Anda di halaman 1dari 21

Manajemen

Anemia Defisiensi Besi


Perioperatif

SUGI NURRAHMAWATI
H2A015053
ABSTRAK
Anemia pra operasi mempengaruhi 30 sampai 40% pasien yang menjalani operasi besar dan adalah sebuah faktor
resiko independen untuk transfuse darah perioperative, morbiditas, dan mortalitas. Defisiensi zat besi absolut atau
fungsional adalah penyebab utamanya. Defisiensi hematinic non anemic juga banyak terjadi dan dapat
menghalangi optimisasi hemoglobin pra operasi dan/atau pemulihan dari anemia pasca operasi. Sebagai faktor
resiko yang dapat dimodifikasi, anemia dan defisiensi hematinic dapat diketahui dan dikoreksi sebelum dilakukan
prosedur operasi besar. Anemia pasca operasi bahkan lebih sering terjadi (sampai 80 hingga 90%) karena
kehilangan darah, eritropoiesis yang diakibatkan oleh inflamasi, dan/atau anemia yang sudah muncul sebelumnya.
Zat besi minum pra operasi berperan penting dalam anemia ringan dan sedang, dengan waktu yang cukup (6-8
minggu) dan tolerasi persiapan oral yang memadai. Iron minum pasca operasi sedikit berpengaruh dengan
kejadian gastrointestinal. Zat besi intra vena sebaiknya dipilih untuk kasus anemia defisiensi zat besi yang parah,
penggunaan agen eritropoiesis-stimulasi, waktu singkat menuju operasi atau prosedur non elektif, dan manajemen
anemia pasca operasi. Reaksi infus minor terhadap zat besi intra vena sangat jarang terjadi, kejadian reaksi
anafilaktik yang parah sangat rendah, dan tidak ada peningkatan infeksi dengan zat besi intra vena. Saat ini,
formulasi zat besi intra vena dengan dosis tunggal yang besar lebih disukai.
Pendahuluan
Pada praktik klinis harian, kehadiran anemia dijelaskan menurut ambang
batas hemoglobin (Hb) yang ditentukan oleh WHO. Dalam kasus anemia
kekurangan zat besi atau iron deficiency (ID) anemia (IDA), WHO
menyatakan bahwa “ringan” bukanlah istilah yang tepat, karena ID pasti
sudah parah ketika anemia terdeteksi dan menyebabkan konsekuensi
kesehatan bahkan ketika anemia tidak tampak secara klinis.
Mengacu pada kriteria WHO, di tahun 2010, sepertiga populasi dunia
menderita anemia (lebih dari 2 milyar orang), dan IDA tetap menjadi jenis
anemia paling umum di seluruh dunia sebesar setengah dari beban total
anemia. Dalam sebuah analisis yang sistematik untuk Beban Global Studi
Kesehatan di tahun 2016, IDA merupakan penyebab utama keempat untuk
tahun-tahun dengan dsabilitas terutama pada wanita, sehingga
menggarisbawahi pencegahan dan penanganan ID dan IDA sebagai sebuah
tujuan kesehatan publik utama.
Prevalensi dan Konsekuensi dari Anemia
Perioperatif
Kriteria WHO untuk definisi anemia mungkin tidak dapat diandalkan untuk klasifikasi pada wanita
non hamil yang akan menjalani prosedur operasi dengan dugaan kehilangan darah yang sedang sampai
tinggi. Baru-baru ini, sebuah studi yang melibatkan 1,388 wanita yang menjalani operasi jantung
menunjukkan bahwa konsentrasi Hb “batas” (12.0-12.9 g/dL) dikaitkan dengan permintaan transfusi sel
darah merah atau red blood cell transfusion (RBCT) dan rawat inap yang diperpanjang dibandingkan
dengan no anemia (Hb ≥ 13 g/dL). Terlepas dari jenis kelamin, pada pasien yang dijadwalkan untuk
prosedur operasi besar, Hb < 13 g/dL sebelum operasi harus dianggap sebagai sub optimal.
Pada sebuah kohort prosedur elektif besar (n = 3,342), prevalensi anemia keseluruhan (Hb < 13
g/dL) adalah 36%, dengan selisih antar jenis kelamin (53% pada wanita, dan 23% pada pria, p < 0.001),
dan prosedur (operasi ginekologis 64%, kanker kolorektal 58%, operasi jantung 40%, reseksi metastasis
hati 37%, operasi ortopedi elektif 64%, dan prostatektomi radikal 8%). Lebih dari 70% pasien anemia
menderita ID atau ID fungsional (FID) yang berdampak pada iron-restricted erythropoiesis (IRE).
Sebuah analisis meta yang meliputi hampir 950,000 prosedur operasi non jantung melaporkan
bahwa anemia pra operasi dihubungkan dengan meningkatnya resiko transfusi perioperatif, morbiditas
(infark miokardial akut, stroke iskemik, atau cedera ginjal) dan rumah sakit dan mortalitas 30 hari. Pada
