Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

KARSINOMA NASOFARING

Disusun Oleh :

Desi Arisanti

112016172

Dokter Pembimbing :

dr. Hari Haksono, Sp.THT-KL., Sp. KP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN

TELINGA HIDUNG TENGGOROK

RSAU dr. ESNAWAN ANTARIKSA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 06 November 2017 – 09 Desember 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat berjudul “Karsinoma Nasofaring” ini dibuat
dengan tujuan sebagai salah satu syarat kelulusan dalam Kepaniteraan Klinik THT di RSAU Dr.
Esnawan Antariksa. Dalam pembuatan tinjauan pustaka dari laporan kasus ini, penulis
mengambil referensi dari literatur dan jaringan internet.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing, dr. Hari
Haksono, Sp.THT-KL, Sp.KP., yang telah memberikan bimbingannya dalam proses
penyelesaian referat ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam
mencari referensi yang lebih baik.

Penulis sadar bahwa dalam pembuatan referat ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu
penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang membangun
dalam perbaikan.

Penulis berharap agar referat ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan bagi pihak yang memerlukan khususnya bagi penulis sendiri.

Jakarta, 26 November 2017

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul pada daerah nasofaring (area
di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang menunjukkan bukti adanya diferensiasi
skuamosa mikroskopik ringan atau ultrastruktur.1,2 Dimana menurut penelitian Adham (2012) di
Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker payudara, kanker leher
rahim, dan kanker paru.3

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu masalah, hal ini
karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang
tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering
terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin
terlambatnya diagnosis maka prognosis semakin buruk.

Oleh karena itu, melakukan pencegahan itu lebih baik. Pencegahan yang dapat dilakukan,
misalnya dengan menghindari faktor-faktor risiko yang diduga menjadi salah satu penyebab
terjadinya ca nasofaring.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI

Di dalam buku ajar ilmu penyakit telinga, hidung, dan tenggorok oleh Herawati S dkk (2004)
menyebutkan bahwa jika mulut dibuka dan lidah ditekan dengan spatula lidah, akan tampak
ismus fausium yang dibentuk oleh arkus palatoglosus atau disebut arkus anterior dan palatofaring
atau disebut arkus posterior kanan dan kiri dengan uvula di garis median. Pada dasar didapatkan
radiks lingua. Ismus fausium merupakan batas dan sekaligus penghubung antara faring dan
kavum oris. Arkus palatoglosus dibentuk oleh muskulus palatoglosus, sedangkan arkus
palatofaring dibentuk oleh muskulus palatofaring. Palatum mole melekat pada dasar tengkorak
oleh adanya dua otot, yaitu muskulus Tensor palatine dan muskulus Levator veli palatine, sedang
tepi posterior dari palatum mole bebas dan di garis tengah memanjang dengan ukuran yang
bervariasi, disebut uvula. Kedua arkus faring membatasi suatu cekungan yang disebut fosa tonsil
tempat tonsil palatine didapatkan. Faring dibagi menjadi tiga bagian, yaitu nasofaring atau
epifaring, orofaring atau mesofaring, dan laringofaring atau hipofaring.4

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral. Batas-batas
nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris, batas
anterior adalah koana dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra servikal dan batas
inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring.
Batas nasofaring:4
a) Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
b) Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat
subjektif karena tergantung dari palatum durum.
c) Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
d) Posterior : vertebra cervicalis I dan II, Fascia space = rongga yang berisi jaringan
longgar, Mukosa lanjutan dari mukosa atas
e) Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
- Muara tuba eustachii
- Fossa rosenmulleri

4
FISIOLOGI

Fungsi nasofaring:4

- Sebagai jalan udara pada respirasi


- Jalan udara ke tuba eustachii
- Resonator
- Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

HISTOLOGI

Di dalam buku ajar THT Michaels et al (2001), mengatakan bahwa mukosa nasofaring dilapisi
oleh epitel bersilia repiratory type. Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun
bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition
zone). Mukosa mengalami invaginasi membentuk kripta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan
terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi
dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern.
Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga
hidung.5

DEFINISI

Berdasarkan Hsu (2009) dan Soepardi (2015), karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan
karsinoma yang muncul pada daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung),
yang menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau ultrastruktur.1,2

ETIOLOGI

Menurut Hsu et al (2009), etiologi karsinoma nasofaring bersifat multifaktorial. faktor infeksi
virus Epstein Barr sangat dominan untuk terjadinya karsinoma nasofaring tetapi faktor non viral
seperti konsumsi ikan asin, kebiasaan merokok, pengawet makanan, asap kayu bakar, obat
nyamuk bakar, infeksi saluran pernafasan atas berulang dan genetik dilaporkan berhubungan
dengan kejadian karsinoma nasofaring.1

