Anda di halaman 1dari 19

3

BAB I
PENDAHULUAN

Meningitis sinonim dengan leptomeningitis yang berarti adanya suatu infeksi selaput otak
yang melibatkan arakhnoid dan piamater. Sedangkan ensefalitis adalah adanya infeksi pada
jaringan parenkim otak. Meningitis otogenik didefenisikan sebagai meningitis bakterial akut
akibat penjalaran infeksi sekunder dari otitis media akut dan kronik, mastoiditis kronik,dan
labirinthitis suppuratif. Komplikasi intrakranial dari otitis media masih merupakan suatu problem
yang penting. Penjalaran infeksi dari otitis dan mastoiditis bisa menimbulkan komplikasi
intrakranial berupa meningitis, brain abscess, ekstradural abscess, lateral sinus thrombosis.
Komplikasi intrakranial dari kasus-kasus otogenik paling sering ditemukan pada pasien-
pasien dengan Meningitis otogenik. Akibat tidak adekuatnya pengobatan dengan antibakterial,
banyak kasus dengan meningitis otogenik bias berlanjut dan menimbulkan Mastoiditis kronik.
Pada beberapa kasus, otitis dan mastoiditis bias menimbulkan Meningitis bakterial akut.3-5
Meningitis merupakan komplikasi intracranial dari otitis media yang paling sering, kemudian
diikuti dengan brain abscess. Menurut Kempf et al (1998), melaporkan bahwa brain abscess
yang paling tinggi angka mortalitasnya.
Adanya pengobatan antibiotika yang adekuat serta tindakan operasi dapat menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas dari meningitis otogenik.





4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ANATOMI TELINGA










Gambar 1. Anatomi Telinga
II.1.1 Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun
telinga terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri
dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan
pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang.
Panjangnya kira-kira 2,5 3 cm.

Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar serumen dan rambut.
Kelenjar keringat terdapat pada seluruh liang telinga.Pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit
dijumpai kelenjar serumen.


5

II.1.2 Telinga tengah
Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari:

Membran timpani yaitu membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara. Berbentuk
bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu
liang telinga. Membran timpani dibagi ats 2 bagian yaitu bagian atas disebut pars flasida
(membrane sharpnell) dimana lapisan luar merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga
sedangkan lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, dan pars tensa merupakan
bagian yang tegang dan memiliki satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari
serat kolagen dan sedikit serat elastin.
Tulang pendengaran yang terdiri dari maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran ini
dalam telinga tengah saling berhubungan.
Tuba eustachius, yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring.
II.1.3 Telinga dalam


Gambar 2. Anatomi Telinga Dalam
3
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut
helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.

6

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibule sebelah atas,
skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibule dan
skala timpani berisi perilimfa sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang
terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dimana cairan perilimfe tinggi akan natrium
dan rendah kalum, sedangkan endolimfe tinggi akan kalium dan rendah natrium. Hal ini penting
untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissners
Membrane) sedangkan skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ
corti yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran.
Organ corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3000) dan tiga baris sel rambut luar (12000).
Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan horizontal dari suatu jungkat jangkit yang
dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel
rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di
atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aselular, dikenal sebagai membrane
tektoria. Membran tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di medial
disebut sebagai limbus.


Gambar 3. Potongan melintang koklea

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang diebut membran tektoria,
dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar
dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.

