Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

TERAPI CAIRAN

Pembimbing:
dr. Ucu Nurhadiat, Sp.An

Disusun Oleh:
Wahyu Hidayat 112019206

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi


Rumah Sakit Bayukarta Karawang
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Periode 18 Oktober – 20 November 2021
BAB I
PENDAHULUAN

Pada praktik sehari-hari khususnya dalam bidang anestesi gangguan keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa dapat ditemukan. Gangguan tersebut dapat terjadi karena berbagai
macam penyebab seperti kondisi medis pasien, tindakan pembedahan, pemberian cairan, dan
transfusi darah dalam jumlah besar untuk mengkoreksi defisit cairan dan mengganti kehilangan
darah, penggunaan obat-obatan tertentu dan lain-lain. Apabila gangguan yang terjadi
merupakan suatu gangguan yang berat hal tersebut dapat dengan cepat mempengaruhi fungsi
vital tubuh seperti pernapasan, kardiovaskular, neurologi, dan neuromuskular. Gangguan
tersebut harus dapat diidentifikasi dan diatasi dengan baik karena dapat mempengaruhi luaran
pasien perioperatif.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Fisiologi Cairan

Saat lahir, kandungan air pada tubuh manusia mendekati 75% dari berat badan. Ketika berusia
1 bulan, nilai tersebut menurun menjadi 65%, dan usia dewasa menjadi 60% untuk pria dan
50% untuk wanita. Kandungan lipid lebih tinggi pada wanita menurunkan kandungan air. Sama
halnya pada obesitas dan usia lanjut, kandungan air menurun lebih banyak lagi.1

Kompartemen Cairan

Air di dalam tubuh didistribusikan antara dua kompartemen cairan utama yang dipisahkan oleh
membran sel: cairan intraseluler (CIS) dan cairan ekstraseluler (CES). CES dibagi lagi menjadi
kompartemen intravaskuler dan interstitial. Interstisial mencakup semua cairan yang ada di luar
sel dan di luar endotel vaskular. Konstribusi relatif tiap kompartemen terhadap total air tubuh
(TAT) digambarkan dalam tabel 1.2

Tabel 1. Kompartemen cairan tubuh (berdasarkan rata-rata pria 70 kg)


Cairan sebagai
Kompartemen Volume Cairan (L) Persentase Berat Total Air Tubuh (%)
Badan (%)
Intraseluler 28 40 67
Ekstraseluler
Interstisial 10,5 15 25
Intravaskular 3,5 5 8
Total 42 60 100
Tabel diadaptasi dari Butterworth IV JF, et al.,2018

Volume cairan (air) di dalam tiap kompartemen ditentukan oleh komposisi dan konsentrasi zat
terlarutnya (Tabel 2). Perbedaan dalam konsentrasi zat terlarut sebagian besar karena
karakteristik sawar fisik yang memisahkan kompartemen-kompartemen. Kekuatan osmotik

3
yang ditimbul oleh zat terlarut yang terperangkap mengendalikan distribusi air antara
kompaertemen-kompartemen dan akhirnya tiap volume kompartemen.2

Tabel 2. Komposisi kompartemen cairan


Ekstraseluler
Gram-Berat Intraseluler
Intravaskular Interstisial
Molekul (mEq/L)
(mEq/L) (mEq/L)
Natrium 37,1 145 142 10
Kalium 39,1 4 4 140
Kalsium 40,1 3 3 <1
Magnesium 24,3 2 2 50
Klorida 35,5 105 110 4
Bikarbonat 61,0 24 28 10
Fosfor 31,0* 2 2 75
Protein (g/dL) 7 2 16
PO43⁻ adalah 95 g.
Tabel diadaptasi dari Butterworth IV JF, et al., 2018

Cairan Intraseluler (CIS)

Membran luar sel berperan penting dalam meregulasi volume dan komposisi intraseluler. Suatu
ATP dependent Na+-K+ pump menukarkan Na+ dengan K+ dalam suatu rasio 3:2. Karena
membran sel secara relatif impermeabel terhadap natrium dan sedikit kepada ion kalium
mengakibatkan kalium dikonsentrasikan di intraseluler dan natrium di ekstraseluler. Oleh
karena itu, kalium menjadi determinan paling penting dari tekanan osmotik intraseluler dan
natrium menjadi determinan paling penting dari tekanan osmotik ekstraseluler.2

Membran sel impermeabel terhadap kebanyakan protein mengakibatkan protein intraseluler


terkonsentrasi. Karena protein merupakan zat terlarut yang tidak dapat berdifusi (anion), maka
rasio pertukaran yang tidak sama 3 Na+ dan 2 K+ oleh sodium-potassium pump penting dalam
mencegah hiperosmolaritas intraseluler relatif. Oleh karena itu, gangguan aktivitas Na+-K+-
ATPase, seperti yang terjadi saat iskemia atau hipoksia, mengakibatkan edema sel yang
progresif.2

