Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah

nasofaring dengan predileksi di fossa rossenmuller dan atap nasofaring.


Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang

terbanyak ditemukan di Indonesia (Effiaty & Nurbaiti, 2001). Kanker nasofaring


merupakan salah satu jenis kanker ganas yang sering ditemukan di Indonesia.

Kanker nasofaring berada pada urutan ke- 4 kanker terbanyak di Indonesia

setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru. Kanker nasofaring

adalah kanker kepala leher tersering (28.4%), dengan rasio pria-wanita adalah 2:4,

dan endemis pada populasi Jawa(Adam et al., 2012).


Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu

masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak

khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, dan tidak mudah diperiksa oleh

mereka yang bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan


ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin

terlambatnya diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) semakin

buruk.

Dengan melihat hal tersebut, diharapkan tenaga kesehatan khususnya perawat


dapat berperan dalam pencegahan, deteksi diri, terapi maupun rehabilitasi dari

karsinoma nasofaring ini. Penulis berusaha untuk menuliskan aspek-aspek yang

dirasakan perlu untuk dipahami melalui tinjauan pustaka dalam referat ini dan

diharapkan dapat bermanfaat.

B. Tujuan

1. Tujuan umum
Untuk menjelaskan secara rinci tentang teori mengenai KNF ( Karsinoma

Nasofaring) dan asuhan keperawatan pada pasien dengan KNF ( Karsinoma

Nasofaring
2. Tujuan Khusus

Mahasiswa mampu :
a) Menjelaskan anatomi dan fisiologi Nasofaring
b) Menjelaskan definisi dari Karsinoma Nasofaring
c) Menjelaskan etiologi dari Karsinoma Nasofaring
d) Menjelaskan klasifikasi Karsinoma Nasofaring

e) Menjelaskan patofisiologi dari Karsinoma Nasofaring


f) Menjelaskan manifestasi klinis dari Karsinoma Nasofaring

g) Menjelaskan pemeriksaan diagnostik dari Karsinoma Nasofaring


h) Menjelaskan penatalaksanaan dari Karsinoma Nasofaring

i) Menjelaskan komplikasi dari Karsinoma Nasofaring


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dasar Teori

1. Anatomi dan Fisiologi Nasofaring

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang

dan lateral, terletak di bawah dasar tengkorak, belakang naris posterior,


dan di atas palatum mole (Pearce, 2009). 4 batas nasofaring (Gibson,

2002) :

• Superior : Basis krani, diliputi oleh mukosa dan


fascia
• Inferior : Bidang horizontal yang ditarik dari
palatum durum ke posterior, bersifat subjektif
karena tergantung dari palatum durum
• Anterior : Choane, oleh os vomer dibagi atas
choane kanan dan kiri
• Posterior : vertebra servicalis I dan II, Fascia space
rongga yang berisi jaring longgar, Mukosa lanjutan
dari mukosa atas
• Lateral : Mukosa lanjutan dari mukosa atas dan
belakang, Muara tuba eustachii, Fossa rosenmulleri
Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang
konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian

belakang atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang


disebut torus tubarus dan dibelakannya terdapat suatu lekukan dari fossa

Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen


laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe

yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu


ventilasi udara telinga tengah (Anas, 2008).

Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh

lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring

superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi

foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus.


Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran

tumor ke intrakranial (Pratiwi, 2012).

Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi

karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh


palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke

dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata

tertentu (Pratiwi, 2012).

Struktur penting yang ada di Nasofaring (Gunardi & Saputra, 2012)


o Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
o Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva
yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva

o Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum yang


disebabkan karena musculus levator veli palatini

o Plica salpingopalatina. Lipatan di depan torus tubarius


o Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius,

merupakan penonjolan dari musculus salpingopharingeus yang


berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva

terutama ketika menguap atau menelan

o Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan

tempat predileksi Karsinoma Nasofaring

o Tonsila Pharingea, dibentuk oleh jaringan limfoid yang terbenam di


dinding posterior nasopharing. Disebut adenoid jika ada

pembesaran. Sedangkan jika ada inflamasi disebut adenoiditis

o Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus

o Isthmus pharinggeus merupakan suatu penyempitan di antara


nasopharing dan oropharing karena musculus

sphincterpalatopharing

o Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama

raffae pharingei

Fungsi nasofaring

 Sebagai jalan udara pada respirasi

 Jalan udara ke tuba eustachii


 Resonator

 Sebagai drainage sinus paranasal kavum


timpani dan hidung
2. Definisi Karsinoma Nasofaring (KNF)
Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel
ephitalial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan

menimbulkan metastasis (Mangan, 2009).


Nasofaring adalah suatu rongga dengan dinding kuku di atas, belakang

dan lateral yang anatomi termasuk bagian faring (Pearce, 2009).

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh pada

ephitalial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan belakang

langit-langit rongga mulut dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan


atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah

kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 %

tumor ganas daerah kepala dan leher merupakan kanker nasofaring.,

kemudian diikuti tumor ganas hidung dan paranasal (18%), laring (16%),
dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase

rendah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013).

