Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

TULI

Oleh:

Afina Insani Pracoyo (2015730004)

KEPANITERAAN KLINIK STASE THT


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan ini sesuai dengan waktunya.

Lapoaran ini dibuat untuk memenuhi kegiatan belajar pada state THT-KL, dalam bentuk
REERAT dengan judul TULI. Semoga laporan ini dapat menambah wawasan kita dalam
dunia kesehatan telinga hidung, dan tenggorok.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan, karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.

Jakarta, April 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Angka gangguan pendengaran di Indonesia masih cukup tinggi, menurut WHO


(World Health Organization) secara global diperkirakan bahwa pada tahun 2000 terdapat 250
juta (4,2%) dari jumlah penduduk di dunia menderita gangguan pendengaran, 75 sampai 140
juta di antaranya terdapat di Asia Tenggara. Dari hasil “WHO Multi Center Study” pada
tahun 1998, Indonesia termasuk 4 Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup
tinggi yaitu (4,6%), 3 negara lainnya adalah Sri Langka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India
(6,3%). Walaupun bukan persentase yang tertinggi akan tetapi 4,6% cukup tinggi sehingga
dapat menimbulkan masalah sosial ditengah masyarakat (KNPGPKT, 2006).

Hasil Survey Kesehatan Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang di


laksanakan di 7 provinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi ketulian (0,4%), morbiditas
telinga (18,5%), penyakit telinga luar (6,8%), penyakit telinga tengah (3,95), prestikusis
(2,6%), ototoksisitas (0,3%), tuli mendadak (0,2%) dan tuna rungu (0,1%) (KNPGPKT,
2006).

Terdapat tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji
pendengaran yaitu tuli konduktif disebabkan karena kelainan di telinga luar atau tengah, tuli
sensorineural (perseptif) karena kelainan pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau pusat
pendengaran, dan tuli campur disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli
sensorineural
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI
A. TELINGA LUAR
Membrana tympanica memisahkan telinga luar dari telinga tengah. Tuba auditiva
menggambungkan telinga tengah dengan nasopharynx.
Telinga memilki tiga bagian externa,media, interna. Externa terdiri dari auricula dan
meatus acusticus externus. Auris media ruang tmpt terletaknya ossicula auditus. Auris
interna berisi labyrinthis membranceus, bagian utama labyrinthus cochlearis dan
labyrinthus vestibularis.
1. Auricula (daun telinga)
 Lempeng kartilago elastik berbentuk iregular yang dilapisi oleh kulit tipis.
Seperti kerangka, yang mengumpulkan suara. Helix pinggir auricula yang
menininggi, concha auricula yang depresi yang paling dalam.
 Lobulus terdiri dr fibrosa, lemak dan pem darah. Mudah di tembus untuk
mengambil sedikit sample darah dan memasang anting.
 Arteri : arteri temporalis superficialis dan arteri2 auricularis posterior.
 Saraf utama : N. Auriculotemporalis mempersarafi kulit auricula di anterior
meatus, N auricularis temporalis permukaan cranial(belakang telinga) dan pars
posterior (helix, antihelix, antihelix,dan lobul)
2. Meatus acusticus externus
Adalah suatu kanal yang mengarah ke dalam melalui pars tympanica oassis
trmporalis dari auricula ke membrana tympanica, berjarak 2-3cm pada orang
dewasa.
Glandula sebasea dan ceruminosa pada jaringan subkutan pars cartilaginea
meatus menghasilkan serumen (earwax).
3. Membrana tympanica (gendang telinga)
 Diameter kira2 1 cm, membran semitransparan yang tipis pada ujung
medial meatus. Membrana tympanica dilapisi kulit tipis diluar dan selaput
lendir auris interna disebelah dalam. Dilihat melalui otoskop, membrana
tympanica memiliki konkavitas ke arah meatus dengan depresi sentral
seperti kerucut yang dangkal pucaknya adalah umbo.
 Orientasi membrana tympanica seperti radar mini atau pringan satelit yang
diposisikan untuk menerima sinyal yang datang.
 Membrana tympanica bergerak sesuai dengan vibrasi udara yang berjalan
ke arahnya melalui meatus. Gerakan2 itu dibawa oleh ossicula auditus
melalui auris media (cavitas tympani) ke auris interna.
 Dipersyarafi oleh nervus auriculotemporalis suatu cabang NV3, beberapa
inervasi disuplai oleh ramus auricularis N. Vagus kecil. Permukaan
internal mebrana tympanica disuplai nervus glossopharyngeus.

B. TELINGA TENGAH
Cavitas auris media (rongga telinga tengah) atau cavitas tympani adalah ruang berisi
udara sempait pada pars petrosa ossis temporalis. Seluruh dinding terbentuk membran
tipis merupakan suatu ruangan sensitif tekanan.
1. Cavitas meliki 2 bagian cavitas tympani propia ruang yang mengarah ke dalam
membrana tympanica, recessus epitympanicus, ruang superior membrana.
2. Epitympanum(merah) berisi alat penggantung dan sebagian besar ossicula dan
melalui antrum masotoideum, berhubungan dengan sel2 mastoid
Mesotympanum terdiri dari manubtoum mallei, proc. Lenticularis incus,
dan tendo M. Tensor tympani
Hypotympanum menuju tuba auditiva
3. Isi aurius media
 Ossicula auditus
 Musculus stapedius dan M tensor tympani
 Nervus chirda tympani suatu cabang n vii
 Plexus tympani
4. Tuba auditiva
Menghubungkan cavitas tympani dengan nasopharynx, tempatnya
bermuara ke posterior meatus nasi inferior. Sepertiga posterolateral tuba
tulang sisanya kartilago. Dilapisi oleh selapit lendir yang berlanjut ke
posterior dengan selaput lendir cavitas tympani dan di anterior dengan
selaput lendir nasopharynx.
 Fungsi
Menyamakan tekanan dalam auris media dengan tekanan atmosfer,
sehingga memungkinkan gerakan membrana tympanica. Dengan
membiarkan udara masuk dan keluar cavitas tympani, tuba
menyeimbangkan tekana pada kedua siss membrana.
 M.levator veli palatini berkontraksi secara longitudinal yang
mendorong melawan satu dinding, M. Tensor veli palatini menarik
yang lain.
 Arteri: A. Pharyngea ascendens cabang A.carotis externa, A.
Meningea media dan A. Canalis pterygoideus, cabang
A.maxillaris.
 Nervus plexus tympanicus yang terbentuk oleh serat2
n.glossopharyngeus (N.IX)

5. Ossicula auditus
Tulangnya sangat padat, diLapisi selaput lendir yang melapisi cavitas
timpani , tetapi tidak seperti tulang lain tidak memiliki lapisan sekitar
periosteum osterogenik.
Malleus begerak bersama membrana. Rangkaian ossicula auditus
menghantarkan energi gelombang suara dari membrana tympanica ke
perilimfe di auris interna.

