Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan poliradikuloneuropati paralitik akut yang


disebabkan oleh reaksi autoimun terhadap saraf perifer. SGB pertama kali dilapokan oleh Jean-
Baptiste Octave Landry pada tahun 1859 sebagai sensai kesemutan yang pada bagian distal tubuh
yang disertai kelemahan ascending setelah demam yang berkembang menjadi paralisis dalam
waktu 3 minggu dan meninggal akibat gagal nafas.1 Enam puluh tahun kemudian, Georges
Guillain, Jean-Alexandre Barré, and Andre Strohl menemukan adanya disosiasi sitoalbumin pada
cairan serebrospinal yang membedakannya dengan poliomyelitis.2

SGB ditandai oleh kelemahan progresif dari distal ke proximal yang pada akhirnya
menyerang otot pernafasan sehingga terjadinya gagal nafas. Penderita SGB pada awalnya akan
merasakan kelemahan dan kesemutan pada anggota gerak mulai dari kaki, tungkai, kemudia
menyebar ke anggota gerak atas dan ke badan, dan sekitar setengah dari penderita merasakan
keluhan mulai dari wajah atau ekstrimitas atas. Gejala lain yang dapat muncul berupa kesulitan
menelan, mengunyah, menggerakan otot wajah, hingga gejala otonom seperti kesulitan menahan
buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB), palpitasi, gangguan tekanan darah, hingga
kesulitan bernafas.

SGB menyerang 0,81 – 1,89 per 100.000 penduduk setiap tahunnya dan lebih sering
menyerang dewasa pada rentang usia 40 tahun dibandingkan anak-anak. Berdasarkan jenis
kelamin, SGB lebih sering menyerang laki-laki dibandingkan perempuan. Penulisan makalah ini
diharapkan dapat menjelaskan mengenai SGB sehingga dapat didiagnosis lebih cepat oleh karena
semakin awal penegakan diagnosis SGB dapat menginisiasi terapi sehingga memberikan
prognosis yang lebih baik pada penderitanya,

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Epidemiologi

Insidens sindrom Guillain-Barre berkisar antara 0,81-1,89 kasus per 100.000 penduduk
pertahun dan meningkat seiring bertambahnya usia, sehingga SGB lebih sering ditemukan pada
orang dewasa dibandingkan anak-anak.3 Di Indonesia, penelitian di RSCM menunjukan kasus baru
SGB yang dirawat sekitar 7,6 kasus /tahun. penderita SGB di RSCM kebanyakan lelaki dewasa
muda dengan usia rata-rata 40 tahun dengan rasio laki-laki:perempuan 1,2:1.4 Beberapa kasus SGB
dilaporkan berhubungan dengan penggunaan vaksin rabies dan Influenza A.5 Disamping itu,
penggunaan vaksin dapat menurunkan risiko terkena SGB paska terpapar virus influenza A secara
langsung. Secara umum, tidak ada kontraindikasi pemberian vaksinasi kepada individu yang telah
mengidap SGB.

Etiologi

Infeksi yang mendahului SGB sebagian besar berasal dari infeksi saluran pernafasan dan
saluran cerna. Sekitar 31% kasus SGB ditemukan Campylobacter jejuni pada analisis tinja.
Patogen lain yang dapat menyebakan SGB adalah Haemophilus influenzae, Mycoplasma
pneumonia, Cytomegalovirus (CMV), Epstein-Barr virus (EBV), dan Varicella Zoster virus
(VZV).5

Patofisiologi

Lebih dari 60% kasus SGB didahului oleh infeksi (antecendent infection) yang biasanya
terjadi pada saluran cerna atau saluran nafas. Keluhan yang umumnya muncul berupa demam
(52%), batuk, nyeri tenggorokan, dan diare. Keterkaitan antecendent infection ini yang menjadi
dasar patofisiologi dari SGB berupa proses antibody mimikri. Proses antibodi mimikri ini
merupakan suatu proses yang terjadi akibat adanya kemiripan struktur dinding sel tubuh dengan
struktur antigen pathogen, sehingga antibodi yang dibentuk untuk melemahkan patogen
menyerang jaringan tubuh itu sendiri.4

