Anda di halaman 1dari 44

Trauma Pada THT

2013

Referat Trauma THT

Pembimbing: dr. Satria Nugraha W Sp.THT-KL M.Kes

Oleh : Kustian Pramudita 030.08.140 Andreas Ronald 030.09.016 Rangga Satrio Prawiro 030.09.191

KEPANITERAAN KLINIK THT PERIODE 30 september 2 November 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI JAKARTA

Page 1

Trauma Pada THT

2013

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkatnya kami dapat . menyelesaikan referat Trauma THT. Penulisan referat ini bertujuan memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik ilmu penyakit telinga hidung tenggorokan kepala leher di RSUD BEKASI. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr.Satria Nugraha, Sp.THT KL M.Kes sebagai pembimbing yang mengarahkan penulisan referat ini menjadi lebih baik. Kami menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran yang membangun dan penulisan ilmiah yang berikutnya meningkatkan pemahaman tentang trauma THT. Kami berharap referat ini dapat meningkatkan pemahaman tenaga medis dan mahasiswa kedokteran untuk lebih baik dalam aplikasi teori terhadap tatalaksana pasien trauma THT.

Bekasi, 12 Oktober 2013

Penulis

Page 2

Trauma Pada THT

2013

LEMBAR PENGESAHAN Nama: 1. Kustian Pramudita 2. Andreas Ronald 3. Rangga Satrio Prawiro Institusi Bagian Hari/Tanggal diajukan Judul Referat (03008140) (03009016) (03009191)

: Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti : Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT : Rabu, 16 Oktober 2013 : Trauma THT

Bekasi, 16 Oktober 2013 Pembimbing Bagian Ilmu Penyakit THT KL RSUD BEKASI

Dr. Satria Nugraha, Sp. THT KL, M.Kes

Page 3

Trauma Pada THT

2013

DAFTAR ISI Kata Pengantar . 2 Lembar Pengesahan . 3 Daftar Isi .. 4 BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 6 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 Struktur Anatomi Telinga ........................................................................... 6 Struktur Anatomi Hidung ........................................................................... 6 Struktur Anatomi Tenggorokan ................................................................. 13 Trauma Telinga ........................................................................................... 17 Trauma Hidung ........................................................................................... 25 Trauma Tenggorokan ................................................................................. 36 Kesimpulan....... 43

BAB III PENUTUP 3.1 BAB IV DAFTAR PUSTAKA... .44

Page 4

Trauma Pada THT

2013

BAB I PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang Suara yang dihasilkan oleh suatu sumber bunyi bagi seseorang atau sebagian orang

merupakan suara yang disenangi, namun bagi beberapa orang lainnya justru dianggap sangat menganggu. Suara yang tidak dikehendaki itu dapat dikatakan sebagai bising. Bising yang kita dengar sehari-hari berasal dari banyak sumber baik dekat maupun jauh. Pemaparan bising berlebihan menyebabkan kerusakan telinga dalam dan tuli sensorineural. Trauma telinga dalam tergantung atas intensitas bising, lamanya bising, frekuensi bising dan kerentanan telinga terhadap bising. Secara umum bising ialah bunyi yang tidak diinginkan. Secara audiologik bising ialah campuran nada murni dengan berbagai frekuensi Berdasarkan survey Multi Center Study di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myammar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Berdasarkan survei kesehatan indera tahun 1993-1996 yang dilaksanakan di Indonesia menunjukkan prevalensi morbiditas telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) sebesar 38,6%, morbiditas telinga 18,5%, gangguan pendengaran 16,8% clan ketulian 0,4%.

Page 5

Trauma Pada THT

2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 Struktur Anatomi Telinga

Telinga bagian luar, meliputi : Daun telinga (auriculla / pina) berfungsi untuk menampung gelombang bunyi, untuk estetika. Daun telinga terdiri dari helix (bagian lengkung atas), lobulus (biasa dijadikan tempat aksesoris wanita), konka (cekungan dekat liang telinga), tragus (tonjolan tulang rawan antara wajah dan liang telinga). Liang telinga (Meatus Acusticus Externus) berfungsi menyalurkan dan

memfokuskan gelombang bunyi. Liang telinga orang dewasa normal panjangnya ratarata sekitar 2,5 cm. Dalam liang telinga terdapat rambut-rambut telinga berfungsi menyaring partikel-partikel yang besar, terdapat juga kelenjar serumen yang menghasilkan serumen berfungsi melekatkan kotoran atau kaki serangga kecil yang masuk sehingga tidak langsung merusak membran timpani. Gendang telinga (membran timpani) berfungsi menangkap gelombang bunyi untuk dihantarkan ke tulang-tulang pendengaran. Telinga bagian tengah, meliputi : Tulang-tulang pendengaran (Os.Acusticus), terdiri dari Os Maleus, Incus dan Stapez. berfungsi melanjutkan hantaran gelombang bunyi. Cairan perilymph dan endolymph berfungsi mengubah energi mekanik dari getaran tulang-tulang pendengaran menjadi energi listrik. Telinga bagian dalam, terdiri dari membran semisirkularis dan cochlea (labirin berupa rumah siput) yang di dalamnya terdapat saraf-saraf pendengaran (nerves acusticus) yang terdiri dari : Nerves cochlearis untuk pendengaran. Nerves vestibularis untuk keseimbangan tubuh.

Page 6

Trauma Pada THT

2013

2.

Struktur Anatomi hidung

2.1

Anatomi hidung luar Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1.pangkal hidung (bridge), 2.batang hidung (dorsum nasi), 3.puncak hidung (hip), 4.ala nasi, 5.kolumela, dan 6.lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1.tulang hidung (os nasal), 2.prosesus frontalis os maksila, dan 3.prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1.sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2.sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, dan 3.tepi anterior kartilago septum.5

2.2 Anatomi hidung dalam Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.6,7,8

Page 7

Trauma Pada THT

2013

Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam

Septum nasi Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid. 6,7 Kavum nasi Kavum nasi terdiri dari: Dasar hidung Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os palatum. 6 Atap hidung Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. 6

Page 8

Trauma Pada THT

2013

Dinding Lateral Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,

os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial. 6 Konka Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum. 6 Meatus superior Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid. 6 Meatus media Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya

Page 9

Trauma Pada THT

2013

bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.6,7 Meatus Inferior Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.6,7 Nares Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.6 Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.6,7,8 Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.9

Page 10

Trauma Pada THT

2013

Kompleks ostiomeatal (KOM) Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang

berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.5,10 Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka. 9

Gambar 2. Kompleks Ostio Meatal.

