KEGAWATDARURATAN
EDEMA PARU-PARU AKUT
Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktik Dokter Internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang
Diajukan kepada:
dr. Hendryk Kwandang, M.Kes (Pembimbing IGD)
dr. Benidiktus Setyo Untoro (Pembimbing Rawat Inap dan Rawat Jalan)
Disusun oleh:
dr. Qonitatul Fitriyah
Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktik Dokter Internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang
Oleh :
Dokter Pembimbing Instalasi Gawat Darurat
i
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktik Dokter Internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang
Oleh :
Dokter Pembimbing Instalasi Rawat Inap dan Rawat Jalan
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, penulis telah berhasil menyelesaikan laporan
kasus kegawatdaruratan yang berjudul “Edema Paru-paru Akut”. Dalam
penyelesaian portofolio laporan kasus ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada:
Portofolio laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan
hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan saran dan
kritik yang membangun. Semoga laporan kasus ini dapat menambah wawasan dan
bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................
iv
DAFTAR ISI
5
3.7 PEMERIKSAAN FISIK ......................................................................... 25
6
BAB I
PENDAHULUAN
7
Dari uraian di atas, maka perlu kiranya pembahasan lebih sistematik
dan detail terkait edem paru akut. Walaupun nantinya judul akan cenderung
sangat luas karena edem paru akut tersebut bias dibagi berdasarkan penyebab
dan manifestasi klinis.
8
BAB II
LAPORAN KASUS
Pekerjaan : swasta
2.2 ANAMNESIS
Pasien mengeluh sesak napas kumat-kumatan sejak ± 1 tahun yang lalu, memberat
kurang lebih sejak seminggu yang lalu. Pada pukul 21.00 WIB (3 jam SMRS)
pasien merasa sesaknya memberat, dan pasien sangat gelisah. Kemudian pasien
dibawa ke salah satu klinik di Ngajum. Karena kondisi tidak dapat tertangani,
pada pukul 23.00 pasien dirujuk ke RSUD Kanjuruhan. Keluhan juga disertai kaki
yang membengkak sejak 1 minggu yang lalu. Pasien merasa ngongsrong saat
berjalan dan berkurang saat istirahat. Pasien lebih nyaman menggunakan 3 bantal
saat tidur. Ahir-ahir ini pasien merasa sesak bahkan dengan aktifitas ringan. Sesak
tidak dipengaruhi cuaca, debu dan emosi. Bunyi mengi (-), nyeri dada (-), batuk
(+), tidak berdahak, tidak berdarah, mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-), demam
(-). Riwayat BAK pasien normal, warna kuning jernih, frekuensi normal, jumlah
normal. Riwayat BAB juga normal.
9
Riwayat Penyakit Dahulu.
Pasien pernah memeriksakan kondisinya ini 6 bulan yang lalu. Pasien periksa ke
poli jantung RSUD kanjuruhan, namun hanya sekali setelah itu pasien tidak
pernah kontrol lagi. Menurut istri pasien, saat itu suaminya didiagnosa dengan
gagal jantung.
Riwayat Keluarga.
Tidak ditemukan riwayat keluarga dengan keluhan yang sama. Riwayat ayah
pasien meninggal mendadak diduga serangan jantung. Riw Alergi keluarga (-)
Riwayat Pengobatan.
Pasien hanya sekali berobat ke poli jantung RSUD Kanjuruhan. Saat setelah
berobat pasien merasa enakan, namun pasien malas untuk kembali berobat ke RS.
Pasien juga pernah berobat ke puskesmas karena darah tingginya, namun menurut
istri pasien, pasien tidak patuh dalam minum obat darah tingginya.