2
Paparan oleh patogen menyebabkan sel imunitas tubuh membentuk antibodi yang dapat
berikatan dengan struktur gangliosida pada membran sel saraf. Antibodi yang berikatan ini dapat
memicu proses autoimun melalui aktivasi komplemen dan membentuk membrane attack complex
(MAC) pada membrane sel Schwann (AIDP) atau pada akson (AMAN) yang menimbulkan efek
neurotoksik. Patofisiologi sindrom Miller Fischer (SMF) yang merupakan varian dari SGB masih
belum jelas sampai saat ini, namun, pasien SMF dapat sembuh sempurna dan jarang ditemukan
kasus yang fatal. Hal ini menunjukan bahwa SMF termaksud dalam gangguan demielinisasi, buakn
menrupakan suatu proses degenerasi aksonal.4

Gambar 1. Ilustrasi Lokasi Serangan Sindrom Guillain-Barré; a. Gangguan Demielinisasi


(AIDP); b. Gangguan Aksonal (AMAN); c. Neuron normal.

Tipe-Tipe Sindrom Guillain-Barre

Variasi klinis SGB berdasarkan pada letak kelainan serabut saraf, apakah berupa motoric,
sensorik, motoric-sensorik, kranial atau otonom; bentuk kerusakan serabut saraf (demyelenisasi
atau aksonal), dan apakah terdapat penurunan kesadaran.

3
Variasi pertama SGB berupa Sindrom Miller Fischer (SMF) yang dimana dapat ditemukan
opthalmoplegia, ataksia dan arefleksia tanpa adanya kelemahan.6 Penderita SMF harus memenuhi
minimal 2 gejala dan didukung oleh peningkatan protein cairan serebrospinal dan ditemukannnya
antibodi spesifik.

Variasi SGB berikutnya berupa Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) yang
menyerang akson motoric. Tidak lama setelah ditemukannya AMAN, muncul subtype baru dari
kerusakan akson yang menyerang sistim motoric dan sensorik yang kita namankan sebagai Acute
Motor and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN). AMAN dan AMSAN dipercaya berhubungan
dengan infeksi C. jejuni dan memiliki prognosis yang buruk. Variasi lainnya berupa Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) yang menyerang myelin saraf perifer.
Pasien yang mengidap AMAN mengalami kelemahan yang memburuk lebih cepat dibandingkan
AIDP sehingga dapat menyebabkan paralisis berkepanjangan dan gagal nafas dalam beberapa
hari.4

Tabel 1. Variasi klinis Sindrom Guillain-Barré.4

Acute Inflammatory Demyelinating Polineuropathy (AIDP)


1. Facial diplegia and paresthesia
2. Bifacial weakness with parasthesia
Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
1. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN)
2. Acute motor-conduction block neuropathy
3. Pharyngeal-cervical-brachial weakness
4. Lainnya:
 SGB hiper-refleks
 SGB paraparesis
Sindrom Miller Fisher
1. Acute ophthalmoparesis / ptosis / mydriasis (tanpa ataksia)
2. Acute ataxic neuropathy (tanpa opthalmoplegia)
3. Bickerstaff’s brain-stem encephalitis
4. Acute ataxic hypersomnolencea

