Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH FARMAKOTERAPI IV

FARMAKOTERAPI TENTANG TOXOPLASMOSIS DAN PENATALAKSANAAN


TERAPI RASIONAL PADA TOXOPLASMOSIS

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
PUTRI YANI 20160009
DINA ISLAMMIAH 20160023
ALBIYA RAHMAD 20160029
PUJA SRIDEVI 20160038
AFNI DEWI WAHYUNI 20160043

7 FARMASI 1

DOSEN PENGAMPU :
Apt . HELMICE AFRIYENI, M. Farm

PROGRAM S1 FARMASI
FAKULTAS FARMASI, SAINS DAN TEKNOLOGI
PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbal’alamin, puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah yang berjudul farmakoterapi tentang toxoplasmosis dan penatalaksanaan
terapi rasional pada toxoplasmosis. Shalawat beserta salam penulis mohonkan kepada Allah
SWT agar dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan risalah
kebenaran dan penerang jalan yang membawa umat manusia dari kebodohan menuju ilmu
pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Penulisan makalah ini dilakuan dalam rangka memenuhi tugas dari mata kuliah
Farmakoterapi lV yang meliputi nilai tugas kelompok. kami sebagai penyusun menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu demi kesempurnan makalah ini kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan.
Kepada dosen pengampu yang terhormat dan para pembaca saya ucapkan terimakasih
dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua.

Padang, 03 Desember 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah......................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................................3
2.1 Definisi ..................................................................................................................................3
2.2 Epidemiologi...........................................................................................................................3
2.3 Etilogi .....................................................................................................................................4
2.4 Siklus Hidup dan Cara Penularan...........................................................................................5
2.5 Patofisiologi...........................................................................................................................10
2.6 Tanda dan Gejala...................................................................................................................13
2.7 Diagnosis................................................................................................................................14
2.8 Kategori dan pengobatan farmakologis Taxsoplamosis Godii............................................15
2.9 Pengobatan non farmakologis .............................................................................................23

BAB III PENUTUP.........................................................................................................................25


3.1 Kesimpulan .........................................................................................................................25
3.2 Saran ....................................................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Toksoplasmosis, disebabkan oleh protozoa organisme intraseluler Toxoplasma gondii,


Toxoplasma gondii merupakan parasit protozoa yang menginfeksi hampir semua hewan
berdarah panas,manusia adalah infeksi utamanya melalui memakan makanan yang kurang
matang atau daging mentah yang mengandung kista toxoplasma tersebut dan dapat juga
melalui air yang terkontaminasi oleh ookista Toksoplasma gondii. Toxoplasma gondii hanya
mengalami proliferasi aseksual (schizogoni) dan seksual (gametogoni), sehingga hospes
definitif berfungsi sebagai satu-satunya tempat diproduksinya ookista. Ookista stabil di
lingkungan setelah dikeluarkan melalui feses. Ookista dapat menular selama kurang lebih dua
tahun, dan menyebabkan kontaminasi secara luas dan menjadi sumber infeksi bagi manusia
dan hospes perantara lainnya.
Toksoplasmosis dapat timbul dengan gejala patologis yang parah, termasuk
retinochoroiditis, miokarditis dan meningoensefalitis, berpotensi menyebabkan kematian.
Namun, kebanyakan manusia yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala, menunjukkan sedikit
atau tidak ada gejala fisiologis. Saat ini, diagnosis dari toksoplasmosis menjadi lebih mudah
karena antibodi IgM atau IgG dalam darah pasien. Seiring dengan semakin mudah dan
akuratnya diagnosis, hal ini akan membuat penyembuhan sempurna bagi pasien. Dengan cara
ini, diharapkan insidensi keguguran, defek kongenital dan bayi lahir mati yang diakibatkan
oleh toksoplasmosis dapat dicegah sesegera mungkin. Akhirnya, insidensi disabilitas pada
anak-anak dapat dihindari sehingga dihasilkan sumber daya manusia dengan kualitas tinggi.
Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii.
Toxoplasma gondii ditemukan oleh Nicola dan Manceaux pada tahun 1908 pada limfatik dan
hati Ctenodactylus gondii di Tunisia, Afrika, dan pada kelinci di Brazil. Toksoplamosis
menyebar ke seluruh dunia dan sebagian besar tanpa gejala. Umumnya infeksi terjadi melalui
oral karena mengkonsumsi produk hewani yang mengandung ookista dan tidak dimasak
dengan benar, makanan yang mengandung parasit seperti bradizoit, kontak dengan kotoran
kucing yang mengandung ookista atau penyebaran vertikal hematogen dari plasenta Kondisi
immunocompromised seperti AIDS, keganasan dan resipien transplantasi jaringan
mempunyai risiko tinggi terhadap infeksi Toksoplasma. Membangun diagnosis penyakit ini di
1
klinik dan laboratorium sangat penting untuk menentukan rencana terapi dan prognosis. Hal
ini tergantung pada pengetahuan tentang epidemiologi, patogenesis dan manifestasi klinis.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Definisi dari Toxoplasma Gondii?
2. Bagaimana epidemiologi Toxoplasma Gondii?
3. Bagaimana etiologi Toxoplasma Gondii?
4. Bagaimana Siklus Hidup Dan Cara Penularan Toxoplasma Gondii?
5. Bagaimana Patofisiologi Dari Toxoplasma Gondii?
6. Bagaimana Tanda Dan Gejala Toxoplasma Gondii?
7. Bagaimana Cara Mendiagnosa Toxoplasma Gondii?
8. Apa saja Kategori Dari Toxoplasma Gondii?
9. Bagaiama pengobatan secara terapi farmakologis dan Non-Farmakologis pada setiap
kategori Toxoplasma Gondii?