7

II.2 FISIOLOGI PENDENGARAN
Sampai tingkat tertentu pinna adalah suatu pengumpul suara, sementara liang telinga
karena bentuk dan dimensinya dapat memperbesar suara dalam rentang 2 sampai 4 kHz;
perbesaran pada frekuensi ini adalah sampai 10 hingga 15 Db. Maka suara dalam rentang
frekuensi ini adalah yang paling berbahaya jika ditinjau dari sudut trauma akustik.
Suara bermula dari gelombang tekanan udara, yang akan menggetarkan gendang telinga.
Getaran ini akan disampaikan ke dalam telinga dalam oleh tiga tulang pendengaran, stapes
bergerak ke dalam dan keluar dari telinga dalam seperti piston. Pergerakan pompa ini akan
menimbulkan gelombang tekanan di dalam cairan telinga dalam atau koklea. Pada koklea secara
bergantian akan mengubah gelombang tekanan menjadi aktifitas elektrik di dalam nervus
auditorius yang akan menyampaikan informasi ke otak. Proses transduksi di dalam koklea
membutuhkan fungsi kerjasama dari berbagai jenis tipe sel yang berada di dalam duktus
koklearis. Duktus ini berisi endolimfe, cairan ekstraselular yang kaya akan potassium dan rendah
akan sodium. Ruangan endolimfatik memiliki potensial elektrik yang besar yaitu 100mV.
Komposisi ion dan potensial elektrik dari ruangan endolimfatik dijaga oleh sekelompok sel yang
dikenal sebagai stria vaskularis.

Pada manusia, duktus koklearis berputar sepanjang 35 mm dari dasar koklea (dekat
stapes) hingga ke apeks. Ukuran, massa dan kekakuan dari banyak elemen selulae, terutama pada
organ corti, berubah secara sistematis dari satu ujung spiral ke ujung yang lain. Keadaan ini
menyebabkan pengaturan mekanik sehingga gelombang tekanan yang diproduksi oleh suara
berfrekuensi tinggi menyebabkan organ tersebut bergetar pada basisnya, sedangkan suara
frekuensi rendah menyebabkan getaran pada ujung puncak.

Proses transduksi, dibentuk oleh dua jenis sel sensori pada organ corti, yaitu sel rambut
dalam dan sel rambut luar. Gelombang tekanan yang ditimbulkan suara pada cairan koklea
membengkokkan rambut sensori yang disebut stereosilia, yang berada di atas sel rambut.
Pembengkokan ini akan merenggangkan dan memendekkan ujung penghubung yang
menghubungkann adjasen stereosilia. Ketika ujung penghubung meregang, ini akan
menyebabkan terbukanya kanal ion pada membran stereosilia dan ion K dapat masuk ke dalama
sel rambut dari endolimfe. Masuknya ion K ini menyebabkam perubahan potensial elektrik dari
8

sel rambut, sehingga menyebabkan pelepasan neurotransmitter dari vesikel sinaps pada dasar sel
rambut. Serabut saraf auditorius, yang kontak dengan sel rambut, respon terhadap
neurotransmitter dengan memproduksi potensial aksi, yang akan berjalan sepanjang serabut saraf
unutk mencapai otak dalam sekian seperdetik. Pola aktifitas elektrik yang melalui 40.000 serabut
saraf auditorius diterjemahkan oleh otak dan berakhir dengan sensasi yang kita kenal dengan
pendengaran.
Sel rambut dalam dan sel rambut luar memerankan peranan dasar yang berbeda pada
fungsi telinga dalam. Sebagian besar serabut saraf auditorius kontak hanya dengan sel rambut
dalam. Sel rambut dalam adalah transduser sederhana, yang merubah energy mekanik menjadi
energi listrik. Sel rambut dalam adalah penguat kecil yang dapat meningkatkan getaran mekanik
dari organ corti. Kontribusi sel rambut luar ini penting untuk sensitifitas normal dan selektifitas
frekuensi dari telinga dalam.
II.3 ANATOMI MENINGENS
A. Makroskopis

MENINGES



9

Meninges berfungsi untuk melindungi otak atau medulla spinalis dari benturan atau pengaruh
gravitasi. Fungsi ini diperkuat oleh LCS yang terdapat dalam spatium subarachnoidea.
Meninges terdiri dari:
A. Duramater
Dura = keras, mater = ibu
Merupakan pembungkus SSP plaing luar yang terdiri dari jaringan ikat padat.
Dalam otak membentuk 5 sekat:
1. Falx cerebri
2. Tentorium cerebelli
3. Falx cerebelli
4. Diphragma sellae
5. Kantung Meckelli

Ditempat tertentu, antara lapisan luar dan dalam dura terbentuk ruang yaitu sinus
(venosus) duraematris yang termasuk dalam sistem pembuluh darah bail.
Berdasarkan bagian SSP yang dibungkusnya, dibedakan atas:

1) Duramater Encephali
1. Lapisan luar (lapisan endosteal = lapisan periosteal)
Melekat erat ke periosteum tengkorak (terkuat pada sutura dan basis cranii).
Terdapat jonjot jaringan ikat dan vasa ke periosteum.
Melekat erat pada foramen magnum dan tidak berhubungan dengan lapisan luar
medulla spinalis. Pada tempat tertentu, celah yang terbentuk antara lapisan duramater
dengan periosteum dinamakan cavum epidural.
Isi cavum epidural encephali tidak berhubungan dengan cavum epidural spinalis,
isi cavum epidural:
Jaringan ikat jarang
Sedikit lemak
Plexus venosus
Vena
Arteri
10

Vasa lymphatica

Antara lapisan dalam dan luar dapat terjadi:
- Pembentukan celah sinus (venosus) duramatris
- Pembentukan sekat:

Falx cerebri:
Memisahkan kedua hemispaherum cerebri yang melekat mulai dari sutura
sagitalis memasuki fissura longitudinalis melekat pada crista galli
didepan ke protuberantia occipitale interna dilanjtkan sebagai tentorium
cerebelli.
Sinus (venosus dura) yang dibentuk adalah:
- Pada tepi atas sinus sagitalis superior
- Pada tepi bawah sinus sagitalis inferior
- Pada lanjutan ke tentorium cerebelli ikut membentuk sinus rectus

Tentorium cerebelli
Memisahkan cerebellum dengan bagian occipitale hemicerebri dan ke atas
menyambung menjadi falx cerebri
Pada tepi depan terdapat lobang yang ditembus oleh mesencephalon. Sinus
dura yang dibentuk adalah:
- Kelateral dan belakang sinus transvesus
- Kedepan sinus petrosus superior

Falx cerebelli
Berbentuk segitiga, memisahkan haemispaherum cerebeli kiri dan kanan.

Diphragma sellae
Membentang sepanjang processus clinoidea menutupi hypofisis yang
terletak pada cekungan sella turcica
11

Ditengahnya terdapat lobang tempat keluarnya infundibulum hypofisis
yang dikelilingi oleh sinus cavernosa atau sinus circularis
Kantung Meckelli
Membungkus ganglion semilunare N. Trigeminus

2. Lapisan dalam
Menghadap ke arachnoidea
Dilapisi mesotel (sama dengan mesotel pleura, pericardium pars serosa
dan peritoneum). Menghasilkan serosa yang berfungsi untuk lubrikasi
permukaan dalam duramater dengan permukaan luar arachnoid sehingga
gesekan keduanya dapat diredam dan mencegah kerusakan
Lanjut menjadi lapis dalam duramater spinalis
Antara duramater dengan arachnoid terdapat cavum subdura,
mengandung:
Cairan serosa untuk meredam
Bridging nein menghubungkan antara vena cerebri superior ke
sinus sagitalis superior

2) Duramater spinalis
Lapisan luar melekat pada:
Foramen occipitale magnum, lanjut menjadi dura encephali
Perioceum vertebra cervicalis 2-3
Lig. Longitudinale posterius
Cavum epidural dan subdural
Setinggi os sacrale 2, dura spinalis membungkus fillim terminale dan akhirnya
melekat pada os. Coccygeus
Antara L2 dengan S2 cavum epidural diisi oleh cauda equina yang merupakan
untaian Nn. Spinalis sebelum keluar melalui foramen intervertebralis yang sesuai.
Perlu diketahui, ujung paling bawah medulla spinalis adalah setinggi vertebra
12

lumnal 2 sehingga banyak sekali Nn. Spinalis yang terbentuk diatas dan harus
turun untuk mencapai foremen intervertebralis yang sesui.
Ruang subarachnoid mempunyai pelebaran-pelebaran yang disebut sisterna. Salah
satu pelebaran terbesar adalah sisterna.
ASPEK KLINIS

