Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

TERAPI CAIRAN DALAM KEGAWATDARURATAN

Oleh Kelompok I :

I Gede Agus Okta Wahyu Nugraha (P07120219052)

Kadek Ena Ardiyanti (P07120219075)

Putu Lydia Kusuma Riawan (P07120219078)

Ni Luh Sulistia Dewi (P07120219081)

Kadek Phalya Kamalaputri (P07120219089)

I Wayan Yogik Prayoga (P07120219095)

I Gusti Bagus Ade Oka Dwipayana (P07120219100)

Kelas/Prodi: 3B/S.Tr Keperawatan

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Terapi Cairan dalam Kegawat Daruratan”.

Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan
bantuan banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab
itu, kami juga ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
dapat menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat membutuhkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Denpasar, 20 Agustus 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar .......................................................................................................................i


Daftar isi.................................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan .................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................2
1.3 Tujuan .......................................................................................................................2
Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian Cairan Tubuh ...........................................................................................3
2.2 Pengertian Syok .........................................................................................................4
2.3 Jenis-Jenis Syok .........................................................................................................5
2.4 Pengertian Syok Hipovolemik ...................................................................................6
2.5 Patofisiologi Syok Hipovolemik ................................................................................6
2.6 Gejala Klinis Syok Hipovolemik ...............................................................................7
2.7 Penatalaksanaan Syok ...............................................................................................9
2.8 Terapi Cairan .............................................................................................................10
2.9 Jenis Cairan dan Indikasinya .....................................................................................12
Bab III Penutupan
3.1 Simpulan ....................................................................................................................18
3.2 Saran ..........................................................................................................................18
Daftar Pustaka ........................................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara patofisiologi syok merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan sebagai kondisi
tidak adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang diakibatkan oleh gangguan
hemodinamik. Sementara itu, syok hipovolemik adalah kondisi medis atau bedah dimana
terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,
disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak
adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat
(syok haemoragik). (Hardisman, 2013).
Syok hipovolemik kebanyakan akibat dari kehilangan darah akut sekitar 20% dari volume
total. Tanpa darah yang cukup atau penggantian cairan, syok hipovolemik dapat menyebabkan
kerusakan irreversible pada organ dan system (Dewi & Rahayu, 2010).
Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi yang agresif dan pemantauan
yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi intensif. Pengelolaan resusitasi cairan yang
tepat dan cepat diperlukan untuk menangani keadaan gawat syok.
Pemberian metode terapi cairan dengan tujuan perbaikan dan perawatan stabilitas
hemodinamik pada pasien memerlukan berbagai pertimbangan, karena pemilihannya
tergantung pada jenis dan komposisi elektrolit dari cairan yang hilang dari tubuh. Jumlah
kasus kesalahan terapi cairan jarang dilaporkan, namun diketahui satu diantara lima pasien
dengan pemberian terapi cairan dan elektrolit intravena menderita komplikasi atau morbiditas
karena pemberian terapi cairan yang tidak tepat (I Putu Raditya Dananjaya Sukarata,2017).
Mengetahui pentingnya pemberian terapi cairan dan pertimbangan lainnya terhadap pasien
dengan syok membuat penulis tertarik untuk membahas terapi cairan dalam kegawat
daruratan.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian cairan tubuh?
2. Apa pengertian syok?
3. Bagaimana jenis-jenis syok?
4. Apa pengertian syok hipovolemik?
5. Bagaimana patofisiologi syok hipovolemik?
6. Bagaiamana gejala klinis syok hipovolemik?
7. Bagaiamana penatalaksanaan syok?
8. Apa pengertian terapi cairan?
9. Apa saja jenis-jenis cairan dan indikasinya?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian cairan tubuh.
2. Untuk mengetahui pengertian syok.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis syok.
4. Untuk mengenal pengertian syok hipovolemik.
5. Untuk mengetahui patofisiologi syok hipovolemik.
6. Untuk mengetahui gejala klinis syok hipovolemik.
7. Untuk mengenal penatalaksanaan syok.
8. Untuk mengetahui pengertian terapi cairan.
9. Untuk mengenal jenis-jenis cairan dan indikasinya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Cairan Tubuh