1.3 Tujuan Masalah


Mahasiswa mampu menjelaskan aspek farmakoterapi tentang toxoplasmosis dan
penatalaksanaan terapi rasional pada toxoplasmosis yaitu :
1. Memahami Definisi dari Toxoplasma Gondii.
2. Mengetahui Epidemiologi Toxoplasma Gondii.
3. Mengetahui Etiologi Toxoplasma Gondii.
4. Mengetahui siklus hidup dan cara penularan Toxoplasma Gondii.
5. Mengetahui Patofisiologi dari Toxoplasma Gondii.
6. Mengetahui Tanda dan Gejala Toxoplasma Gondii.
7. Memahami Cara Mendiagnosa Toxoplasma Gondii.
8. Mengetahui macam-macam kategori dari Toxoplasma Gondii.
9. Mengetahui Bagaimana Pengobatan secara farmakologis dan Non-Farmakologis Pada
Kategori Tersebut.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Toxoplasma gondii adalah protozoa dengan penyebaran luas. Infeksi oleh btoxoplasma
gondii dapat menyebabkan toxoplasmosis , infeksi tersebut dapat terjadi pada manusia atau
hewan.
Klasifikasi tipe parasite toxoplasma gondii memiliki tiga genetik utama yang berbeda
virulensi dan pola epidemilogisnya yaitu:
1. Tipe I, dikaitkan dengan virulensi tinggi pada tikus dan ditemukan pada pasien dengan
toksoplasmosis okular (toksoplasmosis pada mata).
2. Tipe II, bersifat tidak virulen pada tikus, namun menimbulkan infeksi kronik dengan
keberadaan kista jaringan. Tipe ini juga berkaitan dengan banyak infeksi di Eropa dan
Amerika Utara.
3. Tipe III, bersifat tidak virulen pada tikus dan paling banyak ditemukan pada binatang.
Tipe I dan II telah ditemukan pada pasien dengan penyakit kongenital dan AIDS
(sindroma imunodefisiensi didapat).
Sumber lain menyebutkan tiga jenis toksoplasmosis berdasarkan manifestasi klinisnya,
yakni toksoplasmosis okular, toksoplasmosis yang menyebabkan ensefalitis, dan
toksoplasmosis kongenital

2.2 Epidemiologi
Infeksi Toxoplasma gondii, atau toksoplasmosis, adalah zoonosis. Dua jalur infeksi yang
paling umum pada manusia adalah melalui konsumsi parasit secara oral dan melalui
penularan transplasental (bawaan) ke janin. Menelan daging setengah matang atau mentah
yang mengandung kista, air atau makanan yang terkontaminasi ookista menyebabkan Infeksi
akut.
Pada manusia, prevalensi toksoplasmosis meningkat seiring bertambahnya usia. Terdapat
juga perbedaan geografis yang cukup besar dalam tingkat prevalensi (misalnya 10% di Palo
Alto, CA: 15% di Boston, MA; 30% di Birmingham, AL; 70% di Perancis; = 90% di El
Salvador). Perbedaan epidemiologi infeksi T gondii di berbagai lokasi geografis dan antar
kelompok populasi dalam lokasi yang sama dapat dijelaskan oleh perbedaan paparan terhadap
organisme tersebut. Kadang-kadang, wabah terjadi dalam keluarga atau populasi tertentu.
3
Kemungkinan terjadinya wabah harus selalu dicurigai pada setiap kasus infeksi akut yang
baru didapatkan.
Toxoplasma gondii hampir ditemukan di seluruh dunia dan telah menginfeksi lebih dari
50% populasi manusia di dunia. Sekitar 10– 15% penduduk di Amerika menunjukkan hasil
positif pada pemeriksaan serologi. Perkiraan seropositif pada pasien HIV-Aids sekitar 10–
45%. Hasil pemeriksaan IgM dan IgG anti Toksoplasma di Indonesia, manusia 2–63%,
kucing 35–73%, babi 11–36%, kambing 11–61%, anjing 75% dan ternak lainnya dibawah
10%.

2.3 Etiologi
Toxoplasma gondii merupakan parasit organisme intraseluler, terdapat tiga jenis, takizoit
(berbentuk proliferasi), kista (mengandung bradizoit), dan ookista (mengandung spozoit)
Bentuk takizoit berbentuk bulan sabit dengan ujung runcing, dan ujung lainnya membulat.
Panjang 4–8 mikron, lebar 2–4 mikron, mempunyai membran sel dan satu inti di dalamnya.
Kista terbentuk pada sel inang jika takizoit yang membelah telah membentuk suatu dinding.
Sebuah kista memiliki ukuran yang bervariasi, ada yang kecil hanya mengandung sedikit
bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron mengandung sekitar 3000 bradizoit. Kista pada
tubuh inang dapat ditemukan seumur hidup terutama pada otak otot jantung dan otot lurik.
Merupakan tahap istirahat dari T. gondii. Ookista berbentuk ovale, 11–14 × 9–11 mikron.
Ookista mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas.
Pada perkembangan selanjutnya, baik sporoblas membentuk dinding maupun menjadi
sporokista. Setiap sporokista mengandung empat spozoit yang berukuran sekitar 8×2 mikron.