prosedur operasi jantung, anemia pra operasi bersinergi dengan dampak negatif kehilangan darah dan
RBCT pada resiko mortalitas.
Defisiensi hematinic pra operasi tanpa anemia juga perlu diperhatikan. Bukti bahwa ID non
anemik adalah sebuah penyakit yang perlu perhatian khusus karena resikonya meliputi
populasi bedah. Pada studi yang telah disebutkan di atas, 42% pasien non anemic menderita
ID atau FID dan 27% lainnya dengan zat besi yang rendah (didefinisikan dengan ferritin pra
operasi <100 ng/mL). Kekurangan vitamin B12 (konsnetrasi serum <270 pg/mL) atau
kekurangan folat (konsnetrasi serum <3 ng/mL) jarang terjadi, tetapi harus dipenuhi ketika
terjadi defisiensi. Defisiensi tersebut dapat menghambat optimisasi Hb pra operasi dan/atau
pemulihan dari anemia pasca operasi serta meningkatkan morbiditas pasca operasi.
Prevalensi anemia pasca operasi setelah operasi besar lebih tinggi (sampai 80-90%)
meskipun sangat bervariasi; tergantung dari definisi yang berbeda yang mendasari kondisi
medis dan jenis operasi yang dijalani. Anemia pra operasi, jenis kelamin wanita, area
permukaan tubuh yang lebih kecil, kehilangan darah perioperatif, dan eritropoiesis pasca
operasi adalah faktor-faktor utama yang berkotribusi pada anemia pasca operasi.
Oleh sebab itu, sebagai faktor resiko yang dapat dimodifikasi, kehadiran anemia pra operasi (Hb < 13
g/mL pada kedua jenis kelamin) dan defisiensi hematinic harus ditelusuri sebelum operasi dijalani, dengan
kemungkinan kehilangan darah sedang sampai tinggi (>500 mL) sedini mungkin dan idealnya secepat
mungkin setelah keputusan operasi dibuat, tetapi setidaknya 4 minggu sebelum prosedur dijadwalkan
(“pendekatan ortodoks”). Untuk prosedur elektif, hal ini dapat berakibat pada penundaan operasi dengan
niat untuk perawatan anemia dengan tujuan resolusi. Untuk prosedur non elektif, waktu yang tersedia
harus digunakan untuk memulai perawatan yang dapat dimulai dan dilanjutkan pada periode pasca
operasi. Disarankan untuk membentuk kelompok ahli manajemen darah pasien di setiap rumah sakit yang
menjalankan prosedur operasi besar, di mana jalur manajemen anemia perioperatif harus ditempatkan
dengan jelas .
Meskipun bukti level satu untuk perawatan ID pada kondisi yang lain telah ditetapkan, kurangnya
bukti untuk meningkatkan hasil pada populasi operasi tidak seharusnya menghalangi praktik kilinis yang
baik, dengan rekomendasi untuk mendiagnosis dan merawat ID dengan atau tanpa anemia terutama pada
pasien yang menjalani operasi besar. Optimisasi eritropoiesis adalah sebuah pilar yang fundamental untuk
manajemen darah pasien yang dapat meningkatkan hasil pasien.
Opsi Perawatan untuk Defisiensi Zar
Besi
Sampai uji terbaru untuk menentukan kebutuhan zat besi divalidasi (misalnya
konten Hb retikulosit, sel darah merah hipokromik, atau reseptor transferrin larut),
saturasi transferrin tetap menjadi alat yang paling dapat diandalkan untuk menentukan
kebutuhan zat besi. Kombinasi yang pas antar uji laboratorium dalam sebuah algoritma
yang terpadu akan membantu menentukan diagnosis yang tepat, menghindari
kembalinya pasien untuk tes darah yang lain, dan meniadakan studi lab yang tidak
diperlukan.
Mengikuti diagnosis ID, maka relevan untuk menemukan penyebab yang
mendasarinya, terutama pada anemia yang tidak terjelaskan atau kambuhan, serta
memilih opsi terapeutik yang tepat yang memenuhi kebutuhan pasien. ID harus dirawat
dengan zat besi minum atau zat besi intra vena, dengan atau tanpa recombinant human
erythropoietin (rHuEPO), bergantung pada tingkat Hb pasien, toleransi anemia, dan
komorbiditas, dan tidak beralih ke RBCT. Ketika menangai anemia pra operasi secara
farmakologi, konsnetrasi Hb target harus ≥13 g/dL (pada kedua jenis kelamin) untuk
meminimalisir resiko hasil yang tidak diinginkan yang berkaitan dengan RBCT.
1. Suplementasi Zat Besi Minum
A. The National Institute for Health and Care Excellence (NICE) di Inggris merekomendasikan

