Anda di halaman 1dari 27

LEMBAGA PENEGAK HUKUM, PEMBERANTASAN, DAN

PENCEGAHAN KORUPSI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 8 (2B) S.Tr Keperawatan

Nama Anggota Kelompok

Ni Ketut Restu Aditya Putri (P07120219058)

I Gede Made Krisna Dwipayana (P07120219064)

Putu Lydia Kusuma Riawan (P07120219078)

Ni Putu Dyah Aditya Pradnyani (P07120219080)

Kadek Cindy Silviana Amartha Putri (P07120219086)

Ni Made Ditha Sukmariasih (P07120219087)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

2020 / 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat
dan hidayah-Nya makalah yang berjudul “Lembaga Penegak Hukum, Pemberantasan, dan
Pencegahan Korupsi” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam penulisan dan penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan dikarenakan kurangnya pengalaman dan pengetahuan
yang kami miliki. Maka dari itu, kami menerima kritik dan saran yang membantu dalam
menyempurnakan makalah ini.

Penyusunan makalah ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bimbingan,
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan ini, kami
mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan berkat dan rahmat-Nya atas
bantuan yang telah diberikan kepada kami dalam penyusunan makalah ini, akhirnya semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 27 September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 3

1.3 Tujuan .............................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Lembaga Penegakan Tindak Pidana Korupsi ............................................... 4

1. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) dalam Penanggulangan


korupsi .................................................................................................................... 5

2. Peranan Kebijakan Republik Indonesia dalam Penanggulangan Tindakan Pidana


Korupsi ................................................................................................................... 6

3. Peranan Kebijakan Republik Indonesia ( NCB –interpo Indonesia ) dalam


Penanggulangan korupsi ......................................................................................... 13

4. Peran Badan Keuangan ( BPK ) dalam Pembrantasan Tindak Pidana korupsi 14

5. Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Timtastipkor ) ........ 15

2.2 Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana


Korupsi .......................................................................................................... 17

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 23

3.2 Saran .............................................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dimasa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi.
Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang keadaan bahaya, lembaga ini
disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), badan ini dipimpin oleh A.H.Nasution
dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Profesor M.Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Kepada PARAN inilah seluruh pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut
dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para
pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan
doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada presiden, formulir itu tidak diserahkan
kepada PARAN, tetapi langsung kepada presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik,
PARAN berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksaan tugasnya
kepada Kabinet Djuanda.

Operasi Budhi didirikan pada Tahun 1963, melalui Keputusan Presiden Nomor
275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang pada saat itu menjabat
sebagai menteri koordinator pertahanan dan kemanan/ KASAB, dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Bhudi. kali ini
dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi kepengadilan dengan sasaran
utama perusahaanperusahaan negara serta Lembaga Negara lainya yang dianggap rawan
praktek korupsi dan Kolusi.

Lagi-lagi alasan politisi menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama


Pertamina yang bertugas ke Luar Negeri dan direksi lainya menolak karena belum adanya
surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektifitas lembaga ini. Operasi Budhi ini juga
berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan ngara kurang lebih Rp.11M. Operasi
Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubaranya oleh Soebandrio kemudian diganti
menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAF) dengan presiden
Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari

1
pada tahun 2001 mencatat bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan
korupsi pada masa Orde Lama kembali masuk kejalur lambat, bahkan macet.

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus
1967, Soeharto terang-terangan mengkeritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas
korupsi dalam hubungan dengan Demokrasi yang terpusat ke Istana, pidato itu seakan
memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK),
yang diketuai Jaksa Agung. Namun ternyata, ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan
berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite 4 (empat) beranggotakan Tokoh-
Tokoh Tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof.Johanes, I.J.Kasimo, Mr
Wilopo, dan A.Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama,
Bulog, CV Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.

Empat tokoh bersih ini menjadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi
di Pertamina misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite
ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai
Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib dengan tugas antara lain juga memberatas
korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up
atau top down dikalangan pemberatas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan
pemberantasan korupsi, sehingga Operasi Tertib pun hilang seiring dengan makin
menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.

Di Era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara
yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai
komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN),
KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk
Tim. Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peratuan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. namun, ditengah semangat menggebu-gebu untuk
memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akhirnya dibubarkan dengan logikan
membenturkanya ke Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Nasib Serupa tapi tidak sama
dialami oleh KPKPN dengan dibentuknya Komis Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN

2
melebur masuk kedalam KPK, sehingga KPKPN sendiri menguap. Artinya, KPK adalah
Lembaga Pemberantasan Korupsi Terbaru yang kian bertahan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja lembaga penegakan tindak pidana korupsi?
2. Bagaiamana kebijakan pemerintah dalam pemberantasan dan pencegahan tindak
pidana korupsi?