C. TELINGA DALAM
Telinga dalam terdiri dari organ kesimbangan dan organ pendengaran. Telinga
dalam terletak di pars petrosus os temporalis dan disebut labirin karena bentuknya
yang kompleks. Telinga dalam pada waktu lahir bentuknya sudah sempurna dan
hanya mengalami pembesaran seiring dengan pertumbuhan tulang temporal. Telinga
dalam terdiri dari dua bagian yaitu labirin tulang dan labirin membranosa. Labirin
tulang merupakan susunan ruangan yang terdapat dalam pars petrosa os temporalis
(ruang perilimfatik) dan merupakan salah satu tulang terkeras. Labirin tulang terdiri
dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan koklea.
1. Vestibulum merupakan bagian dari labirin tulang dengan ukuran panjang 5
mm, tinggi 5 mm dan dalam 3 mm. Dinding medial menghadap ke meatus
akustikus internus dan ditembus oleh saraf. Pada dinding medial terdapat
dua cekungan yaitu spherical recess untuk sakulus dan eliptical recess untuk
utrikulus. Di bawah eliptical recess terdapat lubang kecil akuaduktus
vestibularis yang menyalurkan duktus endolimfatikus ke fossa cranii
posterior di luar duramater.
Di belakang spherical recessterdapat alur yang disebut vestibular crest.
Pada ujung bawah alur ini terpisah karena untuk mencakuprecessus
kohlearis yang membawa serabut saraf kohlea ke basis kohlea. Serabut saraf
untuk utrikulus, kanalis semisirkularis superior dan lateral menembus
dinding tulang pada daerah yang berhubungan dengan N. Vestibularis pada
fundus meatus akustikus internus. Di dinding posterior vestibulum
mengandung 5 lubang ke kanalis semisirkularis dan dinding anterior ada
lubang berbentuk elips ke skala vestibuli kohlea.
2. Terdapat tiga bagian kanalis semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis
superior, posterior dan lateral yang terletak di atas dan di belakang
vestibulum. Berbentuk dua pertiga lingkaran dengan panjang yang tidak
sama tetapi dengan diameter yang hampir sama sekitar 0,8 mm. Pada salah
satu ujungnya masing-masing kanalis ini melebar disebut ampulla yang
berisi epitel sensoris vestibular dan terbuka ke vestibulum.
Ampula kanalis superior dan lateral letaknya bersebelahan pada masing-
masing ujung anterolateralnya, sedangkan ampulla kanalis posterior terletak
di bawah dekat lantai vestibulum. Ujung kanalis superior dan inferior yang
tidak mempunyai ampula bertemu dan bersatu membentuk crus communis
yang masuk vestibulum pada dinding posterior bagian tengah. Ujung kanalis
lateralis yang tidak memiliki ampulla masuk vestibulum sedikit di bawah
cruss communis. Kanalis lateralis kedua telinga terletak pada bidang yang
hampir sama yaitu bidang miring ke bawah dan belakang dengan sudut 30
derajat terhadap bidang horizontal. Kanalis lainnya letaknya tegak lurus
terhadap kanal ini sehingga kanalis superior sisi telinga kiri letaknya hampir
sejajar dengan posterior telinga kanan demikian pula dengan kanalis
posterior telinga kiri sejajar dengan kanalis superior telinga kanan
3. Koklea berbentuk tabung ulir yang dilindungi oleh tulang dengan panjang
sekitar 35 mm dan terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala
timpani. Skala timpani dan skala vestibuli berisi cairan perilimfa dengan
konsentrasi K+4 mEq/l dan Na+ 139 mEq/l. Skala media berada di bagian
tengah, dibatasi oleh membran reissner, membran basilaris, lamina spiralis
dan dinding lateral, berisi cairan endolimfa dengan konsentrasi K+144
mEq/l dan Na+ 13 mEq/l. Skala media mempunyai potensial positif (+ 80
mv) pada saat istirahat dan berkurang secara perlahan dari basal ke apeks.
4. Organ corti terletak di membran basilaris yang lebarnya 0.12 mm di bagian
basal dan melebar sampai 0.5 mm di bagian apeks, berbentuk seperti spiral.
Beberapa komponen penting pada organ corti adalah sel rambut dalam, sel
rambut luar, sel penunjang Deiters, Hensen’s, Claudiu’s, membran tektoria
dan lamina retikularis.
Sel-sel rambut tersusun dalam empat baris, yang terdiri dari tiga baris
sel rambut luar yang terletak lateral terhadap terowongan yang terbentuk
oleh pilar-pilar Corti, dan sebaris sel rambut dalam yang terletak di medial
terhadap terowongan. Sel rambut dalam yang berjumlah sekitar 3.500 dan
sel rambut luar dengan jumlah 12.000 berperan dalam merubah hantaran
bunyi dalam bentuk energi mekanik menjadi energi listrik.

2.2 FISIOLOGI PENDENGARAN


Pendengaran adalah persepsi energi suara oleh saraf
Gelombang suara adalah getaran udara yang merambat terdiri dari daerah bertekanan
tinggi akibat kompresi molekul udara dan bergantian oleh daerah bertekanan rendah
akibat peregangan molekul udara.
Prinsip suara:
• Nada bergantung pada frekuensi.
• Intensitas bergantung pada amplitudo.
• Warna suara bergantung pada overtone

Proses masuknya gelombang suara ke telinga


1. Gelombang suara di kumpulkan di daun telinga
2. Gelombang suara kemudian masuk ke Meatus acusticus externus
menggetarkan membran timpani, membran timpani bergetar selayaknya bass
3. Akibat getaran dari membran timpani menggetarkan tulang telinga tengah
(maleus,inkus, stapes)
4. Lalu getaran dihantarkan ke jendela oval
5. Dari jendela oval menggerakkan cairan di koklea yang berisi endolimf dan
paralimf yang tadi berasal dari getaran sura menjadi getaran cairan
6. Getaran membran basilaris
7. Akibat getaran membaran basilarais, menekuknya rambut-rambut di sel
rambut organ corti
8. Terjadi perubahan potensal berjenjang di sel reseptor
9. Perubahan frekuensi potensial aksi yang dihasilkan di saraf auditorius
10. Perambatan potensial aksi ke korteks auditorius di lobus temporalis otak
untuk resesepsi suara

A. Fisiologi Telinga luar


1. Pinna: lipatan menonjol tulang rawan berlapis, mengumpulkan gelombang
suara dan menyalurkannya ke saluran telinga
2. Meatus auditorius eksternus: saluran telinga
3. Membran timpani: membran tipis yang memisahkan telinga luar dan telinga
tengah. Membran timpani bergetar karena terkena gelombang suara. Tekanan
udara istirahat di kedua sisi (telinga tengah dan luar) harus sama. Bagian
telinga luar terpajan tekanan atmosfer di udara melalui meatus auditorius
eksternus sedangkan bagian tengah terpajan tekanan atmosfer melalui tuba
eustachius (menghubungkan telinga tengah ke faring).

B. Fisiologi Telinga Tengah


OSIKULUS
• Maleus: melekat ke membran timpani
• Inkus
• Stapes: melekat ke jendela oval, pintu masuk ke koklea.
Membran timpani bergetar sebagai respons terhadap gelombang suara, rangkaian
osikulus ikut bergetar dengan frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi
getaran dari membran timpani ke jendela oval.
Beberapa otot halus di telinga berkontraksi secara refleks sebagai respons
terhadap suara keras menyebabkan membran timpani mengencang dan membatasi
gerakan osikulus (pertahanan diri)

C. Fisologi Telinga Dalam


Koklea: sistem tubulus yang terletak di dalam rongga temporal.
a. Skala timpani dan skala vestibuli: cairan perilimfe
b. Duktus koklearis: cairan endolimfe
c. Organ corti: mengandung sel rambut auditorik yang merupakan reseptor
suara. Sel rambut merupakan mekanoreseptor yang menghasilkan sinyal
saraf jika rambut permukaannya mengalami perubahan bentuk secara
mekanis akibat gerakan cairan di telinga dalam.
i. Sel rambut dalam: mengirim sinyal auditorik ke otak melalui serat
aferen.
ii. Sel rambut luar: mengalami elektromotilitas (memberi respon
terhadap perubahan potensial membran) dan memperkuat gerakan
membran basilaris.

2.3 Definisi Gangguan Pendengaran (tuli)


Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara sebagian ataupun keseluruhan
untuk mendengarkan suara pada salah satu maupun kedua telinga. Unit kuantitatif yang
digunakan untuk mengulur kekerasan suatu suara adalah desibel. Pada orang normal
ambang batas pendengaran adalah 0-10 desibel. Pada orang-orang dengan gangguan
pendengaran, didapati peningkatan ambang batas pendengaran disertai dengan
terganggunya proses persepsi suara dan proses pencapaian pengertian dari suatu
percakapan.

2.4 Epidemiologi
Gangguan pendengaran terjadi pada sekitar 5-10 per 1.000 anak di Amerika Serikat.
Sekitar 1-3 dari 1000 anak-anak dilahirkan dengan gangguan pendengaran yang
mendalam, dan 3-5 dalam 1000 anak-anak dilahirkan dengan gangguan pendengaran
yang ringan hingga sedang yang dapat mempengaruhi perolehan bahasa kecuali
pendengaran, bahasa, atau keduanya dibantu. Prevalensi gangguan pendengaran yang
membutuhkan intervensi di antara lulusan dari unit perawatan intensif neonatal (NICU)
adalah 1-4%. Gangguan pendengaran yang didapat pada anak-anak dapat menambah 10-
20% ke angka-angka ini.
Prevalensi gangguan pendengaran pada remaja berusia 12-19 tahun tampaknya
meningkat di Amerika Serikat. Sebuah studi tahun 2010 menemukan bahwa peningkatan
prevalensi ini sekitar sepertiga lebih besar dari 2005 hingga 2006 dari tahun 1988 hingga
1994. Yang menarik, gangguan pendengaran yang signifikan (≥25 dB) secara khusus
meningkat, ke titik di mana sekitar 1 dari 20 remaja memiliki jenis gangguan
pendengaran. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan berkontribusi
besar terhadap peningkatan insiden gangguan pendengaran pada remaja.
Data dari Sensus Amerika Serikat menunjukkan bahwa hampir 3% populasi dalam
laporan tenaga kerja mengalami beberapa gangguan pendengaran, termasuk CHL, SNHL,
atau kehilangan campuran. Di seluruh dunia, SNHL terjadi pada 9-27 per 1000 anak.
Hasil Survey Kesehatan Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang di
laksanakan di 7 provinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi ketulian (0,4%),
morbiditas telinga (18,5%), penyakit telinga luar (6,8%), penyakit telinga tengah (3,95),
prestikusis (2,6%), ototoksisitas (0,3%), tuli mendadak (0,2%) dan tuna rungu (0,1%)

