Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

BELL’S PALSY DEXTRA

Diajukan Kepada :

Dr. Ivana Dewi, M.Kes, Sp.S

Disusun Oleh :

Aryuma Khairun Nisa’

H3A015030

Kepaniteraan Klinik Stase Neurologi

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSU ‘AISYIYAH KUDUS
2019
LEMBAR PENGESAHAN

KEPANITERAAN KLINIK STASE NEUROLOGI

Presentasi Laporan Kasus dengan judul :

BELL’S PALSY DEXTRA

Disusun Oleh:

Aryuma Khairun Nisa’

H3A015030

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Nama pembimbing Tanda Tangan Tanggal

dr. Ivana Dewi, M.Kes, Sp.S ........................ ......................

2
BAB I
DATA PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Umur : 34 tahun
Agama : Islam
Alamat : Ngembal Kulon, Jati, Kudus
No. Catatan Medis : 1390XX
Tanggal periksa : 16 Agustus 2019

II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 16 Agustus 2019.
Keluhan Utama
Wajah perot ke kiri
Riwayat Penyakit Sekarang
Ny. S usia 34 tahun datang ke poli saraf RSU ‘Aisyiyah Kudus pada tanggal
16 Agustus 2019 dengan keluhan wajah perot ke kiri sejak empat hari yang lalu.
Keluhan timbul secara tiba-tiba saat bangun tidur yang disertai dengan mata kanan
tidak dapat menutup sempurna sehingga terasa perih dan berair. Wajah sebelah kiri
terasa kencang dan sulit digerakkan. Keluhan tidak mengganggu aktivitas, tetapi
semakin memberat saat terkena kipas angin. Keluhan lain berupa pusing berdenyut
(+), demam (-), mual (-), muntah (-), gangguan pendengaran (-), BAB dan BAK
lancar.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. DM (-), hipertensi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Anggota keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Riwayat DM (-),
Ayah hipertensi (+), ibu vertigo (+)
Riwayat pribadi dan sosial ekonomi
Pasien merupakan seorang karyawan pabrik yang setiap pagi berangkat bekerja
menggunakan helm tanpa menutup kaca. Pasien mengaku sering tidur menemani
anaknya dengan kipas angin yang mengarah langsung ke bagian wajahnya.

3
III. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda Vital
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4M6V5)
3. Tanda Vital
a. TD : 130/80 mmHg
b. Nadi : 80 x/menit
c. Respirasi : 18 x/menit
d. Suhu : 36,3°C
Status Generalisata
1. Kepala : Mesocephal
2. Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+)
3. Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
4. Leher : JVP normal, KGB normal, trakea terletak di tengah.
5. Thorax : Bentuk normal dan gerak simetris
6. Cor
a. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus kordis teraba
c. Perkusi: Batas-batas jantung dalam batas normal
d. Auskultasi : BJ I – II murni reguler, murmur (-), Gallop (-)
7. Pulmo
a. Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
b. Palpasi : Hemithoraks kanan dan kiri simetris
c. Perkusi : Sonor pada hemithoraks kanan dan kiri
d. Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
8. Abdomen
a. Inspeksi : Perut datar, warna kulit sama dengan sekitar
b. Auskultasi : Bising usus (+) normal
c. Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
d. Palpasi : nyeri tekan (+) suprapubik
9. Ekstremitas
a. Atas : Edema (-/-), Sianosis (-/-), CRT <2”, akral hangat
b. Bawah : Edema (-/+), Sianosis (-/-), CRT <2”, akral hangat

4
Status Neurologis
1. Kesadaran : compos mentis
2. GCS : E4M6V5 (skor 15)
3. Pemeriksaan Motorik :
Ekstremitas Superior
Dextra Sinistra
Gerakan Bebas aktif
Kekuatan 5 5 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Refleks fisiologis (Biceps) Positif Positif
Refleks patologis (Hoffman) Negative Negative

Ekstremitas Inferior
Dextra Sinistra
Gerakan Bebas aktif
Kekuatan 5 5 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Refleks fisiologis (Patella) Positif Positif
Refleks patologis (Babinski) Negative Negative

4. R Pemeriksaan Sensorik
a. Ekteroseptif (rasa raba, rasa nyeri, rasa suhu)  normal
b. Propioseptif (rasa sikap, rasa gerak, rasa getar)  normal
c. Diskriminatif (gramestesi, barognosi, topognosia)  normal