Tubuh manusia tersusun sebagian besar oleh cairan. Hampir 60% berat badan orang
dewasa terdiri dari cairan. Jumlah cairan tubuh total pada masingmasing individu dapat
bervariasi menurut umur, berat badan, jenis kelamin serta jumlah lemak tubuh. Air menyusun
sekitar 60 persen dari total berat tubuh pada laki laki dewasa. Untuk tubuh wanita dewasa
mengandung cairan sekitar 50 persen dari total berat badannya. Hal ini disebabkan karena
jumlah jaringan adiposa yang relatif lebih banyak pada wanita dibandingkan dengan pria.
Pada bayi, 75 persen komposisi tubuhnya terdiri dari cairan dibandingkan dengan orang
dewasa. Sejalan dengan pertumbuhan seseorang, maka persentase total cairan tubuh terhadap
berat badan akan semakin menurun. Hal ini berhubungan dengan faktor bertambahnya usia,
yang menyebabkan berkurangnya persentase cairan dalam tubuh.
Distribusi Cairan Tubuh

Distribusi Cairan Laki-laki Dewasa Perempuan Bayi


Dewasa
Total air tubuh (%) 60 50 75
Intrasekuker 40 30 40
Ekstraseluler 20 20 35
-Plasma 5 5 5
-Intersisial 15 15 30

Cairan tubuh terdistribusi antara dua kompartemen cairan utama yang dipisahkan
oleh membran sel, yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler
dibagi menjadi intravaskular atau plasma dan kompartemen interstitial. Selain itu ada pula
kompartemen kecil yang juga disebut sebagai cairan transeluler. Bagian tersebut terdiri dari
cairan dalam rongga sinovial, peritoneum, perikardium serta cairan serebrospinal. Cairan
tersebut termasuk ke dalam jenis khusus cairan ekstraseluler yakni:
1. Cairan intraseluler
Cairan mengandung sejumlah besar ion kalium dan fosfat ditambah ion
magnesium dan sulfat dalam jumlah sedang, yang mana semua ion ini memiliki

3
konsentrasi yang rendah di cairan ekstraseluler. Sel ini juga mengandung
sejumlah besar protein, hampir empat kali jumlah protein dalam plasma.
2. Cairan ekstraseluler
Komponen cairan ekstraseluler terdiri dari ion natrium, klorida dan
bikarbonat yang jumlahnya banyak serta ditambah berbagai zat gizi untuk sel,
seperti oksigen, glukosa, asam lemak, dan asam amino. Komponen penting dari
cairan ekstraseluler adalah cairan interstisial, yang jumlahnya mencapai tiga
perempat dari keseluruhan cairan ekstraselular, dan seperempat lainnya
merupakan plasma.
2.2 Syok
Pengertian syok terdapat bermacam-macam sesuai dengan konteks klinis dan tingkat
kedalaman analisisnya. Secara patofisiologi syok merupakan gangguan sirkulasi yang
diartikan sebagai kondisi tidak adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang
diakibatkan oleh gangguan hemodinamik. Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa
penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan
pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung. Dengan demikian syok dapat terjadi
oleh berbagai macam sebab dan dengan melalui berbagai proses. Secara umum dapat
dikelompokkan kepada empat komponen yaitu masalah penurunan volume plasma
intravaskuler, masalah pompa jantung, masalah pada pembuluh baik arteri, vena, arteriol,
venule atupun kapiler, serta sumbatan potensi aliran baik pada jantung, sirkulasi pulmonal
dan sitemik (Hardisman, 2013)
Penurunan hebat volume plasma intravaskuler merupakan faktor utama yang menyebabkan
terjadinya syok. Dengan terjadinya penurunan hebat volume intravaskuler apakah akibat
perdarahan atau dehidrasi akibat sebab lain maka darah yang balik ke jantung (venous
return) juga berkurang dengan hebat, sehingga curah jantung pun menurun. Pada akhirnya
ambilan oksigen di paru juga menurun dan asupan oksigen ke jaringan atau sel (perfusi) juga
tidak dapat dipenuhi. Begitu juga halnya bila terjadi gangguan primer di jantung, bila otot-otot
jantung melemah yang menyebabkan kontraktilitasnya tidak sempurna, sehingga tidak dapat
memompa darah dengan baik dan curah jantungpun menurun. Pada kondisi ini meskipun
volume sirkulasi cukup tetapi tidak ada tekanan yang optimal untuk memompakan darah
yang dapat memenuhi kebutuhan oksigen jaringan, akibatnya perfusi juga tidak terpenuhi.