5
Disebutkan dalam penelitain Chang et al (2006), penyebab kanker nasofaring sangat unik dan
sulit untuk dijelaskan. Antibodi terhadap virus Epstein Barr ditemukan pada serum pasien
kanker nasofaring dan pada beberapa penelitian ditemukan peningkatan yang sangat signifikan
dari kadar antibodi Epstein Barr antibodi. Perbedaan ras, etnik, geografi, lingkungan dan
genetik berkontribusi untuk timbulnya karsinoma nasofaring. Pada beberapa literatur
dikatakan juga bahwa konsumsi makanan dengan bahan pengawet, asap rokok, ikan asin,
riwayat infeksi saluran nafas atas berulang, menghirup asap obat nyamuk bakar dan asap kayu
bakar dapat meningkatkan kejadian kanker nasofaring.6

a. Asap Rokok
Hsu et al (2009), menyatakan bahwa pada banyak penelitian dikatakan bahwa merokok
berhubungan dengan terjadinya keganasan ini. Merokok dapat meningkatkan serum anti-EBV.
Serum anti-EBV merupakan marker yang digunakan untuk menilai adanya proses keganasan
pada nasofaring, anti-EBV ini terbagi dua yaitu serum anti EBV viral capsid antigen
immunoglobulin A dan anti EBV DNase. Peningkatan marker anti-EBV positif dapat dimiliki
pada orang-orang yang memiliki kebiasaan merokok aktif selama lebih dari 20 tahun.1

Pada penelitian di Amerika dalam penelitian yang dinyatakan oleh Ekburaranawat (2010) dan
Hsu (2009) bahwa dua pertiga kanker nasofaring WHO tipe 1 disebabkan oleh asap rokok tetapi
kanker nasofaring WHO tipe 2 dan 3 tidak berhubungan dengan asap rokok. Asap rokok
mengandung sekitar 4000 senyawa kimia dan lebih dari 60 senyawa kimia tersebut bersifat
karsinogen. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada perokok berat insiden kanker
nasofaring meningkat 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan yang bukan perokok. Perokok aktif
dengan konsumsi kumulatif rokok lebih dari 30 bungkus dalam setahun dapat meningkatkan
kejadian karsinoma nasofaring dibandingkan dengan perokok aktif yang menghabiskan kurang
dari 30 bungkus dalam setahun.1,7

b. Ikan Asin
Di dalam buku Head and Neck Surgery Otolaryngology oleh Wei et al (2006), menyebutkan
konsumsi ikan asin merupakan salah satu penyebab karsinoma nasofaring yang sering
dilaporkan, mungkin ini berkaitan dengan substansi karsinogen yang terdapat didalamnya yaitu

6
nitrosamine. Nitrosamin adalah suatu molekul yang terdiri dari nitrogen dan oksigen, molekul
tersebut dapat berbentuk senyawa nitrit dan NOx yang terdiri dari senyawa amino dan senyawa
campuran nitroso.8

Sumber utama nitrosamine menurut Gaeran, dkk (2011) dapat berasal dari eksogen maupun
endogen, nitrosamin endogen berasal dari sintesis didalam lambung dari precursor yang berasal
dari makanan yang dicerna, sedangkan nitrosamin eksogen berasal dari makanan, rokok, emisi
industri dan bahan kosmetik yang mengandung nitrosamin itu sendiri. Nitrosamin dapat berbagai
bentuk senyawa kimia diantaranya Nnitrosodimethylamine (NDMA), N-nitrosodiethylamine
(NDEA), N-nitromorpholine (NMOR), selain itu nitrosamine dapat juga berupa senyawa industri
seperti N nitrosodiisopropylamine (NDiPA), Nnitrosodibutylamine (NDPA), N-nitrosopiperidine
(NPip), N-nitrosopyrrolidine (NPyr), N nitrosomethylphenylamine NEPhA). Sekitar 80% dari
total nitrosamin terbanyak dalam bentuk senyawa nitrosodimethylamine (NDMA). NDMA
terutama diabsorpsi di saluran pernafasan, saluran pencernaan dan terkadang pada kulit. Proses
keganasan dapat terjadi akibat metabolisme nitrosamine yang diaktivasi oleh mekanisme
oksidasi sehingga terjadi mutasi DNA.9

