Anda di halaman 1dari 59

REFERAT

PENDEKATANDIAGNOSISPASIENPEDIATRIK
DENGANPUCAT

Pembimbing:
dr.LeonardoA.Pramono
DisusunOleh:
VityaChandika
KathenaHaninditaRistianti

(2013061062)
(2013061067)

FAKULTASKEDOKTERANUNIKAATMAJAYA
KEPANITERAANKLINIKILMUKESEHATANANAK
PERIODE26OKTOBER20159JANUARI2016

DAFTARISI
HalamanDepan.................................................................................................................

DaftarIsi............................................................................................................................

DaftarTabel.......................................................................................................................

DaftarGambar..................................................................................................................

BABIPENDAHULUAN................................................................................................

1.1 LatarBelakang.......................................................................................................

BABIITINJAUANPUSTAKA.....................................................................................

2.1 Pucat......................................................................................................................
2.2 PendekatanDiagnosisPucat..................................................................................

7
12

2.2.1 AnemiaDefisiensiBesi.............................................................................

12

2.2.2 Anemiahemolitik......................................................................................

26

2.2.3 Leukemia...................................................................................................

32

2.2.4 KehilanganDarah.....................................................................................

37

2.2.5 Syok...........................................................................................................

46

2.2.6

54

Chronic Kidney Disease (CKD) dan End Stage Renal Disease (ESRD)

KESIMPULAN................................................................................................................

57

DAFTARPUSTAKA......................................................................................................58

DAFTAR TABEL
Tabel2.1.AnamnesispadaPasienPediatrikdenganPucat..............................................

Tabel2.2.PemeriksaanFisikpadaPasienPediatrikdenganPucat..................................

10

Tabel 2.3. Rentang Normal Hemoglobin dan Hematokrit Menurut Usia dan Jenis Kelamin

.................................................................................................................................
11
Tabel2.4.PemeriksaanPenunjangpadaPasienPediatrikdenganPucat..........................

12

Tabel2.5.EtiologiAnemiaDefisiensiBesiMenurutUsia...............................................

14

Tabel2.6.KadarBesipadaSusu.......................................................................................

15

Tabel2.7.PerbandinganHargaPemeriksaanLaboratorium.............................................

18

Tabel2.8.PemeriksaanLaboratoriumAnemiaMikrositik...............................................

20

Tabel2.9.SuplementasiBesiMenurutUsia.....................................................................

22

Tabel2.10.AnamnesisdanPemeriksaanFisikpadaALLdanAML...............................

33

Tabel 2.11.AgenAntineoplastik yangdigunakan padaPasien Anak denganALLdan AML


.................................................................................................................................
37
Tabel2.12.Diagnosis Banding Perdarahan Gastrointestinal Berdasarkan Usia, Gambaran Fisik,
dan Laju Perdarahan..........................................................................................................

44

Tabel 2.13. Diagnosis Banding Perdarahan Gastrointestinal Berdasarkan Manifestasi Klinis


.................................................................................................................................
45
Tabel 2.14. Jenis dan Penyebab Syok................................................................................

47

Tabel 2.15. Tahapan Syok Hipovolemik...........................................................................

50

Tabel2.16.Tipe-tipe Syok dengan Mekanisme, Gambaran Klinis, dan Tata Laksana yang Sesuai
.................................................................................................................................
54

DAFTAR GAMBAR
3

Gambar2.1.SpektrumStatusBesi....................................................................................

17

Gambar2.2.AlurDiagnosisAnemiaDefisiensiBesi.......................................................

19

Gambar2.3.AlurDiagnosisAnemiaMikrositikHipokrom.............................................

25

Gambar2.4.SuplementasiBesidalamBentukSirup.......................................................

26

Gambar2.5.SuplementasiBesidalamBentukDrop........................................................

26

Gambar2.6.BadanHeinzpadaAnemiaDefisiensiG6PD...............................................

30

Gambar2.7.LesiBlueberryMuffinpadaAML............................................................

34

Gambar2.8.ModifiedBristolStoolFormCriteriaforChildren......................................

43

Gambar2.9.SkemaTataLaksanaSepsis.........................................................................

53

BAB I
4

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pucat merupakan masalah yang sering ditemukan pada anak-anak dan merupakan salah
satu indikator penyaringan penyakit. Pucat dapat berupa keadaan yang akut dan
berhubungan dengan penyakit yang mengancam nyawa, atau dapat juga bersifat kronik dan
tidak mencolok. Pucat yang terjadi secara kronik biasanya disadarari oleh orang-orang
yang jarang bertemu dengan sang anak.1
Pendekatan diagnosis pasien pediatrik dengan pucat bisa dilakukan berdasarkan
kelompok usia, yaitu neonatus, balita, dan remaja. Pada neonatus, kasus penyebab pucat
tersering adalah trauma lahir, inkompabilitas rhesus, dan kelainan hemoglobin. Pada balita
dan anak banyak ditemukan kasus anemia yang disebabkan oleh asupan makanan, seperti
anemia defisiensi besi, anemia defisensi B12. Remaja, terutama perempuan, selain anemia
nutrisional sering ditemukan anemia akibat menstruasi sehingga anamnesis mengenai
siklus menstruasi penting dilakukan.2,3
Penyebab pucat tersering pucat adalah anemia. Diperkirakan 25% penduduk dunia
menderita anemia. Negara-negara berkembang cenderung memiliki prevalensi anemia
yang cukup tinggi. Estimasi prevalensi anemia di negara berkembang adalah 39% pada
anak di bawah usia 5 tahun, 48% pada anak usia 5-14 tahun, 42% pada perempuan usia 1559 tahun, dan 30% pada laki-laki usia 15-59 tahun. Benua Amerika memiliki jumlah kasus
anemia yang tinggi, terutama pada anak, dengan prevalensi 50% di Meksiko, dan 45-70%
di berbagai regio Ekuador. Di Brazil, dilakukan penelitian yang menjelaskan prevalensi
anemia pada anak, sekitar 45% anak usia di bawah tahun di Brazil menderita anemia. 2
Indonesia memiliki prevalensi anemia yang cukup tinggi, dengan anemia defisiensi besi
yang menempati urutan pertama sebesar 63.5%. Angka tersebut dibagi kedalam beberapa
kelompok, yaitu ibu hamil sebesar 40.1% dengan estimasi prevalensi anemia pada tahun
2012-2015 masih tinggi, yaitu di atas 40%.
Pucat yang muncul secara akut banyak ditemukan pada neonatus, dimana penyebab
tersering adalah perdarahan akibat trauma lahir. Neonatus memiliki usia eritrosit yang lebih
pendek dan eritropoiesis yang terbatas sehingga dapat mengagregasi proses hemolisis.
Abnormalitas hemoglobin fetal dapat menyebabkan anemia yang membaik dengan
5

sendirinya sampai hemoglobin mengalami perubahan menjadi hemoglobin dewasa.


Keadaan pucat pada anak memiliki etiologi yang berbeda, yaitu anemia nutrisional. Hal ini
terjadi berhubungan dengan pertumbuhan yang cepat dan penyesuaian pola makan.
Prevalensi anemia nutrisional, terutama anemia defisiensi besi, tinggi pada usia 6 bulan
sampai usia 3 tahun. Di Asia Tenggara, prevalensi anemia pada anak usia di bawah dua
tahun mencapai 90% dan 66% di antaranya mengalami anemia defisiensi besi. Infeksi pada
masa awal anak-anak juga sering menyebabkan anemia. Remaja memiliki karakteristik
pertumbuhan yang cepat dan rentan terhadap anemia nutrisional. Perdarahan saat
menstruasi juga sering menimbulkan anemia pada remaja perempuan.4

BAB II
6

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pucat
Pucat atau paleness adalah tidak adanya warna pada kulit atau mukosa. Kondisi yang
menyebabkan terjadinya penurunan kadar hemoglobin dalam darah atau gangguan perfusi
darah ke permukaan kulit dapat menimbulkan pucat, yang dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu non-hematologik, seperti respiratory failure, syok, dan hipoglikemia, serta
hematologik, dimana keduanya terdapat gangguan perfusi dan/atau penurunan kadar
hemoglobin. Keadaan ini dapat bersifat sementara, yaitu dapat mengalami perbaikan
dengan terapi singkat. Pucat dengan onset akut menggambarkan keadaan yang berat dan
dapat dianggap sebagai kegawatdaruratan pediatrik yang memerlukan diagnosis dan tata
laksana yang cepat dan tepat.1,5
Pada anak yang datang ke sarana kesehatan dengan keluhan pucat perlu dilakukan
penilaian terhadap tingkat keparahan kondisinya. Apabila sudah dapat ditentukan
kondisinya akut atau tidak, perlu dilakukan anamnesis yang mengarahkan kepada
penyebab dari pucat yang terjadi. Anamnesis yang baik pada pasien dengan pucat perlu
mencakup usia, jenis kelamin, ras dan etnis, pola makan, obat-obat yang dikonsumsi,
penyakit kronik, infeksi, riwayat bepergian, dan paparan. Pertama dilakukan penelusuran
kapan pucat mulai muncul. Perkembangan pucat yang lambat, yang sering kali disadari
oleh keluarga atau kerabat yang jarang bertemu dengan pasien, sering kali disebabkan oleh
terganggunya produksi sel darah merah, seperti pada anemia defisiensi besi atau aplasia
sumsum tulang. Onset akut sering dijumpai pada kondisi hemolisis, seperti pada anemia
hemolitik, yang disertai dengan keluhan lain yaitu tampak kuning (ikterik), urin pekat
seperti teh, dan perubahan kardiovaskular. Setelah menentukan onset, anamnesis perlu
dipertajam dengan mengarahkan kepada kategori-kategori anemia atau penyakit spesifik.
Riwayat pola makan, terutama konsumsi susu dan variasi makanan, penting pada anak
dengan sugestif anemia defisiensi besi. Defisiensi vitamin B12 ditemukan pada anak
vegetarian, dimana tidak mengkonsumsi produk susu dan daging dalam waktu lama atau
pada anak yang menyusui dari ibu yang vegetarian atau ibu dengan anemia pernisiosa.
Sumber perdarahan internal mau pun eksternal juga perlu ditelusuri, seperti perdarahan
gastronintestinal kronik yang baru diketahui setelah terdiagnosis anemia defisiensi besi.
7

Sama halnya dengan perdarahan pulmoner yang berhubungan dengan idiopathic


pulmonary hemosiderosis yang sering kali disamakan dengan proses pulmoner lainnya
sampai ditemukan rekurensi anemia defisiensi besi sebagai sumber perdarahan yang tidak
diketahui. Apabila pucat disertai dengan sering muncul lebam pada tubuh atau perdarahan,
elemen darah lainnya mungkin terpengaruh. Riwayat penyakit dalam keluarga juga penting
untuk diketahui, terutama pada kasus hemoglobinopati dan kelainan enzim dan membran
sel darah merah herediter. Penyaringan pada keluarga pasien yang dicurigai
hemoglobinopati perlu dilakukan walau pun pada anamnesis tidak ditemukan riwayat
keluarga dengan penyakit serupa, hasil pemeriksaan hemoglobin sebelumnya tidak
menunjukkan kelainan, karena pada poin ini sering kali terdapat recall bias sehingga tidak
bisa dijadikan dasar untuk mengeksklusi hemoglobinopati. Riwayat splenomegali,
splenektomi, atau kolesistektomi dalam keluarga juga dapat membantu mengarahkan
diagnosis kelainan hemolitik, seperti defisiensi piruvat kinase atau sferositosis herediter.
Terakhir, peninjauan tiap sistem dengan baik penting untuk mencari kelainan sistemik,
seperti penyakit ginjal kronik, hipotiroidism, atau juvenille idiopathic arthritis. Gejala
penyerta juga penting dievaluasi, pucat sering kali disertai dengan rasa kantuk, iritabilitas,
dan toleransi aktivitas yang menurun. 6,7,8
Tabel 2.1. Anamnesis pada Pasien Pediatrik dengan Pucat
Keluhan utama :
Pucat
Lemah
Keluhan tambahan :
Nyeri kepala
Pusing berputar
Pingsan
Demam
Menggigil
Nyeri perut
Distensi
Urin berwarna seperti teh
Mudah lelah
Muncul lebam
Perdarahan mukosa (gusi, epistaksis)
Kuning pada kulit atau mata
8

Diare
Pembesaran kelenjar di leher, ketiak, atau lipat
paha
Riwayat trauma
Riwayat perdarahan
Pola makan (makanan apa saja yang dikonsumsi)
Pola menstruasi
Riwayat penggunaan obat-obat
Riwayat operasi
Riwayat keluhan serupa pada keluarga
Riwayat kuning pada saat lahir atau pada anggota
keluarga lainnya
Sumber : Bajaj, Hambridge, Kerby, Nyquist. Bermans Pediatric Decision Making. 5th edition.
Elvisier. 2011.

