A. TEORI
Pemeriksaan fisik ginjal merupakan salah satu bagian dari pemeriksaan fisik pada
abdomen dan urogenitalia. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada
kelainan pada ginjal. Adanya hipertensi dapat merupakan tanda adanya kelainan pada
ginjal. Keadaan tersebut mengharuskan dokter untuk memeriksa keadaan umum pasien
secara menyeluruh.
B. PROSEDUR
Inspeksi
Pada pemeriksaan ginjal, sebaiknya pasien dalam posisi berbaring telentang. Kemudian
bagian abdomen dibuka dari proccecus xipoideus hingga ke simfisis pubis. Berdiri pada
sisi kanan pasien.
Adanya pembesaran pada daerah pinggang atau abdomen sebelah atas harus
diperhatikan pada saat melakukan inspeksi di daerah ini. Pembesaran itu mungkin
disebabkan oleh hidronefrosis ataupun tumor pada daerah retroperitonium.
Palpasi
Palpasi ginjal dilakukan secara bimanual yaitu dengan memakai dua tangan. Tangan kiri
diletakkan pada sudut costovertebral angle (CVA) untuk mengangkat ginjal ke atas
(anterior), sedangkan tangan kanan diletakkan pada bawah arcus costae untuk meraba
ginjal dari depan. Mintalah pasien untuk menarik napas yang dalam dan anda dapat
merasakan turunnya ginjal dengan tangan yang ada pada perut pasien.
1
Gambar 1. Pemeriksaan palpasi bimanual pada ginjal
Untuk membedakan ginjal dengan organ lainnya, perlu diperhatikan bahwa organ hepar
sering mempunyai tepi anterior yang tajam, sedangkan lien mempunyai
incisura/lekukan dan dapat bergerak ke bawah dan ke medial saat inspirasi. Berbeda
dengan hepar maupun lien, pada pemeriksaan bimanual/ballottement pada ginjal sering
teraba.
Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran ginjal adalah :
- Hidronephrosis
- Penyakit ginjal polikistik
- Kista
- Tumor ginjal
- Trombosis vena renalis
- Amyloidosis
Perkusi
Perkusi atau pemeriksaan ketok ginjal dilakukan dengan memberikan ketokan pada
CVA. CVA merupakan sudut yang dibentuk oleh costae terakhir dengan tulang
vertebrae. Pada kondisi adanya distensi pada kapsul ginjal, maka pada pemeriksaan
ketok ginjal akan didapatkan rasa nyeri. Hal ini dikarenakan peregangan kapsul ginjal
akan menstimulasi saraf aferen medula spinalis pada T11 hingga L2 dan juga
mempersarafi ginjal.
2
Gambar 2. Pemeriksaan perkusi pada ginjal
Pasien dalam posisi duduk atau berbaring miring. Kemudian letakkan tangan kiri pada
CVA kanan/kiri, kemudian dengan tangan kanan memberikan pukulan pelan di atas
tangan kiri. Apabila pasien mengeluh nyeri pada saat pemeriksaan, maka kemungkinan
terjadi inflamasi pada ginjal ataupun distensi pada kapsul ginjal.
Beberapa kondisi yang dapat menimbulkan nyeri pada pemeriksaan ketok ginjal,
adalah:
- Pyelonephritis akut
- Abses renal atau perirenal
- Obstruksi ginjal akut
- Glomerulonefritis akut
Auskultasi
Pasien dalam keadaan berbaring telentang, letakkanlah stetoskop pada daerah
epigastrium atau pinggang depan, untuk mendengarkan bruit renal. Bruit renal dapat
terdengar pada kondisi sebagai berikut :
- Stenosis arteri renalis
- Fistula arteriovenosa
- Neoplasma vaskuler
3
C. CHECK LIST
NILAI
JENIS KEGIATAN
0 1 2
Pendahuluan dan persiapan
1. Memperkenalkan diri dan menjelaskan pemeriksaan yang dilakukan
2. Meminta pasien berbaring telentang dengan nyaman dan meletakkan bantal di
bawah kepala.
