Anda di halaman 1dari 5

tatalaksana

Terdapat tiga tujuan utama yang perlu dicapai dalam tata laksana cedera medula spinalis, yaitu
memaksimalkan pemulihan neurologis, stabilisasi spinal, dan rehabilitasi. Untuk itu, terdapat alur
tata laksana yang dimulai sejak fase pra-RS (prehospital), fase RS (hospital), dan rehabilitasi
pascacedera yang berkesinambungan.

1. Fase Pra-RS (prehospital)

Terdapat 10-25% pasien cedera medula spinalis yang mengalami defisit neurologis akibat tata
laksana prarumah sakit yang tidak memadai. Penanganan fase ini berperan penting dalam
menentukan prognosis pasien trauma medula spinalis. Dibutuhkan koordinasi yang baik antara
petugas di tempat kejadian dan RS tujuan. RS tujuan harus dipastikan dapat melakukan tata laksana
lanjutan pada pasien sebelum dilakukan transfer pasien. Informasi yang penting diketahui antara lain
adalah keadaan pasien, waktu terjadinya trauma, dan mekanisme trauma.

Penekanan yang diutamakan pada fase prarumah sakit adalah

a. Imobilisasi pasien
Upaya imobilisasi pada fase pra-rumah sakit meliputi imobilisasi area servikal, dan sepanjang
tulang belakang.
a. Imobilisasi area servikal
Tatalaksana yang dapat dilakukan untuk melindungi dan imobilisasi area servikal antara lain:
 Stabilisasi manual dengan memposisikan kepala sedikit ekstensi dan distraksi,
untuk mencegah terjadinya fleksi dan kompresi spinal yang lebih lanjut
 Memasangkan bidai servikal, atau
 Menggunakan sandbag atau towel roll pada sisi lateral atau dengan memasang
tali (strapping) kepala pada spine board. Kelebihan dalam penggunaan bidai
servikal adalah manipulasi minimal pada leher saat pemasangannya. Bidai
servikal dapat dijadikan sebagai penanda bahwa terdapat risiko cedera servikal
yang belum dapat disingkirkan. Kombinasi dengan car alain, misalnya strapping,
dapat lebih memfiksasi leher.
Yang perlu diperhatikan dalam metode strapping adalah adanya agitasi pada
pasien. Pasien yang mengalami agitasi dapt menyebabkan cedera sekunder.
Strapping daerah dada sebaiknya diminimalisasi karena mengurangi ruang gerak
rongga paru, strapping pada posisi telentang (supine) meningkatkan risiko
terjadi bronkopneumonia aspirasi.
Penggunaan sandbag dipikirkan lebih aman dibandingkan strapping karena tidka
mengganggu jalan napas, tetapi dapat meminimalisasi timbulnya gerakan yang
tidak diinginkan timbulnya gerakan yang tidak diinginkan. Sandbag
direkomendasikan pada pemindahan pasien pada keadaan yang tidak
memungkinkan dengan spine board. Selain keadaan tersebut, sandbag kurang
praktis untuk digunakan. Minimalisasi gerakan lateral kepala pun dapat dilakukan
dengan pengaplikasian towel roll pada kedua sisi kepala. Sebaiknya penggunaan
sandbag atau towel roll tanpa dikombinasikan dengan strapping atau pelindung
leher tipe rigid.
b. Imobilisasi sepanjang tulang belakang
Imobilisasi tulang belakang bertujuan untuk meminimalisir gerakan serta menjaga
kesejajaran (alignment) tulang belakang dengan menggunakan spine board. Spine board
tidak diperuntukkan untuk pemakaian jangka panjang karena berisiko terjadinya dekubitus
akibat penekanan berlebih di bagian sakrum, belikat, tumit, dan oksipital.
b. Resusitasi jalan napas
a) Penjagaan jalan napas dan ventilasi
Penjagaan jalan napas perlu dilakukan pada seluruh pasien trauma terutama
mengalami penurunan kesadaran Pasien dengan Jalan napas yang tidak
adekuat akan mengalami gangguan ventilasi vang akan berlanjut pada
kurangnya oksigenasi jaringan jika terjadi dalam waktu yang lama
Pembukaan jalan, napas pada pasien dengan trauma spinal prarumah sakit
dapat dilakukan dengan manuver jaw thrust untuk meminimalisasi
pergerakan leher.Pemasangan nasopharyngeal airway atau oropharyngeal
airway dapat dilakukan untuk menjaga jalan napas tetap terbuka, namun
perlu diperhatikan bahwa penggunaan ini dapat menginduksi refleks muntah
dan memberikan efek agitasi pada pasien.
b) Kontrol perdarahan dan renjatan
Renjatan hipovolemik pada trauma spinal merupakan hal yang rumit. Kondisi
hipotensi dapat ditemukan tanpa disertai dengan adanya hipoperfusi, atau
disebut juga renjatan spinal.
Cedera setinggi segmen srvikal atau torakal dapat ditemukan hipotensi atau
bradikardi. Keadaan ini dapat terjadi akibat adanya renjatan spinal, sehingga
tidak disarankan untuk dilakukan resusitasi cairan berlebih
c. Kontrol perdarahan dan syok
d. Transfer pasien ke RS dengan fasilitas memadai sesegera mungkin

