingkirkan keadaan hipomagnesemia. Pada keadaan hipokalsemia kronis biasanya
diperlukan pemberian kalsium secara oral (CaCO3), dan vitamin D. Terpi untuk
hipophosfatemia akan dibicarakan di bawah.
Pertimbangan Anestesi
Keadaan hipokalsemia harus dikoreksi saat preoperative. Pada pasien dengan riwayat
hipokalsemia,kadar ion kalsium serial harus selalu dimonitor saat intraoperatif. Alkalosis
harus dihindari untuk mencegah penurunan [Ca] lebih lanjut. Pemberian kalsium intravena
mungkin diperlukan setelah pemberian setelah pemberian secara cepat transfuse darah yang
mengandung produk sitrat atau setelah pemberian larutan albumin dalam jumlah besar.
(bab.29). Potensiasi dari efek inotropik negatif barbiturate dan anestetik volatile dapat terjadi.
Respon terhadap obet pelemas otot bersifat tidak konsisten dan memerlukan monitoring ketat
dengan stimulator saraf.
Phosfor merupakan konstituen intraselular yang penting yang diperlukan pada sintesa
(1) phosfolipid dan phosfoprotein pada sel membran dan organelle intraselular, (2)
phosfonukleatida terlibat dalam sintesa protein dan reproduksi, (3) ATP digunakan untuk
penyimpanan energi. Hanya 0,1% dari total phosphor dalam tubuh yang berada dalam cairan
ekstraselular; 85% berada dalam tulang dan 15% berada dalam intraselular.
Intake phosphor rata-rata pada orang dewasa berkisar 800-1500mg/dL. 80% dari
jumlah tersebut diabsorbsi si bagian proksimal dari usus kecil. Vitamin D akan meningkatkan
absorbsi phosphor. Ginjal merupakan tempat ekskresi phosphor yang utama dan
bertanggungjawab pada pengaturan kadar phosphor total dalam tubuh. Ekskresi phosphor
melalui urin tergantung pada intake dan konsentrasi plasmanya. Sekresi hormon paratiroid
akan meningkatkan ekskresi phosphor melalui urin dengan menghambat reabsorbsi pada
tubulus proksimal dimana efek ini disebabkan untuk menyeimbangi pelepasan phosfat dari
tulang yang diinduksi oleh PTH.
Hiperphosfatemia
Hiperphosfatemia dapat terjadi pada intake phosphor yang meningkat
(penyalahgunaan laksatif phosphor atau pemberian potassium phosfat yang berlebihan),
penurunan ekskresi phosphor (pada insufisiensi renal), atau lisis sel yang massif (setelah
kemoterapi pada limfoma atau leukemia).
Terapi Hiperphosfatemia
Hiperphosfatemia pada umumnya diterapi dengan memberikan phosfat-binding
antacids seperti alumunium hidroksida atau alumunium karbonat.
Pertimbangan Anestetik
Interaksi antara hiperphosfatemia dengan anestesi secara umum belum dapat
dijelaskan, oleh karenanya fungsi ginjal harus dievaluasi secara hati-hati (bab. 32).
Hipokalsemia tidak termasuk dalam hal tersebut.
HIPOPHOSFATEMIA
Terapi Hipophosfatemia
Penggantian phosphor secara oral lebih menjadi pilihan dibandingkan dengan
pemberian secara intravena, hal ini dikarenakan resiko terjadinya hipokalsemia dan kalsifikasi
metastatik. Potasium atau sodium phosfat (2-5 mg elemen phosphor per kilogram, atau 10-45
mmol secara lambat selama 6-12 jam) secara intravena biasanya digunakan untuk koreksi
hipophosfatemia simptomatik yang berat.
Pertimbangan Anestetik
Manajemen anestesi untuk pasien dengan hipophosfatemia memerlukan pengetahuan
tentang komplikasinya (lihat atas). Keadaan hiperglikemia dan alkalosis respiratorik harus
dihindari untuk mencegah penurunan phosphor plasma yang lebih lanjut. Fungsi
neuromuskular harus dimonitor secara hati-hati bila diberikan obat pelemas otot. Beberapa
pasien dengan hipophosfatemia yang berat memerlukan ventilasi mekanik pada saat post
operatif.