Inspeksi
1. Melihat apakah ada kelainan pada daerah ginjal / flank area
Palpasi
2. Secara bimanual, tangan kiri mengangkat ginjal ke anterior pada area lumbal
posterior, tangan kanan diletakan pada bawah arcus costae, kemudian lakukan
palpasi
Perkusi
3. Pasien dalam posisi duduk atau berbaring miring. Kemudian letakkan
tangan kiri pada CVA kanan/kiri, kemudian dengan tangan kanan
memberikan pukulan pelan di atas tangan kiri.
4. Memperhatikan ekspresi pasien dan menanyakan apakah terasa nyeri saat
dilakukan pemeriksaan
Auskultasi
5. Meminta pasien untuk berbaring telentang.
6. Meletakkan stetoskop pada daerah epigastrium atau pinggang depan dan
mendengar apakah terdengar bruit atau tidak
7. Melaporkan seluruh hasil pemeriksaan (I-P-P-A) fisik ginjal
D. PENILAIAN
Keterangan:
0 : Tidak dikerjakan
1 : Dikerjakan tetapi kurang sesuai/benar
2 : Dikerjakan dengan benar
E. REFERENSI
4
1. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto, 2007. p.
18-9
2. Comisarow RH, Barkin M. Genitourinary examination. Dalam: Andri HI.
Jakarta: Yayasan Essentia Medica, 1984. p.4-7
3. Saibie FG. Dalam: HI. Jakarta: Yayasan Essentia Medica, 1984. p.35
4. Anonymous. Male genitourinary examination (Serial online) 2001. Available
from: URL:
http://www.meddean.luc.edu/lumen/meded/ipm/ipm2/sem3/male_gu_exam.pdf
5
MODUL GINJAL DAN CAIRAN TUBUH
KKD PEMASANGAN INFUS
A. TEORI
Terapi intravena adalah tindakan yang dilakukan dengan cara memasukkan cairan,
elektrolit, obat intravena dan nutrisi parenteral ke dalam tubuh melalui intravena.
Tindakan ini sering merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan cairan yang
banyak, dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan terapi dan cara pemberian yang
aman diperlukan pengetahuan dasar tentang keseimbangan cairan dan elektrolit serta
asam basa. Tindakan ini merupakan metode efektif dan efisien dalam memberikan
suplai cairan ke dalam kompartemen intravaskuler. Terapi intravena dilakukan
berdasarkan order dokter dan perawat bertanggung jawab dalam pemeliharaan terapi
yang dilakukan. Pemilihan pemasangan terapi intravena didasarkan pada beberapa
faktor, yaitu tujuan dan lamanya terapi, diagnosa pasien, usia, riwayat kesehatan dan
kondisi vena pasien.
6
Tipe-tipe cairan
Cairan/larutan yang digunakan dalam terapi intravena berdasarkan osmolalitasnya
dibagi menjadi:
1. Isotonik
Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas sama atau mendekati osmolalitas
plasma. Cairan isotonik digunakan untuk mengganti volume ekstrasel, misalnya
kelebihan cairan setelah muntah yang berlangsung lama. Cairan ini akan meningkatkan
volume ekstraseluler. Satu liter cairan isotonik akan menambah CES 1 liter. Tiga liter
cairan isotonik diperlukan untuk mengganti 1 liter darah yang hilang. Contoh cairan
isotonik adalah : NaCl 0,9 %, Ringer Laktat, Komponen-komponen darah (Albumin 5
%, plasma), Dextrose 5 % dalam air (D5W)
2. Hipotonik
Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas lebih kecil daripada osmolalitas
plasma. Tujuan cairan hipotonik adalah untuk menggantikan cairan seluler, dan
menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pemberian cairan ini umumnya
menyebabkan dilusi konsentrasi larutan plasma dan mendorong air masuk ke dalam sel
untuk memperbaiki keseimbangan di intrasel dan ekstrasel, sel tersebut akan membesar
atau membengkak. Perpindahan cairan terjadi dari kompartemen intravaskuler ke dalam
sel. Cairan ini dikontraindikasikan untuk pasien dengan risiko peningkatan TIK.
