Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

OTITIS MEDIA AKUT

Oleh:

Lista Dyakso Auliani

201420401011125

Pembimbing:

dr. Indra Setiawan, Sp. THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA KEDIRI

2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-

Nya, penulisan referat stase THT ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam

semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, para sahabat dan pengikut

beliau hingga akhir zaman.

Referat yang akan disampaikan dalam penulisan ini mengenai “Otitis Media Akut”.

Penulisan referat ini diajukan untuk memenuhi tugas individu stase THT.

Dengan terselesaikannya referat ini kami ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya

kepada dr.Indra Setiawan, Sp.THT-KL selaku pembimbing kami, yang telah membimbing

dan menuntun kami dalam pembuatan referat ini.

Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami

tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang membangun. Akhirnya, semoga referat ini

dapat bermanfaat.

Kediri, Juni 2016

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba

Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas otitis media

supuratif dan non supuratif, dimana masing-masing memiliki bentuk akut dan kronis. Otitis

media akut termasuk kedalam jenis otitis media supuratif. Selain itu, terdapat juga jenis otitis

media spesifik, yaitu otitis media tuberkulosa, otitis media spesifik dan otitis media adhevisa

( Djaafar,2007).

Otitis media akut (OMA) terjadi karena mekanisme pertahan tubuh yang terganggu.

Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama terjadinya otitis media. Karena

fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman kedalam telinga tengah dan

terjadi peradangan. Gejala mungkin saja ditemui namun bisa juga gejala tidak jelas, terutama

pada masa anak-anak dalam stadium otitis media kronik. Membran timpani mungkin akan

dihalangi oleh serumen, dimana pengeluaran serumen akan memakan waktu dan sulit

dilakukan. Otitis media terbagi menjadi beberapa stadium: stadium oklusi tuba eustachius,

stadium hiperemis, stadium supurasi, stadium perforasi, dan stadium resolusi (Sosialisman,

2006).

Prevalensi kejadian OMA banyak diderita oleh anak-anak maupun bayi dibandingkan

pada orang dewasa tua maupun dewasa muda. Pada bayi terjadi OMA dipermudah oleh

karena tuba Eustachius lebih pendek, lebar dan letaknya agak horizontal. Pada anak-anak

makin sering menderita infeksi saluran nafas atas, maka makin besar pula kemungkinan

terjadinya OMA disamping oleh karena sytem imunitas anak yang belum berkembang secara

sempurna (Djaafar,2007).
BAB 2

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Gambar 1. Anatomi Telinga11

2.1.1. Telinga luar


Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani.
Daun telinga terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya
kira-kira 2,5 – 3 cm (adams,1997)
Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar serumen
dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh liang telinga.Pada
duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen (Adams,2007)
2.1.2. Telinga tengah
Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari:12
 Membran timpani yaitu membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara.
Berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat
oblik terhadap sumbu liang telinga. Membran timpani dibagi ats 2 bagian yaitu
bagian atas disebut pars flasida (membrane sharpnell). dimana lapisan luar
merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga sedangkan lapisan dalam
dilapisi oleh sel kubus bersilia, dan pars tensa merupakan bagian yang
tegang dan memiliki satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri
dari serat kolagen dan sedikit serat elastin.
 Tulang pendengaran yang terdiri dari maleus, inkus dan stapes. Tulang
pendengaran ini dalam telinga tengah saling berhubungan.
 Tuba Eustachius, yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring (Adams,1997).
2.1.3 Telinga Dalam

Gambar 2. Anatomi Telinga Dalam13

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah

lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung

atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala

timpani dengan skala vestibul (Adams,2007).

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan

membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak

skala vestibule sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media

(duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibule dan skala timpani berisi


perilimfa sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat

di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dimana cairan perilimfe tinggi akan

natrium dan rendah kalum, sedangkan endolimfe tinggi akan kalium dan rendah

natrium. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut

sebagai membran vestibuli (Reissner’s Membrane) sedangkan skala media

adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti yang

mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer

pendengaran. Organ corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3000) dan tiga

baris sel rambut luar (12000). Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang

lengan horizontal dari suatu jungkat jangkit yang dibentuk oleh sel-sel

penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel

rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada

suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aselular,

dikenal sebagai membrane tektoria. Membran tektoria disekresi dan disokong

oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus.14

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang diebut

membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari

sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ

Corti (Adams,1997)