Secara klinis, pucat disebabkan oleh anemia yang bermakna, yaitu kadar hemoglobin di
bawah 7-8 g/dl yang bergantung dengan keadaan dan onset penyakit. 2 Pucat dapat dinilai
dari pemeriksaan fisik, yaitu dengan menilai beberapa bagian tubuh, seperti lidah,
konjungtiva, telapak tangan dan kaki, nail beds, mukosa oral, palatum mole, dan warna
kulit secara keseluruhan. Warna kulit normal seseorang mempengaruhi penilaian dari
pucat, sedangkan konjungtiva, nail beds, dan garis telapak tangan dapat digunakan pada
seluruh ras. Gambaran pucat pada konjungtiva, lidah, telapak tangan, atau nail beds
memiliki sensitivitas 93% dan spesifisitas 57% untuk mendiagnosis anemia dengan kadar
hemoglobin kurang dari 5 g/dl, dan semakin menurun sensitivitas-spesifitasnya dengan
kadar hemoglobin yang semakin meningkat.6,7,8 Anemia memiliki tingkatan berdasarkan
gambaran klinis, yaitu ringan dengan gambaran pucat pada konjungtiva dan/atau membran
mukosa, sedang disertai dengan pucat pada kulit, dan berat dimana ketiganya disertai
dengan pucat pada garis-garis telapak tangan.9

Tabel 2.2. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Pediatrik dengan Pucat


Tanda-tanda vital :
Tekanan darah
Laju nadi
Laju napas
Suhu
Status kardiovaskular
Antropometri
Berat badan
Panjang/tinggi badan
Lingkar kepala
Iritabel
Letargi
Inspeksi :
Pucat
Ikterik
Ptecchiae
Hematoma
Frontal bossing
Glositis
Koilonikia
Palpasi :
Edema
Limfadenopati
Hepatomegali
Splenomegali
Auskultasi :
Murmur sistolik
Sumber : Bajaj, Hambridge, Kerby, Nyquist. Bermans Pediatric Decision Making. 5th edition. Elvisier.
2011.

Langkah selanjutnya adalah pemeriksaan darah lengkap disertai hitung jenis, retikulosit,
dan apusan darah tepi yang dilakukan sebagai langkah awal untuk menentukan apakah
pucat berasal dari kelainan hematologik atau bukan. Penilaian anemia dapat dilakukan
berdasarkan kadar hemoglobin dan hematokrit yang lebih rendah dari normal berdasarkan
usia dan jenis kelamin. Rentang normal hemoglobin dan hematokrit bervariasi menurut
kelompok usia dan jenis kelamin, dapat dilihat dalam tabel 2.3.

10

Tabel 2.3 Rentang normal hemoglobin dan hematokrit menurut kelompok usia dan jenis
kelamin

Sumber : Kliegman, Stanton, St.Geme, Schor. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th Edition. Elvesier.
Philadephia: 2016.

Pada keadaan yang menimbulkan pucat, yaitu anemia, kadang bersifat asimtomatik tetapi
tidak jarang ditemukan gejala lain turut muncul sebagai metode kompensasi tubuh dari
penurunan kadar hemoglobin atau penurunan perfusi jaringan, antara lain iritabilitas,
ikterik, takikardia, takipnea, sesak napas, atau palpitasi. Sedangkan anemia yang bersifat
kronik dapat menimbulkan gejala seperti glositis, murmur, dan hambatan pertumbuhan,
walau pun jarang ditemukan pada negara-negara berkembang. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan selain kadar hemoglobin, pemeriksaan kadar leukosit dan trombosit
perlu dilakukan untuk mengeksklusi kelainan darah yang bersifat aplastik. Untuk
mengkonfirmasi, dapat dilakukan pemeriksaan kadar retikulosit. Selain itu, kadar
hematokrit dan total eritrosit diperlukan untuk menghitung mean capsular volume, yaitu
rerata volume sel darah merah yang mendeskripsikan ukuran dari eritrosit. Hasilnya dapat
diinterpretasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu normositik, mikrositik, dan makrositik,
dimana dapat memberikan penjelaskan dasar etiologi anemia.10

11

Tabel 2.4. Pemeriksaan Penunjang pada Pasien Pediatrik dengan Pucat


Darah lengkap :
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Hitung jenis
Reticulocyte count
Morfologi darah tepi :
Normositik normokrom
Mikrositik hipokrom
Makrositik
Albumin
Laktat dehidrogenase
SGOT
SGPT
PTT
aPTT
TT
Faktor-faktor pembekuan
Tes Coomb
ANA (Antinuclear antibody)
Bone marrow evaluation
Sumber : Bajaj, Hambridge, Kerby, Nyquist. Bermans Pediatric Decision Making. 5th edition. Elvisier.
2011.

2.2. Pendekatan Diagnosis Pucat


2.2.1. Anemia Defisiensi Besi
Malnutrisi adalah suatu kondisi tubuh yang mengalami kekurangan nutrisi atau
status gizi yang dimiliki berada di bawah standar rata-rata, baik berupa protein,
karbohidrat, dan kalori. Permasalahan ini sering terjadi terutama pada balita dan
merupakan salah satu penyebab kematian anak usia balita. Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007 sebanyak 5.4% balita di Indonesia menderita
malnutrisi dan 13.0% menderita gizi buruk. Masalah gizi utama di Indonesia
adalah kurang energi protein, kurang vitamin A, gangguan akibat kurang yodium,
dan anemia defisiensi besi.10
a. Definisi dan Epidemiologi
12

Anemia defisiensi besi adalah berkurangnya produksi sel darah merah karena
ketersediaan besi yang rendah dalam tubuh.11 Anemia defisiensi besi merupakan
masalah gizi yang paling sering ditemukan di seluruh dunia mencapai setengah
dari kasus anemia. Didapatkan sebanyak 30% populasi dunia menderita anemia
defisiensi besi, dan sebagian besar diantaranya tinggal di negara berkembang. Di
Amerika serikat, 9% anak-anak usia 9-24 bulan mengalami anemia, dan 30%
diantaranya akan menjadi anemia defisiensi besi.12 Insiden anemia defisiensi besi
di Indonesia 40.5% pada balita, 47.2% pada anak usia sekolah, serta 57.1% pada
remaja putri.10
b. Etiologi
Adapun etiologi anemia defisiensi besi antara lain sumber besi yang kurang dan
adanya kehilangan darah. Pada anak kurang dari 12 bulan anemia disebabkan
oleh asupan besi yang tidak adekuat biasanya pada usia 9-24 bulan. Pola diet yang
diobservasi pada anak dengan anemia defisiensi besi pada negara berkembang
ialah konsumsi berlebihan susu sapi pada anak yang seringkali overweight. Susu
sapi mengandung kadar besi yang rendah dan menyebabkan kehilangan darah dari
colitis karena protein dalam susu. Penyebab ini harus dipikirkan sebagai penyebab
semua kasus anemia defisiensi besi, terutama pada anak yang lebih besar dan
dewasa muda. Anemia defisiensi besi kronik dari perdarahan gastrointestinal
dapat disebabkan oleh adanya lesi di saluran gastrointestinal, seperti ulkus
peptikum, divertikulum Meckel, polip, hemangioma, atau inflammatory bowel
disease. Menurut kelompok usia, etiologi anemia defisiensi besi dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.

13

Tabel 2.5 Etiologi anemia defisiensi besi menurut kelompok usia


Usia

Etiologi

0-6 bulan

Prematur, konsumsi susu sapi berlebihan dalam jangka waktu lama


Prolonged breatfeeding tanpa suplemen besi, konsumsi susu sapi

6-12 bulan

berlebihan, diet rendah besi


Diet rendah besi
Menstruasi, pembatasan konsumsi makanan

1-5 tahun
Remaja

Sumber : Robert D. Frank R. Clinical report: Diagnosis dan prvention of iron deficiency and iron
deficiency anemia in infants and young children (0-3 years of age). American Academy of
Pediatrics. Oct 2010;126;1040.

Anak dapat mengalami kehilangan darah yang kronik oleh karena paparan
protein susu sapi. Reaksi gastrointestinal ini tidak berhubungan dengan kelainan
enzim di mukosa, seperti defisiensi laktase atau alergi susu yang berkaitan dengan
imunoglobbulin E. Anak yang bersangkutan biasanya mengalami anemia yang
lebih berat dan terjadi lebih cepat dibandingkan oleh karena asupan yang kurang.
Kehilangan darah yang terus terjadi di feses dapat dicegah dengan menyusui atau
dengan menunda pemberian susu sapi pada tahun pertama kehidupan dan
membatasi jumlahnya hingga kurang dari 24 oz/24 jam. Kehilangan darah yang
tidak terdeteksi seringkali berhubungan dengan diare kronik, dan pulmonary
hemosiderosis namun jarang. Di negara berkembang, infeksi cacaing pita, T,
trichiura, Plasmodium, dan H. Pylori seringkali menyebabkan defisiensi besi.
Penyakit Celiac dan giardiasis juga menghambat absorbsi besi.10

Tabel 2.6. Kadar Besi pada Susu


Jenis Susu

ASI

Kadar Besi
(per 100 mg)

0.03

Susu Formula (Lactogen)


0-6 bulan
6 bulan-1 tahun
1-3 tahun
3.7

3.6

4.5
14

Sumber : U.S. Department of Agriculture, Agricultural Research Service. USDA National Nutrient
Database for Standard Reference, Release 26 . Nutrient Data Laboratory Home Page, 2013.

c. Manifestasi Klinis
Sebagian besar anak dengan defisiensi besi tidak memiliki gejala dan seringkali
teridentifikasi saat pemeriksaan laboratorium saat berusia 12 bulan, atau
sebelumnya bila terdapat faktor risiko. Pucat merupakan gejala klinis utama
defisiensi besi namun tidak terlihat sampai kadar hemoglobin dibawah 7-8 g/dL.
Pucat paling mudah terlihat di telapak tangan, palmar crease, kuku atau
konjungtiva. Seringkali orang tua tidak menyadari adanya Pucat karena adanya
penurunan hemoglobin yang perlahan. Pada defisiensi besi ringan hingga sedang
(hemoglobin 6-10g/dL), mekanisme kompensasi terjadi (peningkatan 2.3
difosfogliserat dan pergeseran kurva disosiasi oksigen) dengan efektif sehingga
hanya sedikit keluhan yang tampak. Apabila hemoglobin dibawah 5 mg/dL,
timbul gejala letargi, iritabel, anoreksia, dan terdengar murmur sistolik. 10
Pada anemia defisiensi besi, gejala klinis terjadi secara bertahap.
Kekurangan zat besi di dalam otot jantung akan menyebabkan gangguan
kontraktilitas jantung. Pasien juga akan menunjukkan peningkatan ekskresi
norepinefrin, biasanya disertai dengan gangguan konversi tiroksin menjadi
triodotiroksin. Penemuan ini dapat menerangkan terjadinya iritabilitas, daya
persepsi dan perhatian yang berkurang, sehingga menurunkan prestasi belajar
anak. Anak yang menderita anemia defisiensi besi lebih mudah untuk terkena
infeksi karena defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan
berkurangnya sel limfosit T yang berperan penting dalam pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar mengonsumsi atau
mengunyah benda tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, dan
lain-lain timbul sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang
nyaman ini disebabkan karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada
mukosa mulut yang mengandung besi berkurang. Dampak kekurangan besi
tampak pula pada kuku berupa permukaan yang kasar, mudah terkelupas dan
mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok yang juga disebut koilonikia terdapat
pada 5.5% kasus. Pada saluran pencernaan, kekurangan zat besi dapat
menyebabkan gangguan dalam proses epitelisasi. Papil lidah akan mengalami
15

atrofi. Pada keadaan berat, lidah akan memperlihatkan permukaan yang rata
karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan stomatitis angularis dan
ditemui gastritis pada 75% kasus.13
d. Pemeriksaan Laboratorium
Pertama-tama, penyimpanan besi berkurang. Kekurangan besi ini digambarkan
oleh serum ferritin yang menurun, yang merupakan protein penyimpan besi, yang
menggambarkan perkiraan besi di dalam tubuh tanpa adanya penyakit inflamasi.
Kemudian, serum besi menurun, iron binding capacity (serum transferin)
meningkat, dan saturasi transferin menurun di bawah nilai normal. Pada saat besi
menurun, besi tidak dapat bergabung dengan protoporfirin untuk membentuk
hem. Free erythrocyte protoporphyrin terakumulasi dan sintesis hemoglobin
terganggu. Pada titik ini defisiensi besi akan menjadi anemia defisiensi besi.
Dengan hemoglobin yang menurun pada sel, ukuran sel darah merah menjadi
lebih kecil dan bentuknya bervariasi. Variasi sel darah merah dinilai degan
meningkatnya red cell distribution width. Hal ini diikuti dengan penurunan mean
corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular hemoglobin (MCH).
Perubahan pada MCV membutuhkan standar sesuai usia untuk mengidentifikasi
mikrositosis yang dapat dilihat pada Tabel 2.3. Jumlah sel darah merah berkurang.
Persentase retikulosit bisa didapatkan normal atau meningkat, namun jumlah
retikulosit absolut menggambarkan respon yang tidak mencukupi derajat anemia.
Pemeriksaan apusan darah tepi menunjukkan sel darah merah yang mikrositik
hipokrom dengan ukuran yang bervariasi. Sel berbentuk eliptogenik atau cigarshaped seringkali terlihat. Jumlah sel darah putih dalam batas normal namun
trombosit terkadang dapat meningkat. Bisa ditemukan trombositopenia yang
seringkali menimbulkan keraguan akan diagnosis kegagalan sumsum tulang.
Pemeriksaan occult blood pada feses harus dilakukan untuk menyingkirkan
kehilangan darah sebagai penyebab anemia defisiensi besi. Berikut ini merupakan
spektrum status besi pada pemeriksaan laboratorium.