Demografi terkait usia dan jenis kelamin


Kebanyakan gangguan pendengaran pada anak-anak adalah bawaan atau didapat
secara perinatal. Namun, gangguan pendengaran dapat terjadi pada usia berapa pun. Kira-
kira 10-20% dari semua kasus tuli didapat setelah kelahiran, meskipun beberapa
penyebab genetik tuli menghasilkan gangguan pendengaran yang dimulai pada masa
kanak-kanak atau remaja atau lambat secara progresif dan karenanya didiagnosis pada
masa kanak-kanak atau remaja.
Tidak ada kecenderungan seks yang diketahui. Beberapa penyebab tuli atau keturunan
yang diturunkan secara turun-temurun mungkin terjadi lebih sering pada satu jenis
kelamin daripada yang lainnya. Namun, prevalensi tuli secara keseluruhan adalah sama
pada individu pria dan wanita.
2.5 Klasifikasi
1. Tuli Konduktif
Gangguan pendengaran konduktif terjadi ketika suara tidak dikirim dengan mudah
melalui saluran telinga luar ke gendang telinga dan tulang-tulang kecil (ossicles) pada
telinga tengah. Gangguan pendengaran konduktif membuat suara lebih lembut dan
kurang mudah didengar. Jenis gangguan pendengaran ini sering dapat diperbaiki
secara medis atau pembedahan.
2. Tuli Sensorineural
Terjadi ketika ada kerusakan pada telinga bagian dalam (koklea) atau ke jalur
saraf dari telinga bagian dalam ke otak. Sebagian besar waktu, tuli sensorineural tidak
dapat dikoreksi secara medis atau pembedahan. Ini adalah jenis gangguan
pendengaran permanen yang paling umum. Tuli sensorineural mengurangi
kemampuna untuk mendengarkan suaa yang samar. Bahkan ketika sesoang berbicara
kencan, mungkin tetap masih terdengar tidak jelas.
3. Campuran
Terjadi ketika tuli konduktif terjadi dengan tuli senosorineural. Dengan kata lain,
bahwa tuli ini disebabkan adanya gangguan pada telinga luar, telinga tengah dan
dalam atau saraf pendengaran.

2.6 Etiologi
1. Tuli Konduktif
a. Cairan di telinga tengah karena flu atau alergi
b. Atresia liang telinga
c. Infeksi telinga (otitis media)
d. Fungsi tuba eustachius yang buruk
e. Lubang di gendang telinga
f. Terlalu banyak kotoran telinga (cerumen)
g. Telinga perenang (otitis eksternal)
h. Benda asing di saluran telinga
i. Malformasi dari telinga luar, saluran telinga, atau telinga tengah

2. Tuli senosorineural
a. Obat-obatan yang toksik pada pendengaran
b. Gangguan pendengaran yang terjadi dalam keluarga (genetik atau keturunan)
c. Penuaan
d. Trauma kepala
e. Malformasi telinga bagian dalam
f. Paparan terhadap suara keras

2.7 Derajat dari gangguan pendengaran


Tingkat gangguan pendengaran mengacu pada tingkat keparahan gangguan
pendengaran. Tabel di bawah ini menunjukkan salah satu sistem klasifikasi yang
lebih umum digunakan. Angka-angka ini mewakili kisaran gangguan pendengaran
pasien dalam desibel (dB HL).

2.8 Gambaran Klinis


Gabaran klinis dari masing-masing klasifikasi tuli tergantung darri penyebab terjadinya
tuli tersebut.
1. Tuli Konduktif
a. Trauma
 Membran timpani perforated
Pecahnya gendang telinga akan menyebabkan tuli. Tingkat ketulian
tergantung pada ukuran dan lokasi perforasi. Perforasi subtotal dapat
menyebabkan gangguan pendengaran 40 hingga 60 desibel (dB). Kerugian
umumnya bersifat konduktif. Sebuah elemen sensorineural mungkin ada
yang pada trauma minor mungkin dapat dibalikkan. Pecah trauma dapat
terjadi akibat perubahan mendadak tekanan udara seperti pada tamparan
tangan atau cedera ledakan. Instrumentasi atau benda asing seperti cedera
pensil dapat melubangi gendang telinga seperti halnya fraktur pangkal
tengkorak.
 Ossicular discontinuity
Gangguan traumatik dari rantai okular dapat dikaitkan dengan gendang
telinga yang pecah. Dalam kasus diskontinus ossiculardardard dengan
gendang telinga yang utuh, mungkin ada konsekuensinya gangguan
pendengaran yang lebih besar. Ini mungkin terkait dengan cedera kepala dan
bentuk diskontinuitas okular yang paling umum adalah pemisahan sendi
incudo-stapedial.
 Haeemotympanum
Pengumpulan darah di dalam telinga tengah (haemotympanum) setelah
trauma menyebabkan tuli konduktif. Ini mungkin terkait dengan fraktur
tulang temporal dan, tergantung pada jenis fraktur, dapat dikaitkan dengan
tuli konduktif lebih lanjut (fraktur longitudinal) atau tuli sensorineural
(fraktur transversal).
b. Infeksi
 Otitis Eksterna (OE).
Peradangan pada kulit saluran telinga dan pinna. OE hanya akan
menyebabkan ketulian jika konduksi suara terhambat oleh penyumbatan
saluran telinga, baik oleh puing-puing atau dari pembengkakan dinding
saluran. Sidang harus kembali setelah perawatan yang berhasil. Kondisi ini
umum pada orang dewasa dan kurang umum pada anak-anak.
 Otitis Media Akut
Ini adalah peradangan pada sumbing telinga tengah. Ketulian pada AOM
bersifat konduktif dan disebabkan oleh pengumpulan nanah di dalam telinga
tengah dan / atau perforasi yang, jika tidak diobati, melepaskan nanah ke
saluran telinga.
 Otitis Meadia Kronik
Ini adalah peradangan yang terus-menerus dari sumbing telinga tengah,
yang biasanya timbul dengan ketulian dan keputihan. Ketulian sebagian
besar konduktif dan merupakan hasil perforasi gendang telinga dengan atau
tanpa kerusakan tulang okular. Elemen sensorineural mungkin ada.
 Kolesteatoma
Kehadiran kulit di telinga tengah secara klinis disebut kolesteatoma. Telinga
tengah normal dilapisi oleh epitel kolumnar di mana kulit atau epitel
skuamosa menutupi saluran telinga. Epitel skuamosa di telinga tengah
membentuk kista keratin dan dapat merusak. Kista dapat menyebabkan
nekrosis tekanan dan, jika ada infeksi, dapat melepaskan enzim yang
merusak tulang. Cholesteatoma terlihat dalam beberapa kasus sebagai
bentuk otitis media kronis.
 Tumor
Osteoma atau tumor lain dari saluran telinga luar dapat menyebabkan tuli
konduktif jika cukup besar untuk menghalangi jalannya suara ke gendang
telinga. Tumor telinga tengah menyebabkan tuli dengan cara yang sama.
Tumor telinga tengah paling umum adalah paraganglioma (glomus
tympanicum).
 Kogenital
Disebabkan oleh cacat dalam perkembangan telinga. Mikrotia adalah tidak
adanya sebagian pinna (daun telinga) dengan atresia saluran telinga yang
mungkin berarti bahwa tidak ada koneksi ke telinga tengah. Telinga tengah
itu sendiri mungkin rusak dan jarang ada telinga bagian dalam. Semua
kondisi ini, terlepas dari yang terakhir, menyebabkan tuli konduktif.
 Kondisi yang lain
- Serumen
Serumen, atau lilin, ada di sebagian besar saluran telinga luar dan
biasanya tidak menyebabkan tuli. Namun, impak lilin dapat
menyebabkan gangguan pendengaran konduktif kecil (30 dB)
- Exostosis
Umumnya kondisi ini terlihat pada perenang dan, khususnya, peselancar.
Terdapat pembentukan tulang baru di dinding tulang saluran telinga
eksternal dan ini dapat memproyeksikan ke meatus. Exostosis biasanya
timbul pada lebih dari satu situs di dalam saluran telinga bertulang, tidak
seperti osteoma, yang muncul sebagai massa tunggal.
- Otitis media efusi (OME)
Penyebab paling umum gangguan pendengaran konduktif pada anak-
anak; Namun jarang pada orang dewasa. OME adalah adanya cairan di
belakang gendang telinga yang utuh tanpa adanya infeksi yang jelas.
Pada orang dewasa kehadiran OME hanya dalam satu telinga
memerlukan pengecualian dari tumor yang mendasarinya di nasofaring
(ruang pasca-hidung)
- Otosklerosis
Penyebab umum gangguan pendengaran konduktif pada orang dewasa
dan mempengaruhi kedua jenis kelamin, meskipun mungkin ada
dominasi perempuan. Ini lebih umum pada populasi kulit putih dengan
prevalensi klinis 0,3-0,4%. Penyakit ini bisa bilateral atau terbatas pada
satu telinga. Gangguan pendengaran konduktif pada otosklerosis
stapedial, meskipun elemen sensorineural yang jelas dapat dicatat pada
2000 Hertz (Hz) pada audiometri nada murni. Namun, mungkin ada
kehilangan sensorineural yang sebenarnya karena keterlibatan koklea
oleh proses otosklerotik.
- Timpanosklerosis.
Bercak keputihan dari hyalinisasi atau pengendapan berkapur pada
gendang telinga atau di telinga tengah. Ini mungkin sekuel infeksi atau
bentuk jaringan parut. Pada gendang telinga, bercak kecil biasanya tidak
menyebabkan gangguan pendengaran tetapi yang besar mungkin.
Keterlibatan telinga tengah dan ossicles dapat menyebabkan tuli
konduktif yang nyata yang tidak setuju dengan perawatan bedah.
Gangguan pendengaran biasanya kecil jika timpaniosklerosis hanya
melibatkan gendang telinga; jika telinga tengah terlibat dan rantai okular
menjadi tetap, kehilangan hingga 60dB dapat terlihat.
- Otitis media adhesiva kronis
Jika gendang telinga melekat pada dinding medial telinga tengah dengan
ossicles atau sisa ossicleswarped di dalamnya, konduksi suara akan
terganggu. Ini mungkin hasil akhir dari otitis media kronis.
- Barotrauma
Biasanya tekanan udara di telinga tengah sama dengan tekanan di luar.
Ini dipertahankan oleh aksi tuba Eustachius yang menghubungkan telinga
tengah dengan ruang post-nasal. Selama penurunan cepat di pesawat
yang tidak bertekanan, atau jika penyelam turun dengan cepat, tabung
Eustachius tidak dapat mempertahankan tekanan telinga tengah dan
menjadi "terkunci". Tekanan telinga tengah yang negatif menyebabkan
gendang telinga menarik kembali dan cairan terkumpul di dalam telinga
tengah yang menyebabkan tuli konduktif. Kadang-kadang, perubahannya
sedemikian rupa sehingga gendang telinga.
2. Tuli senosrineural
Gambaran klinis sesuai dengan etiologinya.