4
Gangguan pada pembuluh dapat terjadi pada berbagai tempat, baik arteri (afterload), vena
(preload), kapiler dan venula. Penurunan hebat tahanan vaskuler arteri atau arteriol akan
menyebabkan tidak seimbangnya volume cairan intravaskuler dengan pembuluh tersebut
sehingga menyebabkan tekanan darah menjadi sangat rendah yang akhirnya juga
menyebabkan tidak terpenuhinya perfusi jaringan. Peningkatan tahanan arteri juga dapat
mengganggu sistim sirkulasi yang mengakibatkan menurunya ejeksi ventrikel jantung
sehingga sirkulasi dan oksigenasi jaringan menjadi tidak optimal. Begitu juga bila terjadi
peningkatan hebat pada tonus arteriol, yang secara langsung dapat menghambat aliran sirkulasi
ke jaringan. Gangguan pada vena dengan terjadinya penurunan tahanan atau dilatasi yang
berlebihan menyebabkan sistim darah balik menjadi sehingga pengisian jantung menjadi
berkurang pula. Akhirnya menyebabkan volume sekuncup dan curah jantung juga menurun
yang tidak mencukupi untuk oksigenasi dan perfusi ke jaringan. Gangguan pada kapiler secara
langsung seperti terjadinya sumbatan atau kontriksi sistemik secara langsung menyebabkan
terjadinya gangguan perfusi karena area kapiler adalah tempat terjadinya pertukaran gas
antara vaskuler dengan jaringan sel-sel tubuh (Hardisman, 2013).

2.3 Jenis-Jenis Syok.


Berdasarkan sebab dan kesamaan mekanisme terjadinya syok dapat dikelompokkan
menjadi beberapa macam menurut Hardisman, 2013; Herdiyanto, 2010 yaitu:
− Syok hipovolemik : kehilangan cairan/plasma (karena luka bakar, gagal ginjal, diare,
muntah), kehilangan darah (sebelum atau sesudah operasi).
− Syok kardiogenik : syok yang disebabkan kegagalan jantung, metabolisme miokard.
Apabila lebih dari 40% miokard ventrikel mengalami gangguan, maka akan tampak
gangguan fungsi vital dan kolaps kardiovaskular.
− Syok distributif : terjadinya gangguan distribusi aliran darah (pada seseorang yang sehat
mendadak timbul demam tinggi dan keadaan umum memburuk setelah dilakukan
tindakan instrumentasi atau prosedur invasif).
− Syok obstruktif : terjadinya gangguan anatomis dari aliran darah berupa hambatan aliran
darah

5
2.4 Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya volume plasma di
intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang
menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi
berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik
yang paling sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal
juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma hebat
pada organ-organ tubuh atau fraktur yang disertai dengan luka ataupun luka langsung pada
pembuluh arteri utama (Hardisman, 2013).
Syok hipovolemik dapat disebabkan oleh kehilangan volume massive yang disebabkan
oleh: perdarahan gastro intestinal, internal dan eksternal hemoragi, atau kondisi yang
menurunkan volume sirkulasi intravascular atau cairan tubuh lain, intestinal obstruction,
peritonitis, acute pancreatitis, ascites, dehidrasi dari excessive perspiration, diare berat atau
muntah, diabetes insipidus, diuresis, atau intake cairan yang tidak adekuat (Dewi & Rahayu,
2010).
Kemungkinan besar yang dapat mengancam nyawa pada syok hipovolemik berasal dari
penurunan volume darah intravascular, yang menyebabkan penurunan cardiac output dan
tidak adekuatnya perfusi jaringan. Kemudian jaringan yang anoxia mendorong perubahan
metabolisme dalam sel berubah dari aerob menjadi anaerob. Hal ini menyebabkan akumulasi
asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolic.