Benturan benda keras bridging vein putus perdarahan Hematoma subdural
Pada ruang ekstradural/epidural (antara dura dan tulang tengkorak) terdapat alur-alur
A. Meningea media, anterior dan posterior. Jika fraktur melintasi salah satu alur
merusak A. Meningea (paling banyak A. Meningea media) hematoma
ekstradural/epidural
Pembuluh darah yang menembus jaringan otak darah masuk ke jaringan otak
perdarahan intraserebral.

Tambahan:
Kulit kepala yang melekat pada tengkorak merupakan jaringan ikat padat fibrosa
yang dapat bergerak dengan bebas disebut galea aponeurotika yang membantu
meredam kekuatan trauma eksternal.
Diatas galea terdapat lapisan membran, yang mengandung pembuluh darah,
lapisan lemak, kulit dan rambut.
Antara galea dan permukaan luar tengkorak terdapat ruang subaponeurotika yang
berisi V. Diploika dan V. Emisaria yang bertindak sebagai suatu pengaman apabila
terjadi peningkatan intrakranial. Vena ini juga merupakan temoat potensial untuk
infeksi intrakranial.

B. Arachnoidea
Arachnoidea yaitu selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi cairan otak
meliputi seluruh susunan saraf sentral, otak, dan medulla spinalis. Arachnoidea berada
dalam balon yang berisi cairan. Ruang sub arachnoid pada bagian bawah serebelum
merupakan ruangan yang agak besar disebut sistermagna. Ruangan tersebut dapat
13

dimasukkan jarum kedalam melalui foramen magnum untuk mengambil cairan otak, atau
disebut fungsi sub oksipitalis.
1) Arachnoidea Encephali
Permukaan yang menghadap kearah piamater punya pita-pita fibrotik halus :
TRABEKULA ARACHNOIDEA
Pada beberapa tempat menonjol ke sinus daramater : VILLI ARACHNOIDEA
2) Arachnoidea Spinalis
Struktur sama dengan arachnoidea encephali
Ke kranial melalui foramen occipetale magnum lanjut mejdai arachnoidea
encephali
Kaudal ikt membentuk filum terminale
3) Cavum subarachnoidea encephali

C. Piameter
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak. Piameter
berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat. Tepi flak serebri
membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan
darah dari flak serebri tentorium memisahkan serebrum dengan serebelum (Willson,
2006).
1) Piamater Encephali
Membungkus seluruh permukaan otak dan cerebelum termasuk sulci dan gyri
2) Piameter spinalis.
B. MIKROSKOPIK
MENINGES

1. Duramater
Terdiri dari lapisan luar dan lapisan dalam. Lapisan luar atau disebut juga lapisan
endosteum merupakan jaringan ikat padat dengan banyak pembuluh darah dan saraf.
Lapisan dalam atau lapisan fibrosa kurang mengandung pembuluh darah, dilapisi epitel
selapis gepeng di mesoderm.

14

2. Arachnoid
Membran tipis, halus non vaskuler yang melapisi dura
Membran arachnoid dan trabekulanya, tersusun dari serat-serat kolagen halus dan
serat elastis
Semua permukaan dilapisi oleh lapisan yang kontinyu terdiri dari epitel selapis
gepeng.

