Anda di halaman 1dari 19

Langkah-Langkah Program Latihan Usus

Tujuan : untuk mempertahankan dan mencapai inkontinensia usus


1. Tentukan kebiasaan buang air besar sebelum cidera jika mungkin.
2. Ikuti program buang air besar yang dibuat. Contoh dari program buang air
besar adalah :
Untuk pasien yang di bantu dalam makan ( makanan per selang atau makanan
reguler):
a. Colase 100 mg per oral atau melalui selang NG tiga kali sekali.
b. Dulcolax supositoria setiap malam kecuali pasien telah buang air besar
siang harinya.
c. Susu magnesium 30 ml per oral atau melalui selang NG setiap dua malam
atau pada tanggal tertentu kecuali pasien telah buang air besar siang harinya.
d. Pada pasien yang sedang dalam keadaan puasa.
e. Dulcolax supositoria setiap dua malam pada tanggal tertentu.
3. Enema dapat diberikan setiap hari sampai timbul peristaltik. Ini terdiri dari
pemberian kira-kira satu liter air hangat enema dan kemudian pegang wadah
di bawah ketinggian tempat tidur yang memungkinkan air mengalir kembali
dan ulang prosedur ini beberapa kali.
4. Gunakan program defekasi dalam hubungannya dengan rangsangan jari.
Rangsangan jari dari pemasukan jari dengan sarung tangan yang diberi
pelumas ke dalam ssfingter anal, dengan gerakan rotasi jari tangan sekitar
sfingter. Sfingter akan secara perlahan dilatasi saat rangsangan terjadi. Jadi
dimasukkan kira-kira setengah penjangnya, dan rotasi memutar diberikan
terus menerus selama 15-20 menit sampai feses melalui rektum dan kemudian
dievalusai dari rektum.
5. Bila pola evakuasi dibuat, gunakan hanya rangsangan jari bila mungkin,
keluarkan supositoria. Gunakan hanya program defekasi pada individu yang
tak mampu mentoleransi rangsang jari.
6. Gunakan rangsang jari setelah setiap gerakan usus involunter sementara pola
defekasi dibuat.

7. Ubah program defekasi sesuai kebutuhan individu yang ditentukan oleh


konsistensi feses.
8. Gunakan setiap Nupercainal atau jeli Xylocaine untuk memasukkan
supositoria atau untuk melakukan rangsangan jari jika pasien cenderung
terhadap periode disrefleksia otonumik. Jeli atau salep dapat digunakan pada
rektum dan sekitar sfingter anal sebelum memasukkan supositoria atau
memasukkan jari
9. Pertahankan masukkan tinggi cairan jika tidak dikontraindikasikan sebagai
contoh : pada kasus pembatasan cairan atau peningkatan tekanan intrakranial.
10. Gunakan bantalan inkontinen daripada bedpan bila memberi perawatan
defekasi rutin. Bedpan tidak bekerja baik untuk alasan ini : alat ini keras dan
dapat menyebabkan tekanan area di atas koksigis; ini tidak memungkinkan
akses terhadap anus untuk rangsangan jari; dan ini dapat mengganggu
kesejajaran spinal yang perlu untuk pemulihan tepat pada pasien cedera
madulla spinalis.
11. Beri tahu dokter tentang diare berat dan lama, impaksi, perdarahan rektal, atau
hemoroid.
V. PRINSIP MELAKUKAN IMOBILISASI TULANG BELAKANG DAN LOG
ROLL
A. Penderita dewasa
Empat orang dibutuhkan untuk melakukan prosedur modifikasi log
roll dan imobilisasi penderita, seperti pada long spine board: (1)
satu untuk mempertahankan imobilisasi segaris kepala dan leher
penderita; (2) satu untuk badan (termasuk pelvis dan panggul); (3)
satu untuk pelvis dan tungkai; dan (4) satu mengatur prosedur ini
dan mencabut spine board. Prosedur ini mempertahankan seluruh
tubuh penderita dalam kesegarisan, tetapi masih terdapat gerakan