Pemberian cairan hipotonik yang berlebihan akan mengakibatkan:
- Deplesi cairan intravaskuler
- Penurunan tekanan darah
- Edema seluler
- Kerusakan sel
Karena larutan ini dapat menyebabkan komplikasi serius, pasiaen harus dipantau
dengan teliti. Contoh: cairan hipotonik adalah : dextrose 2,5% dalam NaCl 0,45%,
NaCl 0,45%, NaCl 0,2%
7
3. Hipertonik
Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas lebih tinggi daripada osmolaritas
plasma. Pemberian larutan hipertonik yang cepat dapat menyebabkan kelebihan dalam
sirkulasi dan dehidrasi. Perpindahan cairan dari sel ke intravaskuler, sehingga
menyebabkan sel-selnya mengkerut. Cairan ini dikontraindikasikan untuk pasien
dengan penyakit ginjal dan jantung serta pasien dengan dehidrasi. Contoh: D 5% dalam
saline 0,9% (D5NS), D 5% dalam RL (D5RL), Dextrose 10% dalam air (D10W),
Dextrose 20% dalam air (D20W), Albumin 25
Peralatan infus
Kanula/kateter
Berikut bagian dari kanula infus :
8
Gambar 2. Ukuran kanula infus
Penggunaan ukuran kanula tergantung dari beberapa faktor, antara lain usia pasien
(anak, dewasa), tujuan pemasangan infus (resusitasi, maintenance), kualitas vena
(dewasa, orang tua). Saat ini pada beberapa pusat kesehatan telah menggunakan kanula
infus dengan pegas, yang dianggap dapat mengurangi risiko terkena jarum kanula pada
petugas.
9
Cairan infus
Pemilihan cairan infus yang digunakan disesuaikan dengan kondisi dari pasien itu
sendiri. Di bawah ini beberapa kandungan dari cairan infus :
CAIRAN KONSTITUSI OSMOLALITAS
Normal saline (NS) Sodium 154 mEq/l Isotonik
Klorida 154 mEq/l
Hipertonik
Dekstrose 5% dalam ½NS Sodium 77mEq/l
Klorida 77 mEq/l
Dekstrose 278 mmol/l
Set infus
Set infus terdiri dari dua tipe yaitu dengan drip makro dan drip mikro. Drip makro
akan mengalirkan 1 cc cairan tiap 10 tetes infus. Biasanya drip makro ini digunakan
ketika diperlukan banyak cairan yang harus diberikan. Drip kinro akan mengalirkan 1 cc
cairan tiap 60 tetes infus. Bisanya drip mikro ini digunakan pada anak serta kondisi
dimana cairan yang harus diberikan dalan jumlah sedikit.
10
Gambar 3. Peralatan infus
Pemilihan vena
Sebelum pemasangan infus, perlu diperhatikan pada pemilihan derah tempat
pemasangan infus. Identifikasi vena dengan optimal dapat dilakukan secara visual
maupun rabaan. Vena dapat terlihat sebagai struktur di bawah kulit yang berwarna biru
kehijauan. Vena dapat juga teraba seperti saluran kenyal di antara jaringan lunak.
11
Dikarenakan tiap individu memiliki variasi letak yang berbeda, maka perlu secara visual
dan rabaan dalam menentukan tempat pemasangan.
Idealnya vena yang baik adalah vena dengan ukuran besar dan lurus dengan
panjang sesuai dengan kanula. Untuk pemasangan lama, beberapa hal yang harus
diperhatikan adalah :
- Menggunakan ekstremitas non dominan bila dimungkinkan
- Hindari daerah persendian
- Hindari penggunaan ekstremitas bawah bila dimungkinkan
- Hindari daerah kontraindikasi pemasangan
Ekstremitas atas
Pada kebanyakan kondisi, pemasangan infus biasanya pada daerah fossa
antecubiti, lengan bawah, pergelangan tangan, ataupun punggung tangan. Tiga vena
utama pada daerah fossa umbilical, yaitu v.cephalica, v.basilica, v.mediana cubiti
merupakan vena yang paling sering digunakan. Vena ini biasanya besar, mudah
ditemukan, dan dapat digunakan dengan kanula terbesar. Karenanya mereka merupakan
tempat paling ideal untuk pemasangan infus. Namun, karena posisi mereka pada daerah
fleksor menyebabkan beberapa ketidaknyamanan pada pasien. Misalnya saat menekuk
siku dan dapat menyebabkan sumbatan aliran. Biasanya vena percabangan dari ketiga
vena besar tersebut juga sering digunakan untuk pemasangan infus.