1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui dan mempelajari lembaga penegakan tindak pidana korupsi
2. Dapat mengetahui dan mempelajari kebijakan pemerintah dalam pemberantasan
dan pencegahan tindak pidana korupsi

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Lembaga Penegakan Tindak Pidana Korupsi

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang


Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka penyidikan terhadap tindak
pidana korupsi dilaksanakan oleh 3 (tiga) instansi penegak hukum yaitu :
1. Kejaksaan Agung RepublikIndonesia;

2. Kepolisian Republik Indonesia;dan

3. Komisi PemberantasanKorupsi.

Sedangkanpenuntutanterhadaptindakpidanakorupsidilakukanoleh2 (dua)
instansi penegak hukum yaitu Kejaksaan Agung RI dan Komisi Pemberantasan
Korupsi yang masing-masing independen satudengan lainnya.
Selain lembaga-lembaga tersebut, dalam upaya meningkatkan kemampuan
dalam penanggulangan korupsi, telah pula dibentuk beberapa lembaga baru yaitu :
1. PusatPelaporandanAnalisisTransaksiKeuangan(PPATK).
2. Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; yang
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005);
3. Pengadilan Tindak PidanaKorupsi;
4. Tim PemburuKoruptor.

Selain lembaga-lembaga tersebut,lembaga yang juga terkait tugas dan


wewenangnya dalam melakukan penanggulangan korupsi adalah BPKP dan BPK serta
inspektorat Jendral tiap - tiapDepartemen/LPND atau BAWASDA di tiap-tiap
Pripinsi, Kabupaten dan Kota.

4
1.Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) dalam Penanggulangan
tindakan Korupsi
KPK sesuai ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor30 Tahun 2002
adalah merupakan lembaga negara yang
dalammelaksanakantugasdanwewenangnyabersifatindependendan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun baik pihak eksekutif, yudikatif, legislatif dan pihak-
pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi atau keadaan dan
situasiataupun dengan alasanapapun.
KPKdibentukdengantujuanmeningkatkandayagunadan hasil guna terhadap
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.Tugas KPK tidaklah hanya bersifat
penindakan (represif)terhadaptindakpidanakorupsitetapijugayangbersifat
pencegahan korupsi (preventif). Tugas-tugas KPK adalah:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidanakorupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidanakorupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi;dan
d. melakukanmonitorterhadappenyelenggaraanpemerintah-
annegara.

Butir a dan b, merupakan fungsi KPK sebagai trigger mechanism atau


pendorong terhadap optimalisasi tugas dan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan di bidang
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan melakukan koordinasi dan supervisi.
Dalam kaitannya dengan tugas koordinasi, KPK berwenang antara lain untuk
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.
Selain itu, dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK memiliki kewenangan khusus
yaitu dapat mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap kasus tindak pidana
korupsi yang sedang dilakukan
olehKepolisianatauKejaksaandenganalasanantaralain:
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak

5
ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut- larut
atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertangung-
jawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk
melindungipelaku tindak pidana korupsi yang
sesungguhnya;dan
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi, meliputi tindak pidana korupsi yang:

a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggaran negara, dan


orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh aparat penegakhukum atau
penyelenggaranegara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,-
(satumilyarrupiah).

2. Peranan Kebijakan Repbulik Indonesia dalam Penanggulangan Tindakan Pidana


Korupsi
Sebelum terbentuknya lembaga atau komisi yang mempunyai peran dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, kejaksaan sudah secara
konsisten menjalankan fungsi tersebut sejak berlakunya undang-undang nomor 3
tahun 1971atauUUNo.24Prp1960danPeraturanPenguasaPerang Pusat Angkatan
Darat Nomor : Prt/PERPU/013/1958. Oleh karena itu secara historis lembaga
kejaksaan telah cukup lama dan berpengalaman dalam melakukan pemberantasan
tindakpidanakorupsi.
Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun1991 tentang
Kejaksaan telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

6
SesuaiPasal2Kepprestersebut,disebutkanbahwatugas pokok kejaksaan
adalah melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan dan tugas-tugas lain
berdasarkan peraturan perundang-undangan serta turut serta menyelenggarakan
sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidanghukum.
Sedangkan fungsi Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Keppres 55
Tahun 1991 adalah :
a) merumuskan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijak- sanaan teknis,
pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perizinan sesuai
dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan
dankebijaksanaanumumyangditetapkanolehPresiden;
b) menyelenggarakan dan melaksanakan pembangunan sarana prasarana,
pembinaan manajemen, administrasi, organisasi dan ketatalaksanaan
serta pengelolaan atas milik Negara yang menjadi tanggungjawabnya;
c) melakukankegiatanpelaksanaanpenegakanhukumbaik preventif
maupun represif yang berintikan keadilan di
bidangpidana,melakukandan/atauturutmenyelenggara- kan intelijen
yustisial di bidang ketertiban dan
ketenteramanumum,memberikanbantuan,pertimbangan pelayanan dan
penegakan hukum di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara serta
tindakan hukum dan tugaslain, untuk menjamin kepastian
hukum,kewibawaan pemerintah menyelamatkan kekayaan negara,
berdasarkanperaturan perundang-undangan dan
kebijaksanaanumumyangditetapkanolehPresiden;
d) Menetapkan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau
tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan
penetapan hakim karena tidakmampu berdiri sendiri atau disebabkan
hal-hal yang dapatmembahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya
sendiri;
e) memberikan pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah di pusat
dan di daerah dan turut menyusun peraturan perundang-undangan serta
meningkatkan kesadaran hukummasyarakat