zat besi minum sebelum atau setelah operasi bagi pasien dengan IDA. Dosis harian tungga

rendah (< 60 mg) dan/atau selang seling hari (<100 mg) dapat menurunkan efek sampingnya
dan memaksimalkan penyerapan fraksional.
Pada pasien IDA lansia, pemberian harian zat besi elemental 50 mg selama 2 bulan sama
efektifnya dengan 150 mg per hari untuk meningkatkan Hb dan ferritin, tetapi dengan efek
samping saluran pencernaan yang lebih rendah.
B. Pada penggantian panggul utama, sebuah studi retrospektif menunjukkan bahwa,
dibandingkan dengan tanpa suplementasi zat besi, zat besi pirofosfat ferric liposome-
enkapsulasi (30 mg/ hari selama 3-4 minggu pra operasi) dapat ditoleransi, menurunkan
permintaan transfusi serta rawat inap, dan berdampak pada level Hb yang lebih tinggi 30
hari setelah keluar rumah sakit.

Karena suplementasi zat besi minum membutuhkan waktu yang cukup signifikan, ketika interval
sebelum operasi mencukupi (sekurang-kurangnya 6 sampai 8 minggu) dan tidak ada kontra indikasi,
suplementasi dengan zat besi minum dan saran nutrisi dapat diberikan untuk IDA ringan sampai sedang
dan/atau ID non anemic atau zat besi yang tidak memadai.
Pada zat besi minum pasca operasi, sebuah ulasan tentang 7 RCT yang meliputi 804
pasien operasi ortopedi dan jantung menunjukkan bahwa terapi zat besi minum dosis
tinggi (100-300 mg zat besi elemental/ hari) tidak lebih baik daripada placebo dalam
memperbaiki anemia pasca operasi dan/atau menurunkan permintaan transfusi, dan
dikaitkan dengan efek samping saluran pencernaan yang signifikan.
Bahkan dengan adanya ID, tampaknya pemberian garam zat besi minum pasca
operasi tidak cukup efektif untuk mengoreksi anemia karena level hepcidin yang tinggi
yang diakibatkan oleh inflamasi yang berkaitan dengan stress operasi. Ini dapat
menghambat penyerapan zat besi minum di dalam usus. Hasil dari studi IRONOUT pada
pasien dengan gagal jantung kronis dan ID tampak mendukung ketidakefektifan garam zat
besi minum pada pengaturan inflamasi.
✔ Kelebihan zat besi
• Ferritin >100 ng/mL plus saturasi transferrin 20%
Defisiensi zat besi absolut
• Ferritin <30 ng/mL
Ferritin 30–100 ng/mL plus saturasi transferrin
<20% dan/atau protein C-reaktif >5 mg/L
✔ Sekuestrasi zat besi
• Ferritin >100 ng/mL plus saturasi transferrin <20%
dan/atau protein C-reaktif >5 mg/L*
Simpanan zat besi rendah
• Ferritin 30–100 ng/mL** plus saturasi transferrin >20%
2. Suplementasi Zat Besi Intra Vena