3. Etiologi Karsinoma Nasofaring


Kanker ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan

rasio 2-3-1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti,

mungkin ada hubugannya dengan faktor genetic, kebebasan hidup,


pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-

beda pada daerah dengan insiden yang bervariasi. Pada daerah dengan

insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada


umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya (Ernawati, Kadrianti, & Basri,

2004).
Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah
(Mangan, 2009):
a. Kerentanan Genetik

Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi


kerentanan terhadap Ca Nasofaring pada kelompok masyarakat

tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial.


Analisis korelasi menunjukkan gen HLA ( Human luekocyte antigen )

dan gen pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1) kemungkinan


adalah gen kerentanan terhadap Ca Nasofaring, mereka berkaitan

dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian

menunjukkan bahwa kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan

ketidakstabilan, sehingga lebih rentan terhadap serangan berbagai

faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul penyakit.


b. Virus Epstein Barr

Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang

spesifik seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen membran (MA),

antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA), dll. Virus EB memiliki kaitan
erat dengan Ca Nasofaring , menurut (Zulkarnain Haq, 2011)

alasannya adalah:

 Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi

terkait virus EB ( termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan


frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya jelas lebih

tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker

lain, dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor . Selain

itu titer antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai


pulihnya kondisi pasien dan kembali meningkat bila

penyakitnya rekuren atau memburuk.

 Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus


EB seperti DNA virus dan EBNA.

 Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel

mengandung virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut


tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan inti juga banyak.
 Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu
dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan
mukosa nasofaring fetus manusia.

Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai


penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus ini dapat masuk

dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan


suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk

mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator kebiasaan


untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai

dari masa kanak-kanak. Mediator yang berpengaruh untuk

timbulnya Ca Nasofaring :

o Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.

o Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan


kebiasaan hidup.

o Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen,

benzoantrance, gas kimia, asap industri, asap kayu,

beberapa ekstrak tumbuhan).


o Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)

o Radang kronis nasofaring

o Profil HLA (Huda Nurarif & Kusuma, 2013)

c. Faktor Lingkungan (Zulkarnain Haq, 2011)


Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini

menemukan zat berikut berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :

o Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi

kanker nasofaring , kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram


debu asap mencapai 16,83 ug, jelas lebih tinggi dari keluarga di

area insiden rendah.

o Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada


proses timbulnya kanker nasofaring.

o Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan

asin. Terkait dengan kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di


dalam air seninya terdeteksi nitrosamin volatil yang berefek

mutagenik.
4. Klasifikasi Karsinoma Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013)
a. Menurut Histopatologi :
o Well differentiated epidermoid carconoma

- Keratinizing
- Non Keratinizing

o Undiffentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma


o Adenocystic carcinoma

b. Menurut bentuk dan cara tumbuh


o Ulseratif

o Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip

o Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari

jaringan sekitar

c. Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)


o Tipe WHO 1

- Karsinoma sel skuamosa (KSS)

- Deferensiasi baik sampai sedang

- Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan)


o Tipe WHO 2

- Karsinoma non keratinisasi (KNK)

- Paling banyak pariasinya

- Menyerupai karsinoma transisional


o Tipe WHO 3

- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD)

- Seperti antara lain limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, “Clear

Cell Carsinoma”, varian sel epitel


- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik

5. Patofisiologi Karsinoma Nasofaring


Sel-sel epitel ganas nasofaring adalah sel poligonal besar dengan

komposisi syncytial. Sel-sel tidak menunjukkan parakeratosis atau

kornifikasi dan sering bercampur dengan sel-sel limfoid di nasofaring,


sehingga dikenal sebagai lymphoepithelioma. Sudah hampir dipastikan ca

nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini dapat dibuktikan
dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita ca.
nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protin
tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus di dalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan

sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-
2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan dalam

mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan


konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen

yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak


terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein

laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada

nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller (Wei & Sham,

2005).

Penggolongan Ca Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :


a) Tumor Size (T)

o T : Tumor primer

o T0 : Tidak tampak tumor

o T1 : Kanker terbatas di rongga nasofaring


o T2 : Kanker menginfiltrasi kavum nasal, orofaring atau di

celah parafaring di anterior dari garis SO ( garis penghubung

prosesus stiloideus dan margo posterior garis tengah

foramen magnum os oksipital ).


o T3 : Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau

mengenai basis kranial, fosa pterigopalatinum atau terdapat

rudapaksa tunggal syaraf kranial kelompok anterior atau

posterior.
o T4 : Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena

serentak, atau kanker mengenai sinus paranasal, sinus

spongiosus, orbita, fosa infra-temporal.


b) Regional Limfe Nodes (N)

o N0 : Belum teraba pembesaran kelenjar limfe .

o N1 : Kelenjar limfe koli superior berdiameter < 4 cm.


o N2 : Kelenjar koli inferior membesar atau berdiameter 4-7

cm.
o N3 : Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau
berdiameter > 7 cm
c) Metastase Jauh (M)

o 11. M0 : Tak ada metastasis jauh.


o 12. M1 : Ada metastasis jauh.

d) Penggolongan stadium klinis, antara lain :


o 1. Stadium I : T1N0M0

o 2. Stadium II : T2N0 – 1M0, T0 – 2N1M0


o 3. Stadium III : T3N0 - 2M0, T0 – 3N2M0

o 4. Stadium Iva : T4N0 – 3M0, T0 – 4N3M0

o 5. Stadium Ivb : T apapun, N Apapun, M1

6. Manifestasi Klinis
Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari

nasofaring termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar

ke dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau

posterosuperior dari dasar tulang tengkorok atau palatum, rongga


hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening

servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum

dan hati (jarang). Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang

terkena. Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi


sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher

atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Gejala dini

karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan saluran

nafas atas (Lucente, 2011).