16

Gambar 2.1 Spektrum status besi


Sumber : Robert D. Frank R. Clinical report: Diagnosis dan prvention of iron deficiency and iron
deficiency anemia in infants and young children (0-3 years of age). American Academy of Pediatrics. Oct
2010;126;1040.

17

Tabel 2.7 Perbandingan harga pemeriksaan laboratorium


Pemeriksaan

Atma Jaya

Prodia

Darah lengkap

Rp75.000

Rp100.000

Darah rutin

Rp65.000

Rp83.000

Hb

Rp25.000

Rp62.000

Ht

Rp25.000

(termasuk dalam darah lengkap)

Morfologi darah tepi

Rp150.000

Rp176.000

Serum iron

Rp80.000

Rp139.000

TIBC

Rp90.000

Rp132.000

Ferritin

Rp225.000

Rp246.000

MCV

Rp25.000

(termasuk dalam darah lengkap)

MCH

Rp25.000

(termasuk dalam darah lengkap)

MCHC

Rp25.000

(termasuk dalam darah lengkap)

Dugaan diagnosis anemia defisiensi besi seringkali dibuat berdasarkan


hasil pemeriksaan darah lengkap yang menunjukkan adanya anemia mikrositik
dengan distribusi sel darah merah yang luas, jumlah yang menurun, jumlah sel
darah putih yang normal, dan trombosit yang normal atau meningkat.
Pemeriksaan laboratorium lainnya, seperti penurunan serum feritin, penurunan
serum iron, dan peningkatan total iron binding capacity tidak diperlukan kecuali
pada kondisi anemia berat dimana dibutuhkan diagnosis yang cepat, terdapat
faktor klinis yang mengarah kepada komplikasi, atau anemia yang tidak
membeirkan respon terhadap terapi besi. Peningkatan hemoglobin 1 g/dL
seteleh satu bulan terapi besi merupakan cara yang paling praktis untuk
menentukan diagnosis. Berikut ini merupakan bagan alur diagnosis anemia
defisiensi besi.10

18

Gambar 2.2 Alur diagnosis anemia defisiensi besi


Sumber : Robert D. Frank R. Clinical report: Diagnosis dan prvention of iron deficiency and iron deficiency
anemia in infants and young children (0-3 years of age). American Academy of Pediatrics. Oct
2010;126;1040.

Diagnosis defisiensi besi tanpa anemia merupakan hal yang tidak mudah. Serum
ferritin merupakan pemeriksaan yang kadarnya meningkat dengan pemeriksan Creactive Protein (CRP) untuk mengidentifikasi negatif palsu karena inflamasi
yang terjadi bersamaan. Deteksi peningkatan reseptor transferin dan penurunan
retikulosit saat ini sering digunakan karena pemeriksaannya sudah lebih mudah
dilakukan. 10
e. Diagnosis Banding
Penyebab anemia mikrositik lain yaitu talasemia dan , serta hemoglobinopati
lainnya, termasuk hemoglobin E dan C. Anemia karena inflamasi biasanya
normositik namun pada beberapa kasus ditemukan bentuk mikrositik. Keracunan
dapat menyebabkan anemia mikrositik, namun lebih sering anemia mikrositik
karena

defisiensi

besi

menyebabkan

pica

dan

keracunan.

Tabel

1.2

membandingkan penyebab anemia mikrositik. Meskipun trombosit bisa


didapatkan abnormal, namun jumlah leukosit dan neutrofil didapatkan normal.10
Tabel 2.8. Pemeriksaan laboratorium anemia mikrositik

19

Sumber : Kliegman, Stanton, St.Geme, Schor. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th Edition.
Elvesier. Philadephia: 2016.

2.2.2.

Pencegahan
Anemia defisiensi besi paling baik dicegah untuk menghindari manifestasi
sistemik dan anemia. Menyusui harus dianjurkan dengan suplemmentasi besi pada
usia 4 bulan. Infant yang tidak diberikan ASI diberikan formula besi yang
difortifikasi (12 mg besi per liter) pada tahun pertama, kemudian susu sapi
dibatasi 20-24 oz per harinya. Tindakan ini mendorong konsumsi makanan yan
kaya akan besi dan mencegah kehilangan darah oleh susu sapi.10
Bayi prematur (kurang lebih 37 minggu gestasi) yang diberikan ASI perlu
diberikan suplemen besi 2 mg/kg per hari mulai dari bulan pertama hingga bulan
ke-12. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian makanan komplemen yang
difortifikasi. Bayi prematur yang diberikan susu formula prematur atau matur
akan mendapatkan 1.8 2.2 mg/kg per harinya dengan asumsi asupan formula
150 ml/kg per hari. Meskipun sudah diberikan formula yang mengandung besi,
14% bayi dapat mengalami defisiensi besi pada usia 4 minggu 8 bulan. Oleh
karena itu, bayi prematur yang mendapatkan formula membutuhkan tambahan
suplemen besi.15
Bayi yang lahir cukup bulan biasanya memiliki persediaan besi yang
cukup hingga usia 4 sampai 6 bulan. Bayi yang lahir cukup bulan ini memiliki
hemoglobin yang dan volume sel darah merah yang tinggi dibandingkan dengan
proporsi tubuhnya. Pada beberapa bulan awal kehidupan akan terjadi penurunan
fisiologis hemoglobin dan volume darah. Oleh karena itu dianggap bayi yang
diberikan ASI hanya membutuhkan besi yang sedikit. World Health Organization
(WHO) menganjurkan ASI diberikan selama 6 bulan dan American Academy of
Pediatrics (AAP) juga merekomendasikan ASI eksklusif selama minimal 4 bulan
namun lebih baik 6 bulan. ASI eksklusif selama lebih dari 6 bulan berhubungan
dengan defisiensi besi pada usia 9 bulan. Anjuran ASI eksklusif ini tidak termasuk
20

untuk bayi dengan persediaan besi rendah seperti pada bayi dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) dan bayi dengan ibu diabetes.15
Apabila tindakan pencegahan tidak berhasil, skrining membantuk
mencegah terjadinya anemia berat. Penampisan rutin menggunakan hemoglobin
dan hematokrit pada bulan ke-12, atau lebih awal pada bulan ke-4 apabila anak
memiliki risiko tinggi defisiensi besi.10 Anjuran dosis dan lama pemberian
suplementasi besi menuru kelompok usia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

21

Tabel 2.9 Suplementasi besi menurut usia

Sumber: Ikatan Doketr Anak Indonesia. Suplementasi besi untuk anak. 2011. Badan
penerbit IDAI.

2.2.3.

Tata Laksana
Bila diagnosis defisiesi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus segera
dimulai untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Pengobatan terdiri atas
pemberian preparat besi secara oral berupa garam fero (sulfat, glukonat, fumarat,
dan lain-lain), pengobatan inii tergolong mudah dan mudah dibandingkan dengan
cara lain. Pada bayi dan anak, terapi besi elemental diberikan dengan dosis 3-6
mg/kg/hari dibagi dalam dua dosis, 30 menit sebelum sarapan pagi dan makan
malam; penyerapan akan lebih sempurna jika diberikan bersama asam askorbat
atau asam suksinat. Bila diberikan setelah makan atau sewaktu makan, penyerapa
akan berkurang hingga 40-50%. Namun mengingat efek samping pengobatan besi
secara oral berupa mual, muntah, rasa tidak nyaman di ulu hati, dan konstipasi,
maka untuk mengurangi efek samping tersebut preparat besi diberikan segera
setelah makan. Penggunaan secara intramuskular atau intravena berupa besi
dextran dapat dipertimbangkan jika respon pengobatan oral tidak berjalan dengan
baik, misalnya karena keadaan pasien tidak dapat mnerima secara oral, kehilangan
besi yang cepat tidak dapat dikompensasi dengan pemberian oral, atau gangguan
saluran cerna, misalnya malabsorpsi. Cara pemberian parenteral jarang digunakan
karena dapat memberikan efek samping berupa demam, mual, urtikaria, hipotensi,
nyeri kepala, lemas, atralgia, bronkospasme sampai reaksi anafilaktik. Respon
22

pengobatan mula-mula tampak pada perbaikan besi intraseluler dalam waktu 1224 jam. Hiperplasi seri eritropoitik dalam sumsum tulang terjadi dalam waktu 3648 jam yang ditandai dengan retikulositosis di darah tepi dalam waktu 48-72 jam
yang mencapai titik puncak dalam 5-7 hari. Dalam 4-30 hari setelah pengobatan
didapatkan peningkatan kadar hemoglobin dan cadangan besi terpenuhi 1-3 bulan
setelah pengobatan. Untuk menghindari adanya kelebihan besi maka jangka
waktu terapi tidak boleh lebih dari 5 bulan. Transfusi darah hanya diberikan
sebagai pengobatan tambahan bagi pasien anemia defisiensi besi dengan
hemoglobin 6 g/dl atau kurang karena pada hemoglobin tersebut risiko untuk
terjadinya gagal jantung besar dan dapat terjadi gangguan fisiologis. Transfusi
darah diindikasikan pula pada kasus yang disertai infeksi berat, dehidrasi berat
atau akan menjalani operasi besar/narkose. Pada keadaan yang disertai dengan
gangguan organ yang berfungsi dalam mekanisme kompensasi terhadap anemia
yaitu jantung dan atau paru, maka perlu dilakukan transfusi darah. Komponen
darah berupa suspensi eritrosit diberikan secara bertahap dengna tetesan lambat.11
Selain terapi besi, konseling juga dibutuhkan. Asupan susu yang
berlebihan terutama susu sapi harus dibatasi. Defisiensi besi pada perempuan
dewasa muda ditangani dengan pemberian besi dengan terapi hormonal. 6 Untuk
bayi cukup bulan yang diberikan susu formula, kadar besi yang difortifikasi untuk
mencegah defisiensi besi masih kontroversial. Menurut AAP formula yang
mengandung 12 mg/L dikatakan aman digunakan.15
Apabila anemia ringan, pemeriksaan laboratorium diulang 4 minggu
setelah terapi dimulai. Pada saat itu hemoglobin biasanya sudah meningkat 1-2
g/dL. Pada anemia berat, konfirmasi dilakukan dengan mengidentifikasi adanya
retikulositosis dalam 48-96 jam setelah terapi. Hemoglobin kemudian akan
meningkat 0.1-0.4 mg/dL per harinya tergantung derajat anemia. Suplemen besi
diteruskan hingga 2-3 bulan setelah nilai normal tercapai.10
Respon terapi terhadap pemberian preparat besi dapat diamati secara klinis
atau dari pemeriksaan laboratorium. Evaluasi respon klinis atau dari pemeriksaan
laboratorium. Evaluasi respon terhadap terapi besi dengan melihat peningkatan
retikuloasit dan peningkatan hemoglobin atau hematokrit. Terjadi kenaikan
retikulosit maksimal 8-10% pada hari kelima sampai kesepuluh terapi sesuai
23

dnegan derajat anemia, diikuti dengan peningkatan hemoglobin (rata-rata 0.25-0.4


mg/dl/hari) dan kenaikan hematokrit (rata-rata 1% per hari) selama 7-10 hari
pertama. Kadar hemoglobin kemudian akan meningkat 0.1 mg/dl/hari sampai
mencapai 11 mg/dl dalam 3-4 minggu. Bila setelah 3-4 minggu tidak ada hasil
seperti yang diharapkan, tidak dianjurka melanjutkan pengobatan. Namun apabila
didapatkan hasil seperti yang diharapkan, pengobatan dilanjutkan kembali normal.
Alur evaluasi tatalaksana anemia defisiensi besi dpaat dilihat pada skema di
bawah ini.

24

Gambar 2.3. Alur Diagnosis Anemia Mikrositik Hipokrom


Sumber: Bajaj, Hambridge, Kerby, Nyquist. Bermans pediatric decision making. Fifth edition. 2011.

25

Gambar 2.4: Suplementasi besi dalam bentuk sirup

Gambar 2.5: Suplementasi besi dalam bentuk drop

2.2.4. Anemia Hemolitik


Hemolisis didefinisikan sebagai destruksi prematur sel darah merah.
Anemia terjadi apabila kecepatan destruksi melebihi kapasitas sumsum tulang
untuk memproduksi sel darah merah. Usia sel darah merah adalah 110-120 hari,
dan kurang lebih 0.85% sel darah merah digantikan setiap harinya. Saat terjadi
hemolisis, usia sel darah merah menjadi lebih pendek, jumlah menurun,
eritropoetin meningkat, dan stimulasi aktivitas sumsum tulang meningkat,
digambarkan dengan peningkatan retikulosit di dalam darah. Hemolisis perlu
dicurigai apabila reticulocyte count meningkat. Pemeriksaan reticulocyte count
digunakan untuk memgetahui seberapa retikulosit diproduksi oleh sumsum tulang
dan dilepaskan ke dalam sirkulasi. Indeks retikulosit disebut juga corrected
reticulocyte yaitu jumlahnya dibandingkan dengan hematokrit dan merupakan
indikator

aktivitas

eritropoiesis.

Indeks

retikulosit

>1.5

menandakan

meningkatnya produksi sel darah merah karena hemolisis atau kehilangan darah.
Reticulocyte count juga dapat meningkat pada kondisi kehilangan darah akut atau
setelah terapi pengganti besi, vitamin B12, atau defisiensi folat.10

26

Anemia hemolitik diklasifikasikan menjadi selular dan ekstraselular.


