Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

Ginjal adalah salah satu organ utama sistem kemih atau traktus urinarius yang
akan menghasilkan urin, menghemat bahan-bahan yang akan dipertahankan di dalam
tubuh dan mengeluarkan bahan yang tidak diinginkan melalui urin.1 Fungsi ginjal
adalah membantu mempertahankan stabilititas lingkungan cairan internal dengan cara
mempertahankan keseimbangan air di tubuh, mempertahankan osmolaritas,
pemeliharaan keseimbangan asam basa, eritropoiesis atau fungsi ginjal dalam
produksi eritrosit, regulasi kalsium dan fosfor, regulasi tekanan darah, ekresi sisa
metabolik, dan toksin.1-2 Pasien dengan gagal ginjal sering mengalami gejala klinis yang
berkaitan dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, anemia, malnutrisi, dan gangguan
gastrointestinal.3 Salah satu dari komplikasi gagal ginjal tersebut adalah Uremic
Encephalopathy (UE). Uremic encephalopathy adalah kelainan otak organik yang
terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan nilai
kadar creatinine clearance menurun dan tetap di bawah 15 mL/mnt.4-5
Uremia adalah suatu sindrom klinis dan laboratorik yang terjadi pada semua
organ akibat penurunan fungsi ginjal, dimana terjadi retensi sisa pembuangan
metabolisme protein, yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum diatas 50
mg/dl.1-2 Uremia lebih sering terjadi pada Gagal Ginjal Kronis (GGK), tetapi dapat juga
terjadi pada Gagal Ginjal Akut (GGA) jika penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat.
Hingga sekarang belum ditemukan satu toksin uremik yang ditetapkan sebagai penyebab
segala manifestasi klinik pada uremia.6,7 Angka kejadian UE di dunia tidak diketahui.
UE dapat terjadi pada pasien manapun dengan End-Stage Renal Disease (ESRD), dan
angka kejadian UE secara langsung tergantung pada jumlah pasien tersebut.
Peningkatan kasus ESRD seiiring dengan peningkatan kasus UE.5
Chronic Kidney Disaes (CKD) adalah suatu proses ptofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkanpenurunn fungsi ginjal yang progresif, dan
pada umunya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada
suatu derajat yang memerlukan terapi ginjal yang ireversibel pada suatu derjat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yangtetap, berupa dialisi atau transplantasi
ginjal.8
Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik
system kardiovaskular, yang mana patofisiologinya adalah multi factor, sehingga
tidak bisa diterangkan dengan hanya satu mekanisme tunggal. Menurut Kaplan
hipertensi banyak menyangkut factor genetic, lingkungan dan pusat-pusat regulasi
hemodinamik jika disederhanakan hipertensi adalah interaksi cardiac output (CO)
dan total peripheral resistence (TPR).9
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S

Umur : 44 tahun

Tanggal Lahir : 02-03-1973

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : IRT

Alamat : Bonto laya, Jeneponto

Agama : Islam

No. RM : 14.75.49

Tanggal Masuk : 30-01-2018

Nama RS : RS Islam Faisal Makassar

Rg Perawatan : HCU

ANAMNESIS

Alloanamnesis

Keluhan utama : Gelisah

Anamnesis terpimpin :

Pasien masuk ke rumah sakit dengan keluhan gelisah yang dialami sejak kurang
lebih 4 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan sering sesak yang dialami sejak
kurang lebih 1 minggu terakhir. Demam tidak ada, sakit kepala & pusing tidak
ada, batuk tidak ada, mual & muntah tidak ada, BAB & BAK tak ada keluhan.
Riwayat Hipertensi ada riwayat DM disangkal, sebelumnya pasien pernah di
rawat di rumah sakit dengan diagnose CKD dan di sarankan untuk dilakukan
tindakan cuci darah namun saat itu pasien menolak untuk dilakukan tindakan.

II. STATUS PRESENT


Sakit Berat / Gizi lebih / Incomposmentis
 GCS : E1,M4,V1
 BB : 100 kg
 TB : 165 cm,
 IMT : 36,73 kg/m2
Tanda vital :

Tekanan Darah : 170/60 mmHg

Nadi : 95 x/menit

Pernapasan : 26 x/menit

Suhu : 36,8⁰C

III. PEMERIKSAAN FISIS


 Kepala
Ekspresi : Biasa

Simetris muka : Simetris kiri = kanan

Deformitas : (-)

Rambut : hitam lurus, alopesia (-)

 Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-/-)
Gerakan : Ke segala arah

Kelopak Mata : Edema (-/-)


Konjungtiva : Anemis (+)

Sklera : Ikterus (-)

Kornea : Jernih

Pupil : Bulat isokor

 Telinga
Pendengaran : Keduanya dalam batas normal
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-/-)
 Hidung
Perdarahan : (-/-)
Sekret : (-/-)
Kongesti : (-/-)
 Mulut
Bibir : Pucat (-), kering (+)
Lidah : Kotor (-), tremor (-), hiperemis (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
Faring : Hiperemis (-)
Gusi : Dalam batas normal
 Leher
Kelenjar getah bening : Tidak terdapat pembesaran
Kelenjar gondok : Tidak terdapat pembesaran
Pembuluh darah : Tidak terdapat kelainan
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
 Thoraks
Inspeksi
Bentuk : Normochest, simetris kiri = kanan
Pembuluh darah : Tidak ada kelainan
Buah dada : Dalam batas normal
Sela iga : Dalam batas normal
Palpasi
Fremitus raba : Dalam batas normal, kiri = kanan
Nyeri tekan : (-)
Perkusi
Paru kiri : Sonor
Paru kanan : Sonor
Batas paru-hepar : ICS VI dekstra anterior,
Batas paru belakang kanan : CV Th. IX dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. X sinistra
Auskultasi
Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi tambahan : Rh -/-, Wh -/-
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung melebar (batas jantung kanan linea
midclavicularis dextra, batas jantung kiri linea midclavicularis
sinistrra ICS VI, batas atas jantung ICS II)
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, bunyi tambahan (-)
 Perut
Inspeksi : Cembung, ikut gerak napas
Palpasi : Nyeri tekan (-) MT (-)
Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal

Lain-lain : Ascites (+)

 Alat Kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan
 Anus dan Rektum
Tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas
Status lokalis : krepitasi (-), edema (+) Ekstremitas bawah

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 8.9 g/dl 11.0-15.0
Leukosit 19.200 x10^3/uL 4.0-10.0
Trombosit 210.000 x10^3/uL 150-450
Hematokrit 26.6 % 37-54
Limfosit - 20.0-40.0
monosit - 3.0-12.0
Eritrosit 3.350.000 x10^3/uL 3.50-5.50
MCV - 80-100
MCH - 26-34
MCHC - 32-36
Kimia Klinik
GDS 105 mg/dl 70-140
Ureum 386 mg/dl 10-50
Kreatinin 13.6 mg/dl 0,6-1,1
Imunologi
Anti-HCV Non- Reactive Non-Reactive
Elektrolit
Kalium 6.9 mmol/L 3.5-5.50
Natrium 134 mmol/L 135-145
Chlorida 97 mmol/L 96-106
V. RESUME

