Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI USIA 52 TAHUN DENGAN DM ULKUS DAN


CKD GRADE IV
Untuk memenuhi tugas Kepanitraan Klinik Bagian Radiologi
Di RS Roemani Muhammadiyah Semarang

Disusun oleh :
Sugi Nurrahmawati
H2A015053

Pembimbing :
Dr. Arinawati, Sp.Rad
Penguji:
Dr. Boyanto Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


RS ROEMANI MUHAMMADIYAH SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kinerja insulin atau kedua-duanya.1
Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu
penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang
ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi
fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi
insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh
kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin.2
Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi yang umum bagi
pasien dengan diabetes melitus. Penyembuhan luka yang lambat dan
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi cenderung terjadi, ganggren
dapat berkembang dan terdapat resiko tinggi perlu dilakukannya amputasi
tungkai bawah hal ini diakibatkan oleh gangguan neurologis (neuropati) dan
vaskuler pada tungkai.3

Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur


atau fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai
penurunan glomerular filtration rate (GFR). Selain itu, CKD dapat pula
didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana GFR < 60 mL/menit/1,73 m2
selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa disertai kerusakan ginjal. Pada umumnya
penyakit ginjal kronik berakhir dengan gagal ginjal.4
Prevalensi penyakit ginjal kronik diseluruh dunia sekitar 5-10%.
Prevalensi penyakit ginjal kronik di Amerika serikat pada tahun 1999-2004
adalah 13,1%, yang terdiri dari1,8% derajat 1; 3,2% derajat 2; 7,7% derajat 3;
dan 0,35% derajat 4.5

2
Di Indonesia belum ada data yang lengkap mengenai penyakit ginjal
kronik. Diperkirakan insiden penyakit ginjal kronik tahap akhir di Indonesia
adalah sekitar 30,7 per juta populasi dan prevalensi sekitar 23,4 per juta
populasi.

Penyakit ginjal kronik tidak hanya akan menyebabkan gagal ginjal,


tetapi juga menyebabkan komplikasi kardiovaskular, keracunan obat, infeksi,
gangguan kognitif dan gangguan metabolik dan endokrin seperti anemia,
renal osteodistrofi, osteitis fibrosa cysta dan osteomalasia.6,7,8

Pada derajat awal, penyakit ginjal kronik belum menimbulkan gelaja


dan tanda, bahkan hingga laju filtrasi glomerulus sebesar 60% pasien masih
asimtomatik tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.8,9

Pemeriksaan penunjang radiologis yang umumnya dilakukan pada


pasien
GGK ialah pemeriksaan ultrasonografi (USG). Ultrasonografi saat ini
digunakan sebagai pemeriksaan pertama secara rutin pada keadaan gagal
ginjal untuk memperoleh informasi tentang parenkim, system collecting dan
pembuluh darah ginjal.10

3
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. K
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Karang anyar legok RT 5/4 KR. ANYAR
GUNUNG, JAWA TENGAH
Status Perkawinan : Menikah
Suku :Jawa
Tanggal MRS : 2 Maret 2020
No RM : 361065

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Nyeri pinggang kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli dengan rujukan dari dokter puskesmas
tanggal 20 November 2019 RS Roemani Semarang dengan keluhan
nyeri pinggang kiri sejak 1 minggua. Nyeri pinggang dirasakan tiba-
tiba dengan intensitas nyerinya terus menerus, mengganggu aktivitas
berkurang saat diberikan obat anti nyeri yang didapatkan dari
puskesmas. Tidak disertai mual, muntah, demam dan pusing.
Sebelumnya pasien pernah berobat di puskesmas dan diberikan obat
anti nyeri.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat batu ginjal (-)
- Riwayat kencing manis (+), sudah lebih dari 10 tahun, terkontrol

4
- Riwayat asma (-)
- Riwayat alergi obat/makanan (+) alergi antalgin
- Penyakit paru (-)
3. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Hipertensi (-)
- Asma (-)
- Penyakit jantung (-)
- Penyakit paru (-)
- DM (+) ayah dan ibu (+)
- Alergi obat/makanan (-)
4. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok (-),
- Minum kopi (+), kadang-kadang
- Minum alkohol (-)
- Olah raga (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan Umum
Tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis (GCS 456), status gizi
kesan cukup.
- Tanda Vital
Tensi : 90/60 mmHg
Nadi : 76 x / menit
Pernafasan : 20 x /menit
Suhu : 37,1oC
- Status Generalis
Kulit
Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), warna sama dengan kulit sekitar