2.5 Patofisiologi Syok Hipovolemik.


Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan
mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelelepasan
tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2
lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang
rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan
menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan
fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi

6
pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan
penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus
aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan
mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan
traktus gastrointestinal (Hardisman, 2013).
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin
dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I,
yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II
mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik,
yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks
adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan
menyebabkan retensi air (Hardisman, 2013).
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior
sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap
penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung
ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus
kolektivus, dan lengkung Henle (Hardisman, 2013).

2.6 Gejala Klinis Syok Hipovolemik.


Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah
kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi oleh
tubuh dengan meningkatkan tahanan pembuluh dan frekuensi dan kontraktilitas otot jantung.
Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan
menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum syok hipovolemik menimbulkan gejala
peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin
dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ektremitas yang dingin dan pengisian kapiler yang
lambat.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok hipovolemik
berupa pemeriksaan frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada
ujung-ujung jari (refiling kapiler), suhu dan turgor kulit. Berdasarkan persentase volume

7
kehilangan darah, syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium
(ATLS, 2004).

Tabel Klasifikasi perdarahan menurut ATLS

Sangat berbahaya untuk menunggu sampai tanda-tanda syok jelas, dan baru setelah itu
mulai pemulihan volume dengan agresif. Resusitasi cairan harus dimulai bila tanda-tanda dan
gejala kehilangan darah nampak atau diduga, bukan bila tekanan darah menurun atau sudah
tidak terdeteksi (ATLS, 2004).
Selain karena perdarahan, syok hipovolemik juga dapat terjadi pada keadaan dehidrasi.
Dehidrasi merupakan kondisi defisit air dan elektrolit dengan penyebab multifaktor. Balita
adalah kelompok yang paling rentan mengalami kondisi ini. Proses dehidrasi yang
berkelanjutan dapat menimbulkan syok hipovolemia yang akan menyebabkan gagal organ dan
kematian (Leksana, 2015). Kriteria dehidrasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:.

Tabel Derajat Dehidrasi Pada Anak


Tanda Klinis Derajat Ringan Derajat Sedang Derajat Berat
(3-5% BB) (6-8% BB) (>10% BB(
Rasa Haus Normal Sangat Haus Tidak Dapat Minum
Nadi Normal Hingga Meningkat dan Sangat Meningkat
Meningkat Lemah dan Lemah
Mata Normal Cowong Sangat Cowong
Lidah Normal Lunak Kecil dan Keriput
Turgor Kulit Normal Menurun Sangat Menurun
Ubun-Ubun Normal Cekung Sangat Cekung

8
Tekanan Normal Hingga Sangat Menurun Tidak Terukur
Darah Menurun
Urine Berkurang Berkurang dan Minimal Hingga
Pekat Tidak Keluar Urine

Tabel Derajat Dehidrasi pada Dewasa

2.7 Penatalaksanaan Syok.


Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki
perfusi jaringan seperti; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan suhu tubuh.
Tindakan tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga
dapat diberikan pengobatan kausal.
Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A
= air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B =
breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian
oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati
atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi
dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk

9
mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi
perifer, Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan CVP. Pemeriksaan
neurologi (D = disability) menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil
bermanfaat untuk menilai perfusi otak. (ATLS, 2004). Segera menghentikan perdarahan yang
terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok. (ATLS,
2004)
Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-tanda vital dan
hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya kondisi tersebut dipertahankan
dan dijaga agar tetap pada kondisi stabil (Hardisman, 2013).

2.8 Terapi Cairan.


Manajemen resusitasi cairan merupakan hal penting pada syok, dan kekeliruan
manajemen dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input
cairan harus mampu untuk mengganti cairan yang hilang. Tujuan terapi cairan bukan untuk
kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka
mortalitas.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi
kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan
demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan
dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah. Untuk perbaikan sirkulasi, langkah
utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Sebelumnya, ambil darah ± 20 ml
untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perlu Cross test. Perdarahan
berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan jiwa. Jika hemoglobin rendah maka
cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah (Hardisman, 2013).
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi
intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler dengan cara
menggantikan kehilangan cairan berikutnya ke dalam ruang interstisial dan intraseluler.
Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua.
Walaupun NaCl fisiologis merupakan cairan pengganti yang baik namun cairan ini memiliki
potensi untuk terjadinya asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungsi
ginjal kurang baik (ATLS, 2004).