4
Cairan Ekstraseluler (CES)

CES memiliki fungsi utama sebagai medium untuk menghantarkan nutrien sel dan elektrolit
dan membuang produk sisa seluler. Pemeliharaan volume ekstraseluer, terutama komponen
sirkulasi (volume intravaskuler), merupakan hal yang sangat penting. Natrium secara
kuantitatif merupakan kation ekstraseluer paling penting dan determinan utama tekanan
osmotik dan volume ekstraseluer. Oleh karena itu, perubahan dalam volume CES berhubungan
dengan perubahan kandungan total natrium tubuh menyangkut asupan natrium, ekskresi
natrium, dan kehilangan natrium ekstrarenal.2

Cairan Interstisial

Pada kondisi normal, cairan interstisial adalah bentuk cairan bebas yang jumlahnya sangat
sedikit. Kebanyakan cairan interstisial terikat dengan proteoglikan ekstraseluler membentuk
suatu gel. Tekanan cairan interstisial normal dianggap negatif (kira-kira -5 mmHg). Refleksi
peningkatan volume ekstraseluler pada keadaaan normal sebanding dalam volume
intravaskuler dan interstisial. Volume cairan interstisial yang meningkat secara progresif akan
meningkatkan tekanan interstisial, dan akhirnya menjadi positif. Ketika terjadi peningkatan
tekanan interstisial maka cairan bebas dalam matriks gel interstisial juga meningkat sehingga
terjadi ekspansi kompartemen cairan interstisial. Kompartemen cairan interstisial merupakan
reservoir untuk penumpukan cairan kompartemen intravaskuler (Gambar 1), seperti pada
keadaan edema jaringan. Kandungan protein cairan interstisial relatif rendah (2 g/dL) karena
hanya sejumlah kecil protein plasma secara normal dapat melewati celah kapiler. Protein yang
masuk ruang interstisial dikembalikan ke sistem vaskular melalui sistem limfatik.2

Gambar 1. Hubungan antara volume darah dan volume cairan ekstraseluler

Diadaptasi dari Butterworth IV JF, et al., 2018.

5
Cairan Intravaskular

Cairan intravaskular atau yang dikenal dengan plasma, dibatasi oleh endotel vaskular.
Kebanyakan elektrolit (ion-ion kecil) dapat lewat secara bebas antara plasma dan interstisium
sehingga komposisi elektrolit hampir identik. Berbeda dengan protein, adanya sambungan
(junction) interseluler antara sel-sel endotel yang berdekatan menghalanginya untuk lewat ke
luar kompartemen intravaskular. Oleh karena itu, protein plasma (sebagian besar terdiri dari
albumin) menjadi satu-satunya zat terlarut yang aktif secara osmosis pada cairan, dan pada
kondisi normal tidak berpindah dari plasma ke interstisial.2

Difusi Melalui Membran Sel

Terdapat beberapa mekanisme terjadinya difusi antara cairan interstisial dan CIS: 1) secara
langsung melalui lapisan ganda lipid dari membran sel, 2) melalui kanal protein di dalam
membran, atau 3) dengan pengikatan reversibel ke suatu protein pembawa yang dapat melintasi
membran (difusi terfasilitasi). Oksigen, CO2, air, dan molekul larut lipid menembus membran
sel secara langsung. Kation seperti Na+, K+, dan Ca2+ sulit menembus membran lipid dan dapat
berdifusi hanya melalui kanal protein spesifik. Pasase melalui kanal ini bergantung pada
voltase membran dan ikatan ligan (seperti asetilkolin) ke reseptor membran. Glukosa dan asam
amino berdifusi dengan bantuan protein pembawa terikat membran.2

Pertukaran cairan antara ruang intraseluler dan interstisial diatur oleh kekuatan osmotik yang
dihasilkan oleh perbedaan konsentrasi zat terlarut yang tidak dapat berdifusi. Perubahan relatif
osmolalitas antara kompartemen intraseluler dan interstisial mengakibatkan suatu pergerakan
air dari kompartemen hipoosmolar ke hiperosmolar.2

Difusi Melalui Endotel Kapiler

Dinding kapiler yang memliki ketebalan 0,5 µm terdiri dari suatu lapisan tunggal sel-sel
endotel dengan membran dasar mereka. Di antaranya terdapat celah interseluler selebar 6-7 nm
yang memisahkan antar sel. Oksigen, CO2, air, dan substansi dapat larut lipid dapat menembus
secara langsung kedua sisi membran sel endotel. Hanya substansi berat molekul rendah larut
air, seperti natrium, klorida, kalium, dan glukosa, yang dapat dengan mudah melewati celah

6
interseluler. Substansi berat molekul tinggi seperti protein plasma tidak baik menembus celah
endotel, kecuali di hati dan paru-paru, karena celahnya lebih besar.2