3. Piamater
Lapisan piamater yang lebih superfisial, tersusun dari anyaman-anyaman jaring serat
kolagen, yang berhubungan dengan arachnoid dan lebih nayat pada medulla spinalis. Lapisan
dalam terdiri dari serat-serat retikular dan elastin yang halus, lapisan tersebut memberi septum
median posterior yang fobrosa ke dalam subtansia medulla spinalis. Permukaan piamater tertutup
epitel selapis gepeng, yang melanjutkan diri menjadi sel-sel yang melapisi jaringan arachnoid.
II.4 EPIDEMIOLOGI
Sekitar 600.000 kasus meningitis terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, dengan
180.000 kematian dan 75.000 gangguan pendengaran yang berat. Setidaknya 25.000 kasus baru
meningitis bakterial muncul tiap tahunnya di Amerika Serikat, tetapi penyakit ini jauh lebih
sering ditemukan di negara-negara sedang berkembang. Sekitar 75% kasus terjadi pada anak-
anak dibawah usia 5 tahun.


Menurut Mawson dan Dawes (1979), penderita yang mengalami meningitis otogenik
akibat komplikasi dari otitis media berumur sekitar 10-20 tahun, sedangkan menurut Soeseno B
(1987) penderita yang mengalami meningitis otogenik akibat komplikasi dari otitis media
berumur sekitar antara 13 18 tahun. Herdiana dan Soeseno B (1996-1999), pada penelitian di
RS Dr. Hasan sadikin Bandung, menjumpai 11 kasus penderita meningitis dari 4160 kasus Otitis
Media Suppurativa Kronik (OMSK) yang datang berobat (0.26%) dengan usia termuda 2 tahun
dan usia tertua 45 tahun. Perbandingan laki-laki dan wanita 8: 3.
Prevalensi meningitis otogenik dilaporkan antara 19 51% pada kasus meningitis
bacterial akut.2 Sedangkan menurut Geyik et al (2002) rasio meningitis oleh karena akut
15

sekunder dan otitis media kronik pada kasus meningitis bakterial akut sekitar 21%.4
Kangsanarak et al (1993) melaporkan kasus-kasus meningitis otogenik berasal dari komplikasi
intracranial 0.24% dan ekstrakranial 0.45%.5 Facial Paralysis, subperiosteal abscess dan
labirynthitis merupakan komplikasi dari group komplikasi ekstrakranial dan meningitis serta
brain abscess paling sering dijumpai pada group komplikasi intrakranial.

II.5 PATOGENESIS DAN ETIOLOGI
Bakteria bisa menyebar ke meningens secara langsung, dari bagian parameningeal seperti
sinus-sinus paranasal dan telinga bagian tengah. Kapsul polisakharida bakteri, lipopolisakharida,
dan lapisan luar protein berperanan untuk invasi dan virulensi kuman. Bakteri dalam SSP akan
mengaktifkan sel lain seperti mikroglia, yang dapat mensekresi IL-1 dan TNF [tumor necrosis
factor] alpha yang akan dipertahankan sebagai antigen dan dalam jalur imunogenik ke limfosit.
Reaksi imun intra SSP ini memicu sebuah sirkulus sejak perangsangan netrofil untuk melepaskan
protease dan mediator toksin lain seperti radikal bebas O2, yang selanjutnya akan meningkatkan
jejas inflamasi pada sawar darah otak, sehingga memudahkan lebih banyak bakteri dan netrofil
yang berada pada sirkulasi untuk masuk ke cairan serebrospinalis. Akhirnya respon inflamasi
yang timbul pada meningitis bacterial akan mengganggu Sawar Darah Otak [Blood Brain
Barier], menyebabkan vasogenik edema, hidrosefalus dan infark serebral.
Sedangkan mekanisme bagaimana bakteri dapat menembus sawar darah otak sampai saat
ini belum jelas. Adanya komponen dinding sel bakteri yang dilepaskan kedalam cairan
serebrospinal merangsang produksi dari sitokine inflamasi seperti Interleukin 1 dan 6,
prostaglandin dan TNF. Semua faktor inilah yang barangkali menginduksi terjadinya inflamasi
dan kerusakan sawar darah otak.
Perkembangan komplikasi intrakranial dari meningitis otogenik dapat terjadi melalui tiga
mekanisme, yakni :
1. Penyebaran langsung infeksi melalui tulang yang berdampingan dengan selaput otak,
misalnya: osteomyelitis ataupun cholesteatoma.
2. Penyebaran infeksi retrograde misalnya thrombophlebitis.
3. Melalui jalan masuk anatomi normal, oval window ataupun round window ke meatus
akustikus internus, kokhlear dan aquaduktus vestibularis, dehisensi terhadap tulang yang
tipis akibat malformasi congenital.
16