Pada Karsinoma nasofaring, paresis fasialis jarang menjadi manifestasi

awal. Karena lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom

penyumbatan tuba dengan tuli konduktif sebagai keluhan. Perluasan


infiltratif karsinoma nasofaring berikutnya membangkitkan perdarahan

dan penyumbatan jalan lintasan napas melalui hidung. Setelah itu, pada

tahap berikutnya dapat timbul gangguan menelan dan kelumpuhan otot


mata luar (paralisis okular) (Muttaqin, 2008).
Gejala nasofaring yang pokok adalah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :
a. Gejala Hidung
 Epiktasis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi

perdarahan
 Sumbatan Hidung : sumbatan menetap karena pertumbuhan

tumor kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana,


gejalanya adalah pilek kronis, ingus kental, gangguan penciuman

b. Gejala Telinga
 Kataralis/Oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula pada fossa

rosenmuler, pertumbuhan tumor dapat menyebabkan

penyumbatan muara tuba (berdengung, rasa penuh, kadang

gangguan pendengaran)

 Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran


 Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran

menurun, dan dengan tes rinne dan webber, biasanya akan

ditemukan tuli konduktif

c. Gejala Mata
 Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia

(penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui

foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI.

Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan


d. Gejala Lanjut

 Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker

dapt mencapai kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar

ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga kelenjar membesar


dan tampak benjola di leher bagian samping, lama-kelamaan

karena tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat

pada otot sehingga sulit digerakkan


e. Gejala Kranial

Gejala Kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai

saraf-saraf kranialis. Gelajanya antara lain :


 Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan

metastase secara hematogen


 Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang
 Kerusakan pada waktu menelan
 Afoni
 Sindrom Jugular Jackson atau sindrom reptroparotidean

mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda


kelumpuhan pada Lidah, palatum, Faring atau laring, M.

Sternocleidomastoideus, dan M. Trapezeus

7. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut (Lucente,

2011) :

a. Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.

Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap,

tuli unilateral, limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf


kranial dengan kausa yang tak jelas, dan keluhan lain harus diperiksa

teliti rongga nasofaringya dengan nasofaringoskop indirek atau

elektrik.

b. Pemeriksaan kelenjar limfe leher.


Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna,

rantai nervus aksesorius dan arteri vena transvesalis koli apakah

terdapat pembesaran.

c. Pemeriksaan saraf kranial


Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat

sesuai prosedur rutin satu persatu , tapi pada kecurigaan paralisis

otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah kadang perlu diperiksa

berulang kali, barulah ditemukan hasil yang positif


d. Pemeriksaan serologi virus EB

Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker

nasofaring adalah VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada


kanker nasofaring berkaitan dengan kadar dan perubahan antibodi

tersebut. Bagi yang termasuk salah satu kondisi berikut ini dapat

dianggap memilki resiko tinggi kanker nasofaring :


 Titer antibodi VCA-IgA >= 1:80

 Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua


diantara tiga indikator tersebut positif.
 Dua dari tiha dari indikator pemeriksaan diatas, salah satu
menunjukkan titer yang tinggi kontinyu atau terus meningkat.
Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti

dengan nasofaringoskop elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu


ditekankan adalah perubahan serologi virus Eb dapat menunjukkan reaksi

positif 4 – 46 bulan sebelum diagnosis kanker nasofaring ditegakkan.

Diagnosis pencitraan (Lucente, 2011).


a. Pemeriksaan CT Scan : makna klinis aplikasinya adalah membantu

menggambarkan invasi baik ke bidang fasial paranasofaringeal dan

invasi tulang tengkorak tanpa kelumpuhan nervus kranialis,

memastikan luas lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat

menetapkan zona target terapi, merancang medan radiasi, memonitor


kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan tingkat lanjut

(Schwartz, 2000).

b. Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan

lunak, dapat serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal,


sehingga lebih baik dari pada CT. MRI selai dengan jelas

memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat

secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan

antara fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor , MRI juga lebih
bermanfaat .

c. Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker

nasofaring dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan

rongtsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 4-6 bulan dibandingkan
rongsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak sebagai

akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak sebagai area defek

radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif untuk metastasis tulang,


namun tidak spesifik . maka dalam menilai lesi tunggal akumulasi

radioaktivitas , harus memperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan

rudapaksa operasi, fruktur, deformitas degeneratif tulang, pengaruh


radio terapi, kemoterapi, dll.

d. PET (Positron Emission Tomography) : disebut juga pencitraan


biokimia molukelar metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan
biologismetabolisme glukosa dari zat kontras 18-FDG dan pencitraan
anatomis dari CT yang dipadukan hingga mendapat gambar PET-CT .
itu memberikan informasi gambaran biologis bagi dokter klinisi,

membantu penentuan area target biologis kanker nasofaring ,


meningkatka akurasi radioterapi, sehingga efektifitas meningkat dan

rudapaksa radiasi terhadap jaringan normal berkurang.