10
Pada saat awal cairan diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus. Dosis awal 1
sampai 2 liter pada dewasa dan 20ml/kgBB pada anak, selanjutnya dilakukan evaluasi respon
pasien terhadap pemberian cairan ini.
Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada
evaluasi penderita. Perkiraan kehilangan cairan dan darah dapat dilihat cara menentukan
jumlah cairan dan darah yang mungkin diperlukan oleh penderita. Perhitungan kasar untuk
jumlah total volume kristaloid yang secara akut diperlukan adalah mengganti setiap milliliter
darah dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan restitusi volume plasma yang
hilang ke dalam ruang intersitisal dan intraseluler, hal ini dikenal sebagai “hokum 3 untuk 1
“(3 for 1 rule)”. Namun, lebih penting untuk menilai respon penderita kepada resusitasi cairan
dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat
kesadaran, dan perfusi perifer (ATLS, 2004). Produksi urin dalam kondisi tertentu dapat
digunakan sebagai pemantau fungsi ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya
menghasilkan keluaran urin sekitar 0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anak-
anak, dan 2 ml/kg/jam untuk bayi.
Tabel Respon Terhadap Pemberian Cairan Awal
Respon Cepat Respon Sementara Tanpa Respon
Tanda Vital Kembali ke normal Perbaikan sementara Tetap abnormal
Tensi dan nadi kembali
turun
Dugaan Minimal (10%- Sedang, masih ada (20- Berat (>40%)
Kehilangan 20%) 40%)
Darah
Kebutuhan Sedikit Banyak Banyak
Kristaloid
Kebutuhan Sedikit Sedang-Banyak Segera
Darah
Persiapan Type specific dan Type spesific Emergensi
Darah crossmatch
Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti
Kehadiran dini Perlu Perlu Perlu
ahli bedah

Pada dehidrasi, cecara sederhana prinsip penatalaksanaan dehidrasi adalah mengganti


cairan yang hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit, sehingga keseimbangan
hemodinamik kembali tercapai. Selain pertimbangan derajat dehidrasi, penanganan juga

11
ditujukan untuk mengoreksi status omolaritas pasien (Leksana, 2015). Penanganan kondisi ini
dibagi menjadi 2 tahap:
Tahap Pertama berfokus untuk mengatasi kedaruratan dehidrasi, yaitu syok hipovolemia
yang membutuhkan penanganan cepat. Pada tahap ini dapat diberikan cairan kristaloid isotonik,
seperti ringer lactate (RL) atau NaCl 0,9% sebesar 20 mL/kgBB. Perbaikan cairan intravaskuler
dapat dilihat dari perbaikan takikardi, denyut nadi, produksi urin, dan status mental pasien.
Apabila perbaikan belum terjadi setelah cairan diberikan dengan kecepatan hingga 60
mL/kgBB, maka etiologi lain syok harus dipikirkan (misalnya anafi laksis, sepsis, syok
kardiogenik). Pengawasan hemodinamik dan golongan inotropik dapat diindikasikan. Tahap
Kedua berfokus pada mengatasi defisit, pemberian cairan pemeliharaan dan penggantian
kehilangan yang masih berlangsung. Kebutuhan cairan pemeliharaan diukur dari jumlah
kehilangan cairan (urin, tinja) ditambah IWL. Jumlah IWL adalah antara 400-500 mL/m2 luas
permukaan tubuh dan dapat meningkat pada kondisi demam dan takipnea. Secara kasar
kebutuhan cairan berdasarkan berat badan adalah:
• Berat badan < 10 kg = 100 mL/kgBB
• Berat badan 10-20 kg = 1000 + 50 mL/kgBB untuk setiap kilogram berat badan di atas
10 kg
• Berat badan > 20 kg = 1500 + 20 mL/kgBB untuk setiap kilogram berat badan di atau
20 kg
(Leksana, 2015).