Dalam kasus adanya intoleransi atau ketidakefektifan garam zat besi, mengganti dengan zat besi intra
vena adalah hal yang tepat. Pada pasien bedah, rute intra vena lebih disukai pada kasus anemia sedang
sampai parah, kehabisan darah yang terus terjadi, status inflamasi, penggunaan agen stimulasi eritropoiesis,
waktu operasi yang pendek atau prosedur non elektif. Zat besi intra vena lebih disukai untuk manajemen
anemia pasca operasi sedang sampai parah (Hb <10 g/dL), terutama pada pasien dengan simpanan zat besi
pra operasi yang sedikit. Karena respon atas zat besi intra vena tidak langsung terjadi, tidak semua RBCT
pasca operasi dapat dihindari tetapi koreksi ID dan ameliorasi anemia dapat meningkatkan kinerja pasien.
Sebagian besar studi yang telah dipublikasi, terutama pada operasi ortopedi dan kanker kolorektal,
mendukung penggunaan intra vena dibandingkan zat besi minum untuk menangani anemia pra operasi
(Table 1, 2, 4). Pada operasi jantung, hasil yang bertentangan ditemukan dan itu bergantung pada apakah
zat besi intra vena diberikan dengan atau tanda rHuEPO. Sebagian besar pandungan dari para asosiasi
professional dan dokumen konsensus internasional merekomendasikan pemberian zat besi intra vena untuk
manajemen anemia perioperatif.
Beberapa formulasi zat besi intra vena yang berbeda secara komersial telah terseida untuk penggunaan
klinis. Ini meliputi glukonat ferric, sukrosa zat besi, dekstran zat besi dengan berat molekul yang kecil,
ferric carboxymaltose (FCM), ferumoxytol, atau isomaltoside zat besi 1000. Semua formulasi ini telah
menunjukkan keberhasilan yang bergantung pada dosisnya. Formulasi zat besi intra vena lebih aman,
meskipun lebih mahal jika dibandingkan dengan zat besi minum, dan ada kebutuhan untuk akses vena dan
monitoring. Kejadian reaksi anafilaktik sangat rendah (= 1 pada 250,000), tetapi hal ini juga tidak
sepatutnya diabaikan. Dengan pemberian obat-obatan intra vena, praktisi harus bersiap untuk mengatur
hipersensitivitas akut dengan tindakan standar, tidak spesifik pada zat besi intra vena. Sebagai catatan,
formulasi zat besi intra vena yang mengizinkan infuse waktu singkat (15 sampai 60 menit) dosis zat besi
tinggi (1000 mg atau lebih), seperti dekstran zat besi dengan berat molekul yang rendah, FCM, isomaltosit
1000, atau ferumoxytol, lebih disukai oleh para dokter dan pasien dibandingkan dengan glukonat ferric
atau sukrosa zat besi.
3. Eritropoietin Manusia Rekombinan
A.Pemberian rHuEPO harus dipertimbangkan pada pasien dengan anemia inflamasi
kronis dan tidak menunjukkan kontra indikasi dengan rHuEPO untuk menangani penyakit
yang mendasari. Pasien lansia dengan anemia yang tidak diketahui etiologinya, penyakit
ginjal, atau sindrom myelodiplastik ringan/ sedang seringkali menunjukkan respon yang
baik terhadap pemberian rHuEPO meskipun suplementasi zat besi yang cukup harus
selalu dipastikan, terutama melalui rute intra vena.