2.9 Pemeriksaan Pendengaran


Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui
udara dan melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer nada murni.
Kelaianan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif.
Secara fislogis telinga dapaat mendenagar nada antara 26-18.000 Hz. Untuk
pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 500-2000 Hz. Oleh karena itu
untuk memeriksa pendengaran dipakai garputala 512, 1024, dan 2048 Hz.
Penggunaan ketiga garpu tala ini penting untuk pemeriksaan sacara kualitatif. Bila
salah satu frekueni ini terganggu penderita akan sadar adanya gangguan pendengaran.
Bila tidak mungkin menggunakan ketiga garpu tala itu, maka diambil 512 Hz karena
penggunaan garpu tali ini tidak terlalu dipengauhi sura bising disekitarnya.
Pemeriksaan pendengaran kualitatif dengan garputala sedangkan kuantitatif
menggunakan audiometer.

Tes Garpu Tala


Test ini menggunakan seperangkat garpu tala yang terdiri dari 5 garpu tala dari
nada c dengan frekwensi 2048 Hz,1024 Hz, 512Hz,256 Hz dan 128 Hz.
Keuntungan test garpu tala ialah dapat diperoleh dengan cepat gambaran keadaan
pendengaran penderita. Kekurangannya ialah tidak dapat ditentukan besarnya
intensitas bunyi karena tergantung cara menyentuhkan garpu tala yaitu makin keras
sentuhan garpu tala makin keras pula intensitas yang didengar. Sentuhan garpu tala
harus lunak tetapi masih dapat didengar oleh telinga normal. Di poliklinik dapat
dilakukan empat macam test garpu tala, yaitu :
1. Tes garis pendengaran
Tujuan test ini adalah untuk mengetahui batas bawah dan batas atas
ambang pendengaran. Telinga kanan dan kiri diperiksa secara terpisah.
Cara pemeriksaan
Semua garpu tala satu demi satu disentuh secara lunak dan diletakkan
kira-kira 2,5 cm di depan telinga penderita dengan kedua kakinya berada
pada garis penghubung meatus acusticus externus kanan dan kiri. Penderita
diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila mendengarkan bunyi.Bila
penderita mendengar, diberi tanda (+) pada frekwensi yang bersangkutan
dan bila tidak mendengar diberi tanda (-) pada frekwensi yang
bersangkutan.

Telinga kanan tidak mendengar frekwensi 2. 048 Hz dan 1. 024Hz sedang


frekwensi-frekwensi lain dapat didengar, telinga kiri tidak mendengar
frekwensi 128 Hz dan 256 Hz, sedangkan frekwensi-frekwensi lain dapat
didengar.

Evaluasi test garis pendengaran. Pada contoh di atas telinga kanan batas
atasnya menurun berarti telinga kanan menderita tuli sensorineural. Pada
telinga kiri batas bawahnya meningkat berarti telinga kiri menderita tuli
konduktif.

2. Tes Weber
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan
kanan. Telinga normal hantaran tulang kiri dan kanan akan sama.
Cara pemeriksaan.
Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh diletakkan
pangkalnya pada dahi atau vertex. Penderita ditanyakan apakah
mendengar atau tidak. Bila mendengar langsung ditanyakan di telinga

W
mana didengar lebih keras. Bila terdengar lebih keras di kanan disebut
lateralisasi ke kanan.

Evaluasi Tes Weber. Bila terjadi lateralisasi ke kanan maka ada


beberapa kemungkinan:
a) Telinga kanan tuli konduktif, kiri normal
b) Telinga kanan tuli konduktif, kiri tuli sensory neural
c) Telinga kanan normal, kiri tuli sensory neural
d) Kedua telinga tuli konduktif, kanan lebih berat
e) Kedua telinga tuli sensory neural, kiri lebih berat
Dengan kata lain test weber tidak dapat berdiri sendiri oleh karena
tidak dapat menegakkan diagnosa secara pasti.

3. Tes Rinne
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan
hantaran udara pada satu telinga. Pada telinga normal hantaran udara
lebih panjang dari hantaran tulang. Juga pada tuli sensorneural hantaran
udara lebih panjang daripada hantaran tulang. Dilain pihak pada tuli
konduktif hantaran tulang lebih panjang daripada hantaran udara.
Cara pemeriksaan
Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz disentuh secara lunak pada tangan dan
pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum dari telinga yang akan
diperiksa. Kepada penderita ditanyakan apakah mendengar dan
sekaligus di instruksikan agar mengangkat tangan bila sudah tidak
mendengar. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala dipindahkan
hingga ujung bergetar berada kira-kira 3 cm di depan meatus akustikus
eksternus dari telinga yang diperiksa. Bila penderita masih mendengar
dikatakan Rinne (+). Bila tidak mendengar dikatakan Rinne (-)

Evaluasi test rinne. Rinne positif berarti normal atau tuli sensorineural.
Rinne negatif berarti tuli konduktif.
a) Rinne Negatif Palsu. Dalam melakukan test rinne harus selalu hati-
hati dengan apa yang dikatakan Rinne negatif palsu. Hal ini terjadi
pada tuli sensorineural yang unilateral dan berat.
Pada waktu meletakkan garpu tala di Planum mastoideum
getarannya di tangkap oleh telinga yang baik dan tidak di test
(cross hearing). Kemudian setelah garpu tala diletakkan di depan
meatus acusticus externus getaran tidak terdengar lagi sehingga
dikatakan Rinne negatif

+R-
4. Test Schwabah
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari
penderita dengan hantaran tulang pemeriksa dengan catatan bahwa
telinga pemeriksa harus normal.
Cara pemeriksaan
Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh secara lunak
diletakkan pangkalnya pada planum mastoiedum penderita. Kemudian
kepada penderita ditanyakan apakah mendengar, sesudah itu sekaligus
diinstruksikan agar mengangkat tangannya bila sudah tidak mendengar
dengungan. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala segera
dipindahkan ke planum mastoideum pemeriksa.
Ada 2 kemungkinan pemeriksa masih mendengar dikatakan
schwabach memendek atau pemeriksa sudah tidak mendengar lagi. Bila
pemeriksa tidak mendengar harus dilakukan cross yaitu garputala mula-
mula diletakkan pada planum mastoideum pemeriksa kemudian bila
sudah tidak mendengar lagi garpu tala segera dipindahkan ke planum
mastoideum penderita dan ditanyakan apakah penderita mendengar
dengungan.
Bila penderita tidak mendengar lagi dikatakan schwabach normal
dan bila masih mendengar dikatakan schwabach memanjang.