4
Penyebab toksoplasmosis kongenital berkorelasi langsung dengan tiga faktor: (1)
prevalensi infeksi primer pada wanita selama kehamilan, (2) usia kehamilan saat wanita hamil
tertular, dan (3) jenis program kesehatan masyarakat. tersedia untuk pencegahan, deteksi, dan
pengobatan infeksi selama kehamilan. Meskipun skrining untuk infeksi Toksoplasma bersifat
wajib selama kehamilan di beberapa negara seperti Austria dan Perancis, skrining serologis
rutin tidak dilakukan di Amerika Serikat. Tanpa intervensi terapeutik apa pun, kejadian
toksoplasmosis kongenital adalah 15% pada janin yang ibunya terinfeksi pada trimester
pertama, 30% pada trimester kedua, dan 60% pada trimester ketiga. Spiramycin menurunkan
kejadian infeksi janin sebesar 60%.

2.4 Patofisiologi
2.4.1 Morfologi

Toxoplama gondii adalah protozoa organisme intraseluler yang ada dalam tiga bentuk:
ookista (yang melepaskan sporozoit), takizoit, dan kista jaringan (yang berisi dan melepaskan
bradizoit). Parasit ini mengalami dua siklus, siklus seksual enteroepitel di hospes definitive
usus kecil kucing dan siklus aseksual ekstraintestinal didalam hospes perantara pada kucing,
serta pada semua hewan yang terinfeksi lainnya, termasuk manusia. Pada siklus
ekstraintestinal, ookista yang keluar bersama tinja kucing belum bersifat infektif. Parasit
menyerang eritrosit kemudian membentuk mikrogamet dan makrogamet. Zigot atau ookista
yang dihasilkan kemudian keluar bersama feses. Ookista mengalami meiosis di luar tubuh

kucing. Setelah mengalami sporulasi, ookista akan berisi sporozoit dan menjadi bentuk yang
infektif. Manusia dan hospes perantara lainnya akan terinfeksi jika tertelan bentuk ookista
tersebut. Di dalam ileum, dinding ookista akan hancur sehingga sporozoit bebas. Sporozoit-
sporozoit ini menembus mukosa ileum dan mengikuti aliran darah dan limfa menuju berbagai
organ tubuh seperti otak, mata, hati dan jantung. Sporozoit bebas akan membentuk
pseudokista setelah berada dalam sel organ-organ tersebut. Pseudokista tersebut berisi
endozoit atau yang lebih dikenal sebagai takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan
membelah takizoit ini berkurang secara berangsur kemudian terbentuk kista yang
mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi menahun.

5
1. Takizoit (tropozoit) Takizoit berbentuk bulan sabit atau oval dan berukuran lebar 2-4
um dan panjang 4-8 um. Mereka memerlukan habitat intraseluler untuk bertahan
hidup dan berkembang biak meskipun memiliki aparatus Golgi, ribosom, dan
mitokondria sendiri. Takizoit menembus sel inang melalui proses aktif yang
melibatkan komponen "kompleks apikal" (maka disebut apicomplexan). Mereka
tinggal dan berkembang biak dalam vakuola sitoplasma melalui proses yang disebut
endogoni ( tunas internal), dimana dua trofozoit anak terbentuk, masing-masing
dikelilingi oleh membran, saat masih berada di dalam sel induk. Ketika sel inang
membengkak karena parasit, sel tersebut hancur, melepaskan trofozoit yang
menginfeksi sel lain. Selama infeksi akut, trofozoit yang berproliferasi di dalam sel
inang berbentuk bulat dan tertutup oleh membran sel inang. Ini disebut pseudokista
atau koloni dan dapat dibedakan dari kista jaringan melalui reaksi pewarnaan.
2. Kista jaringan. Setelah masuknya sel dan replikasi bentuk takizoit, encystation dan
pembentukan kista jaringan dapat terjadi. Kondisi pasti yang mendorong pembentukan
kista belum diketahui. Kista jaringan terbentuk di dalam sel inang dan ukurannya
dapat bervariasi dari yang hanya mengandung sedikit organisme (bradizoit) hingga
yang berdiameter = 200 um yang mengandung beberapa ribu bradizoit. Kista jaringan
diwarnai dengan baik dengan pereaksi asam-Schiff periodik, pewarnaan Wright-
Giemsa, Gomorimethenamine silver, dan imunoperoksidase. Kista berbentuk bulat
ketika ditemukan di otak dan menyesuaikan diri dengan bentuk serat otot ketika
berada di jaringan otot jantung dan rangka. Tempat paling umum terjadinya infeksi
laten adalah sistem saraf pusat (SSP); mata, dan otot rangka, otot polos, dan jantung.
Karena persistensinya dalam jaringan, gambaran kista pada pemeriksaan histologis