Streptococcus pneumonia merupakan bakteri yang predominant sebagai penyebab
meningitis otogenik. Kaftan et al (2000) mengatakan streptococcus pneumonia paling sering
sebagai penyebab komplikasi intracranial otitis media sekitar 64% dan Barry et al (1999)
mengatakan sebanyak 69%.15 Haemophilus influenzae dan Pseudomonas aeroginosa
merupakan penyebab kedua sebagai penyebab meningitis otogenik. Sedangkan mikroorganisma
lainnya yang sering menyebabkan meningitis otogenik adalah: Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Proteus vulgaris, Salmonella, Mycobacterium, Aspergillus
dan Candida sebagai penyebab yang jarang.
Bodur et al (2002) menemukan Proteus vulgaris sebagai kuman penyebab meningitis
pada otitis media kronik, sedangkan Chlostridium spp ditemukan pada isolasi kuman tersebut
pada abscess serebri. Kangsanarak et al (1993) menemukan Proteus spp, Pseudomonas
aeruginosa dan Staphylococcus spp merupakan mokroorganisma yang paling sering diisolasi
pada otitis media suppurativa yang bisa menyebabkan komplikasi intracranial dan ekstrakranial.

II.6 GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari meningitis otogenik biasanya dijumpai kombinasi antara tanda dan
gejala meningitis dan otogenik. Gejala klinis dari meningitis dijumpai adanya demam, sakit
kepala, kaku kuduk, muntah, perubahan dari status mental ataupun kesadaran menurun.
Sedangkan pada otogenik dijumpai adanya otorrhoe, otalgi, gangguan pendengaran, dan vertigo.
Kangsanarak et al (1993) menemukan gejala awal dan tanda yang penting dari
komplikasi intrakranial dari otitis media suppurativa antara lain: demam, sakit kepala, gangguan
vestibular, gejala meningeal dan penurunan kesadaran. Sedangkan Geyik et al (2002) selain
menemukan gejala dan tanda dari meningitis dan otogenik tersebut diatas, juga dijumpainya
gejala fasialis parese yang jarang ditemui. Albers et al (1999) gejala dari meningitis otogenis
yang paling sering dijumpai yakni adanya demam dan sakit kepala.






17

II.7 DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis meningitis otogenik berdasarkan gejala klinis, laboratorium rutin,
lumbal punksi, foto mastoid dan pemeriksaan Head CT-scan.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik:
- adanya penyakit telinga tengah yang mendasarinya, seperti otitis media dan
mastoiditis.
- Adanya tanda-tanda dan gejala meningitis, seperti demam, kaku kuduk dan
kesadaran menurun.
b. Laboratorium rutin:
- Adanya peningkatan dari lekosit dan LED [laju endapan darah] yang
menunjukkan proses infeksi akut shift to the left
c. Lumbal Punksi:
Untuk membedakan meningitis bakterial, viral dan jamur.
d. Foto Mastoid
Dapat dilihat gambaran opacity dengan pembentukan pus, hilangnya selulae
mastoid, kolesteatoma, dan kadang-kadang gambaran abscess.
e. Head CT-scan
Adanya gambaran mastoiditis dan cerebral edema, hidrosefalus, abscess serebral,
subdural empyema, dan lain-lain.