2.2 Fisiologi Pendengaran

Suara bermula dari gelombang tekanan udara, yang akan menggetarkan gendang

telinga. Getaran ini akan disampaikan ke dalam telinga dalam oleh tiga tulang pendengaran,

stapes bergerak ke dalam dan keluar dari telinga dalam seperti piston. Pergerakan pompa ini

akan menimbulkan gelombang tekanan di dalam cairan telinga dalam atau koklea. Pada

koklea secara bergantian akan mengubah gelombang tekanan menjadi aktifitas elektrik di
dalam nervus auditorius yang akan menyampaikan informasi ke otak. Proses transduksi di

dalam koklea membutuhkan fungsi kerjasama dari berbagai jenis tipe sel yang berada di

dalam duktus koklearis. Duktus ini berisi endolimfe, cairan ekstraselular yang kaya akan

potassium dan rendah akan sodium. Ruangan endolimfatik memiliki potensial elektrik yang

besar yaitu 100mV. Komposisi ion dan potensial elektrik dari ruangan endolimfatik dijaga

oleh sekelompok sel yang dikenal sebagai stria vaskularis (Kerschner,2007).

Pada manusia, duktus koklearis berputar sepanjang 35 mm dari dasar koklea (dekat

stapes) hingga ke apeks. Ukuran, massa dan kekakuan dari banyak elemen selulae, terutama

pada organ corti, berubah secara sistematis dari satu ujung spiral ke ujung yang lain. Keadaan

ini menyebabkan pengaturan mekanik sehingga gelombang tekanan yang diproduksi oleh

suara berfrekuensi tinggi menyebabkan organ tersebut bergetar pada basisnya, sedangkan

suara frekuensi rendah menyebabkan getaran pada ujung puncak.

Proses transduksi, dibentuk oleh dua jenis sel sensori pada organ corti, yaitu sel rambut

dalam dan sel rambut luar. Gelombang tekanan yang ditimbulkan suara pada cairan koklea

membengkokkan rambut sensori yang disebut stereosilia, yang berada di atas sel rambut.

Pembengkokan ini akan merenggangkan dan memendekkan ujung penghubung yang

menghubungkann adjasen stereosilia. Ketika ujung penghubung meregang, ini akan

menyebabkan terbukanya kanal ion pada membran stereosilia dan ion K dapat masuk ke

dalama sel rambut dari endolimfe. Masuknya ion K ini menyebabkam perubahan potensial

elektrik dari sel rambut, sehingga menyebabkan pelepasan neurotransmitter dari vesikel

sinaps pada dasar sel rambut. Serabut saraf auditorius, yang kontak dengan sel rambut, respon

terhadap neurotransmitter dengan memproduksi potensial aksi, yang akan berjalan sepanjang

serabut saraf unutk mencapai otak dalam sekian seperdetik. Pola aktifitas elektrik yang

melalui 40.000 serabut saraf auditorius diterjemahkan oleh otak dan berakhir dengan sensasi

yang kita kenal dengan pendengaran (Djaafar,2007)


Sel rambut dalam dan sel rambut luar memerankan peranan dasar yang berbeda pada

fungsi telinga dalam. Sebagian besar serabut saraf auditorius kontak hanya dengan sel rambut

dalam. Sel rambut dalam adalah transduser sederhana, yang merubah energy mekanik

menjadi energi listrik. Sel rambut dalam adalah penguat kecil yang dapat meningkatkan

getaran mekanik dari organ corti. Kontribusi sel rambut luar ini penting untuk sensitifitas

normal dan selektifitas frekuensi dari telinga dalam (Kerschner,2007).

2.3 Definisi dan Klasifikasi

Otitis media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba

Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi

atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, dimana masing-masing memiliki

bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media yang lain adalah

adhesiva (Djaafar,2007).

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-

tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi

secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta

otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga

dijumpai efusi telinga tengah (Buchman,2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi

telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas

pada membran timpani, terdapat cairan dibelakang membran timpani, dan otore

(Kerschner,2007)
2.4 Etiologi
Otitis media dapat terjadi karena :
a. Sumbatan Tuba Eustachius
Obstruksi tuba eustachius merupakan suatu faktor penyebab dasar pada otitis media
akut. Oleh sebab itu hilanglah sawar utama terhadap invasi bakteri karena pertahanan
tubuh pada silia mukosa tuba terganggu.
b. Perubahan tekanan udara secara tiba-tiba.
c. Alergi
d. Infeksi
Kuman penyebab utama pada otitis media akut adalah bakteri piogenik seperti
Streptococcus sp., Staphilococcus aureus, Pneumococcus. Selain itu kadang-kadang
ditemukan juga Haemophillus influenza, Escherichia coli,. Haemophillus influenza
saring ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun.
Beberapa contoh kuman penyebab infeksi otitis media akut yaitu: Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza (tipe tidak dapat ditentukan), Streptococcus Grup
A, Branhamella catarrhalis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis;
sedangkan pada bayi, bakteri pathogen yang menyebabkan otitis media akut adalah
Chlamydia trachomatis, Eschericia coli, dan spesies Klebsiella.
e. Sumbatan, berupa sekret, tampon dan tumor (Kerschner,2007).
2.5 Patogenesis
Sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran atas (ISPA) atau a;ergi, sehingga
terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran nafas atas, termasuk nasofaring dan tuba
Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada
telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan
aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring kedalam telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang
berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi
proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan
faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba eustachius
tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi
sekret ditelinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari
infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang
dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat
meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga mengganggu pertahanan imum pasien
terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal,
pendengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak
dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat
merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi ( Kerschner,2007).
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor
intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema
pada mukosa tuba serta akumulasi sekret ditelinga tengah. Selain itu,sebagian besar pasien
dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba eustachius,
sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan
hipertrofi adenoid (Kerschner,2007)

Penyebab anak-anak mudah terserang otitis media akut adalah:


a. Pada bayi atau anak-anak tuba lebih pendek, lebih lebar, dan kedudukannya
lebih horizontal dari tuba orang dewasa sehingga ISPA lebih mudah menyebar
ke telinga tengah.
b. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak-anak di bawah umur 9
bulan adalah 17,5 mm. Ini meningkatkan peluang refluks dari nasofaring yang
mengganggu drainase melalui tuba Eustachius.
c. Insidens terjadinya otitis media pada anak yang berumur lebih tua lebih
berkurang. Hal ini terjadi karena tuba telah berkembang sempurna dan
diameter tuba Eustachius meningkat sehingga jarang terjadi obstruksi dan
disfungsi tuba.
d. Sistem pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga mudah terkena ISPA
lalu terinfeksi ke telinga tengah
e. Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang
berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif lebih besar
dibanding orang dewasa. Posisi adenoid yang berdekatan dengan muara tuba
Eustachius menyebabkan adenoid yang besar mengganggu terbukanya tuba
Eustachius. Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA dan dapat
menyebar ke telinga tengah melalui tuba Eustachius (Kerschner,2007)

Gambar 4. Perbedaan tuba Eustachius anak-anak dengan orang dewasa5

2.5.1 Stadium OMA

OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada

perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba eustachius, stadium

hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium

resolusi.
2.5.1.1 Stadium oklusi tuba Eustachius

Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi

membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif dalam telinga tengah

dengan adanya absorpsi udara. Kadang-kadang membran timpani tampak normal

(tidak ada kelainan) atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi

tidak dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang

disebabkan virus atau alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar,2007)

2.5.1.2 Stadium Hiperemis atau stadium pre-supurasi

Pada stadium hiperemis (gambar 5), tampak pembuluh darah yang melebar di
membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis dan edema. Sekret
yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat.
Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berkepanjangan sehingga terjadinya invasi
oleh mikroorganisme piogenik. Inflamasi yang terjadi pada telinga tengah dan membran
timpani menyebabkan kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang
menyebabkan pasien mengeluh otalgia, telinga rasa penuh, dan edema. Pendengaran
mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena peningkatan tekanan udara di kavum timpani. Gejala
berkisar antar dua belas jam sampai satu hari (Djaafar,2007)

Gambar 5. Stadium hiperemis

2.5.1.3 Stadium Supurasi

Stadium Supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah
ditelinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu, edema pada mukosa telinga
tengah menjadi lebih hebat dan sel epitel superfisial hancur. Terbentuknya eksudat yang
purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke
arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat kesakitan, nadi dan suhu meningkat,
dan rasa nyeri yang bertambah hebat di telinga. Pasien selalu gaduh dan tidak dapat
tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan tuli konduktif. Pada bayi, demam
tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan iskemia membran timpani akibat nekrosis mukosa dan submukosa
membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum
timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil menyebabkan tekanan kapiler
membran timpani meningkat lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih
lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan cara miringotomi. Bedah kecil
ini dilakukan dengan cara menginsisi pada membran timpani sehingga nanah akan
keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran
timpani akan menutup kembali. Apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih
sulit menutup. Membran timpani tidak akan menutup kembali jika membrannya tidak
utuh lagi (Djaafar,2007).

Gambar 6. Stadium supurasi

2.5.1.4 Stadium Perforasi


Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret
berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang
telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut).
Stadium ini disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya
virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak menjadi tenang, suhu tubuh
menurun, dan dapat tidur nyenyak. Jika membran timpani tetap perforasi dan
pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka
keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika berlangsung melebihi
satu setengah bulan sampai dua bulan disebut otitis media supuratif kronik
(Djaafar,2007).