Di Eropa, rHuEPO dilisensikan untuk menaikkan level Hb pra operasi dan menurunkan
tingkat RBCT pada pasien yang menjalani operasi ortopedi elektif dengan Hb antara 10
sampai 13 g/dL dan diduga mengalami kehilangan darah sedang. Pada sebuah analisis meta
(7RCT, 1221 artroplasti lutut atau panggul), dengan membandingkan dengan kelompok
kontrol (placebo atau tanpa perawatan), pemberian rHuEPO pra operasi ( secara umum, 3-
4 x 40000IU) berdampak pada tingkat RBCT yang lebih rendah (odds ratio [OR] = 0.41;
96% confidence interval [CI] = 0.28 – 0.60; p = 0.0001) dan transfusi yang lebih sedikit
(OR = -0.45; 95% CI = - 0.68 sampai -21; p = 0.0002), sedangkan level Hb lebih tinggi
pada semua titik waktu perioperatif (hari operasi 24 – 48 jam dan 3 – 5 hari pasca operasi,
atau saat keluar rumah sakit).
Beberapa studi observasional dan RCT terbaru menunjukkan manfaat dosis rHuEPO yang lebih
sedikit pada pasien ortopedi, terutama ketika dikombinasikan dengan zat besi intra vena pada
sebuah program manajemen darah pasien. Theusinger, dkk melaporkan hasil dari “pendekatan
pragmatis” untuk pasien yang melapor pada anestesiologis sekurang-kurang 4 minggu sebelum
operasi ortopedi besar (n = 1985). Mereka yang menderita anemia (Hb <13 g/dL; n = 178)
menerima FCM (1000 mg i.v.), rHuEPO (40000IU s.c.) dan vitamin B12 (1 mg i.v.) serta asam
folat minum (5 mg/ hari selama 4 minggu) dan kembali diperika setelah 14 hari. Jika Hb tetap <13
g/dL, mereka menerima tambahan dosis FCM (1000 mg), rHuEPO (40000 IU), dan vitamin B12 (1
mg) (n = 27). Semua pasien yang ditangani menunjukkan tingkat Hb normal (≥ 13 g/ dL) pada hari
operasi. Hasil penelitian ini dibandingkan dengan laporan Petis, dkk pada 2088 pasien yang
dijadwalkan untuk artroplasti, di mana 57% menerima zat besi minum di antara indikasi operasi
dan pemeriksaan pra operasi. 132 pasien menerima rHuEPO (40000 IU, 1-4 dosis) dan 42 sukrosa
zat besi intra vena (300 mg) di antara pemeriksaan pra operasi dan hari operasi, ketika 16% masih
mengalami anemia. Dosis zat besi intra vena yang lebih rendah dihubungkan dengan selisih
prevalensi anemia pada hari operasi, jika dibandingkan dengan studi oleh Theusinger, dkk
Peran dari penggunaan rHuEPO pada operasi jantung dan kanker saluran pencernaan juga
didalami. Pada operasi jantung, pemberian rHuEPO pra operasi, dengan atau tanpa zat besi
intra vena, secara signifikan meningkatkan level Hb pra operasi, menurunkan persyaratan
RBCT, dan/atau menurunkan komplikasi besar pasca operasi serta waktu rawat inap jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kanker saluran pencernaan, sebuah analisis data
(6 RCT, 621 pasien) menunjukkan bahwa perawaran perioperatif dengan rHuEPO tidak
menurunkan tingkat RBCT (33 vs 37%; OR: 0.89, p = 0.206). Peningkatan penggunaan
rHuEPO pada operasi onkologis (karena penggunaan jangka pendek dan respon Hb yang
positif) juga didukung dengan kurangnya bukti bahwa rHuEPO mempengaruhi mortalitas yang
berkaitan dengan kanker atau progres penyakit. Pemebrian rHuEPO masih off label untuk
pasien yang menjalani operasi kanker kuratif. Manfaat penurunan tingkat RBCT telah diamati
pada sebagian besar studi di mana rHuEPO perioperatif jangka pendek, dengan atau tanpa zat
besi intra vena, diberikan kepada pasien yang menjalani artroplasti anggota tubuh bagian
bawah, perbaikan fraktur panggul, atau operasi jantung (“pendekatan kesempatan”). Akan
tetapi, beberapa panduan tidak mendukungan penggunaan off-label untuk agen ini. Sebuah
panggilan untuk mengevaluasi kembali beberapa kesalahan konsepsi rHuEPO berdasarkan
penggunaan off-label dan peningkatan level Hb serta reduksi RBCT harus menghasilkan
perubahan pada labeling atau pembatasan, meskipun di AMerika, Federal Drug Administration
telah melonggarkan beberapa persyaratan mitigasi resiko untuk penggunaan rHuEPO.
Kesimpulan
- Di setiap rumah sakit yang melaksanakan prosedur operasi besar, sebuah jalur
manajemen anemia perioperatif harus diimplementasi.
- Pada operasi besar, Hb pra operasi <13 g/dL perlu dianggap sub optimal pada pria dan
wanita, dan harus ditingkatkan sebelum pelaksanaan operasi.
- Anemia pra operasi harus dideteksi, didiagnosis, dan ditangani dengan baik sebelum
operasi besar. Untuk prosedur elektif, dibutuhkan penundaan operasi dengan niat untuk
menangani anemia dengan tujuan resolusi.
- Defisiensi zat besi tanpa anemia harus dirawat untuk mengoptimalkan simpanan zat besi
pra operasi dan mempercepat pemulihan dari anemia pasca operasi.
- Ketika memberikan zat besi minum, berikan dosis tunggal bawah (< 100 mg) secara
berselang seling untuk meningkatkan penyerapan dan tolerabilitas.
- Dalam hal operasi mendadak atau anemia pasca operasi, mayoritas studi yang
dipublikasikan lebih mendukung penggunaan zat besi intra vena dibandingkan zat
besi minum, dan formulasi zat besi intra vena yang mengizinkan infusi singkat
(15 sampai 60 menit) zat besi dosis tinggi (≥ 1000 mg).
- Berikan rHuEPO (1-2 x 40000 IU) dengan zat besi intra vena pada pasien dengan
Hb <13 g/ dL dan inflamasi atau tidak merespon zat besi intra vena jika tidak
ada kontra indikasi, dan berikan profilaksis tromboembolik farmakologis yang
cukup.
- Ketika Hb sebelum perawatan cukup rendah, periksa respon terhadap terapi
anemia setelah 2 minggu, dan semua pasien yang dirawat harus menjalani
pemeriksaan Hb pada hari operasi.
- RBCT harus dibatasi pada pasien yang menderita IDA serius, cadangan fisiologis
rendah, dan/atau gejala akut yang membutuhkan perawatan segera, dengan
menggunakan jumlah minimal yang diperlukan untuk mencapai stabilitas klinis,
dan diikuti dengan perawatan anemia farmakologis.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai