Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

ASPEK LEGAL KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

OLEH :

KELOMPOK 2

Luh Putu Febby Manika Sari (P07120219053)


Luh Gede Afsari Eka Putri (P07120219054)
Kadek Wiryanti (P07120219061)
Ida Ayu Ketut Anjani (P07120219063)
I Made Tantri Patrayana (P07120219069)
Ni Komang Ayu Santi Wulandari (P07120219098)
I Putu Galih Kumara Yoga (P07120219099)
M. Fadil Akbar (P07120219101)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga
selesai, serta tepat pada waktunya. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih
atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini sehingga
terealisasikan makalah ini. Dalam makalah ini membahas mengenai “Aspek Legal
Keperaatan Kegaatdaruratan”.

Kami sangat berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya saran
ataupun kritik demi perbaikan makalah yang kami akan buat selanjutnya.

Penulis,

Denpasar, 2 Agustus 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

1.1 Latar belakang....................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan..............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 4

2.1 Peran Perawat Sebagai Tenaga Kesehatan.......................................................4

2.2 Aspek Legal Dalam Keperaatan.......................................................................6


2.3 Peran Menurut Permenkes No. 148 Tahun 2010..............................................7
2.4 Aspek Hukum Kegaatdaruratan........................................................................7
2.5 Pengaturan Pelayanan Kegaatdaruratan..........................................................12
2.6 Kode Etik Perawat di Indonesia......................................................................13
2.7 Landasan Etik Moral Tanggung Jawab Perawat.............................................15
2.8 Perizinan Peraktek Perawat............................................................................18
2.9 Kewenangan Perawat......................................................................................18

BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 29

3.1 Kesimpulan.................................................................................................29

3.2 Saran...........................................................................................................29

DAFTAR PUSRAKA............................................................................................................. 30
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun diluar rumah sakit tidak
tertutup kemungkinan timbul konflik. Konflik tersebut dapat terjadi antara tenaga
kesehatan dengan pasien dan antara sesama tenaga kesehatan (baik satu profesi
maupun antar profesi). Hal yang lebih khusus adalah dalam penanganan penanganan
gawat darurat darurat fase pra-rumah pra-rumah sakit terlibat terlibat pula unsur-unsur
unsur-unsur masyarakat non-tenaga kesehatan. Profesi kesehatan sering mendapat
kritikan-kritikan yang cukup pedas dari berbagai lapisan masyarakat, beberapa media
massapun ikut mengangkat berita-berita ini berita-berita ini sampai ke sampai ke
permukaan.Sorotan permukaan.Sorotan masyarakat terhadap masyarakat terhadap
pelayanan pelayanan kesehatan dan profesi tenaga kesehatan merupakan suatu kritik
yang baik terhadap profesi kesehatan, agar para tenaga kesehatan dapat meningkatkan
pelayanan pelayanan profesi profesi kesehatannya kesehatannya terhadap terhadap
masyarakat.Meningkatnya masyarakat.Meningkatnya sorotan sorotan masyarakat
terhadap profesi kesehatan disebabkan oleh berbagai perubahan, antara lain adanya
kemajuan bidang ilmu dan teknologi kesehatan, perubahan karakteristik masyarakat
tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa, dan juga perubahan perubahan masyarakat
masyarakat pengguna pengguna jasa kesehatan kesehatan yang lebih sadar akan hak
– haknya. Apabila perubahan tersebut tidak disertai dengan peningkatan komunikasi
antara tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa dan masyarakat sebagai penerima jasa
kesehatan, hal tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman. Sebenarnya sorotan
masyarakat terhadap profesi tenaga kesehatan merupakan satu pertanda bahwa pada
saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan dan pengabdian profesi
tenaga kesehatan terhadap masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya,
sebagai pengguna jasa para tenaga kesehatan.Pada kesehatan.Pada umumnya
umumnya ketidakpuasan ketidakpuasan para pasien atau keluarganya terhadap
pelayanan kesehatan karena harapannya tidak dapat dipenuhi oleh para tenaga
kesehatan, atau dengan kata lain terdapat kesenjangan antara harapan pasien dan
kenyataan yang diterima. Ketidakpuasan inilah yang memicu terjadinya konflik antara
pasien dengan tenaga kesehatan. Praktik Keperawatan Gawat Darurat memiliki
perspektif tersendiri dalam konteks legal keperawatan. Undang-Undang yang
mengaturnya tidak membatasi kewenangan perawat terutama dalam hal
mengutamakan keselamatan nyawa pasien. Akan tetapi perawat harus memahami
bukan hanya persoalan persoalan kompetensi kompetensi apa yang boleh atau tidak
dilakukan dilakukan dalam tindakan tindakan kedaruratan, lebih dari itu
mengutamakan hak-hak pasien disaat kritis merupakan hal yang esensial bagi perawat
di Ruangan Gawat Darurat. Untuk mencegah dan mengatasi konflik biasanya
digunakan etika dan norma hukum yang mempunyai tolok ukur masing-masing. Oleh
karena itu dalam praktik harus diterapkan dalam dimensi yang berbeda. Artinya pada
saat kita berbicara masalah hukum, tolok ukur norma hukumlah yang diberlakukan.
Pada kenyataannya kita sering terjebak dalam menilai suatu perilaku dengan
membaurkan tolok ukur etika dan hukum Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek
khusus karena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dan
segi yuridis khususnya hukum kesehatan terdapat beberapa pengecualian
pengecualian yang berbeda berbeda dengan keadaan keadaan biasa.Oleh biasa.Oleh
sebab itu, untuk mencegah dan mengatasi konflik ini tenaga kesehatan harus sangat
mengerti tentang aspek legal dan etik dalam kegawatdaruratan.