Kepala

5
Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput
(+),kelainan mimik wajah / bells palsy (-), oedem (-).
Mata
Conjuntiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-).
Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).
Mulut
Bibir pucat (+), bibir sianosis (-), gusi berdarah (-).
Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-).
Tenggorokan
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).
Leher
JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)
Thoraks
Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi, sela iga
melebar (-).
Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, bentuk thorax normal
Palpasi :sternal lift (-), pulsus epigastrium (-), pulsus parasternal (-),
thrill (-)
Perkusi : Batas atas jantung : ICS II Linea parasternal
sinistra
Batas Pinggang jantung : ICS III Linea parasternal
Sinistra
Batas kiri bawah jantung : ICS V 2 cm medial Linea
mid clavicula sinistra
Batas kanan bawah jantung : ICS V Linea sternalis dextra
Auskultasi: Bunyi jantung I & II normal &murni,
Suara mitral M1 & M2  M1 > M2

6
Suara aorta A1 & A2  A1 < A2
Suara pulmonal P1 & P2  P1 < P2
Bising jantung (-), gallop (-).
Pulmo :
Dextra Sinistra
Depan
Inspeksi Warna sama dengan warna Warna sama dengan warna
sekitar, simetris statis & sekitar, simetris statis &
dinamis, retraksi (-). dinamis, retraksi (-).
Palpasi Stem fremitus normal kanan = Stem fremitus normal kanan
kiri. = kiri.
Perkusi Sonor seluruh lapang paru. Sonor seluruh lapang paru.
Auskultasi SD paru vesikuler (+), suara SD paru vesikuler (+),suara
tambaha nparu: wheezing (-), tambahan paru: wheezing (-),
ronki (-). ronki (-).
Belakang
Inspeksi Warna sama dengan warna Warna sama dengan warna
sekitar, simetris statis & sekitar, simetris statis &
dinamis dinamis
Palpasi Stem fremitus kanan = kiri. Stem fremitus kanan = kiri.
Perkusi Sonor seluruh lapang paru. Sonor seluruh lapang paru.
Auskultasi SD paru vesikuler (+), suara SD paru vesikuler (+), suara
tambahan paru : wheezing (-), tambahan paru: wheezing (-),
ronki (-). ronki (-).

Abdomen
Inspeksi : Dinding abdomen sedikit cembung,,warna kulit
sama dengan warna kulit sekitar.
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani 9 regio
Ektremitas

7
Superior Inferior
Akral pucat +/+ -++
Akral dingin +/+ +/+
Oedem -/- -/-
Capillary Refill < 2 detik/< 2 detik < 2 detik/< 2 detik

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan lab (2 Februari 2020 )
Nama Test Hasil Nilai rujukan
HEMATOLOGI

Hemoglobin 12,9gr/dl Menurun 13,2 – 17,3


Lekosit 21300 / mm3 Meningkat 3800 – 10600
Hematokrit 37,0 % Menurun 40 – 52

Trombosit 412000 / mm3 Meningkat 150000 – 440000


Eritrosit 3,60 juta/ mm3 N 4,4 – 5,9
MCV 103 / fl Meningkat 80 – 100
MCH 35,9 pg Meningkat 26 – 34
MCHC 35,0 g/dl N 32 – 36
RDW 10.9 % N 11.5-14.5
MPV 7.3fL N 7.0-11.0
HITUNG JENIS
Eosinofil 2.4% N 2-4
Basofil 0.8% N 0-1
Neutrofil 83.3% Meningkat 50-70
Limfosit 9.2% Menurun 25-40
Monosit 4.3% N 2-8

KIMIA KLINIK
Ureum 146 mg/dL Meningkat <48
Kreatinin 3.8 mg/dL Meningkat 0.62-1.10
Kalium 5.1 mg/dL Meningkat 3.5-5.0
Natrium 120 mg/dL Menurun 135-147
Chlorida 90 mg/dL Menurun 95-105
Kalsium 8.7 mg/dL Menurun 8.8-10.3

Pemeriksaan USG ( 4 Februari 2020 )