Diagnosis histologi (Zulkarnain Haq, 2011)


Pada pasien kanker nasofaring sedapat mungkin diperoleh jaringan dari

lesi primer nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi

dimulai harus diperoleh diagnosis histologi yang jelas. Hanya jika lesi

primer tidak dapat memeberikan diagnosis patologik pasti barulah

dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher.


Pemeriksaan adanya kanker nasofaring dapat dilakukan dengan

pemeriksaan nasofaringoskopi, Rinoskopi anterior dan posterior

menujukkan tumor pada nasofaring. Selanjutnya untuk menentukan jenis

tumor perlu diadakan biopsi dan pemeriksaan patologi. Foto rontgen


kepala dan CT-scan jika perlu dibuat untuk melihat metastasis ke

intrakranial (Herawati & Rukmini, 2000).

8. Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring


a. Radioterapi

Radioterapi adalah pengobatan standar untuk karsinoma nasofaring.

Tetapi hal ini dapat menghasilkan komplikasi yang tidak diinginkan

karena lokasi tumor di dasar tengkorak dan organ yang rentan


terhadap radiasi termasuk batang otak, sumsum tulang belakang,

hipofisis hipotalamus axis, temporal lobus, mata, telinga tengah dan

dalam, dan kelenjar parotis (Wei & Sham, 2005).


Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik,

hygiene mulut, bila ada infeksi mulut diperbaiki dulu. Pengobatan

tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher (benjolan di leher


yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah

penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu


diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin,
faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus
(Pratiwi, 2012).
b. Kemoterapi

Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi adjuvan dan


kemoradioterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering

dipakai adalah : PF ( DDP + 5FU ), kaboplatin+5FU, paklitaksel +DDP,


paklitasel +DDP +5FU dan DDP gemsitabin , dll (Wei & Sham, 2005).

DDP : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari sebelum


kemoterapi , lakukan hidrasi 3 hari )

5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip , hari ke 1-5 lakukan infus kontinyu

intravena.

Ulangi setiap 21 hari atau:

Karboplatin : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama.


5FU : 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinyu.

Ulangi setiap 21 hari.

c. Terapi Biologis

Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboraturium dan uji klinis.
d. Terapi Herbal TCM

Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi reaksi

radiokemoterapi , fuzhengguben ( menunjang, memantapkan

ketahanan tubuh) , kasus stadium lanjut tertentu yang tidak dapat


diradioterapi atau kemoterapi masih dapat dipertimbangkan hanya

diterapi sindromnya dengan TCM. Efek herba TCM dalam membasmi

langsung sel kanker dewasa ini masih dalam penelitian lebih lanjut.

e. Terapi Rehabiltatif
Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan fungsi

dengan derajat bervariasi. Oleh karena itu diupayakan secara

maksimal meningkatkan dan memperbaiki kualitas hidupnya.


f. Rehabilitas Psikis

Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya

berpeluang untuk disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya


pulih dari situasi emosi depresi.

g. Rehabilitas Fisik
Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien
biasanya merasakan kekuatan fisiknya menurun, mudah letih, daya
ingat menurun. Harus memperhatikan suplementasi nutrisi ,

berolahraga fisik ringan terutama yang statis, agar tubuh dan


ketahanan meningkat secara bertahap.

h. Pembedahan
Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :

o Rasidif lokal nasofaring pasca radioterapi , lesi relatif


terlokalisasi.

o 3 bulan pasca radioterapi kurtif terdapat rasidif lesi primer

nasofaring

o Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar

limfe leher.
o Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti

karsinoma skuamosa grade I, II, adenokarsinoma.

o Komplikasi radiasi.

 (Zulkarnain Haq, 2011)

9. Komplikasi Karsinoma Nasofaring

Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu

komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke
arah nervus kranialis yang bermanifestasi dalam bentuk (Pratiwi, 2012) :

a. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas tengkorok lewat foramen laserum sampai

sinus kavernosus menekan saraf N. III. N. IV, N.VI juga menekan


N.II yang menekan kelainan :

 Neuralgia trigeminus (N.V) : Trigeminal neuralgia meupakan

suatu nyer pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa


seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah

disribusi dari nervus trigeminus.

 Plosis palpebra (N. III)


 Ophthalmoplegia (N. III, N. IV
b. Retropariden sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat
menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang

menuju ke arah daerah retropharing dimana ada kelenjar getah


bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan

manifestasi gejala.
 N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor

superior serta gangguan pada sepertiga belakang lidah.


 N. X : hiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan

laring, disertai gangguan respirasi dan saliva.

 N. XI : kelumpuhan/atrofi oto trapezius, otot SCM serta

hemiparese palatum mole.

 N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.


 Sindrom horner : kelumpuhan N, simpaticus servicalis,

berupa penyempitan disura palpebralis, Onoftalmus dan

miosis.