c. Formaldehid
Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA) dalam penelitian Pinkerton
dan Marsh menyebutkan bahwa standar pajanan maksimal formaldehid yaitu 2 ppm dalam STEL
( Short Term Exposure Limit) dan standart pajanan maksimal 0,75 ppm dalam waktu 8 jam
TWA ( Time Weight Average). Gas formaldehid dapat menyebabkan kanker pada rongga
hidung, nasofaring, laring, mulut dan kelenjar ludah. Pada penelitian para pekerja dibidang
patologi, anatomi, kremasi mayat dan pekerja lain yang terpapar formaldehid dikatakan bahwa
zat formaldehid dapat meningkatkan risiko terkenanya kanker otak, leukemia, kanker rongga
hidung dan sinus paranasal serta kanker nasofaring.10,11

d. Genetik
Chang et al (2006), menyatakan faktor genetik berperanan penting sebagai etiologi karsinoma
nasofaring. Riwayat keluarga dengan salah satu anggota keluarga penderita karsinoma

7
nasofaring meningkatkan kemungkinan salah satu anggota keluarga mendapatkan keganasan
nasofaring.6

e. Asap Kayu Bakar dan Debu kayu


Risiko terjadinya kanker nasofaring dalam penelitian Ma (2010) dan Armstrong (2000) akan
meningkat terhadap paparan debu kayu yang terakumulasi dalam jangka waktu lama. Debu kayu
menyebabkan iritasi dan inflamasi pada epitel nasofaring sehingga mengurangi bersihan
mukosiliar dan perubahan sel epitel di nasofaring. Partikel debu berukuran sedang (5-10 µm)
mudah diserap di daerah faring. Beberapa penelitian epidemiologi menemukan bahwa faktor
risiko timbulnya karsinoma nasofaring meningkat pada orang-orang yang terpapar dengan debu
kayu dan semua hal tersebut tergantung dari lama dan dosis paparan. Selain itu salah satu faktor
risiko lainnya adalah orang-orang yang bekerja pada suhu tinggi dan lingkungan kerja yang
mudah terbakar.12,13

Di dalam jurnal Guo X, dkk (2009) menyatakan bahwa nasofaring merupakan daerah utama
terperangkapnya partikel berukuran menengah (5-10 µm) dari partikel-partikel inhalasi sehingga
memudahkan penyerapan zat kimia kedalam epitel nasofaring dan zat inhalasi ini bersifat
karsinogen sebagai faktor risiko timbulnya karsinoma nasofaring. Paparan asap kayu hasil dari
pembakaran kayu bakar untuk memasak selama lebih dari 10 tahun dapat meningkatkan kejadian
kanker nasofaring sekitar 6 kali lipat.14

f. Infeksi Kronik Telinga-Hidung-Tenggorok


Pada beberapa penelitian dalam jurnal Liu et al (2001), mengungkapkan bahwa infeksi kronik
berulang pada telinga-hidung-tenggorok serta saluran nafas bagian bawah meningkatkan 2 kali
lipat kejadian karsinoma nasofaring. Beberapa bakteri dapat merubah Nitrat menjadi Nitrit
sehingga menghasilkan struktur kimia yang bersifat karsinogenik yaitu campuran N-Nitroso.
Bahan-bahan kimia yang bersifat karsinogenik seperti deposit aerosol pada nasofaring
menyebabkan perubahan struktur sel didaerah tersebut.15

8
EPIDEMIOLOGI

Menurut penelitian Adham (2012) di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4
setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru.3 Sedangkan berdasarkan
GLOBOCAN 2012 dalam penelitian Ferlay (2015) menyebutkan bahwa:16
o 87.000 kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru
terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan)
o 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan)

KNF terutama ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita adalah
2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun. Angka kejadian tertinggi di dunia
terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni sebesar 40 - 50 kasus kanker nasofaring
diantara 100.000 penduduk. Kanker nasofaring sangat jarang ditemukan di daerah Eropa dan
Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar <1/100.000 penduduk.17

FAKTOR RISIKO
Menurut Kementerian Indonesia (2017) yang menjadi faktor risiko ca nasofaring, diantaranya :
jenis kelamin wanita, ras Asia dan Afrika Utara, umur 30-50 tahun, makanan yang diawetkan,
infeksi Virus Epstein-Barr, Riwayat keluarga, faktor gen HLA (Human Leokcyte Antigen) dan
genetik, merokok, minum alkohol.17