Anemia hemolitik selular disebabkan oleh kelainan intrinsik membran, enzim,
atau hemoglobin, sedangkan ekstraselular disebabkan oleh antibodi, faktor
mekanik, atau plasma. Sebagian besar defek selular bersifat diturunkan dan
sebagian besar kelainan ekstraselular didapat.10
Pasien biasanya mengeluh sesak atau mudah lelah. Urin berwarna gelap,
dan terkadang nyeri tulang belakang pada pasien dengan hemolisis intravaskular.
Pada pemeriksaan fisik kulit tampak jaundice atau pucat. Takikardia dengan
murmur bisa ditemukan. Limfadenopati dan gangguan limfoproliferatif atau
keganasan, pembesaran limpa menggambarkan hipersplenism yang menyebabkan
hemolisis.11
Bersamaan dengan anemia, karakteristik laboratorium yang didapatkan
adalah retikulositosis, yang merupakan respon normal sumsum tulang terhadap
kehilangan darah pada sirkulasi perifer. Tanpa adanya gangguan sumsum tulang,
retikulositosis harus diobservasi dalam 3 sampai 5 hari setelah penurunan
hemoglobin. Pada sebagian kecil pasien, sumsum tulang dapat mengkompensasi
dalam jangka waktu yang lama, menghasilkan kadar hemoglobin yang normal.
Anemia hemolitik biasanya normositik, meskipun retikulositosis dapat mengarah
kepada peningkatan mean corpuscular volume (MCV), karena MCV retikulosit
150 fL.
Destruksi sel darah merah ditandai dengan peningkatan bilirubin indirek,
laktat dehidrogenase, dan penurunan haptoglobulin. Laktat dehidrogenase dan
hemoglobin dilepaskan ke dalam sirkulasi apabila sel darah merah dihancurkan.
Hemoglobin diubah menjadi bilirubin indirek di limpa atau berikatan dengan
haptoglobulin di plasma. Kompleks hemoglobin-haptoglobulin dihancurkan di
hepar, menyebabkan kadar haptoglobulin yang rendah dan tidak terdeteksi.
Beberapa etiologi anemia hemolitik yang sering didapatkan pada anak
ialah inkompatibilitas ABO, defisiensi enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase
(G6PD), dan infeksi.
a. Hemolytic Disease of the Newborn
Inkompatibilitas ABO merupakan salah satu penyebab hemolytic disease
of the newborn (HDN) dan merupakan faktor risiko hiperbilirubinemia pada
neonatus. Neonatus cukup bulan dengan inkompatibilitas ABO memiliki risiko
27

2.9 4.2 kali lebih besar mengalami hiperbilirubinemia pada hari pertama
kehidupan. Kondisi ini dapat menyebabkan ensefalopati hiperbilirubinemia.16
Saat kehamilan, antibodi ibu dapat melewati sirkulasi plasenta dan
memasuki sirkulasi janin, yaitu imunoglobulin G. Hal ini dibutuhkan karena pada
saat baru lahir neonatus memiliki sistem imun yang primitif, dan dengan adanya
antibodi maternal memungkinankan neonatus untuk bertahan selagi terjadi
maturasi sistem imun. Namun proteksi ini menyebabkan adanya antibodi aktif
terhadap sel darah merah janin.17
Manifestasi klinis dapat berupa akut sementara atau kronik. Gejala akut
berlangsung selama 3-6 bulan dan sering terjadi pada anak usia 2-12 tahun. Hal
ini sering didahului oleh infeksi, biasanya infeksi saluran pernafasan. Onset gejala
bersifat akut, dengan keluhan lemah, pucat, ikterik, demam, hemoglobinuria, atau
gejala lelah dan pucat yang muncul perlahan dan bertahap. Limpa biasanya
membesar dan merupakan tempat destruksi utama dari imunoglobulin G (IgG)
yang melapisi sel darah merah. Bentuk akut seringkali merespon terhadap terapi
glukokortikoid, memiliki angka mortalitas yang rendah, dan pemulihan dapat
terjadi sempurna. Gejala kronik, biasanya ditemukan pada anak usia >12 tahun.
Hemolisis dapat terjadi secara terus-menerus selama beberapa bulan bahkan
tahun. Kelainan lain pada elemen darah sering ditemukan dan respon terhadap
terapi glukokortikoid bervariasi dan tidak konsisten. Angka mortalitas 10% dan
kematian dapat terjadi karena kelainan sistemik lainnya. 10
Pada sebagian besar kasus, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
anemia yang bermakna (<6 mg/dL). Dapat ditemukan adanya kelainan berupa
sferositosis dan polukromatia yang menggambarkan respon retikulosit. Lebih dari
50% sel darah merah berupa retikulosit dan dapat ditemukan sel darah merah
berinti. Pada beberapa kasus jumlah retikulosit menurun, terutama pada tahap
awal. Leukositositosis sering ditemukan, sementara trombosit biasanya dalam
rentang normal, meskipun terkadang terjadi immune trombocytopenic purpura
(Evans syndrome). Hasil pemeriksaan antiglobulin direk positif dan antibodi
bebas terkadang ditemukan di serum (Tes Coombs indirek). Komplemen terutama
C3b dapat ditemukan pada sel darah merah bersamaan dengan IgG.10

28

Transfusi hanya memberikan keuntungan sementara namun dapat


menyelamatkan nyawa pada kasus berat dengan menghantarkan oksigen hingga
didapatkan efek terapi. Penting untuk mengidentifikasi golongan darah ABO
untuk mencegah hemolisis karena transfusi. Darah harus diperiksa alloantibodi
yang dapat menyebabkan hemolisis dari sel darah merah yang ditransfusi. Pasien
dengan derajat ringan dan hemolisis terkompenasi tidak membutuhkan terapi.
Apabila hemolisis berat dan menyebabkan gejala anemia yang signifikan maka
dapat diberikan glukokortikoid. Glukokortikoid menurunkan kecepatan hemolisis
dengan menghambat fungsi makrofag, menurunkan produksi autoantibodi, dan
meningkatkan pemisahan antibodi dari sel darah merah. Prednison diberikan
dengan dosis 2 mg/kg/24 jam selama 1-3 minggu hingga kadar hemoglobin
mencapai lebih dari 10 g/dl.31 Pada kasus berat dapat ditingkatkan hingga 6
mg/kg/24 jam. Terapi dilanjutkan hingga kecepatan hemolisis berkurang dan obat
diturunkan bertahap. Apabila terjadi relaps maka pengobatan dilanjutkan. Tes
Coombs direk biasanya tetap positif bahkan setelah hemoglobin kembali normal.
Apabila tes Coombs direk negatif maka aman untuk menghentikan pemberian
prednisone. Apabila masih didapatkan anemia berat maka perlu diberikan
imunoglobulin intravena. Rituximab menargetkan limfosit B dan berguna pada
kasus kronik yang refrakter terhadap terapi konvensional. Plasmafaresis telah
digunakan untuk kasus refrakter namun tidak membantu. Splenektomi dikatakan
menguntungkan namun meningkatkan risiko infeksi terutama pada pasien < 6
tahun. Profilaksis dengan vaksin (pneumokokal, meningokokal, dan H. Influenza
b) sebelum splenektomi dengan penisilin oral setelah splenektomi merupakan
indikasi.10
b. Defisiensi Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD)
Defisiensi G6PD merupakan kelainan enzim jalur hexose monophosphate
yang paling sering. Kelainan ini memiliki dua sindroma klinis, yaitu anemia
hemolitik episodik dan anemia hemolitik kronik non spherotik. Gejala yang
paling sering ditemukan ialah neonatal jaundice dan episode anemia hemolitik
akut, yang diinduksi oleh infeksi, obat-obatan tertentu, dan kacang fava namun
jarang. Kelainan ini didapatkan pada lebih dari 400 juga individu di seluruh dunia,
dengan prevalensi global 4.9%. 10
29

Sebagian besar individu dengan defisiensi G6PD tidak menampilkan


gejala, kecuali jika terpapar oleh infeksi, obat-obatan atau mengonsumsi kacang
fava. Biasanya hemolisis terjadi 24-48 jam setelah pasien mengonsumsi substansi
yang mengandung oksidan. Pada kasus berat, menyebabkan jaundice dan
hemoglobinuria, yang nantinya kadar hemoglobin akan turun dengan cepat. Obatobatan yang dapat menginduksi hemolisis antara lain aspirin, sulfonamid,
rasburicase, dan anti-malaria seperti primakuin. Kaca fava mengandung divicine,
isouramil, dan convicine yang menyebabkan produksi hidrogen peroksida dan
produk oksigen reaktif lainnya. Defisiensi G6PD dapar menyebabkan hemolisis
pada masa neonatal, berupa hemolisis spontan dan hiperbilirubinemia.10
Onset dari hemolisis akut biasanya menyebabkan penurunan kadar
hemoglobin dan hematokrit. Apabila berat maka haptoglobulin akan dipecah dan
hemoglobin bebas akan didapatkan di plasma dan kemudian terdapat dalam urin.
Pemeriksaan preparat sel darah merah menunjukkan badan adanya badan Heinz.
Badan inklusi tidak dapat terlihat pada pewarnaan Wright. Sel yang mengandung
badan inklusi ini hanya terdpat dalam 3-4 hari pertama sakit karena akan
dieliminasi oleh tubuh dengan cepat.10

Gambar 2.6. Badan Heinz pada Anemia Defisiensi G6PD


Diagnosis ditegakkan berdasarkan penurunan aktivitas langsung dan tidak
langsung dari G6PD di sel darah merah. Pemerikaan yang dilakukan untuk
mendiagnosis defisiensi G6PD adalah fluorescent spot test dan G6PD secara
kuantitatif. Pemeriksaan fluorescent spot test sering disebut dengan tes Beutler.
The International Committee for Standarization in Haematologi
merekomendasikan fluorescent spot test sebagai tes skrining untuk defisiensi
G6PD. Skrining defisiensi G6PD diindikasikan pada pasien yang dicurigai terdpat
30

riwayat keluarga atau pada daerah dengan prevalensi tinggi defisiensi G6PD.
Hasil tes yang positif harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan kuantitatif. Analisis
molekuler dapat digunakan untuk skrining populasi. dapat juga dilakukan
elektroforesis dengan analisis molekular. Pada neonatus, perlu dicurigai adanya
defisiensi G6PD apabila didapatkan hiperbilirubinemia disertai penurunan
borderline aktivitas G6PD. 10
Tes ini merupakan pemeriksaan semi kuantitatif yang mendeteksi
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) dari nicotinamide
adenine dinucleotide phosphate (NADP). Pemeriksaan ini positif jika darah tidak
memberikan flouresensi di bawah sinar ultraviolet. Untuk menegakkan diagnosis
pasti

perlu

dilakukan

pemeriksaan

kuantitatif

spectrophometric

assay.

Pemeriksaan ini dilakukan pada saat pasien dalam kondisi remisi karena dapat
menimbulkan negatif palsu pada saat hemolisis akut.
Individu yang berada dalam etnis tertentu yang berisiko tinggi harus
melakukan pemeriksaan sebelum mengonsumsi obat-obatan yang diberikan.
Aspirin yang diberikan pada demam rematik ialah 60-100 mg/kg/24 jam dapat
menyebabkan reaksi hemolitik. Neonatus dengan neonatal jaundice yang
merupakan etnis berisiko tinggi juga perlu melakukan pemeriksaan defisiensi
enzim G6PD. Apabila terjadi reaksi hemolitik, maka dilakukan terapi suportif,
yaitu transfusi darah, meskipun reaksi akan membaik apabila pemberian agen
oksidan yang bersangkutan dihentikan.10

2.2.5. Leukemia
a. Definisi dan Epidemiologi
Leukemia merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada anak,
mencapai 31% dari seluruh keganasan yang terjadi pada anak kurang dari 15
tahun. Tiap tahunnya terdapat 3.250 anak di bawah 15 tahun yang didiagnosis
dengan leukemia. Di Amerika Serikat, insiden leukemia tiap tahunnya sebanyak
4.5 kasus per 100.000 anak. Acute limphoblastic leukemia (ALL) didapatkan pada
77% kasus, acute myelogenous leukemia (AML) 11%, chronic myelogenous
leukemia (CML) 2-3% dan juvenile myelomonocytic leukemia (JMML) 1-2%.