2.3 Perdarahan hidung Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis. 5

Page 11

Trauma Pada THT

2013

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak. 5 Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial. 5 2.4 Persarafan hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabutserabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. 5 Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.5,7 3. Struktur Anatomi Tenggorokan

3.1 Anatomi Faring Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya kelihatan seperti corong dengan ukuran bagian atasnya lebih besar dan bagian bawah yang lebih sempit. Faring merupakan ruang utama traktus resporatorius dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler ini mulai dari dasar tengkorak dan terus menyambung ke esophagus hingga setinggi vertebra

Page 12

Trauma Pada THT

2013

servikalis ke-6. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa 14 cm dan bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.

Berdasarkan letaknya maka faring dapat dibagi menjadi Nasofaring, Orofaring dan Laringofaring (Hipofaring).

Page 13

Trauma Pada THT

2013

Gambar 3. Anatomi Nasofaring, Orofaring dan Hypoparing

Page 14

Trauma Pada THT

2013

Nasofaring merupakan bagian tertinggi dari faring, adapun batas-batas dari nasofaring ini antara lain : - batas atas : Basis Kranii - batas bawah : Palatum mole - batas depan : rongga hidung - batas belakang : vertebra servikal

Nasofaring yang relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong ranthke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh Nervus Glossopharyngeus, Nervus Vags dan Nervus Asesorius spinal saraf cranial dan vena jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius. 3,4

Orofaring disebut juga mesofaring, karena terletak diantara nasofaring dan laringofaring. Dengan batas-batas dari orofaring ini antara lain, yaitu : 3,4 - batas atas : palatum mole - batas bawah : tepi atas epiglottis - batas depan : rongga mulut - batas belakang : vertebra servikalis Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. Laringofaring (hipofaring) merupakan bagian terbawah dari faring. Dengan batasbatas dari laringofaring antara lain, yaitu : 3,4 - batas atas : epiglotis - batas bawah : kartilago krikodea - batas depan : laring - batas belakang : vertebra servikalis -

Laringofaring disebut juga hipofaring dan terletak di bawah setelah orofaring. Dengan batas-batas dari laringofaring antara lain, yaitu : 3,4 - batas atas : epiglotis - batas depan : laring

Page 15

Trauma Pada THT

2013

- batas bawah : esofagus - batas belakang : vertebra servikalis Struktur-struktur yang terdapat di laringofaring : 3,4 Valekula : Dibentuk oleh dua buah cekung yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan lateral (kantong pil). Epiglotis: Terletak di bawah epiglottis. Pada bayi berbentuk omega & pada perkembangan menjadi lebar sampai dewasa. Epiglotis berfungsi proteksi glotis ketika menelan minuman/bolus makanan Pada tiap sisi laringofaring berjalan N.laring superior di bawah dasar sinus piriformis. 3,4

Gambar 4. Strukttur laringofaring (hipofaring)

Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti penting yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Dinding anterior ruang retrofaring (retropharyngeal space) adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevetebralis. 3,4 Ruang ini mulai dari dasar tenN gkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila. 3,4 Ruang parafaring (fosa faringomaksila) merupakan ruang berbentuk kerucut dengan dasarnya terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya ada kornu

Page 16

Trauma Pada THT

2013

mayus os hyoid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh M.Konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asendens mandibula yang melekat dengan M.Pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi arteri karotis interna, vena jugularis interna, Nervus vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheat). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.

4. TRAUMA TELINGA

4.1 BAROTRAUMA

4.1.1Definisi Aerotitis atau barotrauma merupakan suatu gangguan telinga yang terjadi akibat perubahan tekanan yang tiba-tiba di luar telinga tengah sewaktu tubuh bergerak ke atau dari lingkungan tekanan yang lebih tinggi sehingga menyebabkan tuba gagal untuk membuka.1,2 Apabila perubahan tekanan melebihi 90 cmHg, maka otot yang normal aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Pada keadaan ini terjadinya tekanan negatif di rongga tengah, sehingga cairan keluar dari pembuluh darah kapiler mukosa dan kadangkadang disertai dengan ruptur pembuluh darah, sehingga cairan di telinga tengah dan rongga mastoid tercampur darah.5

4.1.2 Etiologi Aerotitis paling sering terjadi pada telinga tengah, hal ini tertutama karena rumitnya fungsi tuba eustachius. Tuba eustachius secara normal selalu tertutup namun dapat terbuka pada gerakan menelan, mengunyah, menguap, dan dengan manuver Valsava. Dengan meningkatnya tekanan lingkungan, udara dalam telinga dalam telinga tengah dan dalam tuba eustachius menjadi tertekan. Peningkatan tekanan ini menyebabkan pembuluh darah kecil pada mukosa telinga akan berdilatasi dan pecah dan menyebkan hemotimpanum dan kadang dapat menyebabkan ruptur membran timpani. Aerotitis terjadi akibat perbedaan tekanan barometrik, baik saat menyelam atau saat terbang.2,3

Page 17

Trauma Pada THT

2013

4.1.3 Patofisiologi Pilek, rinitis alergika serta berbagai reaksi individual, semuanya merupakan predisposisi terhadap disfungsi tuba eustachius. Aerotitis dengan ruptur timpani dapat terjadi setelah menyelam atau melakukan perjalanan dengan pesawat terbang.1 Saluran telinga luar, teling tengah, telinga dalam dapat dianggap sebagai kompartmen tersendiri, ketiganya dipisahkan satu dengan yang lain oleh membran timpani dan membran tingkap bundar dan tinggkap oval.1,2