Proses pertukaran cairan melewati kapiler berbeda ketika melewati membran sel. Pertukaran
melalui kapiler tersebut diatur oleh perbedaan bermakna tekanan hidrostatik dan juga tekanan
osmotik (Gambar 2). Pertukaran terjadi pada ujung arteri dan vena dari kapiler, yaitu
kecenderungan pergerakan cairan keluar kapiler pada ujung arteri dan ke dalam kapiler pada
ujung vena. Selain itu, besarnya kekuatan berbeda-beda di antara bermacam lapisan jaringan.
Tekanan pada kapiler arteri ditentukan oleh tonus sfingter prekapiler. Oleh sebab itu, kapiler
dengan kapiler tekanan tinggi, seperti glomerulus, mempunyai tonus sfingter prekapiler rendah,
sehingga darah mudah masuk ke kapiler dan menghasilkan tekanan kapiler yang cukup tinggi.
Kapiler otot tekanan rendah mempunyai tonus sfingter prekapiler tinggi, sehingga darah yang
mengalir ke kapiler terbatas dan menghasilkan tekanan kapiler yang relatif rendah. Secara
normal, sebagian besar (90%) cairan yang difilter direabsorpsi kembali ke dalam kapiler.
Cairan yang tidak direabsorpsi (kira-kira 2 mL/menit) memasuki cairan interstisial dan
kemudian dikembalikan oleh aliran limfatik ke kompartemen intravaskular.2

Gambar 2. Pertukaran cairan kapiler

Gambar diadaptasi dari Butterworth IV JF, et al., 2018.

Kesetimbangan Cairan Perioperatif

Secara umum, puasa prabedah akan membuat seorang individu mengalami defisit cairan.
Defisit tersebut secara tradisional dihitung dengan cara menghitung kebutuhan jumlah cairan
pemeliharaan yang dikalikan dengan durasi puasa berdasarkan waktu terakhir kali menerima
asupan cairan. Pada kenyataannya, kebutuhan cairan intraoperatif tidak sebesar itu. Setelah

7
menjalani puasa selama 8-10 jam dengan kondisi normal setelah tidur, kebutuhan cairan pada
individu normal (tidak dalam kondisi koma) hanya berkisar 250 mL. Hanya sedikit pasien yang
membutuhkan 1.500-2.000 mL cairan dalam 1-2 jam pertama pembedahan. Puasa prabedah
hanya akan menyebabkan penurunan sedikit jumlah cairan ekstraseluler dan volume
intravaskular yang tidak berubah. Puasa prabedah saat ini memungkinkan clear liquid boleh
diminum hingga 2 jam sebelum anestesi. Anestetik saat ini memungkinkan waktu pulih sadar
yang cepat. Kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible losses) intraoperatif juga saat ini
berkurang, terutama dengan adanya teknik pembedahan laparoskopik dan adanya irigasi
konstan luka operasi. Selain itu, pelepasan hormon antidiuretik selama anestesi sangat
membatasi kehilangan cairan intraoperatif.2

Konsep “third space” didasari sebuah penelitian pada tahun 1960 terhadap dua kelompok
pasien, yaitu kelompok 1 beranggotakan 5 pasien yang menjalani prosedur bedah minor dengan
anestesi umum (siklopropana dan eter) dan kelompok 2 beranggotakan 13 pasien yang
menjalani prosedur bedah mayor elektif (kolesistektomi, gastrektomi, kolektomi). Volume
plasma, massa sel darah merah, dan volume cairan ekstraseluler diukur pada seluruh pasien
pada dua kesempatan selama operasi berlangsung menggunakan 131I-tagged serum albumin,
51Cr-labeled red blood cells, dan 35S-tagged sodium sulfate. Pada penelitian ini, peneliti
menyatakan bahwa hilangnya cairan ekstraseluler fungsional pada kelompok 2 disebabkan
proses redistribusi cairan internal karena prosedur bedah. Dengan kata lain, terdapat “ruang
ketiga” atau “third space” yang harus diisi. Kesimpulan tersebut disanggah oleh Moore dengan
menjelaskan bahwa redistribusi terjadi karena pelepasan hormon antidiuretik. Pemberian
carian intravena intraoperatif karenanya harus mengikuti pendekatan lain yang lebih terkontrol.
Walaupun kedua kelompok selanjutnya mengajukan moderasi, konsep “third space” menjadi
baku.2

Pemberian cairan intraoperatif yang tidak adekuat dapat menimbulkan bahaya, namun
pemberian cairan yang berlebihan pun dapat memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien.
Saat ini, pasien yang menjalani prosedur bedah mayor akan mendapat cairan pengganti
berdasarkan jumlah cairan yang hilang dari area pembedahan (surgical site) sesuai dengan
kebutuhan cairan per jam.3-5

8
Larutan Pengganti Cairan

Sebagian besar larutan kristaloid dan koloid mudah dijumpai dan dapat digunakan pada pasien
dewasa. Konsep cairan pengganti hingga saat ini masih sering menimbulkan perdebatan dan
banyak rekomendasi yang hingga saat ini menimbulkan kontroversi.1