Pasien Ny. S, Perempuan 44 tahun masuk ke rumah RS Islam Faisal Makassar


pada pukul 20:40 dengan keluhan gelisah yang dialami sejak kurang lebih 4 hari
yang lalu. Pasien mengeluhkan sering sesak yang dialami sejak kurang lebih 1
minggu terakhir. Demam tidak ada, sakit kepala & pusing tidak ada, batuk tidak
ada, mual & muntah tidak ada, BAB & BAK tak ada keluhan. Riwayat Hipertensi
ada riwayat DM disangkal, sebelumnya pasien pernah di rawat di rumah sakit
dengan diagnose CKD dan di sarankan untuk dilakukan tindakan cuci darah
namun saat itu pasien menolak untuk dilakukan tindakan. Pemeriksaan Fisis : TD
: 170/60 mmHg, N : 95 x/menit, P : 26 x/menit, S: 36,8⁰C. Anemis (+/+), Edema
pada kedua ekstremitas. Pemeriksaan Lab : Darah rutin : HB : 8.9 g/dl, Leukosit :
19.200 x10^3/uL, Hematokrit : 26.6 %, Eritrosit : 3.350.000 x10^3/uL, GDS :
105 mg/dl, Ureum : 386 mg/dl, Kreatinin : 13.6 mg/dl, Kalium : 6.9 mmol/L,
Natrium : 134 mmol/L, Chlorida : 97 mmol/L

VI. ASSEMENT

 Enchephalopati uremikum
 CKD
 Hipertensi grade II
VII. PLANNING

 Diet rendah garam, purin, protein 0,6 gr/kgBB/hari


 Conecta
 O2 4 liter/menit via nasal kanul
 Furosemide 200 mg/24 jam/SP
 Balance cairan per 24 jam
 HD inanisi
Follow UP