Gambar 5. Perjalanan Penyakit Aerotitis3

Telinga tengah merupakan suatu rongga tulang dengan hanya satu penghubung ke dunia luar, yaitu melalui tuba eustachius. Tuba ini biasanya selalu tertutup dan hanya akan

Page 18

Trauma Pada THT

2013

membuka pada waktu menelan, menguap, dan valsava manuver. Valsava manuver dilakukan dengan menutup mulut dan hidung, lalu meniup dengan kuat. Dengan demikian tekanan di dalam pharynx akan meningkat sehingga muara dapat terbuka. Ujung tuba di bagian telinga tengah akan selalu terbuka, karena terdiri dari massa yang keras/ tulang. Sebaliknya ujung tuba di bagian pharynx akan selalu tertutup karena terdiri dari jaringan lunak, yaitu mukosa pharynx yang sewaktu-waktu akan terbuka disaat menelan. Perbedaaan anatomi antara kedua ujung tuba ini mengakibatkan udara lebih mudah mengalir keluar daripada masuk ke dalam cavum timpani. Hal inilah yang menyebabkan kejadian aerotitis lebih banyak alami pada saat menurun dari pada saat naik tergantung pada besarnya perbedaan tekanan, maka dapat terjadi hanya rasa sakit (karena teregangnya membran timpani) atau sampai pecahnya membran timpani. 1,2,3,4 Aerotitis descent dan ascent dapat terjadi pada penyelaman. Ketidakseimbangan tekanan terjadi apabila penyelam tidak mampu menyamakan tekanan udara di dalam rongga tubuh pada waktu tekanan air bertambah atau berkurang. Aerotitis pada penyelam dibagi menjadi 3 jenis, yaitu aerotitis pada telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam, tergantung dari bagian telinga yang terkena. Aerotitis ini bisa terjadi secara bersamaan dan juga dapat berdiri sendiri. 1,2,5,6,7 Aerotitis telinga luar berhubungan dengan dunia luar, maka pada waktu menyelam, air akan masuk ke dalam meatus akustikus eksternus. Bila meatus akustikus eksternus tertutup, maka terdapat udara yang terjebak. Pada waktu tekanan bertambah, menegcilnya udara tidak mungkin dikompensasi dengan kolapsnya rongga (kanalis akustikus eksternus), hal ini berakibat terjadinya decongesti, perdarahan dan tertariknya membran timpani ke lateral. Peristiwa ini akan terjadi bila terdapat perbaedaan tekanan air dan tekanan udara dalam rongga kanalis akustikus eksternus sebesar >150 mmHg atau lebih, yaitu sedalam 1,5 2 meter.5 Aerotitis telinga tengah akibat adanya penyempitan, inflamasi atau udema pada mukosa tuba mempengaruhi kepatenannya dan merupakan penyulit untuk

meneyeimbangkan telinga tengah terhadap tekanan ambient yang terjadi pada saat ascent maupun descent, baik penyelaman maupun penerbangan. Terjadinya barotrauma tergantung pada kecepatan penurunan natau kecepatan telinga tengah.5 penurunan atau kecepatan

peningkatan tekanan ambien yang jauh berbeda dengan kecepatan peningkatan tekanan

Page 19

Trauma Pada THT

2013

Aerotitis telinga dalam biasanya adalah komplikasi dari barotrauma telinga tengah pada waktu menyelam, disebabkan karena melakukan manuver valsava yang dipakasakan. Bila terjadi perubahan dalam kavum timpani akibat barotrauma maka membran timpani akan mengalami edema dan akan menekan stapes yang terletak pada foramen ovale dan membran pada foramen profunda, yang mengakibatkan peningkatan tekanan ditelinga dalam yang akan merangsang labirin vestibuler sehingga terjadi deviasi langkah pada pemeriksaan Stepping Test. Dapat disimpulkan, gangguan pada telinga tengah dapat berpengaruh pada labirin vestibular dan menampakkan ketidak seimbangan laten pada tonus otot melalui reflek vestibulospinal.5 Seperti yang dijelaskan diatas, tekanan yang meningkat perlu di atasi untuk menyeimbangkan tekanan, sedangkan tekanan yang menurun biasanya dapat

diseimbangkan secara pasif. Dengan menurunnya tekanan lingkungan, udara dalam telinga tengah akan mengembang dan secara pasif akan keluar melalui tuba eustachius. dengan meningkatnya tekanan lingkungan, udara dalam telinga tengah dan dalam tuba eustachius menjadi tertekan. Hal ini cenderung menyebabkan penciutan tuba eustachius. jika

perbedaan tekanan antara rongga telinga tengah dan lingkungan sekitar menjadi terlalu besar (sekitar 90 100 mmHg), maka bagian kartilaginosa diri tuba eustachius untuk memulihkan volume telinga tengah, maka struktur-struktur dalam telinga tengah dan jaringan di dekatnya akan rusak dengan makin bertambahnya perbedaan. Terjadinya

rangkaian kerusakan yang dapat diperkirakan denagan berlanjutnya keadaan vakum relatif dalam rongga telinga tengah. Mula- mula membran timpani tertarik kedalam. Retraksi akan menyebabkan membran dan pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil sehingga tampak gambaran injeksi dan bula hemoragik pada gendang telinga tengah juga mukosa telinga tengah akan berdilatasi daan pecah, menimbulkan hemotimponim kadang-kadang tekanan dapat menyebabkan ruptur membran timpani. 5

4.1.4 Manifestasi Klinis Keluhan pasien dapat berupa kurang pendengaran, rasa nyeri dalam telinga, auofoni, perasaan ada air dalam telinga dan kadang-kadang tinitus dan vertigo. Gejala klinis barotrauma telinga: 1. Gejala descent barotrauma: Nyeri (bervariasi) pada telinga yang terpapar

Page 20

Trauma Pada THT

2013

Kadang ada bercak darah di hidung dan nasofaring Rasa tersumbat dalam telinga / tuli konduktif

2. Gejala ascent barotrauma : Rasa tertekan atau nyeri dalam telinga Vertigo Tinnitus / tuli ringan Barotrauma telinga dalam sebagai komplikasi

Berdasarkan manifestasi klinisnya, kerusakan membran timpani akibat aerotitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 5 Grade 0 : bergejala tanpa tanda kelainan Grade 1 : injeksi membran timpani Grade 2 : injeksi, perdarahan ringan pada membran timpani Grade 3 : perdarahan berat membran timpani Grade 4 : peradangan telinga tengah (membran timpani menonjol dan agak kebiruan Grade 5 : perdarahan meatus eksternus + ruptur membrane timpani.