Sel-sel kanker dapat mengalir bersama getah bening atau darah,

mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering

adalah tulang, hati, dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis

yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma


nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang,

masing-masing 20% sedangkan ke hati 10%, ginjal 0,4%, dan tiroid 0,4%.
BAB III
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN
KARSINOMA NASOFARING

A. Pengkajian

1. Identitas
a) biodata klien

 Nama : tidak mempengaruhi


 Tempat tanggal lahir : tidak mempengaruhi

 Umur : meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59

tahun dan menurun setelahnya

 Jenis Kelamin : Lebih dominan Laki-laki daripada perempuan

 Suku Bangsa : lebih dominan ras cina


 Status Perkawinan : tidak mempengaruhi

 Pendidikan : bagi orang yang tingkat pendidikan rendah/minim

mendapatkan pengetahuan penyakit ini maka akan mengabaikan bahayanya

penyakit ini
 Pekerjaan : bagi orang yang tempat kerjaannya sering kontak dengan zat

karsinogen dan penghasilan kurang sehingga kebutuhan sosial ekonomi

rendah maka akan menyebabkan dan memperparah penyakit ini

 Status Ekonomi : Lebih banyak dimiliki status ekonomi menegah ke bawah


yang sering mengkonsumsi ikan asin

 Alamat : mungkin dipengaruhi lingkungan dan kebiasaan hidup di rumah

yang kurang sehat

 Tanggal Masuk : tidak mempengaruhi


 No. Register : tidak mempengaruhi

b) Penanggung Jawab

 Nama :
 Alamat :

 Umur :

 Jenis Kelamin :
 Pendidikan :

 Tempat/Tanggal Lahir :
 Hubungan dengan klien :
2. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan Utama (keluahan yang pertama kali dirasakan dan diucapkan klien)

Leher terasa nyeri, semakin lama semakin membesar, susah menelan, hidung
terasa tersumbat, telinga seperti tidak bisa mendengar, penglihatan

berkunang-kunang, badan merasa lemas, serta BB turun drastis dalam waktu


singkat.

b) Riwayat Kesehatan Sekarang (Tanyakan keluhan yang dirasakan sekarang)


P : Nyeri karena gangguan pada nasofaring

Q : Nyeri tak terbayangkan dan tak dapat diungkapkan, terlihat membesar

pada bagian leher dan terasa banyak gangguan pada hidung, telinga, dan

mata, nyeri dirasakan setiap waktu

R : Keluhan dirasakan pada bagian dalam hidung, telinga, mulut dan


menyebar

S : Keluhan yang dirasa mengganggu aktivitas, skala nyeri 10

T : Nyeri hilang timbul dan lebih sering saat bernafas dan menelan, keluhan

muncul secara bertahap


c) Riwayat Kesehatan Masa Lalu (Tanyakan apakah klien pernah menderita

penyakit yang mempermudah terjadinya ca nasofaring) Mempunyai profil

HLA, pernah menderita radang kronis nasofaring

d) Riwayat Kesehatan Keluarga (Tanyakan apakah ada kluarga yang menderita


penyakit yang menyebabkan ca nasofaring)

e) Riwayat Kesehatan Lingkungan (Tanyakan tentang lingkungan klien)

Terbiasa terhadap lingkungan karsinogen

3. Pola Kesehatan Fungsional (Hidayat & Alimul, 2007)

a) Pola persepsi kesehatan – pemeliharaan kesehatan

Pada klien ca nasofaring terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup
sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak sehingga menimbulkan

presepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak

mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu
perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.

b) Pola metabolisme nutrisi


Akibat adanya pembekakan pada saluran pernafasan atas shingga
menimbulkan keluahan nyeri pada leher, susah menelan, berat badan
menurun dan lemas. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya

gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status


kesehatan penderita.

c) Pola eliminasi
Akibat kurangnya konsumsi air putih menyebabkan volume kencing

berkurang, susah kencing. Pada eliminasi alvi terdapat gangguan, klien buang
air besar tidak teratur.

d) Pola aktivitas

Adanya Ca Nasofaring menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan

aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami lemah dan

letih. Klien biasanya bekerja diluar rumah, tapi saat ini klien hanya beristirahat
di Rumah Sakit.

e) Pola istirahat – tidur

Adanya Ca nasofaring membuat klien mengalami perubahan pada pola tidur.

Klien kurang tidur baik pada waktu siang maupun malam hari. Klien tampak
tergangu dengan kondisi ruang perawatan yang ramai. Dan adanya faktor-

faktor yang mempengaruhi tidur misalnya nyeri, ansietas, berkeringat malam.

f) Pola kognitif – persepsi

Klien mampu menerima Pengetahuan, ide persepsi, dan bahasa. Klien mampu
melihat, mendengar, mencium, meraba, dan merasa dengan baik.

g) Pola persepsi diri – konsep diri

Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita


mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya

biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami

kecemasan dan gangguan peran pada keluarga. Klien mengalami cemas


karena kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan

diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

h) Pola hubungan – peran


Ca nasofaring yang sukar sembuh menyebabkan penderita malu dan manarik

diri dari pergaulan.


i) Pola seksual – reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas
maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.