Kristaloid

Kristaloid dibagi menjadi larutan garam hipertonik, hipotonik, isotonik, dan seimbang
(balanced). Pembagian tersebut digolongkan berdasarkan jumlah elektrolit yang terkandung di
dalamnya (Tabel 3). Cairan kristaloid akan berpindah dari intravaskular menuju ruang
interstisial dan hanya 1/3 yang tersisa di intravaskular.1

Tabel 3. Komposisi cairan pengganti


Na K Glukosa Osm pH Lainnya
Cairan
(mEq/L) (mEq/L) (g/L)
Albumin 5 145 ± 15 <2,5 0 330 7,4 COP 32-35
Plasmanate 145 ± 15 <2,0 0 - 7,4 COP 20 mmHg
NaCl 0,9% 154 0 0 308 6,0 -
Ringer Laktat 130 4 0 273 6,5 Laktat 28 mEq/L
Dekstrosa 5% 0 0 50 252 4,5 -
Ringer Dekstrosa
130 4 50 525 5,0 -
5%
D50 NaCl 0,45% 77 0 50 406 4,0 -
HES 450/0,7 154 0 0 320 5,9 -
10% Dextran 40 0 0 0 255 4,0 -
COP: colloid oncotic pressure; D50 NaCl 0,45%: Dekstrosa 5% di dalam NaCl 0,45%; HES: hydroxyethyl starches;
Osm: osmolaritas
Tabel diadaptasi dari Pardo Jr MC, et al., 2011.

Larutan Garam Seimbang

Komposisi elektrolit pada larutan garam seimbang menyerupai komposisi elektrolit pada cairan
ekstraseluler, contohnya adalah larutan Ringer laktat (serupa dengan larutan Hartmann).
Berdasarkan konsentrasi ion natriumnya, larutan ini bersifat hipotonik. Kandungan buffer di
dalamnya (contohnya laktat) akan dimetabolisme in vivo menghasilkan bikarbonat. Larutan ini

9
juga mengandung sejumlah kecil elektrolit lain seperti kalium, magnesium, dan kalsium.
Berdasarkan hasil telaah dari Cochrane Database, pemberian cairan dengan kandungan buffer
sama baiknya dengan cairan salin yang tidak disertai buffer. Cairan dengan kandungan buffer
juga minimal menyebabkan gangguan metabolik, terutama bila digunakan pada kasus
hiperkloremia dan asidosis metabolik.6,7 Hindari penggunaan larutan Ringer laktat sebagai
pelarut packed red blood cells (PRC) karena Ringer laktat mengandung kalsium.1

Salin Normal

Larutan salin normal (NaCl 0,9%) bersifat hipertonik dengan konsentrasi seimbang antara Na+
dan Cl-, meskipun konsentrasi plasma Na+ normalnya 40 mEq/L lebih tinggi dibandingkan Cl-.
Dibandingkan dengan larutan lainnya, salin normal lebih sering digunakan sebagai larutan
resusitasi. Penggunaan salin normal untuk resusitasi dinilai berhubungan signifikan dengan
peningkatan kejadian asidosis metabolik dan kebutuhan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy, RRT) pasca resusitasi dibandingkan dengan penggunaan larutan
kristaloid seimbang. Efek tersebut mungkin tergantung dengan jumlah cairan yang diberikan
dan kondisi pasien. Pada pasien sehat tidak akan terjadi gangguan klinis yang signifikan. Salin
normal umunya digunakan untuk melarutkan packed red blood cells (PRC).8

Salin Hipertonik

Larutan salin hipertonik digunakan terbatas untuk kebutuhan tertentu saja, seperti pengendalian
tekanan darah intrakranial atau kebutuhan resusitasi intravaskuler cepat. Konsentrasi natrium
pada salin hipertonik berkisar antara 250-1.200 mEq/L. Pada pasien dengan kecenderungan
untuk mengalami edema jaringan, penggunaan larutan hipertonik dapat memberikan
keuntungan. Waktu paruh dari larutan hipertonik serupa dengan waktu paruh pada larutan
isotonik. Ekspansi volume plasma yang berkepanjangan tidak akan terjadi kecuali jika terdapat
koloid. Selain itu, osmolaritas dari larutan ini mungkin dapat menyebabkan hemolisis saat
dilakukan injeksi.1

10
Dekstrosa 5%

Larutan dektrosa 5% serupa dengan air bebas (free water) karena dekstrosa akan
dimetabolisme. Larutan ini sangat iso-osmotik dan tidak menyebabkan hemolisis. Stres saat
operasi dapat menyebabkan kadar gula darah pasien meningkat. Pemberian larutan dekstrosa
intraoperatif dapat menyebabkan hiperglikemia yang berdampak pada luaran akhir yang buruk.
Oleh karena itu, larutan dekstrosa 5% jarang digunakan kecuali dalam kasus pengobatan
dan/atau pencegahan hipoglikemia atau hipernatremia.1