Gambar 7. Aerotitis pada telinga. 4.1.5 Diagnosis Anamnesis yang teliti sanagat membantu penegakan diagnosis. Jika dari anamnesis ada riwayat nyeri telinga atau pusing, yang terjadi setelah penerbangan atau penyelaman, adanya barotrauma harus dicurigai. Diagnosis dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan telinga, dan juga tes pendengaran dan keseimbangan. 7

Page 21

Trauma Pada THT

2013

Diagnosa dipastikan dengan otoskop. Gendang telinga nampak sedikit menonjol keluar atau mengalami retraksi. Pada kondisi yang berat bias terdapat darah dibelakang gendang telinga, kadang-kadang gendang telinga mengalami perforasi. Dapat disertai gangguan pendengaran konduktif ringan. 7 Perlu ditekankan bahwa tinnitus yang menetap, vertigo dan tuli sensorineural adalah gejala-gejala kerusakan telinga dalam. Barotrauma telinga tengah tidak jarang menyebabkan kerusakan telinga dalam. Kerusakan telinga dalam merupakan masalah yang serius dan mungkin memerlukan pembedahan untuk mencegah kehilangan pendengaran yang menetap. Semua orang yang mengeluh kehilangan pendengaran dengan barotrauma harus menjalani uji pendengaran dengan rangkaian penala untuk memastikan bahwa pendengaran bersifat konduktif dan bukannya sensoneural. 1,5,7,8

4.1.6 Tatalaksana Untuk mengurangi rasa nyeri telinga atau rasa tidak enak pada telinga, pertama yang perlu dilakukan adalah berusaha membuka tuba eustachius dan mengurangi tekanan dengan mengunyah permen karet atau menguap, atau menghirup udara, kemudian menghembuskan secara perlahan lahan sambil menutup lubang hidung dengan tangan dan menutup mulut. Selama pasien tidak menderita infeksi traktus respiratorius atas, membran nasalis dapat mengkerut dengan semprotan nosinefrin dan dapat diusahakan menginflasi tuba eustachius dengan preparat politzer, khususnya dilakukan pada anak- anak berusia 3-4 tahun. Kemudian diberikan dekongestan, antihistamin atau kombinasi keduanya selama 1-2 minggu atau sampai gejala hilang, antibiotik tidak diindikasikan kecuali bila terjadi perforasi didalam air yang kotor. Preparat politzer terdiri dari tindakan menelan air dengan bibit tertutup sementara ditiupkan udara kedalam salah satu nares dengan kantong politzer atau apparatus senturi, nares yang ditutup. Kemudian anak dikejutkan dengan meletusnya balon ditelinganya, bila tuba eustachius berhasil inflasi, sejumlah cairan akan terevakuasi dari telinga tengah dan sering terdapat gelembung-gelembung udara pada cairan. Untuk barotrauma telinga dalam, penanganannya dengan perawatan dirumah sakit dan istirahat dengan elevasi kepala 30- 400. Kerusakan telinga dalam merupakan masalah yang serius dan memungkinkan adanya tindakan pembedahan untuk mencegah hilangnya pendengaran yang menetap. Suatu insisi dibuat didalam gendang telinga untuk

Page 22

Trauma Pada THT

2013

menyamakan tekanan dan untuk mengeluarkan

cairan (miringotomi dan bila perlu

memasang pipa ventilasi). Walaupun demikian pembedahan biasanya jarang dilakukan.

4.1.7 Pencegahan Usaha preventif terhadap barotruma dapat dilakukan dengan selalu mengunyah permen karet atau melakukan perasat valsava, terutama sewaktu pesawat terbang mulai turun untuk mendarat. Khusus pada bayi disarankan agar menunda penerbangan bila disertai pilek. Bila memungkinkan maka bayi sesaat sebelum mendarat harus tetap disusui atau harus tetap menghisap air botol, agar tuba eustachius tetap terbuka. 1 Nasal dekongestan atau anti histamin bisa digunakan sebelum terpapar perubahan tekanan yang besar. Usahakan untuk menghindari perubahan tekanan yang besar selama mengalami infeksi saluran pernafasan bagian atas atau serangan alergi. 1,5

4.1.8 Komplikasi Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari aerotitis, antara lain tuli konduksi, ruptur atau perforasi membrane timpani, dan infeksi telinga akut.2

4.2 Trauma Telinga Luar 4.2.1 Laserasi Sering mengorek2 telinga dengan jari atau suatu jepit rambut atau klip kertas laserasi dinding kanalis perdarahan sementara, pasien cemas segera hubungi dokter Tidak memerlukan pengobatan tapi hentikan perdarahan Kalau ada laserasi hebat pada aurikula eksplorasi dulu apakah ada kerusakan tulang rawan atau tidak. Tulang rawan perlu diperiksa sebelum reparasi plastik pada kulit. Kalau ada luka infeksi pada perikondrium beri antibiotik profilaktik 4.2.2 Frosbite kuat. Terjadi perubahan yang perlahan-lahantidak terasa nyeri sampai telinga (tergantung pada dalamnya cedera dan lamanya paparan). Cedera dianggap sebagai kerusakan selular dan gangguan mikrovaskular. Yang mengarah pada iskemia lokal. Terapi: Frosbite pada aurikulatimbul cepat pada suhu rendah+angin dingin yang

Page 23

Trauma Pada THT

2013

Pemanasan cepat dengan air hangat bersuhu anatar 100-108 derajat sampai terlihat tanda-tanda pencairan. Beri analgesik Kalau ada infeksi beri antibiotik