Magnesium merupakan kation intraselular yang penting yang berfungsi sebagai ko-
faktor pada beberapa jalur enzim. Hanya 1-2% dari total magnesium tubuh yang tersimpan
dalam kompartemen ekstraselular; 67% terdapat dalam tulang sedangkan sisanya 31%
terdapat dalam intraselular.
Intake magnesium rata-rata pada orang dewasa berkisar 20-30 mEq/hari (240-370
mg/hari). Dari jumlah tersebut hanya 30-40% yang akan diserap terutama di usus kecil bagian
distal. Jalur eliminasinya yang utama adalah melaui ginjal dengan rata-rata 6-12 mEq/hari.
Reabsorbsi magnesium oleh ginjal sangat efisien. 25% magnesium yang difiltrasi akan
direabsorbsi di tubulus proksimal, sedangkan 50-60% akan direabsorbsi dalam loop of henle
pars ascendense. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan reabsorbsi magnesium di ginjal,
yaitu: hipomagnesemia, hormon paratiroid, hipokalsemia, deplesi CES, dan alkalosis
metabolik. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan ekskresi magnesium dari ginjal, yaitu:
hipermagnesemia, ekspansi volume akut, hiperaldosteronism, hiperkalsemia, ketoasidosis,
diuretik, deplesi phosfat, dan minuman alkohol.
HIPERMAGNESEMIA
Peningkatan [Mg] plasma hampir selalu berhubungan dengan intake yang berlebihan
(antasid atau laksatif yang mengandung magnesium), kegagalan ginjal (GFR <30ml/menit),
atau keduanya. Hipermagnesemia iatrogenic dapat terjadi selama terapi dengan magnesium
sulfat pada hipertensi gestasional yang terjadi baik pada ibu maupun dengan fetus. Penyebab
yang lebih jarang antara lain insufisiensi adrenal, hipotiroid, rhabdomyolisis, dan pemberian
lithium.
Terapi Hipermagnesemia
Semua sumber intake yang mengandung magnesium harus dihentikan (paling sering
antacid). Efek hipermagnesemia secara temporer dapat diantagonis dengan pemberian
kalsium intravena (1g kalsium glukonas). Pemberian loop diuretik dengan infuse normal salin
dalam 5% dekstrosa akan meningkatkan ekskresi Magnesium melalui urin. Diuresis
menggunakan normal salin biasanya tidak dianjurkan pada keadaan hipokalsemia iatrogenik
karena akan mempotensiasi efek hipermagnesemia. Dialisis diperlukan pada pasien dengan
kegagalan ginjal.
Pertimbangan Anestetik
Hipermagnesemia memerlukan monitoring terhadap EKG, tekanan darah, dan fungsi
neuromuskular. Potensiasi dari efek vasodilatasi dan inotropik negatif dari zat anestetik dapat
terjadi. Dosis dari obat pelemas otot harus dikurangi 25-50%. Penggunakan kateter urin
diperlukan bila dipergunakan diuretik dan infuse salin untuk meningkatkan ekskresi
magnesium (lihat atas). Pemeriksaan kadar [Ca] dan [Mg] serial akan berguna.
HIPOMAGNESEMIA
Hipomagnesemia adalah masalah yang umum dan sering terjadi, terutama pada pasien
dengan sakit kritis. Sering kali terdapat hubungan dengan defisiensi komponen intraselular
yang lain seperti potassium dan phosphor. Defisiensi magnesium biasanya dikarenakan intake
yang tidak adekuat, penurunan absorbsi gastrointestinal, atau peningkatan ekskresi renal
(tabel 28-13). Agonis beta adrenergic dapat menyebabkan hipomagnesemia melalui
pengambilan ion oleh jaringan. Obat-obatan dapat meningkatkan pembuangan magnesium
oleh ginjal yaitu ethanol, teofilin, diuretik, sisplatin, aminoglikosid, siklosporin, amfoterisin
B, pentamidin, dan granulocyt colony stimulating faktor.