Koloid

Larutan koloid, albumin, dan starch mengandung zat berbobot molekul besar sehingga dapat
tetap bertahan di dalam ruang intravaskuler jauh lebih lama dibandingkan dengan kristaloid.
Starch sintetik memiliki risiko infeksi yang kecil atau tidak sama sekali, namun reaksi alergi
tetap dapat muncul. Koloid umumnya lebih mahal dibandingkan kristaloid namun lebih murah
dan lebih sedikit risikonya dibandingkan dengan penggantian darah atau produk darah.1 Ada
beberapa pilihan cairan koloid, tetapi masih terjadi perbedaan pendapat tentang efektifitas
relatif antara koloid dan kristaloid. Cairan koloid (misalnya, HES, albumin, dekstran) efektif
untuk penggantian volume cairan selama perdarahan hebat. Protein atau starch bermolekul
besar sehingga tetap dalam sirkulasi antara 1 sampai 4 jam, tergantung pada larutan yang
digunakan.9 Koloid bila diberikan lewat infus akan mengisi seluruh ruang intravaskuler,
dengan demikian koloid sangat efektif pada penderita yang mengalami hipovolemik. Dalam
praktek sering digunakan koloid sintetik, karena reaksi anafikatiknya sedikit. Reaksi
anafilaktik yang paling besar ditimbulkan oleh gelatin, kemudian disusul dekstran dan
selanjutnya albumin dan yang terakhir HES. Pemberian koloid menaikkan aliran
mikrosirkulasi usus halus dan tekanan oksigen jaringan usus, sedangkan kristaloid tidak
mempunyai efek yang sama.10 Meskipun secara teori koloid lebih dibandingkan dengan
kristaloid, tetapi belum ada pembuktian perbedaan dalam hal survival.10

Indikasi penggunaan koloid sintetik yaitu absolute: pada hipovolemi karena perdarahan,
kehilangan darah perioperatif; Relatif: pada hipovolemi akibat sepsis atau anestesi, luka bakar,
teknik penyimpanan darah (penghemat penggunaan darah), dan plasmapharesis.11

Keuntungan penggunaan koloid sintetik antara lain: harga tidak mahal dan bebas infeksi;
mudah didapat dalam jumlah banyak; stabil dalam waktu lama; tekanan osmotik koloid dan

11
viskositas sama dengan plasma; dieliminasi lewat ginjal secara lengkap; tidak lama disimpan
dalam tubuh; efek volume dan durasi cukup; bebas dari gangguan koagulasi; tidak toksik, alergi
dan reaksi antigenik.11

Efek koloid sintetik

Setelah cairan koloid masuk intravena, tekanan onkotik mulai naik menyebabkan volume
intravena bertambah, sehingga dapat menyebabkan hemodilusi dan juga menaikkan venous
flowback (preload). Hemodilusi mengakibatkan menurunnya hematokrid dan menaikkan
rheology. Akibat dari preload dapat menyebabkan meningkatnya cardiac output, sedangkan
meningkatnya perbaikan rheology menyebabkan menurunnya flow resistance dengan akibat
naiknya cardiac output. Menurunnya hematokrit dapat menyebabkan menurunnya flow
resistance, dengan akibat meningkatnya DO2, dan meningkatkan cardiac output. Venous
flowback (preload) yang naik juga dapat menaikkan cardiac output.11

Efek koloid pada fungsi ginjal

Ada beberapa koloid antara lain gelatin, dektran dan HES yang berpengaruh pada fungsi ginjal.
Gelatin tidak mempunyai efek negatif, bahkan menaikkan fungsi ginjal; Dekstran, setelah
pemberian dektran 40, kemungkinan dapat terjadi renal insufisiensi. Di tubulus proksimal
konsentrasi dekstran meningkat, menyebabkan peningkatan viskositas urin yang laten, dan hal
ini dapat mengakibatkan flow resistance bertambah dan menyebabkan berhentinya filtrasi;
HES, setelah pemberian HES kemungkinan masih dapat terjadi acute renal failure.
Kesemuanya dapat menurunkan glomerular filtration. Terjadi konsentrasi HES di tubulus
proksimal, dapat menyebabkan peningkatan viskositas urin secara menetap, menambah
tahanan aliran, dan menyebabkan berhentinya filtrasi.11

Efek albumin pada hasil akhir masih kontroversi dan butuh waktu menunggu hasil penelitian
prospektif, multi sentrik dan acak. Keuntungan penggunaan albumin bila dibanding dengan
koloid sintetik, adalah bahwa albumin dosisnya berkurang, mengurangi risiko koagulopati,
mengurangi risiko pruritus dari HES, dan mengurangi risiko anafilaksis (Groeneveld Crit Care
2000;4:S16-S20).11

12
Menurut meta-analisis pro albumin, pencatatan kejadian serius mulai tahun 1900-1997 dari 100
juta dosis albumin, terjadi 123 kejadian serius, tidak ada kematian akibat pemberian labumin.
Reaksi fatal akibat albumin sekitar 5,2 per 100 juta dosis. (Van Hoegen. Crit Care Med 20001;
29:994-996, Groeneveld. Crit Care 2000; 4:S16-S20).11