7
f) Menyelenggarakan koordinasi, bimbingan dan petunjuk teknis serta
pengawasan baik ke dalam maupun dengan instansi terkait atas
pelaksanaan tugaspokoknya

berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksaan umum yang


ditetapkan olehPresiden.

Untuk mendorong dan terus meningkatkan kualitas kejaksaan sebagaimana


tuntutan publik, maka kejaksaan merumuskan program strategis dalam
pemberantasan tindak pidanakorupsi,karenakitamaklumbahwapenyelesaiankorupsi
sebagai suatu permasalahan sistematik dan memerlukan pendekatan yang
sistematik pula yaitu antara lain melalui langkah-langkah pencegahan dan
penindakan:
1. Upaya-upayapencegahan.
- membuka akses bagi masyarakat atas informasi
penyelesaian pengaduan secara transparan, baik berupa
proses maupun dokumen yang berkaitan dengan
perkaratersebut;
- pelayanan pengaduan (public complain) warga masyarakat
atas sikap dan perilaku personil kejaksaan;
- akses masyarakat untuk menyampaikan berbagai informasi
mengenaigratifikasi;
- penyempurnaan sistem manajemen keuangannegara dan
manajemen SDM dan pembinaan aparatur negara;
- peningkatan kesadaran dan partisipasimasyarakat.

2. Upayapenindakan

a. Percepatan penyelesaian dan eksekusi tindak pidana


korupsi, ditempuh dengan beberapa strategi:
1) Menentukan sektor prioritas pemberantasan korupsi
untuk menyelamatkan uang negara. Prioritas

8
pemberantasan korupsi pada 5 (lima) besar lembaga
pemerintah dengan APBN terbesar;
2) Percepatan penyelesaian kasus-kasus korupsi yang
sudahada;
3) Mempercepatpembekuandanpengelolaanaset- aset
hasil penyitaannegara;
4) Melakukan pembatalan terhadap berbagai SP3
perkara-perkara korupsi yang secara hukum masih
dapat diproses kembali berupa diaktifkan- nya
kembali penyelesaian kasus-kasus korupsi
kontroversial;
5) Mempercepatproseshukumterhadaptersangka/
terdakwa tindak pidana korupsi di pusat dan daerah
yang melibatkan anggota DPR/DPRD, Kepala
Daerah dan Pejabatlainnya;
6) Mempercepat proses hukum terhadap penye-
lewengan anggaran temuan BPK dan BPKP yang
berindikasi tindak pidanakorupsi;
7) Melakukan eksekusi terhadap kasus-kasus korupsi yang
telah berkekuatan hukum tetap(in kracht van gewijsde)
berupa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana
korupsi.
b. Dukungan terhadap Lembaga Penegak Hukum, dilakukan
dengan cara:
1) Membentuk satuan tugas (Task Force) yang
terdiridari para ahli/profesional yang berhubungan
dengan tindak pidanakorupsi;
2) Meningkatkan koordinasidan persamaan persepsi
antara lembaga penegak audit internal dan eksternal
pemerintah dengankejaksaan;
3) Peningkatankapasitasaparaturpenegakhukum;

9
4) Pengembangan sistem pengawasan lembaga
penegakhukum.
Pada prinsipnya, peran Kejaksaan di berbagai negara dikelompokkandalam 2
(dua) sistem, pertama, disebut mandatory prosecutorial system, dan kedua, disebut
discretionary prosecutorial system.