Deskripsi umum
Keadaan umum
GCS : 456
Tanda vital
10
Nadi : 118x/menit, regular
Kepala/Leher
Ikterik -/-
Thoraks
Pulmo:
D=S
D=S
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Suara nafas
V V Rh: + + Wh : - -
V V + + - -
V V + + - -
11
Cor:
Abdomen
Extremitas
Akral dingin, luas gerak sendi dalam batas normal, capillary refill time 2 detik,
edem tungkai (+), anemi (-), ikterik (-), sianosis (-), petekie (-)
24 Februari 2016
12
Kimia Klinik
2.4.2 EKG
13
2.4.3 Ro Thorax
2.5 RESUME.
Tn.K/ Laki-laki/50
Anamnesis
14
berjalan dan berkurang saat istirahat. Pasien lebih nyaman menggunakan
3 bantal saat tidur. Ahir-ahir ini pasien merasa sesak bahkan dengan aktifitas
ringan. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, debu dan emosi. Bunyi mengi (-), nyeri
dada (-), batuk (+), tidak berdahak, tidak berdarah, mual (-), muntah (-), nyeri ulu
hati (-), demam (-). Riwayat BAK pasien normal, warna kuning jernih, frekuensi
normal, jumlah normal. Riwayat BAB juga normal.
Pemeriksaan fisik
Pernapasan : 32 x/menit.
Ekstrimitas : akral dingin, CRT 2 detik, edema pada tungkai kanan dan
kiri
2.6 DIAGNOSIS.
Rencana diagnosis :-
15
2.7 RENCANA TERAPI.
16
2.8 RENCANA EDUKASI.
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
18
Oedema paru-paru mudah timbul jika terjadi peningkatan tekanan
hidrostatik dalam kapiler paru-paru, penurunan tekanan osmotik koloid seperti
pada nefritis, atau kerusakan dinding kapiler. Dinding kapiler yang rusak dapat
diakibatkan inhalasi gas-gas yang berbahaya, peradangan seperti pada pneumonia,
atau karena gangguan lokal proses oksigenasi (Harun dan Sally, 2009; Soemantri,
2011; Alasdair et al., 2008; Lorraine et al., 2010).
19
lebih tinggi (>25) maka cairan oedema akan menembus epitel paru, membanjiri
alveolus. Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus
memburuk oleh proses sebagai berikut (Alasdair, 2008; Lorraine 2005):
Acute lung oedema kardiogenik ini merupakan bagian dari spectrum klinis
Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS ini didefinisikan sebagai
munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi
jantung yang tidak normal (Harun dan Sally, 2009; Alasdair, 2008; Lorraine
2005).
20
hiposemia dan sesak nafas (Harun dan Sally, 2009; Alasdair, 2008; Lorraine
2005).
Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari
oedema paru tersebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan
hipoksemia yang berat dan seringkali hiperkapnea. Alveolar yang sudah terisi
cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan
berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien.
Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah
normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari
alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hiperkapnea yang terjadi pada awalnya,
21
tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan
asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit
paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui memiliki
efek depresi pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau
yang ketat tertutup (Harun dan Sally, 2009; Alasdair, 2008; Lorraine 2005).
Oedema paru yang terjadi setelah infark miokard akut biasanya akibat
hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi
arteriakoronaria, terjadi oedema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang
dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa
dengan menghambat cyclooxgenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase
akan mengurangi oedema paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas
alveolar-kapiler. Pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Kadang-kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan oedema paru, tekanan
kapiler parunya normal. Hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan
cairan oedema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau
kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas
alveolus kapiler parus ekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang reendah
seperti pada cardiogenic shock lung.
22
tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak
normal. European Society of Cardiology (ESC) membagi AHFS menjadi 6
klasifikasi yaitu (Lorraine 2005; Maria, 2010; ESC, 2008).
Oedema paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari
pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus
paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada jantung. Walaupun oedema paru
dapat berbeda-beda derajatnya, bagaimanapun dalam tingkatnya yang paling
ringan sekalipun tetap merupakan temuan yang menakutkan.
23
1) Peningkatkan permeabilitas kapiler paru (ARDS)
Peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru dapat terjadi pada
penderita dengan kelebihan cairan intravaskular dengan ukuran jantung normal.
Ekspansi volume intravaskular tidak perlu terlalu besar untuk terjadinya kongesti
vena, karena vasokontriksi sistemik dapat menyebabkan pergeseran volume darah
ke dalam sirkulasi sentral. Sindrom ini sering terjadi pada penderita yang
mendapat cairan kristaloid atau darah intravena dalam jumlah besar, terutama
pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, ataupun karena gagal ginjal itu
sendiri (terjadi retensi air). Pemberian kortikosteroid menyebabkan gangguan
kongesti vena lebih lanjut (Soewondo dan Amin, 1998; Amin dan Ranitya, 2006).