1.2. Rumusan Masalah


2.1. Apakah peran perawat sebagai tenaga kesehatan ?
2.2. Apa saja aspek legal dalam keperawatan ?
2.3. Bagaimana pengertian perawat menurut Permenkes No. 148 tahun 2010 ?
2.4. Apakah aspek hokum kegawatdaruratan ?
2.5. Apa saja pengaturan pelayanan kegawatdaruratan ?
2.6. Apa saja kode etik perawat di Indonesia ?
2.7. Apa landasan etik moral tanggung jawab perawat ?
2.8. Bagaimana perizinan praktek perawat ?
2.9. Apa saja kewenangan perawat ?

1.3. Tujuan Penulisan


3.1 Untuk mengetahui peran perawat sebagai tenaga kesehatan
3.2 Untuk megetahui aspek legal dalam keperawatan
3.3 Untuk mengetahui pengertian perawat menurut Permenkes No. 148 tahun
2010
3.4 Untuk mengetahui aspek hokum kegawatdaruratan
3.5 Untuk mengetahui pengaturan pelayanan kegawatdaruratan
3.6 Untuk mengetahui kode etik perawat di Indonesia
3.7 Untuk mengetahui landasan etik moral tanggung jawab perawat
3.8 Untuk mengetahui perizinan praktek perawat
3.9 Untuk mengetahui kewenangan perawat

1.4. Manfaat Penulisan


Diharapkan mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang konsep aspek
legal dalam kegawatdaruratan, dan pentingnya kode etik dalam keperawatan sehingga
dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada klien, para perawat perawat
senantiasa senantiasa memberikan memberikan pelayanan pelayanan yang sesuai
dengan hukum dank ode etik yang berlaku.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Peran Perawat Sebagai Tenaga Kesehatan


Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan. Perawat sebagai tenaga kesehatan memiliki peran yaitu :
1. Pemberi Asuhan Keperawatan
Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat membantu klien mendapatkan kembali
kesehatannya melalui proses penyembuhan. Perawat memfokuskan asuhan pada
kebutuhan kesehatan klien secara holistic, meliputi upaya untuk mengembalikan
kesehatan emosi, spiritual dan sosial. Pemberi asuhan memberikan bantuan kepada
klien dan keluarga klien dengan menggunakan energy dan waktu yang minimal.
Selain itu, dalam perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat
memberikan perawatan dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia
yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan
proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa
direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat dan sesuai dengan tingkat
kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya.
2. Pembuat Keputusan Klinis
Membuat keputusan klinis adalah inti pada praktik keperawatan. Untuk memberikan
perawatan yang efektif, perawat menggunakan keahliannya berfikir kritis melalui
proses keperawatan. Sebelum mengambil tindakan keperawatan, baik dalam
pengkajian kondisi klien, pemberian perawatan, dan mengevaluasi hasil, perawat
menyusun rencana tindakan dengan menetapkan pendekatan terbaik bagi klien.
Perawat membuat keputusan sendiri atau berkolaborasi dengan klien dan keluarga.
Dalam setiap situasi seperti ini, perawat bekerja sama, dan berkonsultasi dengan
pemberi perawatan kesehatan professional lainnya (Keeling dan
Ramos,1995).
3. Pelindung dan Advokat Klien
Sebagai pelindung, perawat membantu mempertahankan lingkungan yang aman bagi
klien dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan serta
melindungi klien dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan
diagnostic atau pengobatan. Sedangkan peran perawat sebagai advokat, perawat
melindungi hak klien sebagai manusia dan secara hukum, serta membantu klien dalam
menyatakan hak-haknya bila dibutuhkan. Selain itu, perawat juga melindungi hak-hak
klien melalui cara-cara yang umum dengan menolak aturan atau tindakan yang
mungkin membahayakan kesehatan klien atau menentang hak-hak klien.
4. Manager Kasus
Dalam perannya sebagai manager kasus, perawat mengkoordinasi aktivitas anggota
tim kesehatan lainnya, misalnya ahli gizi dan ahli terapi fisik, ketika mengatur
kelompok yang memberikan perawatan pada klien. Berkembangnya model praktik
memberikan perawat kesempatan untuk membuat pilihan jalur karier yang ingin
ditempuhnya. Dengan berbagai tempat kerja, perawat dapat memilih antara peran
sebagai manajer asuhan keperawatan atau sebagai perawat asosiat yang
melaksanakan keputusan manajer (Manthey, 1990). Sebagai manajer, perawat
mengkoordinasikan dan mendelegasikan tanggung jawab asuhan dan mengawasi
tenaga kesehatan lainnya.
5. Rehabilitator
Rehabilitasi adalah proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi maksimal
setelah sakit, kecelakaan, atau kejadian yang menimbulkan ketidakberdayaan lainnya.
Seringkali klien mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah kehidupan
mereka. Disini, perawat berperan sebagai rehabilitator dengan membantu klien
beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.
6. Pemberi Kenyamanan
Perawat klien sebagai seorang manusia, karena asuhan keperawatan harus ditujukan
pada manusia secara utuh bukan sekedar fisiknya saja, maka memberikan
kenyamanan dan dukungan emosi seringkali memberikan kekuatan bagi klien sebagai
individu yang memiliki perasaan dan kebutuhan yang unik. Dalam memberi
kenyamanan, sebaiknya perawat membantu klien untuk mencapai tujuan yang
terapeutik bukan memenuhi ketergantungan emosi dan fisiknya.
7. Komunikator
Keperawatan mencakup komunikasi dengan klien dan keluarga, antar sesame perawat
dan profesi kesehatan lainnya, sumber informasi dan komunitas. Dalam memberikan
perawatan yang efektif dan membuat keputusan dengan klien dan keluarga tidak
mungkin dilakukan tanpa komunikasi yang jelas. Kualitas komunikasi merupakan
factor yang menentukan dalam memenuhi kebutuhan individu, keluarga dan
komunitas.