Kejaksaan RI atau lazim disebut Korps Adhyaksa masuk


kedalamkeduakelompoktersebut,baikmandatoryprosecutorial system di dalam
penanganan perkara tindak pidana umum, dan discretionary prosecutorial system
khusus di dalampenanganan tindak pidana korupsi, mengacu pada pasal 284 ayat 2
KUHAP jo Pasal 26 Undang-Undang No 31/1999 jo Undang-Undang No
20/2001tentangPemberantasanTindakPidanaKorupsijoPasal 44 ayat 4 serta Pasal
50 ayat 1,2,3 dan 4 Undang-Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 30 huruf d Undang-Undang No 16/2004 tentang
Kejaksaan RI, sedangkan berkaitan dengan pelanggaran hak
asasimanusiamengacukepadaPasal21ayat(1)UUNomor26 Tahun 2000 tentang
Peradilan Hak AsasiManusia.
Beberapa dekade terakhir, ekspektasi masyarakat yang mencuat ke
permukaan terkait dengan kinerja Korps Adhyaksa, hanya berkutat dengan
pemberantasan korupsi.
Kriteria ini juga dijadikan acuan masyarakat untuk mengukur keberhasilan
figur seorang Jaksa Agung. Keberhasilan seorang Jaksa Agung memimpin Korps
Adhyaksa diukur dari sisi keberaniannya di dalam menindak koruptor, walaupun
pemberantasan korupsi itu hanya bagian kecil dari upaya penegakan hukum dalam
pengertian mikro dan selain itu sebenarnya keberhasilan pemberantasan korupsi
tidak dapatdilepaskan dari penanggulangan faktor-faktor lain yang
menstimulusnya.

UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI sebagai pengganti UU


Nomor 5 Tahun 1991 tampaknya tidak berbeda jauh dengan UU sebelumnya.
Kejaksaan RI masih ditetapkan sebagai lembaga pemerintahan (vide pasal 2 ayat

10
1), Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden vide pasal 19
ayat2)sertabertanggungjawabkepadapresidendanDPR(vide
pasat37ayat2),meskipundalammelaksanakankekuasaan
negaradibidangpenuntutansertakewenanganlainberdasarkan UU tersebut dilakukan
secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya (vide pasal 2 ayat 1 dan 2 serta penjelasannya dan penegasan ini
memang tidak dimuat di dalam UUsebelumnya).
Karakteristik kewenangan ini sejalan dengan penggarisan PBB pada tahun
1990 yang menyetujui Guidelines on The Role of Prosecutor dan Ketetapan
International Association of Prosecutors, bahwa menjamin profesi ini tidak boleh
diintimidasi, diganggu, atau diintervensi di dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya. Pengaturan yang demikian, mengandung maknadari sudut
kedudukan.
Tanpa mengabaikan kebijakan pemerintah yang lalu, di era Kabinet
Indonesia Bersatu, komitmen pemerintah dalam penegakan hukum nuansanya
tampak lebih kental. Kejaksaan bak mendapat durian runtuh, kekhawatiran adanya
dual obligationdiharapkanpupusmenjadionewayobligation,dengan keluarnya
berbagai produk-produk hukumpemerintah.

Diawali dengan Instruksi Presiden No 5/2004 tentang Percepatan


Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan kepada jajaran kejaksaan agar
mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan/penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara, mencegahdan
memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
jaksa/penuntut umum dalam rangka penegakan hukum serta meningkatkan kerja
sama dengan Kepolisian Negara RI, BPKP, PPATK, dan institusi negara yang
terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan
negara akibat tindak pidana korupsi. Terakhir Keputusan Presiden No 11/2005
tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kebijakan ini
merupakan upaya peningkatan kerja sama dan koordinasi antara Kejaksaan dan
Kepolisian Negara RI, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP). Tim yang selanjutnya disebut dengan Timtas Tipikor ini, terdiri dari

11
unsur Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI dan BPKP, diketuai oleh Jaksa Agung
Muda Tindak Pidana Khusus, yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan tugas
fungsi dan wewenangnya masing-masing serta bertanggung jawab langsung
kepada presiden. Karena komitmen pemerintah yang kuat di dalam pemberantasan
korupsi dan tindak pidana lain.

Dalam upaya mengoptimalkan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan


tindak pidana korupsi kejaksaan telah mengeluarkan beberapa kebijakan internal
sebagai upayauntuk mengoptimalkanpenyelidikan,penyidikandanpenuntutantindak
pidana korupsi melalui Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : SE- 007/A/JA/11/2004
tentang percepatan penanganan perkara- perkara korupsi se-Indonsia. Ketentuan
ini menginstruksikan kepada para Kepala Kejaksaan Tinggi dan KepalaKejaksaan
Negeri seluruh Indonesia agar melaksanakan program 100 hari penyelesaian
perkara-perkara korupsi se-Indonesia.
Sebagaiperwujudanatasterbitnyaduakebijakantersebutkinerja kejaksaan
mengalami kemajuan dan peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada penyelesaian
kasus-kasus tindak pidana korupsi yang menjadi sorotan publik dalam yakni dalam
kurun waktu antara tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 langkah-langkah yang
telah dilakukan antara lain:
1. Eksekusi terhadap terpidana tindak pidana korupsi para
mantan Direktur BankIndonesia
2. Eksekusi terhadap terpidana korupsi mantan Kabulog/
Menperindag.
3. EksekusiterhadapterpidanakorupsiH.Probosutedjo

4. Eksekusi terhadap terpidana korupsi mantan direktur utama


Bank umumservitia.
Adapunkeuangan negara yang diselamatkan Rp 653.679.843.727,44
sedangkan nilai asset dalam penyitaan senilai US$ 11.000.00 dan Rp 2 trilyun.
Perkarapenyelesaiankorupsiyangdiselesaikandari tahun
2003 - Maret2006.