minimal pada tulang belakang. Saat melakukan prosedur ini,


imobilisasi

sudah

dilakukan

pada

ekstremitas

yang

diduga

mengalami fraktur.
1. Long spine board dengan tali pengikat dipasang pada sisi
penderita. Tali pengikat ini dipasang pada bagian toraks, diatas
krista iliaka, paha, dan diatas pergelangan kaki. Tali pengikat
atau plester dipergunakan untuk memfiksir kepala dan leher
penderita ke long spine board.
2. Dilakukan in line imobilisasi kepala dan leher secara manual,
kemudian dipasang kolar servikal semirigid.
3. Lengan penderita diluruskan dan diletakkan di samping badan.
4. Tungkai bawah penderita diluruskan secara hati-hati dan
diletakkan dalam posisi kesegarisan netral sesuai dengan tulang
belakang. Kedua pergelangan kaki diikat satu sama lain dengan
plester.
5. Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu
orang kedua memegang penderita pada daerah bahu dan
pergelangan tangan. Orang ke tiga memasukkan tangan dan
memegang panggul penderita dengan satu tangan dan dengan
tangan yang lain memegang plester yang mengikat ke dua
pergelangan kaki.
6. Dengan komando dari penolong yang mempertahankan kepala

dan leher, dilakukan log roll sebagai satu unit ke arah ke dua
penolong yang berada pada sisi penderita, hanya diperlukan
pemutaran minimal untuk meletakkan spine board di bawah
penderita. Kesegarisan badan penderita harus dipertahankan
sewaktu menjalankan prosedur ini.
7. Spine board diletakkan dibawah penderita, dan dilakukan log roll
ke arah spine board. Harap diingat, spine board hanya digunakan
untuk transfer penderita dan jangan dipakai untuk waktu lama.
8. Untuk mencegah terjadinya hiperekstensi leher dan kenyamanan
penderita, maka diperlukan bantalan yang diletakkan dibawah
kepala penderita.
9. Bantalan, selimut yang dibulatkan atau alat penyangga lain
ditempatkan di kiri dan kanan kepala dan leher penderita, dan
kepala penderita diikat ke long spine board. Juga dipasang
plester di atas kolar servikal untuk menjamin tidak adanya
gerakan pada kepala dan leher.

B. Penderita Anak-anak
1. Untuk imobilisasi anak diperlukan long spine board pediatrik. Bila
tidak ada, maka dapat menggunakan long spine board untuk
dewasa dengan gulungan selimut diletakkan di seluruh sisi tubuh
untuk mencegah pergerakan ke arah lateral.

2. Proporsi kepala anak jauh lebih besar dibandingkan dengan


orang dewasa, oleh karena itu harus dipasang bantalan dibawah
bahu untuk menaikkan badan, sehingga kepala yang besar pada
anak tidak menyebabkan fleksi tulang leher, sehingga dapat
mempertahankan kesegarisan tulang belakang anak. Bantalan
dipasang dari tulang lumbal sampai ujung bahu dan kearah
lateral sampai di ujung board.
C. Komplikasi
Bila penderita dalam waktu lama (kurang lebih 2 jam atau lebih
lama lagi) diimobilisasi dalam long spine board, penderita dapat
mengalami dekubitus pada oksiput, skapula, sakrum, dan tumit.
Oleh karena itu, secepatnya bantalan harus dipasang dibawah
daerah ini, dan apabila keadaan penderita mengizinkan secepatnya
long spine board dilepas.

D. Melepas Long Spine board


Pergerakan penderita yang mengalami cedera tulang belakang yang
tidak stabil akan menyebabkan atau memperberat cedera medula
spinalisnya. Untuk mengurangi resiko kerusakan medula spinalis,
maka diperlukan pencegahan secara mekanis untuk seluruh
penderita yang mempunyai resiko. Proteksi harus dipertahankan
sampai adanya cedera tulang belakang yang tidak stabil di