5. Rangsang Meningeal :
a. Kaku kuduk : negative
b. Kernig : negative
c. Brudzinski I/II: negative
d. Laseque : negative

6. Pemeriksaan Nervi Craniales


N. Olfactorius [I]
Dextra Sinistra
Normosmia Normosmia

N. Opticus [II]
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Tajam penglihatan Normal Normal
Lapang pandang Normal Normal

5
Funduskopi Tidak dilakukan

N. Oculomotorius [III]
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Ptosis Normal Normal
Gerakan mata :
- Medial Baik Baik
- Superior Baik Baik
- Inferior Baik Baik
Bulat, sentral, regular.
Pupil
Isokor Ø ODS 3 mm
Refleks pupil Positif Positif
Akomodasi Baik Baik
\

N. Trochlearis [IV]
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Gerakan mata :
Medioinferior Baik Baik

N. Trigeminalis [V]
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Menggigit Normal Normal
Membuka mulut Normal Normal
Sensibilitas :
- Oftalmika + +
- Maksilla + +
- Mandibula + +
Refleks kornea Tidak dilakukan

N. Abducens [VI]
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Gerakan mata :
Ke arah lateral Baik Baik

N. Facialis [VII]
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Mengerutkan dahi - +
Mengangkat alis - +
Menutup mata - +
Tersenyum - +
Mengembungkan pipi - +
Pengecap 2/3 anterior Tidak dilakukan

N. Vestibulocochlearis [VII]
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Tes bisik Normal Normal

6
Tes Rinne, Weber,
Tidak dilakukan
Swabach

N. Glossopharyngeus [IX] dan N. Vagus [X]


Pemeriksaan Hasil
Arcus pharynx Normal
Uvula Sentral
Pengecap 1/3 posterior Tidak dilakukan
Refleks muntah Tidak dilakukan

N. Accessorius [XI]
Pemeriksaan Hasil
Memalingkan kepala Baik
Mengangkat bahu Baik

N. Hypoglossus [XII]
Pemeriksaan Hasil
Sikap lidah Tidak ada deviasi
Gerakan lidah Baik
Fasikulasi Negatif
Tremor Negative
Atrofi Negative

7
IV. RESUME
Ny. S usia 34 tahun datang ke poli saraf RSU ‘Aisyiyah Kudus pada tanggal
16 Agustus 2019 dengan keluhan wajah perot ke kiri sejak empat hari yang lalu.
Keluhan timbul secara tiba-tiba saat bangun tidur yang disertai dengan mata kanan
tidak dapat menutup sempurna. Wajah sebelah kiri terasa kencang dan sulit
digerakkan. Keluhan tidak mengganggu aktivitas, tetapi semakin memberat saat
terkena kipas angin. Keluhan lain berupa pusing berdenyut (+), demam (-), mual (-),
muntah (-), gangguan pendengaran (-), BAB dan BAK lancar. Sebelumnya pasien
tidak pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat DM (-), hipertensi (-). Riwayat
keluarga dengan keluhan serupa (-), DM (-), ayah hipertensi (+), ibu vertigo (+).
Pasien setiap pagi berangkat bekerja menggunakan helm tanpa menutup kaca dan
mengaku sering tidur dengan kipas angin yang mengarah langsung ke bagian
wajahnya.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran compos mentis dengan
nilai GCS E4M6V5 (skor 15). Tanda-tanda vital dalam batas normal. Status generalis
dalam batas normal. Pada pemeriksaan status neurologis, motorik dan sensorik
ekstremitas superior et inferior dalam batas normal. Tidak didapatkan adanya refleks
patologis dan rangsang meningeal (-). Pemeriksaan nervi craniales didapatkan
gangguan pada N. Facialis [VII], yaitu kelemahan gerak wajah sebelah kanan.
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Mengerutkan dahi - +
Mengangkat alis - +
Menutup mata - +
Tersenyum - +
Mengembungkan pipi - +

V. DIAGNOSIS
1. Diagnosis Klinis : Ipsiparese N. VII dextra
2. Diagnosis Etiologis : Suspect Bell’s Palsy
3. Diagnosis Topis : N. Facialis [VII]