24
Sindrom kongesti vena (fluidoverload) ini sering terjadi pada penderita
dengan trauma yang luas, yang mendapat cairan dalam jumlah besar untuk
menopang sirkulasi. Pada fase penyembuhan, terjadilah edema paru. Keadaan ini
sering dikacaukan dengan gagal jantung kiri atau ARDS (acute respiratory
distress syndrome) (Amin dan Ranitya, 2006).
Keadaan ini terjadi pada penderita yang mengalami trauma kepala, kejang-
kejang, atau peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak. Diduga dasar
mekanisme oedema paru neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus
(akibat penyebab di atas) yang menyebabkan rangsangan pada sistem adrenergik,
yang kemudian menyebabkan pergeseran volume darah dari sirkulasi sistemik ke
sirkulasi pulmonal dan penurunan “compliance” ventrikel kiri. Akibatnya terjadi
penurunan pengisian ventrikel kiri à tekanan atrium kiri meningkat dan terjadilah
oedema paru (Soewondo dan Amin, 1998; Haslet, 1999).
Pada penderita dengan trauma kepala, oedema paru dapat terjadi dalam
waktu singkat. Mekanisme neurogenik mungkin dapat menjelaskan terjadinya
oedema paru pada penderita pemakai heroin (Soewondo dan Amin, 1998;
Gomersall, 2009).
Penyakit ini secara khas menyerang orang-orang muda yang berada pada
ketinggian di atas 2700 meter (9000 kaki). Penyebab keadaan ini tidak diketahui,
diduga mekanismenya adalah hipoksia karena ketinggian menyebabkan
vasokonstriksi arteriole paru dan kegiatan yang berlebih (exercise) merangsang
peningkatan kardiak output dan peningkatan tekanan arteri pulmonal, akibatnya
terjadilah oedema paru (Soewondo dan Amin, 1998; Behrman dan Vaughan,
1993; Haslet, 1999).
25
36 jam setelah tiba di tempat yang tinggi (Soewondo dan Amin, 1998; Behrman
dan Vaughan, 1993; Haslet, 1999).
26
Penurunan tekanan koloid osmotik plasma dan retensi seluruh natrium
yang dikonsumsi saja tidaklah cukup untuk berkembangnya oedema pada sindrom
nefrotik. Untuk timbulnya oedema harus ada retensi air (Moss dan Ingram, 2001).
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama
melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruangan interstisial sesuai dengan
selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas
membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar
terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang
interstisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang
kemudian dikembalikan oleh siistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein
plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan
27
untuk filtrasi cairan keluar dari kirosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik
kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein
(Soewondo dan Amin, 1998; Behrman dan Vaughan, 1993).
Oedema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan `dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam
pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan
normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke
ruangan interstisial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling
dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.
28
sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem
limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika
terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami
hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam
jumlah yang lebih besar yang dapat mencegah terjadinya oedema. Sehingga
sebagai konsekuensi terjadinya oedema interstisial, saluran nafas yang kecil dan
pembuluh darah akan terkompresi (Harun dan Sally, 2009; Lorraine, 2010).
Gejala paling umum dari pulmonary oedema adalah sesak nafas. Ini
mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang
secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus
dari pulmonary oedema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah
lelah, lebih cepat mengembangkan sesak nafas daripada normal dengan aktivitas
yang biasa (dyspnea on exertion), nafas yang cepat (takipnea), kepeningan atau
kelemahan (Aladair et al., 2008; Lorraine 2005; Maria, 2010; Simadibrata et al.,
2000).
1) Stadium 1
29
menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inpsirasi
karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat inspirasi.
2) Stadium 2
3) Stadium 3
3.5 DIAGNOSIS
Anamnesis
30
kronik. Acute Lung Oedema kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi
hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman
yang yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti
seseorang yang akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
31
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
32
bahwa pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal
jantung dari penyakit penyakit lainnya.