singkirkan.
1. Seperti sebelumnya dibicarakan, melakukan imobilisasi penderita
dengan long spine board adalah teknik dasar membidai
(splinting) tulang belakang. Secara umum hal ini dilaksanakan
pada saat penanggulangan prehospital dan penderita datang ke
rumah sakit sudah dalam sarana transfer yang aman. Spine
board tanpa bantalan akan menyebabkan rasa tidak nyaman
pada penderita yang sadar dan mempunyai resiko terhadap
terjadinya dekubitus pada daerah dengan penonjolan tulang
(oksiput, skapula, sakrum, tumit ). Oleh karena itu penderita
harus dipindahkan dari long spine board ke tempat dengan
bantalan yang baik dan permukaan yang nyaman secepatnya
bisa dilakukan secara aman. Sebelum dipindahkan dari spine
board, pada penderita dilakukan pemeriksaan foto servikal,
toraks, pelvis sesuai dengan indikasinya, karena penderita akan
mudah diangkat beserta dengan spine boardnya. Sewaktu
penderita di imobilisasi dengan spine board, sangat penting
untuk mempertahankan imobilisasi kepala dan leher dan badan
secara berkesinambungan sebagai satu unit. Tali pengikat yang
dipergunakan untuk imobilisasi penderita ke spine board
janganlah dilepas dari badan penderita sewaktu kepala masih
terfiksir ke bagian atas spine board.

2. Spine board harus dilepaskan secepatnya, waktu yang tepat


untuk melepas long spine board adalah sewaktu dilakukan
tindakan log roll untuk memeriksa bagian belakang penderita.
3. Pergerakan yang aman bagi penderita dengan cedera yang tidak
stabil atau potensial tidak stabil membutuhkan kesegarisan
anatomik

kolumna

vertebralis

yang

dipertahankan

secara

kontinyu. Rotasi, fleksi, ekstensi, bending lateral, pergerakan tipe


shearing ke berbagai arah harus dihindarkan. Yang terbaik untuk
mengontrol kepala dan leher adalah dengan imobilisasi inline
manual. Tidak ada bagian tubuh penderita yang boleh melekuk
sewaktu penderita dilepaskan dari spine board.
4. Modifikasi teknik log roll,
Modifikasi tehnik log roll, dipergunakan untuk melepas long spine
board.

Diperlukan

empat

asisten:

(1)

satu

untuk

mempertahankan imobilisasi in line kepala dan leher; (2) satu


untuk badan penderita ( termasuk pelvis dan panggul ); (3) satu
untuk pelvis dan tungkai bawah; dan (4) satu untuk menentukan
arah prosedur ini dan melepas long spine board.
5. Tandu Sekop (Scoop Stretcher)
Alternatif melakukan modifikasi teknik log roll adalah dalam
penggunaan

scoop

stretcher

untuk

transfer

penderita.

Penggunaan yang tepat alat ini akan mempercepat transfer

secara aman dari long spine board ke tempat tidur. Sebagai


contoh alat ini dapat digunakan untuk transfer penderita dari
satu alat traspor ke alat lain atau ke tempat khusus misalnya
meja ronsen.
Harap diingat, penderita harus tetap dalam imobilisasi sampai
cedera tulang belakang disingkirkan. Setelah penderita ditransfer
dari backboard ke tempat tidur dan scoop stretcher dilepas,
penderita harus di reimobilisasi secara baik ke ranjang/tandu. Scoop
stretcher bukanlah alat untuk imobilisasi penderita. Scoop stretcher
bukanlah alat transport, dan jangan mengangkat scoop stretcher
hanya pada ujung-ujungnya saja, karena akan melekuk di bagian
tengah dengan akibat kehilangan kesegarisan dari tulang belakang.
Langkah-langkah protocol kateterisasi intermitten
Tujuan: menghilangkan kebutuhan terhadap kateter uretral indwelling atau
suprapubik, sebagai akibatnya menurunkan insiden komplikasi saluran
perkemihan, sebagai contoh, infeksi, abses periuretral, dan epididimitis,
dan untuk menciptakan dan mempertahankan keamanan, kondisi bebas
kateter pada pasien dengan kandung kemih neurogenik.