2.9 Jenis Cairan dan Indikasinya


Cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid dan koloid.
a. Cairan Kristaloid
Cairan Kristaloid atau Elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida)
merupakan komponen dari kristaloid. Karakteristik kristaloid ditandai dengan
pengaruhnya terhadap status asam-basa. Kristaloid digunakan untuk menggantikan
kehilangan sodium atau mempertahankan status quo. Cairan kristaloid perawatan
mengandung konsentrasi natrium yang sama dengan konsentrasi total tubuh normal (70
mmol / L), sedangkan cairan kristaloid pengganti memiliki kandungan natrium pada
konsentrasi yang mirip dengan plasma normal (kira-kira 140 mmol/L). Kristaloid tidak

12
mengandung partikel onkotik, dengan waktu paruh kristaloid di intravaskular berkisar
antara 20-30 menit. Keuntungan dari kristaloid diantaranya murah, mudah dibuat, dan
tidak menimbulkan reaksi imun. Sedangkan kerugian dari pemberian kristaloid yakni
apabila memberikan larutan Normal Saline dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik dikarenakan kadar natrium dan
kloridanya yang tinggi (154 mEq / L) sehingga konsentrasi bikarbonat plasma menurun
saat konsentrasi klorida meningkat. Kristaloid digunakan sebagai cairan resusitasi awal
pada pasien dengan hemoragik dan syok septik, luka bakar, cedera kepala (untuk 7
mempertahankan tekanan perfusi serebral), dan pada pasien yang menjalani
plasmaferesis dan reseksi hati. Ada 3 jenis tonisitas kritaloid, diantaranya:
- Isotonis.
Apabila jumlah elektrolit plasma terisi kristaloid pada jumlah yang sama dan
memiliki konsentrasi yang sama maka disebut sebagai isotonis. (iso, sama; tonis,
konsentrasi). Tidak terjadi perpindahan signifikan antara cairan di dalam sel dengan
intravaskular saat pemberian kristaloid isotonis. Hal tersebut menyebabkan hampir
tidak adanya osmosis. Dalam pemberian kristaloid isotonis pada jumlah besar perlu
diperhatikan adanya efek samping seperti edema perifer dan edema paru yang dapat
terjadi pada pasien. Contoh larutan kristaloid isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline
(NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% dalam ¼ NS.3.
- Hipertonis.
Kristaloid disebut hipertonis apabila jumlah elektrolit dari kristaloid lebih banyak
dibandingkan dengan plasma tubuh. Apabila pemberian kristaloid hipertonik
dilakukan terhadap pasien akan menyebabkan terjadinya penarikan cairan dari sel ke
ruang intravaskuler. Gejala yang timbul dari pemberian larutan hipertonis adalah
peningkatan curah jantung yang bukan hanya disebabkan oleh karena perbaikan
preload, tetapi juga disebabkan oleh efek sekunder karena efek inotropik positif pada
miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral.
Hal ini dapat menyebabkan perbaikan aliran darah ke organ-organ vital. Namun
pemberian larutan hipertonis dapat menyebabkan efek samping seperti hipernatremia
dan hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid hipertonis antara lain Dextrose 5%