Evaluasi test schwabach

a) Schwabach memendek berarti pemeriksa masih mendengar dengungan dan


keadaan ini ditemukan pada tuli sensory neural
b) Schwabach memanjang berarti penderita masih mendengar dengungan dan
keadaan ini ditemukan pada tuli konduktif
c) Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama tidak
mendengar dengungan. Karena telinga pemeriksa normal berarti telinga
penderita normal juga.

Audiometri Nada Murni


Untuk membuat audiogram diperlukan audiometer. Pada pemeriksaan
audiometer nada murni perlu dipahami hal-hal seperti : nada murni,
bising NB (narrow band) dan WN (White noise), frekuensi, intensitas
bunti, ambang dengar, nilai nl audiometrik, standar ISO dan ASA.

2.10 Pemeriksaan Penunjang


1. CT-SCAN
Di masa lalu, manfaat dari studi pencitraan telah dipertanyakan. Meskipun
temuan positif pada magnetic resonance imaging (MRI) atau computed
tomography (CT) kadang-kadang dapat membantu menjelaskan cacat, itu
tidak mengarah pada pilihan pengobatan. Namun, beberapa kelainan yang
ditemukan selama pencitraan (misalnya, saluran vestibula yang membesar)
dapat mengindikasikan seorang anak dengan telinga sensitif yang trauma
kepala ringannya dapat memperburuk pendengarannya.
2. Pemeriksaan Spesifik
Sebelum hasil tes spesifik untuk gangguan pendengaran ditinjau, penting
untuk memeriksa pernyataan posisi terbaru Komite Gabungan tentang
Pendengaran Bayi. Secara khusus, JCIH merekomendasikan skrining pendengaran
pada semua bayi pada usia 1 bulan; mereka yang gagal dalam tes awal harus
memiliki evaluasi audiologis menyeluruh pada usia 3 bulan, dengan intervensi
yang sesuai pada usia 6 bulan.
Dalam pembaruan, JCIH juga termasuk neuropati pendengaran dan dissinkron
dalam kategori gangguan pendengaran saraf. Rekomendasi juga dibuat mengenai
bayi yang tetap berada di unit perawatan intensif neonatal (NICU) selama lebih
dari 5 hari. Pasien-pasien ini harus menjalani pengujian respons batang otak yang
digerakkan oleh audio daripada pengujian emisi otoacoustic yang sering
digunakan untuk skrining bayi baru lahir.
Tes khusus untuk gangguan pendengaran meliputi ABR (secara formal disebut
brainstem audio-evoked response [BAER] atau ABR otomatis), emisi otoacoustic
(OAEs), dan audiometri.
a. Pengujian ABR dan BAER
Pengujian ABR didasarkan pada prinsip yang sama dengan
electroencephalography (EEG). Ketika telinga pendengaran diberi
rangsangan, aktivitas elektrografi yang dihasilkan dapat diikuti dari telinga
ke area pusat otak. Dalam prosedur pengujian formal untuk BAER, klik atau
frekuensi tertentu pada volume yang berbeda dapat menjadi rangsangan.
Gangguan pendengaran konduktif (CHL) tidak dapat dibedakan dari
SNHL dengan tes skrining, tetapi pengujian BAER formal dapat dilakukan
dengan menggunakan pengujian konduksi tulang. Sensitivitas dan
spesifisitas pengujian ini mendekati 100%. Tes BAER sering membutuhkan
sedasi, dan membutuhkan waktu dan mahal. Aktivitas gelombang otak yang
tidak normal (misalnya, aktivitas kejang, prematuritas yang signifikan, atau
artefak gerakan) dapat membuat hasil tidak dapat diinterpretasikan.
Penggunaan prosedur pengujian otomatis untuk ABR telah
direkomendasikan untuk skrining pendengaran bayi baru lahir universal.
Bunyi klik disajikan pada masing-masing telinga, dan dua elektroda
ditempatkan pada kulit kepala yang merekam aktivitas gelombang otak.
Templat internal yang menyerupai bentuk gelombang digunakan untuk
menentukan apakah bayi lulus tes (cocok dengan bentuk gelombang) atau
tidak (bentuk gelombang tidak cocok).
Ini seperti pembacaan otomatis yang muncul di banyak EKG; EKG
memiliki banyak templat yang disimpan yang menunjukkan kecocokan yang
erat dengan irama sinus normal, blok cabang-bundel kanan, infark anterior,
atau kondisi lainnya. Seperti halnya pada EKG, gerakan otot menghasilkan
perubahan bentuk gelombang; EKG membaca ini sebagai artefaktual, tetapi
ABR membacanya sebagai "gagal." Selain itu, seperti EKG, staf dengan
pelatihan yang relatif sedikit dapat melakukan tes ABR dengan cepat dan
murah. Tes itu sendiri memiliki sensitivitas sekitar 100% dan spesifisitas
sekitar 96%.
Karena ABR hanya mencerminkan impuls saraf yang mencapai otak,
ABR tidak dapat digunakan untuk membedakan CHL dari SNHL. Dalam
skrining neonatal, angka positif palsu bisa setinggi 10-15% karena cairan
ketuban dan puing-puing seluler dipertahankan di saluran telinga neonatus.
Pengujian berulang sering diselesaikan sebelum dikeluarkan dari kamar
bayi, tetapi dilakukan secara optimal setelah cairan hilang (hingga 1
minggu). Namun, jika bayi tersebut lulus tes ulang, maka sangat mungkin
dia tidak mengalami gangguan pendengaran yang signifikan.
Seperti halnya BAER, gangguan prematuritas atau kejang dapat
menyebabkan hasil yang gagal pada pengujian ABR karena aktivitas
gelombang otak abnormal tidak cocok dengan templat internal mesin untuk
hasil yang lulus. Dalam hal ini, pengujian BAER formal mungkin
diperlukan karena gelombang penting mungkin dapat dibedakan dari
kelainan latar belakang saat dibaca oleh profesional terlatih. Penggunaan
OAE adalah alternatif yang masuk akal karena tidak tergantung pada
gelombang otak (kecuali untuk bayi NICU).

b. Pengujian OAE
Konsep OAE adalah bahwa suara-suara tertentu yang dihasilkan oleh
telinga bagian dalam dapat direkam. Suara-suara ini hadir di telinga yang
dapat mendengar dan kemungkinan mencerminkan kehadiran dan fungsi
struktur yang bertanggung jawab untuk pendengaran. Suara-suara itu
mungkin spontan atau membangkitkan. Bagaimana mereka diproduksi dan
mengapa mereka tidak diproduksi pada orang dengan SNHL tidak jelas,
tetapi mereka berkorelasi baik dengan gangguan pendengaran.
Juga digunakan untuk skrining bayi baru lahir, tes OAE dapat
dilakukan dengan cepat dan murah oleh personel dengan pelatihan yang
relatif sedikit. Sebuah earphone ditempatkan di atas telinga neonatus yang
sedang beristirahat, dan mesin menghasilkan suara dan kemudian merekam
respons yang ditimbulkan. Sensitivitas dan spesifisitas yang dilaporkan
dengan OAE yang ditimbulkan masing-masing adalah 100% dan 82%.
Menurut definisi, OAE tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis tuli
retrocochlear, juga tidak dapat digunakan untuk membedakan CHL dari
SNHL. OAE memiliki sedikit peningkatan angka positif palsu di sebagian
besar studi skrining pendengaran neonatal, mungkin karena suara harus
keluar masuk dan keluar dari kanal yang terhalang untuk direkam. (Dengan
ABR, suara hanya perlu masuk melalui saluran telinga). OAE juga
tampaknya memiliki tingkat kegagalan yang tinggi ketika digunakan di
NICU. Untuk bayi cukup bulan yang sehat, "protokol dua langkah"
merekomendasikan bahwa bayi yang gagal OAE awal mungkin harus
menjalani tes lanjutan dengan pengujian OAE atau ABR lainnya.

c. Audiometri
Audiometri rutin dilakukan dengan menempatkan headset di telinga anak-
anak yang usia perkembangannya minimal 4-5 tahun dan yang dapat
diminta untuk mengangkat tangan yang sesuai ketika suara terdengar. Suara
nada murni dapat disajikan sehingga volume tertentu pada frekuensi tertentu
dapat didokumentasikan. CHL dan SNHL dapat dibedakan, dan pengenalan
suara juga dapat diuji.