Penatalaksanaan
Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi kandung kemih adalah untuk
mempertahankan fungsi gunjal dan mengurangi gejala.
a. Penatalaksanaan gangguan pengosongan kandung kemih dapat dilakukan
dengan cara :
o Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi perianal

o Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, credes manoeuvre


o Clean intermittent self-catheterisation
o Indwelling urethral catheter
b. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor
o Bladder retraining (bladder drill)
o Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin
c. Penatalaksanaa operatif
Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan neurologis
kongenital atau cedera medula spinalis.
Bladder training
Adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kencing yang
mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik (UMN
atau LMN), dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks-refleks:
1. Refleks otomatik
Refleks melalui saraf parasimpatis S2-3 dansimpatis T12-L1,2, yang bergabung
menjadi n.pelvikus. Tes untuk mengetahui refleks ini adalah tes air es (ice water test).
Test positif menunjukkan tipe UMN sedangkan bila negatif (arefleksia) berarti tipe
LMN.
2. Refleks somatis
Refleks melalui n.pudendalis S2-4. Tesnya berupa tes sfingter ani eksternus dan tes
refleks bulbokarvernosus. Jika tes-tes tersebut positif berarti tipe UMN, sedangkan
bila negatif berarti LMN atau tipe UMN fase syok spinal
Langkah-langkah Bladder Training:
1. Tentukan dahulu tipe kandung kencing neurogeniknya apakah UMN atau LMN
2. Rangsangan setiap waktu miksi
3. Kateterisasi:
a. Pemasangan indwelling cathether (IDC)=dauer cathether
Kateterisasi kontinyu tidaklah fisiologis karena kandung kemih selalu kosong,
sehingga kehilangan potensi sensasi miksi; terjadi atrofi serta penurunan tonus otot
kandung kemih; ditambah lagi dengan sepsis dan bakteriuri. Oleh karena itu

dianjurkan program kateterisasi intermiten. Waktu yang diperlukan untuk mencapai


keadaan bebas kateter berkisar antara 3 - 278 hari atau sekitar
8-10 minggu, jika tidak ada obstruksi.
Paremeter keberhasilan
1) Penderita dapat mengeluarkan urine dengan baik dan lancar, baik secara spontan,
dengan bantuan stimulasi refleks atau- pun dengan crede/valsava manuever secara
mudah.
2) Residual urine kurang atau sama dengan l00 ml.
Tak didapat perubahan patologis pada saluran kemih.
3) Penderita bebas kateter.
IDC dapat dipasang dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala
(clamping). Dengan pemakaian kateter menetap ini, banyak terjadi infeksi atau sepsis.
Karena itu kateterisasi untuk bladder training adalah kateterisasi berkala. Bila dipilh
IDC, maka yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena IDC yang kontinu tidal
fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan
kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kk
b. Kateterisasi berkala
Metoda ini dengan teknik non touch pertama kali diperkenalkan oleh Guttmann.
Karena hasilnya memuaskan, cara ini dengan cepat diikuti oleh klinik-klinik lain.
Pada saat ini hampir seluruh klinik di seluruh dunia menganggap kateterisasi
intermiten merupakan method of choice. Sebagian kecil penulis meragukan
perbedaannya dibandingkan dengan metoda lain.
Keberatan atau kerugian tersebut antara lain adalah:
a) Bahaya distensi kandung kemih tetap ada.
b) Risiko trauma uretra akibat kateter yang keluar masuk secara berulang.
c) Risiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar atau dari ujung distal
uretra (flora normal).
Terhadap bahaya-bahaya tersebut diajukan beberapa cara pencegahan :

a) Restriksi cairan. Bila penderita dirawat dalam ruangan ber-AC, maka jumlah cairan
total yang dapat diberikan ialah 1500 ml/hari, dibagi rata tiap 2 jam. Kateterisasi
dilakukan tiap 6 jam.
Berdasarkan ketentuan ini maka pada tiap kateterisasi akan diperoleh urin tidak lebih
dari 500 ml. Bila ternyata lebih, maka pemberian cairan dikurangi atau frekuensi
kateterisasi ditambah. Tentunya restriksi cairan ini harus disesuaikan bila ruang
perawatan tanpa AC.
b) Risiko trauma uretra dapat dicegah, paling tidak dikurangi dengan menggunakan
kateter jenis lunak yang biasanya dibuat dari bahan polivinil. Sebaiknya dengan ujung
bulat (misalnya kateter Jacques polivinil no. 14 Fr).
c) Sebelum pemasangan, baik pada kateter maupun uretra diberi pelumas terlebih
dahulu. Jangan sekali-kali memasang kateter pada seorang penderita pria dalam
keadaan refleksi ereksi
d) Pencegahan infeksi dilakukan dengan teknik "non touch". Di samping itu berikan
cairan antibiotika/antiseptika ke dalam kandung kemih setiap habis kateterisasi;
bahan yang dipergunakan bervariasi antara satu klinik dengan klinik lainnya
Keuntungan kateterisasi berkala antara lain:
o Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang
mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal
mungkin
o Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan
berfungsi normal
o Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka penderita
dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga fedback ke medula
spinalis tetap terpelihara
o Teknik yang mudah dan penderita tidak terganggu kegiatan sehari-harinya
Kandung Kemih UMN (Upper Motor Neuron)

Pada tahap akut pengosongan kandung kemih dilakukan dengan cara kateterisasi
intermiten. Dua hari kemudian lakukan pemeriksaan refleks bulbokavernosus dan tes
air dingin. Bila belum ada respons, evaluasi diulang tiap 72 jam. Setelah percobaanpercobaan tersebut positif, latihan kandung kemih
dimulai. Caranya adalah dengan ketokan pada dinding abdomen daerah suprapubis
setiap 2 jam. Tindakan yang dimaksudkan untuk merangsang refleks miksi ini harus
dilakukan oleh penderita di luar jam-jam tidur (kecuali penderita tetraplegi).
Pada jam-jam tidur pekerjaan diambil alih oleh perawat Bila jumlah urin yang dapat
dikeluarkan melalui cara ini kira-kira sebanyak jumlah urin yang didapat melalui
kateter, maka pada
jadual tersebut tak perlu kateterisasi. Jika kurang, kateterisasi tetap dilakukan. Mudah
dipahami bahwa makin efisien refleks miksi, makin kurang frekuensi kateterisasi.
Kateterisasi dapat dihentikan sama sekali bila keadaan ini sudah tercapai, restriksi
cairan dapat dilonggarkan. Kadang-kadang bladder training tak memberikan hasil
memuaskan: biasanya disebabkan oleh dua kemungkinan:
1. Kontraksi otot detrusor kurang efisien
2. Sfingter uretra kurang efisien
Kandung Kemih LMN (Lower Motor Neuroni)
Prosedur rehabilitasi kandung kemih LMN biasanya tidak sulit. Miksi spontan
dilaksanakan dengan manipulasi Crede dengan hasil memuaskan. Hanya sedikit
penulis yang meragukan efektifitasnya. Di samping itu biasanya penderita masih
mempunyai kemampuan mengejan sehingga dapat membantu evakuasi urin.
Langkah-Langkah Pelaksanaan Program Kateterisasi Intermiten :
Menentukan tipe kandung kemih UMN, LMN atau campuran;
caranya:
- Lakukan pemeriksaan ACR/BCR
- Tentukan fase shock sudah terlewati atau belum (dribble)
- Bila telah dribble, lakukan pengukuran IBV (Initial Bladder Volume) yaitu
mengukur jumlah urin spontan, residu urin dan dengan tapping/express.

- Lakukan pemeriksaan IWT (Ice Water Test) Bila hasil positif; berarti fungsi otot
detrusor masih baik.
Dari hasil pemeriksaan di atas dapat ditentukan jenis/tipe bladder dan jumlah cairan
yang diminum.
Jika IBV > 400 ml, minum 125 ml/2 jam
Jika IBV < 400 ml, minum 150 ml/2 jam
Kateterisasi dilakukan setiap 6 jam. Sebelum menjalani program ini sebaiknya
dilakukan pemeriksaan antara lain : urine, kultur dan sensitifitas, serum kreatin dan
serum urea nitrogen, bila perlu pemeriksaan radiologi maupun uretro sistografi.
Setelah menjalani program kateterisasi intermiten, bila residu urine < l00 ml,
frekuensi kateterisasi dikurangi dan jumlah urin ditambah. Ditunggu sampai 3 kali
berturut-turut. Demikian seterusnya sampai bebas kateter. Apabila terdapat kendala,
misalnya sampai 7 hari sisa urin masih lebih dari 200 ml atau bila dalam 2 hari
program tanda-tanda miksi spontan negatif, dapat diberi urocholin dengan dosis
maksimum 100 mg/hari. Dimulai dengan 15-60 mg/hari dibagi 3 dosis. Dosis awal : 5
mg (3x5 mg) diobservasi tiap 2 hari. Bila respon kurang, dosis dapat ditingkatkan
sampai dosis efektif.
Pemberian dihentikan bila sisa urine menetap sampai 1 minggu. Untuk mengatasi
kendala-kendala tersebut, pemberian obat-obatan dapat dipertimbangkan.
Fisioterapi
Fisioterapi merupakan suatu metode latihan dengan menggunakan gerak tubuh
baik secara active maupun passive untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan,
ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas,
rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner,1996).
Teknologi intervensi Fisioterapi yang dapat digunakan antara lain :
-