8
9
Pembacaan USG
Hepar :Tak membesar, permukaan regular, echogenitas
normal syst porta & ductus biliaris tak melebar
nodul
(-)
Vesica fellea : bentuk tak membesar, dinding tak menebal, tak
tampak batu
Pancreas : bentuk normal, echostruktur normal, kalsifikasi (-)
Aorta : tak melebar, tak tampak pembesaran kelenjar limfe
paraaorta
Lien : tak membesar, homogen, nodul (-)
Ren dextra : Tak membesar, parenkim ekogenitas meningkat,
PCS tak melebar, tak tampak batu.
Ren Sinistra : Tak membesar, parenkim ekogenitas normal, PCS
tak melebar, tak tampak batu.
Vesika Urinaria: mukosa tak menebal, tak tampak batu
Prostat : tak membesar, tak tampak nodul
Kesan:
 Awal proses kronik ginjal dextra
 Masih tampak parenkim normal ginjal sinistra

10
 Tak tampak kelainan pada organ intraabdomen lainnya secara
pemeriksaan USG.

11
E. DIAGNOSA
DM TIPE II DENGAN ULKUS PEDIS, CKD GRADE IV

F. PENATALAKSANAAN
a. DM TIPE II DENGAN LKS PEDIS
-Non Medika mentosa
 Latihan jasmani 3 kali seminggu minimal 30 menit :
jalan/jogging/bersepeda
 Ganti balut/hari
-Medikamentosa
 Injeksi novomix 2x16 iu
 Injeksi xiulin 0-0-16 iu
 Injeksi ceftriaxone 2x1

b. CKD GRADE IV
-Non Medika mentosa

-Medikamentosa
 Infus NaCl 8tpm
 Inj. Vascon 0.05 kgBB/menit
 Calcium carbonas 3x1
 Asam folat 1mg tab 3x1
 Hemodialisa 2x perminggu
 Inj. furosemid 20 mg 6g/24jam

G. FOLLOW UP
H. PROGNOSIS

BAB III

12
TINJAUAN PUSTAKA

1. DM Tipe II Dengan Ulkus Pedis

A. Definisi
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kinerja insulin atau kedua-duanya.1
Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu
penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang
ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi
fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin.2
B. Klasifikasi
Klasifikasi etiologi Diabetes mellitus menurut American Diabetes
Association adalah sebagai berikut : 1
a. Diabetes tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolut):
1) Autoimun.
2) Idiopatik.
Pada Diabetes tipe 1 (Diabetes Insulin Dependent), lebih sering
ternyata pada usia remaja. Lebih dari 90% dari sel pankreas yang
memproduksi insulin mengalami kerusakan secara permanen. Oleh
karena itu, insulin yang diproduksi sedikit atau tidak langsung
dapat diproduksikan. Hanya sekitar 10% dari semua penderita
diabetes mellitus menderita tipe 1. Diabetes tipe 1 kebanyakan pada
usia dibawah 30 tahun. Para ilmuwan percaya bahwa factor
lingkungan seperti infeksi virus atau faktor gizi dapat menyebabkan
penghancuran sel penghasil insulin di pankreas.3
b. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi

13
insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang terutama
defek sekresi insulin disertai resistensi insulin).
Diabetes tipe 2 ( Diabetes Non Insulin Dependent) ini tidak ada
kerusakan pada pankreasnya dan dapat terus menghasilkan insulin,
bahkan kadang-kadang insulin pada tingkat tinggi dari normal.
Akan tetapi, tubuh manusia resisten terhadap efek insulin, sehingga
tidak ada insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Diabetes tipe ini sering terjadi pada dewasa yang berumur lebih
dari 30 tahun dan menjadi lebih umum dengan peningkatan usia.
Obesitas menjadi faktor resiko utama pada diabetes tipe 2.
Sebanyak 80% sampai 90% dari penderita diabetes tipe 2
mengalami obesitas. Obesitas dapat menyebabkan sensitivitas
insulin menurun, maka dari itu orang obesitas memerlukan insulin
yang berjumlah sangat besar untuk mengawali kadar gula darah
normal.3
c. Diabetes tipe lain.
1) Defek genetik fungsi sel beta :
2) DNA mitokondria.
3) Defek genetik kerja insulin.
4) Penyakit eksokrin pankreas :
a) Pankreatitis.
b) Tumor/ pankreatektomi.
c) Pankreatopati fibrokalkulus.
5) Endokrinopati.
a) Akromegali.
b) Sindroma Cushing.
c) Feokromositoma.
d) Hipertiroidisme.
6) Karena obat/ zat kimia.
7) Pentamidin, asam nikotinat.
8) Glukokortikoid, hormon tiroid.