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi menurut Paulio et al (2016) berasal dari deteksi virus nuklir Epstein-Barr (EBV)
dan DNA virus pada karsinoma nasofaring telah menunjukkan bahwa EBV dapat menginfeksi
sel epitel dan dikaitkan dengan transformasi ganasnya. Salinan genom EBV telah ditemukan di
sel-sel lesi preinflamasi, menunjukkan bahwa hal itu berkaitan langsung dengan proses
transformasi.18

9
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Endoskopi
Di dalam penelitian Vlantis AC, dkk (2010) mengatakan bahwa endoskopi memainkan peran
kunci dalam deteksi awal lesi KNF, dan biopsi endoskopik memungkinkan diagnosis definitif
KNF. Endoskopi menilai ekstensi tumor di permukaan mukosa nasofaring. Lesi awal biasanya
terjadi di dinding lateral atau atap nasofaring. Tetapi prosedur ini tidak dapat menentukan
pertumbuhan spasial tumor seperti ekstensi mendalam dan penyebaran intrakranial. Endoskopi
bertujuan menilai nasofaring untuk memprediksi kemungkinan KNF, namun terkadang sulit,
terutama pada lesi kecil di fossa Rossenmuller, tonjolan kecil atau asimetri di atap. Jika KNF
diduga kuat, pemeriksaan pencitraan yang tepat dan/ atau biopsi mukosa nasofaring dianjurkan
bahkan jika permukaan mukosa berpenampilan normal.19

Serologi
Lie (2010) dan Ji et al (2007), menyebutkan diagnosis KNF ditunjang beberapa pemeriksaan
tambahan yaitu pemeriksaan serologi, misalnya imunoglobulin A anti-viral capsid antigen (Ig
anti-VCA), Ig G anti-early antigen (EA), imunohistokimia, dan polymerase chain reaction
(PCR). Pemeriksaan serologi dapat dilakukan sebagai skrining untuk deteksi dini, sering
mendahului munculnya KNF dan berfungsi sebagai petanda tumor remisi dan kekambuhan. Ji, et
al, melaporkan window period selama 3 tahun sesudah peningkatan antibodi dan menetap tinggi
sampai muncul gejala klinis.20,21

Bentuk endemik KNF dikaitkan dengan VEB, meskipun peran VEB yang tepat dalam
patogenesis KNF masih belum jelas. Deteksi antibodi IgG (dijumpai pada masa awal infeksi
virus) dan antibodi IgA VCA mendukung diagnosis karsinoma nasofaring. Titer antibody IgA
untuk VEB viral capsid antigen (EBV-IgAVCA) dan VEB antigen awal (EBV-EA) pada
pemeriksaan immunofluorescent dapat digunakan untuk skrining KNF. Peningkatan titer IgA
antibodi pada VEB viral capsid antigen (VCA) biasa ditemukan pada pasien KNF. Antibodi
terhadap VEB baik IgG maupun IgA penderita KNF meningkat 8-10 kali lebih tinggi
dibandingkan penderita tumor lain atau orang sehat. Peningkatan titer IgA ini dapat diketahui
sebelum perkembangan KNF dan berkorelasi dengan besar tumor, remisi, dan rekurensi. Dalam
beberapa tahun terakhir, tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) yang menggunakan

10
antigen VEB rekombinan dimurnikan makin dianjurkan untuk menggantikan immunofluorescent
tradisional. Virus juga dapat dideteksi pada tumor dengan pemeriksaan hibridisasi in situ dan
teknik imunohistokimia. Selain itu, dapat juga dideteksi dengan teknik PCR pada material
aspirasi biopsi jarum metastasis kelenjar getah bening leher.20,21

Radiologi
Menurut Kemeterian Indonesia (2017) dalam panduan penatalaksanaan nasofaring, ada beberapa
pemeriksaan radiologi yang bisa dilakukan, baik berguna untuk mendukung diagnosis atau pun
melihat penyebaran tumornya.17
a. CT-Scan

Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai setinggi sinus frontalis sampai dengan
klavikula, potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian
kontras dengan injector 1-2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT berguna untuk melihat tumor
primer dan penyebaran ke jaringan sekitarnya serta penyebaran kelenjar getah bening regional.

b. USG Abdomen

Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila dapat keraguan pada kelainan
yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT Scan Abdomen dengan kontras.

c. Foto Thoraks

Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai adanya kelainan maka dilanjutkan
dengan CT Scan Thoraks dengan kontras.

d. Bone Scan
Untuk melihat metastasis tulang.