TGL FOLLOW UP INSTRUKSI DOKTER


30/01 S: P:
/2018  Gelisah, sesak napas (+),  Diet rendah garam, purin,
Rencana HD protein 0,8 gr/kgBB/hari
O : Sb /Gizi lebih/Somnolen  O2 via nasul kanul 4
TD : 170/60 mmHg liter/menit
N : 90 x/mnt  Furosemide 200 mg/24
P : 26 x/mnt jam/SP
S : 36,2 C  Cedocard 1 mcg/jam/SP
 Anemis (+), icterus (-)  Balance cairan
 BP : Vesikuler
 BT : Rh -/-, Wh -/-
 BJ : I/II murni regular
 Peristaltik (+), Kesan Normal
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
 Ekstremitas : Edema +/+
Hasil Lab :
Darah Rutin :
 Leukosit : 19.200 / 4.0-10.0
 Eritrosit : 3.350.000 / 3.50-5.50
 HB : 8,9 / 11-15
 HT : 26,6 / 37-54
 Trombosit : 210.000 / 150-450
 GDS : 105 / 70-140
Imunologi :
 Anti HCV : Non Reactive
Elektrolit :
 Kalium : 6,9 3 / 3.5-5.50
 Natrium : 134 / 135-145
 Chlorida : 97 / 96-106
Foto Thorax PA :
 Cardiomegaly + Edema Paru
A:
 Encephalopathy Uremicum
 CKD G5 Ax pro HD inanisi
 HT grade II
31/1/ S: P:
2018  Gelisah mulai berkurang, lemah  Furosemide 200 mg/24 jam/SP
(+), sesak (-)  Cedocard 1 mcg/jam/SP
O : Sb/Gizi Lebih/ Somnolen  Kalitake Sachet/8 jam/Oral
TD : 160/90 mmHg  Nefrosteril 250 cc/24 jam /IV
N : 94 x/mnt (terapi dari GH)
P : 22 x/mnt  HD regular 3x seminggu senin,
S : 36,6 C kamis, sabtu (dari GH)
 Anemis (+), icterus (-)
 BP : Vesikuler
 BT : Rh -/-, Wh -/-
 BJ : I/II murni regular
 Peristaltik (+), Kesan Normal
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
 Ekstremitas : Edema +/+
Hasil Lab :
Kimia Klinik :
 Ureum : 386 / 10-50
 Kreatinin : 13.6 / 0,6-1,1
 GDS : 149 / 70-140
Elektrolit :
 Kalium : 5,3 / 3.5-5.50
 Natrium : 135 / 135-145
 Chlorida : 100 / 96-106
Foto Thorax PA :
 Cardiomegaly + Edema Paru
A:
 Encephalopathy Uremicum
 Edema paru akut
 HKD G5 A3
 HT grade II
04/05 S: P:
/2018  Sesak Nafas (+), Kesadarn  Rawat ICU
menurun sejak kurang lebih 3  O2 12 liter/menit via RPM
jam yang lalu, Demam (+)  Furosemide 200 mg/jam/SP
O : Sb/Gizi Lebih/Incomposmentis  Cedocard 1 mg/jam/SP
GCS : E1,M4,V1
TD : 190/100 mmHg
N : 80 x/mnt
P : 30 x/mnt
S : 40 C
 Anemis (+), icterus (-)
 BP : Vesikuler
 BT : Rh -/-, Wh -/-
 BJ : I/II murni regular
 Peristaltik (+), Kesan Normal
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
 Ekstremitas : Edema +/+
Hasil Lab :
Elektrolit :
 Kalium : 5,5 / 3.5-5.50
 Natrium : 140 / 135-145
 Chlorida : 103 / 96-106
A:
 Kesadaran menurun ec
Encephalopathy Uremicum
 Edema paru akut
 HKD G5 D
 HT grade II
06/02 S: P:
/2018  Kesadaran membaik, sesak (+),  Furosemide 200 mg/24 jam/SP
demam (+)  Cedocard 4 mcg/24 jam/SP
O : Sb/Gizi Lebih/Composmentis  Kalitake Sachet/8 jam/oral
TD : 150/100 mmHg  Ceftriaxone 2 gr/24 jam/iv
N : 90 x/mnt  Amlodipin 10 mg/24 jam/oral
P : 24 x/mnt  Paracetamol 1 gr/8 jam/oral
S : 39,5 C
 Anemis (+), icterus (-)
 BP : Vesikuler
 BT : Rh -/-, Wh -/-
 BJ : I/II murni regular
 Peristaltik (+), Kesan Normal
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
 Ekstremitas : Edema +/+
Hasil Lab :
Darah rutin :
 HB : 6,0 / 11,0-15,0
A:
 Encephalopathy Uremicum
 Edema paru akut
 HKD G5 D
 Anemia Renalis
 HT grade II
09/02 S: P:
/2018  Keadaran menurun, sesak (+),  O2 4 liter/menit via nasal
Demam (+) kanul
O : Sb/GiziLebih /Incomposmetis  Furosemide 40 mg/8 jam/iv
TD : 150/80 mmHg  N-ace 200 mg/8 jam/nebilizer
N : 84 x/mnt  Ceftriaxone 2 gr/24 jam/iv
P : 25 x/mnt  Omeprazole 8 mg/jam/SP
S : 39,2 C  Transfusi PRC 2 bag, 1
 Anemis (+), icterus (-) bag/hari
 BP : Vesikuler  Amlodipin 10 mg/24 jam/oral
 BT : Rh +/+, Wh -/-
 BJ : I/II murni regular
 Peristaltik (+), Kesan Normal
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
 Ekstremitas : Edema +/+
 RT : Sphincter mencekik, feces
kehitaman
Hasil Lab :
Elektrolit :
 Kalium : 3.9 / 3.5-5.50
 Natrium : 135 / 135-145
 Clorida : 94 / 96-106
Analisa gas darah :
 pCO2 : 67,6 / 35-45
 pO2 : 105,3 / 85-100
 HB : 7,4 / 11-18
 HCO3 : 27,6 / 22-26
A:
 Encephalopathy Uremicum
 CKD G5 D
 Anemia Renalis
 HT grade II
 Melena ec stress ulcer
12/02 S: P:
/2018  kesadaran menurun, sesak (+),  O2 3-5 liter/menit
demam (+)  Omeprazole 8 mg/jam/SP
O : Sb /Gizi Lebih / Incomposmentis  Transfusi PRC 2 bag, 1
TD : 140/70 mmHg bag/hari
N : 110 x/mnt  Levoflokxacin 500 mg/24
P : 28 x/mnt jam/iv
S : 38,2 C Usul :
 Anemis (+), icterus (-)  Konsul Gizi Klinik (dari GH)
 BP : Vesikuler
 BT : Rh -/-, Wh -/-
 BJ : I/II murni regular
 Peristaltik (+), Kesan Normal
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
 Ekstremitas : Edema -/-
Hasil Lab :
Darah Rutin :
HB : 5,5 / 11,0-15,0
A:
 Kesadaran menurun ec
Encephalopathy Uremicum
 CKD G5 D
 Anemia ec GI Bleeding
 Melena ec susp gastropati
uremicum
 HT grade II
13/02 S: P:
/2018  Kesadaran menurun, sesak (+),  O2 10 liter/menit
Demam (+)  Omeprazole 8 mg/jam/SP
O : Sb/GiziLebih /Incomposmentis  Levoflokxacin 500 mg/24
TD : 140/70 mmHg jam/IV
N : 110 x/mnt Usul :
P : 32 x/mnt  Cek PT APTT
S : 38,3 C  Cek Albumin & Protein total
 Anemis (+), icterus (-) (dari Gizi)
 BP : Vesikuler  Cek kultur darah (dari GH)
 BT : Rh -/-, Wh -/-
 BJ : I/II murni regular
 Peristaltik (+), Kesan Normal
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
 Ekstremitas : Edema -/-
Hasil Lab :
Hematologi :
 PT : 17,3 / 10,8-14.4
 INR : 1,42
 APTT : 34,8 / 26,4-37,6
 HB : 5,5 / 11,0-15,0
Elektrolit :
 Kalium : 3.9 / 3.5-5.50
 Natrium : 135 / 135-145
 Clorida : 94 / 96-106
Kimia Klinik :
 Protein total : 5,1 / 6,0-8.7
 Albumin : 2.8 / 2.8-3.5-5.0
A:
 Kesadaran menurun ec
Encephalopathy Uremicum
 CKD G5 D
 Anemia ec GI Bleeding
 Melena ec susp gastropati
uremicum
 HT terkontrol
17/02 S: P:
/2018  Kesadaran menurun, sesak (+),  O2 3-5 liter/menit
Demam (+)  Omeprazole 40 mg/jam/IV
O : Sb /Gizi Lebih / Incomposmentis  Levoflokxacin 500 mg/24
TD : 110/70 mmHg jam/IV
N : 90 x/mnt
P : 26 x/mnt
S : 38,5 C
 Anemis (+), icterus (-)
 BP : Vesikuler
 BT : Rh -/-, Wh -/-
 BJ : I/II murni regular
 Peristaltik (+), Kesan Normal
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
 Ekstremitas : Edema -/-
Hasil Lab :
Darah rutin :
 Leukosit : 10.200 / 4.0-10.0
 Lymph : 8 % / 20.0-40
 Mon : 10 % / 3.0-12.0
 Neut : 82 % / 50.0-70.0
 Eritrosit : 2.760.000 / 3.50-5.50
 HB : 7,6 / 11-15
 HT : 24,0 / 37-54
 Trombosit : 177.000 / 150-450
Kimia Klinik :
 Ureum : 186 / 10-50
 Kreatinin : 5,1 / 0,6-1,1
Kultur Darah :
 Biakan : Bakteri aerob tidak ada
pertumbuhan
 Tes Resistensi : Tidak dilajutkan
A:
 Kesadaran menurun ec
Encephalopathy Uremicum
 CKD G5 D
 Anemia renal
 Post Melena
 HT terkontrol

VIII. PROGNOSIS

 Quad ad functionam : Dubia ad malam


 Quad ad sanationam : Dubia ad malam
 Quad et vitam : Dubia ad malam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ENCHEPHALOPATHY UREMICUM

3.1.1 PENDAHULUAN

Ginjal adalah salah satu organ utama sistem kemih atau traktus urinarius
yang akan menghasilkan urin, menghemat bahan-bahan yang akan dipertahankan di
dalam tubuh dan mengeluarkan bahan yang tidak diinginkan melalui urin.1 Fungsi
ginjal adalah membantu mempertahankan stabilititas lingkungan cairan internal
dengan cara mempertahankan keseimbangan air di tubuh, mempertahankan
osmolaritas, pemeliharaan keseimbangan asam basa, eritropoiesis atau fungsi ginjal
dalam produksi eritrosit, regulasi kalsium dan fosfor, regulasi tekanan darah, ekresi
sisa metabolik, dan toksin.1,2

3.1.2 Defenisi

Uremic enchephalophaty (UE) adalah kelainan otak organik yang terjadi pada
pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan nilai kadar
creatinin clearance menurun dan tetap dibawah 15 mL/menit.4-5 Uremia adalah suatu
sindrom klinis dan laboratorik yang terjadi pada semua organ akibat penurunan
fungsi ginjal, dimana terjadi retensi sisa pembuangan metabolisme protein, yang
ditandai dengan peningkatan kadar ureum diatas 50 mg/dl.1-2 Uremia lebih sering
terjadi pada Gagal Ginjal Kronis (GGK), tetapi dapat juga terjadi pada Gagal Ginjal
Akut (GGA) jika penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat.
3.1.3 Patofisiologi
Patofisiologi dari UE belum diketahui secara jelas. Urea menembus sawar
darah otak melalui sel endotel dari kapiler otak. Urea sendiri tidak bisa dijadikan
satu-satunya penyebab dalam terjadinya ensefalopati, karena jumlah ureum dan
kreatinin tidak berhubungan dengan tingkat penurunan kesadaran ataupun adanya
asterixis dan myoclonus.10
Pada gangguan ginjal, metabolisme otak menurun sehingga menyebabkan
rendahnya konsumsi oksigen serebri. Penjelasan yang memungkinkan pada
perubahan ini adalah reduksi neurotransmitter, menyebabkan aktivitas metabolik
berkurang. Pompa Na/K ATPase mengeluarkan kalsium dari sel eksitabel dan penting
dalam menjaga gradien kalsium 10 000:1 (di luar−di dalam sel). Dengan adanya
uremia, terdapat peningkatan kalsium transpor akibat PTH. Beberapa studi
menyatakan bahwa aktivitas pompa Na/K ATPase ouabain-sensitif menurun pada
keadaan uremik akut maupun kronik. Karena pompa ini penting dalam pelepasan
neurotransmitter seperti biogenic amines, hal ini dapat membantu menjelaskan
gangguan fungsi sinaps dan menurunnya konsentrasi neurotransmitter yang
ditemukan pada tikus yang mengalami uremi.11
Pada tahap awal UE, plasma dan LCS menunjukkan peningkatan jumlah
glisin dan glutamin serta menurunnya GABA, sehingga terjadi perubahan
metabolisme dopamin dan serotonin di dalam otak, menyebabkan gejala awal berupa
clouded sensorium. Bukti selanjutnya bahwa terdapat gangguan fungsi sinaps yaitu
adanya studi bahwa dengan memburuknya uremia, terjadi akumulasi komponen
guanidino, terutama guanidinosuccinic acid, yang meningkat pada otak dan LCS
pada gagal ginjal, memiliki efek inhibisi pada pelepasan ã-aminobutyric acid
(GABA) dan glisin pada binatang percobaan, juga mengaktivasi reseptor N-methyl-
D-aspartate (NMDA). Toksin ini kemungkinan menganggu pelepasan
neurotransmitter dengan cara menghambat channel klorida pada membran neuronal.
Hal ini dapat menyebabkan myoklonus dan kejang. Sebagai tambahan,
methylguanidine terbukti menghambat aktivitas pompa Na/K ATPase.11,12,13
Kontribusi aluminium pada UE kronik masih belum jelas diketahui. Sumber
alumunium diperkirakan dari diet dan obat-obatan terikat fosfat. Transpor aluminium
menuju otak hampir pasti melalui reseptor transferin pada permukaan luminal pada
sel endotel kapiler otak. Jika sudah melewati otak, aluminium dapat mempengaruhi
ekspresi âA4 protein prekursor yang melalui proses kaskade menyebabkan deposisi
ekstraselular dari âA4 protein. Secara ringkas, patofisiologi dari UE adalah kompleks
dan mungkin multifaktorial.11
3.1.4 Gejala Klinis
Apatis, fatig, iritabilitas merupakan gejala dini. Selanjutnya, terjadi konfusi,
gangguan persepsi sensoris, halusinasi, dan stupor. Gejala ini dapat berfluktuasi dari
hari ke hari, bahkan dalam hitungan jam. Pada beberapa pasien, terutama pada pasien
anuria, gejala ini dapat berlanjut secara cepat hingga koma. Pada pasien lain,
halusinasi visual ringan dan gangguan konsentrasi dapat berlanjut selama beberapa
minggu.
Pada gagal ginjal akut, clouded sensorium selalu disertai berbagai gangguan
motorik, yang biasanya terjadi pada awal ensefalopati. Pasien mulai kedutan, jerk dan
dapat kejang. Twitch dapat meliputi satu bagian otot, seluruh otot, atau
ekstremitas,aritmik, asinkron pada kedua sisi tubuh pada saat bangun ataupun tidur.
Pada beberapa waktu bisa terdapat fasikulasi, tremor aritmik, mioklonus, khorea,
asterixis, atau kejang. Dapat juga terjadi phenomena motorik yang tidak terklasifikasi,
yang disebut uremic twitch-convulsive syndrome.
Jika keadaan uremia memburuk, pasien dapat jatuh dalam keadaan koma. Jika
asidosis metabolik yang mengikuti tidak dikoreksi, akan terjadi pernapasan Kussmaul
yang berubah sebelum kematian, menjadi pernapasan Cheyne-Stokes.14

3.1.5 Diagnosis

Diagnosis ensefalopati uremik biasanya berdasarkan gejala klinis dan


kemajuannya setelah dilakukan terapi yang adekuat. Pemeriksaan laboratorium pada
UE antara lain darah lengkap, elektrolit, glukosa, ureum, kreatinin, fungsi hati dan
amonia. Pada UE terdapat nilai kreatinin yang tinggi. Darah lengkap diperiksa untuk
melihat adanya anemia karena dapat berperan dalam beratnya perubahan status
mental. Sementara jika ditemukan leukositosis menunjukkan adanya proses infeksi.
Elektrolit, dan glukosa diperiksa untuk menyingkirkan penyebab ensefalopati lainnya.
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan untuk menyingkirkan dugaan infeksi. Pada
ensefalopati uremik, LCS sering abnormal, kadangkala menunjukan pleositosis
ringan (biasanya <25 sel/mm3) dan meningkatnya konsentrasi protein (biasanya
<100mg/dl).
EEG biasanya abnormal, tetapi tidak spesifik namun berhubungan dengan gejala
klinis. Selain itu, EEG dapat berguna untuk menyingkirkan penyebab lain dari
konfusi seperti infeksi dan abnormalitas struktural. Gambaran EEG yang sering
ditemukan adalah perlambatan secara general. Ritme tetha pada frontal yang
intermiten dan paroksisimal, bilateral, high voltage gelombang delta juga sering
ditemukan. Kadangkala kompleks spike-wave bilateral atau gelombang trifasik pada
regio frontal dapat terlihat.15,16,17
Pencitraan otak seperti CT scan atau MRI dilakukan untuk menyingkirkan
adanya hematom subdural, stroke iskemik. Namun biasanya menunjukkan atrofi
serebri dan pelebaran ventrikel pada pasien dengan chronic kidney disease.16

3.1.6 Penatalaksanaan

Pada penatalaksanaan uremic encephalopathy, penyakit ginjal yang terjadi


sangat penting, karena pada keadaan irreversibel dan progresif, prognosis buruk tanpa
dialisis dan transplantasi renal. UE akut ditatalaksana dengan hemodialisis atau
peritoneal dialisis, walaupun biasanya dibutuhkan waktu 1 sampai 2 hari dibutuhkan
untuk mengembalikan status mental. Kelainan kognitif dapat menetap meskipun
setelah dialisis. Kerugian dari dialisis adalah sifat non-spesifik sehingga dialisis juga
dapat menghilangkan komponen esensial. Transplantasi ginjal juga dapat
dipertimbangkan.17
Eliminasi toksin uremik juga dipengaruhi oleh uptake intestinal dan fungsi
renal. Uptake intestinal bisa dikurangi dengan mengatur diet atau dengan pemberian
absorbent secara oral. Studi menunjukkan untuk menurunkan toksin uremik dengan
diet rendah protein, atau pemberian prebiotik.atau probiotik seperti bifidobacterium.
Menjaga sisa fungsi ginjal juga penting untuk eliminasi toksin uremik.17
Dalam praktek klinis, obat antikonvulsan yang sering digunakan dalam
menangani kejang yang berhubungan dengan uremia adalah benzodiazepine untuk
kejang myoklonus, konvulsif atau non-konvulsif parsial kompleks atau absens;
ethosuximide, untuk status epileptikus absens; Fenobarbital, untuk status epileptikus
konvulsif. Sementara itu, gabapentin dapat memperburuk kejang myoklonik pada end
stage renal disease.18
Benzodiazepin (BZD) dan Fenobarbital bekerja meningkatkan aktivitas GABA
dengan berikatan pada kompleks reseptor GABA A, sehingga memfasilitasi GABA
untuk berikatan dengan reseptor spesifiknya. Terikatnya BZD menyebabkan
peningkatan frekuensi terbukanya channel klorida, menghasilkan hiperpolarisasi
membran yang menghambat eksitasi selular.19
Koreksi anemia dengan eritropoetin rekombinan pada pasien dialisis dengan
target Hb 11 sampai 12 g/dl dapat berhubungan dengan meningkatnya fungsi kognitif
dan menurunkan perlambatan pada EEG.16
3.1.7 Prognosis

Dengan penatalaksaan yang tepat, tingkat mortalitas rendah. Dengan


pengenalan terhadap dialisis dan transplantasi ginjal, insidens dan tingkat keparahan
dari UE dapat dikurangi.
3.2 PENYAKIT GINJAL KRONIK (Chronic Kidney Disaes)
3.2.1 Pendahuluan

Gambar 1 : Kriteria penyakit ginjal kronik


3.2.1 Defenisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
3.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi

Gambar 3 : Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan derajat penyakit


3.2.2 Epidemiologi
Di Amerika serikat data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit
ginjal kronik diperkiran 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8 % setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara-negara
berkembang lainnya, insisden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk
per tahun.
3.2.3 Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu Negara dengan
Negara lain. Di amerika penyebab terbanyak Diabetes mellitus tipe 1, 2. Hipertensi
dan penyakit pembuluh darah besar, Glomerulonefritis, nefritis interstisialis,
neoplasma, serta penyakit lain. Sedangkan perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialysis di Indonesia, penyebab Glumerulonefritis, Diabetes Melitus, Obstruksi
dan infeksi, Hipertensi, dan sebab lain.
3.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surving nephrons) sebagai upaya kompensasi,
yang diperantai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi., yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sclerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiostensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperflitrasi, sclerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-
angiostensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sclerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-
angiostensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor β (TGF β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dyslipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sclerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve) pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 60 %, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar ureadan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30%, mulai terjadi keluhanpada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu
makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memeprlihatkan gejala dantanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih
infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
(renal replacemant therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada
keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
3.2.5 Pendekatan Diagnostik
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi : a). sesuai dengan
penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu
traktur urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus Eritomatosus sistemik (LES) dan
lain sebagainya, b) Sindrom Uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala
komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida)
Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi A). Sesuai dengan penyakit .
yang mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus kockcroft
Gault.

Gambar 2 : Laju Filtrasi Glomerulus dihitung dengan rumus kockcroft Gault.


Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalamia, hiponatremia, hiper atau
hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d). kelainan
urinalisis meliput, proteuria,hematuri, leukosuria, cast, isotonuria.
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit Ginjal kronik meliputi: a). Foto polos abdomen, bisa
tampak batu radio-opak, b). Pielografi Intravena jarang dikerjakan,karena kontras
sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran
terjadinyapengaruh toksisk oleh kontras terhadap ginjal yangsudah mengalami
kesrusakan. c). Pielografi antegard atau regtrogard dilakukan sesuai dialakukan sesaui
dengan indikasi. d). ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
menegecil, korteks yang menipis,adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi e). Pemeriksaan pemindaian ginjal atau retrografi dikerjakan bila ada
indikasi.
3.2.6 Penatalaksanaan
Panatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
 Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid cindition)
memerlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
 Pencegahan dan terapi terhadap komplikas
 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Gambar 4 : Tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya


3.3 HIPERTENSI
3.3.1 Pendahuluan
Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik
sistem kardiovaskular, yang mana patofisiologiny adalah multi faktor, sehingga tidak
bisa diterangkan dengan hanya satu mekanisme tunggal. Menurut kaplan hipertensi
banyak menyangkut faktor genetik,lingkungn dn pusat-pusat regulsi hemodinamik.
Kalau disederhanakan sebetulnya hipertensi adalah interkasi cardiac output (CO) dan
total peripheral resistance (TPR).
3.3.2 Defenisi
Hipertensi adalah suatu kondisi medis yang kronis di mana tekanan darah
(TD) meningkat diatas TD yang disepakati normal. TD terbentuk dari interkasi antara
aliran darah dan tahanan pembuluh darah perifer.
3.3.3 Epidemiologi
Hipertensi ditemukan pada semua populasi dengan angka kejadian yang
berbeda-beda, sebab ada faktor-faktor genetik, ras, regional, sosiobudaya, yang juga
menyangkut gayahidup yang juga berbed. Hipertensi akan makin meningkat bersama
dengan bertambahnya umur. Hasil analisi The Third National Helath and Nutrition
Examination Survey (NHES III) blood pressure data, hipertensi dapat dibagi menjadi
dua kategori. 26 % pada populasi muda (umur dibawah 50 tahun), terutama pada laki-
laki(63%yang biasanya didapatkan lebih banyak IDH dibanding ISH.
74% pada populasi tua (umur diatas 50 tahun), utamanya pada wanita (58%)
yang biasanya didaptkan lebih banyak ISH dibanding IDH. Hipertensi mengambil
porsi sekitar 60% dari seluruh kematian dunia. Pada anak-anakyang tumbuh kembang
hipertensi meningkat mengikuti dengan pertumbuhan badan. Dengan bertambahnya
umur, angka kejadian hipertensi juga makin meningkat, sehingga di atas umur 60
tahun prevalensinya mencapai 65,4 %. Menurut NHANES 1999-2000, prevalensi
tekanan darah tinggi pada populasi dewasa yang berumur di atas 20 tahun di Amerika
serikat, adalah sebagai berikut : normal 38 %, pre hipertensi 31 %, hipertensi 31%
3.3.4 Etiologi
Hipertensi disebut primer bila penyebabnya tidak diketahui (90%), bila
ditemukan sebabya disebut sekunder (10%). Penyebabnya antara lain :
 Penyakit : penyakit ginjal kronik, sindroma cushing, koaktasi aorta,
obstructive sleep apnea, penyakit paratiroid, feokromasitoma, aldosteronism
primer, penyakit renovaskular, penyakit tiroid
 Obat-obatan :
Prednison, fludrokortison, triamsinolon
3.3.5 Patogenesis
Penyebab-penyebab hipertensi ternyata sangat banyak. Tidak bisa diterangkan
hanya dengan satu faktor penyebab. Memang betul pada akhirnyakesemuanya itu
akan menyangkut kendali natrium (Na) di ginjal sehingga tekanan darah meningkat.
Ada 4 faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi :
1. Peran volume intravaskular
2. Peran kendali saraf outonom
3. Peran renin angiotensin aldosteron
4. Peran dinding vaskular pembuluh darah
Peran volume Intravaskular
Menurut kaplan, tekanan darah tinggi adalah hasil interaksi antara cardiac
output (CO) atau curah jantung (CJ) dan TPR (total peripheral resistance, tahanan
total perifer) yang masing-masing dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Volume intravaskular merupakan determinan utama untuk kestabilan tekanan
darah determinan utama darah dari waktu ke waktu. Tergantung keadaan TPR apakah
dalam posisi vasodilatasi atau vasokonstriksi. Bila asupan NaCLmeningkat, maka
ginjal akan merespons agar ekskresigaram keluarbersama urine ini juga akan
meningkat. Tetapu bila upaya mengeskresi NaCL ini melebihi ambang kemampuan
ginjal, maka ginjal akan meretensi H2O sehingga volumeintra vaskular meningkat.
Gambar 5: patogenesis hipertensi menurut kaplan
Pada gilirannya CO atau CJ juga akan rneningkat. Akibatnya terjadi ekspansi
volume intra vaskular, sehingga tekanan darah akan meninglrat. Seiring dengan
perjalanan walrtu TPR juga akan meningkat, lalu secara berangsur CO atau CJ akan
turun menjadi normal lagi akibat autoregulasi. Bila TPR vasodilatasi tekanan darah
akan menurun. sebaliknya oila TPR vasokonstriksi tekanan darah akan meningkat.

Peran Kendali Saraf Autonom


Persarafan autonom ada dua macam, yangpertamaialah sistem saraf simpatis,
yang mana saraf ini yang akan menstimulasi saraf viseral (termasuk ginjal) melalui
neurotransmitter : ketokolamin, epinefrin, maupun, dopamin. Sedang saraf
parasimpatis adalah yang menghambat stimulasi sarat simpatis. Regulasi simpatis dan
parasimpatis berlangsung independen tidak dipengaruhi oleh kesadaran otak, akan
tetapi terjadi secara automatisasi mengikuti siklus sirkardian.
Ada beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal, otak, serta
dinding vaskular pembuluh darah ialah reseptor α1. α2, β1 clan β2. Belakangan
ditemukan reseptor β3 di aorta yang ternyata kalau diharnbat dengan beta blocker β1
selektif yang baru (nebivolol) maka akan rnernicu terjadinya vasodilatasi melalui
peningkatan nitrit oksida (NO). Karena pengaruh-pengaruh lingkungan rmisalnya
genetik, stres kejiwaan, rokok, dan sebagainya, akan terjadi aktivasi sistem saraf
simpatis berupa kenaikan katelamin, nor epinefrin (NE) dan sebagainya. Selanjutnya
neurotransmiter ini akan meninglratakan denyut jantung (Heart Rate) lalu diikuti
kenaikan CO atau CJ sehingga tekanan darah akan meningkat dan aknirnya akan
mengalami agregrasi platelet. Peningkatan nerotransmiter NE ini mempunyai efek
negatif terhadap jantung, sebab di jantung ada reseptor α1, β1, β2, yang akan memicu
terjadinya kerusakan miokard, hipertrofi dan aritrnia dangan akibat progresivitas dari
hipertensi aterosklerosis.

Gambar 6 : Faktor-faktro penyebab aktivitas saraf simpatis


Karena pada dinding pembuluh darah juga ada reseptor α1, maka bila NE
meningkat hal tersebut akan mernicu vasolronstriksi (melalui reseptor α11) sehingga
hipertensi aterosklerosis juga makin progresif. Pada ginjal NE juga berefek negatif,
sebab di ginjal ada reseptor β1 dan α1 yang akan memicu terjadinya retensi natrium,
mengaktivasi sistem RAA ,memicu vasokonstriksi pembuluh darah dengan akibat
hipertensi aterosklerosis juga makin progresif.
Peran Sistem Angiotensin Aldosteron (RAA)
Bila tekanan darah menurun maka hal ini akan memicu refleks baroreseptor,
berkutnya secara fisisologis sistem. Adapun proses pembentukan renin dimulai dari
pembentukan angiotensinogen yang dibuat di hati. Selanjutnya angiotensinogen akan
dirubah menjadi angiotensin I oleh renin yang dihasilkan oleh makula densa apparat
juxta glornerulus ginjal. Lalu angiotensin I oleh renin diubah menjadi angiotensin II
oleh enzim ACE (angiotensin converting enzyme). Akhirnya angiotensin II ini akan
bekerja pada reseptor-reseptor yang terkait dengan tugas proses fisiologinya ialah di
reseptor AT1, AT2. AT3. AT4. Faktor risiko yang tidak dikelola akan memicu sistem
RAA. Tekanan darah makin rneningkat, hipertensi aterosklerosis makin progresif.
Ternyata yang berperan utama untult memicu progresifitas ialah angiotensin II, bukti
uji klinisnya sangat kuat. Setiap intervensi klinik pada tahap-tahap aterosklerosis
kardiovaskular kontinum ini terbukti selalu bisa menghambat progresifitas dan
menurunkan risiko kejadian kardiovaskular.