8. Penyuluh
Sebagai penyuluh perawat menjelaskan kepada klien konsep dan data-data tentang
kesehatan, mendemonstrasikan prosedur seperti aktivitas perawatan diri, menilai
apakah klien memahami hal-hal yang dijelaskan dan mengevaluasi kemajuan dalam
pembelajaran. Perawat menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan klien serta melibatkan sumber-sumber yang lain misalnya
keluarga dalam pengajaran yang direncanakannya.
9. Kolaborator
Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang
terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya
mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar
pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
10. Edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan
kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi
perubahab perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
11. Konsultan
Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan
keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien
tehadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.
12. Pembaharu
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan,
kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian
pelayanan keperawatan.
2.2. Aspek Legal Dalam Keperawatan
1. Pasal 23 UU No.36 Ayat 1) 2) 3) 4) 5) Tahun 2009 tentang kesehatan berwenang
2. Pasal 24 UU No.36 Ayat 1) 2) 3) Tahun 2009
3. Pasal 27 UU No.36 Ayat 1) 2) 3) Tahun 2009
4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
Menimbang : Bahwa sebagai pelakssanaan ketentuan Undang-Undang Nomor 23
tahun 1992 tentang Kesehatan, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Tenaga Kesehatan;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
(lembaga Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaga Negara Nomor
3495);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG
TENAGA KESEHATAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan;
2. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan;
3. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memlihara dan meningkatkan
kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat;
4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
BAB II
JENIS TENAGA KESEHATAN
Pasal 2 Ayat (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

BAB III

PERSYARATAN

Pasal 3
Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang
kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.

Pasal 4 Ayat (1) (2) (3)

Pasal 5 Ayat (1) (2)

BAB IV

PERENCANAAN, PENGADAAN DAN PENEMPATAN

Bagian Kesatu Perencanaan


Pasal 6 Ayat (1) (2) (3) (4)
Bagian Kedua Pengadaan
Pasal 7
Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan di bidang
kesehatan.
Pasal 8 Ayat (1) (2)
Pasal 9 Ayat (1) (2)
Pasal 10 Ayat (1) (2)
Pasal 11 Ayat (1) (2)
Pasal 12 Ayat (1) (2) (3)
Pasal 13 Ayat (1) (2)
Pasal 14 Ayat (1) (2) (3)
Bagian Ketiga Penempatan
Pasal 15 Ayat (1) (2) (3)
Pasal 16
Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab menteri.
Pasal 17
Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan dengan
memperhatikan:
a. Kondisi wilayah dimana tenaga kesehatan yang berssangkutan ditempatkan;
b. Lamanya penempatan;
c. Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
d. Prioritas sarana kesehatan.
Pasal 18 Ayat (1) (2)
Pasal 19 Ayat (1) (2) (3)
Pasal 20
Status tenaga kesehatan dalam penempatan tenaga kesehatan dapat berupa:
a. pegawai negeri; atau
b. pegawai tidak tetap.
BAB V
STANDAR PROFESI DAN PERLINDUNGAN HUKUM
Bagian Kesatu Standar Profesi
Pasal 21 Ayat (1) (2)
Pasal 22 Ayat (1) (2)
Pasal 23 Ayat (1) (2)
Bagian Kedua Perlindungan Hukum
Pasal 24 Ayat (1) (2)

BAB VI
PENGHARGAAN
Pasal 25 Ayat (1) (2) (3)
BAB VII
IKATAN PROFESI
Pasal 26 Ayat (1) (2)
BAB VIII
TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING
Pasal 27 Ayat (1) (2)

BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu Pembinaan
Pasal 28 Ayat (1) (2)
Pasal 29 Ayat (1) (2)
Pasal 30 Ayat (1) (2)
Pasal 31 Ayat (1) (2)
Bagian Kedua Pengawasan
Pasal 32
Menteri melakukan pengawasan terhadap tenaga kesehatan dalam melaksanakan
tugas profesinya.
Pasal 33 Ayat (1) (2) (3)

BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 34
Barang siapa dengan sengaja menyelenggarakan pelatihan di bidang kesehatan
tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana sesuai dengan
ketentuan Pasal 84 Undang-undangan Nomor 23 tahun 1992 tantang kesehatan.
Pasal 35
Berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, barang siapa dengan sengaja:
a. Melakukan upaya kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1);
b. Melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1);
c. Melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga
kesehatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
d. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1); dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan tenaga kesehatan yang telah ada
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 37
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahinya, memerintahkan perundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.
2.3. Perawat Menurut Permenkes No. 148 Tahun 2010
Permenkes No.148 tahun 2001 tentang izin dan Penyelenggaran Praktik Perawat,
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Keperawatan dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, yang dimaksud dengan Perawat
adalah Seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar
negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.4. Aspek Hukum Kegawatdaruratan
1. Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-
undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan
dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad
baik menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang
pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang
dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah:
a. Kesukarelaan pihak penolong.
Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong
untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong
menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku.
b. Itikad baik pihak penolong.
Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal
yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak
perlu untuk menambah keterampilan penolong.

Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga


kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau
pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan
itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat ( proximate cause). Bila tuduhan
kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan
faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya
tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang
berkualifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.

Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed


consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera
dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien,
tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan
No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk
tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.

2. Undang-Undang Kesehatan Terkait


Keperawatan Gawat Darurat Ditinjau Dari Aspek Hukum Pemahaman terhadap
aspek hukum dalam Keperawatan Gawat Darurat bertujuan meningkatkan kualitas
penanganan pasien dan menjamin keamanan serta keselamatan pasien. Aspek hukum
menjadi penting karena consensus universal menyatakan bahwa pertimbangan aspek
legal dan etika tidak dapat dipisahkan dari pelayanan medic yang baik. Walaupun ada
undang-undang yang mengatur tentang keperawatan gawat darurat yaitu Pasal 11
Peraturan Menteri Kesehatan tentang : Informed Consent menyatakan, dalam hal
pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara
medic berada dalam keadaan gawat darurat dan atau darurat yang memerlukan
tindakan medic segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari
siapapun. (Per.Menkes,1989). Tetapi yang menjadi tuntutan hukum dalam praktek
Keperawatan Gawat Darurat biasanya berasal dari:
a. Kegagalan komunikasi
b. Ketidakmampuan mengatasi dilema dalam profesi

Permasalahan etik lainnya yang muncul dalam hukum Keperawatan Gawat


Darurat merupakan isu yang juga terjadi pada etika dan hukum dalam kegawat
daruratan medik yaitu:

a. Diagnosis keadaan gawat darurat


b. Standar Operating Procedure
c. Kualifikasi tenaga medis
d. Hak otonomi pasien :informed consent (dewasa,anak)
e. Kewajiban untuk mencegah cedera atau bahaya pada pasien
f. Kewajiban untuk memberikan kebaikan pada pasien (rasa sakit, menyelamatkan)
g. Kewajiban untuk merahasiakan (etika><hukum)
h. Prinsip keadilan dan fairness
i. Kelalaian
j. Malpraktek akibat salah diagnosis, tulisan yang buruk dan kesalahan terapi:
salahobat, salah dosis
k. Diagnosis kematian
l. Surat Keterangan Kematian
m. Penyidikan medico legal untuk forensic klinik: kejahatan susila, child abuse,
aborsi dan kerahasiaan informasi pasien

Permasalahan etik dalam keperawatan gawat darurat dapat dicegah dengan


mematuhi standar operating procedure (SOP), melakukan pencatatan dengan benar
meliputi mencatat segala tindakan, mencatat segala instruksi dan mencatat serah
terima.

Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat


adalah UU No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988
tentang Rumah Sakit. Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan
darurat telah tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/ 2004 tentang Praktik
Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan
tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya
penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk
memperoleh derajat kesehatan yang optimal ( pasal 4).

Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugas menyelenggarakan


upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin,
orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan
gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat
(swasta). Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit.
Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka
sebagai persyaratan pemberian pelayanan.

Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah


sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah
sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/ 1988 tentang
Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit
untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari. Untuk fase
pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum ketentuan yang
dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang
Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan
gawat darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah
peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sector kesehatan.