Selama dirawat di rumah sakit klien tidak dapat melakukan hubungan seksual
seperti biasanya.

j) Pola penanganan masalah – strees – toleransi


Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit kronik, perasaan tidak berdaya

karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa


marah, kecemasan, mudah tersinggung, kehilangan kontrol, dan menarik diri

dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme

koping yang konstruktif/adaptif. Klien merasa sedikit stress menghadapi

tindakan kemoterapi/sitotraktika karena kurangnya pengetahuan.

k) Pola keyakinan – nilai-nilai


Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta Ca

nasofaring tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi

mempengaruhi pada ibadah penderita.

4. Pemeriksaan Fisik

a) Penampilan atau keadaan umum


Secara keseluruhan keadaan tidak baik, BB menurun

b) Tingkat kesadaran

Kesadaran klien tidak begitu terkontrol, mata : 2, Respon Verbal : 5, Respon

motor : 4, indra penciuman terganggu, ketajaman terganggu, berjalan


sempoyongan, tidak bisa seimbang

c) Tanda-Tanda Vital

 Suhu Tubuh
 Tekanan Darah

 Nadi

 RR
d) Pemeriksaan Head to Toe
Pemeriksaan Kepala
 Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, bulat

sempurna, tidak ada deformitas, tidak ada benjolan, tidak ada


pembesaran kepala) Palpasi (tidak ada nyeri tekan)

 Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala bersih, tidak ada lesi, tidak ada
skuama, tidak ada kemerahan, tidak ada nevus)

 Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah bingung, keadaan simetris, tidak ada


edema, dan tidak ada massa) Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)

 Rambut : Inspeksi (rambut kotor, ada ketombe, ada uban) Palpasi

(rambut rontok)

 Mata : Inspeksi (bulat besar, bersih tidak cowong, simestris, konjungtiva

tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 3 mm, reflek
cahaya positif, gerakan mata tidak normal, fungsi penglihatan tidak

terlalu baik) Palpasi (bola mata normal, tidak ada nyeri tekan)

 6. Hidung : Inspeksi (keadaan kotor, ada lendir, ada polip, ada

pernafasan cuping hidung, ada deviasi septum, mukosa lembab,


kesulitan bernafas, warna cokelat, tidak ada benda asing) Palpasi (tidak

ada nyeri tekan)

 7. Telinga : Inpeksi (Simetris, bersih, fungsi pendengaran kurang

baik, tidak ada serumen, tidak terdapat kelainan bentuk) Palpasi (normal
tidak ada lipatan, ada nyeri)

 8. Mulut : Inspeksi (kotor, tidak ada stomatitis, mukosa bibir

lembab, lidah simetris, lidah kotor, gigi kotor, ada sisa makanan,

berbau, gigi atas dan bawah tanggal 3/2, sebagian goyang, faring ada
pembekakan, tonsil ukuran tidak normal, uvula tidak simetris) Palpasi

(tidak ada lesi)

 9. Leher dan Tenggorok : Inspeksi dan Palpasi (Tidak ada


pembesaran jvp, ada pembesaran limfe, leher panas)

Pemeriksaan Dada dan Thorak

 Paru-paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada tidak normal, tidak ada batuk,

nafas dada, frekuensi nafas 24 x/menit.


Palpasi : Suara fremitus kanan-kiri, tidak ada nyeri tekan, .
Perkusi : Sonor pada saluran lapang paru.
Auskultasi : Suara dasar paru vesikuler, tidak ada weezing.
 Jantung :

Inspeksi : Normal (Iktus kordis tidak tampak).


Palpasi : Normal (Iktus kordis teraba pada V±2cm)

Perkusi : Normal (Pekak)


Auskultasi : Normal (BJ I-II Murni, tidak ada gallop, tidak ada murmur)

 Pemeriksaan Payudara
Inspeksi : Bersih, tidak ada pembekakan, bentuk simetris

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan

 Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Perut datar, tidak ada bekas post operasi, warna cokelat,

permukaan normal
Auskultasi : Bising usus 10x/menit

Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, Hepar tidak

teraba, limpa tidak teraba, Ginjal tidak teraba, tidak ada ascites, tidak

ada nyeri pada Titik Mc. Burney


Perkusi : Timpani, tidak ada cairan atau udara

Pemeriksaan Anus dan Genitalia

 Anus
Inspeksi : Warna cokelat, tidak ada bengkak atau inflamasi

Palpasi : Feses keras, tidak ada darah, tidak ada pus, tidak ada darah

 Genitalia

Wanita
Inspeksi : Warna merah muda, tidak berbau, tidak ada lesi, nodul, pus,

daerah bersih, bentuk simetris, tidak varices

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, Fungsi Reproduksi baik, tidak terpasang
DC

Laki-Laki

Inspeksi : Ada rambut pubis, kulit penis normal, lubang penis ditengah,
kulit skrotum halus, tidak ada pembekakan, posisi testis norma

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada batang penis dan skrotum
Pemeriksaan Ekstremitas
 Ekstremitas Atas :
Inspeksi : Jari tangan lengkap, kuku bersih, bentuk simetris, tidak ada

sianosis di lengan kanan atas, tidak ada edema.


Palpasi : Denyut nadi 94 x/menit, kuku normal, kekuatan menggenggam

normal
 Ektremitas Bawah :

Inspeksi : bentuk simetris, warna kulit cokelat, kuku bersih, ada bulu, tidak
ada lesi, tidak ada edema, tidak ada sianosis, persendian normal.