6
tidak selalu berarti bahwa infeksi tersebut baru didapat atau relevan secara klinis. Pada
dinding kista terganggu oleh pencernaan peptik atau triptik dan parasit yang
dilepaskan memulai infeksi dengan menyerang sel epitel usus. Akan mencapai
berbagai jaringan dan organ melalui penyebaran darah dan limfatik. Kista rentan
terhadap pengeringan, pembekuan, dan pencairan serta panas di atas 60°C
3. Ookista. Ookista terbentuk di usus kecil anggota keluarga kucing dan dikeluarkan
melalui kotorannya selama 7-20 hari. Ookista akan terbentuk melalui reproduksi
seksual (gametogoni). Mereka sangat tahan terhadap kondisi yang ditemukan di
lingkungan eksternal. Sebanyak 10 juta ookista dapat keluar dalam satu hari dan akan
menular (melalui sporulasi) dalam 1-21 hari, tergantung pada suhu dan ketersediaan
oksigen. Ookista yang baru keluar tidak menular. Mereka menjalani sporulasi di
dalam tanah dengan pembentukan dua sporokista, masing-masing mengandung empat
sporozoit. Ookista yang bersporulasi bersifat infektif. Ookista sangat tahan terhadap
kondisi lingkungan dan dapat tetap infektif di dalam tanah selama kurang lebih satu
tahun. Ketika ookista infektif tertelan, ia melepaskan sporozoit di usus, yang memulai
infeksi.

7
2.4.2 Siklus hidup Toxoplasma gondii adalah sebagai berikut.
a. Bagian siklus hidup dari toxoplasmosis terbagi secara seksual dan secara aseksual.
b. Secara seksual terjadi pada usus halus atau disebut dengan hosts definitive yang
berasal dari kucing, dimana toxoplasma akan melakukan perkembangbiakan dan
melalui pertumbuhan namun belum terjadi bentuk yang infektif.
c. Setelah kucing yang menelan jaringan yang mengandung kista, seperti memakan
burung atau tikus yang terdapat parasite toxoplasma maka akan berubah menjadi
bentuk bradizoit dengan melepaskan dinding luar kista yang dibantu oleh system
pencernaan kucing. Bradizoit akan menyerang sel epitel intestinal kemudian bradizoit
akan mengalami replikasi dan bertransformasi menghasilkan mikrogamet dan makro
gamet.

8
d. Mikrogamet akan bersatu dan membentuk zigot yang diselubungi oleh dinding sel dan
keluar dari intestinal sebagai ookista bersporulasi dan akan keluar melalui feses
kucing.
e. Ookista yang terdapat pada feses kucing akan terkontaminasi dengan tanah,air serta
hewan dan manusia.
f. Ookista akan menjadi bentuk infektif ketika berada pada suhu ruangan selama 3-5 hari
kemudian ookista akan mengalami proses sporozoit di dalam tubuh kucing disebut
dengan sprokista yang infektif.
g. Secara aseksual ookista akan masuk kedalam tubuh manusia atau hewan yang
berdarah panas melalui daging mentah atau belum matang, tanaman atau air yang
terkontaminasi atau dimakan oleh manusia atau hewan yang disebut dengan hosts
perantara.
h. Setelah manusia atau hewan menelan ookista yang bersifat infektif, maka ookista akan
pecah di traktus gastrointestinal yang akan membentuk sporozoit yang menginvasi
atau mengalami differensiasi menjadi toxizoit.
i. Toxizoit akan masuk ke aliran darah yang merupakan media pergerakan dari toxizoit
dan akan bersikulasi melalui darah ke dalam system limfa dan menginfeksi semua sel
dan jaringan. Toxizoit akan menginisiasi pembentukan kista jaringan yaitu bradizoit.
j. Bradizoit akan bermutliplikasi dengan endogonik dan bertahan di jaringan tersebut.

Transmisi Toxoplasma gondii dapat terjadi secara oral, melalui darah atau organ, atau
melalui plasenta.
1) Transmisi oral
Sebagian besar kasus infeksi toksoplasma pada manusia diperoleh melalui rute oral.
Toksoplasma didapat melalui konsumsi ookista tersporulasi dari tanah, makanan, atau air
yang tercemar. Ookista ini sangat infeksius dan dapat hidup selama bertahun-tahun di tanah
dan air. Setelah terinfeksi, manusia dapat membentuk antibodi terhadap ookista ini.
Anak-anak dan dewasa juga dapat memperoleh infeksi dari bradizoit. Makanan yang
dimasak kurang matang dan pembekuan daging yang kurang memadai merupakan sumber
infeksi pada negara-negara maju.
2) Transmisi melalui darah atau organ

9
T. gondii dapat ditransmisikan dari donor seropositif kepada resipien seronegatif melalui
transplantasi jantung, paru-paru, ginjal, hati, atau pankreas. Persediaan darah transfusi juga
dapat terkontaminasi oleh parasit. Reaktivasi T. gondii terjadi pada pasien transplantasi
sumsum tulang, sel punca hemapoietik, dan hati, serta pada orang dengan AIDS. Selain itu,
orang yang bekerja di laboratorium juga dapat terinfeksi apabila berkontak dengan jarum dan
perkakas lain yang terkontaminasi.
3) Transmisi melalui plasenta
Ibu yang terinfeksi T. gondii selama kehamilan mentransmisikan parasit tersebut ke fetus.
Maka dari itu, diperlukan usaha perlindungan kepada ibu yang terdeteksi seropositif sebelum
kehamilan supaya tidak terjadi infeksi akut dan tidak melahirkan neonatus yang terinfeksi
secara kongenital.

