Oleh Kelompok I :
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Terapi Cairan dalam Kegawat Daruratan”.
Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan
bantuan banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab
itu, kami juga ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
dapat menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat membutuhkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian cairan tubuh?
2. Apa pengertian syok?
3. Bagaimana jenis-jenis syok?
4. Apa pengertian syok hipovolemik?
5. Bagaimana patofisiologi syok hipovolemik?
6. Bagaiamana gejala klinis syok hipovolemik?
7. Bagaiamana penatalaksanaan syok?
8. Apa pengertian terapi cairan?
9. Apa saja jenis-jenis cairan dan indikasinya?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian cairan tubuh.
2. Untuk mengetahui pengertian syok.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis syok.
4. Untuk mengenal pengertian syok hipovolemik.
5. Untuk mengetahui patofisiologi syok hipovolemik.
6. Untuk mengetahui gejala klinis syok hipovolemik.
7. Untuk mengenal penatalaksanaan syok.
8. Untuk mengetahui pengertian terapi cairan.
9. Untuk mengenal jenis-jenis cairan dan indikasinya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Cairan tubuh terdistribusi antara dua kompartemen cairan utama yang dipisahkan
oleh membran sel, yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler
dibagi menjadi intravaskular atau plasma dan kompartemen interstitial. Selain itu ada pula
kompartemen kecil yang juga disebut sebagai cairan transeluler. Bagian tersebut terdiri dari
cairan dalam rongga sinovial, peritoneum, perikardium serta cairan serebrospinal. Cairan
tersebut termasuk ke dalam jenis khusus cairan ekstraseluler yakni:
1. Cairan intraseluler
Cairan mengandung sejumlah besar ion kalium dan fosfat ditambah ion
magnesium dan sulfat dalam jumlah sedang, yang mana semua ion ini memiliki
3
konsentrasi yang rendah di cairan ekstraseluler. Sel ini juga mengandung
sejumlah besar protein, hampir empat kali jumlah protein dalam plasma.
2. Cairan ekstraseluler
Komponen cairan ekstraseluler terdiri dari ion natrium, klorida dan
bikarbonat yang jumlahnya banyak serta ditambah berbagai zat gizi untuk sel,
seperti oksigen, glukosa, asam lemak, dan asam amino. Komponen penting dari
cairan ekstraseluler adalah cairan interstisial, yang jumlahnya mencapai tiga
perempat dari keseluruhan cairan ekstraselular, dan seperempat lainnya
merupakan plasma.
2.2 Syok
Pengertian syok terdapat bermacam-macam sesuai dengan konteks klinis dan tingkat
kedalaman analisisnya. Secara patofisiologi syok merupakan gangguan sirkulasi yang
diartikan sebagai kondisi tidak adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang
diakibatkan oleh gangguan hemodinamik. Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa
penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan
pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung. Dengan demikian syok dapat terjadi
oleh berbagai macam sebab dan dengan melalui berbagai proses. Secara umum dapat
dikelompokkan kepada empat komponen yaitu masalah penurunan volume plasma
intravaskuler, masalah pompa jantung, masalah pada pembuluh baik arteri, vena, arteriol,
venule atupun kapiler, serta sumbatan potensi aliran baik pada jantung, sirkulasi pulmonal
dan sitemik (Hardisman, 2013)
Penurunan hebat volume plasma intravaskuler merupakan faktor utama yang menyebabkan
terjadinya syok. Dengan terjadinya penurunan hebat volume intravaskuler apakah akibat
perdarahan atau dehidrasi akibat sebab lain maka darah yang balik ke jantung (venous
return) juga berkurang dengan hebat, sehingga curah jantung pun menurun. Pada akhirnya
ambilan oksigen di paru juga menurun dan asupan oksigen ke jaringan atau sel (perfusi) juga
tidak dapat dipenuhi. Begitu juga halnya bila terjadi gangguan primer di jantung, bila otot-otot
jantung melemah yang menyebabkan kontraktilitasnya tidak sempurna, sehingga tidak dapat
memompa darah dengan baik dan curah jantungpun menurun. Pada kondisi ini meskipun
volume sirkulasi cukup tetapi tidak ada tekanan yang optimal untuk memompakan darah
yang dapat memenuhi kebutuhan oksigen jaringan, akibatnya perfusi juga tidak terpenuhi.