II.8 DIAGNOSA BANDING
1. Abscess Serebral
Merupakan radang suppurativa lokal pada jaringan otak dan penyebab yang
terbanyak dari abscess di lobus temporal. Mikroorganisma penyebab bisa bakteri aerob
dan anaerob. Streptococci, staphylococci, proteus, E.coli, pseudomonas merupakan
organisma yang terbanyak. Abscess Serebral dapat terjadi oleh karena penyebaran
bakteria piogenik secara langsung akibat infeksi dari otitis media, mastoiditis ataupun
sinus paranasal. Gejala klinis dari abscess serebral: Nyeri kepala yang progressif, demam,
muntah, papiledema, bradikardi, serta hemiparesis dan homonymous hemianopia.

18

Pada pemeriksaan laboratorium dan cairan serebrospinal biasanya tidak
memberikan hasil yang spesifik. Pada pemeriksaan CT scan tanpa kontrast (Non-contrast
Computerized Tomography/ NCCT), stadium serebritis pada permulaannya nampak
sebagai suatu area hipodens di white matter dengan batas yang tidak jelas dan efek masa
regional ataupun yang menyebar luas yang menggambarkan kongesti vaskuler dan edema
pada pada pemberian kontrast (Contrast Enhancement Computerized
Tomography/CECT) enhancement bisa dijumpai atau hanya sedikit. Dan pada
perkembangan proses inflamasi selanjutnya terjadi perlunakan otak (softening) dan
petechial hemorrhage, yang menggambarkan kerusakan sawar darah otak progressif.
Pada stadium ini, CECT menunjukkan area bercorak yang tidak teratur yang enhance,
terutama di gray matter.
Dalam mengevaluasi serebritis tahap dini, pemeriksaan MRI lebih akurat dari
pada Head CT-scan. Oleh karena sensitivitasnya terhadap perubahan kandungan air, MRI
dapat mendeteksi perubahan infeksi pada fase permulaan dengan cepat. T1-W1
menunjukkan hipointensitas yang ringan dan efek massa. Sering terlihat sulkus yang
menghilang. Pada T2-W1 nampak hiperintensitas dari area inflamasi sentral dan edema
sekelilingnya.
2. Empiema subdural
Empiema subdural biasanya merupakan komplikasi dari sinusitis paranasalis dan
dapat sangat mirip dengan absess serebri. Gejala klinis ditandai dengan peninggian
tekanan intracranial seperti sakit kepala, muntah proyektil dan kejang. Gambaran MRI
dan CT scan akan membedakan kedua kondisi ini.
3. Lateral Sinus Thrombosis
Merupakan suatu thrombophlebitis dari lateral sinus dan merupakan komplikasi
intrakranial dari otitis media yang sangat berbahaya. Gejala klinis : demam yang
intermitten meningkat secara irreguler, kedinginan, nyeri kepala, anemia serta adanya
tanda Greisingers [adanya edema pada daerah post auricular yang melalui vena emissary
mastoid]. Pada funduscopi terlihat adanya papil edema.