4
Manifestasi Klinis

Pola perjalanan penyakit SGB bersifat monofasik dan diawalai oleh infeksi sebelumnya
(antecendent infection) sebelum munculnya deficit neurologis. Deficit neurologis biasanya akan
muncul selang 4 minggu – 6 bulan setelah kemunculan infeksi dan mencapai puncak tidak lebih
dari 4 minggu (fase progresif). Pada SGB, dapat terjadi fluktuasi deficit neurologis dalam waktu
8 minggu sejak diberikan imunoterapi. Kondisi ini disebut sebagai Guillain-barre syndrome with
treatment-related fluctuation (GBS-TRF) dan masih dianggap sebagai suatu pola monofasik SGB.
Perjalanan klinis GBS-TRF serupa dengan chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy
(CIDP). Namun, dalam perjalanannya, fluktuasi deficit neurologis pada CIDP lebih ringan
daripada GBS-TRF. Defisit neulorogis pada SGB merupakan suatu kelemahan motoric tipe LMN,
gangguan sensorik berupa parastesia, hiperstesia atau gangguan propioseptif serta hiporefleksia
atau arefleksia. SGB juga dapat menyerang saraf kranialis seperti nervus 7 pada AIDP. Varian
klinis lain yang melibatkan nervus kranialis adalah SMF dengan trias arefleksia, ataksia, dan
oftalmoplegia.4,7

Gambar 2. Perjalanan penyakit Sindrom Guillain-Barré.7

5
Varian klinis SGB lainnya yang dapat muncul berupa4

 SGB hiperrefleks
Gejala SGB umunya hiporefleksia atau arefleksia, namuna, pada 10% kasus di temukan
SGB dengan hiperrefleksia atau normal dengan gambaran neurofisiologi sesuai dengan
SGB tipe aksonal.
 Pharyngeal-cervical-brachial weakness
SGB dengan varian ini ditandai dengan kelemahan otot leher, otot orofaring, dan ektrimitas
atas akut yang disertai arefleksia. Kelemahan motoric bawah juga dapat ditemukan
walaupun ringan.
 SGB paraparesis
Pada SGB paraparesis, kelemahan ditemukan apda ekstrimitas bawah saja, sedangkan
ekstrimitas atas normal. Namun, dengan lesi di medulla spinalis, level gangguan sensorik
tidak memiliki batas yang tegas dan tidak ada gangguan berkemih. Gambaran
neurofisiologi sesuai dengan SGB tipe aksonal.
 Kelemahan bifasial dengan parastesia
Gejala SGB tipe ini berupa kelemahan pada nervus fasialis bilateral akut tanpa disertai
oftalmoplegia dan kelemahan ekstrimitas. Gambaran neurofisiologi sesuai dengan tipa
demielinisasi
 Oftalmoplegia/ptosis/midriasis akut
Variasi klinis SGB tipe ini merupakan bentuk manifestasi SMF inkomplit berupa
oftamoplegia, ptosis, atau midriasi akut tanpa disertai ataksia.
 Neuropati ataksia akut
Bentuk SMF inkomplet lainnya berupa ataksia akut tanpa disertai aftalmoplegia.
Manifestasi klinis ataksia ini diduga akibat antibodi yang terbentuk menyerang struktur
muscle spindle.
 Bickerstaff’s brainstem encephalitis (BBE)
Diagnosis BBE ditemukan bila ada trias SMF disertai gangguan kesadaran atau
hipersomnolen. Varian lain dari BBE dengan manifestasi incomplete dapat berupa acute
ataxic hypersomnolence.

6
Disfungsi saraf otonom sering ditemukan hingga 2/3 kasus SGB dengan manifestasi berupa
aritmia, fluktuasi tekanan darah, respon hemodinamik yang abnormal terhadap pengobatan, serta
gangguan miksi, defekasi dan berkeringat.8

Diagnosis

Diagnosis SGB ditegakan melalui gejala dan tanda kelemahan akut progresif pada
ekstrimitas bawah dan atas disertai arefleksia atau hiprefleksia. Unutk menegakan dengan spesifik,
dapat menggunakan kriteria diagnostic menurut National Institute of Neurological and
Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) sebagai berikut:9

Tanda minimum untuk penegakan diagnostic

1. Kelemahan progresif pada kedia lengan dan tungkai


2. Hiporefleksia atau arefleksia

Tanda yang memperkuat diagnosis

1. Perburukan gejala yang mencapai titik nadir kurang atau sama dengan 28 hari
2. Pola distribusi deficit neurologis yang simetris
3. Gangguan sensorik minimal
4. Sangguan nervus kranialis, terutama kelemahan otot fasialis bilateral
5. Disfungsi saraf autonomy
6. Nyeri
7. Peningkatan protein pada CSS
8. Gambaran elektrodiagnostik khas yang sesuai dengan kriteria SGB