Gambar 7 : Proses angiotensinogen berubah menjadi angiotensin II (sistem RAA)


Peran Dinding Vaskular Pembuluh Darah
Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum. penyakit yang
berlanjut terus rnenems sepanjang umur. Paradigma yang baru tentang hipertensi
dimulai dengan disfungsi endotel, Ialu berlanjut menjadi disfungsi vascular, vaskular
biologi berubah, Ialu berakhir dengan TOD.
Mungkin hipertensi ini lebih cocok menjadi bagian dari salah satu gejala
sebuah sindroma penyakit yang akan kita sebut sebagai “the atnerosclerotic
syndrome” atau "the hypertension syndrome". sebab pada hipertensi sering disertai
gejala-gejala lain berupa resistensi insulin, obesitas. mikroalbuminuria, gangguan
koagulasi, gangguan toleransi glukosa, kerusakan rnembran transport. disfungsi
endotel, dislipidemia, pembesaran ventrikel kiri. gangguan simpatis parasimpatis.
Aterosklerosis ini akan brjalan progresif dan berakhir dengan kejadian
kardiovaskular.
Bonetti et all berpendapat bahwa disfungsi endotel merupakan sindrom
klinis yang bisa langsung berhubungan dengan dan dapat rnemprediksi peningkatan
risiko Kejadian kardiovaslcular.Progresivitas sindrom aterosklerotik ini dimulai
dengan faktor risiko yang tidak dikelola, akibatnya hemodinamika tekanan darah
makin berubah, hipertensi makin meningkat serta vaskular biologi berubah. Dinding
pembuluh darah makin menebal dan pasti berakhir dengan kejadian kardiovaskular.
Dikenal ada faktor risiko tradisionai dan non tradisional yang bila bergabung dengan
falrtor-falrtor Iokal atau yang lain serta faktot genetik maka vaskular biologi akan
berubah menjadi makin tebal karena mengalami kerusakan berupa lesi vaskular dan
remodelling, antara lain akibat: Infiamasi. vasokonstrilrsi, trombosis. ruptur
plak/erosi. Dikenal pula faktor risiko baru selain angiotensin II, ialah Ox-LDL, ROS
(radical oxygen species). hornosistein, CRP serta masih ada Iagi yang lain.
3.3.6 Diagnosis
Anamnesis
Pada umumnya penderita hipertensi tidak mernpunyai keluhan. Hipertensi
adalah the silent killer Penderita baru mempunyai keluhan setelah mengalami
komplikasi di TOD. Secara sistematik anarnnesa dapat dilaksanakan sebagai berikut :
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
 Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
 Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hemturi, pemakaian
obat-obat analgesik dan obat/bahan lain
 Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
(feokromasitoma)
 Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. faktor-faktor risiko
 Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga
pasien
 Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
 Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya
 Kebiasaan merokok
 Pola makan
 Kegemukan, intensitas olah raga
 Kepribadian
4. gejala kerusakan organ
 Otak dan mata: sakit kepala,vertigo, gangguan penglihatan, transient
ischemic attacks defisit sensoris atau motoris
 Jntung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur dengan bantal
tinggi (lebih dari 2 bantal)
 Ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuri, hipertensi yang disertai
kulit pucat anemis
 Arteri perifer: ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
5. pengobatan anti hipertensi sebelumnya
6. faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan.
3.3.7 Pemeriksaan Fisis
Pengukuran tekanan darah (TD) dilakukan pada penderita yang dalam
keadaan nyaman dan relaks, dan dengan tidak tertutup/tertekan pakaian. Beberapa hal
perlu diperhatikan pada saat melakukan pengukuran TD adalah :
1. Untuk mengukur TD terdapat 3 jenis sphygmomanometer. yaitu manometer
aneroid (kurang akurat bila digunakan berulang-ulang), manometer elektronik (juga
kurang akurat) dan manometer merkuri/air (ingat merkuri dapat mencemari
lingkungan). Gunakan manset dengan ukuran infateble bag; (karet yang ada dibagian
dalam manset) yang sesuai, yaitu lebar kurang lebih 40% dari lingkar lengan (rata-
rata pada orang dewas 12-14 cm) dan panjang kurang lebih 60-80% lingkarlengan,
sehingga cukup panjang untuk melingkupi lengan.
2. pasang manset pada lengan atas dengan pusat inflatable bag di atas arteri brakhialis
(pada sisi dalam lengan atas) dan sisi bawah manset kurang lebih 2,5 cm di atas fossa
antecubiti.
3. posisi lengan penderita sedikit fleksi pada siku lengan harus disangga(dengan
bantal, meja atau bendalain yang stabil), pastikan bahwa manset setingi jantung. Cari
arteri bakhialis, biasanya sedikit medial dari tendon bisep.
4. lakukan pemeriksaan palpasi tekanan darah sistolik (TDS)yaitu ibu jari atau jari-
jari lain diletakkandi atas arteri brakhialis, manset dipompa/dikembangkan sampai
kurang lebih 30 mmHg di atas tingkat dimana pulsasi mulai tidak teraba, kemudian
manset pelan-pelan dikendurkan dan akan didaptkan TDS yaitu saat pulsasi mulai
teraba kembali.
5. selanjutnya stetoskop (bagian bell) diletakkan di atas arteri brakhialis, manset
dipompa kembali sampai kurang lebih 30 mmHg di atas harga palpasi TDS,
kemudian manset dikendurkan pelan-pelan (kecepatan 2-3 mmHg/detik), tentukan
TDS (mulaiterdengar suara) dan tekanan darah diastolikatau TDD (suara mulai
menghilang)
6. Pengkuran TD harus dilakukan pada lengan (arteri berkhalis) kanan dan kiri,
setidaknya pernah dilakukan walaupun sekali saja. Normal antara kanan dan kiri
terdapat perbedaan 5-10 mmHg. Bila ada perbedaan diatas 10-15 mmHg perlu
dicurigai adanya kompresi atau obstruksi arteri pada sisi yang TD-nya lebih rendah.
7. pada penderita yang mendapat obat antihipertensi dan ada riwayat pingsan atau
postural dizziness, atau pada penderita dengan dugaan hipovelemik, TD diukur pada
posisi tidur, duduk, dan berdiri (kecualu adakontraindikasi). Normal dari posisi
horisontal ke posisi berdiri akan menyebabkan TDS sedikit meningkat. Bila saat
berdiri TDS turun & 20 mmHg, apalagi disertai adanya keluhan, menunjakkan
adanya hipotensi ortostatik (postural). TDD juga bisa turun. Penyebabnya adalah
obat, hipovelemia, terlalu lama tirah baring dan gangguan sistem saraf autonom
perifer
3.3.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari : tes darah rutin, glukosa
darah (sebaiknya puasa), klestrol total serum, kolestrol LDL dan HDL serum,
trigliserida serum (puasa), asam urat serum, kreatinin serum, kalium serum,
hemoglobin dan hemtokrit, urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin),
elektrokardiogram.
Beberapa pedoman penaganan hipertensi menganjurkan tes lain seperti :
ekokardigram, USG karotis (dan femoral), C-reactive protein, mikroalbuminuria atau
perbandingan albumin/kreatinin urin, proteinuria kuantitatif (jika uji carik positif),
funduskopi (pada hipertensi berat)
Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menetukan adanya penyakit
penyerta sistemik, yaitu : ateroslerosis (melalui pemeriksaan profil lemak), diabetes
(terutama pemeriksaan gula darah) fungsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuri,
kreatini serum, serta memperkirakan laju filtasi glomerulus).
3.3.9 Penatalaksanaan
WHO memberi rekomendasi diuretik dosis kecil sebagai pilihan pertama
untuk pengobatan hipertensi dengan alasan sangat cost effective. Pilihan obat pertama
antihiprtensi adalah golongan thiazid, dapat dikombinasi dengan golongan
antihipertensi lain, teurtama apabila ada situasi yang disebut dengan high risk
condition, atau yang disertai compelling indications.pengobatan selalu dimulai
dengan cara modifikasi gaya hidup, kemudian dilanjutkan dengan farmakoterapi
secara individualistik sesuai dengan komorbid atu compelling indications yang ada
pada penderita. Untuk low and moderate risk target tekanan darah dibawah 140/90
mmHg. Untuk high and risk (diabetes and renal disaes) target tekanan darah dibawah
130/80 mmHg, dan tidak lupa mengobati TOD.