VI. TERAPI
1. Non Farmakologis
a. Memijat wajah dengan gerakan mengangkat pipi ke atas selama 5-10 menit,
2x/hari.

8
b. Senam wajah dengan tersenyum, menutup mata, mengerutkan dahi,
memonyongkan bibir di depan cermin (mirror therapy).
c. Kompres dengan air hangat
d. Fisioterapi ; Sinar Infra Red dan Short Wave Diathermi
2. Famakologi
R/ prednisone 20 mg tab No. XXX
S 3 dd 1

R/ acyclovir 400 mg tab No. XXXV


S 5 dd 1

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam

9
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Bell’s palsy merupakan suatu kelumpuhan akut N. Fasialis perifer yang
tidak diketahui sebabnya. Bell’s palsy dapat didefinisikan menjadi kelumpuhan
fasialis perifer akibat proses non -supuratif, non neo-plasmatik, non-degeneratif
primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di
foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang
mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.1

II. ANATOMI
N. Facialis [VII] mempunyai
komponen motorik yang
mempersarafi semua otot ekspresi
wajah pada salah satu sisi, komponen
sensorik kecil (nervus intermedius
Wrisberg) yang menerima sensasi rasa
dari 2/3 anterior lidah, dan komponen
otonom yang merupakan cabang
sekretomotor yang mempersarafi
glandula lakrimalis.2
N. Facialis [VII] keluar dari
otak di sudut serebello-pontin
memasuki meatus akustikus internus.
Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang untuk
ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke cabang motorik ditandai
dengan garis warna biru, cabang parasimpatis ditandai dengan garis warna jingga,
dan cabang aferen viseral spesial (pengecapan) ditandai dengan garis putus-putus
dan titik. Muskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada bagian
awal dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan bagian yang tersempit yang
dilewati saraf fasialis; foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diameter
sebesar 0,66 mm.2

10
III. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Mengenai penyebab kelumpuhan N. Fasialis perifer sampai sekarang belum
diketahui secara pasti. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kongenital
2. Anomali kongenital (sindroma Moebius)
3. Trauma
4. Penyakit tulang tengkorak(osteomielitis)
5. Proses intrakranial (tumor, radang, pendarahan, dll)
6. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus
7. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster, dll)
8. Sindroma paralisis N. Fasialis familial
Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s
palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus
lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Murakami et al menggunakan
teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom virus,
dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh
pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang dilakukan dekompresi
pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al menginokulasi HSV dalam
telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut.
Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion
genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks
atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran patologi dan mikroskopis menunjukkan
proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf.3

IV. MANIFESTASI KLINIS

11
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda. Bila
lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan
paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata
melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair
karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli
terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang
tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar
dari sudut mulut.2,4
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di
bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen
stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah
pada sisi yang sama. Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus
stapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain
itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan
berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan.2,4
Bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat
dikerutkan. Fisura palpebral tidak ditutup dan pada usaha untuk memejam mata
terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir
tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos,
maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun di situ.2,4

V. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah akan ditemukan kelemahan pada
seluruh wajah sisi yang terkena. Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop
diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi
cabang muskulus stapedius yang paralisis.
Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan
yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf
kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien
tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.
House Brackmann Classification of Facial Function
1. Derajat 1  Fungsional normal
2. Derajat 2  Angkat alis baik, menutup mata komplit, mulut sedikit asimetris.

12
3. Derajat 3  Angkat alis sedikit, menutup mata komplit denganusaha, mulut
bergerak sedikit lemah dengan usaha maksimal.
4. Derajat 4  Tidak dapat mengangkat alis, menutup matainkomplit dengan
usaha, mulut bergerak asimetris dengan usaha maksimal.
5. Derajat 5  Tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan
usaha, mulut sedikit bergerak.
6. Derajat 6  Tidak bergerak sama sekali.