14
Kriteria Diagnostik Diabetes melitus menurut American Diabetes
Association :1

C. Patofisiologi

15
Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak di belakang
lambung. Di dalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti
pula dalam peta, sehingga disebut dengan pulau-pulau Langerhans
pankreas. Pulau-pulau ini berisi sel alpha yang menghasilkan hormon
glukagon dan sel beta yang menghasilkan hormon insulin. Kedua hormon
ini bekerja secara berlawanan, glukagon meningkatkan glukosa darah
sedangkan insulin bekerja menurunkan kadar glukosa darah.11
Insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas dapat diibaratkan
sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke
dalam sel. Dengan bantuan GLUT 4 yang ada pada membran sel maka
insulin dapat menghantarkan glukosa masuk ke dalam sel. Kemudian di
dalam sel tersebut glukosa di metabolisasikan menjadi ATP atau tenaga.
Jika insulin tidak ada atau berjumlah sedikit, maka glukosa tidak akan
masuk ke dalam sel dan akan terus berada di aliran darah yang akan
mengakibatkan keadaan hiperglikemia.12
Pada DM tipe 2 jumlah insulin berkurang atau dapat normal, namun
reseptor di permukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini dapat
diibaratkan lubang kunci masuk pintu ke dalam sel. Meskipun anak
kuncinya (insulin) cukup banyak, namun karena jumlah lubangnya
(reseptornya) berkurang maka jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel
akan berkurang juga (resistensi insulin). Sementara produksi glukosa
oleh hati terus meningkat, kondisi ini menyebabkan kadar glukosa
meningkat.11
Penderita diabetes mellitus sebaiknya melaksanakan 4 pilar
pengelolaan diabetes mellitus yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan
jasmani, dan intervensi farmakologis. Latihan jasmani secara teratur
dapat menurunkan kadar gula darah. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah .1,13

16
D. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititikberatkan pada 4 pilar,
yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi
farmakologis.1,2

a. Edukasi

Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku


sehat yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga
pasien. Upaya edukasi dilakukan secara komprehensif dan berupaya
meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat. Tujuan
dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang
diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan
pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan atau komplikasi yang
mungkin timbul secara dini atau saat masih reversible, ketaatan
perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan
perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi
pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri,
perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok,
meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet
tinggi lemak.

b. Terapi Gizi Medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu


makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-
masing individu, dengan memperhatikan keteraturan jadw al makan,
jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan
terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-
20%, natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.

c. Latihan Jasmani

17
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing
selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang
bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan
berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.

d. Intervensi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan


dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri
dari obat oral dan bentuk suntikan.14

1. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan: 1,2,14


a) Pemicu sekresi insulin/ insulin secretagogue (sulfonilurea dan

glinid)

1) Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan


sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan
utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.
Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua,
gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea
kerja panjang.

2) Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan


sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat

18
yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

b) Peningkat sensitivitas terhadap insulin (metformin dan


tiazolidindion)

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome


Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas
I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan
faal hati secara berkala. Golongan rosiglitazon sudah ditarik
dari peredaran karena befek sampingnya.

c) Penghambat glukoneogenesis (metformin)

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi


glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga
memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada
penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-
vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan
tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain

19
itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara
titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk
memantau efek samping obat tersebut.

d) Penghambat absorpsi glukosa/penghambat glukosidase alfa


(akarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus


halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa
darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek
samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembungdan flatulens.

e) DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon


peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida
ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang
masuk ke dalam saluran pencernaan.

2. Injeksi

a) Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

1) Penurunan berat badan yang cepat

2) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

3) Ketoasidosis diabetic

4) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

5) Hiperglikemia dengan asidosis laktat

6) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

20
7) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

8) Kehamilan dengan DM atau diabetes mellitus gestasional


yang tidak terkendali dengan perencanaan makan

9) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

10) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

1) Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

2) Insulin kerja pendek (short acting insulin)

3) Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

4) Insulin kerja panjang (long acting insulin)

5) Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed


insulin).

Efek samping terapi insulin:

1) Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya


hipoglikemia.

2) Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap


insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi
insulin.

b) Agonis GLP-1/incretin mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan


pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat
bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan
yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun

21
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat
badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat
penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang
timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.

3. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan


dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan
pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak
dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun
fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua
macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda
atau kombinasi OHO dengan insulin.