31

Leukemia didefinisikan sebagai kelompok keganasan dimana terdapat kelainan


genetik pada sel hematopoietik yang menyebabkan proliferasi abnormal sel.10
b. Acute Lymphogenic Leukemia (ALL)
ALL memiliki puncak angka kejadian pada usia 2-3 tahun dan lebih sering
terjadi pada anak laki-laki. Etiologi ALL masih belum diketahui, meskipun
beberapa faktor genetik dan lingkungan berhubungan dengan leukemia. Sebagian
besar kasus ALL dianggap disebabkan oleh mutasi somatik post konsepsi pada sel
limfoid. Paparan terhadap radiasi in utero dan masa kanak-kanak berhubungan
dengan meningkatnya insiden ALL. Faktor lain yang telah diidentifikasi
berhubungan dengan B-ALL ialah virus Epstein-Barr dan infeksi virus.10
Gejala awal dari ALL seringkali non spesifik dan singkat. Gejala yang
ditemukan dapat berupa anoreksia, mudah lelah, malaise, dan low grade fever
yang bersifat intermittern. Nyeri pada tulang dan sendi terutama ekstrimitas
bawah dapat juga ditemukan. Keluhan jarang dialami selama beberapa bulan, dan
dapat terlokalisir pada tulang dan sendi serta dapat disertai pembengkakkan sendi.
Seiring dengan perjalanan penyakit, tampak tanda-tanda kegagalan sumsum
tulang yang lebih nyata, yaitu Pucat, mudah lelah, tidak dapat mentoleransi
aktivitas berat, memar, atau epistaksis dan juga demam yang dapat disebabkan
oleh infeksi atau penyakit itu sendiri. Infiltrasi organ dapat menyebabkan
limfadenopati, hepatosplenomegali, pembesaran testis, atau keterlibatan sistem
saraf pusat. Gagal nafas dapat disebabkan karena anemia berat atau kompresi
saluran nafas oleh kelenjar getah bening mediastinum.10
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pucat, lesu, lesi kulit berupa ptechiae
atau purpura, atau perdarahan mukosa yang menggambarkan kegagalan sumsum
tulang. Sifat proliferatif dari penyakit ini dapat memberikan manifestasi berupa
limfadenopati, splenomegali, atau hepatomegali namun jarang. Pada pasien
dengan nyeri tulang dan sendi, dapat disertai nyeri pada tulang disertai
pembengkkan dan efusi sendi. Dapat ditemukan namun jarang, tanda-tanda
keterlibatan sistem saraf pusat berupa peningkatan tekanan intrakraial, seperti
papiledema, perdarahan retina, serta paresis nervus kranialis. Depresi pernafasan
dapat terjadi sehubungan dengan anemia namun dapat terjadi pada pasien dengan

32

gangguan saluran nafas obstruktis sebagai akibat dari masa mediastium (timus
atau kelenjar getah bening)10
Tabel 2.10. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada ALL dan AML
Pemeriksaan
ALL

AML

Anamnesis
Anoreksia
Mudah lelah
Low grade fever
Nyeri tulang dan sendi
Memar
Epistaksis

Demam
Pucat
Nyeri tulang
Letargi
Mudah lelah
Sesak nafas
Mudah
memar
berdarah

Pemeriksaan Fisik
Pucat
Ptechiae/purpura
Perdarahan mukosa
Pucat
Limfadenopati
Pembengkakan sendi
Hepatosplenomegali
Gagal nafas
Tanda peningkatan tekanan
intrakranial
(papiledema,
perdarahan retina, dan paresis
nervus kranialis)
Nodul subkutaneus/ blueberry
muffin
Infiltrasi gingiva

dan

33

Gambar 2.7. Lesi Blueberry Muffin pada AML


Sumber :Pui CH. Childhood Leukemias. 3rd Edition. Cambridge. 2012.

c. Acute myeloblastic leukemia (AML), chronic myelogenous leukemia (CML), dan


juvenile myelomonocytic leukemia (JMML)
Gejala AML disebabkan oleh digantikannya sel sumsum tlang oleh sel
ganas dan menyebabkan kegagalan sumsum tulang. Pasien dengan AML dapat
memiliki gejala yang berhubungan dengan kegagalan sumsum tulang seperti pada
ALL. Gejala yang umum ditemukan ialah demam, nyeri tulang, letargi, lelah,
sesak nafas, pucat, sering infeksi, serta mudah memar dan berdarah. Gejala yang
ditemukan berbeda dengan gejala ALL, adanya nodul subkutaneus atau
blueberry muffin, inflitrasi gingiva, gejala dan tanda disseminated intravascular
coagulation (DIC), dan chloroma atau sarkoma granulositik.10
Gejala pada CML bersifat non spesifik dapat berupa mudah lelah, demam,
penurunan berat badan dan anoreksia. Dapat ditemukan splenomegali yang
menyebabkan adanya nyeri pada kuadran kanan atas. Diagnosis ditegakkan
dengan tinggi sel darah putih dengan sel myeloid pada semua fase diferensiasi
pada pemeriksaan darah perifer dan sumsum tulang, dikonfirmasi dengan
pemeriksaan sitogenik dan molekular yang mengidentifikasi adanya kromosom
Philadelphia dan BCR-ABL gene arrangement.10
Pasien

dengan

JMML

memberikan

manifestasi

berupa

ruam,

limfadenopati, splenomegali dan manifestasi perdarahan. Analisis darah tepi


menunjukkan peningkatan jumlah leukosit dengan meningkatnya monosit,
trombositopeni, dan anemia dengan adanya eritroblas.10
d. Diagnosis ALL
Diagnosis pada ALL dilakukan berdasarkan pemeriksaan sitomorfologis
dan sitokimia sumsum tulang dan pada kasus-kasus sulit dengan biopsi trephine
dan ditegakkan apabila didapatkan minimal 25% limfoblas di sumsum tulang.
Keterlibatan sistem saraf pusat didiagnosis dengan adanya sel blast di cairan
serebrospinal atau apabila dideteksi adanya infiltrat instraserebral pada
pemeriksaan radiologis

cross-sectional. Diagnosis awal dilengkapi oleh

34

pemeriksaan flowcytometry-based immunophenotyping untuk mendapatkan


informasi mengenai ekspresi sel blast.10
Diagnosis ALL dilakukan berdasarkan pemeriksaan darah tepi yang
menggambarkan kegagalan sumsum tulang. Anemia dan trombositopenia
biasanya ditemukan pada sebagian besar pasien. Sebagian besar pasien dengan
ALL

memiliki kadar leukosit <10.000. Apabila pemeriksaan darah tepi

memberikan kecurigaan leukemia, maka pemeriksaan sumsum tulang harus


segera diperiksa untuk menegakkan diagnosis. Penting untuk melakukan
pemeriksaan yang dibutuhkan untuk mengkonfirmasi diagnosis, yaitu aspirasi dan
biopsi sumsum tulang, flow cytometry, sitogenetik, dan pemeriksaan molekular.
ALL didiagnosis apabila ditemukan >25% sel sumsum tulang merupakan populasi
limfoblast. Pada leukemia meningeal ditemukan limfoblast dan leukosit yang
meningkat pada cairan serebrospinal. Staging lumbar puncture dapat dilakukan
bersamaan dengan dosis pertama kemoterapi intratekal apabila diagnosis pertama
ditegakkan berdasarkan evaluasi sumsum tulang.10
e. Diagnosis Banding
Diagnosis leukemia ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda anemia,
trombositopenia, dan peningkatan sel darah putih disertai adanya sel blast pada
apusan darah. Peningkatan laktat dehidrogenase seringkali merupakan petunjuk
diagnosis

ALL.

Apabila

hanya

didapatkan

pansitopenia

maka

perlu

dipertimbangkan anemia aplastik atau mielofobrosis.10


f. Tatalaksana
Tatalaksana standar mencakup kemoterapi selama 2-3 tahun dan sebagian
besar mencapai remisi pada akhir fase induksi. 6 Pada fase ini, terapi diberikan
selama 4 minggu dan terdiri dari vincristine, kortikosteroid seperti dexamethasone
atau prednisone, dan dosis tunggal asparginase. Tujuan dari terapi awal ini adalah
untuk menginduksi remisi dengan mengeradikasi 99% sel leukemik. Pada fase ini
digunakan 3 atau 4 obat, yaitu (1) vincristine, (2) glukokortikoid (prednison atau
deksametasone), ditambah (3) asparginase atau (4) anthracycline, atau keduanya.
Prednison merupakan kortikosterois pilihan, namun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa deksametasone merupakan obat sitotoksik yang lebih poten
dan memiliki penetrasi sistem saraf pusat yang lebih baik. Karena alasan ini,
35

beberapa kelompok telah beralih kepada glukokortikoid ini. Deksametasone


berhubungan dengan infeksi akut dan sekuele neurologis jangka panjang. Pasien
yang diberikan glukokortikoid juga memiliki risiko osteonecrosis atau avaskular
nekrosis (10 sampai 20% pada anak-anak dengan ALL diatas 10 tahun). Beberapa
antracycline telah digunakan pada tahap induksi.17
Fase kedua terapi adalah konsolidasi. Meskipun ahli onkologi setuju
bahwa fase terapi ini penting dalam terapi ALL, namun belum terdapat konsensus
yang mengatakan terapi terbaiknya. Regimen ini meliputi kombinasi vincristine,
mercaptopurine,

pegaspargase

atau

cyclophosphamide,

dan

cytarabine.

Kemoterapi intratekal diberikan berulang dengan pungsi lumbal. Berbagai


regimen meliputi 14-28 minggu dengan obat dan jadwal yang bervariasi
bergantung pada kelompok risiko pasien. Fase terakhir yaitu fase maintenance,
yang berlangsung selama 2-3 tahun, tergantung protokol yang digunakan. Pasien
diberikan mercaptopurine setiap hari dan metotreksat tiap minggunya, dengan
vincristine dan kortikosteroid intermittern. Berikut ini merupakan tabel obatobatan yang digunakan pada tatalaksana leukemia.17
Tabel 2.11 Agen antineoplastik yang digunakan pada pasien anak dengan ALL dan AML

Sumber : Haidar C, Pauley J. Pediatric Leukemias. Pharmacotherapy Self Assessment Program, 6th edition.

2.2.6. Kehilangan Darah


36

Pada keadaan tubuh kehilangan volume darah terjadi gangguan perfusi darah ke
permukaan kulit sehingga menimbulkan pucat. Kehilangan volume darah dapat
terjadi melalui perdarahan yang bersifat akut atau pun kronik. Penyebab perdarahan
yang

paling

sering

pada

anak

adalah

trauma

dan

perdarahan

traktus

gastrointestinal.8,18
Trauma. Mekanisme trauma yang paling sering terjadi pada anak adalah
kecelakaan kendaraan bermotor, tenggelam, kecelakaan yang berhubungan dengan
api, dan jatuh. Kecelakaan kendaraan bermotor terjadi sekitar 50% dari seluruh jenis
trauma, dimana banyak terjadi pada anak usia kurang dari 14 tahun. 28 Pada tahun
1998 di Amerika Serikat, 1.500 anak berusia kurang dari 20 tahun meninggal akibat
tenggelam, hingga dianggap sebagai salah satu penyebab utama sakit dan kematian
anak di dunia.29 Selain menyebabkan kematian, trauma bisa menyebabkan disabilitas,
baik sementara atau permanen. Penatalaksanaan yang cepat dan tepat dapat
mencegah kecacatan bahkan kematian, serta mengurangi pengeluaran keluarga untuk
berobat akibat kecacatan yang terjadi setelah trauma. Secara epidemiologi anak lakilaki usia kurang dari 18 tahun memiliki laju mortalitas dan risiko trauma yang lebih
besar karena perilakunya yang lebh agresif dan terpapar oleh jenis olahraga yang
lebih ekstrem. Protokol triage, tata laksana, dan transfer pasien trauma pediatri
menentukan keluaran. Status perkembangan anak berhubungan dengan mekanisme
trauma. Trauma kepala, baik hanya berdiri sendiri atau disertai dengan trauma di
bagian tubuh lainnya, merupakan trauma yang berat, memiliki angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Trauma dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah bagian
tubuh yang cidera (lebih dari sama dengan satu), derajat keparahan (ringan, sedang,
berat), mekanisme cidera (tumpul atau tajam). Pada anak, trauma tumpul merupakan
mayoritas mekanisme trauma, sedangkan pada remaja adalah trauma tajam dengan
fatalitas yang lebih tinggi. 7,19
Perdarahan akibat trauma dapat dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan eksternal dan
perdarahan internal. Mekanisme trauma mempengaruhi perdarahan apa yang terjadi,
baik trauma tumpul atau trauma tajam. Trauma yang paling sering terjadi dan
menyebabkan kematian pada anak antara lain trauma kepala, trauma dada, dan
trauma abdomen. Pada pasien anak dengan trauma kepala terdapat banyak hal yang
perlu diobservasi. Beberapa penelitian menyatakan dengan observasi yang baik,
37

trauma kepala pada anak memiliki perbaikan yang cepat dan baik dibandingkan
dengan pada dewasa karena anak dengan trauma memiliki respon yang baik untuk
mempertahankan oksigenasi dan perfusi serebral. Oleh karena itu, mempertahankan
perfusi serebri dan mengeliminasi efek potensial lesi ekstrakranial. Kekerasan pada
anak merupakan peristiwa yang sering ditemukan pada anak yang berusia kurang
dari sama dengan 2 tahun dengan trauma kepala, sedangkan pada anak usia tiga
tahun atau lebih kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab tersering.19
Angka mortalitas dan morbiditas menurun dengan sistem trauma yang
komprehensif dan terkoordinasi dengan baik. Pada lokasi kejadian, paramedik harus
melakukan advanced life support yang diperlukan serta triage. Evaluasi pasien anak
dengan trauma dilakukan dengan melakukan asesmen efektivitas ventilasi (airway),
oksigenasi (breathing), dan perfusi (circulation), dilanjutkan dengan disabilitas dan
paparan (exposure), yang disebut dengan primary survey.10
Optimalisasi oksigenasi dan ventilasi saat menjaga cervical dari cidera yang lebih
lanjut adalah tujuan utama. Semua pasien trauma anak harus dianggap mengalami
cedera servikal sampai terbukti tidak, terutama pada anak dengan trauma tumpul
multipel.b,c Anak memiliki risiko cidera cervical yang lebih tinggi karena ukuran
kepala yang relatif lebih besar dengan gaya augmentasi fleksi-ekstensi, serta
memiliki otot-otot leher yang lebih lemah menjadi predisposisi cidera ligamen.
Immobilisasi perlu dilakukan untuk mencegah trauma tulang belakang yang lebih
lanjut dengan menggunakan stiff collar, head blocks, dan papan yang kaku.10
Obstruksi jalan napas akan menimbulkan snorring, gurgling, hoarseness, stridor,
dan/atau hilangnya bunyi napas. Hal ini lebih mudah terjadi pada anak karena anak
memiliki cavum oral dan cavum nasi yang lebih kecil, lidah yang secara proporsi
lebih besar dan jaringan limfoid yang lebih banyak, bukaan glotis yang lebih tinggi
dan lebih mengarah ke anterior, serta laryng dan trakea yang lebih sempit. Obstruksi
jalan napas lebih sering ditemukan pada trauma kepala berat dimana terjadi
penurunan tonus otot yang menyebabkan lidah terjatuh ke belakang dan mengoklusi
jalan napas. Tata laksana yang sesuai adalah jaw thrust without head tilt karena
meminimalisasi pergerakan dari vertebrae cervical. Penggunaan oropharyngeal
airway atau nasopharyngeal airway perlu pada anak yang tidak sadarkan diri.

