Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KIMIA

PRINSIP KERJA CAIRAN INFUS DALAM


TUBUH MANUSIA

OLEH :

IRMA YOGI ZULIANA

MEIROSE DIAN FAHREZA

SOFIA AZIZUL ROSIDA

SMA NEGERI BARENG


JOMBANG
TAHUN AJARAN 2018-2019
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu memenuhi
tugas pelajaran kimia kelas XI IPA 2.

Makalah ini membahas segala hal yang berkaitan dengan prinsip kerja cairan infus
dalam tubuh manusia penulis sangat berharap karya tulis ini dapat membantu kita untuk
memahami pelajaran kimia

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala penulis dapat
teratasi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para siswa.Kami sadar bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada guru pembimbing
saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang
akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
DAFTAR ISI
COVER…………………………………………………………………….
KATA PENGANTAR……………………………………………………..
DAFTAR ISI……………………………………………………………….
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………

1.1 Latar Belakang……………………………………………...


1.2 Rumusan Masalah ………………………………………….
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………

2.1 Pemberian Cairan Infus Intravena (Intravenous Fluids)……

2.2 Jenis Cairan Infus…………………………………………...

2.3 Faktor Yang Harus Diperhatikan Dalam Pemberian Terapi


Cairan Intravena...............................................................................

2.4 Pemberian Cairan Infus Pada Anak......................................

2.5 Prinsip kerja infus berdasar tekanan osmotik ……………...

2.6 Prinsip Kerja Cairan infus......................................................

2.7 Hubungan system kerja cairan infuse dengan prinsip kerja larutan
penyangga ………………………………………………………….

BAB III PENUTUP………………………………………………

3.1 Kesimpulan………………………………………………...

3.2 Saran………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infus adalah tindakan memasukan cairan melalui intravena kedalam tubuh pasien
dengan tujuan memenuhi kebutuhan cairan serta menyeimbangkan elektrolit sebagai tindakan
pengobatan dan pemberian nutrisi pada pasien. Terapi cairan infus merupakan salah satu aspek
terpenting sebagai penanganan pada pasien. Karena fungsinya yang sangat penting,
pemasangan infus harus dilakukan secara tepat, yakni sesuai prosedur yang tepat. Kesalahan
dalam pemberian terapi cairan infus dapat berakibat fatal yang dapat berujung kematian.
Selain proses pemasangan infus, hal yang perlu diperhatikan adalah pemantauan
cairan infus. Pada kenyataannya, tenaga medis terkadang lalai untuk mengganti kantung infus
karena keterbatasan waktu dan tenaga. Padahal hal ini dapat menyebabkan timbulnya
komplikasi lain seperti darah pasiean dapat naik ke selang infus. Selain itu, apabila tekanan
pada infus tidak stabil, darah yang membeku pada selang infus dapat tersedot kembali ke
dalam pembuluh darah. Darah yang membeku tersebut dapat beredar ke seluruh tubuh dan data
menyumbat kapiler darah di paru-paru sehingga menyebabkan emboli di paruparu.
Infus habis juga dapat menyebabkan kekhawatiran pasien dan keluarga pasien.
Apalagi jika infus habis pada malam hari ketika pasien beristirahat. Keluarga pasien harus
bangun dan memanggil perawat ke ruang perawat untuk meminta perhantian infus. Terkadang,
keluarga pasien hanya memanggil perawat melalui tombol darurat yang tersedia. Perawat akan
datang dan kembali lagi mengambil kantong infus baru. Hal ini mengakibatkan perawat harus
bekerja dua kali. Kondisi ini sangat merugikan baik dari pasien maupun perawat. Dari
permasalahan tersebut, muncul sebuah pemikiran untuk merekayasa suatu alat yang dapat
memantau cairan infus di setiap kamar pasien. Dengan adanya alat ini diharapkan dapat
menambah efisensi kinerja perawat dan memberi rasa nyaman terhadap pasien.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara kerja cairan infuse dalam tubuh manusia ?
2. Bagaimana hubungan system kerja cairan infuse dengan prinsip kerja larutan
penyangga ?

1.3 Tujuan Penulisan


Dapat :
1. Merancang dan mengimplementasikan sebuah alat yang dapat memonitoring massa
cairan infus.