Palpasi : Nadi 94 x/menit, tidak ada nyeri tekan

 Tulang Belakang :

Inspeksi : Postul normal, vertebra normal, lengkungan normal

Palpasi : Otot bekerja baik

Pemeriksaan Kulit

 Inspeksi : Kulit bersih, Kulit pucat, kulit kering, tidak ada lesi

 Palpasi : Tekstur tidak normal pada bagian leher, ada turgor

B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan metastase sel kanker

2. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhuhungan dengan


intake makanan yang kurang

3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan status organ

sekunder metastase tumor


4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer.
C. Rencana Intervensi Keperawatan

N NANDA NOC NIC

1 Nyeri akut b/d agens cedera Kontrol nyeri Manajemen nyeri

fisik (trauma) Definisi : Definisi :


Definisi : Tindakan pribadi untuk mengontrol Pengurangan atau reduksi

pengalaman sensori dan nyeri nyeri sampai pada tingkat

emosional tidak Domain-pengetahuan tentang kenyamanan yang dapat

menyenangkan yang muncul kesehatan & perilaku (IV) diterima oleh pasien

akibat kerusakan jaringan Kelas-perilaku sehat (Q) Aktivitas :


actual atau potensial atau yang - Lakukan pengkajian nyeri

digambarkan sebagai Setelah dilakukan keperawatan komprehensif meliputi :

kerusakan ( international selama 2x24 jam diharapkan terjadi P, Q, R, S,T selama 3x

association for the study of perubahan dari kondisi sehari

pain) ; awitan yang tiba-tiba penyimpangan yang sangat besar - Pastikan perawatan

atau lambat dari intensitas (1) sampai dengan tidak ada nya analgesic bagi pasien

ringan hingga berat dengan penyimpangan (5). Dengan dilakukan dengan

akhir yang dapat diantisipasi indicator sebagai berikut : pemantauan ketat


atau diprediksi - Pasien dapat mengenali nyeri - Gunakan strategi

Domain 12. Kenyamanan terjadi (4) komunikasi terapeutik


Kelas 1. Kenyamanan fisik - Pasien dapat menggambarkan untuk mengetahui

factor penyebab (4) pengalaman nyeri dan

Batasan karakteristik : - Menggunakan tindakan sampaikan penermaan

- Ekspresi wajah nyeri pencegahan (4) pasien terhadap nyeri


- Keluhan intensitas - Menggunakan tindakan - Pilih dan implementasikan

mengguakan standar skala pengurangan nyeri tanpa tindakan yang beragam

nyeri analgesic (4) (mis. Farmakoogi,

- Mengekspresikan perilaku nonfarmakologi,

- Perubahan posisi untuk interpesona;l)


menghindari nyeri - Ajarkan Teknik non
- Sikap melindungi are nyeri farmakologi ( relaksasi,
- Sikap tubuh melindungi terapi music, terapi
nyeri aktivitas, kompres
Factor yang berhubungan hangat/dingin)

- Agens cedera biologis - Dukung istirahat/tidur


- Agens cedera fisik yang adekuat untuk

- Agens cedera kimiawi membantu penurunan


- nyeri

2 Ketidakseimbangan nutrisi : Status Nutrisi Manajemen Nutrisi


kurang dari kebutuhan Definisi : menyediakan dan
Definisi : Sejauh mana nutrisi
meningkatkan intake nutrisi
Definisi : asupan nutrisi tidak dicerna dan diserap untuk yang seimbang
cukup untuk memenuhi
memenuhi kebutuhan metabolik
kebutuhan metabolik Aktivitas :

Domain 2. Nutrisi Domain-kesehatan fisiologi  Monitor adanya mual


dan muntah
Kelas 1. makan Kelas-pencernaan & nutrisi ( K )
 Monitor adanya
Batasan karakteristik :
kehilangan berat badan
o Berat badan 20 % atau Setelah dilakukan keperawatan
lebih di bawah ideal dan perubahan status
selama 2x24 jam diharapkan terjadi
o Dilaporkan adanya intake nutrisi.
perubahan dari kondisi
makanan yang kurang dari
 Monitor albumin, total
RDA (Recomended Daily penyimpangan yang sangat besar
Allowance) protein, hemoglobin,
(1) sampai dengan tidak ada nya
o Membran mukosa dan dan hematocrit level
konjungtiva pucat penyimpangan (5). Dengan
yang menindikasikan
o Kelemahan otot yang indicator sebagai berikut :
digunakan untuk status nutrisi dan untuk
 Nafsu makan meningkat (4)
menelan/mengunyah
perencanaan treatment
o Luka, inflamasi pada  Tidak terjadi penurunan BB (4)
rongga mulut selanjutnya.
 Masukan nutrisi adekuat (4)
o Mudah merasa kenyang,  Monitor intake nutrisi
sesaat setelah mengunyah  Menghabiskan porsi makan (4)
dan kalori klien.
makanan  Hasil lab normal (albumin,
o Dilaporkan atau fakta  Berikan makanan
kalium) (4)
adanya kekurangan
sedikit tapi sering.
makanan
o Dilaporkan adanya  Berikan perawatan
perubahan sensasi rasa mulut sering.
o Perasaan ketidakmampuan
 Kolaborasi dengan ahli
untuk mengunyah
makanan gizi dalam pemberian
o Miskonsepsi
o Kehilangan BB dengan diet sesuai terapi.
makanan cukup
o Keengganan untuk makan
o Kram pada abdomen
o Tonus otot jelek
o Nyeri abdominal dengan
atau tanpa patologi
o Kurang berminat terhadap
makanan
o Pembuluh darah kapiler
mulai rapuh
o Diare dan atau steatorrhea
o Kehilangan rambut yang
cukup banyak (rontok)
o Suara usus hiperaktif
o Kurangnya informasi,
misinformasi