38

Apabila teknik tersebut serta menyedot cairan di jalan napas masih tidak mengurangi
obstruksi, perlu dilakukan intubasi dengan pipa endotrakeal.10
Evaluasi pernapasan dilakukan dengan menghitung laju napas, inspeksi
pergerakkan rongga dada dengan menilai kesimetrisan gerakan napas, ekspansi
rongga dada dan penggunaan otot-otot napas tambahan, serta auskultasi suara napas
di kedua aksila. Selain itu, penilaian apakah terdapat sianosis atau tidak
menggunakan pulse oximetry. Indikasi bag-valve-mask ventilation dengan oksigen
100% adalah pernapasan yang tidak adekuat, yang kemudian dilanjutkan dengan
intubasi endotrakeal. Penyebab pernapasan yang tidak adekuat pada kasus trauma
antara lain tension pneumothorax, open pneumothorax, hemotoraks masif, dan
tamponade jantung. 10
Manifestasi klinis berupa takikardia merupakan respon awal dari hipovolemia.
Selain itu dapat ditemukan perubahan status mental, respiratory compromise, tidak
teraba di perifer, capillary kapiler, warna kulit yang pucat, dan hipotermia yang
dianggap sebagai tanda-tanda pertama pasien anak dengan trauma dan mudah untuk
dikenali.b,c Tata laksana yang di perlu diberikan adalah cairan isotonus kristaloid
seperti Ringer Laktat secara bolus sebanyak 20 ml/kgBB dengan tujuan mencapai
hemodinamik yang stabil dan mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat. Apabila
terdapat syok hemoragik yang gagal dengan resusitasi awal, dilakukan resusitasi
cairan disertai transfusi darah berupa packed red cells (PRC) 10 ml/kgBB dan
dievaluasi oleh dokter bedah apakah perlu tindakan pembedahan atau tidak.
Pencegahan terhadap hipertermia sangatlah penting dan memberikan kontrol nyeri,
yaitu dengan pemberian morfin 0.1 mg/kgBB atau dikombinasi dengan fentanyl 1
mcg/kgBB dan midazolam (0.5-1.0 mg/kgBB). Tata laksana definitif dilakukan pada
keadaan hipoksia, takikardia, hipotensi, dan hipotermia. 19
Status neurologis dinilai dengan menentukan tingkat kesadaran serta ukuran pupil
dan reaktivitasnya. Pemeriksaan kesadaran secara aktif menggunakan Pediatric
Glasgow Coma Scale, yang memiliki komponen pembukaan mata, respon verbal,
dan respon motorik, AVPU (Alert, responsive to Verbal commands, responsive to
Pain stimuli, or Unresponsiveness), dan Pediatric Trauma Score (PTS) dilakukan
untuk menilai kerentanan anak terhadap trauma melalui

berat

badan dan jalan napas.

Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial juga merupakan bagian dari penentuan


39

status neurologis. Hal ini penting terutama pada kasus cidera kepala. Manifestasi
peningkatan tekanan intrakranial antara lain perburukan neurologis yang progresif
dan tanda-tanda herniasi transtentorial. Apabila ditemuka, tata laksana hiperventilasi
harus segera dilakukan karena akan menurunkan tekanan intrakranial melalui
penurunan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Pemberian mannitol juga dapat
menurunkan tekanan intrakranial karena bersifat diuretik osmotik tetapi harus
diberikan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan hipovolemia.10
Kontrol paparan dan lingkungan setelah trauma penting untuk mencegah
hipotermia, terutama pada anak karena perbandingan luas permukaan tubuh dengan
massa tubuh yang lebih besar sehingga lebih mudah kehilangan panas. Hal yang
dapat dilakukan adalah membuka seluruh pakaian, disarankan dengan metode
menggunting karena meminimalisir pergerakkan dari pasien. Selain itu, dapat
dilakukan penghangatan menggunakan selimut dan cairan intravena yang sudah
dihangatkan atau meletakkan anak di bawah radiant warmer. Evaluasi pada pasien
trauma dilanjutkan dengan secondary survey, yaitu melakukan pemeriksaan fisik
lengkap dari ujung kepala hingga ujung kaki untuk mencari bagian-bagian tubuh
yang terkena cidera.10
Perdarahan gastrointestinal. Penyebab perdarahan kedua tersering pada anak
adalah perdarahan gastrointestinal. Manifestasinya bervariasi, mulai dari darah segar
yang muncul setelah mengeluarkan feses yang keras, kumpulan gumpalan darah
yang keluar bersama dengan muntah atau feses normal, diare yang disertai dengan
darah, hematemesis, hematochezia, atau melena. Pada kasus perdarahan yang samar,
manifestasi tidak khas yaitu rasa lelah yang tidak dapat dijelaskan mengapa, pucat,
atau anemia defisiensi besi. Tata laksana anak dengan perdarahan gastrointestinal
adalah mengevaluasi dan stabilisasi, bila perlu, status hemodinamik, tentukan level
perdarahan, dan mendata diagnosis apa saja yang mungkin pada pasien berdasarkan
manifestasi klinis serta usia.21
Tingkat keparahan dari presentasi akut perdarahan ditentukan dari gambaran fisik
dan status hemodinamik pasien, estimasi volume kehilangan darah, dan warna dari
darah yang keluar. Tanda-tanda yang perlu diperhatikan dan mengkhawatirkan antara
lain pucat, diaforesis, gelisah, letargi, dan nyeri perut. Indikator terbaik menilai
jumlah signifikan kehilangan darah adalah perubahan ortostatik pada laju nadi dan
40

tekanan darah. Definisi perubahan ortostatik adalah peningkatan laju nadi 20 kali per
menit atau penurunan tekanan darah sistolik sebanyak 10 mmHg atau lebih dengan
menggerakan pasien dari posisi berbaring ke posisi duduk.20
Darah segar akan mengalami perubahan warna dengan cepat apabila berada di
lingkungan yang asam. Bakteri intestinal mengoksidasi hemoglobin menjadi
hematin, membuat darah terlihat tarry. Derajat keparahan perdarahan gastrointestinal
akut tidak dapat dinilai dari kadar hematokrit karena efek kompensasi hemodilusi
yang terlambat pada perdarahan akut. Rendahnya MCV lebih menggambarkan
perdarahan kronik walau pun klinisnya mengarah ke kondisi akut. 21
Perdarahan gastrointestinal bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan di atas
ligamentum Treitz, sedangkan perdarahan gastrointestinal bagian bawah terletak di
bawahnya. Pada kebanyakan pasien manifestasi klinis menggambarkan level
perdarahannya.

Hematemesis

merupakan

gambaran

klasik

perdarahan

gastrointestinal bagian atas. Diare disertai dengan darah dan darah segar yang
bercampur dengan atau melapisi feses normal merupakan gambaran klasik
perdarahan gastrointestinal bagian bawah. Pada kasus dengan hematochezia akut atau
melena, level perdarahannya dapat ditentukan dengan pemasangan pipa nasogastrik.
Bukan hanya adanya darah pada gaster merupakan diagnosis perdarahan
gastroinstestinal bagian atas, pemasangan pipa nasogastrik juga berguna untuk
mengeliminasi cairan yang teraspirasi akibat lavage nasogastrik yang berulang yang
mengarahkan

pada

telah

berhentinya

perdarahan.

Penyebab

perdarahan

gastrointestinal berbeda-beda tergantung dari usianya. Neonatus sering penyebab


tersering adalah fissura ani, gambaran yang muncul adalah darah berwarna merah
segar yang bercampur dengan feses dan terdapat bercak darah pada popok.
Perdarahan juga dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, alergi susu sapi, dan
intususepsi yang banyak ditemukan pada anak usia 1 bulan 1 tahun. 21
Pendekatan diagnosis untuk perdarahan gastrointestinal dilakukan dari anamnesis,
dimana dapat diperoleh bagaimana pola defekasi serta karakteristik dari feses, yaitu
warna, bau, dan konsistensi, gejala penyerta seperti nyeri perut, demam, mual, dan
muntah, riwayat kontak dengan orang lain dengan gejala serupa, riwayat konsumsi
makanan, serta penggunaan obat-obatan mengandung steroid dalam waktu lama.
Kadang mengetahui deskripsi feses pada anak-anak sulit dilakukan karena terkadang
41

pengasuh tidak selalu memperhatikan bagaimana feses yang keluar saat anak sedang
mengalami gejala-gejala gastrointestinal. Pada dewasa digunakan Bristol Stool Form
Scale sebagai alat untuk mengevaluasi bentuk dari feses, tetapi ini tidak dapat
digunakan pada anak. Modified Bristol Stool Form Scale for Children (mBSFS-C)
digunakan untuk mengevauasi deskripsi

feses pada anak. Metode ini dianggap

efektif pada anak usia 3-18 tahun untuk menjelaskan bagaimana bentuk dan pasase
feses.30 Diagnosis pasti dapat meggunakan endoskopi dimana dokter dapat secara
langsung melihat sumber perdarahan. 21

Gambar 2.8. Modified Bristol Stool Form Criteria for Children


Sumber : Lane MM, Czyzewski DI, Chumpitazi BP, Shulman RJ. Reliability and Validity of a
Modified Bristol Stool Form Scale for Children. J Pediatr. 2011 Sep; 159(3): 437-441.

Tata laksana awal pada pasien dengan keluhan perdarahan gastrointestinal adalah
pemasangan pipa nasogastrik, dimana tindakan ini memiliki dua fungsi, yaitu
konfirmasi apakah sumber perdarahan berasal dari saluran cerna bagian atas serta
berfungsi untuk evakuasi penumpukan darah di saluran cerna bagian atas. Hidrasi
dan volume support sangat penting bagi pasien dengan perdarahan gastrointestinal,
terkadang pasien juga memerlukan transfusi apabila pasien sudah mengalami anemia
berat. 21

42

Tabel 2.12 Diagnosis Banding Perdarahan Gastrointestinal Berdasarkan Usia,


Gambaran Fisik, dan Laju Perdarahan

Sumber : Boyle JT. Gastrointestinal Bleeding in Infants and Children. Pediatrics in Review. 2008; 29:
39-52.

43

Tabel 2.13. Diagnosis Banding Perdarahan Gastrointestinal Berdasarkan Manifestasi


Klinis

Sumber : Boyle JT. Gastrointestinal Bleeding in Infants and Children. Pediatrics in Review. 2008; 29:
39-52.

44

Sumber : Boyle JT. Gastrointestinal Bleeding in Infants and Children. Pediatrics in Review. 2008; 29:
39-52.

2.2.7. Syok
Syok merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak
dan merupakan keadaan gawat darurat yang mengkhawatirkan serta perlu dilakukan
tata laksana dengan segera. Manifestasi klinis syok pada anak tidak jelas terutama
pada keadaan yang berat sehingga sulit menentukan etiologinya. Apa pun
etiologinya, syok adalah perfusi jaringan yang inadekuat dan ketersediaan oksigen
yang tidak sesuai dengan kebutuhan sel. Keterlambatan identifikasi dan tata laksana
syok dapat menimbulkan progresivitas yang irreversibe, gagal organ multipel,
sampai kematian.21
Epidemiologi. Syok dengan etiologi yang berbeda-beda memiliki frekuensi
bervariasi tergantung dari negara dan usia anak. Walau pun berbagai etiologi dapat
menyebabkan kematian, seperti infeksi salurn napas bawah, malaria, dan diare,
diperkirakan hipovolemia akibat gastoenteritis merupakan penyebab utama syok di
berbagai negara berkembang.22 Sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat,
37% anak yang datang ke unit gawat darurat memiliki manifestasi klinis syok.
Mortalitas anak dengan syok lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang datang
tanpa klinis syok dan tidak memperhatikan status trauma. Penggunaan pedoman
Pediatric Advanced Life Support (PALS) di awal untuk evaluasi pasien dengan syok
45

dinyatakan menurunkan mortalitas dan morbiditas fungsional.23 Etiologi syok yang


paling sering ditemukan berturut-turut antara lain syok sepsis, hipovolemik,
kardiogenik, dan distributif.24
Tabel 2.14. Jenis dan Penyebab Syok

Sumber : Sheth TN, Choudhry NK, Bowes M, Detsky A. The Relation of Conjuctival Pallor to the
Presence of Anemia. J Gen Intern Med. 1997 Feb; 12(2): 102-106.