Gambar 7. Stadium perforasi

2.5.1.5 Stadium Resolusi


Keadaan ini merupakan stadium akhir otitis media akut yang diawali dengan
berkurangnya atau berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran
timpani berangsur normal (gambar 8) hingga perforasi membran timpani
menutup kembali dan sekret purulen berkurang dan akhirnya kering sehingga
pendengaran kembali normal. Stadium ini terjadi walaupun tanpa pengobatan
jika membran timpani utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi maka akan berlanjut menjadi otitis
media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran
timpani menetap dengan sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul.
Otitits media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media
serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa
mengalami perforasi membran timpani (Djaafar,2007).

Gambar 8. Membran timpani


yang utuh
2.6 Gejala Klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang
sudah dapat berbocara keluhan utama adalah rasa nyeri didalam telinga, disamping suhu
tubuh yang lebih tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang
lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa
rasa penuh ditelinga tau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA
adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (stadium supurasi), anak gelisah dan sukar
tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak
memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir
keliang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar,2007)
Penilaian klinik OMA digunkan untuk menentukan berat atau ringannya suatu penyakit.
Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak
yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan dan
membengkak atau bulging (Titisari,2005)

2.7 Diagnosis
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal yaitu :
a. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut
b. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan ditelinga
tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu diantara tanda berikut, seperti
menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan
pada membran timpani, terdapat bayangan cairan dibelakang membran timpani, dan
terdapat cairan yang keluar dari telinga.
c. Terdapat tanda atau gejala peradanan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya
salah satu diantara tanda berikut, seperti kemeragan atau eryhema pada membran
timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Menurut Rubin et. Al (2008), keparahan OMA dibagi dua kategori, yait ringan-sedang,
dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan ditelinga tengah, mobilitas
membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan dibelkang membran timpani,
membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda
dan gejla inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran,
tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria
tersebut, denga tambahan ditandai dengan demam melebihi 39 C, dan disertai dengan otalgia
yang bersifat sedang sampai berat.

2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan
Penatalaksaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium
awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran nafas, dengan pemberian antibiotik,
dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah
untuk menghindari komplikasi intraranial dan ektrakranial yang mungkin terjadi, mengobati
gejala, memperbaiki fungsi tuba eustachius, menghindari perforasi membran timmpani, dan
memperbaiki sistem imun lokal dan sistemik (Titisari,2005).
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba eustachius
sehingga tekanan negatif ditelinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidunf HCl Efedrin
0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1% dalam
larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi
harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar,2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Dianjurkan pemeberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi,
dapat diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat didalam darah sehingga
tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap
penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam empat dosis, amoksilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam 3 dosis (Djaafar,2007).
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan
miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi
ruptur. Pada stadium perforasi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada
lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir diliang
telinga luar melalui perforasi dimembran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3
minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar,2007).
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Obsevasi dapat
dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari, atau
ada pemburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat
terhindar dari terjadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko
terbentiknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut American
Academy of Pediatrics (2004)dan Kerschner (2007) mengkategorikan OMA yang dapat
diobsevasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut :

American Academy of Pediatrics (2004), amoksisilin merupakan first-line terapi dengan


pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin-
klavulanat efektif terhadap Haemophilus influezae dan moraxella carrhalis, termasuk
streptococcus pneumoniae. Pneumococcal 7-valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk
menurunkan prevalensi otitis media
2.9.2 Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti
miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, adenoidektomi
a. Miringotomi, Tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi
drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus
dilakukan secara dilihat secara langsung, anak harus tenang sehingga membran
timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi adalah dikuadran posterior-
inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan,
kecuali jika terdapat pus di telinga tengah. Indikasi miringostomi pada anak dengan
OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA sepertiparesis nervus fasialis,
mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi
third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik
pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis
dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi
second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur.
b. Timpanosintesis
Merupakan fungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya
mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi
antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau
pasien yang sistem imun tubuh rendah.
c. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan
OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba
timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA
rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan
adenoidektomi kecuali jika terjadi obstruksi jalan nafas dan rinosinusitis rekuren
(Kerschner,2007).
2.9 Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses
subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut
biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Selama fase otitis media akut bila ada
efusi, terdapat kehilangan pendengaran kondutif yang biasanya sembuh sempurna pada
penderita yang diobati benar. Namun proses radang dapat merangsang fibrosis, hialinisasi,
dan endapan kalsium pada membrane timpani dan pada struktur telinga tengah. Plak
timpanosklerotik dapat menghalangi mobilitas membran timpani dan kadang-kadang dapat
memfiksasi rantai osikula (Daly,2000).