Gambar 8 : Rekomendasi pengobatan hipertensi


Gambar 9 : target tekanan darah yang harus dicapai dari berbagai Guideline
Gambar 10 : Algoritme pengobatan hipertensi menurut JNC 7
3.3.10 Komplikasi
Hubungan kenaikan tekanan darah dengn risiko PKV berlngsung secara
terus-menerus, konsisten dan independen dari faktor-faktor risiko yang lain. Pada
jangka lama bila hipertensi tidak dapat turun stabil pad kisaran target normo tensi
akan merusak organ-organ terkait (TOD). Penykit krdiovaskular utamanya hipertensi
tetap menjdi penyebab kematian tertinggi di dunia. Risiko komplikasi ini bukan
hanya tergantung kepada kenaikan tekanan darah yang terus menerus, tetapi juga
tergantung beertambahnya umur penderita. Kenikan tekanan darah yang berangsur
lam juga akan merusak fungsi ginjal seperti nampak pada hasil meta analisis dari
Baksris. Makin tinggi tekanan darah, mkain menurun laju filtrasi glomerulus
sehingga akhirnya menjadi penyakit ginjal tahap akhir.
Karena tingginya tekanan darah adalah faktor risiko independen yang kuat
untuk merusak ginjal menuju penyakit tahap akhir (PGTA), maka untuk mencegah
progresifitas menuju PGTA, usahakanlah mempertahankan tekanan darah
padakisaran 120/80 mmHg
3.3.11 Pencegahan
Sebagaimana diketahui pre hipertensi bukanlah suatu penyakit, juga bukan
sakit hipertensi, tidak diindikasikan untuk diobati dengan obat farmasi, bukan target
pengobatan hipertensi, tetapi populasi pre hipertensi adalah kelompok yang berisiko
tinggi untuk menuju kejadian penyakit kardiovaskular. Di populasi USA, menurut
NHANES 1999-2000, insiden pre hipertensi sekitar 31%
Populasi pre hipertensi ini diprediksikn pad akhirnya akan menjadi
hipertensi permanen, sehingg pada populasi ini harus segera dinjurkan untuk merubah
gaya hidup (lifestyle modification) agar tidak menjadi progresif ke TOD.
Daftar Pustaka
1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC;2012.
2. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta:
EGC; 2010
3. Palmer SC, Ruospo M, Campbell KL, Larsen VC, Saglumbene V, Natale P, et
al. Nutrition and dietary intake and their association with mortality and
hospitalisation in adults with chronic kidney disease treated with
haemodialysis: protocol for DIET-HD, a prospective multinational cohort
study. BMJ Open. 2015; 5(1):1-7
4. Lohr JW. Uremic enchepalopathy [internet]. USA: Medscape; 2016 [diakses
tanggal 20 Februari 2018]. Tersedia dari
http://emedicine.medscape.com/article/239191-overview.
5. McCandless DW. Metabolic encephalopathy. North Chicago: Springer;2009.
6. Alper AB. Uremia [internet]. USA: Medscape; 2016 [diakses tanggal 20
February 2018]. Tersedia dari http://emedicine.medscape.com/article/245296-
overview.
7. Deyn PP, D’hooge R, Bogaert PP, Marescau B. Endogenous guanidino
compounds as uremic neurotoxins.Kidney Int J. 2010; 59:77-83.
8. Suwitra K. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam jilid II. Edisi ke-VI. Jakarta :
Pusat penerbitan IPD FK UI ; 2014
9. Yugintoro M. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam jilid II. Edisi ke-VI. Jakarta :
Pusat penerbitan IPD FK UI ; 2014
10. Wijdicks EFM. Neurologic complications of critical illness. Edisi 2. Oxfor
Univ Press. 2002. Hlm 175
11. Burn, D.J., Bates, D. Neurology and the kidney. J. Neurol. Neurosurg.
Psychiatry Vol.65, No.6 810-821
12. Deguchi T, Isozaki K, Yousuke K, Terasaki T, Otagiri M. Involvement of
organic anion transporters in the efflux of uremic toxins across the blood-
brain barrier. J Neurochem. Feb 2006;96(4):1051-9.
13. De Deyn PP, Vanholder R, Eloot S, et al. Guanidino compounds as uremic
(neuro)toxins. Semin Dial. Jul-Aug 2009;22(4):340-5.
14. Ropper AH, Samuels MA. Principles of neurology. Edisi 9. McGrawHill.
2009.
15. McCandless DW. Metabolic encephalopathy. Edisi 1. Springer. 2009
16. Seifter JL, Samuels MA. Uremic encephalopathy and other brain disorders
associated with renal failure. Seminars in neurology/volume 31, number 2
2011. Pg 139-141.
17. Annemie Van Dijck, Wendy Van Daele and Peter Paul De Deyn (2012).
Uremic Encephalopathy, Miscellanea on Encephalopathies - A Second Look,
Dr. Radu Tanasescu (Ed.), ISBN: 978-953-51-0558-9, InTech
18. Zhang C, Glenn DG, Bell WL, O'Donovan CA. Gabapentin-induced
myoclonus in end-stage renal disease. Epilepsia 2005;46:156-8.
19. Neal MJ. At a glance: Farmakologi Medis. Edisi 5. Jakarta: Penerbit
Erlangga. 2006. Hlm 54;57

Anda mungkin juga menyukai