46

Patofisiologi. Syok dapat didefinisikan berdasarkan gambaran klinis mau pun pada
tingkatan seluler. Pada tingkat seluler, keadaan kurangnya substrat untuk respirasi sel
secara aerobik, sistem kardiopulmoner tidak mampu menyalurkan glukosa dan
oksigen dengan adekuat ke mitokondria untuk memproduksi adenosine triphosphate
(ATP). Pada keadaan normal, distribusi normal cardiac output, pengantaran oksigen
(DO2) adekuat untuk memenuhi kebutuhan oksigen total jaringan untuk
mempertahankan metabolisme aerob, atau disebut dengan konsumsi oksigen (VO 2).
Cadangan oksigen berfungsi sebagai buffer, dimana reduksi penyaluran oksigen
terkompensasi secara adekuat oleh peningkatan ekstraksi penyaluran oksigen, tanpa
mengurangi penggunaan oksigen secara signifikan. Dengan begitu, kebutuhan
metabolik pada tingkatan sel dan jaringan menentukan kadar penyaluran oksigen.
Jumlah oksigen yang tersimpan dalan sel dan jaringan sangat sedikit, sehingga saat
penyaluran oksigen menurun sampai pada fase syok ekstraksi oksigen perlu
ditingkatkan untuk menyetarakan kebutuhan metabolik yang meningkat dan
konsumsi oksigen yang relatif konstan. Terdapat suatu tingkatan penyaluran oksigen
yang tidak dapat menyesuaikan dengan kebutuhan metabolik, yang disebut
anaerobic threshold. Apabila penyaluran oksigen berada di bawah batas tersebut,
konsumsi oksigen juga akan menurun. Proses ini diteliti 18 kali lebih tidak efisien,
dan metabolisme anaerob akan menghasil asam piruvat yang diubah ke asam laktat
yang dapat terdeteksi pada darah perifier, sehingga memicu terjadinya asidosis
metabolik. Integritas sel terganggu seiring dengan defisit substrat yang terus-menerus
dan gradien ion pada membran sel hilang disertai dengan perpindahan cairan ke
kompartemen intraseluler. Hal ini diikuti oleh kematian sel dan disfungsi organ yang
muncul akibat edema seluler dan defisit energi. Kerusakan sel-sel endotel dan
vaskuler menimbulkan pelepasan sitokin dan imunomodulator yang mengarah ke
sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) sebagai respon berbagai gangguan dengan
manifestasi berupa hipotermia, takikardia, takipnea, dan abnormalitas kadar leukosit.
Terjadi kerusakan berat pada mikrosirkulasi berakibat penyaluran substrat semakin
terganggu dan menyebabkan kegagalan multisistem. Berbagai jenis syok memiliki
titik akhir yang sama, yaitu hipoksemia jaringan dan kegagalan coupling energi yang
47

menyebabkan kematian seluler dalam bentuk apoptosis dan nekrosis, kemudian


mengarah ke disfungsi organ dan berakhir pada kematian pasien. Kebutuhan
metabolik yang meningkat juga dapat menimbulkan hal yang serupa. Mekanisme
kompensasi tubuh masih dapat menyesuaikan kebutuhan tersebut, sehingga keadaan
syok hanya muncul pada penurunan distribusi oksigen dan substrat.9,25
Pada keadaan syok, tubuh memiliki mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
fungsi organ-organ vital. Progresi syok dibagi menjadi tiga fase, antara lain fase
kompensasi, tidak terkompensasi, dan irreversibel. Pada syok terkompensasi,
penyaluran oksigen ke otak, jantung, dan ginjal masih terjaga dengan pengurangan
perfusi ke organ yang lebih tidak vital. Tanda dan gejala yang timbul pada fase ini
kadang samar, yang utama adalah tidak ditemukan hipotensi, tetapi ditemukan
peningkatan tonus vaskular perifer, peningkatan laju nadi untuk mempertahankan
cardiac output dan tekanan darah dalam batas normal. Saat syok berprogresi menjadi
syok tidak terkompensasi, mekanisme kompensasi tubuh mulai berkontribusi
terhadap progresivitas keadaan syok, seperti darah berjalan menjauhi kulit, otot, dan
traktus gastrointestinal untuk mempertahankan perfusi ke otak, jantung, dan ginjal
yang menimbulkan iskemia dari bantalan vaskular disertai pelepasan substansi toksik
yang memperburuk syok. Fungsi seluler terus menurun yang pada akhirnya berakibat
pada disfungsi end-organ. Stase syok irreversibel menggambarkan kerusakan organ
yang irreversibel, terutama organ-organ vital, yaitu otak, jantung, dan ginjal.
Intervensi pada fase ini tidak berhasil dan dapat menyebabkan kematian walau pun
telah dilakukan tata laksana untuk mempertahankan indikator kardiovaskular, seperti
laju nadi, tekanan darah, cardiac output, dan saturasi oksigen.25
Syok diklasifikasikan dalam empat kategori besar, yaitu (1) hipovolemik, syok yang
terjadi karena volume sirkulasi yang tidak adekuat, (2) obstruktif, syok yang
disebabkan oleh obstruksi aliran darah dari dan ke jantung, (3) kardiogenik,
penyebab utamanya adalah kegagalan primer pompa jantung, dan (4) distributif, syok
akibat maldistribusi volume sirkulasi, seperti syok anafilaktik, syok sepsis, dan syok
neurogenik. Klasifikasi syok seperti di atas memperlihatkan penyebab dari syok,
yaitu preload, afterload, atau kontraktilitas.10

48

Kehilangan volume darah intravaskular merupakan penyebab syok hipovolemik,


yang merupakan jenis syok yang paling sering ditemukan pada anak. Keadaan ini
sering ditemukan pada dehidrasi berat pada gastroenteritis akut, dengue shock
syndrome, renal loss pada diabetes mellitus, dan kehilangan darah akibat perdarahan
dan sepsis. Pada sepsis terdapat hipovolemia relatif yang disebabkan gangguan
integritas dinding kapiler dan kebocoran cairan dari kompartemen intravaskular,
menyebabkan third space loss.25
Tabel 2.15. Tahapan Syok Hipovolemik

Sumber : Fisher JD, Nelson DG, Beyersdorf H, Satkowiak LJ. Clinical spectrum of shock in the
pediatric emergency department. Pediatr Emerg Care. 2010 Sep. 26(9):622-5.

SIRS dikarakteristikkan dengan minimal dua dari empat tanda, yaitu takikardi,
takipnea, hipertermia atau hipotermia, serta leukopenia atau leukositosis. 10 Apabila
SIRS dapat teridentifikasi dan di tata laksana dengan cepat, sekuens kaskade
inflamasi dapat dihindari. Jika kerusakan sudah ekstensif dan imun pejamu terlalu
baik, maka akan terjadi peningkatan cardiac output, vasodilatasi perifer, konsumsi
oksigen jaringan meningkat, dan keadaan hipermetabolik (warm shock). Sepsis
didefinisikan sebagai SIRS disertai kemungkinan atau terbukti adanya infeksi, sepsis
berat adalah sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, dan keadaan yang disebut
dengan syok sepsis adalah kegagalan kardiovaskular yang terjadi pada keadaan
sepsis berat. Sepsis terjadi karena adanya kombinasi dari patofisiologi syok jenis
49

lainnya, yaitu kehilangan cairan melalui peningkatan permeabilitas kapiler, efek


depresan miokardium, dan penurunan resistensi vaskular sistemik. Pada sepsis harus
dibedakan manifestasi yang muncul apakah akibat dari infeksi atau respon inflamasi
dari host, dimana dapat dilihat dari adanya aktivasi sistem retikuloendotelial. Peranan
RES terdapat ada aktivasi kaskade inflamasi yang menghasilkan hormon, sitokin, dan
enzim inflamasi yang tidak terkontrol sehingga mengganggu sistem mikrosirkulasi
dan menyebabkan disfungsi sel dan organ. Kaskade inflamasi yang muncul adalah
kaskade proinflamasi dan antiinflamasi, yaitu TNF dan IL-1 yang menimbulkan
demam dan vasodilatasi. Sitokin yang berperan sebagai proinflamasi adalah IL-6, IL12, dan INF-, sedangkan sitokin antinflamasi adalah IL-10, TGF-, dan IL-4.10
Manifestasi syok sepsis pada anak adalah warm shock dengan cardiac output yang
tinggi dan resistensi vaskular yang rendah sebanyak 20% dan sisanya adalah cold
shock.
Tata Laksana. Penanganan awal syok dibagi ke dalam tiga fase, yaitu resusitasi,
stabilisasi, dan penatalaksanaan lanjutan kegagalan organ. Resusitasi pada syok
bergantung dengan pengenalan awal manifestasi dan golden hour penatalaksanaan.
Satu jam pertama pada resusitasi syok pada anak ditujukan untuk mempertahankan
jalan napas, oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi yang adekuat (ABC). Setelah
ditemukan akses vena, segera lakukan resusitasi cairan dengan caira isotonik salin
atau koloid bolus 20 mL/kg tiap 5 menit dengan total 60 mL/kg. Pemberian antibiotik
pada anak dengan kecurigaan sepsis perlu dilakukan dalam 15 menit pertama tata
laksana syok. Abnormalitas elektrolit, seperti hipoglikemia dan hipokalsemia, harus
segera dikoreksi.9 Pasien anak perlu dilakukan pemantauan ketat dengan pulse
oximetry,elektrokardiogram, dan monitor tekanan darah. Output urin dan status
mental juga perlu diperhatikan secara ketat. Beberapa tanda-tanda klinik dapat
digunakan sebagai parameter resusitasi dapat dihentikan, antara lain laju nadi (<90
atau >160 kali per menit pada anak usia kurang dari satu tahun, dan <70 atau >150
kali per menit pada anak yang lebih besar), capillary refill time <2 detik, pulsasi
normal tanpa perbedaan antara pulsasi sentral dengan perifer, dan ekstremitas hangat.
Target tekanan darah bersifat age-dependent untuk mempertahankan tekanan perfusi
end-organ, yaitu antara 55 65 mmHg. Apabila keadaan anak tidak membaik setelah
50

resusitsi cairan sebanyak 60 mL/kg, akses vaskular sentral perlu dilakukan serta
dilakukan pemberian inotropik (dopamin dan epinefrin) dari perifer sampai akses
sentral dapat diperoleh. Pemberian inotropik dilakukan sebagai solusi dilusi dan
dengan laju aliran yang cepat akan menyalurkan ke end-organ.25
Pada fase stabilisasi diperlukan keterampilan intervensi dan kemampuan monitorig
yang lebih ketat. Jalan napas harus dipertahankan. Pada anak, syok berprogresi
dengan cepat berawal dari alkalosis respiratorik menjadi asidosis respiratorik.
Kontrol jalan napas dan laju napas pasien dapat mengalihkan cardiac output ke
sistim respirasi ke organ-organ vital lainnya. Restorasi hemodinamik sering kali
memerlukan obat-obatan vasoaktif, yang dianggap sebagai obat terbaik untuk syok
pada pediatri. Dopamin merupakan agen vasoaktif lini pertama untuk syok. Epinefrin
juga digunakan untuk augmentasi kontraktilitas jantung dan meningkatkan resistensi
vaskular sistemik.9

51

Gambar 2.9. Skema Tata Laksana Sepsis


Sumber : International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Surviving
Sepsis Campaign. 2012.

52

Tabel 2.16. Tipe-tipe Syok dengan Mekanisme, Gambaran Klinis, dan Tata Laksana
yang Sesuai

Sumber : Fisher JD, Nelson DG, Beyersdorf H, Satkowiak LJ. Clinical spectrum of shock in the
pediatric emergency department. Pediatr Emerg Care. 2010 Sep. 26(9):622-5.