2.11 Tatalaksana
1. Perawatan Medis
a. Gangguan pendengaran konduktif
Kelola kehilangan pendengaran konduktif (CHL) karena otitis media atau
gejala sisa dengan kursus antibiotik yang sesuai. Pasien dengan otitis media
serosa selama lebih dari 3 bulan mendapat manfaat dari myringotomy dan
pengangkatan cairan di telinga tengah. Tabung ventilasi pada akhirnya
mungkin diperlukan. Jika gangguan pendengaran berlanjut, amplifikasi
dengan alat bantu dengar mungkin diperlukan. Terapi bicara jarang diperlukan
kecuali kehilangannya berkepanjangan dan tidak dapat dikoreksi dengan
amplifikasi.
CHL yang dihasilkan dari obstruksi saluran pendengaran karena cerumen atau
benda asing harus diobati dengan menghilangkan obstruksi.
b. Gangguan pendengaran sensorineural
Gangguan pendengaran sensorineural (SNHL) tidak dapat diobati secara
medis. Pada gangguan pendengaran ringan hingga sedang, amplifikasi dengan
alat bantu dengar digunakan untuk memberi masukan auditori sebanyak
mungkin. Terapi wicara mungkin bermanfaat..
Pada anak yang lebih besar dan pada orang dewasa dengan gangguan
pendengaran sedang hingga berat, alat bantu dengar dapat memperbaiki
hingga 40-60 dB. Di luar itu, faktor pembatasnya adalah tekanan suara fisik
yang diberikan pada membran timpani, yang menjadi menyakitkan setelah
ambang tertentu. Anak kecil dengan saluran telinga kecil mungkin merasakan
nyeri pada volume amplifikasi serendah 10-15 dB. Alat bantu dengar modern
dapat secara selektif memperkuat rentang frekuensi yang ditentukan lebih dari
yang lain daripada semua frekuensi secara sama.
Ada dua tujuan utama amplifikasi. Yang pertama adalah menyediakan
bahasa. Setelah alat bantu dengar dipasang dengan menggunakan cetakan
yang tepat, alat bantu dengar diuji untuk melihat seberapa baik alat itu cocok
dengan tujuan kenyaringan pada berbagai frekuensi. Dengan anak yang lebih
besar, pengenalan ucapan harus menjadi bagian dari pengujian ini. Untuk anak
kecil, tujuannya adalah untuk mengoptimalkan input pendengaran tanpa
menimbulkan rasa sakit. Jika alat bantu dengar menyakitkan untuk digunakan,
anak-anak akan menghindari menggunakannya. Jika amplifikasi berhasil
dalam memberikan peningkatan pemahaman bahasa lisan tanpa rasa sakit,
penggunaannya di dalam dan di luar sekolah harus didorong.
Tujuan kedua dari amplifikasi adalah untuk memberikan isyarat
lingkungan. Penggunaan alat bantu pendengaran dalam menghubungkan anak-
anak kecil dengan lingkungan mereka, membantu memaksimalkan
perkembangan bahasa pendengaran jika memungkinkan mereka untuk
mendengar suara bicara, dan menggunakan jalur pendengaran ke otak, yang
dapat mencegah otak dari "mengabaikan" mereka (seperti itu tidak pada
hewan laboratorium yang buta kortikal). Kemampuan untuk mendengar suara
lingkungan penting untuk keselamatan dan fungsi umum. Isyarat keselamatan
penting termasuk klakson mobil atau truk, alarm, atau bahkan seseorang yang
berteriak “berhenti.” Isyarat fungsional mungkin termasuk lonceng kelas,
pengatur waktu oven, bel pintu, atau seseorang yang memanggil nama mereka
dengan keras.
Anak yang lebih besar mungkin memilih untuk tidak menggunakan
alat bantu dengar mereka karena mereka “tidak terlihat keren.” Alih-alih
menjadikan ini sebagai argumen berkelanjutan yang signifikan, orang tua
harus lebih masuk akal.
Tidak ada kerugian medis bagi anak-anak yang memilih untuk tidak
menggunakan alat bantu dengar. Bahkan, banyak orang dewasa tuli
menggunakan alat bantu dengar mereka secara selektif atau tidak sama sekali
karena mereka menemukan bahwa suara dan distorsi asing yang mereka
dengar lebih mengganggu daripada membantu. Mereka dapat memutuskan
untuk menggunakan alat bantu dengar mereka hanya ketika mereka
mengantisipasi manfaat tertentu.

2. Operasi
a. Gangguan pendengaran konduktif
Beberapa penyebab CHL dapat dikelola atau dibantu dengan pembedahan. Anak-
anak dengan otitis media kronis atau berulang yang berulang dengan efusi yang
dihasilkan dapat mengambil manfaat dari penempatan tabung myringotomy untuk
ventilasi ruang telinga tengah untuk mencegah tekanan negatif di daerah ini. Jika
otitis menyebabkan kerusakan atau fiksasi ossicles, pembedahan dapat
meningkatkan fungsi ossicular. Cholesteatoma adalah penyakit bedah.
Alat bantu dengar berlabuh tulang (BAHA) mungkin bermanfaat pada
beberapa pasien. Contohnya adalah pasien dengan mikrotia, mereka dengan anotia
yang sedang menunggu rekonstruksi aurikular, dan pasien dengan otorrhea
persisten yang tidak dapat menggunakan alat bantu dengar.
Carter et al melaporkan bahwa pendekatan transcanal endoskopi untuk
eksplorasi telinga tengah menawarkan visualisasi yang baik pada pasien anak-
anak dengan CHL dan sangat membantu dengan CHL yang tampaknya tidak
dapat dijelaskan di mana diduga deformitas atau fiksasi atau diskontinuitas okular
dicurigai. Ketika penyebabnya, jika CHL ditemukan secara pasti, maka ia dapat
sering diperbaiki pada posisi yang sama.
b. Gangguan pendengaran sensorineural
SNHL tidak dapat diobati dengan cara bedah selain implantasi koklea. Implantasi
koklea mungkin menjadi pilihan pada beberapa anak, tetapi tidak boleh
disalahartikan sebagai penyembuhan.
2.12 Prgonosis
a. Tuli Konduktif
- Prognosis mungkin baik dengan pengecualian pada kasus
timpanosklerosis (telinga tengah), otitis media rekat kronis, dan beberapa
kasus infeksi kronis seperti kolesteatoma.
- Ruptur traumatis gendang telinga biasanya sembuh meskipun infeksi
sekunder dapat menunda penyembuhan. Kadang-kadang perbaikan bedah
mungkin diperlukan. Ossikuloplasti akan mengembalikan pendengaran
pada sebagian besar kasus diskontinuitas okular. Perawatan otitis media
akut bersifat medis dan prosedur drainase bedah jarang diperlukan.
Penyakit telinga tengah kronis dan kolesteatoma biasanya diobati dengan
pembedahan. Exostosis dipotong dan serumen dikeluarkan secara manual
di bawah mikroskop atau dengan jarum suntik. Otosclerosis dirawat
dengan alat bantu dengar atau dengan operasi.
- Pada timpanosklerosis telinga tengah dan otitis media adhesif,
prognosisnya sangat buruk dalam hal perbaikan bedah dan rekonstruksi
alat telinga tengah sehingga hanya sedikit ahli bedah yang akan
beroperasi. Alat bantu dengar bermanfaat karena gangguan pendengaran
sebagian besar konduktif.

TULI SENSORINEURAL MENDADAK


Tuli mendadak atau Sudden Hearing Loss (SHL) merupakan keluhan yang perlu
mendapat penanganan cepat dan tepat agar dapat memperbaiki fungsi pendengaran dan
kualitas hidup penderita. Tuli sensorineural akibat dari abnormalitas koklea, saraf
koklearis dan struktur yang mengolah impuls neural menuju korteks auditorik di otak.
Tuli mendadak adalah sensasi subjektif kehilangan pendengaran yang terjadi mendadak
dalam 72 jam pada satu atau kedua telinga.
Tuli sensorineural mendadak (SSNHL/sudden sensorineural hearing loss) merupakan
bagian dari tuli mendadak dengan kriteria berdasarkan pemeriksaan audiometri yaitu
adanya penurunan pendengaran >30 desibels (dB) minimal pada 3 frekuensi pemeriksaan
berturut-turut. Umumnya pasien tidak memiliki data audiometri sebelumnya, sehingga
tuli mendadak dibuat berdasarkan ambang pendengaran telinga kontralateral. Tuli
sensorineural mendadak idiopatik (SSNHL idiopatik) merupakan SSNHL dengan
penyebab yang tidak jelas walaupun dengan pemeriksaan yang adekuat.