2) Radiologi
33
Garis kerley A merupakan garis linier panjang yang membentang dari
perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara
limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek
dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang
menggambarkan adanya oedema septum interlobuler. Garis kerley C berupa garis
pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya
karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto, 2009).
34
Gambar 2.3 Perbedaan Gambaran Radiografi pada Oedema Paru Kardiogenik dan
non Kardiogenik
3) Echokardiografi
4) EKG
35
atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolic atau katekolamin
(Lorraine et al., 2005; Maria, 2011).
5) Kateterisasi pulmonal
3.6 PENATALAKSANAAN
1) Suportif
Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus dilakukan adalah:
a. support kardiovaskular
b. terapi cairan
36
c. renal support
d. pengelolaan sepsis
2) Ventilasi
37
umum tapi mungkin bermanfaat pada beberapa kasus (Amin dan Ranitya, 2006;
Gomersall, 2009; Prihatiningsih, 2009).
Sistematikanya :
38
3) Morphin IV 2,5 mg
4) Diuretik
5) Nitroglyserin
6) Inotropik
39
Sistematikanya yakni sebagai berikut:
1) Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretic, dosis yang
direkomendasikan sebesar 2,5x dari dosis oral yang biasanya diberikan.
Dapat diulang jika diperlukan
2) O2 saturasi dengan pulse oximeter<90 atau PaO2<60 dapat diberikan,
yang terkait dengan peningkatan resiko mortalitas jangka pendek. Oksigen
tidak boleh digunakan secara rutin pada pasien non-hipoksemia karena
menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan curah jantung.
3) Biasanya dimulai dengan O2 40-60% dititrasi sampai SaO2 > 90%, hati-
hati pada pasien yang mempunyai resiko retensi CO2.
4) Contoh, pemberian morfin 4-8 mg ditambah metoclopramide 10 mg,
observasi adanya depresi pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.
5) Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit,
bingung/kesadaran menurun, iskemik miokardial.
6) Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2,5 mikrogr/kg/menit, dosis
dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit tergantung respon (titrasi dosis dibatasi
jika terdapat takikardia, aritmia atau iskemik). Dosis>20 mikrogr/kg/menit
jarang sekali diperlukan. Bahkan dobutamine mungkin memiliki aktivitas
vasodilator ringan sebagai akibat dati stimulasi beta-2 adrenoseptor.
7) Pasien harus diobservasi ketat secara regular (gejala, denyut dan ritme
jantung SpO2, tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan
pulih.
40
8) Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 mikrogram/menit dan dosis
dinaikkan 2x lipat tiap 10 menit tergantung respon, biasanya titrasi
naiknya dosis dibatasi oleh hipotensi. Dosis>100 mikrogram/min jarang
sekali diperlukan
9) Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dyspnea, diuresis
yang adekuat (produksi urine >100 ml/jam dalam 2 jam pertama),
peningkatan saturasi O2 dan biasanya terjadi peurunan denyut jantung dan
frekuensi pernafasan yang seharusnya terjadi dalam 1-2 jam pertama.
Aliran darah perifer juga dapat meningkatkan seperti yang ditandai oleh
penurunan vasokonstriksi kulit, peningkatan suhu kulit, dan perbaikan
dalam warna kulit. Serta adanya penurunan ronkhi.
10) Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi
IV dengan pengobatan diuretic oral
11) Menilai gejala yang relevan dengan HF (dypnea, ortopnea, paroxysmal
nocturnal dyspnea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia
miokard), dan efek samping pengobatan (misalnya simptomatik hipotensi).
Menilai tanda-tanda kongesti/oedema perier dan paru, denyut dan irama
jantug, tekanan darah, perfusi perifer, frekuensi pernafasan serta usaha
pernafasan. EKG (ritme/iskemia dan infark) dan kimia darah/ hematologi
(anemia, gangguan elektrolit, gagal ginjal) juga harus diperiksa. Pulse
oxymetry (atau pengukuran gas darah arteri) harus diperiksa dan
diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan.
12) Produksi urine < 100 ml/jam dalam 1-2 jam pertama adalah respon awal
pemberian diuretic IV yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter
urine).
13) Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah/ shock, dipertimbangkan
diagnosis alternative (emboli paru misalnya), masalah mekanis akut, dan
penyakit katup yang berat (terutama stenosis aorta). Kateterisasi artei paru
dapat mengnditifikasi pasien dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang
tidak adekuat (lebih tepat dalam menyesuaikan terapi vasoaktif)
14) Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus
dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi
41
15) CPAP dan NIPPV harus dipertimbagkan pada pasien yang tidak terdapat
kontraindikasi. Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure
dan non-invasive intermittent positive pressure ventilation (NIPPV)
mengurangi dyspnea dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu (misalnya
saturasi oksigen) pada pasien dengan Acute Lung Oedema. Namun,
penelitian RCT besar yang terbaru menunjukan bahwa ventilasi non-
invasif tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan angka
kematian bila dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat (dalam
90% dari pasien) dan opiate (di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda dengan
penelitian dari metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih kecil.
Ventilasi non-invasif dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk
meringanan gejala pada pasien dengan oedema paru dan gangguan
pernafasan parah atau pada pasien yang kondisinya gagal membaik dengan
terapi farmakologis. Kontraindikasi untuk penggunaan ventilasi non
invasive meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan pneumothorax dan
depressed consciousness.
16) Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan
ventilasi invasive jika hipoksemia memburuk, gagal upaya pernafasan,
meningkatnya kebingungan/penurunan tingkat kesadaran, dll.
17) Meningkatkan dosis loop diuretic hingga setara dengan furosemide 500
mg
18) Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretic meskipun
tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur
secara langsung) maka mulai infus dopamine 2,5 mikrogram/kg/menit.
Dosis yang lebih tinggi tidak dianjurkan untuk meningkatkan dieresis
19) Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan
pasien tetap terjadi oedema paru maka ultrafiltasi terisolasi venovenous
harus dipertimbangkan
42
3.7 PROGNOSIS
43
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini dari hasil anamnesis didapatkan seorang laki-laki berusia 60
tahun datang ke RSUD Kepanjen dengan keluhan sesak napas kumat-
kumatan sejak ± 1 tahun yang lalu, memberat kurang lebih sejak
seminggu yang lalu. Pada pukul 21.00 WIB (3 jam SMRS) pasien
merasa sesaknya memberat, dan pasien sangat gelisah. Kemudian
pasien dibawa ke salah satu klinik di Ngajum. Karena kondisi tidak
dapat tertangani, pada pukul 23.00 pasien dirujuk ke RSUD
Kanjuruhan. Keluhan juga disertai kaki yang membengkak sejak 1
minggu yang lalu. Pasien merasa ngongsrong saat berjalan dan
berkurang saat istirahat. Pasien lebih nyaman menggunakan 3 bantal saat
tidur. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, debu dan emosi. Bunyi mengi (-), nyeri dada
(-), batuk (+), tidak berdahak, tidak berdarah, mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati
(-), demam (-). Riwayat BAK pasien normal, warna kuning jernih, frekuensi
normal, jumlah normal. Riwayat BAB juga normal.
Sesak napas merupakan salah satu gejala awal dan frekuen pada gagal
jantung kongestif. Pada sesak napas akibat gagal jantung terdapat gejala dyspnea
on exertion, paroxysmal nocturnal dyspnea orthopnea, serta kemudian dapat
secara progresif berkembang menjadi dyspneaat rest (Carbajal et al., 2002). Pada
pasien didapatkan adanya sesak napas yang muncul saat beraktivitas dan tidak
berkurang dengan istirahat serta tidur dengan menggunakan 2-3 bantal
(orthopnea), serta sering terbangun di malam hari akibat sesak. Sesak napas tidak
dipengaruhi oleh debu, maupun cuaca, sesak napas tidak disertai mengi, batuk,
maupun dahak. Pada pasien didapatkan riwayat gagal jantung dan tidak
44
didapatkan adanya riwayat alergi, asma, maupun merokok. Dari hasil anamnesis
tersebut keluhan sesak napas pasien mengarah kepada sesak napas akibat kelainan
jantung.