2.5 Patofisiologi
Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii
dengan hospes definitif kucing dan hospes perantara manusia. Manusia dapat terinfeksi
parasit ini bila memakan daging yang kurang matang atau sayuran mentah yang mengandung
ookista atau pada anakanak yang suka bermain di tanah, serta ibu yang gemar berkebun
dimana tangannya tertempel ookista yang berasal dari tanah.
Perkembangan parasit dalam usus kucing menghasilkan ookista yang dikeluarkan
bersama tinja. Ookista menjadi matang dan infektif dalam waktu 3-5 hari di tanah. Ookista
yang matang dapat hidup setahun di dalam tanah yang lembab dan panas, yang tidak terkena
sinar matahari secara langsung. Ookista yang matang bila tertelan tikus, burung, babi,
kambing, atau manusia yang merupakan hospes perantara, dapat menyebabkan terjadinya
infeksi. Toksoplasmosis dikelompokkan menjadi toksoplasmosis akuisita (dapatan) dan
toksoplasmosis kongenital yang sebagian besar gejalanya asimtomatik. Keduanya bersifat
akut kemudian menjadi kronik atau laten. Gejala yang nampak sering tidak spesifik dan sulit
dibedakan dengan penyakit lainnnya.
Pada ibu hamil yang terinfeksi di awal kehamilan, transmisi ke fetus umumnya jarang,
tetapi bila terjadi infeksi, umumnya penyakit yang didapat akan lebih berat. Pada
toksoplasmosis yang terjadi di bulan-bulan terakhir kehamilan, parasit tersebut umumnya
akan ditularkan ke fetus tetapi infeksi sering subklinis pada saat lahir. Pada ibu hamil yang
mengalami infeksi primer, mula-mula akan terjadi parasitemia, kemudian darah ibu yang
10
masuk ke dalam plasenta akan menginfeksi plasenta (plasentitis). Infeksi parasit dapat
ditularkan ke janin secara vertikal. Takizoit yang terlepas akan berproliferasi dan
menghasilkan fokus-fokus nekrotik yang menyebabkan nekrosis plasenta dan jaringan
sekitarnya, sehingga membahayakan janin dimana dapat terjadi ekspulsi kehamilan atau
aborsi.
Setelah manusia mengonsumsi kista yang mengandung bradizoit atau ookista yang
mengandung sporozoit, parasit dilepaskan dari kista oleh proses pencernaan tubuh manusia.
Bradizoit bersifat resisten terhadap pepsin dan akan menginvasi saluran gastrointestinal. Di
dalam enterosit, parasit menjalani transformasi morfologi menjadi takizoit. Takizoit
menginduksi respons IgA sekretorik. Dari saluran gastrointestinal, parasit menyebar ke organ-
organ lainnya, terutama jaringan limfatik, otot rangka, otot jantung, retina, plasenta, dan
sistem saraf pusat.
Pada organ-organ tersebut, parasit melakukan infeksi, dan menyebabkan kematian sel,
nekrosis, dan respons inflamasi akut. Pada host imunokompeten, respons imun humoral dan
seluler mampu mengontrol infeksi. Takizoit langsung dikelilingi oleh mekanisme imun,
seperti induksi antibodi terhadap parasit, aktivasi makrofag, produksi interferon g, dan
stimulasi limfosit T CD8+ sitotoksik. Pada host immunocompromised atau fetus, faktor imun
yang dibutuhkan untuk mengontrol penyebaran takizoit tidak ada. Alhasil, takizoit dapat
bertahan dan menyebabkan kerusakan progresif.
Organ-organ yang dapat terdampak oleh infeksi parasit adalah:
1. Nodus limfe
Pada nodus limfe, terjadi hiperplasia folikuler dan klaster makrofag ireguler dengan
sitoplasma eosinofilik.
2. Mata
Pada mata, inflitrat monosit, limfosit, dan sel plasma dapat memproduksi lesi uni- atau
multifokal. Lesi granuloma dan korioretinitis dapat diamati pada ruang posterior bola mata
setelah retinitis akut.
3. Sistem saraf pusat
Meningoensefalitis terpusat dan menyebar dapat terlihat, dengan adanya nekrosis dan
nodul mikrogial. Ensefalitis pada pasien tanpa AIDS dicirikan dengan lesi kecil menyebar
dengan perivascular cuffing (daerah dengan agregasi leukosit di sekitar pembuluh darah).

11
Pada pasien dengan AIDS, terdapat leukosit polimorfonuklear di samping monosit, limfosit,
dan sel plasma.
4. Paru-paru dan jantung
Pneumonitis dapat berkembang pada neonates dan pasien immunocompromised. Terlihat
septa alveolus yang menebal dan terdapat edema. Kista dan agregat parasit terdapat pada
jaringan otot jantung pasien AIDS yang meninggal karena toksoplasmosis.
5. Saluran gastrointestinal
Beberapa kasus infeksi saluran pencernaan oleh T. gondii ditunjukkan dengan ulserasi pada
mukosa. Tempat-tempat lain, seperti otot rangka, pankreas, lambung, dan ginjal.
2.5.1 Penularan
a. Pada Toksoplasmosis congenial transmisi Toxoplasma kepada janin terjadi in utero
melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil.
b. Pada Toksoplasmosis akuisita infeksi dapat terjadi bila memakan daging mentah atau
kurang matang (misalnya sate), kalau daging tersebut mengandung kista jaringan atau
takizoit Toxoplasma. Pada orang yang tidak makan daging dapat terinfeksi bila
ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan.
c. Terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari donor penderita toksoplasmosis laten
kepada resipien yang belum pernah terinfeksi Toxoplasma gondii.
d. Kecelakaan laboratorium dapat terjadi melalui jarum suntik dan alat laboratoriurn lain
yang terkontaminasi oleh Toxoplasma gondii.
e. Transfusi darah lengkap dapat menyebabkan infeksi.