19

II.9 PENATALAKSANAAN
A. TERAPI KONSERVATIF/MEDIKAL
A.1. Antibiotika
Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur
darah dan Lumbal Punksi guna pembrian antibiotika disesuaikan dengan kuman
penyebab.
Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik tergantung pada
pemilihan antibiotika yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri penyebab
serta perubahan dari sumber dasar infeksi. Bakteriologikal dan respons gejala
klinis kemungkinan akan menjadi lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling
sedikit 14 hari setelah hasil kultur CSF akan menjadi negatif.
A.2. Kortikosteroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri,
mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan
penetrasi antibiotika ke dalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan
abses, oleh karena itu penggunaaan secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu
kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan untuk tujuan mengurangi efek masa
atau edema pada herniasi yang mengancam dan menimbulkan deficit neurologik
fokal.
Lebel et al (1988) melakukan penelitian pada 200 bayi dan anak yang
menderita meningitis bacterial karena H. influenzae dan mendapat terapi
deksamethason 0,15 mg/kgBB/x tiap 6 jam selama 4 hari, 20 menit sebelum
pemberian antibiotika. Ternyata pada pemeriksaan 24 jam kemudian didapatkan
penurunan tekanan CSF, peningkatan kadar glukosa CSF dan penurunan kadar
protein CSF. Yang mengesankan dari penelitian ini bahwa gejala sisa berupa
gangguan pendengaran pada kelompok yang mendapatkan deksamethason adalah
lebih rendah dibandingkan kontrol.
Tunkel dan Scheld (1995) menganjurkan pemberian deksamethason hanya
pada penderita dengan resiko tinggi, atau pada penderita dengan status mental
sangat terganggu, edema otak atau tekanan intrakranial tinggi. Hal ini mengingat
efek samping penggunaan deksamethason yang cukup banyak seperti perdarahan
20

traktus gastrointestinal, penurunan fungsi imun seluler sehingga menjadi peka
terhadap patogen lain dan mengurangi penetrasi antibiotika kedalam CSF.

II.10 KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat pengobatan yang tidak sempurna atau
pengobatan yang terlambat. Komplikasi yang sering terjadi akibat meningitis otogenik adalah
efusi subdural, empiema subdural, ventrikulitis, abses serebri, gejala sisa neurologis berupa
paresis sampai deserebrasi, epilepsi maupun meningitis yang berulang. Pada anak-anak dapat
mengakibatkan epilepsi, retardasi mental dan hidrosefalus akibat sumbatan pada saluran CSF
ataupun produksi CSF yang berlebihan. Selain itu juga bisa terjadi deafness.

II.11 PROGNOSIS
Angka morbiditas dari otitis media suppurativa dengan komplikasi ekstrakranial dan
intrakranial adalah 14,3 % dan 27,9 %. Gangguan gejala sisa neurologik dicatat sebanyak 14%
pasien dan yang meninggal akibat komplikasi intrakranial otogenik sebanyak 14%. 5 Sejak era
pemakaian antibiotika, angka mortalitas dari meningitis bakterial menurun tajam dan dilaporkan
berada diantara 8%- 36%. Sedangkan peneliti lain Kaftan et al (2000) melaporkan angka
mortalitas 10% dan Kangsanarak et al (1993) sekitar 18,6%.5,15 Geyik et al (2002) pada
penelitian secara univariat, melaporkan status koma pasien, pengobatan antibiotika yang tidak
sempurna, dan peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR) berhubungan secara
singnifican dengan tingginya resiko kematian.










21

BAB III
KESIMPULAN

Meningitis otogenik didefinisikan sebagai meningitis bakterial akut akibat penjalaran
infeksi sekunder dari otitis media akut dan kronik, mastoiditis kronik, dan labirinthitis suppuratif.
Faktorfaktor penyebab meningitis otogenik banyak antara lain virulensi bakteri, pelepasan
sitokin (interleukin-1, interleukin-6, TNF alpha), perubahan permeabilitas dari sawar darah otak,
serta menimbulkan kerusakan dari sel-sel neuron. Streptococcus pneumonia merupakan bakteri
yang predominant sebagai penyebab meningitis otogenik. Haemophylus influenzae dan
P.aeruginosa merupakan penyebab kedua dan staphylococcus aureus ataupun mikroorganisma
lain merupakan penyebab yang terjarang. Penegakkan diagnosis meningitis otogenik didasarkan
kepada gejala dan tanda klinis dan pemeriksaan laboratorium, terutama analisa cairan
serebrospinal. Yang paling penting penegakkan diagnosa dengan suspek meningitis otogenik
adalah penanganan penderita secepat mungkin. Adanya pengobatan dengan antibiotika yang
adekuat serta tindakan operasi dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari
meningitis otogenik.

Anda mungkin juga menyukai