3. Landasan Hukum Pelayanan Gawat Darurat


a. UU NO 9 Tahun 1960 Pokok Kesehatan
b. UU NO 6 Tahun 1963 Tenaga Kesehatan
c. UU NO 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran
d. UU NO 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
e. UU NO 36 Tahun 2009 Kesehatan
f. UU NO 44 TAHUN 2009 Rumah sakit
g. PP NO 32 TAHUN 1996 Tenaga Kesehatan
h. PP NO 51 Tahun 2009 Pekerjaan Kefarmasian
i. Berbagai Peraturan Menteri Kesehatan
4. Fungsi aspek hukum dan legalitas pelayanan gawat darurat bagi perawat :
a. Hukum Menyediakan kerangka kerja untuk menetapkan tindakan asuhan
keperawatan gawat darurat.
b. Hukum juga memberikan penjelasan tentang tanggung jawab perawat gawat
darurat yang berbeda dari tanggung jawab tenaga kesehatan lainnya
c. Hukum dapat membantu perawat gawat darurat menetapkan batas batas tindakan
keperawatan mandiri (otonomi profesi)
d. Hukum membantu keperawatan dalam menjaga standar asuhan keperawatan yang
dibuat oleh profesi keperawatan.
e. Aspek aspek Hukum dan perlindungan hukum Pelayanan Gawat Darurat oleh
profesi keperawatan.
f. Dalam Undang-undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1 Ayat (1) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat Inap, Rawat
Jalan dan Rawat Darurat. Ini membuktikan bahwa rumah sakit wajib memberikan
pelayanan gawat darurat kepada pasien atau penderita dengan arti kata setiap
rumah sakit wajib memiliki sarana, pra sarana dan SDM dalam pengelolaan
pelayanan gawat darurat, ini membuktikan adanya kepastian hukum dalam
pelayanan gawat darurat di rumah sakit”.
g. Gawat darurat adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan medis.
Gawat
h. Darurat medis adalah suatu kondisi dalam pandangan penderita, keluarga, atau
siapapun yang bertanggung jawab dalam membawa penderita ke rumah
sakit memerlukan pelayanan medis segera. Penderita gawat darurat memerlukan
pelayanan yang cepat, tepat, bermutu dan terjangkau. (Etika dan Hukum
Kesehatan, Prof. Dr. Soekijo Notoatmojo 2010).
i. Kepmenkes RI Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi dan Praktik
Keperawatan, Pasal 20, Dalam darurat yang mengancam jiwa seseorang/pasien,
perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 15, Pelayanan dalam keadaan darurat
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
j. Permenkes Nomor RI HK.02.02.MENKES/148/2010, tentang regitrasi dan izin
praktik keperawatan Pasal 10 Ayat (1), Dalam darurat yang mengancam jiwa
seseorang/pasien, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan
diluar kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Pasal 11 poin (a)
Perawat berhak Memperoleh perlindungan hukum.
k. Permenkes Nomor 152/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin dan penyelenggaran
Praktik Kedokteraan dan kedokteran Gigi, BAB III Pasal 15 Ayat (I), Dokter dan
dokter Gigi dapat memberilan pelimpahan suatu tindakan kedokteran dan
tindakan kedokteran gigi, kepada perawat, bidan atau tenaga kesehatn lainnya
secara tertulis.
2.5. Pengaturan Pelayanan Kegawatdaruratan
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur
dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter
wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya,
walaupun dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan
gawat darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut
sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang
optimal (pasal 4). Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugas
menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat”
termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu.6 Tentunya upaya ini
menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam
pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai
persyaratan pemberian pelayanan. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal
pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat
untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/ 1988
tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit
untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari. Untuk fase
pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik.
Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7
UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang
spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra- rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut
seyogyanya adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar
sector kesehatan.
Dasar hukum pelayanan kegawatdaruratan
1. UU RI NO 36 TAHUN 2009 tentang Kesehatan
a. Bab II Pasal 32 ayat 1 dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik
pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
b. Bab II Pasal 32 ayat 2 Dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik
pemerintah dan swasta dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka.
c. Bab VI pasal 58 ayat 1 setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan.
d. Bab VI pasal 58 ayat 2 Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan
nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
e. Bab VI pasal 58 ayat Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
f. Bab XX pasal 190 ayat 1 Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap
pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
g. Bab XX pasal 190 ayat 2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
2. UU RI NO 44 tentang RUMAH SAKIT
a. Pasal 1: gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan
medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.
b. Pasal 29 ayat 1 butir c: Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan
pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya
3. UU RI no 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
a. Pasal 33: penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari tiga tahap
meliputi: pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana.
b. Pasal 34 : penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf a. meliputi : dalam situasi tidak
terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.
c. Pasal 44 : penyelenggaraan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 huruf b. meliputi: kesiapsiagaan,
peringatan dini dan mitigasi bencana.
d. Pasal 48 : penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf b meliputi: pengkajian secara cepat
dan tepat terhadap lokasi, kerusakan dan sumber daya , Penentuan status keadaan
darurat bencana, Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana,
Pemenuhan kebutuhan dasar , Perlindungan terhadap kelompok rentan ,
Pemulihan dengan segera sarana dan prasarana.
e. Pasal 57 : Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf c meliputi: Rehabilitasi, rekontruksi,
Informed consent
4. Permenkes No. 585 / 1989 (Pasal 11) bahwa dalam kondisi emergency situasi yang
mengancam nyawa persetujuan tindakan medis tidak diperlukan.
5. Dalam pasal 56 UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan :hak pasien untuk menerima
atau menolak suatu tindakan tidak berlaku salah satunya ketika pasien dalam kondisi
pingsan atau tidak sadarkan diri.
2.6. Kode Etik Perawat di Indonesia
1. Pengertian
Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagai pedoman
perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan. Aturan yang berlaku
untuk seorang perawat Indonesia dalam melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah
kode etik perawat nasional Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh
terhadap kode etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan. Kode etik
keperawatan di Indonesia telah disusun oleh Dewan Pimpinan Pusat Persatuan
Perawat Nasioanl Indonesia (DPP PPNI) melalui munas PPNI di Jakarta pada tangal
29 November 1989.