2. Meningkatkan efisiensi kerja rumah sakit.

3. Memudahkan perawat memantau cairan infus pasien.

4. Meminimalisir terjadinya infiltrasi.

5. Memberikan ketenangan dan kenyamanan pasien.

6. Menjelaskan hubungan antara larutan penyangga dengan prinsip kerja cairan


infuse dalam tubuh manusia.
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pemberian Cairan Infus Intravena (Intravenous Fluids)

Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah


cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik)
untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh. Secara umum,
keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah perdarahan dalam
jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah), trauma abdomen (perut) ,
fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) , “Serangan panas”
(heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi), diare dan demam (mengakibatkan
dehidrasi), luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh), semua trauma kepala, dada, dan
tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)

Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain :

1. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk
ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran
darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat
oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya
diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa
melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (ditelan biasa melalui mulut) pada kebanyakan
pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika
intravena, dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan administrasi RS, biaya
perawatan, dan lamanya perawatan. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas
oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya
tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan
aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak
dapat diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam
darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.

2. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada
sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan
pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan
(di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).
3. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak- obat masuk ke pernapasan),
sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.

4. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi
bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). .

5. Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang
mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus.
Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan,
namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik,
dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.

2. 2 Jenis Cairan Infus

Jenis-jenis cairan infuse :

1. Cairan hipotonik.

Adalah cairan infuse yang osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi
ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan
osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan
sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi),
sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami”
dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada
pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi
yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke
sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam
otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

2. Cairan Isotonik.

Adalah cairan infuse yang osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum
(bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga
tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan),
khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan
Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
3. Cairan hipertonik.

Adalah cairan infus yang osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
“menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu
menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema
(bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%,
NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk
darah (darah), dan albumin.

2.3 Faktor Yang Harus Diperhatikan Dalam Pemberian Terapi Cairan Intravena.

1. Dari Sisi Pasien.

Dari sisi pasien yang perlu diperhatikan adalah penyakit dasar pasien, status hidrasi
dan hemodinamik, pasien dengan komplikasi penyakit tertentu, dan kekuatan jantung.
Kesemua faktor ini merupakan hal yang harus diketahui dokter.

2. Dari Sisi Cairan

a. Kandungan elektrolit cairan

Elektrolit yang umum dikandung dalam larutan infus adalah Na+, K+, Cl, Ca2+, laktat
atau asetat. Jadi, dalam pemberian infus, yang diperhitungkan bukan hanya air
melainkan juga kandungan elektrolit ini apakah kurang, cukup, pas atau terlalu
banyak.

b. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi dan komposisi larutan infus
sangatlah penting agar bisa memilih produk sesuai dengan indikasi masing-masing.

c. Osmolaritas cairan
Yang dimaksud dengan osmolaritas adalah jumlah total mmol elektrolit dalam
kandungan infus. Untuk pemberian infus ke dalam vena tepi maksimal osmolaritas
yang dianjurkan adalah kurang dari 900mOsmol/L untuk mencegah risiko flebitis
(peradangan vena). Jika osmolaritas cairan melebihi 900 mOsmol/L maka infus
harus diberikan melalui vena sentral.

3. Kandungan lain cairan.

Seperti disebutkan sebelumnya, selain elektrolit beberapa produk infus


juga mengandung zat-zat gizi yang mudah diserap ke dalam sel, antara lain: glukosa,
maltosa, fruktosa, silitol, sorbitol, asam amino, trigliserida. Pasien yang dirawat lebih
lama juga membutuhkan unsur-unsur lain seperti Mg2+, Zn2+ dan trace element
lainnya.

4. Sterilitas cairan infus.

Parameter kualitas untuk sediaan cairan infus yang harus dipenuhi adalah steril, bebas
partikel dan bebas pirogen disamping pemenuhan persyaratan yang lain. Pada
sterilisasi cairan intravena yang menggunakan metoda sterilisasi uap panas, ada dua
pendekatan yang banyak digunakan, yaitu overkill dan non-overkill (bioburden-
based).

a. Overkill
Overkill adalah Pendekatan yang dilakukan untuk membunuh semua
mikroba,dengan prosedur sterilisasi akhir pada suhu tinggi yaitu 121oC selama 15
menit. . Dengan cara ini, hanya cairan infus yang mengandung elektrolit tidak akan
mengalami perubahan. Namun cara ini sangat berisiko dilakukan pada cairan infus
yang mengandung nutrisi seperti karbohidrat dan asam amino karena bisa jadi
nutrisi tersebut pecah dan pecahannya menjadi racun. Misalnya saja larutan glukosa
konsentrasi tinggi. Pada pemanasan tinggi, cairan ini akan menghasilkan produk
dekomposisi yang dinamakan 5-HMF atau 5-Hidroksimetil furfural yang pada kadar
tertentu berpotensi menimbulkan gangguan hati. Selain suhu sterilisasi yang terlalu
tinggi, lama penyimpanan juga berbanding lurus dengan peningkatan kadar 5-HMF
ini.