Inadequate intake
Nutritional
Reduced gastrointestinal absorption
Malabsorption syndromes
Small bowel or biliary fistulas
Prolonged nasogastric suctioning
Severe diarrhea
Increased renal losses
Diuresis
Diabetik ketoacidosis
Hyperparathyroidism
Hyperaldosteronism
Hypophosphatemia
Drugs
Postobstructive diuresis
Multifaktorial
Chronic alcoholism
Protein–calorie malnutrition
Hyperthyroidism
Pancreatitis
Burns
Terapi Hipomagnesemia
Hipomagnesemia asimptomatik dapat diterapi secara oral (magnesium sulfat
heptahidrat atau magnesium oksida) atau secara intramuskular (magnesium sulfat).
Manifestasi yang serius seperti kejang harus diterapi dengan magnesium sulfat interavena 1-2
g(8-16 mEq atau 4-8 mol) diberikan secara lambat dalam waktu 15-60 menit.
Pertimbangan anestetik
Meskipun tidak ada interaksi yang spesifik yang dapat digambarkan, namun gangguan
elektrolit yang biasanya menyertainya harus dikoreksi sebelum pembedahan, seperti
hipokalemia, hipophosfatemia, dam hipokalsemia. Hipomagnesemia yang ditemukan harus
dikoreksi sebelum prosedur eleltif karena dapat berpotensi menimbulkan aritmia jantung.
Sedangkan magnesium mempunyai efek antiaritmia intrinsik dan mungkin memiki efek
ptektif terhadap serebral (bab.25).
Mengapa pasien ini mengalami hiperkloremik dan asidosis (pH darah arterial normal
adalah 7,35-7,45)?
Operasi diversi urin supravesica dilakukan pada segmen usus (ileum, segmen
ileocecal, jejunum, atau kolon sigmoid) yang dibuat untuk saluran atau reservoir. Prosedur
yang paling sederhana dan umum adalah dengan mengisolasi ileum sebagai saluran; ujung
proksimal dianastomosis ke ureter dan ujung distal dibuatkan stoma ke kulit.
Saat urin kontak dengan mukosa usus, terjadi potensi perubahan yang signifikan pada
cairan dan elektrolit. Ileum akan secara aktif mengabsorbsi klorida bertukaran dengan
bikarbonat dan sodium bertukaran dengan potassium atau ion hydrogen. Bila absorbsi klorida
melebihi absorbsi sodium maka konsentrasi klorida plasma akan meningkat sedangkan
konsentrasi bikarbonat plasma akan menurun dan terjadilah asidosis metabolik hiperkloremik.
Sebagai tambahan, kolon akan mengabsorbsi NH4 secara langsung dari urin yang dapat juga
ditimbulkan oleh pemecahan urea oleh bakteri.Hipokalemia timbul jika jumlah yang
signifikan dari Na bertukaran dengan K. Kehilangan potassium melalui saluran tersebut akan
ditingkatkan melalui konsentrasi sodium urin yang tinggi. Defisit potassium dapat terjadi-
walaupun tidak terdapat hipokalemia- dikarenakan pergerakan K keluar sel (asidosis skunder)
dapat mencegah penurunan [K] plasma ekstraselular.
Apakah kelainan elektrolit juga terjadi pada diversi urin tipe lainnya?
Prosedur yang membuat usus sebagai saluran (ileal atau kolonik) lebih dapat
menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik dibandingkan dengan membuat usus sebagai
saluran. Insiden dari asidosis metabolik hiperkloremik mendekati 80% setelah dilakukan
ureterosigmoidostomi. Sebaliknya teknik yang lebih baru dengan reservoir kontinen seperti
the Kock Pouch dan Indiana pouch memiliki insiden yang sangat kecil untuk terjadinya
abnormalitas elektrolit post operatif.