2. Fungsi Kode Etik Perawat
Kode etik perawat yang berlaku saat ini berfungsi sebagai landasan bagi status
profesional dengan cara sebagai berikut:
a. Kode etik perawat menunjukkan kepada masyarakat bahwa perawat diharuskan
memahami dan menerima kepercayaan dan tanggungjawab yang diberikan kepada
perawat oleh masyarakat.
b. Kode etik menjadi pedoman bagi perawat untuk berperilaku dan menjalin
hubungan keprofesian sebagai landasan dalam penerapan praktek etikal.
c. Kode etik perawat menetapkan hubungan-hubungan profesional yang harus
dipatuhi yaitu hubungan perawat dengan pasien/klien sebagai advokator, perawat
dengan tenaga profesional kesehatan lain sebagai teman sejawat, dengan profesi
keperawatan sebagai seorang kontributor dan dengan masyarakat sebagai
perwakilan dari asuhan kesehatan.
d. Kode etik perawat memberikan sarana pengaturan diri sebagai profesi.
3. Kode Etik keperawatan Indonesia
Terdiri dari 5 Bab, dan 17 pasal. yaitu:
1) Tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat
a. Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya senantiasa berpedoman kepada
tanggungjawab yang bersumber dari adanya kebutuhan akan keperawatan
individu, keluarga dan masyarakat.
b. Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya di bidang keperawatan
senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai- nilai
budaya, adat-istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari individu,
keluarga dan masyarakat.
c. Perawat dalam melaksanakan kewajibannya bagi individu, keluarga dan
masyarakat senantiasa dilandasi dengan rasa tulus ikhlas sesuai dengan
martabat dan tradisi luhur keperawatan.Tanggungjawab terhadap tugas
d. Perawat senantiasa menjalin hubungan kerja sama dengan individu, keluarga
dan masyarakat dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan
khususnya serta upaya kesejahteraan umum sebagai bagian dari tugas
kewajiban bagi kepentingan masyarakat.
2) Tanggungjawab terhadap tugas
a. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi
disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta
ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga dan
masyarakat.
b. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan
dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang
berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
c. Perawat tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan keperawatan
untuk tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.
d. Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya senantiasa berusaha
dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan
kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan
agama yang dianut serta kedudukan sosial.
e. Perawat senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan klien dalam
melaksanakan tugas keperawatan serta matang dalam mempertimbangkan
kemampuan jika menerima atau mengalihtugaskan tanggungjawab yang ada
hubungannya dengan keperawatan.
3) Tanggungjawab terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lainnya
a. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik antara sesama perawat dan
dengan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam memelihara kerahasiaan suasana
lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh.
b. Perawat senantiasa menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan dan
pengalamannya kepada sesama perawat serta menerima pengetahuan dan
pengalaman dari profesi lain dalam rangka meningkatkan kemampuan dalam
bidang keperawatan.
4) Tanggungjawab terhadap profesi keperawatan
a. Perawat senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan profesional secara
sendiri-sendiri dan atau bersama-sama dengan jalan menambah ilmu
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang bermanfaat bagi
perkembangan keperawatan.
b. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan
menunjukkan perilaku dan sifat pribadi yang luhur.
c. Perawat senantiasa berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan dan
pelayanan keperawatan serta menerapkan dalam kegiatan dan pendidikan
keperawatan.
d. Perawat secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi
profesi keperawatan sebagai sarana pengabdiannya.
5) Tanggungjawab terhadap pemerintah, bangsa dan Negara
a. Perawat senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebijaksanaan
yang diharuskan oleh pemerintah dalam bidang kesehatan dan keperawatan.
b. Perawat senantiasa berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran
kepada pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan
keperawatan kepada masyarakat.
2.7. Landasan Etik Moral Tanggung Jawab Perawat
1. Menghargai otonomi (facilitate autonomy)
Suatu bentuk hak individu dalam mengatur kegiatan/prilaku dan tujuan hidup
individu. Kebebasan dalam memilih atau menerima suatu tanggung jawab terhadap
pilihannya sendiri. Prinsip otonomi menegaskan bahwa seseorang mempunyai
kemerdekaan untuk menentukan keputusan dirinya menurut rencana pilihannya
sendiri. Bagian dari apa yang didiperlukan dalam ide terhadap respect terhadap
seseorang, menurut prinsip ini adalah menerima pilihan individu tanpa
memperhatikan apakah pilihan seperti itu adalah kepentingannya. (Curtin, 2002).
Permasalahan dari penerapan prinsip ini adalah adanya variasi kemampuan otonomi
pasien yang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat kesadaran, usia, penyakit,
lingkungan Rumah Sakit, ekonomi, tersedianya informsi dan lain-lain (Priharjo,
1995). Contoh: Kebebasan pasien untuk memilih pengobatan dan siapa yang berhak
mengobatinya sesuai dengan yang diinginkan.
2. Kebebasan (freedom)
Prilaku tanpa tekanan dari luar, memutuskan sesuatu tanpa tekanan atau paksaan
pihak lain (Facione et all, 1991 ). Bahwa siapapun bebas menentukan pilihan yang
menurut pandangannya sesuatu yang terbaik.Contoh : Klien mempunyai hak untuk
menerima atau menolak asuhan keperawatan yang diberikan.
3. Kebenaran (Veracity)
Melakukan kegiatan/tindakan sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika yang tidak
bertentangan (tepat, lengkap). Prinsip kejujuran menurut Veatch dan Fry (1987)
didefinisikan sebagai menyatakan hal yang sebenarnya dan tidak bohong. Suatu
kewajiban untuk mengatakan yang sebenarnya atau untuk tidak membohongi orang
lain. Kebenaran merupakan hal yang fundamental dalam membangun hubungan
saling percaya dengan pasien. Perawat sering tidak memberitahukan kejadian
sebenarnya pada pasien yang memang sakit parah. Namun dari hasil penelitian pada
pasien dalam keadaan terminal menjelaskan bahwa pasien ingin diberitahu tentang
kondisinya secara jujur (Veatch, 1978). Contoh : Tindakan pemasangan infus harus
dilakukan sesuai dengan SOP yang berlaku dimana klien dirawat.
4. Keadilan (Justice)
Hak setiap orang untuk diperlakukan sama (facione et all, 1991). Merupakan suatu
prinsip moral untuk berlaku adil bagi semua individu. Artinya individu mendapat
tindakan yang sama mempunyai kontribusi yang relative sama untuk kebaikan
kehidupan seseorang. Prinsip dari keadilan menurut beauchamp dan childress adalah
mereka uang sederajat harus diperlakukan sederajat, sedangkan yang tidak sederajat
diperlakukan secara tidak sederajat, sesuai dengan kebutuhan mereka.Ketika
seseorang mempunyai kebutuhan kesehatan yang besar, maka menurut prinsip ini
harus mendapatkan sumber-sumber yang besar pula, sebagai contoh: Tindakan
keperawatan yang dilakukan seorang perawat baik dibangsal maupun di ruang VIP
harus sama dan sesuai SAK.
5. Tidak Membahayakan (Nonmaleficence)
Tindakan/ prilaku yang tidak menyebabkan kecelakaan atau membahayakan orang
lain.(Aiken, 2003). Contoh : Bila ada klien dirawat dengan penurunan kesadaran,
maka harus dipasang side driil.