Orang yang berisiko terkena toksoplasma berat:


category comment
 Bayi yang lahir dari ibu yang pertama  Ibu yang pertama kali terpapar
kali terkena infeksi ytoksoplasma toksoplasma lebih dari 6 bulan
beberapa bulan sebelum atau selama sebelum hamil kemungkinan besr
kehamilan tidak menularkan infeksi tersebut
 Orang dengan system kekebalan yang kepada anaknya
sangat lemah.  Infeksi yang terjadi dapat terjadi
kapan saja selama inangnya hidup dan

12
dapat aktif kembali

2.6 Tanda dan Gejala


Pada manusia dengan sistem imun yang baik, infeksi Toxoplasma gondii umumnya tidak
menunjukkan gejala. Orang yang terinfeksi dapat mengalami limfadenopati servikal tanpa
gejala, atau dengan tanda dan gejala seperti nyeri otot, sakit tenggorokan, demam, dan
kemerahan di kulit dengan makula dan papul. Gejala yang jarang muncul adalah polimiositis
(peradangan dan kelemahan otot) dan miokarditis (inflamasi pada otot jantung).
a. Toksoplasmosis okular ditandai dengan gangguan penglihatan akibat peradangan pada
selaput jala (retina).
b. Toksoplasmosis ensefalitis merupakan peradangan pada otak yang disebabkan oleh
invasi kuman ke otak. Akibatnya, dapat ditemukan gejala neurologis, seperti demensia
(gangguan proses mental yang ditandai dengan gangguan ingatan, perubahan sikap,
dan gangguan berpikir), ataksia (kesulitan mengontrol gerakan tubuh), letargi (rasa
lesu), dan kejang. Pada pasien AIDS, ciri-ciri yang umum terjadi namun bukan
patognomonik adalah abses otak, yang disebabkan oleh buruknya respons imun tubuh
terhadap patogen.
c. Toksoplasma kongential, prematuritas, retinokoroiditis, strabismus, kebutaan,
hipotanus, anemia, icterus, hepatosplenomegali.
Penderita toksoplasmosis kongenital dapat tidak menunjukkan gejala, namun juga
dapat mengalami:
 Retinochoroiditis (inflamasi pada retina dan koroid) dan/atau kondisi yang melibatkan
sistem saraf pusat.
 Kalsifikasi intrakranial yang ditandai dengan hidrosefalus, keterlambatan
perkembangan mental, epilepsi, dan gejala lainnya yang mirip dengan gejala infeksi
TORCH (rubella, sitomegalovirus, herpes simplex virus)
 Lesi retina pada bagian makula (bintik kuning). Kondisi ini menyebabkan kebutaan
atau low vision.
 Pada bayi dapat menginfeksi otak, organ yang tidak mempunyai kemampuan
regenerasi, manifestasi berupa hidrosefalus.
 Orang dewasa berupa manifestasi klinis berupa limfestasi klinis, rasa lelah, demam,
nyeri otot, sakit kepala.
13
Perkembangan abnormal embriologis akibat toxoplasmosis secara embriologis akibat
toxoplsmosis :
 Trimester I
Kematian fetus dan abortus terjadi karena pada sel yang terinfeksi toxoplasma akan
dihasilkan interferon yang berfungsi untuk mengontrol multiplikasi parasit, Dimana
terlalu banyak interferon dapat menyebabkan kematian fetus yang diakibatkan reaksi
imunopatologis. Hal ini terjadi pada saat pembentukan fetus. Biasanya terjadi pada
masa awal gestasi.
 Trimester II
Dapat terjadi kelainan neurolegis seperti hidrosefalus, mikrosefali, kejang dan
retardasi mental, di mana pada minggu ke 5-10 kehamilan adalah proses terbentuknya
bagian-bagian otak dan wajah. Di mana pada bulan 2-5 masa kehamilan terjadi proses
migrasi neuron dari germinal ke korteks. Gangguan pada migrasi termasuk
heterotopia, agyria- pakegiria, poimikrogiria dan gangguan histogenesis. Di mana
berhubungan dengan pembentukan gray matter di otak .
 Trimester III:
Dapat terjadi retinokoroiditis (okuler toxoplasmosis) namun biasanya bermanifestasi
setelah beberapa tahun kemudian tergantung dari terapi. Secara patologis terjadi lesi
inflamasi fundus yang terdiri dari sel-sel mononuclear, limfosit makrofag, epiteloid
dan sel-sel plasma. Hal ini mengakibatkan retinal vaskulitis yang meryebabkan
rupturnya barrier pembuluh darah retina sehingga fungsi retina menurun dimana
terjadi destruksi dan penipisan selaput retina. Mikroftalmia juga dapat terjadi pada ibu
dengan toxoplasmosis dimana ukuran. mata terlalu kecil dan volurne bolg maa
berkurang sampai dengan dari normal dan biasanya disertai cacat mata lainnya

2.7 Diagnosis
Diagnosis toksoplasmosis biasanya dilakukan dengan uji serologi. Untuk mengetahui
apakah seseorang sudah terinfeksi atau belum, dilakukan tes untuk mengukur
immunoglobulin G (IgG). Untuk memperkirakan lama infeksi (yang terutama penting bagi
ibu hamil), uji untuk mengukur immunoglobulin M (IgM) dilakukan seiring dengan tes lan
seperti tes aviditas.