EPIDEMIOLOGI
Kejadian tuli sensorineural mendadak (SSNHL) sekitar 5-20 kasus pada setiap 100.000
populasi di Amerika Serikat. Insiden yang sebenarnya mungkin jauh melebihi estimasi
tersebut karena adanya kasus-kasus yang mengalami pemulihan cepat tanpa perawatan
medis. Angka kejadian sama besar pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan dan
dapat terjadi pada semua usia dengan puncak insiden pada dekade 5-6. Hampir sebagian
besar kasus berupa tuli unilateral dan hanya 2% bilateral. Gejala penyerta berupa tinnitus
(41-90%) dan dizziness (29- 56%). Hanya 10-15% penyebab SSNHL dapat diidentifikasi
saat pemeriksaan awal sedangkan lebih dari sepertiga kasus penyebabnya diidentifikasi
setelah perawatan jangka panjang.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Sekitar 7-45% pasien SSNHL dapat diidentifikasi penyebabnya (SSNHL non
idiopatik). Suatu meta analisis dari 23 studi SSNHL mengidentifikasi penyebab paling
banyak SSNHL non idiopatik adalah infeksi (12,8%) diikuti dengan penyakit otologi
(4,7%), trauma (4,2%), vaskular atau hematologik (2.8%), neoplastik (2,3%) dan
penyebab lainnya (2,2%) seperti reaksi konversi dan pemberian obat-obat ototoksik.
Lebih dari 90% pasien SSNHL tidak diketahui penyebabnya dan diklasifikasikan sebagai
SSNHL idiopatik. Hipotesis penyebab SSNHL idiopatik yang paling banyak diterima
adalah kelainan vaskular, ruptur membran intrakoklear dan proses infeksi virus. Kelainan
vaskular Aliran darah koklea berasal dari 2 arteri terminal. Kecilnya diameter pembuluh
darah arteri dan tanpa ada pembuluh darah kolateral menyebabkan koklea rentan terhadap
cedera yang melibatkan pembuluh darah. Kelainan vaskular sebagai penyebab SSNHL
bisa juga terjadi akibat adanya perdarahan vaskular akut, oklusi emboli dan penyakit
vaskular, vasospasme atau akibat perubahan viskositas darah.
Ruptur membran intrakoklea Trauma pada koklea dengan robekan atau ruptur pada
membran telinga dalam menyebabkan keluhan kehilangan pendengaran mendadak
disertai dengan sensasi “pop” yang terjadi saat aktivitas berat atau peningkatan tekanan
intrakranial. Akibat dari ruptur membran intrakoklear terjadi percampuran cairan
perilimfe dan endolimfe. Pemeriksaan histopatologi postmortem pada tulang temporal
pasien SSNHL idiopatik menyokong teori ruptur membran sebagai patofisologi SNHL
idiopatik.
Infeksi virus Infeksi atau reaktivasi virus pada telinga dalam menyebabkan terjadinya
inflamasi koklea dan kerusakan struktur telinga dalam. Data klinis, studi hewan invitro
dan studi histopatologi pada tulang temporal pasien SSNHL menyokong etiologi ini.
Peningkatan signifikan kadar serum antibodi antiviral termasuk antibodi terhadap
sitomegalovirus, herpes simplek tipe 1, herpes zoster, influenza B, mumps, enterovirus
dan rubeola berhasil diisolasi dari serum pasien SSNHL idopatik.
Tulang temporal pasien SSNHL idiopatik menunjukkan pola histologis yang sama
dengan labirintitis viral yaitu atropi pada organ korti, membran tektorial, stria vaskularis
dan end organ vestibular.
SSNHL bilateral sangat jarang terjadi dan merupakan kondisi sistemik serius dengan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Mekanisme penyebab umum SSNHL bilateral
adalah toksik, autoimun, neoplastik dan vaskular. SSNHL bilateral merupakan kondisi
emergensi yang membutuhkan penanganan segera untuk menyingkirkan kondisi yang
mengancam jiwa atau kondisi-kondisi yang reversibel.
Apabila pasien dengan dugaan SSNHL yang disertai penyakit dasar seperti gangguan
sistemik, penyakit autoimun, kelainan metabolik, penyakit Meniere bilateral atau disertai
kelainan neurologi tertentu, kemungkinan pasien tersebut bukan SSNHL.
Kerusakan pendengaran secara permanen terjadi akibat rusaknya sel rambut dan
struktur telinga dalam pada pasien SSNHL yang dapat diidentifikasi penyebabnya
(SSNHL non idiopatik). Sebaliknya sebagian besar (85-90%) pasien SSNHL idiopatik
akan mengalami perbaikan fungsi pendengaran.
Studi placebo-kontrol menunjukkan terjadinya perbaikan fungsi pendengaran tanpa
pemberian terapi pada 32-65% pasien (rata-rata 46,7%) umumnya dalam dua minggu
onset. Studi lainnya mendapatkan sekitar 45% pasien SSNHL idiopatik mengalami
perbaikan spontanfungsi pendengaran 10 dB dibandingkan dengan sisi kontralateral.
Lama durasi hilangnya pendengaran dihubungkan dengan kemungkinan perbaikan
pendengaran dan umumnya defisit yang durasinya lebih dari 2-3 bulan menjadi
permanen.

DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan pedoman klinis tuli sensorineural mendadak dari American Academy of
Otolaryngology–Head and Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF) pada tahun 2013
1. Langkah pertama dari penegakan diagnosis tuli mendadak adalah klinisi harus mampu
membedakan tuli sensorineural (SNHL) dengan tuli konduksi (CHL) karena sangat
penting untuk menentukan terapi dan prognosis. Keduanya bisa dibedakan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti tes garputala dan
audiometri. Penanganan tuli konduksi dan tuli sensorineural sangat berbeda misalnya
pada tuli konduksi akibat sumbatan serumen, terapi bisa diberikan secara efektif dan
prognosis baik.
2. Anamnesis yang harus ditanyakan adalah adanya riwayat trauma, nyeri pada telinga
luar dan saluran telinga, drainase telinga, demam dan gejala sistemik lainnya. Pasien
SNHL biasanya melaporkan adanya tinnitus, rasa penuh pada telinga atau vertigo.
Pemeriksaan saluran telinga dan membran timpani penting untuk membedakan CHL
dan SNHL. Penyebab CHL antara lain adanya sumbatan serumen, otitis media, benda
asing, otosklerosis, trauma dan kolesteatoma.
3. Anamnesis lainnya adalah adanya riwayat kehilangan pendengaran unilateral atau
bilateral yang bersifat episodik, adanya vertigo dan gejala neurologi fokal. Pasien
SSNHL dengan riwayat kehilangan pendengaran yang bersifat fluktuatif harus
dievaluasi kemungkinan penyebabnya adalah penyakit Meniere, kelainan autoimun,
sindrom Cogan dan sindrom hiperviskositas. Penyakit Meniere merupakan penyebab
paling sering kehilangan pendengaran fluktuatif yang unilateral. Penyakit telinga
tengah autoimun dan sindrom Cogan biasanya melibatkan telinga bilateral. Semua
kondisi tersebut menyebabkan penurunan pendengaran yang bertahap dan fluktuatif,
namun kadang muncul mendadak sebagai SSNHL.