12
Masuk Presentase
Tahun Sisa Tahun Jumlah Diselesai Sisa Tingkat
Laporan kan Penyelesaian
2003 71 553 624 584 40 93%

2004 40 577 617 586 31 95%

2005 31 689 729 700 29 96%

2006 29 162 191 161 30 84%

3. Peranan Kebijakan Republik Indonesia ( NCB-interpo Indonesia ) dalam


penanggulangan tindakan korupsi

Mengingat kejahatan terus berkembang terutama dalam tindak pidana


korupsi sementara kewenangan aparat penegak hukum memiliki yurisdiksi terbatas
dalamwilayahnegaranya,makasetiapnegaramenyadariperlunyakerjasamaanta dalam
melakukan pencegahan dan pemberantasan kejahatan dengan melakukan tukar
menukar informasi dan saling membantu dalam penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, perampasan hasil kejahatan, ekstradisi serta pemindahan narapidana.
Berkaitan dengan tindak pidana korupsi hal initelah disepakati dengan
dituangkannya hal tersebut dalam Konvensi Anti Korupsi2003.
Dalam Chapter IV Konvensi Anti Korupsi 2003 disebutkan bentuk-bentuk
kerjasama Internasional dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi yakni :
- ekstradisi;
- pemindahannarapidana;
- bantuan timbal balik dalam masalahpidana;
- transfer of criminalproceeding;
- kerjasama penegakhukum;
- penyidikanbersama;
- teknik-teknik penyidikan khusus(pembuntutan);

- asset recovery (penyitaan dan pengembalianasset).

13
Kerjasama ini dilakukan melalui International Criminal Police
Organization (ICPO – Interpol). ICPO-Interpol adalah organisasi internasional
yang bertujuan untuk mencegah dan memerangi semua bentuk kejahatan dengan
menciptakan dan membangun kerjasama kepolisian melalui National Central
Bureau (NCB-Interpol) Negara-negara anggota. Indonesia berkaitan dengan hal ini
telah membentuk NCB-Interpol Indonesia. Kepala NCB – Interpol Indonesia
adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Namun perlu dijelaskan bahwa peran NCB-InterpolIndonesia hanyalah
sebatas pemberi sumber informasi criminal, sebagai fasilitator untuk
terselenggaranya kerjasama antar penegak hukum Indonesia dan Negara lain dan
melayani, memproses dan mengkoordinasikan dengan pihak berwenang dalam
memenuhi permintaan bantuan penyelidikan dan penyidikan dari dalam dan luar
negeri.

4. Peran Badan Pemerintah Keuangan ( BPK ) dalam Pemberantasan Tindak pidana


Korupsi
BadanPemeriksaKeuanganNegaradibentukberdasarkan amanat Pasal 23E
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK mencakup tigakriteria yaitu


pemeriksaan keuangan; pemeriksaan kinerja; dan pemeriksaan dengan tujuan
tertentu.
a. Pemeriksaankeuangan.
Pemeriksaan ini dilakukan oleh BPK dalam
rangkamemberikan pernyataan opini tentang tingkat
kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan
pemerintah (pemerintah pusat dan pemerintah daerah).
b. Pemeriksaankinerja.
Pemeriksaan ini dilakukan BPK atas aspek ekonomi dan
efisiensi serta atas aspek efektifitas yang lazim dilakukan bagi
kepentingan manajerial oleh APIP.

14
c. Pemeriksaan dengan tujuantertentu.
Pemeriksaan ini dilakukan BPK dengan tujuan khusus.
Termasuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini adalah
pemeriksaan atas hal-hal yang berkaitan dengan keuangan dan
pemeriksaan investigatif, yang tujuannya antara lain guna
mengungkap adanya indikasi kerugian negara serta adanya
unsur pidana.

BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam melakukan pemeriksaan


baik segi perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan
dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan obyek yang
akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknyatelahdiatur tersendiri dalam
undang-undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga
perwakilan.
BPK diberi kewenangan untuk mendapatkan data,
dokumen,danketerangandaripihakyangdiperiksa;kesempatan untuk memeriksa
secara fisik setiap aset yang berada dalam pengurusan pejabat instansi yang
diperiksa; termasuk melakukan penyegelan untuk mengamankan uang, barang,
dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara pada saat
pemeriksaanberlangsung.
Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai
dengan kewenangannya, antara laindengan membahasnya bersama pihak terkait.
Selain itu, hasil pemeriksaan tersebut juga disampaikan kepada pihak pemerintah
untuk dilakukan koreksi dan menanggapi temuan yang ada. Apabila dalam
pemeriksaan ditemukan adanya unsur pidana, maka BPK wajib melaporkannya
kepada instansi yang berwenangsesuaiperaturanperundang-undanganyangberlaku.

5.TimKoordinasiPemberantasanTindakPidanaKorupsi (Timtastipikor)
Berkaitan dengan tugas dan wewenang penanggulangan korupsi, telah
dibentuk sebuah Tim yakni Tim KoordinasiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi
atau lebih dikenal dengan sebutan Tim Tastipikor. Dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun2005

15
Pertimbangan dibentuknya Tim Tastipikor adalah untuk lebih mempercepat
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Unsur-unsur yang terlibat dalam TimTastipikor ini terdiri dari instansi
Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Tim ini melaksanakan tugasnya sesuai
tugasfungsi dan wewenangnya masing-masing, diketuai oleh Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus dan berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden.
Di dalam diktum ketiga dan keempat Keppres tersebut disebutkan bahwa Tim
Tastipikor bertugas :
a. melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai ketentuan
hukum yang berlaku terhadap kasusu dan/atau indikasi tindak
pidanakorupsi;
b. mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan
tindak pidana korupsi, serta menelusuri dan mengamankan seluruh
asset-asetnya dalam rangka pengembalian keuangan Negara
secaraoptimal.
Untuk melaksanakan tugasnya, Tim Tastipikor :
a. melakukan kerjasama dan/atau koordinasi denganBadan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan
Analisis TransaksiKeuangan, Komisi Ombudsman Nasional dan
instansi pemerintah lainnyadalam upaya menegakan hukumdan
mengembalikan kerugian keuangan Negara akibat tindakan pidan
korupsi.
b. Melakukan hal-hal yangdianggap perlu guna memperoleh segala
informasi yang diperlukan dari semua instansi pemerintah pusat
maupun isntansi pemerintah daerah, BUMN/BUMD,sertapihak-
pihaklainyangdianggapperlu, sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Susunan keanggotaan Tim Tastipikor terdiri dari :

16
a. Penasehat:
1. Jaksa AgungRI.
2. Kepala Kepolisian NegaraRI.
3. KepalaBPKP

b. Ketua merangkap Anggota : Jaksa Agung Muda Tindak


PidanaKhusus.
Wakil Ketua Merangkap Anggota : Direktur III/Pidana
Korupsi dan WCC, Badan Reserse Kriminal Kepolisian
Negara RI.
Wakil Ketua Merangkap Anggota : Deputi Bidang Investigasi
Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan.

JumlahanggotaTimsebanyak45masing-masinginstansiterdiri dari 15 orang


anggota. Selain anggota tersebut, Tim Tastipikor dibantu oleh sekretariat yang
dipimpin oleh seorang Sekretaris. Sekretaris dan kelengkapannya diangkat oleh
KetuaTim Tastipikor.AdapunalamatTimTaspikikorinidiKejaksaanAgung RI,
Kantor Jaksa Agung Muda Tindak PidanaKhusus.
Ketua Tim Tastipikor melaporkan setiap perkembangan pelaksanaan
tugasnya sewaktu-waktu kepada Presiden, dan melaporkan hasilnya setiap 3 ( tiga
) bulan, dengan tembusan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala
Kepolisian Negara RI dan Kepala BPKP.
Masa tugas Tim Tastipikor selama 2 ( dua ) tahun dan dapat diperpanjang
apabila diperlukan dengan segala biaya dibebankan kepada APBN mata anggaran
Kejaksaan RI, yang dikelola dan dipertanggungjawabkan secara khusus oleh Tim
Tastipikor.

2.2 Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan dan Pencegahan Tindak


Pidana Korupsi
Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dilakukan di Indonesia
bukanlah isu baru. Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