14
Diagnosis juga dapat dilakukan melalui pengamatan langsung parasit pada jaringan,
cairan serebrospinal, dan material biopsi lainnya. Namun, teknik ini jarang dilakukan karena
kesulitan memperoleh spesimen-spesimen ini. Parasit dapat diisolasi dari darah dan cairan
tubuh lainnya.Teknik molekuler dapat mendeteksi DNA parasit pada cairan amnion untuk
mengetahui adanya transmisi ibu ke anak (kongenital). Toksoplasmosis okuler dapat
diketahui dari penampakan lesi pada mata.
a. Uji Serologi
Uji serologi seringkali diperlukan untuk menentukan apakah pasien benar-benar
terinfeksi atau tidak dan untuk menentukan apakah infeksi akut atau kronis berlangsung.
Panel uji serologi atau toxoplasma serological profile (TSP) meliputi sabin - Fieldman dye
test (DT), Double sandwich IgM enzym linked immunosorbent assay (ELISA), ELISA
IgA, IgE ELISA dan uji aglutinasi (AC/HS test).
b. PCR
PCR dapat mendeteksi DNA T.gondii pada jaringan otak, cairan serebrospinal, cairan
ketuban, aqueous humor dan cairan vitreous serta Bronchoalveolar Lavage (BAL).9 Pada
pasien dengan ensefalitis toksoplasma, sensitivitas PCR pada CSF sekitar 50-60%,
spesifisitasnya sekitar 100%. PCR pada sampel darah memiliki sensitivitas yang rendah.
c. Pemeriksaaan Histologi
Teknik pewarnaan imunoperoksidase dapat menunjukkan pembentukan takizoit pada
bagian jaringan atau cairan tubuh yang terinfeksi. Kista jaringan multipel dengan
peradangan nekrotik di sekitarnya dapat mengindikasikan adanya infeksi akut atau
reaktivasi infeksi menahun.
d. Isolasi dari Toxoplasma Gondii
Diagnosis pasti toksoplasmosis dapat ditegakkan dengan isolasi parasit dari cairan
tubuh (darah, CSF, BAL) atau biopsi jaringan. Pemeriksaan ini tidak praktis karena
pengambilan sampel memerlukan waktu kurang lebih 6 bulan.

2.8 Kategori Toxsoplasma gondii


1) Toxsoplasma Pada Pasien Imunokompeten
1. Manifestasi Klinis
Hanya 10-20% anak-anak dan orang dewasa dengan toksoplasmosis yang
menunjukkan gejala. Pada pasien imunokompeten, toksoplasmosis seringkali tidak
15
menunjukkan gejala atau hanya ringan, dengan gejala tidak spesifik seperti demam,
pembesaran kelenjar getah bening, nyeri otot, leher kaku , nyeri saat menelan, atau nyeri
perut.
2. Pemeriksaan
 Tes IgM dan IgG dilakukan untuk evaluasi awal dugaan toksoplasmosis.
 Ujian paralel dilaksanakan 3-4 minggu setelah ujian pertama.
 Hasil IgM dan IgG negatif maka terhindar dari toksoplasmosis.
 Infeksi akut terjadi bila titernya meningkat lebih dari 4 kali lipat dibandingkan titer
tes awal.
 Tes panel seperti Profil Serologis Toksoplasma (TSP) atau aviditas IgG digunakan
untuk membedakan apakah infeksinya akut atau kronis.

3. Penatalakasanaan

 Pengobatan tidak diperlukan pada kasus tanpa gejala kecuali pada anak < 5 tahun.
Hanya pasien imunokompeten yang mempunyai gejala yang diobati.
 Pirimetamin diberikan dalam dosis muatan 100 mg, kemudian 25–50 mg/hari
dikombinasikan dengan sulfadiazin 2–4 g/hari dalam dosis terbagi 4 kali/hari
selama 2–3 minggu atau dapat juga dikombinasikan dengan klindamisin 300 mg 4
kali/hari selama 6 minggu.
 Sulfadiazin merupakan golongan sulfonamida dengan masa kerja sedang.
Mekanisme kerjanya bersifat bakteriostatik dengan menghambat sintesis asam
folat, serta menghambat enzim yang membentuk asam folat dan para amino
benzoic acid (PABA). Sebagian bahan ini menginaktivasi enzim seperti
dehidrogenase atau karboksilase yang berperan pada respirasi bakteri.
 Sulfadiazine dan klindamisin dapat diganti dengan azitromisin 500 mg/hari atau
atovaquone 750 mg 2 kali/hari.
 Alternatif lain yang dapat diberikan adalah Trimethoprim (TMP) 10 mg/kg/hari,
sulfamethoxazole (SMX) 50 mg/kg/hari selama 4 minggu.

4. Diagnosis

16
Pasien imunokompeten memiliki prognosis yang baik, limfadenopati dan gejala
lainnya hilang dalam beberapa minggu setelah infeksi.