4
Gangguan pada pembuluh dapat terjadi pada berbagai tempat, baik arteri (afterload), vena
(preload), kapiler dan venula. Penurunan hebat tahanan vaskuler arteri atau arteriol akan
menyebabkan tidak seimbangnya volume cairan intravaskuler dengan pembuluh tersebut
sehingga menyebabkan tekanan darah menjadi sangat rendah yang akhirnya juga
menyebabkan tidak terpenuhinya perfusi jaringan. Peningkatan tahanan arteri juga dapat
mengganggu sistim sirkulasi yang mengakibatkan menurunya ejeksi ventrikel jantung
sehingga sirkulasi dan oksigenasi jaringan menjadi tidak optimal. Begitu juga bila terjadi
peningkatan hebat pada tonus arteriol, yang secara langsung dapat menghambat aliran sirkulasi
ke jaringan. Gangguan pada vena dengan terjadinya penurunan tahanan atau dilatasi yang
berlebihan menyebabkan sistim darah balik menjadi sehingga pengisian jantung menjadi
berkurang pula. Akhirnya menyebabkan volume sekuncup dan curah jantung juga menurun
yang tidak mencukupi untuk oksigenasi dan perfusi ke jaringan. Gangguan pada kapiler secara
langsung seperti terjadinya sumbatan atau kontriksi sistemik secara langsung menyebabkan
terjadinya gangguan perfusi karena area kapiler adalah tempat terjadinya pertukaran gas
antara vaskuler dengan jaringan sel-sel tubuh (Hardisman, 2013).
5
2.4 Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya volume plasma di
intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang
menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi
berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik
yang paling sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal
juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma hebat
pada organ-organ tubuh atau fraktur yang disertai dengan luka ataupun luka langsung pada
pembuluh arteri utama (Hardisman, 2013).
Syok hipovolemik dapat disebabkan oleh kehilangan volume massive yang disebabkan
oleh: perdarahan gastro intestinal, internal dan eksternal hemoragi, atau kondisi yang
menurunkan volume sirkulasi intravascular atau cairan tubuh lain, intestinal obstruction,
peritonitis, acute pancreatitis, ascites, dehidrasi dari excessive perspiration, diare berat atau
muntah, diabetes insipidus, diuresis, atau intake cairan yang tidak adekuat (Dewi & Rahayu,
2010).
Kemungkinan besar yang dapat mengancam nyawa pada syok hipovolemik berasal dari
penurunan volume darah intravascular, yang menyebabkan penurunan cardiac output dan
tidak adekuatnya perfusi jaringan. Kemudian jaringan yang anoxia mendorong perubahan
metabolisme dalam sel berubah dari aerob menjadi anaerob. Hal ini menyebabkan akumulasi
asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolic.
6
pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan
penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus
aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan
mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan
traktus gastrointestinal (Hardisman, 2013).
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin
dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I,
yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II
mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik,
yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks
adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan
menyebabkan retensi air (Hardisman, 2013).
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior
sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap
penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung
ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus
kolektivus, dan lengkung Henle (Hardisman, 2013).
7
kehilangan darah, syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium
(ATLS, 2004).
Sangat berbahaya untuk menunggu sampai tanda-tanda syok jelas, dan baru setelah itu
mulai pemulihan volume dengan agresif. Resusitasi cairan harus dimulai bila tanda-tanda dan
gejala kehilangan darah nampak atau diduga, bukan bila tekanan darah menurun atau sudah
tidak terdeteksi (ATLS, 2004).
Selain karena perdarahan, syok hipovolemik juga dapat terjadi pada keadaan dehidrasi.
Dehidrasi merupakan kondisi defisit air dan elektrolit dengan penyebab multifaktor. Balita
adalah kelompok yang paling rentan mengalami kondisi ini. Proses dehidrasi yang
berkelanjutan dapat menimbulkan syok hipovolemia yang akan menyebabkan gagal organ dan
kematian (Leksana, 2015). Kriteria dehidrasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:.
8
Tekanan Normal Hingga Sangat Menurun Tidak Terukur
Darah Menurun
Urine Berkurang Berkurang dan Minimal Hingga
Pekat Tidak Keluar Urine
9
mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi
perifer, Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan CVP. Pemeriksaan
neurologi (D = disability) menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil
bermanfaat untuk menilai perfusi otak. (ATLS, 2004). Segera menghentikan perdarahan yang
terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok. (ATLS,
2004)
Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-tanda vital dan
hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya kondisi tersebut dipertahankan
dan dijaga agar tetap pada kondisi stabil (Hardisman, 2013).