17
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disertai dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menunjukkan bahwa korupsi menjadi
perhatian khusus bagi negara.
Bahkan dalam consideran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tersebut
disebutkan bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa dimana dampaknya akan
membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada
kehidupan berbangsa dan bernegara. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.
Dalam melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK dapat
berkoordinasi dengan instansi lain, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal 7 huruf e disebutkan juga bahwa dalam melaksanakan tugas koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang:
a) Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan TPK
b) Meminta Informasi Kegiatan pemberantasan TPK
c) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
d) Meminta laporan mengenai pencegahan TPK
Selain melaksanakan tugas penindakan, KPK juga berperan aktif dalam upaya-
upaya pencegahan. Upaya pencegahan yang dilakukan KPK menggandeng instansi
terkait sebagai mitra dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia. Tidak
hanya itu, KPK terlibat aktif dalam kerjasama internasional dalam memberantas korupsi,
termasuk menjadi National Focal Point dalam review implementasi United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) serta pada Anti-Corruption Working Group G-
20.
KPK sebagaimana diamanahkan undang-undang telah melaksanakan tugas
pemberantasan korupsi baik melalui upaya pencegahan maupun penindakan. Sejak awal
berdirinya, KPK telah mendorong berbagai upaya pencegahan korupsi bersama dengan
lembaga eksekutif. Diantaranya adalah bersama dengan Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara Reformasi Birokrasi berupaya mewujudkan berbagai strategi dalam

18
mendorong terciptanya Reformasi Birokrasi, mendorong terciptanya Zona Integritas
sehingga terciptanya Wilayah Bebas Korupsi serta bekerjasama dengan Bappenas dalam
upaya mewujudkan Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi yang diturunkan melalui
berbagai Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi.
Fungsi koordinasi dan trigger mechanism yang dilakukan KPK selama ini juga
tercermin dalam Kegiatan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN
SDA) yang melibatkan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Dalam kegiatan
ini KPK mendorong pelaksanaan berbagai rencana aksi dalam rangka mewujudkan
transparansi dan tata kelola yang baik di bidang Sumber Daya Alam.
Pada bidang penindakan, berbagai upaya telah dilakukan oleh KPK bersama
dengan penegak hukum lain baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan. Upaya tersebut
dilakukan melalui penanganan perkara secara langsung maupun dalam kerangka
koordinasi dan supervisi. Dengan Mahkamah Agung, KPK bersama dengan Lembaga
Penegak Hukum lainnya mendorong tersusunnya Peraturan Mahkamah Agung terkait
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Kerjasama ini merupakan kolaborasi yang sangat
strategis dalam rangka mendukung upaya penyelesaian perkara pidana yang melibatkan
korporasi yang selama ini terkesan sulit disentuh oleh hukum. Tidak ketinggalan
kerjasama dengan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia bersama-sama dengan
Universitas dan Komisi Yudisial, untuk mendorong pelaksanaan peradilan yang
transparan dan bersih dari korupsi.
Menyadari bahwa dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi, perlu
partisipasi dan peran semua elemen bangsa, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Tidak ketinggalan dari unsur akademisi dan praktisi, juga NGO sebagai kontrol sosial.
Kerjasama diperlukan baik dalam maupun dengan negara lain. Pelaksanaan kegiatan dan
inisiatif yang dilakukan tersebut, kiranya dapat disampaikan kepada masyarakat secara
luas sebagai salah satu bentuk pertanggungjawan atas amanah masyarakat.
Untuk itulah, dengan dilaksanakannya Konferensi Nasional Pemberantasan
Korupsi (KNPK) Tahun 2016, hendaknya dapat disampaikan kepada masyarakat secara
luas, upaya-upaya yang telah dilakukan negara dalam Pemberantasan Korupsi di
Indonesia.
Pada agenda prioritas keempat Nawacita, yaitu “Menolak negara lemah dengan

19
melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan
terpercaya”, KPK mempunyai peran pada program pencegahan dan pemberantasan
korupsi karena berkaitan erat dengan menurunnya tingkat korupsi serta meningkatkan
efektivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Arah kebijakan dan strategi yang ditetapkan dalam program tersebut terdiri dari:
 Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Korupsi dengan
mengacu pada ketentuan United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC);
 Penguatan Kelembagaan Dalam Rangka Pemberantasan Korupsi, yang
berkonsekuensi pada perlunya jaminan peraturan perundang-undangan
yang dapat menjamin kualitas penanganan kasus korupsi. Penguatan SDM
maupun dukungan operasional ini berlaku baik bagi KPK, maupun
Kepolisian dan Kejaksaan yang juga berwenang menangani kasus korupsi;
 Optimalisasi peran KPK dalam menjalankan fungsi koordinasi dan
supervisi terhadap apgakum lain akan mendorong peningkatan kualitas
dan kuantitas penegakan hukum tipikor di Indonesia;
 Meningkatkan Efektivitas Implementasi Kebijakan Anti-korupsi, melalui
optimalisasi penanganan kasus korupsi, mutual legal asisistance (MLA)
dalam hal pengembalian aset hasil tipikor, serta penguatan mekanisme
koordinasi dan monev Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi;
 Meningkatkan Pencegahan Korupsi, dengan meningkatkan kesadaran dan
pemahaman anti-korupsi masyarakat maupun penyelenggara negara.
Pada KNPK Tahun 2016 yang dislenggarakan pada 23 November dan 1
Desember 2016 diharapkan dapat menjadi wadah diseminasi dan pertanggungjawaban
kementerian dan lembaga kepada publik atas upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi, serta menggambarkan peran masyarakat sipil dalam rangka ikut mendukung
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia selama tahun 2016.
Adapun tema yang diangkat dalam KNPK Tahun 2016 ini diselaraskan dengan
Nawacita Pembangunan nasional tahun 2015-2019 dan rencana strategis KPK dalam
Penegakan Hukum dan Pelayanan Publik, dengan mengusung tema “Reformasi Sistem