22
E. KOMPLIKASI

Komplikasi DM salah satunya adalah neuropati, berupa berkurangnya


sensasi di kaki dan sering dikaitkan dengan luka pada kaki. Neuropati
perifer menyebabkan hilangnya sensasi di daerah distal kaki yang
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki bahkan amputasi.14
Neuropati sensori motorik kronik adalah jenis yang sering ditemukan dari
neuropati diabetikum. Seiring dengan lamanya waktu menderita diabetes
dan mikroangiopati, maka neuropati diabetikum dapat menyebabkan ulkus
pada kaki, deformitas bahkan amputasi.15

1. Etiologi
Penyebab ulkus/gangren diabetik meliputi neuropati, penyakit arterial,
tekanan dan deformitas kaki.16,17 Neuropati disebabkan karena peningkatan
kadar gula darah yang lama sehingga menyebabkan kelainan vaskuler dan
metabolik.17 Secara keseluruhan, penderita diabetes mempunyai
kemungkinan besar menderita atherosclerosis, terjadi penebalan membrane
basalis kapiler, hialinosis arteriolar, dan proliferasi endotel.
2. Patogenesis ulkus diabetik
Pathogenesis ulkus diabetic sebagai berikut:17

23
3. klasifikasi kaki diabetikum menurut Wagner

4. Tatalaksana kaki diabetik

24
Penatalaksanaan kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan sesegera
mungkin. Komponen paling penting dalam manajemen kaki diabetik dengan
ulkus adalah:14
1. Kendali metabolik, pengendaliannya sebaik mungkin seperti pengendalian
kadar glukosa darah, lipid, albumin, hemoglobin, dan sebagainya.
2. Kendali vaskular, perbaikan asupan vascular (dengan operasi atau
angioplasty), biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik.
3. Kendali infeksi, jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi harus diberikan
pengobatan infeksi secara agresif (adanya kolonisasi pertumbuh
anorganisme pada hasil usap namun tidak terdapat tanda klinis, bukan
merupakan infeksi).
4. Kendali luka, pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur
dengan konsep TIME yaitu Tissue debridement, Inflamation and
infection control, Moisture balance, Epithelial edge advancement.
5. Kendali tekanan, mengurangi tekanan pada kaki karena dapat
menyebabkan ulkus.
6. Penyuluhan, dengan memberi edukasi mengenai perawatan kaki secara
mandiri

2. CKD GRADE IV
A. DEFINISI
Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur
atau fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai
penurunan glomerular filtration rate (GFR). Selain itu, CKD dapat pula
didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana GFR < 60 mL/menit/1,73 m 2
selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa disertai kerusakan ginjal. Pada
umumnya penyakit ginjal kronik berakhir dengan gagal ginjal.1
Gagal ginjal adalah keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap berupa dialysis atau transplantasi ginjal

25
Kriteria penyakit ginjal kronik
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi
ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan
dengan atau tanpa kerusakan ginjal

B. KLASIFIKASI
1. Klasifikasi berdasarkan derajat18
Deraja Penjelasan LFG
t (mL/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG ≥ 90
normal atau ↑
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ 60-89
ringan
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ 30-59
sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ 15-29
berat
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

2. Klasifikasi berdasarkan etiologi


Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit ginjal non - Penyakit glomerular
diabetes (autoimun, infeksi sistemik, obat,
neoplasia)
- Penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)

26
- Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
- Penyakit kistik
Polikistik ginjal
Penyakit pada - Rejeksi kronik
transplantasi - Keracunan obat
(siklosporin/takrolimus)
- Penyakit rekuren (glomerular)
- Transplant glomerulopathy

C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang masih tersisa. Proses
ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-
angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap
berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerolus maupun
interstitial.

27
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat
stadium. Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama
stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal dan penderita
asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui
dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test
pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang
teliti.
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal,
dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya
25% dari normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas
batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung
dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga
mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan,
kecuali bila penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal
jantung, atau dehidrasi. Pada stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-
gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai
timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress dan
perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak
terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya
akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal
ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila
sekitar 90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000
nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal,
dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan
sangat menyolok sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit
penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan
gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi
mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih
menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar

28
1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang
dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit
mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan
gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap
sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan
meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk
transplantasi ginjal atau dialisis.
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi
empat stadium, tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas
antara stadium-stadium tersebut.19

D. DIAGNOSIS
1.Gambaran klinis20
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94
CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia
pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia
adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran
cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin <
10 g/dL atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status
besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total
Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber
perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis
dan sebagainya.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab
utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian
eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian

29
tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.
Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan
kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi
ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah
11-12 g/dL.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari
sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium
terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga
mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga
terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau
rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan
saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
pembatasan diet protein dan antibiotika.