b.Non-overkill :

sesuai dengan perkembangan kedokteran yang membutuhkan jenis cairan yang


lebih beragam contohnya cairan infus yang mengandung nutrisi seperti karbohidrat
dan asam amino serta obat-obatan yang berasal dari bioteknologi, maka berkembang
juga teknologi sterilisasi yang lebih mutakhir yaitu metoda Non-Overkill atau
disebut juga Bioburden, dimana pemanasan akhir yang digunakan tidak lagi harus
mencapai 121 derajat, sehingga produk-produk yang dihasilkan dengan metoda ini
selain dijamin steril, bebas pirogen, bebas partikel namun kandungannya tetap stabil
serta tidak terurai yang diakibatkan pemanasan yang terlampau tinggi. Dengan
demikian infus tetap bermanfaat dan aman untuk diberikan.
2.4 Pemberian Cairan Infus Pada Anak

1. Berapa Banyak Cairan yang Dibutuhkan Anak Sehat ?

a. Anak sehat dengan asupan cairan normal, tanpa memperhitungkan kebutuhan cairan
yang masuk melalui mulut, membutuhkan sejumlah cairan yang disebut dengan
“maintenance”. Cairan maintenance adalah volume (jumlah) asupan cairan harian
yang menggantikan “insensible loss” (kehilangan cairan tubuh yang tak terlihat,
misalnya melalui keringat yang menguap, uap air dari hembusan napas dalam hidung,
dan dari feses/tinja), ditambah ekskresi/pembuangan harian kelebihan zat terlarut
(urea, kreatinin, elektrolit, dll) dalam urin/air seni yang osmolaritasnya/kepekatannya
sama dengan plasma darah.

b. Kebutuhan cairan maintenance anak berkurang secara proporsional seiring


meningkatnya usia (dan berat badan).

c. Perhitungan berikut memperkirakan kebutuhan cairan maintenance anak sehat


berdasarkan berat badan dalam kilogram (kg).

d. Cairan yang digunakan untuk infuse maintenance anak sehat dengan asupan cairan
normal adalah: NaCl 0.45% dengan Dekstrosa 5% + 20mmol KCl/liter.

2. Penyalahgunaan cairan infuse yang banyak terjadi adalah dalam penanganan

diare (gastroenteritis) akut pada anak.

a. Pemberian cairan infuse banyak disalahgunakan (overused) di Unit Gawat Darurat


(UGD) karena persepsi yang salah bahwa jenis rehidrasi ini lebih cepat menangani
diare, dan mengurangi lama perawatan di Rumah Sakit.

b. Gastroenteritis akut disebabkan oleh infeksi pada saluran cerna (gastrointestinal),


terutama oleh virus, ditandai adanya diare dengan atau tanpa mual, muntah, demam,
dan nyeri perut. Prinsip utama penatalaksanaan gastroenteritis akut adalah
menyediakan cairan untuk mencegah dan menangani dehidrasi.

c. Penyakit ini umumnya sembuh dengan sendirinya (self-limiting), namun jika tidak
ditangani dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit yang bisa mengancam
nyawa. Dehidrasi yang diakibatkan sering membuat anak dirawat di Rumah Sakit

d. Terapi cairan yang diberikan harus mempertimbangkan tiga komponen: rehidrasi


(mengembalikan cairan tubuh), mengganti kehilangan cairan yang sedang
berlangsung, dan “maintenance”. Terapi cairan ini berdasarkan penilaian derajat
dehidrasi yang terjadi.

3. Penilaian Derajat Dehidrasi (dinyatakan dalam persentase kehilangan berat badan)

a. Tanpa Dehidrasi: diare berlangsung, namun produksi urin normal, maka makan/minum
dan menyusui diteruskan sesuai permintaan anak (merasa haus).

b. Dehidrasi Ringan .

c. Dehidrasi Sedang (5-10%) Turgor (kekenyalan) kulit berkurang Mata cekung


Permukaan lapisan lendir sangat kering Ubun-ubun depan mencekung Dehidrasi
Berat (>10%) Tanda-tanda dehidrasi sedang ditambah: Denyut nadi cepat dan isinya
kurang (hipotensi/tekanan darah menurun), Ekstremitas (lengan dan tungkai) teraba
dingin Oligo-anuria (produksi urin sangat sedikit, kadang tidak ada), sampai koma

4. Pengawasan (Monitoring)
Semua anak yang mendapatkan cairan infuse sebaiknya diukur berat badannya, 6 –8
jam setelah pemberian cairan, dan kemudian sekali sehari.
Semua anak yang mendapatkan cairan infuse sebaiknya diukur kadar elektrolit dan
glukosa serum sebelum pemasangan infuse dan 24 jam setelahnya. Bagi anak yang
tampak sakit, diperiksa kadar elektrolit dan glukosa 4 – 6 jam setelah pemasangan dan
sekali sehari sesudahnya.

2.5 Prinsip kerja infus berdasar tekanan osmotik

Ketika anda berkunjung atau bahkan dirawat di rumah sakit maupun Puskesmas.
Anda akan melihat tabung cairan yang ditinggikan dan dialirkan melalui selang kecil ke
dalam tubuh pasien. Begitu pula anda yang bergelut dalam dunia komputer maka kata ‘infus’
ini tidak asing lagi.

Dalam dunia medis, istilah infus berarti mengalirkan cairan atau obat ke tubuh pasien
pada periode waktu tertentu dengan kelajuan tetap. Nah, pembahasan pada label Fisika kali
ini akan diisi dengan materi fisika prinsip kerja infus yang memanfaatkan konsep sifat zat
cair dan tekanan osmotik pada zat cair.
Infus menerapkan konsep dasar fisika sifat zat cair. Zat cair mengalir dari tempat
yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Anda akan melihat dimana tabung infus dipasang
dengan posisi lebih tinggi dari tubuh atau tepatnya jantung pasien yang diberi infus. Dengan
demikian cairan infus dapat masuk ke dalam pembuluh darah pasien.
Kenapa cairan infus dapat masuk ke dalam pembuluh darah? Hal ini terjadi karena
cairan infus memiliki sifat osmosis. Yaitu sifat cairan yang dapat menembus membran atau
selaput semipermeabel pada darah karena perbedaan konsentrasi.
Salah satu sifat koligatif larutan adalah memiliki tekanan osmotik. Dengan adanya tekanan
osmotik pada cairan infus maka cairan ini dapat masuk ke dalam darah pasien setelah
melewati selaput permeabel darah.
Larutan infus dibuat bertekanan sama (isotonik) dengan tekanan cairan darah pasien. Hal ini
bertujuan untuk menghindari kerusakan pada sel darah maupun pembuluh darah.

Jika tekanan cairan infus lebih tinggi (hipertonis) dari darah pasien maka akan terjadi
pecahnya sel darah pasien akibat banyaknya cairan infus yang masuk ke dalam pembuluh
darah. Namun jika tekanan cairan infus rendah (hipotonis) maka akan menyebabkan
masuknya air ke dalam darah sehingga terjadi penggelembungan dan pecahnya sel darah.

2.6 Prinsip Kerja Cairan infus


Dinding sel darah merah mempunyai ketebalan ± 10 nm dan pori berdiameter ± 0,8
nm. Molekul air berukuran ± setengah diameter tersebut, sehingga ion K+ dapat lewat dengan
mudah. Ion K+ yang terdapat dalam sel juga berukuran lebih kecil dari pada ukuran pori
dinding sel itu, tetapi karena dinding sel bermuatan positif maka ditolak oleh dinding sel. Jadi
selain ukuran partikel muatan juga faktor penentu untuk dapat melalui pori sebuah selaput
semipermiabel.

Cairan sel darah merah mempunyai tekanan osmotik yang sama dengan larutan
NaCl 0,92%. Dengan kata lain cairan sel darah merah isotonik dengan NaCl 0,92%. Jika sel
darah merah dimasukkan kedalam larutan NaCl 0,92%, air yang masuk keluar dinding sel
akan setimbang (kesetimbangan dinamis). Akan tetapi jika sel darah merah dimasukkan
kedalam larutan Nacl yang lebih pekat dari 0,92% air akan keluar dari dalam sel dan sel akan
mengerut. Larutan yang demikian dikatakan hipertonik. Sebaliknya jika sel darah merah
dimasukkan kedalam larutan NaCl yang lebih encer dari 0,92%, air akan masuk kedalam sel
dan sel akan menggembung dan pecah(plasmolisis). Larutan ini dikatakan sebagai hipotonik.

Kenapa pada seseorang harus dilakukan pemasangan vena central, ini disebabkan
obat atau cairan yang diberikan melalui vena perifer terlalu pekat atau atau istilahnya
osmolalitas yang tinggi. Pada umumnya cairan yang bersifat bisotonikmempunyai
osmolalitas berkisar 272 sampai dengan 301. pada cairan untuk pemberian nutrisi atau
obat, biasanya osmolalitasnya diatas 1000 atau dikenal dengan hiperosmolar. pada vena
perifer, osmolalitas 850 masih aman diberikan.selain hal tersebut diatas biasanya central
vena kateter juga dipakai untuk melakukan resusitasi cairan secara cepat baik itu darah
maupun cairan infus, bisa juga dipakai untuk mengukur tekanan vena central.

2.7 Hubungan system kerja cairan infuse dengan prinsip kerja larutan
penyangga

Cairan infus berguna untuk menjaga kestabilan pH cairan dalam tubuh manusia. Hal
ini dikarenakan darah dalam tubuh manusia merupakan sistem penyangga carbonat sesuai
persamaan berikut:

H₂CO₃ ⇒ HCO₃⁻ + H⁺

Rasio [H₂CO₃]/[HCO₃⁻] dapat mempengaruhi pH darah. Jika rasio [H₂CO₃]/[HCO₃⁻]


bernilai lebih dari 1 maka darah bersifat cenderung asam (Asidosis). sedangkan jika nilai
rasio [H₂CO₃]/[HCO₃⁻] berda pada rentang 0 - 1 maka darah cenderung bersifat basa
(Alkalosis).Larutan penyangga adalah suatu sistem larutan yang dapat mempertahankan nilai
pH larutan agar tidak terjadi perubahan pH yang berarti oleh karena penambahan asam atau
basa maupun pengenceran. Larutan ini disebut juga dengan larutan buffer atau dapar.

Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat berbagai reaksi kimia yang merupakan reaksi
asam basa. Sebagai contoh, reaksi beberapa enzim pencernaan dalam sistem biologis. Enzim
pepsin yang berfungsi memecah protein dalam lambung hanya dapat bekerja optimal dalam
suasana asam, yakni pada sekitar pH 2. Dengan kata lain, jika enzim berada pada kondisi pH
yang jauh berbeda dari pH optimal tersebut, maka enzim dapat menjadi tidak aktif bahkan
rusak.Larutan penyangga banyak digunakan dalam analisis kimia, biokimia dan mikrobiologi.
Selain itu, dalam bidang industri, juga banyak digunakan pada proses seperti fotografi,
electroplating (penyepuhan), pembuatan bir, penyamakan kulit, sintesis zat warna, sintesis
obat-obatan, maupun penanganan limbah.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan
ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk
menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.

Cairan infuse berguna untuk menjaga kestabilan pH cairan dalam tubuh manusia. Hal
ini dikarenakan darah dalam tubuh manusia merupakan system penyangga carbonat sesuai
persamaan berikut :

H₂CO₃ ⇒ HCO₃⁻ + H⁺

Rasio [H₂CO₃]/[HCO₃⁻] dapat mempengaruhi pH darah. Jika rasio [H₂CO₃]/[HCO₃⁻]


bernilai lebih dari 1 maka darah bersifat cenderung asam (Asidosis). sedangkan jika nilai
rasio [H₂CO₃]/[HCO₃⁻] berda pada rentang 0 - 1 maka darah cenderung bersifat basa
(Alkalosis).

Di dalam darah ,senyawa penyangga ini ada dalam bentuk H₂CO₃ dan HCO₃⁻. Kalau kita
perhatikan ,kedua senyawa tersebut punya sifat yang berbeda : H₂CO₃ bersifat
asam ,sementara HCO₃⁻ adalah basa konjugasi.

3.2 Saran

Penulis mengharapkan saran dari pembaca yang bisa membangun demi kelancaran
pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

 file:///C:/Users/lenovo/Downloads/D3-2016-355051-introduction.pdf
 https://www.matrapendidikan.com/2018/04/prinsip-kerja-infus-berdasar-tekanan.html
 https://kimiaunsps2.wordpress.com/2009/02/09/cairan-infus-intravena-intravenous-
fluids/
 https://brainly.co.id/tugas/22017203

Anda mungkin juga menyukai