6. Kemurahan Hati (Benefiecence)


Menyeimbangkan hal-hal yang menguntungkan dan merugikan/membahayakan dari
tindakan yang dilakukan. Melakukan hal-hal yang baik untuk orang lain. Merupakan
prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan orang lain/pasien. Prinsip ini
sering kali sulit diterapkan dalam praktek keperawatan. Berbagai tindakan yang
dilakukan sering memberikan dampak yang merugikan pasien, serta tidak adanya
kepastian yang jelas apakah perawat bertanggung jawab atas semua cara yang
menguntungkan pasien.Contoh: Setiap perawat harus dapat merawat dan
memperlakukan klien dengan baik dan benar.
7. Kesetiaan (fidelity )
Memenuhi kewajiban dan tugas dengan penuh kepercayaan dan tanggung jawab,
memenuhi janji-janji. Veatch dan Fry mendifinisikan sebagai tanggung jawab untuk
tetap setia pada suatu kesepakatan. Tanggung jawab dalam konteks hubungan
perawat-pasien meliputi tanggung jawab menjaga janji, mempertahankan
konfidensi dan memberikan perhatian/kepedulian. Peduli kepada pasien
merupakan salah satu dari prinsip ketataatan. Peduli pada pasien merupakan
komponen paling penting dari praktek keperawatan, terutama pada pasien dalam
kondisi terminal (Fry, 1991). Rasa kepedulian perawat diwujudkan dalam memberi
asuhan keperawatan dengan pendekatan individual, bersikap baik, memberikan
kenyamanan dan menunjukan kemampuan professional. Contoh: Bila perawat sudah
berjanji untuk memberikan suatu tindakan, maka tidak boleh mengingkari janji
tersebut.
8. Kerahasiaan (Confidentiality)
Melindungi informasi yang bersifat pribadi, prinsip bahwwa perawat menghargai
semua informsi tentang pasien dan perawat menyadari bahwa pasien mempunyai hak
istimewa dan semua yang berhubungan dengan informasi pasien tidak untuk
disebarluaskan secara tidak tepat (Aiken, 2003). Contoh : Perawat tidak boleh
menceritakan rahasia klien pada orang lain, kecuali seijin klien atau seijin keluarga
demi kepentingan hukum.
9. Hak (Right)
Berprilaku sesuai dengan perjanjian hukum, peraturan-peraturan dan moralitas,
berhubungan dengan hukum legal (Webster’s, 1998). Contoh : Klien berhak untuk
mengetahui informasi tentang penyakit dan segala sesuatu yang perlu diketahuinya.