Tanda yang meragukan diagnosis

1. Disfungsi pernafasan berat lebih dominan daripada kelemaha ekstrimitas pada awal
onset
2. Gangguan sensorik lebih dominan daripada motoric di awal onset
3. Gangguan BAB dan BAK pada awal onset
4. Demam pada awal onset
5. Defisit sensorik berbatas tegas

7
6. Progresivitas lambat dengan gangguan motoric minimal tanpa keterlibatan
gangguan pernafasan
7. Kelemahan asimetris persisten
8. Gangguan BAB dan BAK persisten
9. Peningkatan jumlah sel mononuclear pada cairan serebrospinal
10. Peningkatan sel polimorfonuklear pada CSS

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakan SGB dapat berupa4, 7

 Kecepatan Hantar Saraf (KHS)


Kriteria elektrodiagnosis yang digunakan secara luas adalah kiteria dari Ho dkk dan Haden
dkk. Ho dkk menekankan pada gambaran dispersi temporal sedangkan Haden dkk
menjelaskan mengenai blok konduksi. Dikatakan AIDP bila ditemukan salah satu tanda
berupa penurunan KHS < 90% pada batas bawah nilai normal, latensi memanjang >110%
BAN, atau disperse temporal terlihat nyata. Apabila tidak ada tanda demyelinisasi, atau
terdapat blok konduksi maka kita sebut sebagai AMAN.
 Pungsi lumbal
Tindakan pungsi lumbal dilakukan rutin pada pasien yang diduga menderita SGB untuk
menyingkirkan diagnosis banding, bukan sebagai kriteria utama penegakan diagnosis.
Pada analisis CSS dapat ditemukan disosiasi sitoalbumin, dimana didapat peningkatan
kadar protein CSS tanpa disertai peningkatan jumlah sel.
 Radiologi
Pemeriksaan radioogi dilakukan jika ditemukan tanda dan gejal klinis SGB yang
meragukan untuk menyingkirkan lesi structural sebagai penyebab deficit neurologis yang
ada.
 Antibodi antigangliosida
Walaupun berbagai studi mengaitkan kejadian SGB dengan antibodi, namun nilai
diagnostiknya belum dapat dipastikan. Pemeriksaan ini bermanfaat, namun hasil negative
tidak menggugurkan diagnosis SGB. Disamping itu, pemeriksaan ini belum tersedia di
sarana pemeriksaan laboratorium sehari-hari.

8
Diagnosis Banding

 Mielitis Transversa
Gejala klinis SGB dapat menyerupain gejala lesi medulla spinalis akut. Namun, pada lesi
medulla spinalis gangguan berkemih muncul lebih awal dan deficit sensorik memiliki batas
yang tegas.10
 Lesi SSP
Pada 10% kasus SGB memiliki reflek tendon normal atau bahkan meningkat. Oleh karena
itu lesi SSP harus disingkirkan.4
 Myastenia gravis
MG merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan fluktuatif pada otot-
otot ektraokular, bulbar, dan otot-otot proksimal. Kelemahan otot yang memburuk saat
beraktivitas dan membaik setelah beristirahat.11
 Periodical paralytic
Periodical paralitik merupakan suatu kelompok penyakit genetic yang menyebabkan
kelemahan atau paralisis yang dapat dipicu oleh suhu, konsumsi karbohidrat tinggi, tidak
makan, stress, dan aktivitas fisik. Mekanisme dasar penyakit ini akibat adanya kebocoran
ion pada membrane otot skeletal yang menyebabkan otot berdepolarisasi sehingga tidak
dapat bergerak.12
 Botulisme
Botulisme merupakan suatu gangguan pada otot akibat paparan toksin botulinum yang
menyebabkan paralisis. Paralisis berawal dari wajah dan menyebar ke ekstrimitas. Apabila
toksin menyerang otot pernafasan dapat mengakibatkan gagal nafas.13