13
dalam ½ Normal Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%,
dan Dextrose 5% dalam RL
- Hipotonis.
Jika plasma memiliki elektrolit yang lebih banyak dibandingkan kristaloid dan
kurang terkonsentrasi, maka disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik,
konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah
dari intravaskular ke sel. Dextrose 5% dalam air, ½ Normal Saline merupakan
beberapa contoh dari larutan kristaloid hipotonik.
b. Cairan Koloid.
Cairan koloid membantu mempertahankan tekanan onkotik koloid plasma sehingga
sebagian besar tetap berada di ruang intravaskular, sedangkan larutan kristaloid dengan
cepat menyeimbangkan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraselular.
Cairan koloid bertahan lebih lama di dalam ruang intravaskuler disebabkan oleh karena
aktivitas osmotik serta mempunyai zat-zat yang berat molekulnya tinggi. Pasien
dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik sebelum
diberikan transfusi darah ataupun pada penderita hipoalbuminemia berat dan
kehilangan protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar) dapat diberikan cairan
koloid sebagai salah satu langkah resusitasi. Cairan koloid merupakan turunan dari
plasma protein dan sintetik. Kerugian dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang
mahal, dapat dapat menyebabkan gangguan pada cross match dan menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang). Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:
1. Koloid Alami yaitu fraksi albumin ( 5% dan 25%) dengan protein plasma 5%.
Dibuat dengan cara memanaskan plasma dalam suhu 60°C selama 10 jam agar
virus hepatitis dan virus lainnya terbunuh. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor fragments) terdapat
dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps
kardiovaskuler.

14
2. Koloid Sintetik.
- Dextran
Dextrans digunakan untuk mengganti cairan karena memiliki
rentang waktu efek yang lebih lama pada ruang intravaskuler. Cairan koloid
ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah besar. Efek
samping dari pemberian Dextran di antaranya gagal ginjal sekunder akibat
pengendapan di dalam tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati
dan gangguan pada cross-matching darah. Oleh karena banyaknya efek
samping yang disebabkan, cairan ini jarang dipilih. Contoh sediaan yang
ada, antara lain : Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000
dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000.
- Hydroxylethyl Starch (Hetastarch).
Hetastarch merupakan golongan nonantigenik dan reaksi
anafilaktoid jarang dilaporkan terjadi. Rekomendasi dosis maksimal harian
penggunaan cairan HES adalah 33-50 ml/kgBB/hari. Low molecular weight
Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip dengan Hetastarch. Pentastarch
memiliki kemampuan untuk mengembangkan volume plasma hingga 1,5
kali volume yang diberikan dan dapat berlangsung selama 12 jam.
Pentastarch menjadi opsi dari jenis koloid yang dapat digunakan sebagai
cairan resusitasi jumlah besar karena potensinya sebagai plasma volume
expander dengan toksisitas yang rendah dan tidak menyebabkan
terganggunya proses koagulasi.
- Gelatin.
Merupakan bagian dari koloid sintesis yang bersumber dari gelatin,
biasanya berasal dari collagen bovine. Larutan gelatin adalah urea atau
modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Jika dibandingkan
dengan jenis koloid lainnya, gelatin memeliki berat molekul yang relatif
rendah yaitu 30,35 kDa. Efek ekspansi plasma segera dari gelatin adalah
80-100% dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi hemodilusi
normovolemik. Gelatin dapat memicu reaksi hipersensitivitas, lebih sering

15
daripada larutan HES. Ekskresi gelatin dilakukan di ginjal, dan tidak ada
akumulasi jaringan.

Tabel Perbandingan Kristaloid dan Koloid


Sifat Kristaloid Kiloid
Berat Molekul Lebih kecil Lebih besar
Distribusi Lebih cepat: 20-30 Lebih lama dalam
menit sirkulasi (3-6 jam)
Faal Hemostasis Tidak ada pengaruh Mengganggu
Penggunaan Dehidrasi Perdarahan masif
Koreksi Perdarahan Diberikan 2-3x jumlah Sesuai jumlah
perdarahan perdarahan

Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat digolongkan menjadi empat


kelompok, yaitu :
1. Cairan Pemeliharaan.
Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada penyediaan
cairan dan elektrolit intravena untuk pasien yang terjaga keseimbangan cairan
dan elektrolitnya, namun tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan cairannya
via enteral. Pemberian cairan pemeliharaan rutin bertujuan agar tersedianya
cairan dan elektrolit yang adekuat untuk memenuhi insensible losses, status
normal kompartemen cairan tubuh dapat dipertahankan dan memungkinkan
terjadinya ekskresi ginjal dari produk-produk limbah. Jenis cairan rumatan yang
dapat digunakan adalah NaCl 0,9%, glukosa 5%, glukosa salin, atau ringer
laktat/asetat. 10,11 Cairan rumatan dibutuhkan sekitar 25-30 ml/kg/hari.
Kebutuhan K, Na dan Cl kurang lebih 1mmol/kg/hari, sedangkan glukosa
dibutuhkan tubuh sebanyak 50-100 gram perhari. Perlu dilakukan monitor dan
penilaian ulang pada pasien setelah memberikan cairan pemeliharaan intravena
pada pasien. Cairan nasogastrium atau makanan enteral dipilih untuk kebutuhan
pemeliharaan lebih dari 3 hari.
2. Cairan Pengganti.
Penghitungan optimal dari cairan intravena perlu dilakukan karena pasien
yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan spesifik untuk
mengganti kehilangan cairan atau elektrolit yang terjadi serta permasalahan