Histopatologi
Di dalam buku Medical radiology - radiation oncology oleh Brady et al (2010) menyebutkan
epitel permukaan mukosa nasofaring berupa epitel skuamosa dan epitel pseudostratified
columnar. Epitel sel maligna pada KNF adalah sel poligonal besar tanpa karakter sinsitial.
Nukleusnya bulat atau oval dengan sedikit nukleoli berbeda-beda, berhubungan erat dengan

11
jaringan limfoid, sehingga disebut juga limfoepitelioma. Gambaran histology daerah lateral
nasofaring merupakan epitel transisional antara perbatasan epitel respiratori pseudostratified
columnar dan epitel skuamosa yang mana merupakan area paling sering terjadinya karsinoma
nasofaring. Sedangkan untuk klasifikasi gambaran histopatologi KNF (Shanmugaratnam) yang
direkomendasikan oleh WHO terdiri dari 3 tipe, yaitu:
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (WHO tipe I)
2. Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin (WHO tipe II)
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (WHO tipe III).

Menurut buku karangan Brady et al (2010) juga menyebutkan tipe KNF terbanyak adalah tipe III
(karsinoma tidak berdiferensiasi); dikenal juga beberapa tipe anaplastik dan poorly differentiated
terdiri dari sel primitif dengan gambaran sel yang mempunyai satu nukleus, nukleolus yang jelas,
dan kadang kadang terdapat vesikel di nukleus.22

Tipe 1 : Karsinoma sel skuamosa berkeratin

Gambar 1. Karsinoma sel skuamosa nasofaring keratinisasi, terdiferensiasi dengan baik. A.


Tumor menunjukkan invasi ke stroma. B Pulau-pulau karsinoma yang tidak teratur menyusup ke
stroma desmoplastik yang melimpah. Sel tumor menunjukkan diferensiasi skuamosa dan
keratinisasi yang jelas.23

12
Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin

Gambar 2. Karsinoma non keratinisasi nasofaring. Pulau tumor terlihat jelas di stroma limfoid.23

Gambar 3. Nasopharyngeal nonkeratinizing carcinoma. This example is accompanied by an


abundant desmoplastic stroma.23

13
Tipe 3 : Karsinoma tidak berdiferensiasi

Gambar 3. Nasopharyngeal nonkeratinizing carcinoma, undifferentiated subtype. A So-called


lymphoepithelial carcinoma, characterized by lymphoid cells apparently breaking up the tumour
into tiny aggregates, rendering it difficult to appreciate the epithelial nature of the neoplasm. B
This case comprises spindly cells with dark-staining nuclei and inconspicuous nucleoli. C
Among the carcinoma cells with vesicular nuclei, there can be tumour cels with a shrunken
appearance and dark-staining nuclei. D Some examples show many amyloid globules among the
tumour cells. Some globules are intracellular, and displace the nucleus of the tumour cells to one
pole. 23

DIAGNOSIS BANDING

Pada buku Medical radiology-radiation oncology karangan Brady (2010), kanker nasofaring juga
dapat didiagnosis banding dengan hipertrofi adenoid, namun biasanya adenoid memiliki
permukaan licin, alur longitudinal, dan letaknya di tengah nasofaring. Pada laki-laki remaja
dapat pula dibandingkan dengan angiofibroma juvenil, hal ini dapat dikonfirmasi dengan
endoskopi dan pemeriksaan MRI. Tumor lain di nasofaring di antaranya adalah limfoma,
karsinoma sinonasal, chordoma, rhabdomyosarcoma, melanoma, dan teratoma. Pada pasien
dengan benjolan leher, harus dilakukan biopsi nodus. Benjolan leher dapat terjadi pada kondisi
infeksi atau inflamasi, limfoma, atau tumor ganas regio kepala leher ataupun bagian tubuh lain.22

14
1. Angiofibroma Juvenile, merupakan tumor yang terdiri dari 2 macam jaringan,yaitu
jaringan vascular dan jaringan fibrosa.Pada pemeriksaan radiologis dengan
menggunakan foto polos didapatkan gambaran massa jaringan lunak di nasofaring
ataupun dapat digunakan pemeriksaan yang lebih sensitive seperti CT-Scan, MRI, dan
angiografi.
2. Limfoma, terlihat licin, eksofitik, submucosal, nonulseratif. Limfoma yang terjadi di
nasofaring biasanya dapat terdeteksi lebih cepat daripada di daerah lain, karena akibat
dari oklusi tuba Eustachius menyebabkan munculnya penyakit otitis media serosa.