Albumin

Albumin hadir dalam bentuk larutan 5% atau 25%. Albumin terdiri dari sekitar 50% protein
plasma. Volume distribusi awal sama dengan volume plasma dan tetap berada dalam ruang
intravaskuler untuk durasi yang jauh lebih lama dibandingkan kristaloid. Preparasi sediaan
albumin dapat menghilangkan virus dan bakteri, namun terdapat kemungkinan dapat dijumpai
sedikit koagulasi akibat preparasi tersebut.12

Hydroxyethyl Starch (HES)

HES adalah derivat starch tidak terionisasi yang merupakan modifikasi polisakarida alami.
HES dikenali berdasarkan konsentrasi dan berat molekul yang dimilikinya. Larutan 6% bersifat
isotonik, dengan berat molekul bervariasi antara 70 kDa hingga lebih dari 450 kDa. Semain
besar berat molekul dan substitusi molar yang dimilikinya, semakin panjang durasi
peningkatan volume intravaskuler yang ditimbulkannya dan semakin banyaknya efek samping
yang mungkin timbul. Rasio C2/C6 mendeskripsikan pola subtitusi hydroxyethyl pada atom
karbon khusus dari subunti glukosa HES. Preparat HES dengan rasio C2/C6 yang lebih tinggi
akan membuatnya semakin resisten terhadap pemecahan amilase dan memiliki durasi yang
lebih panjang tanpa disertai adanya peningkatan risiko efek samping.2

HES dapat mengganggu fungsi faktor koagulasi von Willebrand, faktor VIII, dan trombosit.
Risiko timbulnya koagulopati dilusional, yang bersifat dose-dependent, berbeda antar jenis
koloid yang ada (dektran > heta-strarch > pentastarch > tetrastrach, gelatin > albumin).
Pemantauan tanda-tanda dini terjadinya efek samping penggunaan HES dapat dilakukan
dengan alat rotational thromboelastometry/thromboelatography. Alat ini dapat digunakan
untuk mendeteksi perburukan clot strength, clot fromation, dan platelet interaction.2

Review sistematik mengenai pemberian HES pada pasien unit perawatan intensif yang
membutuhkan resusitasi volume intravaskular menunjukkan adanya korelasi signifikan

13
penggunaan HES dengan kejadian mortalitas serta cedera ginjal akut. FDA mengeluarkan
black box warning pada tahun 2013, yang menyatakan bahwa larutan HES tidak boleh
digunakan pada pasien kritis dewasa termasuk pasien-pasien yang mengalami sepsis.13
Pemilihan cairan intravena karenanya harus didasarkan penyebab hipovolemia, keadaan
kardiovaskular, fungsi ginjal, osmolaritas serum, kondisi komorbid, dan kelainan elektrolit
maupun asam basa yang ada pada pasien.2

Kristaloid VS Koloid

Penggunaan koloid dan kristaloid mempunyai keuntungan dan kerugiannya, sehingga ada yang
pro dan yang kontra pada penggunaan antara koloid dan kristaloid.11

Pro koloid:

1. Koloid diperlukan untuk ekspansi ruang intravaskuler.11


2. Koloid mempertahankan tekanan onkotik dan meminimalkan akumulasi cairan
interstisial.11
3. Kristaloid menurunkan tekanan onkotik, sehingga memudahkan terjadinya edema
paru.11
4. Penurunan tekanan onkotik dapat menyebabkan laju mortalitas meninggi.11
5. Pemberian koloid menyebabkan perbaikan hemodinamik, tanpa ada bukti
meningkatnya air paru atau terperangkapnya albumin.14
6. Pemberian kristaloid menyebabkan pertukaran gas di paru lebih buruk, terjadi
penurunan volume O2, sedangkan perbaikan hemodinamik sedang-sedang saja.14
7. Koloid menyebabkan perbaikan nyata pada semua variabel hemodinamik dan DO2.15
8. Kristaloid hanya sedikit perbaikan pada hemodinamik.15
9. Dengan kristaloid ruang interstisial sangat membesar dan tidak ada mekanisme
kompensasi untuk mobilisasi dan ekskresi cairan.15
10. Pemberian koloid selama pembedahan berhubungan dengan perbaikan profil
penyembuhan dan kenyamanan pasien lebih baik, dibanding dengan pemberian
kristaloid. Perbedaan ini mengakibatkan memperpendek masa rawat inap, sehingga
biaya lebih ringan.11

14
Pro Kristaloid:11

1. Koloid harga lebih mahal, sehingga biaya mahal, dan kemungkinan bisa terjadi reaksi
anafilaktik.
2. Koloid dapat keluar ke interstisium dan dapat terperangkap, sehingga dapat
menyebabkan edema.