Static Contraction

Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan tanpa gerakan pada
sendi (Kisner,1996). Latihan ini dapat meningkatkan tahanan perifer pembuluh darah,
vena yang tertekan oleh otot yang berkontraksi menyebabkan darah di dalam vena

akan terdorong ke proksimal yang dapat mengurangi oedem, dengan oedem


berkurang, maka rasa nyeri juga dapat berkurang.
-

Rileks passive movement

Merupakan gerakan yang murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai gerakan
dari anggota tubuh pasien. Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot secara pasif, oleh
karena gerakan berasal dari luar atau terapis sehingga dengan gerak rileks passive
movement ini diharapkan otot yang dilatih menjadi rilek maka menyebabkan efek
pengurangan atau penurunan nyeri akibat incisi serta mencegah terjadinya
keterbatasan gerak serta menjaga elastisitas otot (Kisner, 1996). Mekanisme
penurunan nyeri oleh gerakan rileks passive movement sebagai berikut : adanya
stimulasi kinestetik berupa gerakan rileks pasif movement yang murni berasal dari
luar atau terapis tanpa disertai gerakan dari anggota tubuh pasien akan merangsang
muscle spindle dan organ tendo golgi dalam pengaturan motorik, fungsi dari muscle
spindle adalah (1) mendeteksi perubahan panjang serabut otot, (2) mendeteksi
kecepatan perubahan panjang otot, sedangkan fungsi dari organ tedo golgi adalah
mendeteksi ketegangan yang bekerja pada tendo golgi saat otot berkontraksi (Guyton,
1991). Dengan terstimulasinya muscle spindle dan organ tendo golgi lewat gerakan
rileks passive movement akan mempengaruhi mekanisme kontraksi dan rileksasi
otot, yaitu bahwa ion-ion calsium secara normal berada dalam ruang reticulum
sarcoplasma. Potensial aksi menyebar lewat tubulus transversum dan melepaskan Ca
2+. Filamen-filamen actin (garis tipis) menyelip diantara filamen-filamen myosin,
dan garis-garis bergerak saling mendekati. Ca 2+ kemudian dipompakan kedalam
reticulum sarcoplasma dan otot kemudian mengendor (Chusid, 1993). Dengan
kedaaan otot yang sudah mengendor maka penurunan nyeri dapat terjadi melalui
mekanisme-mekanisme sebagai berikut: (1) Tidak ada lagi perbedaan tekanan
intramuscular yang menekan nociceptor sehingga nociceptor tidak terangsang untuk
menimbulkan nyeri, (2) Dengan gerakan rileks passive movement yang berulangulang maka nociceptor akan beradaptasi terhadap nyeri. Suatu sifat khusus dari semua
reseptor sensoris adalah bahwa mereka beradaptasi sebagian atau sama sekali

terhadap rangsang mereka setelah suatu periode waktu. Yaitu, bila suatu rangsang
sensoris kontinu bekerja untuk pertama kali, mula-mula reseptor tersebut bereaksi
dengan kecepatan impuls yang sangat tinggi, kemudian secara progresif makin
berkurang sampai akhirnya banyak diantaranya sama sekali tidak bereaksi lagi . Hal
ini dapat pula untuk menentukan dosis gerakan rileks passive movement agar dapat
menstimulasi muscle spindle.
Mekanisme umum dari adaptasi dibagi dua yaitu : (1) Sebagian adaptasi disebabkan
oleh penyesuaian didalam struktur reseptor itu sendiri, (2) Sebagian disebabkan oleh
penyesuaian didalam fibril saraf terminal. (Guyton, 1991)