GEJALA KLINIS

Berdasarkan buku head and neck surgery, surgical pathology, dan buku ilmu penyakit telinga
hidung tenggorokan gejala atau manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring dapat dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala tumor di leher,
gejala mata dan gejala saraf.4,24,25,26
1. Gejala Hidung/Nasofaring
Harus dicurigai adanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala:
 Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita usia lebih
dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan.
 Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih jika terdapat
titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus paranasal.
 Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari hidung
(epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan pemeriksaan hidung tidak
ada kelainan.
2. Gejala Telinga
Gejala pada telinga umumnya berupa pendengaran yang berkurang, telinga terasa penuh seperti
terisi air, berdengung (tinitus) dan nyeri (otalgia). Gangguan pendengaran yang terjadi biasanya
berupa tuli hantaran dan terjadi bila ada perluasan tumor atau karsinoma nasofaring ke sekitar
tuba, sehingga terjadi sumbatan.

15
3. Gejala Tumor Leher
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari
karsinoma nasofaring. Penyebaran ini bisa terjadi unilateral maupun bilateral. Spesifitas tumor
leher sebagai metastase karsinoma nasofaring adalah letak tumor di ujung prosesus mastoid, di
belakang angulus mandibula, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras dan tidak mudah
bergerak. Kecurigaan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring, tonsil,
hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.

4. Gejala Mata
Penderita akan mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila ditanyakan secara teliti,
penderita akan menerangkan bahwa ia melihat sesuatu menjadi dua atau dobel. Jelas yang
dimaksud di sini adalah diplopia. Hal ini terjadi karena kelumpuhan N.VI yang letaknya di atas
foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan lain yang dapat
memberikan gejala mata adalah karena kelumpuhan N.III dan N.IV, sehingga menyebabkan
kelumpuhan mata yang disebut dengan oftalmoplegia. Bila perluasan tumor mengenai kiasma
optikus dan N.II maka penderita dapat mengalami kebutaan.

5. Gejala Saraf
Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranialis biasanya didahului oleh beberapa gejala subyektif
yang dirasakan sangat menganggu oleh penderita seperti nyeri kepala atau kepala terasa
berputar, hipoestesia pada daerah pipi dan hidung, dan kadang mengeluh sulit menelan
(disfagia). Tidak jarang ditemukan gejala neuralgia trigeminal oleh ahli saraf saat belum ada
keluhan yang berarti. Proses karsinoma yang lebih lanjut akan mengenai N. IX, X, XI, dan XII
jika perjalanan melalui foramen jugulare. Gangguan ini disebut dengan sindrom Jackson. Bila
sudah mengenai seluruh saraf kranial disebut dengan sindrom unilateral. Dapat pula disertai
dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah demikian prognosisnya menjadi buruk.

16
STADIUM KARSINOMA NASOFARING

Tabel 1. The International Union Against Cancer (UICC) and American Joint Committee on
Cancer (AJCC) staging system for NPC, seventh edition (2010).27

Berikut gambaran tumor nasofaring berdasarkan stadium menurut Cady J (2007):28

17
18
Gambar 4. Stadium karsinoma nasofaring berdasarkan gejala klinik dan radiologi.

Keterangan :

 Stage 0: In situ cancer before the tumor growth


 Stage I: Small tumor confined to nasopharynx
 Stage II: Tumor extending in the local area or any evidence of limited neck (nodal) disease
 Stage III: A large tumor with or without neck disease, or a tumor with bilateral neck disease
 Stage IV: Intracranial or infratemporal involvement of tumor, extensive neck disease, or any
distant metastasis

DIAGNOSIS

Berikut algoritma cara mendiagnosis karsinoma faring menurut Kementrian Kesehatan


Indonesia.

19
Gambar 5. Algoritma Diagnosis KNF.17

PENATALAKSANAAN

Berikut algoritma cara penatalaksanaan karsinoma faring menurut kementrian kesehatan


Republik Indonesia.