10
Pada saat awal cairan diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus. Dosis awal 1
sampai 2 liter pada dewasa dan 20ml/kgBB pada anak, selanjutnya dilakukan evaluasi respon
pasien terhadap pemberian cairan ini.
Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada
evaluasi penderita. Perkiraan kehilangan cairan dan darah dapat dilihat cara menentukan
jumlah cairan dan darah yang mungkin diperlukan oleh penderita. Perhitungan kasar untuk
jumlah total volume kristaloid yang secara akut diperlukan adalah mengganti setiap milliliter
darah dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan restitusi volume plasma yang
hilang ke dalam ruang intersitisal dan intraseluler, hal ini dikenal sebagai “hokum 3 untuk 1
“(3 for 1 rule)”. Namun, lebih penting untuk menilai respon penderita kepada resusitasi cairan
dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat
kesadaran, dan perfusi perifer (ATLS, 2004). Produksi urin dalam kondisi tertentu dapat
digunakan sebagai pemantau fungsi ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya
menghasilkan keluaran urin sekitar 0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anak-
anak, dan 2 ml/kg/jam untuk bayi.
Tabel Respon Terhadap Pemberian Cairan Awal
Respon Cepat Respon Sementara Tanpa Respon
Tanda Vital Kembali ke normal Perbaikan sementara Tetap abnormal
Tensi dan nadi kembali
turun
Dugaan Minimal (10%- Sedang, masih ada (20- Berat (>40%)
Kehilangan 20%) 40%)
Darah
Kebutuhan Sedikit Banyak Banyak
Kristaloid
Kebutuhan Sedikit Sedang-Banyak Segera
Darah
Persiapan Type specific dan Type spesific Emergensi
Darah crossmatch
Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti
Kehadiran dini Perlu Perlu Perlu
ahli bedah
11
ditujukan untuk mengoreksi status omolaritas pasien (Leksana, 2015). Penanganan kondisi ini
dibagi menjadi 2 tahap:
Tahap Pertama berfokus untuk mengatasi kedaruratan dehidrasi, yaitu syok hipovolemia
yang membutuhkan penanganan cepat. Pada tahap ini dapat diberikan cairan kristaloid isotonik,
seperti ringer lactate (RL) atau NaCl 0,9% sebesar 20 mL/kgBB. Perbaikan cairan intravaskuler
dapat dilihat dari perbaikan takikardi, denyut nadi, produksi urin, dan status mental pasien.
Apabila perbaikan belum terjadi setelah cairan diberikan dengan kecepatan hingga 60
mL/kgBB, maka etiologi lain syok harus dipikirkan (misalnya anafi laksis, sepsis, syok
kardiogenik). Pengawasan hemodinamik dan golongan inotropik dapat diindikasikan. Tahap
Kedua berfokus pada mengatasi defisit, pemberian cairan pemeliharaan dan penggantian
kehilangan yang masih berlangsung. Kebutuhan cairan pemeliharaan diukur dari jumlah
kehilangan cairan (urin, tinja) ditambah IWL. Jumlah IWL adalah antara 400-500 mL/m2 luas
permukaan tubuh dan dapat meningkat pada kondisi demam dan takipnea. Secara kasar
kebutuhan cairan berdasarkan berat badan adalah:
• Berat badan < 10 kg = 100 mL/kgBB
• Berat badan 10-20 kg = 1000 + 50 mL/kgBB untuk setiap kilogram berat badan di atas
10 kg
• Berat badan > 20 kg = 1500 + 20 mL/kgBB untuk setiap kilogram berat badan di atau
20 kg
(Leksana, 2015).
12
mengandung partikel onkotik, dengan waktu paruh kristaloid di intravaskular berkisar
antara 20-30 menit. Keuntungan dari kristaloid diantaranya murah, mudah dibuat, dan
tidak menimbulkan reaksi imun. Sedangkan kerugian dari pemberian kristaloid yakni
apabila memberikan larutan Normal Saline dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik dikarenakan kadar natrium dan
kloridanya yang tinggi (154 mEq / L) sehingga konsentrasi bikarbonat plasma menurun
saat konsentrasi klorida meningkat. Kristaloid digunakan sebagai cairan resusitasi awal
pada pasien dengan hemoragik dan syok septik, luka bakar, cedera kepala (untuk 7
mempertahankan tekanan perfusi serebral), dan pada pasien yang menjalani
plasmaferesis dan reseksi hati. Ada 3 jenis tonisitas kritaloid, diantaranya:
- Isotonis.