(3) Dengan

mengendornya otot melalui gerakan rileks passive movement akan mempengaruhi


spasme otot dan iskemi jaringan sebagai penyebab nyeri. Spasme otot sering
menimbulkan nyeri alasanya mungkin dua macam, yaitu : (1) Otot yang sedang
berkontraksi menekan pembuluh darah intramuscular dan mengurangi atau
menghentikan sama sekali aliran darah, (2) Kontraksi otot meningkatkan kecepatan
metabolisme otot tersebut. Oleh karena itu , spasme otot mungkin menyebabkan
iskemi otot relatif sehingga timbul nyeri iskemik yang khas. Penyebab nyeri pada
iskemik belum diketahui, salah satu penyebab nyeri pada iskemik yang diasumsikan
adalah pengumpulan sejumlah besar asam laktat didalam jaringan, yang terbentuk
sebagai akibat metabolisme anaerobic yang terjadi selama iskemik, tetapi, mungkin
pila zat kimia lain, seperti bradikinin dan poliopeptida, terbentuk didalam jaringan
karena kerusakan sel otot dan bahwa inilah, bukannya asam laktat yang merangsang
ujung saraf nyeri. (Guyton, 1991).
-

Passive joint mobility


Gerakan tubuh manusia terjadi pada persendian. Macam gerakan dan ROM

tergantung dari struktur anatomi sendi, juga posisi otot yang mengontrol gerakan tadi.
Kapsular ligament yang seluruhnya terdapat didalam kapsul sendi akan
memberikan penguat terhadap synovial membrane, dimana synovial membrane tadi
akan mengeluarkan cairan kedalam rongga sendi yang menjamin gerakan sendi tetap
licin, juga memberikan makan terhadap cartilago.

Pada kaki banyak terdapat persendian, sehingga memungkinkan kaki dapat


berjalan, menyesuaikan bermacam-macam permukaan dan tampak lentur atau
mengeper.
-

Active exercise
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot-otot anggota tubuh itu sendiri.

Gerak dalam mekanisme pengurangan nyeri dapat terjadi secara reflek dan disadari.
Gerak yang dilakukan secara sadar dengan perlahan dan berusaha hingga mencapai
lingkup gerak penuh dan diikuti rileksasi otot akan menghasilkan penurunan nyeri
(Kisner,1996). Mekanisme gerak yang disadari dalam penurunan nyeri adalah bahwa
perananan muscle spindle sangat penting dalam mekanisme ini, sama pentingnya
dalam penurunan nyeri dengan menggunakan gerakan pasif. Untuk menekankan
pentingnya system eferen gamma, eferen gamma adalah suatu serabut saraf kecil
yang bertugas merangsang ujung-ujung serabut intrafusal agar daerah sentral
berkontraksi. Orang perlu menyadari bahwa 31 persen dari semua serabut saraf
motorik ke otot merupakan serabut eferen gamma, bukannya serabut motorik besar
jenis A alfa. Bila sinyal dikirimkan dari korteks motorik atau dari daerah otak lain
apapun ke motoneuron gamma hampir selalu terangsang pada saat bersamaan. Ini
menyebabkan serabut otot ekstrafusal dan intrafusal berkontraksi pada saat yang
sama.
Tujuan mengkontraksikan serabut muscle spindle pada saat bersamaan dengan
kontraksi serabut otot rangka besar mungkin ada dua macam : (1) mencegah muscle
spindle menentang kontraksi otot, (2) mempertahankan sifat responsif muscle spindle
terhadap peredaman dan beban yang tepat dengan tidak menghiraukan perubahan
panjang otot. Dengan bekerjanya muscle spindle secara sadar dan optimal maka
dengan mekanisme adaptasi dan rileksasi akan menimbulkan penurunan nyeri.
(Guyton,1991).
Active exercise terdiri dari assisted exercise, free active exercise dan resited
active exercise. Assisted exercise dapat mengurangi nyeri karena merangsang
rileksasi propioseptif. Resisted active exercise dapat meningkatkan tekanan otot,
dimana latihan ini akan meningkatkan rekruitment motor unit-motor unit sehingga