Pada pasien ini sesak memberat secara mendadak yakni 3 jam SMRS, hal
tersebut sesuai dengan pengertian Acute Lung Oedema yakni akumulasi cairan di
interstisial dan alveoulus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat
disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (oedema paru kardiogenik) atau
karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (oedema paru non
kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat
sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan
mengakibatkan hipoksia (Harun dan Sally, 2009).
45
pemeriksaan darah tepi didapatkan leukositosis (13.950), hiperglikemi (gula darah
sewaktu: 223 mg/dL), hiperglikemi pada pasien ini dapat sebagai mekanisme
reaktif tubuh terhadap kondisi hipermetabolik dan juga dapat sebagai gejala
prediabetik. Begitu pula dengan peningkatan leukosit. Peningkatan yang tidak
signifikan menunjukkan reaktifitas terhadap kondisi hipermetabolik dan adanya
inflamasi.
Dari hasil foto thorax PA, didapatkan kardiomegali dengan CTR 56% dan
tampak gambaran oedem paru.
46
syringe pump, serta dipasang cateter urin. Penatalaksanaan oedema paru
kardiogenik Sasarannya adalah mencapai oksigenasi adekuat, memelihara
stabilitas hemodinamik dan mengurangi stress miokard dengan menurunkan
preload dan afterload.
Pada kasus ini diberikan juga drip NTG 5 mikro / menit, hal tsb sesuai
dengan bukti penelitian menunjukan bahwa pilihan terapi yang terbaik adalah
vasodilator intravena sedini mungkin (Nitroglyserin, nitropruside) dan diuretika
dosis rendah. Nitrogliserin merupakan terapi lini pertama pada semua pasien AHF
dengan tekanan darah sistolik > 95-100 mmHg dengan dosis 20 mikrogram/min
sapai 200 mikrogram/min (rekomendasi ESC IA). Bahkan dosis yang sangat
rendah (< 0,5 mikogram/kg/min) dari nitroglycerin akan menurunkan LVED dan
LVES tanpa turunnya tekanan darah dan perfusi perifer. Bila dibandingkan
dengan diuretik maka nitroglycerin memiliki beberapa keuntungan yaitu lebih
efektif dalam mengontrol oedema paru berat dengan profil hemodinamik yang
lebih stabil. Penurunan wall stress dan LVEDP yang lebih cepat tanpa
menurunkan CO.
47
BAB V
KESIMPULAN
Acute Lung Oedema (ALO) adalah akumulasi cairan di paru-paru yang terjadi
secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh jantung maupun bukan jantung.
Oedema yang disebabkan oleh jantung (Oedema paru kardia) disebabkan karena
tekanan intravaskular yang tinggi yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi
cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara
progresif dan mengakibatkan hipoksia.
48
DAFTAR PUSTAKA
Bender JR, Russell KS, Rosenfeld LE, ChaundryS (2011). Coronary artery
disease. Dalam: Oxford Handbook of Cardiology. New York: Oxford
University Press.
ESC (2008). Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic
Heart Failure 2008. European Heart Journal. 2008;33:2388-442.
Glaus, T., Schellenberg, S., Lang, J., 2010. Cardiogenic and Non Cardiogenic
Pulmonary Edema: Pathomechanisms and Causes. Schweiz Arch
Tierheilkd, 152:7, 311-317.
Harun S dan Sally N (2009). Edem Paru Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-3.
Maria I (2010). Penatalaksanaan edem paru pada kasus vsd dan sepsis vap.
Anestesia & Critical Care. 28(2): 52.
49
Myrtha R (2011). Perubahan gambaran EKG pada Sindrom Koroner akut (SKA).
CDK; 38:541-2.
Perina, Debra G., 2003. Noncardiogenic Pulmonary Edema. Emrg Med Clin N
Am. 21;2003, 385-393
Robbins S.L, Cotran R.S, Kumar V. (2007). Buku ajar patologi. Jakarta: EGC pp.
410-415.
Wilson LM (1995). Fungsi Pernapasan Normal. Dalam: Price SA, Wilson LM.
Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa
Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku I. EGC. Jakarta, 645-
48.
50