Batas penggantian cairan

Penggantian cairan bukan tanpa batas, karena jika terjadi hyperdilution, oxygen carrying
capacity akan menurun. Demikian sebaliknya jika underdilution, oxygen carrying capacity
juga menurun. Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu, karena jika hematokrit
kurang dari 10% dikhawatirkan terjadi hipoksia jaringan, dan bila berlanjut dapat terjadi
kegagalan sistem.11

Pada penelitian terakhir menunjukkan bahwa hemoglobin 7 g% pada orang sehat tanpa
kelainan jantung, paru dan pembuluh darah masih dalam batas aman, kecuali bila mengalami
perubahan fisiologik, misalnya tampak lelah, napas cepat, maka batas hemoglobin 7 g% perlu
dinaikkan. Dengan batasan hemoglobin 7 g% maka dapat menghemat transfusi darah, selain
menghindari terjadinya efek samping transfusi.11

Strategi Cairan Perioperatif

Berdasarkan penemuan konsep “third space” oleh Shires pada tahun 1960-an, maka dibuatlah
beberapa protokol pemberian cairan perioperatif.3 Rule 4:2:1 atau rule 100-50-20 telah
digunakan sebagai aturan umum, sekalipun aturan tersebut tidak relevan terhadap praktik
anestesi saat ini. Jumlah pemberian cairan pengganti puasa berdasarkan konsep ini adalah 4
mL/kg/jam puasa untuk 10 kg pertama, 2 mL/kg/jam puasa untuk 10 kg selanjutnya, dan 1
mL/kg/jam puasa untuk berat badan seterusnya; atau dapat juga berdasarkan kebutuhan cairan,
yaitu 100 mL/kg untuk 10 kg pertama, 50 mL/kg untuk 10 kg selanjutnya, dan 20 mL/kg untuk
berat badan seterusnya. Artikel yang diterbitkan Holliday lebih dari 50 tahun lalu ini ditujukan
sebagai panduan umum untuk kebutuhan harian pada anak-anak dan tidak ditujukan secara
khusus untuk kebutuhan intrabedah.16

15
Protokol untuk pengganti cairan di atas dibuat tidak berdasarkan bukti ilmiah, dan sebagian
besar berdasarkan data yang tidak dipublikasikan. Saat ini, teknik tatalaksana pemberian cairan
selama anestesi dan bedah telah berubah secara drastis. Oleh karena itu, relevansi penggunaan
aturan ini dalam praktik klinis saat ini perlu dikaji lebih lanjut.1

Cairan Intrabedah

Berdasarkan temuan saat ini, strategi cairan pengganti untuk prosedur bedah elektif harus
mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut:1

1. Tidak melakukan pemberian cairan intravena secara berlebihan pada awal kasus atau
sebelum analgesia epidural.
2. Tidak melakukan pemberian cairan pengganti pada “third space” atau berdasarkan
urine output.
3. Pengganti darah yang hilang akibat prosedur bedah sebanyak 1:1 dengan koloid.
4. Penggunaan koloid secara terbatas pada kasus hipovolemia.
5. Membatasi volume kristaloid yang diberikan intrabedah (contohnya: dibatasi hingga
100-200 mL/jam pada pasien dewasa).
6. Lebih mengutamakan larutan garam seimbang dibandingkan salin normal.
7. Restriksi cairan pascabedah dan penggunaan diuretik jika dijumpai kenaikan berat
badan pasca bedah lebih dari 1 kg.

Pemantauan Adekuat Terhadap Cairan Pengganti

Pemeriksaan untuk memastikan kecukupan volume intravaskular sangat diperlukan untuk


memastikan adanya volume vaskular, fungsi jantung, dan oksigenisasi jaringan yang adekuat.
Umumnya, kecukupan pemberian volume intravaskular dinilai dari respons perubahan tekanan
darah arteri dan laju jantung setelah penambahan volume intravaskular, yang juga bergantung
pada kemampuan kontraktilitas dan kompensasi jantung. Terdapat kekurangan penggunaan
tekanan darah dan laju jantung untuk menilai kecukupan pemberian volume intravaskular.
Adanya kemungkinan bahwa tekanan darah dan laju jantung tidak mengalami perubahan pasca
pemberian fluid challenge pada pasien tertentu, seperti pasien usia lanjut atau pasien yang
secara rutin obat-obat kardiovaskuler. Stimulasi pembedahan dan obat-obatan anestesi dapat
memengaruhi tanda-tanda vital dasar tanpa mengubah status volume intravaskular. Tekanan

16
vena pusat (central venous pressure, CVP) mengukur tekanan dari atrium kanan dan tidak
secara langsung mengindikasikan volume peredaran darah atau respons volume intravaskluar.
CVP akan tetap normal, jauh setelah tekanan darah dan laju jantung menurun. Penggunaan
kateter arteri pulmonal jarang dilakukan dan pengukuran hemoglobin serial juga memiliki
variasi yang tinggi selama intrabedah.1