Tuli mendadak disertai dengan gejala dan tanda neurologis fokal


mengindikasikan keterlibatan sistem saraf pusat. Oklusi arteri auditorik interna paling
sering terlibat dalam mekanisme tuli mendadak unilateral akibat stroke. Arteri
auditorik interna mendapatkan suplai dari arteri serebelar inferior anterior (AICA).
Area yang terkena biasanya adalah pedunkulus serebelum media dan pons lateral.
Hampir sebagian besar infark labirin terkait distribusi AICA dihubungkan dengan
hilangnya pendengaran unilateral dan gangguan vestibular akut. Tuli mendadak
unilateral bisa merupakan manifestasi dari Transient Ischemic Attack pada distribusi
AICA. Gejala yang menyertai tuli mendadak akibat oklusi AICA antara lain sindrom
horner ipsilateral (paresis okulosimpatetik yang terdiri dari miosis, ptosis dan
anhidrosis), diplopia, nistagmus, kelemahan wajah ipsilateral dan kesemutan, ataksia,
vertigo, slurred speech, kekakuan ektremitas unilateral, kehilangan kontrol nyeri dan
suhu kontralateral.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan audiometri nada murni (pure tone audiometry) wajib dikerjakan
untuk diagnosis pasti SSNHL karena dapat membedakan CHL dengan SNHL dan
menetapkan frekuensi ambang pendengaran. Pasien memerlukan pemeriksaan serial
audiometri untuk menilai adanya pemulihan pendengaran, memonitor terapi,
menentukan perlunya rehabilitasi auditorik, skrining adanya relaps dan
menyingkirkan adanya ketulian pada telinga kontralateral. Pemeriksaan garputala
Weber dan Rinne test penting dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan
audiometri atau pada kondisi tidak tersedianya pemeriksaan audiometri.
Pemeriksaan Auditory Brainsteam Response (ABR) digunakan untuk
menyingkirkan adanya lesi pada serebelopontin angle (CPA) atau kanal auditorik
internal (IAC) sebagai penyebab tuli unilateral. ABR sangat berguna pada kondisi
tidak tersedianya MRI atau kontra indikasi dilakukan MRI. Sensitivitas pemeriksaan
ABR untuk mendiagnosis tumor lebih rendah dibandingkan dengan MRI yaitu 88%
dibandingkan dengan 99%.

TERAPI
Terapi SSNHL berdasarkan penyakit dasar pada kasus SSNHL yang dapat
diidentifikasi penyebabnya. Beberapa kasus berpotensi mengalami perbaikan
pendengaran setelah terapi antara lain schwannoma vestibular, gondok dan sifilis
sekunder. Namun pemberian terapi pada sebagian besar kasus SSNHL dari etiologi
yang dapat diidentifikasi tidak memperbaiki tingkat pendengaran kembali seperti
tingkat pre onset.
Terapi SSNHL idiopatik masih kontroversi menyangkut tentang perlu
tidaknya terapi dan pilihan terapinya. Salah satu dasar perdebatan adalah kenyataan
bahwa SSNHL idiopatik sembuh secara spontan pada 45-65% pasien. Pengobatan
SSNHL idiopatik yang sudah diteliti antara lain penggunaan antiinflamasi,
antimikroba, antagonis kalsium, vitamin, mineral esensial, vasodilator, volume
expanders, defibrinogenator, diuretik, oksigen hiperbarik dan bedrest. Kesulitan
pemilihan pengobatan karena banyaknya variasi etiologi SSNHL idiopatik dan
kurangnya hasil terapi tersebut yang menunjukkan secara jelas lebih baik. Sekitar 85-
90% kasus masih belum diketahui penyebab pasti meskipun sudah dilakukan evalusi
pada saat awal muncul gejalanya sehingga umumnya terapi diberikan tanpa
mengetahui penyebabnya. Pemberian kortikosteroid pada SSNHL idiopatik masih
kontroversi, namun adanya konsekuensi serius akibat SSNHL yang berat maka terapi
kortikosteroid merupakan satu dari sedikit pilihan pengobatan yang menunjukkan
bukti adanya efikasi. Pemberian terapi kortikosteroid dapat mengurangi inflamasi dan
edema pada telinga dalam. Penelitian doubleblinded randomized controlled trials pada
67 pasien dengan menggunakan regimen steroid yang berbeda didapatkan perbaikan
pada pasien yang mendapatkan steroid (78%) dibandingkan dengan plasebo (38%).
Pemberian kortikosteroid sebagai terapi awal SSNHL idiopatik memberikan
pemulihan yang baik pada pemberian 2 minggu pertama dan manfaat kecil bila
pemberiannya setelah 4-6 minggu. Direkomendasikan pemberian pengobatan
prednison oral dengan dosis tunggal 1mg/kg/hari maksimal 60 mg/hari selama 10-14
hari. Protokol terapi yang representatif menggunakan pengobatan dengan regimen
dosis maksimal selama 4 hari diikuti dengan tappering 10 mg tiap 2 hari. Dosis
ekuivalen prednison 60 mg setara dengan metilprednisolon 48 mg dan deksametason
10 mg. Efek samping prednison bersifat sistemik akibat penekanan aksis hipotalamus-
hipofisis-adrenal meliputi insomnia, dizziness, kenaikan berat badan, berkeringat,
gastritis, perubahan mood, fotosensitif dan hiperglikemia. Pemberian kortikosteroid
intratimpani merupakan solusi bagi pasien SSNHL idiopatik yang tidak dapat
mentoleransi atau refrakter terhadap terapi steroid sistemik. Kortikosteroid
intratimpani lebih banyak dikerjakan untuk managemen SSNHL yang idiopatik.
Pemberian kortikosteroid intratimpani berupa deksametason 10-24 mg/ml atau
metilprednisolon 30 mg/ml. Pemberian kortikosteroid intratimpani menyebabkan
kadar steroid perilimfe yang lebih tinggi dibandingkan pemberian sistemik dan tidak
diabsorbsi kedalam sirkulasi sistemik sehingga efek sistemik yang timbul juga
minimal.
Terapi oksigen hiperbarik pada kasus SSNHL idiopatik diduga memiliki efek yang
kompleks terhadap imunitas, transpor oksigen dan hemodinamik, mengurangi
hipoksia dan edema serta memicu respon normal terhadap infeksi dan iskemia. Terapi
oksigen hiperbarik diberikan dalam 2 minggu hingga 3 bulan setelah diagnosis
SSNHL dengan cara memberikan oksigen 100% pada tekanan lebih dari 1
atmosphere absolute (ATA) menggunakan chamber khusus untuk meningkatkan
hantaran oksigen menuju kokhlea karena kokhlea sangat sensitif terhadap kondisi
iskemia. Efek samping terapi oksigen hiperbarik berupa gangguan telinga, sinus dan
paru akibat perubahan tekanan (barotrauma), klaustrofobia dan keracunan oksigen.
Terapi oksigen hiperbarik belum mendapat persetujuan FDA namun telah
diimplementasikan untuk terapi SSNHL idiopatik sebagai pengobatan tambahan
berdasarkan tinjauan Cochrane terhadap 7 RCTs yang dipublikasi dari tahun 1985-
2004. Studi prospektif lainnya berupa pemberian terapi oksigen ditambah terapi
standar prednisolon dibandingkan dengan terapi prednisolon saja tidak menemukan
perbedaan signifikan dari kedua regimen tersebut. Terapi farmakologi lainnya berupa
pemberian antivirus, trombolitik, vasodilator, substansi vasoaktif atau antioksidan
secara rutin tidak direkomendasikan pada pasien SSNHL karena belum ada bukti
keberhasilan terapi dengan obat-obat tersebut.

PROGNOSIS
Prognosis SSNHL tergantung pada beberapa faktor antara lain usia pasien, adanya
vertigo saat onset, derajat gangguan pendengaran, karakteristik awal audiometri,
waktu antara onset gangguan pendengaran dengan dimulainya terapi.
Direkomendasikan untuk melakukan follow up jangka panjang sehingga dapat
mengidentifikasi penyebab SSNHL yang mungkin belum ditemukan saat penanganan
awal. Pasien dengan SSNHL idiopatik sangat penting melakukan follow up
audiometri yang menentukan keberhasilan terapi. Follow up pada 156 pasien yang
didiagnosis SSNHL idiopatik 54,5% menunjukkan perbaikan dalam 10 hari meskipun
belum komplit. Perbaikan final dicapai dalam 1 bulan pada 78% pasien, 3 bulan pada
97 pasien dan hanya 0,6% yang perbaikannya mencapai 6 bulan. Sehingga disarankan
untuk melakukan follow up audiometri hingga 6 bulan. Pasien tuli mendadak yang
telah mendapat pengobatan namun ketulian tetap bersifat permanen dan menimbulkan
kecacatan maka dibutuhkan rehabilitasi auditorik.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Speech-Language-Hearing Association. (2015). Type, degree, and


configuration of hearing loss. Audiology Information Series, 10802-10803.
2. Isaacson, J., & Vora, N. M. (2003). Differential diagnosis and treatment of
hearing loss. American family physician, 68(6), 1125-1132.
3. Roberts, A. (2008). Sensorineural Hearing Loss. Synopsis of Causation, Ministry of
Defence, 1-30.
4. Zahnert, T. (2011). The differential diagnosis of hearing loss. Deutsches ärzteblatt
international, 108(25), 433.
5. Novita, S., & Yuwono, N. (2014). Diagnosis dan Tata Laksana Tuli Mendadak. Dari:
http://www. kalbemed. com/Portals/6/07_210Diagnosis, 20.

Anda mungkin juga menyukai