Apabila jumlah elektrolit plasma terisi kristaloid pada jumlah yang sama dan
memiliki konsentrasi yang sama maka disebut sebagai isotonis. (iso, sama; tonis,
konsentrasi). Tidak terjadi perpindahan signifikan antara cairan di dalam sel dengan
intravaskular saat pemberian kristaloid isotonis. Hal tersebut menyebabkan hampir
tidak adanya osmosis. Dalam pemberian kristaloid isotonis pada jumlah besar perlu
diperhatikan adanya efek samping seperti edema perifer dan edema paru yang dapat
terjadi pada pasien. Contoh larutan kristaloid isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline
(NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% dalam ¼ NS.3.
- Hipertonis.
Kristaloid disebut hipertonis apabila jumlah elektrolit dari kristaloid lebih banyak
dibandingkan dengan plasma tubuh. Apabila pemberian kristaloid hipertonik
dilakukan terhadap pasien akan menyebabkan terjadinya penarikan cairan dari sel ke
ruang intravaskuler. Gejala yang timbul dari pemberian larutan hipertonis adalah
peningkatan curah jantung yang bukan hanya disebabkan oleh karena perbaikan
preload, tetapi juga disebabkan oleh efek sekunder karena efek inotropik positif pada
miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral.
Hal ini dapat menyebabkan perbaikan aliran darah ke organ-organ vital. Namun
pemberian larutan hipertonis dapat menyebabkan efek samping seperti hipernatremia
dan hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid hipertonis antara lain Dextrose 5%
13
dalam ½ Normal Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%,
dan Dextrose 5% dalam RL
- Hipotonis.
Jika plasma memiliki elektrolit yang lebih banyak dibandingkan kristaloid dan
kurang terkonsentrasi, maka disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik,
konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah
dari intravaskular ke sel. Dextrose 5% dalam air, ½ Normal Saline merupakan
beberapa contoh dari larutan kristaloid hipotonik.
b. Cairan Koloid.
Cairan koloid membantu mempertahankan tekanan onkotik koloid plasma sehingga
sebagian besar tetap berada di ruang intravaskular, sedangkan larutan kristaloid dengan
cepat menyeimbangkan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraselular.
Cairan koloid bertahan lebih lama di dalam ruang intravaskuler disebabkan oleh karena
aktivitas osmotik serta mempunyai zat-zat yang berat molekulnya tinggi. Pasien
dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik sebelum
diberikan transfusi darah ataupun pada penderita hipoalbuminemia berat dan
kehilangan protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar) dapat diberikan cairan
koloid sebagai salah satu langkah resusitasi. Cairan koloid merupakan turunan dari
plasma protein dan sintetik. Kerugian dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang
mahal, dapat dapat menyebabkan gangguan pada cross match dan menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang). Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:
1. Koloid Alami yaitu fraksi albumin ( 5% dan 25%) dengan protein plasma 5%.
Dibuat dengan cara memanaskan plasma dalam suhu 60°C selama 10 jam agar
virus hepatitis dan virus lainnya terbunuh. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor fragments) terdapat
dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps
kardiovaskuler.
14
2. Koloid Sintetik.
- Dextran
Dextrans digunakan untuk mengganti cairan karena memiliki
rentang waktu efek yang lebih lama pada ruang intravaskuler. Cairan koloid
ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah besar. Efek
samping dari pemberian Dextran di antaranya gagal ginjal sekunder akibat
pengendapan di dalam tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati
dan gangguan pada cross-matching darah. Oleh karena banyaknya efek
samping yang disebabkan, cairan ini jarang dipilih. Contoh sediaan yang
ada, antara lain : Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000
dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000.
- Hydroxylethyl Starch (Hetastarch).
Hetastarch merupakan golongan nonantigenik dan reaksi
anafilaktoid jarang dilaporkan terjadi. Rekomendasi dosis maksimal harian
penggunaan cairan HES adalah 33-50 ml/kgBB/hari. Low molecular weight
Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip dengan Hetastarch. Pentastarch
memiliki kemampuan untuk mengembangkan volume plasma hingga 1,5
kali volume yang diberikan dan dapat berlangsung selama 12 jam.