c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada
sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat
hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal
kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata
menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi
maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada
beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit

30
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih
belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme
sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan
paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan
urea frost.
e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi,
insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak
jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien
GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada
pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).

f. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal
kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia,
hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium
terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
2. Gambaran laboratoris
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin
serum
c. Penurunan GFR yang dihitung dengan rumus kockroft-gault
d. Kelainan biokimiawi meliputi penurunan hemoglobin, peningkatan
asam urat, hiper atau hipokalemia, hionatremia, hipo atau
hiperkloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic

31
e. Kelainan urinalisis berupa proteinuria, hematuria, leukosituria,
cast, isostenuria
3. Gambaran radiologis
a. Foto polos abdomen dapat tampak batu radio opak
b. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras
sering tidak bisa melewati filter glomerolus, di samping
kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh kontras terhadap
ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
d. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, klasifikasi.
USG saat ini digunakan sebagai pemeriksaan pertama secara
rutin pada keadaan gagal ginjal yang digunakan untuk memperoleh
informasi tentang parenkim, sistem collecting dan pembuluh darah
ginjal.6 Gagal ginjal kronik pada umumnya diikuti dengan
kenaikan kadar kreatinin dan menimbulkan gambaran
ultrasonografi gagal ginjal kronik.
Pemeriksaan ultrasonografi pada gagal ginjal untuk
mengetahui adanya pembesaran ginjal, kristal, batu ginjal mengkaji
aliran urin dalam ginjal. USG abdomen pada pasien gagal ginjal
kronik biasanya ditandai dengan korteks yang lebih hiperechoic
hingga hampir sama dengan sinus renalis.Selain itu dapat
ditemukan pula ukuran ginjal yang mengecil dan batas korteks
medula yang tidak jelas. Pada pemeriksaan USG gambaran
hiperechoic pada parenkim ginjal kanan dapat menimbulkan
kecurigaan adanya radang pada ginjal kanan. Normalnya, parenkim
ginjal pada bagian korteks memiliki sonodensitas yang lebih
rendah dari pada hepar, sehingga bersifat hipoechoic.
Sonodensitas yang lebih tinggi dapat ditemukan pada
parenkim sinus renalis karena komposisi lemak yang dimilikinya.

32
Gambaran sonodensitas parenkim yang meningkat mungkin
disebabkan proses inflamasi akibat riwayat konsumsi jamu dan
obat-obatan yang sangat mungkin bersifat nefrotoksik.
Besar kedua ginjal yang masih normal pada USG
menandakan proses penyakit ginjal kronik yang masih awal
dimana berkurangnya massa ginjal belum jelas terlihat. Gambaran
PCS yang tidak melebar dan tidak ditemukannya batu pada struktur
ginjal kanan dan kiri dapat menyingkirkan kemungkinan proses
obstruktif sebagai etiologi.
e. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi
4. Biopsy ginjal
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal masih normal ,
dimana diagnosis secara non invasive tidak bias ditegakkan. Berguna
untuk menentukan etiologi, terapi, prognosis, dan evaluasi hasil terapi
yang telah diberikan. Kontraindikasi yaitu pada ginjal yang sudah
mengecil, polikistik ginjal, hipertensi tak terkendali, infeksi perinefrik,
gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

E. PENATALAKSANAAN

1. Terapi konservatif 21
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya
faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat

33
akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal
dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka
lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif
nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus
adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan
keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan
memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus
adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut
(underlying renal disease).
2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan
serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati
asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali
(sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤
7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal
kronik. Dosis inisial 50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb
meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian menjadi 2 kali

34
seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari
tiga kali dalam seminggu.
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC)
merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif.
Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat
menyebabkan kematian mendadak. Sasaran hemoglobin adal 11-
12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan
yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini
merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari
mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis
keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama
penghambat Enzym Konverting Angiotensin (Angiotensin
Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi
dan antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
merupakan hal yang penting, karena 40-50% kematian pada
penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.

35
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular
yang diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan
cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium V, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum
tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi
tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru
dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik,
hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di
Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan
stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin
masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity

36
dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri
(mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

1. ors. Buku Ilmu


2. Vitahealth.
2006.
3. PERKENI, Pe
4. Bilous R, Don
5. 16. Soetjahjo A
6. 17Frykberg RG
7. KDIGO. Kidne

8. Price, Sylvia A

9. Silverthron. Fi

10. Sudoyo, Aru W

37

Anda mungkin juga menyukai