Vena pada punggung tangan dapat digunakan apabila tidak memerlukan kanula
dengan nomor besar (18Ga atau lebih). pemasangan pada daerah ini harus dapat
12
ditemukan vena yang lurus dan dapat ditempati oleh seluruh kanula. V.cepalica pada
daerah radial styloid termasuk yang sering digunakan dikarenakan bentuknya yang lurus
dan ukurannya yang besar.
Ekstremitas bawah
Pemasangan infus pada daerah kaki bukanlah daerah yang ideal. Pemsangan pada
daerah ini lebih menimbulkan nyeri, dan pemasangan infus lebih menimbulkan rasa
tidak nyaman apabila dibandingkan pemasangan pada ekstremitas atas. Selain itu,
pemasangan pada ekstremitas bawah lebih mudah terjadi infeksi, tidak berfungsi
optimal, dan lebih sering meninbulkan flebitis.
V.saphena magna yang berjalan di anterior menuju malleolus medial, dan yang
dapat di akses juga melalu vena seksi dapat digunakan pada saat kegawatan. V.saphena
parva berjalan pada bagian lateral yang nantinya akan membentuk arkus vena dorsalis
dengan v.saphena magna. Arkus ini akan memberi cabang pada bagian dorsal kaki.
Percabangan ini juga dapat digunakan pada pemsangan infus apabila diperlukan.
13
Gambar 5. Vena pada ekstremitas bawah dan leher
makro
Jumlah cairan ( tiap jam ) x Jumlah tetesan ( )
= mikro
60 menit
125 ml x 20 t etes/ml
=
60 m enit
= 41,7 tetes/menit
14
= 42 tetes/menit
15
C. PROSEDUR
Menjelaskan tindakan
Memperkenalkan diri, menanyakan identitas pasien (konfirmasi), menjelaskan
tindakan yang akan dilakukan, melakukan informed consent. Pasien sebaiknya dalam
posisi berbaring.
Mempersiapkan peralatan
Mempersiapkan peralatan yang akan digunakan pada pemasangan infus
Mempersiapkan pasien
1. Meletakkan alas pada lokasi penusukan
2. Memasang torniquet pada 10-12 cm proksimal dari lokasi penusukan. Torniquet
cukup kuat untuk menghambat aliran vena sehingga vena distensi, namun tidak
menghambat aliran arteri.
3. Evaluasi vena yang akan dipasang infus. Lokasi paling umum adalah pungung
tangan dan lengan bawah. Bila dilatasi vena tidak jelas, minta pasien untuk
mengepalkan tangan dan membukanya secara berulang-ulang. Pastikan lengan
bawah pasien pada posisi lebih rendah dari jantung. Bedakan vena dari arteri.
4. Memilih lokasi pemasangan infus Hindari daerah yang terinfeksi, edema atau
terdapat jaringan parut. Juga dihindari daerah yang terdapat fistula arterio venosa
dan aneurisma.
5. Disinfeksi daerah yang dipilih menggunakan kapas alkohol dengan satu kali usapan
dari proksimal ke distal, atau dengan gerakan sirkuler dari dalam ke luar.
6. Pastikan daerah yang didisinfeksi telah kering sebelum melakukan penusukan.
Menegangkan kulit di sekitar lokasi penusukan untuk memfiksasi vena dengan
menggunakan tangan non dominan
Pemasangan infus
16
1. Menggunakan tangan dominan, masukkan kanula dengan sudut 10-30 (hampir
mendatar) dari arah distal ke proksimal dengan lubang jarum menghadap ke atas.
Masukkan jarum sesuai dengan arah garis vena
17
D. CHECK LIST
NILAI
JENIS KEGIATAN
0 1 2
Pendahuluan dan persiapan
1. Memperkenalkan diri. Konfirmasi pasien adalah benar/sesuai dengan
yang dimaksud.
2. Menjelaskan kepada pasien tujuan dan prosedur tindakan yang akan
dilakukan. Menjelaskan kepada pasien untuk mengikuti perintah yang
diberikan. Memberitahukan pasien kemungkinan adanya sedikit rasa sakit.
3.
Informed consent
4. Meminta pasien berbaring telentang dengan nyaman dan meletakkan bantal di
bawah kepala. Tangan pasien diletakkan di sisi badan, lengan bawah
lurus.
5.
Mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan.
6.
Mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan steril.
7. Menghubungkan botol cairan infus dengan set infus dan
mempersiapkannya untuk dihubungkan dengan kanula intravena yang
sudah terpasang.