Gambar 6. Algoritma Penatalaksanaan KNF.17

20
Sedangkan diagnosis dan terapi ca nasofaring menurut guidelines Malaysia (2016) adalah:29

Gambar 7. Algoritma A Manajemen Terapi Ca Nasofaring.29

21
Gambar 8. Algoritma B Manajemen Terapi Persisten dan Rekuren Ca Nasofaring.29

Tabel 2. Obat Kemoterapi dan Efek Samping yang Sering Terjadi.29

22
Tabel 3. Pedoman Modalitas Terapi pada KNF.29

Untuk dukungan nutrisi menurut Kementerian Kesehatan Indonesia (2017), pasien karsinoma
nasofaring (KNF) sering mengalami malnutrisi (35%) dan malnutrisi berat (6,7%). Prevalensi
kaheksia pada kanker kepala-leher (termasuk KNF) dapat mencapai 67%. Malnutrisi dan
kaheksia dapat mempengaruhi respons terapi kualitas hidup, dan kesintasan pasien. Pasien KNF
juga sering mengalami efek samping terapi, berupa mukositis, xerostomia, mual, muntah, diare,
disgeusia, dan lain-lain. Berbagai kondisi tersebut dapat meningkatkan meningkatkan stres
metabolisme, sehingga pasien perlu mendapatkan tatalaksana nutrisi secara optimal.17

Pada anak dengan karsinoma nasofaring, efek samping yang sering ditimbulkan ialah kehilangan
nafsu makan, perubahan indra perasa,penurunan sistim kekebalan, muntah, diare, gangguan
saluran cerna lainnya seringkali berakibat terhadap jumlah asupan makronutrien dan
mikronutrien yang diperlukan pada anak. Para penyintas perlu mendapatkan edukasi dan terapi
gizi untuk meningkatkan keluaran klinis dan kualitas hidup pasien.17

FOLLOW UP
Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi & pemeriksaan fisik menurut Kementerian
Indonesia (2017):17
Tahun 1 : setiap 1-3 bulan
Tahun 2 : setiap 2-6 bulan
Tahun 3-5 : setiap 4-8 bulan

23
> 5 tahun : setiap 12 bulan

Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pasca terapi:


a. MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC
b. Bone Scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi
metastasis tulang.
Follow up terapi paliatif (dengan terapi kemoterapi); follow-up dengan CT Scan pada siklus
pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap tumor.17

PROGNOSIS

Prognosis menurut Wijaya dkk, penderita KNF stadium awal, yaitu stadium I dan II, mempunyai
prognosis lebih baik dibandingkan stadium lanjut, yaitu stadium III dan IV. Angka harapan
hidup lima tahun pada stadium I, II, III, dan IV didapatkan sekitar 72%, 64%, 62%, dan 38%.30

24
BAB III

KESIMPULAN

Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul pada daerah nasofaring (area
di atas tenggorok dan di belakang hidung). Penyebab nasofaring bersifat mulifaktorial, dimana
memiliki gejala yang dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala
telinga, gejala tumor di leher, gejala mata dan gejala saraf. Untuk penatalaksanaannya dengan
cara : kemoterapi, radioterapi, atau pun diseksi leher. Prognosis pada ca nasofaring tergantung
stadium dan pasiennya itu sendiri dalam menjalani keteraturan menjalani pengobatan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Hsu WL, Chen JY, Chien YC, Liu MY, You SL, Hsu MM et al. Independent effect of
ebv and cigarete smoking on nasopharyngeal carcinoma : a 20 – year follow up study on
9,662 males without family history in Taiwan. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2009;
18(4):1218-26.
2. Soepardi EA. Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorokan kepala & leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: FKUI; 2015.h.138-58.
3. Adham MK. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs,
and symptoms at presentation. Chin J Cancer. 2012; 31(4).
4. Herawati S, Sri R. Buku ajar ilmu penyakit telinga, hidung, tenggorok. Jakarta: EGC;
2004.h.39-40.
5. Michaels L, Henrik BH. Ear, nose, and throat histopathology. Second Edition. Malaysia:
Springer; 2001.p.259.
6. Chang ET, Adami HO. The Enigmatic Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma.
Cancer Epidemiologic Biomarkers Prev 2006;15(10):1765-77.
7. Ekburaranawat W, Ekspanyaskul C, Brennan P, Kanka C, Tepsuwan K, Temisyatith S et
al. Evaluation of non-viral risk factors for nasopharyngeal carcinoma in Thailand: results
from a case-control study. Asian Pacific J Cancer Prev 2010;11:929-32.
8. Wei, William I, Nasopharyngeal Cancer. In Bailey, Byron, Johnson, Jonas T, Newlands,
Shawn D, editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology Fourt Edition. Lippincot
Williams and Wilkins; 2006.P 1658-68.
9. Gaétan C, Marie C, Desrosiers AG. Cancer risk assessment for workers exposed to
nitrosamines in a warehouse of finished rubber products in the Eastern Townships.
(Québec public health institute). Canada. June 2011.
10. Pinkerton LE, Hein MJ, Stayner LT. Mortality among a cohort of garment workers
exposed to formaldehyde: an update. Occup Environ Med 2004;61:193-200.
11. Marsh GM, Youk AO, Buchanich JM, Erdal S, Esmen NA. Work in the Metal Industry
and Nasopharyngeal Cancer Mortality among Formaldehyde Exposed Workers.
Regulatory Toxicology and Pharmacology 2007;48:308-19.
12. Ma J, Cao S. The Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma. In. Lu J.J, Cooper J.S ,
Lee A.W.M, editors. Nasopharyngeal Carcinoma. Berlin Heidelberg; 2010. P 1-7.