4.2.3

Hematoma Sering ditemukan pada pegulat atau petinju. Kalau tidak diobati terbentuknya telinga bunga kol Terapi: insisi dan drainase kumpulan darah dalam kondisi sterilpemasangan balut tekan pada konka Terapi paling baik dilakukan segera setelah cedera, sebelum terjadi organisasi hematoma *Para pegulat diingatkan untuk memakai pelindung kepala pada saat berlatih

4.3 Trauma Telinga Tengah Perforasi membran timpani : karena adanya tekanan mendadak (trauma ledakan) atau adanya benda asing dalam liang telinga Gejala : vertigo, sekret berdarah, gangguan pendengaran, paresis N 7 Perawatan : Perforasi bersih tanpa komplikasi : melindungi telinga dari air dan pemberian antibiotik sistemik Perforasi terkontaminasi : tetes telinga antibiotik. Jangan menutup perforasi sampai infeksi teratasi. 4.4 Trauma Telinga Dalam Pada cedera yang mengakibatkan trauma mekanis terhadap tulang temporal, maka dapat terjadi fraktur pada tulang tersebut, yang biasanya disertai dengan gangguan lainnya berupa gangguan kesadaran, hematoma subdural atau epidural. Fraktur temporal : Fraktur longitudinal : berawal dari foramen magnum dan berjalan ke luar menuju ke liang telinga. Telinga biasanya berdarah dan terjadi gangguan pendengaran yang konduktif.

Page 24

Trauma Pada THT

2013

Fraktur tranversal : sering menyebabkan cedera labirin dan saraf fasialis karena garis frakturnya melintasi labirin.

Tatalaksana Umumnya, pasien dengan paralisis fasialis dapat dikelola secara konservatif dengan kortikosteroid sistemik selama 10-4 hari dan simptomatik kecuali bila ada kontraindikasi. Gangguan saraf ini dapat kita periksa dengan pemeriksaan saraf hilger. Untuk penanganan darurat dapat dilakukan pemeriksaan liang telinga dengan otoskop untuk melihat ada atau tidaknya laserasi, perforasi, atau hemotimpani. Tindakan operatif tidak harus dilakukan karena dapat sembuh dengan sendirinya walaupun ada pasien yang membutuhkan tindakan operatif apabila tidak sembuh dengan sendirinya. Pada pasien dengan kecurigaan adanya kebocoral LCS, pasien dapat di tatalaksana dengan elevasi kepala, tirah baring, dengan elevasi kepala, obat pelunak feses, pencegah bersin dan ketegangan otot lain. Antibiotic profilaksis masih kontroversi meskipun pada pasien yang mengalami kebocoran LCS lebih dari 7 hari masih dihubungkan dengan insiden dari meningitis. Perbaikan dengan operasi

direkomendasi apabila kebocoran LCS tidak berhenti hingga 7-10 hari. Dan pada beberapa pasien dapat mengalami vertigo yang dapat di tatalaksana dengan tatalaksana BPPV termaasuk rehabilitasi standard dan maneuver reposisi.

5. .TRAUMA HIDUNG
5.1 Epistaksis 5.1.1 Definisi

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti sendiri(1,3). Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu dan dapat mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif(3). Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.(6)

Page 25

Trauma Pada THT

2013

1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana(3,5,6).

Gambar 8 Epistaksis anterior(6)

2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular(3,5,6).

Gambar 9. Epistaksis posterior(6)

Page 26

Trauma Pada THT

2013

5.1.2

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah(5). Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan secara bermakna(6). Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung dan alat penghisap(bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa (6). Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.(6) Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara(3,5,7). Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi(7). Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa(5,6): a) Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

Page 27

Trauma Pada THT

2013

Gambar 10 : Rhinoskopi Anterior(7)

b) Rinoskopi posterior Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma(7) c) Pengukuran tekanan darah Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.(7) d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.(4,5) e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.(5)

Gambar 11: Tampilan endoskopi epistaksis posterior(5)

Page 28

Trauma Pada THT

2013

f) Skrining terhadap koagulopati Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan. (6) g) Riwayat penyakit Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis.(6)

5.1.3

Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan. Hal-hal yang penting dicari tahu adalah(1,5,6): 1. Riwayat perdarahan sebelumnya. 2. Lokasi perdarahan. 3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak. 4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya 5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga 6. Hipertensi 7. Diabetes melitus 8. Penyakit hati 9. Gangguan koagulasi 10. Trauma hidung yang belum lama 11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien(6). Tindakan yang dapat dilakukan antara lain:(3,6,7) a) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. b) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (metode Trotter).(7)

Page 29

Trauma Pada THT

2013

Gambar 12. Metode Trotter(7)

c) Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah. (3,4,5) d) Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.(4) e) Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari. (5,6)

Gambar 13 Tampon anterior(6)

f) Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior). Setiap pasien dengan tampon Bellocque harus dirawat.(6,7)

Page 30

Trauma Pada THT

2013

Gambar 14. Tampon Bellocque(7)

a) Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air. (7)

Gambar 15. Tampon posterior dengan Kateter Foley(7)

b) Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya. (7) c) Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.(7)

5.1.4

Komplikasi Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya. Akibat

pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.(1,2,3)

Page 31

Trauma Pada THT

2013

Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah(6).

5.1.5

Diagnosis Banding Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar dari

hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.(2,3)

5.1.6

Pencegahan Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara lain :(3)

a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok the garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku. b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah. c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan cotton bud melebihi 0,5 0,6cm ke dalam hidung. d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras. e. Bersin melalui mulut. f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari. g. Batasi penggunaan obat obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen. h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa. i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan iritasi. Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan aktif, namun mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir. j. Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali.Pemeriksaan hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan sedikit bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia atau listrik.

Page 32

Trauma Pada THT

2013

k. Penggunaan anestetik topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xilokain dengan epinefrin, selanjutkan lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat 50% pada pembuluh tersebut. l. Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi dengan meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya sendiri, atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa. m. Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak diketahui, dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang mungkin. Akhirnya pemeriksa harus mencari gangguan patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari epistaksis.

5.2 FRAKTUR FACIALIS 5.2.1 Fraktur Hidung Cedera tulang wajah yang paling sering terjadi adalah fraktur hidung. Pelu diingat bahwa hidung tidak hanya disususn oleh tulang belaka, tetapi juga tulang rawan dan jaringan lunak, dan jaringan-jaringan ini juga dapat rusak pada cidera. 1 Tanda-tanda fraktur hidung yang lazim : i. ii. iii. iv. Defresi atau pergeseran tulang hidung Edema hidung Epistaksis Fraktur dari kartilago septum disertai pergesaran atau dapat digerakkan

Pasien harus selalu diperiksa terhadap adanya hematoma septum nasi akibat fraktur, bila tidak terdeteksi dan tidak dirawat dapat berlanjut menjadi abses, di mana terjadi resolusi kartilago septum dan deforminasi hidung pelana (saddle nose) yang berat. Penatalaksanaan hematom septum nasi berupa insisi dan drainase hematom, pemasangan drain sementara, pemasangan balutan intranasal untuk menekan mukosa septum dan memperkecil resiko pembentukan kembali hematuma, dan dimulai terapi antibiotik untuk mengurangi resiko infeksi.

Page 33

Trauma Pada THT

2013

Perbaikan fraktur biasanya dapat dilakukan dengan anastesi lokal setelah edema mereda. Pengolesan kokain 4% secara topikal dengan kapas, dilanjutkan dengan infiltrasi lidokain bisanya cukup memadai. Pada orang dewasa diberikan tidak lebih dari 5 ml kokain 4 persen, sedangkan pada anak, agaknya kokain lebih baik tidak diberikan. Reduksi fraktur hidung pada anak-anak biasanya memerlukan anestesi umum. 1 5.2.2 Fraktur Mandibularis Merupakan fraktur kedua tersering pada kerangka wajah.Tanda dan gejala yang mengarahkan pada diagnosa fraktur mandibula berupa: Meloklusi geligi Gigi dapat digerakkan Laserasi intra oral Nyeri mengunyah Deformitas tulang

Perbaikan menerapkan prinsip umum pembidaian mandibula dengan geligi utuh terhadap maksila dengan gligi yang utuh juga Lengkungan geligi atas dikaitkan dengan lengkungan geligi bawah memakai batang-batang lengkung ligasi dengan kawat. Batang-batang ini memiliki kait kecil yang dapat menerima simpai kawat atau elastis guna mengikatkan lengkungan geligi atas ke lengkungan bawah. Antibiotik harus diberikan sejak saat fraktur hingga mukoperiosteum menyembuh dan fraktur stabil (penisilin merupakan obat terpilih).

5.2.3 Fraktur Zigoma dan Dasar Orbita Cedera yang menimbulkan fraktur zigoma biasanya akibat suatu benturan pada korpus zigoma atau tonjolan malar, dasar orbit dapat juga mengalami fraktur pada proses tersebut. Fraktur zigoma dapat dicirikan oleh: Deformitas yang dapat diraba pada lingkar bawah orbita Diplopia saat melirik keatas Hipestesia pada pipi Pendataran sisi lateral pipi Ekimosis periorbita

Page 34

Trauma Pada THT

2013

Pergeseran bola mata kebawah

Perbaikan fraktur-fraktur ini terkadang dapat dilakukan dengan teknik reduksi tertutup, namun lebih sering memerlukan teknik reduksi terbuka, khusus bila fraktur dasar orbita jelas mengalami pergeseran. Bila tulang yang fraktur hilang atau terlalu remuk, maka suatu pencangkokan segera dengan tulang panggul, iga atau kalvaria, dapat merupakan tindakan yang tepat. 5.2.4 Fraktur Maksilaris Fraktur maksillaris merupakan salah satu salah satu cidera wajah palin berat Manifestasi klinis khas berupa: Perubahan letak pelatum Deforminasi dan mobilisasi hidung Epistaksis Deforminasi sepertiga tengah muka

Digunakan klasifikasi Le Fort untuk membantu diagnosis dan penatalaksanaanya: Le Fort I : trauma terbatas pada alveolus kiri, kanan, atau bilateral Le Fort II : Trauma piramid os maksilaris, hidung, zigoma, terjadi perpisahan bagian tengah muka dengan tulang kranial Le Fort III : trauma mengenai tulang maksilaris, hidung, zigoma, orbita. Terjadi perpisahan seluruh tulang muka dengan basis kranii Pada trauma ditemukan edema, hematoma, laserasi, luka robek, epsitaksis, perdarahan dari mulut, telinga, deformitas, paresis nervus facialis, muka atau pipi lebih mendatar, serta maloklusi. Pada perabaan ditemukan nyeri, krepitasi diskontinuitas, pergeseran struktur tulang dan krangka tulang yang mudah digerakkan. Penatalaksanaan, mula-mula perhatikan kesadaran pasien secara teliti dan dipertahankan sampai stabil. Semua laserasi jaringan lunak dieksplorasi apakah ada fraktur atau kelanjutan trauma ke organ lain. Benda asing dikeluarkan dan dilakukan debridemen. Tulang yang fraktur direposisi dan difiksasi. 2

Page 35

Trauma Pada THT

2013

6. TRAUMA TENGGOROKAN 6.1 Trauma Laring Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau sayat, luka tusuk atau luka tembak. Balanger membagi penyebab trauma laring atas : 1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi atau krikotiroromi) interna (akibat tidakan endoskopi, intubasi endotrakea atau pemasangan pipa nasogaster). 2. Trauma akibat luka bakar panas (gas atau cairan yang panas) kimia (cairan alkohol, amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup. 3. Trauma akibat radiasi pemberian radioterapi tumor ganas leher. 4. Trauma otogen pemakaian suara yang berlebihan (vokal abuse) berteriak, menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras. 6.1.1Gejala Klinik Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam pertama. Timbulnya gejala stridor yang perlahan-lahan yang makin menghebat atau timbul mendadak sesudah trauma merupakan tanda adanya sumbatan jalan nafas. Suara serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pita suara akibat trauma seperti edema, hematoma, laserasi, atau parese pita suara. Emfisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea, atau fraktur tulang-tulang laring hingga mengakibatkan udara pernafasan akan keluar dan masuk ke jaringan subkutis di leher. Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah muka, dada, dan abdomen, dan pada perabaan terasa sebagai krepitasi kulit. Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas dan bila jumlahnya banyak dapat menyumbat jalan nafas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka tusuk, luka sayat, luka tembak, maupun luka tumpul. Disfagia (kesulitan menelan) juga dapat timbul akibat trauma laring.