Identifikasi vena
8. Berdiri di sisi kanan/kiri pasien sesuai lokasi vena yang akan dipasangi
kateter intravena.
9. Meletakkan alas pada lokasi penusukan. Memasang torniquet pada 10-12
cm proksimal dari lokasi penusukan.
10
. Evaluasi vena yang akan dipasang kanula vena.
Pemasangan Infus
18
. penusukan.
14 Menegangkan kulit di sekitar lokasi penusukan untuk memfiksasi vena
. dengan menggunakan tangan non dominan.
15 Menggunakan tangan dominan, masukkan kanula dengan sudut 10-30
. (hampir mendatar) dari arah distal ke proksimal dengan lubang jarum
menghadap ke atas.
16 Bila kanula telah masuk vena, akan tampak aliran balik darah dalam kanula.
. Mendorong kanula vena lebih dalam sambil secara bersamaan menarik
keluar jarum mandrin di dalamnya. Jarum mandrin dipertahankan agar
tidak keluar sepenuhnya untuk mencegah darah mengalir keluar.
17 Tekan pada bagian ujung kanula menggunakan jari dan keluarkan jarum
. mandrin, lalu buang atau letakkan pada tempat yang tersedia.
18
. Melepaskan torniquet.
19 Menghubungkan kanula vena dengan selang infus. Membuka pengatur
. tetesan dan atur kecepatan tetesan sesuai dosis.
20
. Membersihkan darah yang mengotori kulit menggunakan kapas alkohol.
21
. Memfiksasi infus menggunakan plester atau dressing yang tersedia.
22
. Membereskan alat-alat yang digunakan.
23 Memberitahu pasien bahwa tindakan telah selesai dilakukan. Melepaskan
. sarung tangan steril dan mencuci tangan.
JUMLAH NILAI
E. PENILAIAN
Keterangan:
0 : Tidak dikerjakan
1 : Dikerjakan tetapi kurang sesuai/benar
2 : Dikerjakan dengan benar
19
F. REFERENSI
1. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta
kedokteran. Edisi ketiga. Jilid kedua. Jakarta: Media Aesculapius, 2000. p.546-7
2. Departement of Pharmacy Services. University of Arkansas for Medical
Sciences. Calculation of intravenous infusion rates. 2011 (Available from url :
http://pharmacy.uams.edu/formulary/calculation_of_intravenous_infus.asp)
3. Weinstein SM. Plumer's principles and practice of intravenous therapy. Edisi 7.
Lippincott, Philadelphia, 2001.
20
MODUL GINJAL DAN CAIRAN TUBUH
KKD PEMASANGAN KATETER
A. TEORI
Kateterisasi uretra adalah suatu tindakan memasukkan kateter ke dalam kandung
kemih melalui uretra. Istilah kateterisasi ini sudah dikenal sejak zaman hipokrates yang
pada waktu itu menyebutnya sebagai tindakan instrumentasi untuk mengeluarkan cairan
tubuh. Bernard memperkenalkan kateter yang terbuat dari karet pada tahun 1779,
sedangkan Foley membuat kateter menentap pada tahun 1930. Saat ini, kateter Foley
masih digunakan secara luas di dunia sebagai alat untuk mengeluarkan urin dari
kandung kemih.
Tujuan dari kateterisasi ini adalah untuk tujuan diagnosis dan tujuan terapi.
Tujuan diagnosis antara lain:
1. Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urine yang
digunakan untuk pemeriksaan kultur urine. Tindakan ini diharapkan dapat
mengurangi resiko terjadinya kontaminasi sampel urine oleh bakteri komensal
yang terdapat di sekitar kulit vulva atau vagina
2. Mengukur residu (sisa) urine yang dikerjakan sesaat setelah pasien miksi
3. Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi, antara lain : sistografi
atau pemeriksaan adanya refluks vesiko-ureter melalui pemeriksaan Voiding
Cysto-Urethrography (VCUG)
4. Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika
5. Untuk menilai produksi urine pada saat dan setelah operasi besar
Tindakan kateterisasi yang bertujuan untuk terapi antara lain :
1. Mengeluarkan urine dari vesika urinaria pada keadaan obstruksi infravesikel baik
yang disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun benda asing (bekuan darah) yang
menyumbat uretra
2. Mengeluarkan urine pada disfungsi vesika urinaria
3. Diversi urine setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah, yaitu pada
prostatektomi, vesikolitotomi
21
4. Sebagai spint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi uretra
5. Pada tindakan kateterisasi bersih mandiri berkala (KBMB) atau clean intermitten
catheterozation
6. Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik untuk
kandung kemih.
Kateter yang dipasang untuk tujuan diagnostik secepatnya dilepas setelah tujuan
selesai, tetapi pemasangan yang ditujukan untuk terapi, tetap dipertahankan hingga
tujuan terapi terpenuhi.
Macam-macam kateter
Kateter dibedakan menurut ukuran, bentuk, bahan, sifat pemakaian, sistem
retaining (pengunci), dan jumlah percabangan.
Ukuran kateter
Ukuran kateter dinyatakan dalam skala Cheriere’s (French). Ukuran ini
merupakan ukuran diameter luar kateter.
1 Cheriere’s (Ch) atau 1 French (Fr) = 0,33 mm
Jadi kateter yang berukuran 18 Fr artinya diameter luar katater itu adalah 6 mm.
Kateter yang berukuran sama belum tetntu memiliki diameter lumen yang sama
pula. Hal ini dikarenakan perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter tersebut.
Bahan kateter
Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless), karet (latex), karet dengan
lapisan silikon (siliconized), dan silikon. Perbedaan bahan kateter menentukan
22
biokompatibilitas kateter yang terpasang pada kandung kemih, sehinggan akan
mempengaruji pula daya tahan kateter yang terpasang di kandung kemih.
Bentuk kateter
Beberapa bentuk kateter antara lain :
1. Straight catheter. Terbuat dari karet, bentuknya lurus, dan tanpa ada percabangan.
Contoh : Robinson kateter, Nelaton kateter
2. Coude Catheter. Kateter dengan ujung lengkung dan ramping. Digunakan apabila
kateterisasi dengan ujung lurus mengalami hambatan yaitu pada saat kateter masuk
ke uretra pars bulbosa yang berbentuk huruf “S”, adanya hiperplasia prostat yang
sangat besar, atau yhamabtan akibat adanya sklerosis leher kandung kemih. Contoh :
Tiemann kateter
3. Self Retaining Catheter. Merupakan kateter yang dapat dipasang menetap dan
ditinggalkan di dalam saluran kemih dalam jangka waktu tertentu. Hal ini
simungkinlan karena ujungnya melebar jika ditinggalkan dalam kandung kemih.
Contoh : Malecot Kateter, Foley Kateter
Komplikasi pemasangan kateter
23
Beberapa penyulit dapat terjadi pada tindakan kateterisasi, antara lain :
1. Kateterisasi yang kurang hati-hati dapat menimbulkan lesi dan perdarahan pada
uretra apalagi jika menggunakan kateter logam. Tidak jarang pula kerusakan uretra
terjadi dikarenakan balon kateter sudah dikembangkan sebelum ujung kateter masuk
ke dalam kandung kemih
2. Tindakan kateterisasi dapat menimbulkan infeksi
3. Fiksasi kateter yang keliru akan menimbulkan nekrosis uretra di bagian penoskrotal
dan dapat menimbulkan fistula, abses, ataupun striktura uretra
4. Kateter yang terpasang dapat bertindak sebagai inti dari timbulnya batu saluran
kemih
5. Pemakaian kateter jangka panjang akan menginduksi unculnya keganasan pada
kandung kemih
24
6. Urine bag
7. Botol urin
8. Spuit 10 ml
9. Agua untuk balon kateter
10. Duk bolong steril
11. Bengkok / nierbecken
12. Pinset anatomis steril
13. Plester
C. PROSEDUR
Prinsip- prinsip pemasangan kateter yang perlu diketahui dan tidak boleh
ditinggalkan adalah :
1. Tindakan asepsis & antiseptic sebelum pemasangan. Pemasangan dilakukan secara
aseptik dengan melakukan disinfeksi secukupnya memakai bahan yang tidak
menimbulkan iritasi pada kulit genitalia dan jika perlu dapat diberikan profilaksis
antibiotika sebelumnya
2. Pemasangan secara gentle / lembut, sehingga tidak menimbulkan rasa sakit pada
pasien
3. Gunakan ukuran kateter yang lebih kecil / sesuai. Pada orang dewasa pria biasanya
digunakan ukuran 16 Fr – 18 Fr, pada dewasa wanita 14 Fr – 16 Fr, sedangkan pada
anak digunakan ukuran 8 Fr – 10 Fr.dalam hal ini tidak dibolehkan menggunakan
