Oleh:
201420401011125
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulisan referat stase THT ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, para sahabat dan pengikut
Referat yang akan disampaikan dalam penulisan ini mengenai “Otitis Media Akut”.
Penulisan referat ini diajukan untuk memenuhi tugas individu stase THT.
Dengan terselesaikannya referat ini kami ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya
kepada dr.Indra Setiawan, Sp.THT-KL selaku pembimbing kami, yang telah membimbing
Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang membangun. Akhirnya, semoga referat ini
dapat bermanfaat.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas otitis media
supuratif dan non supuratif, dimana masing-masing memiliki bentuk akut dan kronis. Otitis
media akut termasuk kedalam jenis otitis media supuratif. Selain itu, terdapat juga jenis otitis
media spesifik, yaitu otitis media tuberkulosa, otitis media spesifik dan otitis media adhevisa
( Djaafar,2007).
Otitis media akut (OMA) terjadi karena mekanisme pertahan tubuh yang terganggu.
Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama terjadinya otitis media. Karena
fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman kedalam telinga tengah dan
terjadi peradangan. Gejala mungkin saja ditemui namun bisa juga gejala tidak jelas, terutama
pada masa anak-anak dalam stadium otitis media kronik. Membran timpani mungkin akan
dihalangi oleh serumen, dimana pengeluaran serumen akan memakan waktu dan sulit
dilakukan. Otitis media terbagi menjadi beberapa stadium: stadium oklusi tuba eustachius,
stadium hiperemis, stadium supurasi, stadium perforasi, dan stadium resolusi (Sosialisman,
2006).
Prevalensi kejadian OMA banyak diderita oleh anak-anak maupun bayi dibandingkan
pada orang dewasa tua maupun dewasa muda. Pada bayi terjadi OMA dipermudah oleh
karena tuba Eustachius lebih pendek, lebar dan letaknya agak horizontal. Pada anak-anak
makin sering menderita infeksi saluran nafas atas, maka makin besar pula kemungkinan
terjadinya OMA disamping oleh karena sytem imunitas anak yang belum berkembang secara
sempurna (Djaafar,2007).
BAB 2
TINJUAN PUSTAKA
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak
skala vestibule sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media
natrium dan rendah kalum, sedangkan endolimfe tinggi akan kalium dan rendah
natrium. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut
adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti yang
pendengaran. Organ corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3000) dan tiga
baris sel rambut luar (12000). Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang
lengan horizontal dari suatu jungkat jangkit yang dibentuk oleh sel-sel
penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel
rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada
suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aselular,
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang diebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari
sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ
Corti (Adams,1997)
Suara bermula dari gelombang tekanan udara, yang akan menggetarkan gendang
telinga. Getaran ini akan disampaikan ke dalam telinga dalam oleh tiga tulang pendengaran,
stapes bergerak ke dalam dan keluar dari telinga dalam seperti piston. Pergerakan pompa ini
akan menimbulkan gelombang tekanan di dalam cairan telinga dalam atau koklea. Pada
koklea secara bergantian akan mengubah gelombang tekanan menjadi aktifitas elektrik di
dalam nervus auditorius yang akan menyampaikan informasi ke otak. Proses transduksi di
dalam koklea membutuhkan fungsi kerjasama dari berbagai jenis tipe sel yang berada di
dalam duktus koklearis. Duktus ini berisi endolimfe, cairan ekstraselular yang kaya akan
potassium dan rendah akan sodium. Ruangan endolimfatik memiliki potensial elektrik yang
besar yaitu 100mV. Komposisi ion dan potensial elektrik dari ruangan endolimfatik dijaga
Pada manusia, duktus koklearis berputar sepanjang 35 mm dari dasar koklea (dekat
stapes) hingga ke apeks. Ukuran, massa dan kekakuan dari banyak elemen selulae, terutama
pada organ corti, berubah secara sistematis dari satu ujung spiral ke ujung yang lain. Keadaan
ini menyebabkan pengaturan mekanik sehingga gelombang tekanan yang diproduksi oleh
suara berfrekuensi tinggi menyebabkan organ tersebut bergetar pada basisnya, sedangkan
Proses transduksi, dibentuk oleh dua jenis sel sensori pada organ corti, yaitu sel rambut
dalam dan sel rambut luar. Gelombang tekanan yang ditimbulkan suara pada cairan koklea
membengkokkan rambut sensori yang disebut stereosilia, yang berada di atas sel rambut.
menyebabkan terbukanya kanal ion pada membran stereosilia dan ion K dapat masuk ke
dalama sel rambut dari endolimfe. Masuknya ion K ini menyebabkam perubahan potensial
elektrik dari sel rambut, sehingga menyebabkan pelepasan neurotransmitter dari vesikel
sinaps pada dasar sel rambut. Serabut saraf auditorius, yang kontak dengan sel rambut, respon
terhadap neurotransmitter dengan memproduksi potensial aksi, yang akan berjalan sepanjang
serabut saraf unutk mencapai otak dalam sekian seperdetik. Pola aktifitas elektrik yang
melalui 40.000 serabut saraf auditorius diterjemahkan oleh otak dan berakhir dengan sensasi
fungsi telinga dalam. Sebagian besar serabut saraf auditorius kontak hanya dengan sel rambut
dalam. Sel rambut dalam adalah transduser sederhana, yang merubah energy mekanik
menjadi energi listrik. Sel rambut dalam adalah penguat kecil yang dapat meningkatkan
getaran mekanik dari organ corti. Kontribusi sel rambut luar ini penting untuk sensitifitas
Otitis media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi
atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, dimana masing-masing memiliki
bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media yang lain adalah
adhesiva (Djaafar,2007).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-
tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi
secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta
otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga
dijumpai efusi telinga tengah (Buchman,2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi
telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas
pada membran timpani, terdapat cairan dibelakang membran timpani, dan otore
(Kerschner,2007)
2.4 Etiologi
Otitis media dapat terjadi karena :
a. Sumbatan Tuba Eustachius
Obstruksi tuba eustachius merupakan suatu faktor penyebab dasar pada otitis media
akut. Oleh sebab itu hilanglah sawar utama terhadap invasi bakteri karena pertahanan
tubuh pada silia mukosa tuba terganggu.
b. Perubahan tekanan udara secara tiba-tiba.
c. Alergi
d. Infeksi
Kuman penyebab utama pada otitis media akut adalah bakteri piogenik seperti
Streptococcus sp., Staphilococcus aureus, Pneumococcus. Selain itu kadang-kadang
ditemukan juga Haemophillus influenza, Escherichia coli,. Haemophillus influenza
saring ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun.
Beberapa contoh kuman penyebab infeksi otitis media akut yaitu: Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza (tipe tidak dapat ditentukan), Streptococcus Grup
A, Branhamella catarrhalis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis;
sedangkan pada bayi, bakteri pathogen yang menyebabkan otitis media akut adalah
Chlamydia trachomatis, Eschericia coli, dan spesies Klebsiella.
e. Sumbatan, berupa sekret, tampon dan tumor (Kerschner,2007).
2.5 Patogenesis
Sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran atas (ISPA) atau a;ergi, sehingga
terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran nafas atas, termasuk nasofaring dan tuba
Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada
telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan
aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring kedalam telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang
berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi
proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan
faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba eustachius
tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi
sekret ditelinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari
infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang
dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat
meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga mengganggu pertahanan imum pasien
terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal,
pendengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak
dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat
merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi ( Kerschner,2007).
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor
intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema
pada mukosa tuba serta akumulasi sekret ditelinga tengah. Selain itu,sebagian besar pasien
dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba eustachius,
sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan
hipertrofi adenoid (Kerschner,2007)
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada
perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba eustachius, stadium
hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium
resolusi.
2.5.1.1 Stadium oklusi tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi
membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif dalam telinga tengah
(tidak ada kelainan) atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi
tidak dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang
disebabkan virus atau alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar,2007)
Pada stadium hiperemis (gambar 5), tampak pembuluh darah yang melebar di
membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis dan edema. Sekret
yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat.
Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berkepanjangan sehingga terjadinya invasi
oleh mikroorganisme piogenik. Inflamasi yang terjadi pada telinga tengah dan membran
timpani menyebabkan kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang
menyebabkan pasien mengeluh otalgia, telinga rasa penuh, dan edema. Pendengaran
mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena peningkatan tekanan udara di kavum timpani. Gejala
berkisar antar dua belas jam sampai satu hari (Djaafar,2007)
Stadium Supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah
ditelinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu, edema pada mukosa telinga
tengah menjadi lebih hebat dan sel epitel superfisial hancur. Terbentuknya eksudat yang
purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke
arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat kesakitan, nadi dan suhu meningkat,
dan rasa nyeri yang bertambah hebat di telinga. Pasien selalu gaduh dan tidak dapat
tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan tuli konduktif. Pada bayi, demam
tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan iskemia membran timpani akibat nekrosis mukosa dan submukosa
membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum
timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil menyebabkan tekanan kapiler
membran timpani meningkat lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih
lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan cara miringotomi. Bedah kecil
ini dilakukan dengan cara menginsisi pada membran timpani sehingga nanah akan
keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran
timpani akan menutup kembali. Apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih
sulit menutup. Membran timpani tidak akan menutup kembali jika membrannya tidak
utuh lagi (Djaafar,2007).
2.7 Diagnosis
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal yaitu :
a. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut
b. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan ditelinga
tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu diantara tanda berikut, seperti
menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan
pada membran timpani, terdapat bayangan cairan dibelakang membran timpani, dan
terdapat cairan yang keluar dari telinga.
c. Terdapat tanda atau gejala peradanan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya
salah satu diantara tanda berikut, seperti kemeragan atau eryhema pada membran
timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Menurut Rubin et. Al (2008), keparahan OMA dibagi dua kategori, yait ringan-sedang,
dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan ditelinga tengah, mobilitas
membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan dibelkang membran timpani,
membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda
dan gejla inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran,
tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria
tersebut, denga tambahan ditandai dengan demam melebihi 39 C, dan disertai dengan otalgia
yang bersifat sedang sampai berat.
2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan
Penatalaksaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium
awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran nafas, dengan pemberian antibiotik,
dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah
untuk menghindari komplikasi intraranial dan ektrakranial yang mungkin terjadi, mengobati
gejala, memperbaiki fungsi tuba eustachius, menghindari perforasi membran timmpani, dan
memperbaiki sistem imun lokal dan sistemik (Titisari,2005).
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba eustachius
sehingga tekanan negatif ditelinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidunf HCl Efedrin
0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1% dalam
larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi
harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar,2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Dianjurkan pemeberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi,
dapat diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat didalam darah sehingga
tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap
penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam empat dosis, amoksilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam 3 dosis (Djaafar,2007).
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan
miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi
ruptur. Pada stadium perforasi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada
lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir diliang
telinga luar melalui perforasi dimembran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3
minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar,2007).
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Obsevasi dapat
dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari, atau
ada pemburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat
terhindar dari terjadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko
terbentiknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut American
Academy of Pediatrics (2004)dan Kerschner (2007) mengkategorikan OMA yang dapat
diobsevasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut :
O t i t i s m e d i a m e r u p a k a n p e r a d a n g a n t e l i n g a t e n g a h ya n g disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya yang paling sering ialah sumbatan tuba
Eustachius akibat infeksi. Gejala yang sering ditimbulkan pada otitis media biasanya ialah
rasa nyeri, pendengaran berkurang, demam, pusing, juga kadang disertai mendengar suara
dengung (tinitus).
Otitis media akut disebabkan oleh adanya sumbatan dari tuba Eustachius berupa
mukus, sekret, tampon, dan tumor. Selain itu juga disebabkan karena alergi dan infeksi.
Pengobatan yang diberikan seuai dengan stadium penyakitnya . Komplikasi dari otitis
media akut yang tersering adalah meningitis, ensefalitis, gangguan pendengaran, dan lain-
lain
DAFTAR PUSTAKA
1. Djaafar, ZA, 2007. Kelainan Telinga Tengah. Telinga Hidung Tenggorokam, Edisi
ke 6, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
2. Dily KA, Giebink GS, 2000, Clinical Epidemiology of Otitis media.
3. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH,
et al. Diagnosis fisispada anak. Edisi 2. Jakarta: CV Agung Seto; 2003. H. 55-6
4. Mark HS. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC;2004.p.130-2.
5. Elizabeth JC. Buku saku patofisiologi. Dalam: Edhi KY, penyunting. Buku saku
patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2009.p.386-7.
6. Kerschner,J.E. 2007, Acute otitis Media And sociomedical, Risk Factors Amongst
Unselected Children in Greenland, Pediatri. Otorhinolaryngol H: 49:37-52.
7. Helmi, Ratna DR. Kelainan telinga tengah. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penertbit FK-
UI; 2010.p. 66-8,74-5.
8. Richard EB, Robert MK, Ann MA. Ilmu kesehatan anak. Dalam: James EA. Otitis
media dan komplikasinya. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2002.p.2209.
9. William M. Pedoman klinis pediatri. Dalam:. Nyeri telinga. Jakarta: EGC;
2004.p.299.
10. Greenberg MI. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jilid 1.Jakarta : Penerbit
Erlangga. 2005. H.140-1.
11. Haddad J. The ear. Dalam: Berhman RE, Kliegma RM, Arvin AM, penyunting.
Nelson Textbook of Pediatri. Ed.18. Philadelphia: Sauders Elsevier; 2007. h. 2617-
40
12. Thomas, Jan Peter et al. Acute Otitis Media- a Structured Approach. Deutsches
Ärzteblatt International. 2014 . h.155-157.
13. Titisari H. Prevalensi dan sensitivitas haemophillus influenza pada otitis media akt
di RSCM dan RSAB Harapan kita (Tesis), Jakarta,FKUI 2005
14. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH,
et al. Diagnosis fisispada anak. Edisi 2. Jakarta: CV Agung Seto; 2003. H. 55-6
15. Soepardie EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.
16. Anatomy of Inner Ear. 2010; http://galileo.phys.virginia.edu/classes/304/pix.htm
(diakses 17 Juli 2014).
17. Adams G, Boies L, Higler P. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC. 1997.
18. Probes R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology. New York: Thieme. 2006
19. American Academy of Pediatrics. Clinical practice guideline: diagnosis and
management of acute otitis media. J Pediatr.2004;133:34