16
redistribusi cairan internal yang sedang berlangsung. Pada kasus-kasus
kehilangan cairan tidak normal yang sedang berlangsung, seperti dari saluran
pencernaan atau saluran kencing, dibutuhkan cairan pengganti. Terapi cairan
pengganti intravena memiliki tujuan untuk menjaga dan mengembalikan
homeostasis yang adekuat dengan cara memenuhi kebutuhan ekstra dari cairan
dan elektrolit.
3. Cairan untuk Tujuan Khusus.
Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya
natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus
terhadap gangguan keseimbangan elektrolit
4. Cairan Nutrisi.
Pasien yang tidak mengkonsumsi makanan peroral ataupun yang tidak
boleh makan dapat diberikan cairan nutrisi. Jenis cairan nutrisi parenteral pada
saat ini sudah dalam berbagai komposisi, baik untuk parenteral parsial atau total
maupun untuk kasus penyakit tertentu. Adapun syarat pemberian nutrisi
parenteral yaitu berupa:
- Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokunateus, atresia
intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus.
- Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat,
status preoperatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, stenosis arteri
mesenterika, diare berulang.
- Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan, pseudo-
obstruksi dan skleroderma.
Kondisi dimana jalur enteral tidak memungkinkan untuk diberikan kepada
pasien antara lain pada pada pasien dengan gangguan makan, muntah terus
menerus, gangguan hemodinamik, maupun dengan hiperemesis gravidarum.

17
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Tubuh manusia tersusun sebagian besar oleh cairan. Hampir 60% berat badan orang
dewasa terdiri dari cairan. Jumlah cairan tubuh total pada masingmasing individu dapat
bervariasi menurut umur, berat badan, jenis kelamin serta jumlah lemak tubuh. Air
menyusun sekitar 60 persen dari total berat tubuh pada laki laki dewasa. Untuk tubuh
wanita dewasa mengandung cairan sekitar 50 persen dari total berat badannya. Hal ini
disebabkan karena jumlah jaringan adiposa yang relatif lebih banyak pada wanita
dibandingkan dengan pria. Pada bayi, 75 persen komposisi tubuhnya terdiri dari cairan
dibandingkan dengan orang dewasa. Sejalan dengan pertumbuhan seseorang, maka
persentase total cairan tubuh terhadap berat badan akan semakin menurun.
Cairan tubuh terdistribusi antara dua kompartemen cairan utama yang dipisahkan
oleh membran sel, yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler
dibagi menjadi intravaskular atau plasma dan kompartemen interstitial. Selain itu ada pula
kompartemen kecil yang juga disebut sebagai cairan transeluler. Bagian tersebut terdiri
dari cairan dalam rongga sinovial, peritoneum, perikardium serta cairan serebrospinal.
Cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid dan koloid.
3.2 Saran
Demikian makalah ini kami susun, semoga dapat memberikan manfaat khususnya kepada
para pembaca. Besar harapan penyusun agar pembaca dapat memberikan kritik dan saran
yang dapat membangun dan mengembangkan kembali kekurangan yang terdapat pada
makalah ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid and Electrolyte
Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed. New York: Mc-
Graw Hill. 2013; 4 (49): h. 1107 – 40.
Dewi E dan Rahayu S. 2010. Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik. Surakarta : Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Hardisman. 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update dan
Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas. Sulawesi : FK UNAND
Leksana, Ari. 2015. Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi. Semarang : RSUD Kariadi.

19

Anda mungkin juga menyukai