Komplikasi intrakranium OMA yang paling lazim adalah meningitis. Mastoiditis


merupakan peradangan tulang mastoid. Biasanya berasal dari kavum timpani. Perluasan
infeksi telinga tengah yang berulang dapat menyebabkan timbulnya perubahan pada
mastoid berupa penebalan mukosa dan terkumpulnya eksudat. Lama-kelamaan menjadi
peradangan tulang (osteitis) dan pengumpulan eksudat atau nanah yang makin banyak yang
akhirnya mencari jalan keluar. Daerah yang lemah biasanya terletak di belakang telinga
menyebabkan abses subperiosteum. Komplikasi ini paling mungkin terjadi bila didiagnosis
dan terapi terlambat (Daly,2000).
2.10 Prognosis
Prognosis OMA adalah baik. Gejala akan membaik antara 24-72 jam setelah
pengobatan. Relaps biasnya terjadi karena eradikasi yang kurang sempurna. Karena itu
pasien dinasehatkan untuk mengkonsumsi antibiotik secara tepat dan tetap melakukan
kontrol meskipun gejala telah membaik
BAB 3
KESIMPULAN

O t i t i s m e d i a m e r u p a k a n p e r a d a n g a n t e l i n g a t e n g a h ya n g disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya yang paling sering ialah sumbatan tuba
Eustachius akibat infeksi. Gejala yang sering ditimbulkan pada otitis media biasanya ialah
rasa nyeri, pendengaran berkurang, demam, pusing, juga kadang disertai mendengar suara
dengung (tinitus).
Otitis media akut disebabkan oleh adanya sumbatan dari tuba Eustachius berupa
mukus, sekret, tampon, dan tumor. Selain itu juga disebabkan karena alergi dan infeksi.
Pengobatan yang diberikan seuai dengan stadium penyakitnya . Komplikasi dari otitis
media akut yang tersering adalah meningitis, ensefalitis, gangguan pendengaran, dan lain-
lain
DAFTAR PUSTAKA

1. Djaafar, ZA, 2007. Kelainan Telinga Tengah. Telinga Hidung Tenggorokam, Edisi
ke 6, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
2. Dily KA, Giebink GS, 2000, Clinical Epidemiology of Otitis media.
3. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH,
et al. Diagnosis fisispada anak. Edisi 2. Jakarta: CV Agung Seto; 2003. H. 55-6
4. Mark HS. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC;2004.p.130-2.
5. Elizabeth JC. Buku saku patofisiologi. Dalam: Edhi KY, penyunting. Buku saku
patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2009.p.386-7.
6. Kerschner,J.E. 2007, Acute otitis Media And sociomedical, Risk Factors Amongst
Unselected Children in Greenland, Pediatri. Otorhinolaryngol H: 49:37-52.
7. Helmi, Ratna DR. Kelainan telinga tengah. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penertbit FK-
UI; 2010.p. 66-8,74-5.
8. Richard EB, Robert MK, Ann MA. Ilmu kesehatan anak. Dalam: James EA. Otitis
media dan komplikasinya. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2002.p.2209.
9. William M. Pedoman klinis pediatri. Dalam:. Nyeri telinga. Jakarta: EGC;
2004.p.299.
10. Greenberg MI. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jilid 1.Jakarta : Penerbit
Erlangga. 2005. H.140-1.
11. Haddad J. The ear. Dalam: Berhman RE, Kliegma RM, Arvin AM, penyunting.
Nelson Textbook of Pediatri. Ed.18. Philadelphia: Sauders Elsevier; 2007. h. 2617-
40
12. Thomas, Jan Peter et al. Acute Otitis Media- a Structured Approach. Deutsches
Ärzteblatt International. 2014 . h.155-157.
13. Titisari H. Prevalensi dan sensitivitas haemophillus influenza pada otitis media akt
di RSCM dan RSAB Harapan kita (Tesis), Jakarta,FKUI 2005
14. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH,
et al. Diagnosis fisispada anak. Edisi 2. Jakarta: CV Agung Seto; 2003. H. 55-6
15. Soepardie EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.
16. Anatomy of Inner Ear. 2010; http://galileo.phys.virginia.edu/classes/304/pix.htm
(diakses 17 Juli 2014).
17. Adams G, Boies L, Higler P. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC. 1997.
18. Probes R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology. New York: Thieme. 2006
19. American Academy of Pediatrics. Clinical practice guideline: diagnosis and
management of acute otitis media. J Pediatr.2004;133:34

Anda mungkin juga menyukai