Page 36

Trauma Pada THT

2013

6.1.2Patofisiologis

Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plia ariepiglotika dan plika ventrikularis, oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak. Selain itu mukosa faring dan laring mudah robek, yang akan diikuti dengan terbentuknya emfisema subkutis. Infeksi sekunder melalui robekan ini dapat menyebabkan selulitis, abses, atau fistel. Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dan dislokasi. Kerusakan pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma, nekrosis tulang rawan, dan perikondritis. Robekan mukosa yang tidak dijahit dengan baik, yang diikuti oleh infeksi sekunder, dapat menimbulkan terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis, dan akhirnya stenosis. Boies (1968) membagi trauma laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan yang timbul, dalam 3 golongan : 1. Trauma dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisema submukosa, luka tusuk atau sayat tanpa kerusakan tulang rawan. 2. Trauma yang dapat mengakibatkan tulang rawan hancur (crushing injuries). 3. Trauma yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang. Pembagian golongan trauma ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer laring dan trakea, yaitu sebagai saluran nafas yang adekuat.

6.1.3 Trauma Inhalasi Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung mencederai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran napas bawah. Daerah yang terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena. 6.1.4Trauma Intubasi Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat pemasangan atau pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling sering menyebabkan sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan fistula trakeoesofageal, erosi trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata, dan ruptur bronkial. Jumlah pasien yang mengalami trauma laringeal akibat intubasi sebenarnya

Page 37

Trauma Pada THT

2013

masih belum jelas, namun sebuah studi prospektif oleh Kambic dan Radsel melaporkan kirakira 0.1 % pasien. Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan etiologi yang paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff dengan volume tinggi tekanan rendah telah menurunkan insiden stenosis trakea pada tipe trauma ini, namun trauma intubasi ini masih tetap terjadi dan menjadi indikasi untuk reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor diatas ada beberapa faktor resiko yang mempermudah terjadinya laserasi atau trauma intubasi (tabel 1).

Faktor resiko yang pasti

Faktor resiko yang masih Dugaan, belum terbukti mungkin sebagai faktor resiko Trakeostomi perkutan Perawakan pendek Obesitas.

Wanita Usia > 50 tahun Tube dengan lumen ganda Pengembangan cuff berlebihan balon

Penggunaan kortikosteroid Trakeomalacia Posisi yang salah dari tube / Kondisi medis yang buruk Kesalahan mandrain Batuk yang terlalu keras dan berlebihan penggunaan

Tabel 1. Faktor resiko terjadinya trauma intubasi

6.1.5Trauma Tumpul Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laringotrakea yang kemudian membentur kemudi, handle bars atau dash board. Trauma tumpul lebih sering disebabkan oleh kecelakaan

kendaraan bermotor dimana korban terhimpit di antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan darikendaraan dan terhimpit di antara kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan. Kirsk dan Orringer serta beberapa penulis lain menyatakan bahwa trauma langsung pada leher bagian depan dapat mengakibatkan rusaknya cincin trakea maupun laring.

Page 38

Trauma Pada THT

2013

Berkowitz melaporkan trauma tumpul langsung pada daerah leher dapat menyebabkan ruptur trakea pars membranosa. Hal ini terjadi akibat tekanan intraluminer yang mendadak tinggi pada posisi glotis yang tertutup akan menyobek bagian trakea yang terlemah (trakea pars membranosa). Mekanisme lain yang cukup berperan adalah trauma tumpul akan menekan kartilago trakea yang berbentuk U ke tulang vertebrae, hal ini menjelaskan kenapa laserasi yang terjadi cenderung sesuai level dari trumanya. Trauma tumpul laringotrakea pada anak jarang dijumpai dan bila dijumpai biasanya jarang menimbulkan kerusakan/fraktur kartilago, kecuali trauma yang didapat cukup keras. Hal tersebut disebabkan karena rawan pada laringotrakea anak-anak mas ih sangat elastis dibandingkan dengan orang dewasa. Namun kerusakan jaringan lunak (edema dan hematom) yang terjadi pada anak-anak dengan trauma tumpul laringotrakea jauh lebih hebat dibanding pada dewasa, hal ini disebabkan karena struktur fibroa yang jarang dan lemahnya perlekatan jaringan submukosa dengan perikondrium. Penyebab yang lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada trauma akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan mengakibatkan tekanan intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan robekan pada bagian membran trakea. Robekan ini terjadi akibat diameter transversal yang bertambah secara mendadak. Dapat juga terjadi akibat robekan diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru yang mendadak. Pada trauma tumpul dan tembak semua kerusakan berbentuk stelata, seperti dikatakan oleh Boyd dkk., bahwa trauma tembak akan mengakibatkan kerusakan yang besar karena energi kinetik yang disebabkan oleh peluru. Demikian juga halnya dengan trauma tumpul. Energi yang diterima permukaan tubuh akan dihantarkan ke sekitarnya sehingga dapat merusak jaringan sekitarnya. Berbeda dengan trauma tajam, permukaan tubuh yang menerima energi lebih kecil. Selain itu energi yang diterima hanya diteruskan ke satu arah saja. Mekanisme cedera laringotrakea akibat trauma tumpul dapat disimpulkan menjadi empat yaitu: penurunan diameter anteroposterior rongga thoraks, deselerasi yang cepat, peningkatan mendadak tekanan intraluminal laringotrakea pada glotis yang tertutup dan trauma benturan langsung. 6.1.6 Trauma Tajam Trauma laringotrakea sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang paling banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai adalah belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka kejadian trauma tajam