Guillain-Barre Syndrome Disability Score (Hughes Score)14

0 = Sehat

1 = Tanda dan gejala minimal serta mampu berlari

2 = Mampu berjalan 10 meter tanpa bantuan namun tidak dapat berlari

3 = Mampu berjalan 10 meter dengan bantuan tongkat lari

4 = Aktivitas terbatas pada tempat tidur atau kursi roda

9
5 = Membutuhkan ventilator mekanik untuk bernafas

6 = Kematian

Penatalaksanaan

Prinsip tatalaksanan SGB adalah diagnosis dini dan tatalaksana multidisiplin yang tepat.
Risiko kematian SGB mencapai 5% dan sebagian besar disebabkan oleh komplikasi SGB beruap
sepsis dan emboli paru. Untuk penilaian status fungsional SGB dapat digunakan Hughes score
sebagai evaluasi dan pemantauan derajat keparahan SGB.4,7

Pemberian imunoterapi dapat dilakukan sejak onset neuropati pertama muncul. Manfaat
terbaik muncul dengan pemberian imunoterapi dalam2 minggu pertama onset pada pasien dengan
Hughes score ≥ 3. Plasmaferesis dan pemberian immunoglobulin memiliki efektivitas ayng sama
dalam perbaikan kekiatan motoric pasien, peningkatan Hughes scorem dan penurunan kebutuhan
penggunaan ventilator pada pasien dengan gagal nafas.4,7

Plasmaferesis dilakukan 5x dalam waktu 2 minggu dengan jumlah maksimum pertukaran


plasma sebanyak 5x dari volume plasma (200-250 mL/kgbb). Dosis total immunoglobulin IV
adalah 2g/kgbb diberikan dalam 5 hari. Pemberian immunoterapi pada pasien dengan Hughes
score < 3 dapat bermanfaat, namun perlu pertimbangan efisiensi pengobatan. Penggunaan IVIg
bersamaan dengan plasmaferesis memberikan hasil yang serupa dengan plasmaferesis saja atau
IVIg saja. Penggunaan kortikosteroid tidak memberikan manfaat pada pasien SGB.4,7

Pemantauan fungsi paru penting untuk mengantisipasi gagal nafas berupa evaluasi
frekuensi, kedalaman nafas, kapasitas vital paru paru, dan kemampuan reflex batuk. Indikasi
pemasangan ventilator berupa hiperkarbia (PaCO2 > 48 mmHg), Hipoksemia (PaO2 < 56mmHg
pada udara ruang), dan kapasitas paru paru < 15mL/kgbb. Dua kriteria minor dapat digunakan
untuk pertimbangan pemasangan ventilator seperti reflex batuk tidak efektif, gangguan menelan,
dan atelectasis paru.4,7

Nyeri merupakan manifestasi klinis pada pasien sejak awal onset hingga fase
penyembuhan. Tatalaksana nyeri dapat berupa pemberian oobat anti nyeri neuropatik berupa
gabapentin atau karbamazepin.4,7

10
Prognosis

Prognosis SGB ditentukan berdasarkan Erasmus GBS outcome score (EGOS) yang dapat
di gunakan untuk menentukan probabilitas pasien SGB dapat berjalan dalam waktu 6 bulan setelah
onset. Semakin besar nilai EGOS, maka semakin kecil kemungkinan pasien dapat berjalan 6 bulan
setelah onset. Skor EGOS berupa:4

1. Adanya riwayat diare sebelumnya


2. Usia > 60 tahun
3. Nilai GBS disability score pada minggu kedua sejak onset

Penderita SGB umumnya dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala
sisa seperti drop-foot atau tremor postural. Proses penyembuhan dapat memakan waktu beberapa
minggu hingga beberapa tahun.