20
Penegakan Hukum dan Pelayanan Publik yang Transparan dan Akuntabel”.
Selain itu, upaya mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia juga perlu
didorong oleh peran serta masyarakat secara terbuka dan partisipatif. Penegakan hukum
dan intervensi perbaikan sistem politik tidak akan bermakna tanpa
social enforcement yang melibatkan masyarakat. Agenda peningkatan kesadaran publik
terkait keberadaan, penyebab dan keseriusan serta ancaman yang ditimbulkan oleh
korupsi pun mendesak dilakukan. Salah satu forum multipihak yang telah digagas oleh
masyarakat sipil bersama pemerintah adalah Indonesia Anti-Corruption Forum atau
IACF. Memasuki forum penyelenggaran ke-5 tahun ini, forum ini telah menjadi ruang
untuk mempertemukan dan mengkonsolidasikan peran masyarakat sipil di dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi. IACF telah dimulai sejak 2010 dengan
melibatkan pemerintah, penegak hukum, lembaga pendidikan, media, sektor swasta dan
organisasi masyarakat sipil. Adapun maksud diselenggarakannya kegiatan ini adalah:
a) Sebagai wadah koordinasi dan diskusi terkait upaya dan inisiatif
stakeholder dalam mendukung Pemberantasan TPK.
b) Sebagai wadah penyelenggara negara untuk menyampaikan capaian dan
kinerja pemberantasan korupsi kepada masyarakat.
Kemudian tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut:
a) Mendapatkan gambaran perkembangan kegiatan yang telah dilakukan oleh
Kementerian dan Lembaga, termasuk masyarakat sipil dalam mendukung
pemberantasan tindak pidana korupsi.
b) Memperkuat komitment dan kerjasama antara Kementerian/Lembaga serta
Penegak Hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
c) Mendorong peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
d) Mendapatkan gambaran rencana tindak lanjut ke depan dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi di instansi masing-masing.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka penyidikan terhadap tindak pidana korupsi
dilaksanakan oleh 3 (tiga) instansi penegak hukum yaitu Kejaksaan Agung
RepublikIndonesia,Kepolisian Republik Indonesia;danKomisi Pemberantasan Korupsi KPK
sesuai ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor30 Tahun 2002 adalah merupakan lembaga
negara yang dalammelaksanakantugasdanwewenangnyabersifatindependendan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun baik pihak eksekutif, yudikatif, legislatif dan pihak-pihak lain
yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi atau keadaan dan situasiataupun dengan
alasanapapun Sebelum terbentuknya lembaga atau komisi yang mempunyai peran dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, kejaksaan sudah secara konsisten
menjalankan fungsi tersebut sejak berlakunya undang-undang nomor 3 tahun
1971atauUUNo.24Prp1960danPeraturanPenguasaPerang Pusat Angkatan Darat Nomor :
Prt/PERPU/013/1958. Oleh karena itu secara historis lembaga kejaksaan telah cukup lama dan
berpengalaman dalam melakukan pemberantasan tindakpidanakorupsi. Upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi yang dilakukan di Indonesia bukanlah isu baru. Sejak terbitnya Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disertai
dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menunjukkan bahwa
korupsi menjadi perhatian khusus bagi negara.
Bahkan dalam consideran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tersebut disebutkan bahwa
korupsi sebagai kejahatan luar biasa dimana dampaknya akan membawa bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.

22
3.2 Saran
Kepada pembaca, diharapkan memahami isi makalah ini dengan baik, dan jika menggunakan
makalah ini sebagai acuan dalampembuatan makalah atau karyatulis yang berkaitan dengan
judul makalah ini, diharapkan kekurangan yang ada pada makalah ini dapat diperbaharui dengan
lebih baik

23
DAFTAR PUSTAKA

https://www.bphn.go.id/data/documents/aspek_hukum_pemberantasan_korupsi_di_indonesia.p
df
https://acch.kpk.go.id/id/artikel/paper/reformasi-sistem-penegakan-hukum-dan-pelayanan-
publik-yang-transparan-dan-akuntabel
https://www.academia.edu/34465245/berdirinya_lembaga_penegak_hukum_pemberantasan_ko
rupsi_doc

24

Anda mungkin juga menyukai