Pentastarch menjadi opsi dari jenis koloid yang dapat digunakan sebagai
cairan resusitasi jumlah besar karena potensinya sebagai plasma volume
expander dengan toksisitas yang rendah dan tidak menyebabkan
terganggunya proses koagulasi.
- Gelatin.
Merupakan bagian dari koloid sintesis yang bersumber dari gelatin,
biasanya berasal dari collagen bovine. Larutan gelatin adalah urea atau
modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Jika dibandingkan
dengan jenis koloid lainnya, gelatin memeliki berat molekul yang relatif
rendah yaitu 30,35 kDa. Efek ekspansi plasma segera dari gelatin adalah
80-100% dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi hemodilusi
normovolemik. Gelatin dapat memicu reaksi hipersensitivitas, lebih sering
15
daripada larutan HES. Ekskresi gelatin dilakukan di ginjal, dan tidak ada
akumulasi jaringan.
16
redistribusi cairan internal yang sedang berlangsung. Pada kasus-kasus
kehilangan cairan tidak normal yang sedang berlangsung, seperti dari saluran
pencernaan atau saluran kencing, dibutuhkan cairan pengganti. Terapi cairan
pengganti intravena memiliki tujuan untuk menjaga dan mengembalikan
homeostasis yang adekuat dengan cara memenuhi kebutuhan ekstra dari cairan
dan elektrolit.
3. Cairan untuk Tujuan Khusus.
Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya
natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus
terhadap gangguan keseimbangan elektrolit
4. Cairan Nutrisi.
Pasien yang tidak mengkonsumsi makanan peroral ataupun yang tidak
boleh makan dapat diberikan cairan nutrisi. Jenis cairan nutrisi parenteral pada
saat ini sudah dalam berbagai komposisi, baik untuk parenteral parsial atau total
maupun untuk kasus penyakit tertentu. Adapun syarat pemberian nutrisi
parenteral yaitu berupa:
- Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokunateus, atresia
intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus.
- Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat,
status preoperatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, stenosis arteri
mesenterika, diare berulang.
- Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan, pseudo-
obstruksi dan skleroderma.
Kondisi dimana jalur enteral tidak memungkinkan untuk diberikan kepada
pasien antara lain pada pada pasien dengan gangguan makan, muntah terus
menerus, gangguan hemodinamik, maupun dengan hiperemesis gravidarum.
17
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Tubuh manusia tersusun sebagian besar oleh cairan. Hampir 60% berat badan orang
dewasa terdiri dari cairan. Jumlah cairan tubuh total pada masingmasing individu dapat
bervariasi menurut umur, berat badan, jenis kelamin serta jumlah lemak tubuh. Air
menyusun sekitar 60 persen dari total berat tubuh pada laki laki dewasa. Untuk tubuh
wanita dewasa mengandung cairan sekitar 50 persen dari total berat badannya. Hal ini
disebabkan karena jumlah jaringan adiposa yang relatif lebih banyak pada wanita
dibandingkan dengan pria. Pada bayi, 75 persen komposisi tubuhnya terdiri dari cairan
dibandingkan dengan orang dewasa. Sejalan dengan pertumbuhan seseorang, maka
persentase total cairan tubuh terhadap berat badan akan semakin menurun.
Cairan tubuh terdistribusi antara dua kompartemen cairan utama yang dipisahkan
oleh membran sel, yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler
dibagi menjadi intravaskular atau plasma dan kompartemen interstitial. Selain itu ada pula
kompartemen kecil yang juga disebut sebagai cairan transeluler. Bagian tersebut terdiri
dari cairan dalam rongga sinovial, peritoneum, perikardium serta cairan serebrospinal.
Cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid dan koloid.
3.2 Saran
Demikian makalah ini kami susun, semoga dapat memberikan manfaat khususnya kepada
para pembaca. Besar harapan penyusun agar pembaca dapat memberikan kritik dan saran
yang dapat membangun dan mengembangkan kembali kekurangan yang terdapat pada
makalah ini.
18
DAFTAR PUSTAKA
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid and Electrolyte
Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed. New York: Mc-
Graw Hill. 2013; 4 (49): h. 1107 – 40.
Dewi E dan Rahayu S. 2010. Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik. Surakarta : Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Hardisman. 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update dan
Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas. Sulawesi : FK UNAND
Leksana, Ari. 2015. Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi. Semarang : RSUD Kariadi.
19