kateter logam pada pria karena akan menimbulkan kerusakan pada uretra
4. Jika diperlukan pemakaiaan kateter menetap, diusahakan memakai sistem tertutup
yaitu dengan menghubungkan kateter pada urine bag
5. Kateter menentap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan tindakan
definitif terhadap penyebab retensi urine. Perlu diingat bahwa makin lama kateter
dipasang, maka semakin besar kemungkinan terjadinya penyulit berupa infeksi atau
cidera uretra
Urutan pemasangan kateter pada pria adalah sebagai berikut :
1. Memperkenalkan diri, menanyakan identitas pasien (konfirmasi), menjelaskan
tindakan yang akan dilakukan, melakukan informed consent
25
2. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penis dan daerah di sekitarnya, daerah
genitalia dipersempit dengan kain steril
3. Memasukkan gel anestesi (dalam spuit 10cc) ke dalam uretra. Tekan uretra pada
glans penis sehingga gel anestesi tertahan di uretra dan memberikan efek anestesi.
4. Kateter yang telah diolesi dengan gel dimasukkan ke dalam orificium uretra
eksterna
5. Dengan pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah bulbomembranasea
(yaitu daerah spingter uretra eksterna) akan terasa tahanan; dalam hal ini pasien
diperintahkan untuk mengambil nafas dalam agar spingter uretra eksterna menjadi
lebih rileks. Kateter terus didorong hingga masuk ke kandung kemih yang ditandai
dengan keluarnya urine dari lubang kateter.
6. Sebaiknya kateter terus didorong masuk ke kandung kemih lagi hingga percabangan
kateter menyentuk meatus uretra eksterna
7. Balon kateter dikembangkan dengan 5 – 10 ml air steril (aquades)
8. Apabila diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan urine bag
9. Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha bagian proksimal.
Fiksasi kateter yang tidak benar, (yaitu mengarah ke kaudal) akan menyebabkan
terjadinya penekana pada uretra bagian penoskrotal sehingga terjadi nekrosis.
Selanjutnya di tempat ini dapat terjadi striktura uretra atau fistel uretra
26
Gambar 4. Pemasangan kateter pada pria
Pemasangan kateter pada wanita, pada dasarnya sama dengan pemasangan kateter
pada pria. Tidak seperti pada pria, pemasangan kateter pada wanita jarang dijumpai
kesulitan karena uretra wanita lebih pendek dibandingkan dengan pria. Kesulitan yang
sering dijumpai adalah pada saat mencari muara uretra karena terdapat stenosis muara
uretra atau tertutupnya muara uretra oleh tumor uretra/tumor vagina/serviks.
27
Gambar 5. Pemasangan kateter pada wanita
D. CHECK LIST
28
eksternus ke arah proksimal. Bila pasien tidak sirkumsisi, preputium
diretraksi dan desinfeksi dilakukan juga pada glans penis, sulcus coronarius,
dan preputium.
10 Penis dipegang oleh tangan non dominan. Tangan yang sudah menyentuh
. penis sudah tidak steril dan tidak boleh digunakan untuk menyentuh alat-
alat yang masih steril atau daerah yang sudah didisinfeksi.
Pilihan II
8. Melakukan disinfeksi pada penis dan skrotum serta daerah perineum. Bila
pasien tidak sirkumsisi, preputium diretraksi dan desinfeksi dilakukan juga
pada glans penis, sulcus coronarius, dan preputium
9. Memasang doek lubang steril untuk mempersempit daerah tindakan.
Meletakkan kidney dish (bengkok) untuk menampung urin yang keluar
dari kateter.
10
. Penis dipegang oleh tangan non dominan.
11 Memasukkan gel anestesi (dalam spuit 10cc) ke dalam uretra. Tekan uretra
. pada glans penis sehingga gel anestesi tertahan di uretra dan memberikan
efek anestesi.