VI. DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagimenurut lokasi lesi sentral
dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan
anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri
kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental
status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai
kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila
terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat
trauma sebelumnya.4,6
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media
supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan
foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila
ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna
dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-
zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut;
kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan
gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor
serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII;
tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan
sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus,
uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.4,6

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf
kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat

13
dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem
saraf pusat (SSP).7 Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai
neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi
sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan
penyengatan kontras saraf fasialis.7
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970
sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan
kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.8 Grosheva et al melaporkan
pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik
dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian
tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan
negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan
berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP),
pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan
pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat
bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima,
meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2
hanya ditemukan pada 15,6% kasus.7,8

VIII. TATALAKSANA
Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa
identifikasi dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat
kelainan lain pada pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang
menjadi diagnosis banding Bell’s palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat
menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan diagnosis banding lain.
Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi non-farmakologis
dan farmakologis seperti dijelaskan di bawah ini.
1. Terapi Non-farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing.
Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial
tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata
atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan
bawah).8

14
Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan
mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat
bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, tetapi
tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.7,8
Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase,
meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori
terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori
inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.9 Kategori inisiasi ditujukan
pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat
memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa
masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10
kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah
berlebih.9,10
Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri
wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan
tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan
lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan
kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang
lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang
simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set
perhari.9,10
Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien
dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi
sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa
mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan
mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi
strategi meditasi-relaksasi.9,10
Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan
kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah
dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada
strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio

15
difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan
ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari. 9,10
Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami
perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk
menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan,
fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu
dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik. Konsultasi ke bagian lain,
seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan
apabila terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula
parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien.
2. Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling
mungkin dalam patogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat
mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf
di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai
dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil
pengobatan.10 Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan
prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama
enam hari diikuti empat hari tappering off.10 Efek toksik dan hal yang perlu
diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu)
berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis,
supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.10
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan
preparat antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun,
beberapa percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal
tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid. Penelitian retrospektif Hato et
al mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik didapatkan pada pasien yang
diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang
hanya diterapi dengan prednisolon. Data-data ini mendukung kombinasi terapi
antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset.
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg
per hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari.
Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari
yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari (17,18,23).

16
Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih
tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3
kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan
preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah
mual, diare, dan sakit kepala.8

IX. KOMPLIKASI
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat
yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s
palsy, adalah (1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang
menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis, (2) regenerasi
sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia
(hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak
sama dengan stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis.8
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis
yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul
gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan
dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul
beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom,
contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3)
clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba
(shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium
awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).8

X. PROGNOSIS
Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini
sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien
dengan Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus
membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis
persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.1,9
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit
(risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-
aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s
palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus

17
dengan penyengatan kontras yang jelas. Faktor yang dapat mendukung ke
prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan
total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/ atau perbaikan
fungsi pengecapan dalam minggu pertama. Selain menggunakan pemeriksaan
neurofisiologi untuk menentukan prognosis, House-Brackmann Facial Nerve
Grading System dapat digunakan untuk mengukur keparahan dari suatu serangan
dan menentukan prognosis pasien Bell’s palsy.5,9

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell palsy.
In: Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical Neurology. 6th Ed.
USA: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005. p. 182.
2. Netter FH. The CIBA collection of medical illustrations, nervous system, vol 7, part
2. 2nd Edition. Ebook. Elseiver; 2013.
3. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinal cord, peripheral
nerve, and muscle. In: Ropper AH, Brown RH, editors. Adam and Victor’s Principles
of Neurology. 9th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2015. p. 1180-2.
4. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Virginia: Medscape.
2010.
5. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence and prognosis of Bell’s
palsy in the population of Rochester, Minnesota. Mayo Clin Proc. 2017;46:258.
6. Sabirin J. Bell’s palsy. In: Hadinoto HS, Noerjanto M, Jenie MN, Wirawan RB, Husni
A, Soetedjo, editors. Gangguan gerak. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. 2016. p. 163-172.
7. Mardjono, Mahar. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2014.
8. Hadlock TA, Greenfield LJ, Wernick-Robinson M, Cheney ML. Multimodality
approach to management of the paralyzed face. Laryngoscope. 2011;116:1385-9.
9. de Almeida JR, Al Khabori M, Guyatt GH, Witterick IJ, Lin VY, Nedzelski JM, et al.
Combined corticosteroid and antiviral treatment for Bell’s palsy: a systematic review
and metaanalysis. JAMA. 2015;302:985-93.
10. Quant EC, Jeste SS, Muni RH, Cape AV, Bhussar MK, Peleg AY. The benefits of
steroids versus steroids plus antivirals for treatment of Bell’s palsy: a meta-analysis.
BMJ. 2015;339:3354.

19

Anda mungkin juga menyukai