2. Tata Laksana di Rumah Sakit

2.1 Penanganan Gawat Darurat

penanganan gawat darurat pasien cedera medula spinalis di unit gawat darurat RS tergantung pada
penanganan pertama prarumah sakit. Jika belum mendapatkan terapi sebelumnya, maka protokol
penanganan gawat darurat cedera medula spinalis harus dilakukan dari awal. Berbeda dengan pasien
yang telah mendapatkan penanganan prarumah sakit yang tepat maka, langkah-langkah dalam
protokol dapat dilewati atau dimodifikasi setelah memastikan kembali bahwa tindakan yang
dilkaukan sebelumnya tepat dan keadaan yang mengancam nyawa sudah ditangani.

a) Imobilisasi

imbobilisasi pada fase RS merupakan lanjutan dari tata laksana prarumah sakit. Pasien yang datang
dalam keadaan terimobilisasi dengan spine board dan pelindung leher sebaiknya dipindahkan segera
mengingat tindakan imobilisasi juga memberikan risiko komplikasi. Sebaiknya penilaian dan
pemeriksaan penunjang lengkap dilakukan dalam waktu tidak lebih dari dua jam. Apabila dalam dua
jam tidak tercapai, sebaiknya mobilisasi terkontrol tetap dilkaukan dengan memperhatikan
kesegarian tulang belakang.

b.) Survei primer

Tindakan survei primer merupakan evaluasi ulang dari tindakan prarumah sakit. Survei primei ttap
dilakukan walaupun sudah dilkaukan sebelum tiba di RS.

c.) survei sekunder dan pemeriksaan neurologis


setelah melakukakan survei primer dan dinyatakan aman, maka pemeriksaan dilanjutkan ke survei
sekunder, meliputi anamnesis dan pemeriksaan dari kepala hingga ujung kaki, termasuk pemeriksaan
neurologis neurologus lengkap. Tindakan survei sekunder ini bertujuan untuk mencari tanda-tanda
cedera medula spinalis secara klinis.

d.) Medikamentoda akut

salah satu obat yang sering diigunakan dalam pengobatan akut adalah glukokortikoid dosis tinggi.
Studi oleh NASCIS II menghasilkan bahwa pemberian metilprednisolon dosis tinggi dalma 24 jam
pertama membeirkan perbaikan fungsi motorik yang signifikan dibanding kelompok kontrol (plasebo
atau nalokson). Penelirian tersebut telah dikmebangkan dan saat ini sudah ditetapkan
metilprednisolon dosis tinggi dalam 8 jam pertama sebagai tatalaksana standar pasien cedera
medula spinalis. Cara pemberian sebagai berikut:

- Pasien awitan <3jam diberikan metilprednisolon 30mg/kgBB IV bolus selama 15 menit,


ditunggu selama 45 menit ( tidak diberikan metilprednisolon dalma waktu ini). Dilanjutkan
dengan infus teus
menerus selama 23 jam dengan infus terus menerus selama 23 jam dengan dosis
5,4mg/kgBB/jam.
- Pasien awitan 3-8 jam, diberikan dengan cara yang namun dosis infus dilakukan selama 47
jam.
- Bila diagnosis baru ditegakkan >8jam, maka pemberian steroid tidak dianjurkan, meskipun
demikian panduan terkini tidak lagi menganjurkan penggunaaan steroid pada cedera
medulla spinalis karena bukti-butki inadekuat dan bisa menigkatkan risiko infeksi.

2.2. Perawatan intensif


Perawatan penderita cedera medula spinalis di ruang rawat intensif ditekankan pada
upaya memprtahankan apsien tetapi imoblisisai dan mengevaluasi masalah
neurologis maupun kesehatan lain yang mungkin timbul sebagai keadaan primer
maupun sekunder akibat upaya imobilisasi sendiri. Insiden morbiditas dan mortalitas
pasien cedera medula spinalis lebih tinggi terjadi pada dua medulla spinalis lebih
tinggi terjadi pada dua minggu awal pascacedera.
Kriteria temapt tidur yang sesuai dalam perawatan pasein cedera medula spinalis,
antar lain:
 Menunjang stabilitas dan kesegariasna tualng belakang
 Nyaman dan meiiliki risiko rendah ulkus dekubitus
 Memudahkan upaya reposiis pasien untuk mencegah komplikasi imobilisasi.

3. Tata Laksana Rehabilitatif

Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu yang mengalami gangguan secara
optimal dalam bidang mental, fisik, kognitif, dan sosial. Proses rehabilitasi pada pasein cedera
medula spinalis adalah untuk:

- Memberikan pengertian mengenai cedera medula spinalis kepada pasien dan keluarga
- Memaksimalkan fungsi mobilisasi dan kemandirian pasien
- Mencegah maslaah kesehatan komorbid, seperti kontraktur, luka dekubitus, masalah
pernapasan dan seterusnya.
Pncapaina tersebut melibatkan kerjasama multidisiplin, yang dimulai sejak fase akut, perawatan,
hingga setelah perawatan. Adapun tindakan-tindakan rehabilitasi sendiri, meliputi fisioterapi, terapi
okupasi, latihan miksi dan defekasi rutin, terapi psikologis dan konseling.

BAGIAN RATU GATAU APA

Cedera Primer

Cedera primer terjadi sejak awal medula spinalis mengalami trauma. Mekanisme umum dari cedera
medula spinalis adalah adanya kompresi pada struktur medula spinalis, baik oleh kelainan tulang,
ligamen, herniasi diskus intervertebralis, maupun proses hematom pada medula spinalis itu sendiri.
Proses kompresi akan memberikan gejala berupa defisit neurologis dan/atau rasa sakit yang
dirasakan terus menerus. Mekanisme lain akibat gaya mekanik trauma (axial loading, fleksi, ekstensi,
rotasi, lateral bending, distraksi) dapat berupa luka tembus, peregangan, maupun robekan pada
struktur medula spinalis dan pembuluh darah. Kerusakan langsung pada struktur medula spinalis
dapat berupa destruksi parenkim medula spinalis, gangguan jejaring akson, dan kerusakan membran
glia. Area substansia grisea lebih rentan mengalami kerusakan yang pertama kali kemudian
menyebar ke area sekitarnya (kaudal-kranial). Sel-sel saraf pada area ini akan mengalami kerusakan
fisik, penipisan selubung mielin, edema, dan menarik makrofag di sekitar area, sehingga mengganggu
transmisi saraf

Adapun kerusakan langsung pada pembuluh darah menyebabkan perdarahan pada medulla spinalis
Ruptur pembuluh darah menimbulkan ekstravasasi leukosit, set-seliming ian eritrosit yang bersifat
desak lesi ruang terhadap parenkim medula spinals. Selanjutnya fenomena ini akan mengganggu
perfusi jaringin dan pada akhirnya terjadi vasospasme, bahkan iskemia atau hipoksia medula spinalis.