akan semakin banyak melibatkan komponen otot yang bekerja, dapat dilakukan
dengan peningkatan secara bertahap beban atau tahanan yang diberikan dengan
penurunan frekuensi pengulangan (Kisner, 1996). Mekanime peningkatan kekuatan
otot melalui gerakan resisted active execise adalah dengan adanya irradiasi atau over
flow reaction akan mempengaruhi rangsangan terhadap motor unit, motor unit
merupakan suatu neuron dan group otot yang disarafinya. Komponen-komponen
serabut otot akan berkontraksi bila motor unit tersebut diaktifir dengan memberikan
rangsangan pada cell (AHC)nya. Jadi kekuatan kontraksi otot ditentukan motor
unitnya, otot akan berkontraksi secara kuat bila otot tersebut semakin banyak
menerima rangsangan motor unitnya. Karena otot terdiri dari serabut-serabut dengan
motor unit yang mensyarafinya, maka kontraksi otot secara keseluruhan tergantung
dari jumlah motor unit yang mengaktifir otot tersebut pada saat itu. Jumlah motor unit
yang besar akan menimbulkan kontraksi otot yang kuat, sedangkan kontraksi otot
yang lemah hanya membutuhkan keaktifan motor unit relatif lebih sedikit.(Heri
Priatna, 1983).
-

Mengintegrasikan latihan aktif ke dalam aktifitas sehari-hari


o Menganggukan kepala ya melatih leher (fleksi dan ektensi)
o Menggelengkan kepala tidak melatih leher (rotasi)
o Menggerakkan telinga kanan ke bahu kanan melatih leher (fleksi
lateral)
o Menggerakkan telinga kiri ke bahu kiri melatih leher (fleksi lateral)
o Meraih untuk menghidupkan lampu di atas kepala melatih bahu
(fleksi)
o Mengambil buku di samping tempat tidur melatih bahu (abduksi)
o Menggaruk punggung melatih bahu
o Memutar bahu kea rah dada melatih bahu
o Memutar bahu ke arah punggung melatih bahu

o Makan, mandi, mencukur, dan berpakaian melatih siku


o Semua aktifitas yang memerlukan koordinasi motorik baik, seperti
menulis dan makan, melatih jari dan ibu jari
o Berjalan melatih pinggul
o Memutar ujung kaki kea rah dalam melatih pinggul
o Memutar ujung kaki kea rah luar melatih pinggul
o Berjalan melatih lutut
o Berjalan melatih pergelangan kaki
o Mengarahkan ujung kaki kea rah kepala tempat tidur melatih
pergelangan kaki
o Mengarahkan ujung kaki ke arah kaki tempat tidur melatih
pergelangan kaki
o Berjalan melatih jari kaki
o Mengayun jari melatih jari
-

Latihan berjalan
Aspek terpenting pada penderita fraktur tungkai bawah adalah kemampuan

berjalan ,latihan yang yang dilaksanakan adalah ambulasi non weight bearing, dengan
menggunakan alat bantu berupa 2 buah kruk, caranya kedua kruk dilangkahkan
kemudian diikuti kaki yang sehat sementara kaki yang sakit menggantung (Cash,
1966). Syarat berjalan dengan alat Bantu (1) Otot-otot lengan harus kuat, (2) Harus
mempertahankan keseimbangan dalam posisi berdiri dengan alat bantu, (3) Bisa
berdiri lama minimal 15 menit.(Tidys, 1961).
program rehabilitasi:
menggunakan peralatan yang sesuai seperti penyangga badan dan kursi roda.
- terapi kerja ( occupational therapy ). Fokus terapi kerja adalah pada aktivitas
sehari hari seperti makan dan mandi. Terapi kerja mengembangkan alat dan tehnik
khusus yang mengijinkan perawatan sendiri dan jalan memberi kesan untuk

memodifikasi rumah dan tempat kerja bahwa pasien dengan kelemahannya bisa hidup
normal.
- terapi khusus lainnya : pasien membutuhkan pelayanan terapi pernafasan, konselor
bagian rahabilitasi, pekerja sosial, nutrisi, berbicara, guru pengajar khusus, terapi
rekreasi atau klinik.

Anda mungkin juga menyukai