2.8. Perizinan Praktek Perawat


Menurut permenkes 148 tahun 2010 tentang perizinan syarat-syaratnya
1. Perawat dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan fasilitas
pelayanannnya yaitu fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktek mandiri dan
atau praktek mandiri.
2. Perawat yang menjalankan praktek mandiri minimal berpendidikan D III
Keperawatan.
3. Setiap perawat yang menjalankan praktik wajib memiliki SIPP
4. Kewajiban memiliku SIPP dikecualikan bagi perawat yang menjalankan praktik
pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktek mandiri.
5. Untuk memperoleh SIPP perawat harus mengajukan permohonan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan melampirkan fotocopy STR, surat
keterangan sehat, surat pernyataan memiliki tempat praktik, foto, rekomendasi
dari organisasi profesi. SIPP berlaku pada satu tempat praktik saja.
6. Dalam menjalankan praktik mandiri, perawat wajib memasang papan nama
praktik keperawatan
2.9. Kewenangan Perawat
1. Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai:
a. Pemberi Asuhan Keperawatan;
b. Penyuluh dan konselor bagi Klien;
c. Pengelola Pelayanan Keperawatan;
d. Peneliti Keperawatan;
e. Pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau
f. Pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.
2. Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan dibidang upaya
kesehatan perorangan, Perawat berwenang:
a. Melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik;
b. Menetapkan diagnosis Keperawatan;
c. Merencanakan tindakan Keperawatan;
d. Melaksanakan tindakan Keperawatan;
e. Mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan;
f. Melakukan rujukan;
g. Memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi;
h. Memberikan konsultasi Keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter;
i. Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling; dan
j. Melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep
tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas.
3. Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan dibidang upaya
kesehatan masyarakat, Perawat berwenang:
a. Melakukan pengkajian Keperawatan kesehatan masyarakat di tingkat keluarga
dankelompok masyarakat;
b. Menetapkan permasalahan Keperawatan kesehatan masyarakat;
c. Membantu penemuan kasus penyakit;
d. Merencanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
e. Melaksanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
f. Melakukan rujukan kasus;
g. Mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
h. Melakukan pemberdayaan masyarakat;
i. Melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
j. Menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat;
k. Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling;
l. Mengelola kasus; dan
m. Melakukan penatalaksanaan Keperawatan komplementer dan alternatif.
4. Dalam menjalankan tugas sebagai penyuluh dan konselor bagi Klien, Perawat
berwenang:
a. Melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik di tingkat individu dan
keluarga serta ditingkat kelompok masyarakat;
b. Melakukan pemberdayaan masyarakat;
c. Melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
d. Menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat; dan
e. Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling.
5. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola Pelayanan Keperawatan, Perawat
berwenang:
a. Melakukan pengkajian dan menetapkan permasalahan;
b. Merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi Pelayanan Keperawatan; dan
c. Mengelola kasus.

6. Dalam menjalankan tugasnya sebagai peneliti Keperawatan, Perawat berwenang:


a. Melakukan penelitian sesuai dengan standar dan etika;
b. Menggunakan sumber daya pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan atas izin
pimpinan; dan
c. Menggunakan pasien sebagai subjek penelitian sesuai dengan etika profesi dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keperawatan merupakan sebuah ilmu dan profesi yang memberikan pelayanan
keseahatan guna untuk meningkatkan keseahatan bagi masyarakat. Perawat dalam
menjalankan tugasnya, ia dilindungi dan diatur oleh beberapa aspek legal dalam
kesehatan seperti yang tercantum dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 dan
Peraturan Pemerintah RI NO. 32 Tahun 1996. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Standar
Pelayanan Rumah Sakit adalah semua standar pelayanan yang berlaku di Rumah Sakit
antara lain standar prosedur operasional, standar pelayanan medis, dan standar asuhan
keperawatan.
3.2 Saran
Dalam melakukan asuhan keperawatan, hendaknya kita sebagai perawat selalu memegang
teguh kode etik dan bertanggung jawab di setiap tindakan yang dilakukan kepada klien.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2016.Makalah Asuhan Keperawatan Gawat Darurat dan Aspek Legal dan Etik
Kegawatdaruratan Kelompok 2. dan Etik Kegawatdaruratan Kelompok 2. (Online)
Avai (Online) Available : lable : http://karyatulisilmiah.com/makalah-asuhan-
keperawatan-gawat-darurataspek-legal-dan-etik-kegawat-daruratan-kelompok-2/
aspek-legal-dan-etik-kegawat-daruratan-kelompok-2/ (Diakses pada Diakses pada
tanggal 01 Agustus 2021, pukul 14.00 Wita)

Anonim.2016.Permenkes No.148. (Online) Available :


https://prastiwisp.files.wordpress.com/2010/11permenkes-no-148.pdf&ved (Diakses
pada tanggal 01 Agustus 2021, pukul 14.30 Wita)

Aziz, Alimul Hidayat. 2002.Keperawatan Kegawat Daruratan. Jakarta: EGC.

Smeltzer dan Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Jakarta:EGC.

Soekidjo, Notoatmodjo. 2003.Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kegawat Daruratan. Jakarta: PT


RinekaCipta.

Wahit Iqbal Mubarak, dkk. 2006.Ilmu Keperawatan (Kegawat Daruratan). Jakarta: CV


Sagung Seto.Diposkan oleh Daek Chindi 00.27

Anda mungkin juga menyukai