12 Pegang kateter yang bagian ujungnya sudah diberi lubricant menggunakan
. pinset anatomis oleh tangan dominan. Lepas tekanan pada uretra oleh tangan
non dominan dan masukkan kateter perlahan-lahan melalui meatus uretra
eksternus, dengan bantuan pinset anatomis sehingga kateter masuk sampai
batas percabangan kateter.
13 Setelah ujung kateter masuk ke kandung kemih (ditandai dengan urin yang
. mengalir melalui kateter), balon kateter dikembangkan dengan aquades sesuai
kapasitas kateter. Menarik kateter secara perlahan hingga dirasakan adanya
tekanan.
14
. Melepaskan doek bolong.
15 Mengambil sampel untuk urinalisa. Menghubungkan kateter dengan urine
. bag yang kemudian diletakkan pada posisi lebih rendah daripada kandung
kemih untuk mencegah aliran balik. Perhatikan urin keluar melalui selang
urine bag. Bila belum keluar dapat dicoba dilakukan penekanan pada
29
suprapubis.
16 Kateter difiksasi menggunakan plester pada paha atas atau inguinal
. kanan/kiri.
17 Membereskan alat-alat dan memasangkan selimut/penutup pada tubuh
. pasien. Memberi tahu pasien bahwa tindakan sudah selesai dilakukan.
Melepas sarung tangan dan cuci tangan.
18 Catat warna, kejernihan, dan jumlah urin yang keluar, tanggal dan waktu
. pemasangan kateter, dan jumlah aquades yang dipakai untuk mengembangkan
balon
JUMLAH NILAI
30
dimulai dari atas ( clitoris ), meatus lalu kearah bawah menuju rektum. Hal
ini diulang 3 kali . Deppers terakhir ditinggalkan diantara labia minora
dekat clitoris untuk mempertahankan penampakan meatus urethra.
Pilihan II
8. Melakukan disinfeksi. Jari tangan kiri membuka labia minora, desinfeksi
dimulai dari atas ( clitoris ), meatus lalu kearah bawah menuju rektum. Hal
ini diulang 3 kali . Deppers terakhir ditinggalkan diantara labia minora
dekat clitoris untuk mempertahankan penampakan meatus urethra.
9. Memasang doek lubang steril untuk mempersempit daerah tindakan.
Meletakkan kidney dish (bengkok) untuk menampung urin yang keluar
dari kateter.
10 Memasukkan gel anestesi ke dalam uretra. Tekan uretra pada labia minora
. sehingga gel anestesi tertahan di uretra dan memberikan efek anestesi.
11 Pegang kateter yang bagian ujungnya sudah diberi lubricant menggunakan
. pinset anatomis oleh tangan dominan. Jari tangan kiri membuka labia minora
sedang tangan kanan memasukkan kateter pelan-pelan dengan disertai
penderita menarik nafas dalam . Periksa kelancaran pemasukan kateter, jika
ada hambatan kateterisasi dihentikan.
12 Setelah ujung kateter masuk ke kandung kemih (ditandai dengan urin yang
. mengalir melalui kateter), balon kateter dikembangkan dengan aquades sesuai
kapasitas kateter. Menarik kateter secara perlahan hingga dirasakan adanya
tekanan.
13
. Melepaskan doek bolong.
14 Mengambil sampel untuk urinalisa. Menghubungkan kateter dengan urine
. bag yang kemudian diletakkan pada posisi lebih rendah daripada kandung
kemih untuk mencegah aliran balik. Perhatikan urin keluar melalui selang
urine bag. Bila belum keluar dapat dicoba dilakukan penekanan pada
suprapubis.
15 Kateter difiksasi menggunakan plester pada paha atas atau inguinal
. kanan/kiri.
16 Membereskan alat-alat dan memasangkan selimut/penutup pada tubuh
. pasien.
17 Memberi tahu pasien bahwa tindakan sudah selesai dilakukan. Melepas
31
. sarung tangan dan cuci tangan.
18 Catat warna, kejernihan, dan jumlah urin yang keluar, tanggal dan waktu
. pemasangan kateter, dan jumlah aquades yang dipakai untuk mengembangkan
balon
JUMLAH NILAI
E. PENILAIAN
Keterangan:
0 : Tidak dikerjakan
1 : Dikerjakan tetapi kurang sesuai/benar
2 : Dikerjakan dengan benar
F. REFERENSI
1. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto, 2007. p. 227-
234
32