Rangkaian keiadian tersebut dapat berlangsung sampai 24 jam pasca cedera. Hal ini dapat diperberat
oleh renjatan akibat perdarahan di tempat lain yang sering terjadi pada pasien trauma. Adanya
iskemia, hipovolemia dan hipoperfusi pada akhirnya berakibat kematian sel dan kerusakan jaringan.

Cedera Sekunder

Berbagai hal yang terjadi pada cedera primer akan memicu serangkaian perubahan biokimia,
mekanik, dan fisiologi pada medula spinalis. Perubahan patologis yang terjadi antara lain,
peningkatan permeabilitas sel, iskemia, edema, eksitotoksisitas, disregulasi ion, inflamasi, peroksidasi
lipid, pembentukan radikal bebas, demielinasi, degenerasi Wallerian, jaringan part fibroglia (gliosis),
dan pembentukan kista. Cedera sekunder dapat dibagi ke dalam beberapa fase, yaitu akut, subakut
(menengah), dan kronik

Salah satu contoh, iskemia medula spinalis menyebabkan edema sitotoksik dan vasogenik.

Pada kondisi normal, influks ion natrium terjadi karena influks pasif ion klorida melalui kanal klorida.
Selanjutnya, molekul air akan influks juga melalui kanal akuaporin. Pada keadaan patologis, terjadi
ketidakseimbangan antara influks ion-ion dan air di lingkungan intrasel, sehingga menimbulkan
pembengkakan sel (edema sitotoksik), disintegrasi struktur sitoskeletal, dan bisa mencetuskan
kematian sel.
Selain itu, cedera endotel dan inflamasi akan memperlebar celah sawar darah medula spinalis, dan
kemudian membuat molekul berukuran besar dapat berpindah ke medula spinalis, sehingga terjadi
edema vasogenik. Proses iskemia dan edema vasogenik ini berlangsung pada 2-48 jam pascatrauma.

Perdarahan, edema, dan inflamasi dapat meningkatkan konsentrasi beberapa penanda seperti glial
fibrillary acidic protein (GAP) atau interleukin-6 (IL-6) di dalam cairan serebrospinal. Hal ini akan
memicu pembentukan radikal bebas, eksitotoksisitas yang dimediasi oleh glutamat, dan
neurotoksisitas.

Pada fase subakut cedera sekunder, dengan meningkatnya kadar glutamat di intrasel, aliran ion
menjadi terganggu. Konsentasi ion atrium dan kalsium intrasel menjadi tinggi, sedangkan ion kalium
menurun. Peningkatan konsentrasi ion kalsium intrasel dapat menghambat kerja mitokondria dan
metabolisme aerob, sehingga sel kekurangan energi. Hal ini berdampak pada kerja enzim Na*/K'
ATPase dan influks berlebihan ion natrium. Kondisi disregulasi/imbalans ion in menyebabkan
peningkatan permeabilitas membrane sel terhadap ion kalsium, aktivasi fosfolipase, pembentukan
reactive oxygen species (ROS), dan disfungsi mitokondria.

Peningkatan konsentrasi ion kalsium intrasel menginisiasi terjadinya degenerasi aksonal dan
demielinasi. Fenomena ini terjadi pada fase awal dalam 15 menit pasca cedera dan fase lanjutan
setelah 24-48 jam pascacedera (subakut). Degenerasi aksonal yang terjadi pada fase subakut bisa
bersifat anterograd (degenerasi Wallerian) atau retrograd (dieback aksonal). Selain degenerasi
aksonal dan demielinasi, peristiwa pada fase kronik cedera sekunder ditandai oleh pembentukan
jaringan parut glia (gliosis) dan pembentukan kista .

Anda mungkin juga menyukai