11
BAB III

KESIMPULAN

SGB merupakan suatu poliradikuloneuropati yang ditandai dengan kelemahan progresif


dari distal ke proximal. Perjalanan klinis SGB terbagi dalam beberapa fase dengan puncak
perburukan klinis yang biasanya tidak lebih dari 28 hari. Sindrom Guillain-Barre biasanya diawali
oleh infeksi atau stimulasi sistim imun yang memicu respon autoimun yang menyerang sistim saraf
perifer dan serabut spinalnya. Kelemahan ekstrimitas dan gangguan sensorik terjadi dalam 1-2
minggu setelah imun tubuh terstimulasi dengan puncah 2-4 minggu. Diagnosis SGB sebagian
besar melalui pola klinis yang timbul. Semua pasien dengan SGB memerlukan pengawasan ketat
serta penanganan suportif. Inisiasi pemberian intravenous immunoglobulin (IVIg) atau tukar
plasma terbukti bermanfaat terutama bagi pasien dengan progresivitas yang cepat. Gejala akan
memuncak dalam 28 hari yang diikuti oleh proses pemulihan selama beberapa beberapa bulan
hingga tahun, bergantung pada respon imun dan proses perbaikan saraf perifer.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Landry J. BO: Note sur la paralysie ascendante aigu\l= e". Gaz hebd de m\l= e'\d et de chir.
1859;6:473.
2. Guillain G. Sur un syndrome de radiculo-nevrite avec hyperalbuminose du liquode cephalo-
rachidien sans reaction cellulaire: remarques sur les caracteres cliniques et graphiques des
reflexes tendineux. Bell Mem Soc Med Paris. 1916;40:1462-70.
3. Bae JS, Yuki N, Kuwabara S, Kim JK, Vucic S, Lin CS, et al. Guillain–Barré syndrome in
Asia. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2014;85(8):907-13.
4. Safri AY. Sindrom Guillain Barre. InBuku ajar Neurologi 2017. Departemen Neurologi FKUI-
RSCM.
5. Wijdicks EF, Klein CJ, editors. Guillain-barre syndrome. Mayo Clinic Proceedings; 2017:
Elsevier.
6. Wakerley BR, Uncini A, Yuki N, Attarian S, Barreira AA, Chan Y-C, et al. Guillain–Barré and
Miller Fisher syndromes—new diagnostic classification. Nature Reviews Neurology.
2014;10(9):537.
7. Willison HJ, Jacobs BC, van Doorn PA. Guillain-barre syndrome. The Lancet.
2016;388(10045):717-27.
8. Zaeem Z, Siddiqi ZA, Zochodne DW. Autonomic involvement in Guillain–Barré syndrome: an
update. Clinical Autonomic Research. 2018:1-11.
9. Poser CM. Criteria for the diagnosis of the Guillain-Barré syndrome: A critique of the NINCDS
guidelines. Journal of the neurological sciences. 1981;52(2-3):191-9.
10. Rodríguez Y, Rojas M, Pacheco Y, Acosta-Ampudia Y, Ramírez-Santana C, Monsalve DM,
et al. Guillain–Barré syndrome, transverse myelitis and infectious diseases. Cellular &
molecular immunology. 2018;15(6):547.
11. Kaminski HJ, Kusner LL. Myasthenia gravis and related disorders: Springer; 2018.
12. Kokunai Y, Vicart S, Dalle C, Sternberg D, Fontaine B, Nicole S. A case of periodic paralysis
with hypo and hyperkalemic characteristics. Journal of the Neurological Sciences.
2017;381:659-60.
13. Parkinson N, Johnson E, Ito K. Botulism. Foodborne Diseases: Elsevier; 2017. p. 381-93.

13
14. Walgaard C, Lingsma H, Ruts L, Van Doorn P, Steyerberg E, Jacobs B. Early recognition of
poor prognosis in Guillain-Barre syndrome. Neurology. 2011;76(11):968-75.

14

Anda mungkin juga menyukai