26
13. Armstrong RW, Imrey PB, Lye MS, Armstrong MJ, Yu MC, Sani S. Nasopharyngeal
carcinoma in Malaysian Chinese: Occupational exposures to particles, formaldehyde and
heat. International Journal of Epidemiology 2000;29:991-8.
14. Guo X, Johnson RC, Deng H, Liao J, Guan L, Nelson GW, Tang M et al. Evaluation of
Nonviral Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in a High-Risk Population of
Southern China. Int.J.Cancer 2009;124:2942-7.
15. Liu YH, Du CL, Lin CT, Chan CJ, Wang JD. Increased Morbidity from Nasopharyngeal
Carcinoma and Chronic Pharyngitis or Sinusitis Among Workers at a Newspaper Printing
Company. Occup Rnviron Med 2001;59:18-22.
16. Ferlay J SIea. Cancer incidence and mortality worldwide: sources, methods and major
patterns in GLOBOCAN 2012. Int. J. Cancer. 2015; 136.
17. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Panduan penatalaksanaan kanker nasofaring.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2017.h.1-37.
18. Paulino AC, Chystal UL, Mary LW, Steven KB, Cameron KT, Samuel G.
Nasopharyngeal cancer. Medscape. Nov 17 2016. Available : November 19 2017.
19. Vlantis AC, Bower WF, Woo JKS, Tong MC, van Hasselt CA. Endoscopic assessment of
the nasopharynx: An objective score of abnormality to predict the likelihood of
malignancy. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2010;119(2):77-81.
20. Li S, Deng Y, Li X, Chen QP, Liao XC, Qin X. Diagnostic value of epstein barr virus
capsid antigen igA in nasopharyngeal carcinoma: A meta analysis. Chin med J.
2010;123(9):1201-5.16.
21. Ji MF, Wang DK, Yu YL, Guo YQ, Liang JS, Cheng WM, et al. Sustained elevation of
Epstein-Barr virus antibody levels preceding clinical onset of nasopharyngeal carcinoma.
Br J Cancer 2007;96:623-30.
22. Brady LW, Heilmann HP, Nieder C. Medical radiology - radiation oncology. Lu JJ,
Cooper JS, Lee AWM, editors. Nasopharyngeal cancer multidiciplinary management. 1
ed. Springer 2010. p. 245-70.
23. Barnes L, John WE, Peter R, David S. Parhology & genetics head and neck tumors.
WHO Classification of Tumors; 2005.p.85-92.
24. Lee KJ. Essential otolaryngology: head and neck surgery. 6th ed. Stamford: Appleton &
Lange; 2009. P.537, 549-51.

27
25. Blandino, Alfredo. Pandolfo, Ignazio. Neoplasms, Nasopharynx. Baert, Albert L. In:
Encyclopedia of Diagnostic Imaging. New York. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
2008;p1261-4.
26. Rosai J, Ackermans. Surgical pathology. 9th ed.. Philadelphia: Mosby, 2004.
27. Chan ATC, Gregoire V, Lefebvre JL, Licitra L, Hui EP, Leung SF, et al. nasopharyngeal
cancer: EHNS–ESMO–ESTRO clinical practice guidelines for diagnosis, treatment and
follow-up. European Society for Medical Oncology. October 2012; 23(7):84.
28. Cady J. Nutritional support during radiotherapy for head and neck cancer: the role of
prophylactic feeding tube placement. Oncology Nursing Society. December 2007;
11(6):2.
29. Medical Development Division, Ministry of Health Malaysia. Clinical practice guidelines
(CPG) management of nasopharyngeal carcinoma. Quick Reference for Healthcare
Providers. 2016.p.1-8.
30. Wijaya OF, Bogi S. Deteksi dini dan diagnosis karsinoma nasofaring. Departemen Ilmu
Kesehatan THT-KL Universitas Padjajaran. 2017; 44 (7):478-81.

28

Anda mungkin juga menyukai