2.2.8. Chronic Kidney Disease (CKD) dan End Stage Renal Disease (ESRD)
Penyebab CKD tersering pada anak yaitu uropati obstruktif, hipoplasia atau
displasia ginjal, refluks nefropati, sindroma nefrotik tipe fokal segmental
glomerulasklerosis, dan penyakit ginjal polikistik. Pasien anak dengan penyakit
ginjal dapat memberikan manifestasi klinis berupa pucat. Gejala ini disertai gejala
lainnya tergantung gangguan ginjal yang mendasarinya. Anak dan dewasa muda
dengan CKD yang disebabkan oleh glomerulonefritis seringkali datang dengan
edema, hipertensi, hematuria dan proteinuria. Gejala pada infant dan anak dengan
kelainan kongenital seperti displasia ginjal dan uropati obstruktif dapat ditemukan
sejak masa awal kehidupan berupa gagal tumbuh, polyuria, dehidrasi, infeksi salurah
kemih, dan insufisiensi ginjal. Penyakit ginjal kongenital didiagnosis dengan
ultrasonografi (USG) prenatal, yang memungkinkan diagnosis dan tatalaksana dini.
Anak dengan familial juvenile nephronophthisis dapat memberikan gejala yang tidak
khas, berupa nyeri kepala, fatigue, letargi, anoreksia, muntah, polydipsia, polyuria,
dan gagal tumbuh yang dirasakan selama beberapa tahun.27
53

Pada pemeriksaan fisik, selain pucat dapat juga ditemukan postur yang pendek
dan kelainan tulang renal osteodystrophy. Anak dengan CKD yang disebabkan oleh
glomerulonefritis dapat menunjukkan gejala berupa edema, hipertensi, dan tanda
fluid overload lainnya.27
Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan adanya peningkatan blood urea
nitrogen (BUN) dan serum kreatinin serta menggambarkan hiperkalemia,
hiponatremia (apabila terdapat fluid overload), hipernatremia (kehilangan cairan),
asidosis, hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan peningktan asam urat. Pada pasien
dengan proteinuria berat dapat juga ditemukan adanya hipoalbuminemia.
Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan adanya anemia normositik normokrom.
Kolesterol dan trigliserida seringkali meningkat. Pada anak dengan CKD yang
disebabkan oleh glomerulonefritis, urinalisis menunjukkan hasil hematuria dan
proteinuria. Sementara pada CKD yang disebabkan oleh kelainan kongenital seperti
displasia ginjal, urinalisis menunjukkan adanya berat jenis yang rendah dan kelainan
minimal pada pemeriksaan dengan dipstick atau mikroskop.27
Inulin clearance merupakan gold standard untuk menentukan glomerular
filtration rate (GFR), namun hal ini tidak mudah untuk diperiksa. Creatinine
clearance endogen paling sering digunakan untuk menentukan GFR, namun serum
kreatinin seringkali menyebabkan peningkatan GFR semu. Pada anak usia 1-6 tahun,
derajat disfungsi ginjal dihitung dengan rumus GFR = 0,43 x tinggi dalam sentimeter
dibagi dengan serum kreatinin dalam mg/dl.27
Tujuan terapi pada anak dengan CKD ialah menggantikan fungsi ginjal serta
memperlambat progresi penyakit menjadi gagal ginjal. Manajemen yang dilakukan
meliputi pemeriksaan laboratorium berupa elektrolit darah, blood urea nitrogen,
kreatinin, kalsium, fosfor, albumin, alkali fosfatase, dan hemoglobin. Pemeriksaan
paratiroid dan radiografi secara periodik dapat berguna untuk mendeteksi
osteodistrofi.

Echokardiografi

juga harus

dilakuakn secara berkala

untuk

mengidektifikasi adanya pembesaran ventrikel kiri dan disfungsi jantung yang terjadi
sebagai akibat dari CKD.27
ESRD adalah suatu kondisi dimana kegagalan ginjal telah mencapai titik dimana
homeostasis dan pertahanan tidak dapat dipertahankan dengan fungsi ginjal dan

54

tatalaksana medis yang maksimal. Pada titik ini, renal repalcement therapy (dialisis
atau transplantasi ginjal) dibutuhkan.28
Indikasi absolut untuk dialisis adalah overload cairan berat yang tidak merespons
dengan pemberian diuretik, hiperkalemia berat dengan atau tanpa asidosis,
ensefalopati, dan perikarditis serta serositis lainnya. Indikasi tambahan lainnya yaitu
uremia dengan gejala, malnutrisi energi protein, dan gagal tumbuh tanpa penyebab
jelas. Tidak terdpat batasan nilai laboratorium ntuk melakukan dialisis namun
sebagian besar pasien mengalami gejala apabila glomerular filtration rate (GFR) <
10 mL/menit.32
Dialisis membutuhkan akses sirkulasi, baik dengan fistula arteri-vena, biasanya
pada pergelangan tangan (Brescia-Cimino fistula); graft arteri-vena yang terbuat dari
politetraflouroetilen; kateter intravena ukuran besar; atau alat subkutan yang
dipasangkan dengan kateter intravena. Darah dipompa melalui dialyzer atau ginjal
buatan dan direndam dalam larutan dengan komposisi kimia isotonik, bebas urea dan
substansi nitrogen lainnya. Dialysate [K+] bervariasi 0-4 mM, bergantung pada
kalium predialisis dan kondisi klinis. Dialysate [Ca2+] 2.5 mg/dl, [HCO3-] 35
mEq/L, dan dialysate [Na+] 140 mM. Pasien biasanya menjalani dialisis 3 kali dalam
seminggu selama 3-4 jam. Efektivitas dipengaruhi oleh durasi dialisis, kecepatan
aliran darah, kecepatan dialysate, dan permukaan dialyzer. Berbeda dengan dialisis,
peritoneal dialisis tidak memerlukan akses sirkulasi, melainkan membutuhkan kateter
peritoneum yang memungkinkan untuk memasukkan larutan ke dalam rongga
abdomen utnuk memasukkan urea, potasium, dan molekul ureum lainnya melalui
membran peritoneum. Larutan yang digunakan menyerupai yang digunakan apda
dialisis namun harus steril, dan menggunakan laktat untuk menjaga keseimbangan
asam basa. Dialisis peritoneal kurang efektif dibandingkan dengan dialisis, oleh
karena itu dibutuhkan durasi yang lebih lama.32

55

BAB III
KESIMPULAN
Pucat merupakan salah satu keluhan yang sering ditemukan pada pasien-pasien pediatrik.
Untuk menentukan etiologi dari pucat yang terjadi, dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang sehingga diperoleh diagnosis yang tepat.
Sebelum memulai anamnesis, penting sebagai seorang dokter menentukan apakah pasien
pediatrik yang datang dengan pucat merupakan pasien yang gawat darurat atau tidak. Apabila
pasien tersebut dalam keadaan gawat darurat, hal utama yang perlu dilakukan adalah
penatalaksanaan awal untuk mencegah progresi dari keadaan yang mendasari, kemudian
dilanjutkan dengan anamnesis.
Pada anamnesis, terdapat beberapa hal penting yang perlu ditanyakan. Apabila pasien gawat
darurat, perlu diketahui riwayat trauma, keluhan gastrointestinal yang menyebabkan hipovolemia
seperti diare atau muntah. Pada pasien yang cenderung lebih stabil keadaannya, perlu diketahu
keluhan lain yang menyertai keluhan utama, seperti demam, penurunan nafsu makan, kuning
pada kulit dan mata, riwayat serupa sebelumnya, riwayat keluarga, dan lain sebagainya.
Pemeriksaan fisik yang utama adalah melihat tanda-tanda pucat pada anggota tubuh, yaitu
konjungtiva, lidah, telapak tangan, nail beds, dan palmar creases. Kemudian dicari tanda-tanda
lain yang mengarahkan kepada suatu diagnosis tertentu, seperti glositis, bluberry muffin,
hepatosplenomegali, murmur sistolik, dan tanda lainnya yang patognomonik. Hal yang perlu
dilakukan selanjutnya adalah pemeriksaan penunjang, yang utama adalah pemeriksaan kadar
hemoglobin,hitung jenis, reticulocyte count, dan morfologi darah tepi. Apabila hasilnya masih
belum mengarahkan kepada suatu diagnosis, perlu dilakukan pemeriksaan lainnya seperti tes
Coomb dan pemeriksaan sumsum tulang.
Dengan pendekatan diagnosis yang baik pada pasien pediatrik dengan pucat, maka tata
laksana yang diberikan dapat sesuai dengan etiologi yang mendasari dan mengurangi morbiditas
serta mortalitas anak.

56

DAFTAR PUSTAKA
1. Fleisher GR, Ludwig S. Textbook of Pediaric Emergency Medicine. 6 th Edition. Lippincot
Williams and Wilkins. Philadelpia. 2010. p483-486.
2. Alvarez-Uria G, Naik PK, Midde M, Yalla PS, Pakam R. Prevalence and Severity of
Anaemia Stratified by Age and Gender in Rural India. Anemia. 2014; 1-5.
3. Santos RF, Gonzalez ES, Albuquerque EC, et al. Prevalence of Anemia in Under FiveYear-Old Children in A Childrens Hospital in Recife, Brazil. Rev Bras Hematol
Hemoter. 2011; 33(2) 100-104.
4. Kotecha PV. Nutritional Anemia in Young Children with Focus on Asia and India. Indian
J Community Med. 2011; 36: 8-16.
5. Kilburn, LB, Siegel, SE, Steuber, CP. Clinical assessment and differential diagnosis of the
child with suspected cancer. In: Principles and Practice of Pediatric Oncology,6th edition,
Pizzo, PA, Poplack, DG. (Eds), Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia, 2011, p.
123.
6. Butt Z, Ashfaq U, Sherazi SF, Jan NU, Shahbaz U. Diagnostic accuracy of Pallor for
detecting mild and severe anaemia in hospitalized patients. J Pac Med Assoc. 2010 Sep;
60(9): 762-765.
7. Sheth TN, Choudhry NK, Bowes M, Detsky A. The Relation of Conjuctival Pallor to the
Presence of Anemia. J Gen Intern Med. 1997 Feb; 12(2): 102-106.
8. Janus J, Moerschel S. Evaluation of Anemia in Children. American Family Physician.
2010; 81(12): 1462-1471.
9. Gupte S. Differential Diagnosis in Pediatrics. 4 th Edition. Jaypee. New Delhi. 2002, p5461.
10. Kliegman, Stanton, St.Geme, Schor. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th Edition.
Elvesier. Philadephia: 2016.
11. Abdulsalam M, Daniel A. Diagnosis, pengobatan, dan pencegahan anemia defisiensi besi.
Sari Pediatri. Vol.4 No. 2. September 2002: 74-77.
12. Gunadi D, Lubis B, Rosdiana N. Terapi dan suplementasi besi pada anak. Departemen
ilmu kesehatan anak, fk-usu-rs H. Adam Malik Medan. Sari pediatri 2009;11(3):207-11.
13. Abdulsalam M, Daniel A. Diagnosis, pengobatan, dan pencegahan anemia defisiensi besi.
Sari Pediatri. Vol.4 No. 2. September 2002: 74-77.

57

14. Robert D. Frank R. Clinical report: Diagnosis dan prvention of iron deficiency and iron
deficiency anemia in infants and young children (0-3 years of age). American Academy
of Pediatrics. Oct 2010;126;1040.
15. Short M, Domagalski J. Iron deficiency anemia: Evaluation and management. American
Academy of Family Physicians. January 15, 2013 Volume 87, Number 2.
16. Bathesda D. Hemolytic disease of the newborn. National Center of Biotechnology
Information (US). 2005; 4.
17. Dharmayani D, Gatot D, Rohsiswanto R, Tridjaja B. Serological profile and hemolytic
disease in term neonates with ABO incompatibility. Paediatrica Indonesia. July 2009 Vol
49; No. 4.
18. Haidar C, Pauley J. Pediatric Leukemias. Pharmacotherapy Self Assessment Program, 6th
edition.
19. American Academy of Pediatrics. Management of Pediatric Trauma. AAP. 2008;
121(4):849-854.
20. Haley SM, Graham RJ, Dumas HM. Outcome rating scales for pediatric head injury. J
Intensive Care Med. 2004; Jul-Aug. 19(4):205-19.
21. Boyle JT. Gastrointestinal Bleeding in Infants and Children. Pediatrics in Review. 2008;
29: 39-52.
22. Wheeler DS, Basu PK. Pediatric Shock: An Overview. The Open Pediatric Medicine
Journal. 2013; 7: 2-9.
23. Global, regional, and national age-sex specific all-cause and cause-specific mortality for
240 causes of death, 1990-2013: a systematic analysis for the Global Burden of Disease
Study 2013. Lancet. Jan 2015. 385:117-71.
24. Carcillo JA, Kuch BA, Han YY, Day S, Greenwald BM, McCloskey KA, et al. Mortality
and functional morbidity after use of PALS/APLS by community physicians. Pediatrics.
2009 Aug. 124(2):500-8.
25. Fisher JD, Nelson DG, Beyersdorf H, Satkowiak LJ. Clinical spectrum of shock in the
pediatric emergency department. Pediatr Emerg Care. 2010 Sep. 26(9):622-5.
26. Davendralingam S. Shock in Children. International e-Journal of Science, Medicine, and
Education. 2012; 6(1): S129-S136.

58

27. Kliegman, Stanton, St.Geme, Schor. Chronic kidney disease & End stage renal disease in:
Nelson Textbook of Pediatrics. 20th Edition. Elvesier. Philadephia: 2016 pg 2543-2547
28. U.S. Department of Transportation. Children Injured in Motor Vehicle Traffic Crashes.
NHTSA. May 2010.
29. Meyer RJ, Theodorou AA, Berg RA. Childhood Drowning. Pediatrics in Review. 2006;
27(5): 1-5.
30. Lane MM, Czyzewski DI, Chumpitazi BP, Shulman RJ. Reliability and Validity of a
Modified Bristol Stool Form Scale for Children. J Pediatr. 2011 Sep; 159(3): 437-441.
31. Zanella A, Barcellini W. Treatment of Autoimmune Hemolytic Anemias. Haematologica.
2014; 9: 1547-1554.
32. Kasper, D. L., and Harrison, T. R. Harrison's principles of internal medicine 17th ed. New
York, McGraw-Hill, Medical Pub. Division; 2008

59

Anda mungkin juga menyukai