Page 39

Trauma Pada THT

2013

semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk. Crowded urban menurut beberapa penulis memang merupakan penyumbang terbanyak pada trauma laringotrakea selain jalan bebas hambatan.1 Para penulis menyimpulkan bahwa trauma tembus tajam dan trauma tembus tembak cenderung semakin meningkat terutama karena kejahatan. Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas, trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars servikalis. Kematian pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini biasanya disebabkan oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri. 6.1.7 Penyebab Lain Penyebab lain trauma laringotrakea adalah tentament suicide pada pasien dengan gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Selain penyebab di atas, pernah dilaporkan adanya trauma laringotrakea akibat : Iatrogenik injuries (mediastinoskopi, transtracheal oxygen therapy, mechanical ventilation), pisau cukur, strangulasi, electrical injury, luka bakar, dan caustic injury. 6.1.8 Patologi pada saluran nafas atas Cairan edema dapat cepat terkumpul di submukosa supraglotis dan subglotis. Pembengkakan daerah endolaring subglotis cenderung melingkar sehingga akan

menimbulkan obstruksi saluran napas. Masuknya udara ke dalam ruang submukosa akan lebih mengurangi diameter laring dan trakea. Udara di dalam jaringan lunak (emfisema) akan menyebabkan emfisema epiglotis dan penyempitan saluran napas supraglotis. Edema submukosa dan pembentukan hematom terjadi dalam beberapa jam setelah trauma. Oleh karena itu tidak mungkin obstruksi jalan napas baru terjadi setelah 6 jam pasca trauma. Banyak faktor yang mempengaruhi tipe / jenis cedera yang terjadi pada saluran napas seperti arah dan kekuatan gaya, posisi leher, umur, konsistensi kartilago laringotrakea dan jaringan lunaknya. Cedera yang terjadi dapat berupa kontusio laringotrakea, edema, hematom, avulsi, fraktur dan dislokasi kartilago tiroid, krikoid serta trakea.

6.1.9 Diagnosis Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma tajam pada leher setinggi laring, misalnya oleh pisau, clurit, dan peluru. Kadang-kadang pasien dengan luka terbuka pada laring meninggal sebelum mendapat pertolongan, oleh karena terjadinya asfiksia. Diagnosis luka

Page 40

Trauma Pada THT

2013

terbuka di laring dapat ditegakkan dengan adanya gelembung-gelembung udara pada daerah luka, oleh karena udara yang keluar dari trakea. Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit. Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu segera dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi saja. Kebanyakan pasien trauma laring juga mengalami trauma pada kepala dan dada, sehingga pasien biasanya dirawat di ruang perawatan intensif dalam keadaan tidak sadar dan sesak nafas. Gejalanya tergantung pada berat ringannya trauma. Pada trauma ringan gejalanya dapat berupa nyeri pada waktu menelan, batuk, atau bicara. Di samping itu mungkin terdapat suara parau, tetapi belum terdapat sesak nafas. Pada trauma berat dapat terjadi fraktur dan dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring, sehingga menyebabkan gejala sumbatan jalan nafas (stridor dan dispnea), disfonia atau afonia, hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia serta emfisema yang ditemukan di daerah muka, dada, leher, dan mediastinum.

6.1.10 Penatalaksaan Penatalaksanaan luka terbagi atas luka terbuka dan luka tertutup. Luka terbuka Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera yang harus dilakukan adalah trakeotomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh darah yang cedera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek. Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotika dan serum anti-tetanus. Luka tertutup (closed injury) Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa memikirkan penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di kemudian hari, yaitu kesukaran dekanulasi. Olson berpendapat bahwa eksplorasi harus dilakukan dalam waktu paling lama 1 minggu setelah trauma. Eksplorasi yang dilakukan setelah lewat seminggu akan memberikan hasil yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi di kemudian hari. Keputusan untuk menentukan sikap, apakah akan melakukan eksplorasi atau konservatif, tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung atau tidak langsung, foto jaringan lunak leher, foto toraks, dan CT scan. Pada umumnya pengobatan konservatif dengan istirahat suara, humidifikasi dan pemberian kortikosteroid diberikan pada keadaan

Page 41

Trauma Pada THT

2013

mukosa laring yang edem, hematoma, atau laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan laring. Indikasi untuk melakukan eksplorasi adalah : 1. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi. 2. Emfisema subkutis yang progresif. 3. Laserasi mukosa yang luas.

4. Tulang rawan krikoid yang terbuka. 5. Paralisis bilateral pita suara. Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit horizontal. Tujuannya ialah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yang robek dan menutup tulang rawan yang terbuka dengan gelambir (flap) atau tandur alih (graft) kulit. Untuk menyanggah lumen laring dapat digunakan stent atau mold dari silastik, porteks atau silicon, yang dipertahankan selama 4 atau 6 minggu.

6.1.11 Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada luka terbuka adalah aspirasi darah, paralisis pita suara, dan stenosis laring.

Page 42

Trauma Pada THT

2013

BAB III KESIMPULAN

Trauma dibidang THT dapat di bagi menjadi : 1. Trauma telinga dalam dan tengah barotrauma dan trauma suara 2. Trauma luar ortrhotrauma dan laserasi liang telinga 3. Trauma hidung epitkasis karena trauma dan fraktur fasialis 4. Trauma tenggorokan trauma laring

Page 43

Trauma Pada THT

2013

BAB IV DAFTAR PUSTAKA 1. Adams G.L & Boeis L.R. BOEIS : Buku Ajar Penyakit THT. EGC. Jakarta : 1997. Hal.90-92. 2. Fung k. Available at http://www.MedlinePlus.com. Ear Barotrauma. Accessed on May,21th 2008. 3. Marthur N. Innear Ear, Noise-Induced Hearing Loss. Dalam: Femdes S, Talavera F. http://www.emedicine.comlotolaryngologyandfacialplasticsurgery/innearear.htm. Ma y 2, 2007. 4. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Leher dan Kepala. Edisi6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2008. 5. Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-Neck Surgery. Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8 6. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Aerotitis. In advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505 7. Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Kepala, Leher, Ekstremitas Atas Jilid 1. Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta: EGC; 2000. 8. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-6 9. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. 2-9
10. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb 19 [cited 2012 Dec 7] Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784

Page 44

Anda mungkin juga menyukai