Respon cairan juga dapat dinilai berdasarkan variasi tekanan arteri akibat ventilasi mekanik.
Analisis komputerisasi berdasarkan pulse oximeter arterial waveform dapat memberikan
perkiraan variasi volume skuncup dan prediksi respons fluid challenge. Selain itu,
transesophageal echocardiography (TEE) dapat digunakan untuk mengukur curah jantung dan
preload sebagai panduan dalam melakukan terapi cairan. Kombinasi monitor TEE dan pulse
pressure variation (PPV) dapat dilihat melalui Cardio-EDM. Monitor lainnya menggunakan
sensor pada pipa endotrakea dan pada finger probes untuk mengukur PPV. Oleh karena itu,
cairan intravaskular dan terapi vasopresor dapat disesuaikan berdasarkan kebutuhan pasien
dibandingkan penggunaan formula secara umum.1

Walaupun kontroversi mengenai panduan pemberian cairan tetap ada, rekomendasi yang ada
saat ini sudah semakin jelas. Formula yang ada yang berperan sedikit atau bahkan tidak
berperan sama sekali pada praktik perioperatif saat ini. Monitor standar yang ada saat ini tidak
memberikan informasi yang akurat dan sebaliknya ditambahkan dengan teknik-teknik yang
baru, seperti pengukuran tekanan nadi atau volume sekuncup.17 Selain itu semua, pasien harus
ditangani secara personal, disertai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap agar
mendapat penilaian klinis secara baik dan benar.1

17
BAB III

Penutup

Kesimpulan

Hampir semua pasien yang menjalani tindakan bedah membuthkan pemasangan akses vena
untuk pemberian obat-obatan ataupun cairan intravena, dan sebagian pasien akan
membutuhkan transfusi darah atau komponennya. Ahli anestesi harus dapat menilai volume
intravaskular dengan tepat untuk melakukan koreksi pada defisit cairan ataupun elektrolit yang
terjadi serta menggantikan cairan pada saat kehilangan cairan sedang berlangsung. Kesalahan
dalam penggantian elektrolit maupun cairan dapat berujung pada terjadinya peningkatan angka
morbiditas dan juga dapat berujung pada kematian pasien.

18
Referensi

1. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR, et al. Anestesiologi dan terapi intensif buku teks
KATI-PERDATIN. Edisi pertama. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama;
2019.
2. Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s clinical
anesthesiology. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill Education; 2018.
3. Shires T, Williams J, Brown F. Acute changes in extracellullar fluids associated with
major surgical procedures. Ann Surg. 1961;154: 803-10.
4. Moore FD. Common patterns of water and electrolite changes in injury, surgery and
disease. N Engl J Med. 1958; 258(7): 325-33.
5. Doherty M, Buggy DJ. Intraoperative fluids: how much is too much? Br Janaesth. 2012;
109(1): 69-79.
6. Burdett E, Dushianthan A, Bennett-Guerrero E, et al. Perioperative buffered versus
non-buffered fluid administration for surgery in adults. Cochrane Database Syst Rev.
2012;12:CD004089.
7. McCluskey SA, Karkouti K, Wijeysundera D, et al. Hypercloremia after noncardiac
surgery is independently associated with increased morbidity and mortality: a
propensity-matched cohord study. Anesth Analg. 2013;117(2):412-21.
8. Magder S. Balanced versus unbalanced salt solution: what difference does it make?
Best Pract Res Clin Anaesthesiol. 2014; 28(3): 375-47.
9. Weil MH. Shock and fluid resuscitation. Erck Manual. May 2007. Available from:
http://www.merck.com/mmpe/sec06/ch067/ch067a.html.
10. Hinterland LB, Kimberger O, Aenberger M, et al. Crystaloid versus colloids for goal
directed fluid therapy in major surgery. Critical Care 2009. Available from:
http://creativecommos.org/licenses/by/2.0.
11. Soenarjo, Jatmiko HD, et al. Anestesiologi. Edisi Kedua. Semarang: PERDATIN
Cabang Jawa Tengah; 2015.
12. Kozek-Langenecker SA. Fluid and coagulation. Curr Opin Crit Care. 2015; 21(4): 285-
91.
13. Zarychanski R, Abou-setta AM, Turgeon AF. Association of hydroxyethyl starch
administration with mortality and acute kidney injury in critically ill patients requiring
volume resuscitation: a systematic review and metaanalysis. JAMA. 2013; 309(7): 678-
88.

19
14. Hansen, Shoemaker WC, Turpin I, Goldberg. Oxygen transport responses to colloid
and crystalloids in critically surgery patient. Surgery 1980;150: 811-6.
15. Apple PL, Shoemaker WC. Evaluation of fluid therapy in adult respiratory failure. Crit
Care Med 1981; 9:862-9.
16. Holliday MA, Segar WE. The maintenance need for water in parenteral fluid therapy.
Pediatrics. 1957;19:832-7.
17. Peng K, Li J, Cheng H, Ji FH. Goal directed fluid therapy based on stroke volume
variations improves fluid management and gastroontestinal perfusion in patients
undergoing major orthopedic surgery. Med Princ Pract. 2014;37(5):413-20.

20

Anda mungkin juga menyukai