Faktor-faktor yang
berhubungan :

Ketidakmampuan pemasukan

atau mencerna makanan atau


mengabsorpsi zat-zat gizi

berhubungan dengan faktor

biologis, psikologis atau


ekonomi

3 Hambatan Komunikasi verbal Komunikasi Peningkatan komunikasi :

Definisi : penurunan, Definisi : penerimaan, interprestasi, Kurang bicara


perlambatan, atau ketiadaan ekspresi lisan, tertulis, dan pesan Definisi : penggunaan strategi
kemampuan untuk menerima, non verbal peningkatan kemampuan
memproses, mengirim, Domain–kesehatan fisiologis komunikasi bagi orang yang

dan/atau menggunakam ( II) memiliki gangguan bicara


sistem simbol Kelas- neurokognitif (I) Aktivitas :

- - monitor kecepatan bicara,


Domain 5. Persepsi/kognisi Setelah dilakukan keperawatan tekanan, kuantitas

Kelas 5. Komunikasi selama 2x24 jam diharapkan terjadi - - kenali emosi dan perilaku

perubahan dari kondisi fisik (pasien) sebagai bentuk


Batasan karakteristik : penyimpangan yang sangat besar komunikasi
- Gagap (1) sampai dengan tidak ada nya - - sediakan metode alternatif
- Disorientasi orang penyimpangan (5). Dengan untuk berkomunikasi dengan
- Disorientasi ruang indicator sebagai berikut : berbicara

- Kesulutan memahani - Menggunakan bahasa - - monitor pasien terkait


komunikasi tertulis (4) dengan perasaan frustasi,

- Kesulitan mempertahankan - Menggunakan bahasa kemarahan, depresi, atau


komunikasi lisan (3) respon-respon lain yang

- Kesulitan mengekspresikan - menggunakan bahasa karena adanya gangguan


pikiran secara verbal isyarat (4) kemampuan bicara

- Kesulitan menyusun kalimat - menggunakan bahasa - Monitor proses kognitif,

- Ketidakmampuan bicara non verbal (3) anatomis dan fisiologi terkait


dalam bahasa pemberi - mengenali pesan yang dengan kemampuan bicara (
asuhan diterima (4) mis : memori, pendengarn,

- Sulit bicara dan bahasa

- Sulit mengungkapkan kata-

kata
- Tidak dapat bicara

Faktor yang berhubungan :

- Defek orofating

- Gangguan fisiologis
- Gangguan perkembangan

- Gangguan persepsi
- Gangguan sistem saraf

pusat
- Ketidakcukupan informasi

- Hambatan lingkungan

-
-

Resiko infeksi b/d Control resiko : proses infeksi Perlindungan infeksi

ketidakadekuatan pertahanan Definisi : Definisi :


primer. Tindakan individu untuk mengerti, Pencegahan dan deteksi dini
Definisi : mengeliminasi, atau mengurangi infeksi pada pasien berisiko
Rentan mengalam invasi dan ancaman terkena infeksi.
multiplikasi organisme Domain-pengetahuan tentang Akivitas :
patogenik yang dapat kesehatan & perilaku (IV) - Monior adanya tanda

menganggu kesehatan Kelas-kontrol resiko dan keamanan dan gejala infeksi


Domain 11 (T) sistemik dan local

keamanan/perlindungan - Monitor kerentanan


Kelas 1. Infeksi Setelah dilakukan tindakan terhadap infeksi

keperawatan selama 3x24 jam - Pertahankan asepsis


Factor resiko : diharapkan terjadi perubahan dari untuk pasien beresiko

- Kurang pengetahuan kondisi penyimpangan yang besar - Berikan perawatan

untuk menghindari (1) sampai tidak adanya kulit yang tepat untuk
pemajanan pathogen penyimpangan (5). Ditujukkan area ( yang
- Obesitas dengan indicator sebagai berikut mengalami) edema

- Penyakit kronis : - Periksa kulit dan

- Prosedur invasit - Mencari informasi terkait selaput lender untuk

- Gangguan integritas control infeksi (4) adanya kemerahan,


kulit - Menidentifikasi factor kehangatan esktrim,

- Penurunan resiko infeksi (4) atau drainase

hemoglobin - Mengetahui konsekuensi - Tingkatkan asupan

terkait infeksi (4) nutrisi yang cukup

- Mengidentifikasi tanda dan - Anjurkan istirahat


gejala infeksi (4) - Instruksi pasien untuk

- Memonitor factor di minum antibiotic yang


lingkungan yang diresepkan

berhubungan dengan risiko -


infeksi (4)

Anda mungkin juga menyukai