2) Toxsoplasmosis pada pasien immunocompromised


1. Manifestasi Klinis
Pada host immunocompromised seperti pasien AIDS,keganasan hematologi,
penerima transplantasi sumsum tulang, transplantasi organ padat (termasuk jantung, hati,
ginjal), toksoplasmosis dapat menyebabkan ensefalitis,meningoensefalitis, miokarditis,
dan pneumonitis.Angka kejadian toksoplasmosis pada penerima transplantasi alogenik
adalah 40%, angka kematian mencapai 60-90%.
Infeksi SSP terjadi pada 5-10% penerima transplantasi. Ensefalitis toksoplasma (TE)
adalah manifestasi yang paling sering terjadi pada pasien dengan sistem kekebalan yang
lemah Pada 58-89% kasus terjadi pada manifestasi klinis subakut berupa kelainan
neurologis fokal, pada 15-25% kasus dengan manifestasi klinis yang lebih parah berupa
kejang dan pendarahan otak.
Manifestasi klinis lainnya seperti kehilangan kesadaran, meningismus, gejala
cerebellar, gangguan neuropsikiatri, demensia, agitasi. Pada pasien HIV risiko infeksi
SSP berhubungan dengan kadar CD4, risiko lebih tinggi pada mereka yang hanya
memiliki jumlah CD4+ < 200 sel/mm³. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa setiap
penurunan sel CD4+ sebanyak 50 sel akan meningkatkan risiko TE sebesar 30%, namun
pada era HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) seperti saat ini risiko dan
mortalitas TE menurun akibat peningkatan sistem kekebalan tubuh. Toksoplasmosis pada
penderita AIDS juga dapat menyerang paru-paru, mata, dan organ lainnya.
Toksoplasmosis paru (pneumonitis) terjadi terutama pada pasien AIDS stadium lanjut
dengan manifestasi klinis meliputi demam, sesak napas, dan batuk dan seringkali sulit
dibedakan dengan jeroveci pneumocystic pneumonia. Angka kematian berkisar 35%.
2. Pemeriksaan
 Reaktivasi infeksi kronis adalah penyebab paling umum dari toksoplasmosis pada
orang dengan sistem imun lemah pasien.
 Titer IgM dan IgG meningkat pada reaktivasi.
 Meskipun demikian IgM dan IgG anti Toksoplasma serum yang negatif tidak
serta merta menyingkirkan diagnosis toksoplasmosis.
17
 Isolasi parasit dari darah, cairan tubuh yang terinfeksi, cairan BAL merupakan
diagnosis pasti infeksi toksoplasmosis.
 Tes lain yang mungkin dilakukan termasuk uji PCR untuk mendeteksi DNA
T.gondii dalam darah atau cairan tubuh.
 CT scan atau MRI harus dilakukan jika dicurigai adanya keterlibatan SSP pada
infeksi T.gondii.
 Gambaran umum lesi cincin multipel-meningkatkan dukungan diagnosis
toksoplasmosis
3. Penatalaksanaan
 Terapi toksoplasmosis pada pasien HIV – AIDS dibagi menjadi 2 pengobatan
akut dan terapi pemeliharaan.
 Terapi akut diberikan minimal 3 minggu dan dapat diberikan selama 6 minggu
bila respon lengkap tidak terjadi, selanjutnya diperlukan terapi pemeliharaan
untuk mencegah kekambuhan.
 Profilaksis primer dianjurkan pada AIDS seropositif HIV dimana jumlah CD4+ <
100 / mm³ atau pasien dengan CD4 < 200 / mm³ disertai dengan infeksi
oportunistik dan keganasan. Regimen yang digunakan dapat diberikan TMP –
SMX (trimethoprim- sulfamethoxazole).
 Dosis TMP – SMX adalah satu tablet kekuatan ganda (DS) (trimethoprim 160 mg,
sulfamethoxazole 800 mg) 2 kali/hari (14 tablet DS/ minggu).
 Pada infeksi akut dapat diberikan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin.
Regimen ini merupakan rejimen standar untuk pengobatan TE.
 Pirimetamin dosis awal 200 mg/hari selanjutnya 50-75 mg/hari ditambah
sulfadiazin 4–8 g/hari selama 6 minggu kemudian disebut sebagai terapi supresif
seumur hidup atau untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
 Dalam beberapa penelitian disebutkan kombinasi pirimetamin – klindamisin dan
trimetoprim – sulfametoksazol sama efektifnya dengan penggunaan kombinasi
pirimetamin – sulfadiazin.
 Klindamisin dapat diberikan dengan dosis 600 mg PO/IV, 4 kali/hari selama 3–6
minggu.

18
 Dosis untuk terapi supresif 300–450 mg PO setiap 6–8 jam.2,21 Kombinasi
atovaquone dengan pirimetamin atau sulfadiazin juga memberikan efektivitas
yang tinggi.
 Obat ini mampu menghilangkan bradizoit pada hewan percobaan. Dapat diberikan
dengan dosis 750 mg (5 mL) PO saat makan selama 21 hari.
Pada beberapa penelitian regimen ini memberikan hasil yang baik pada gambaran
klinis dan radiologi sebesar 77% dalam waktu 6 minggu pengobatan dan tingkat
kekambuhan sebesar 5 % dalam masa pemeliharaan. Terapi pemeliharaan (profilaksis
sekunder) dapat dimulai setelah selesai terapi pada fase akut diberikan, yaitu regimen yang
digunakan sama seperti pada fase akut namun dengan setengah dosis Profilaksis primer
dapat dihentikan jika jumlah CD4 setelah penggunaan obat antiretroviral (ARV)
meningkat > 200/mm³ yang menetap selama kurang lebih 3 bulan, dengan pemeriksaan
jumlah virus negatif.
 Profilaksis sekunder dihentikan jika pasien pernah menjalani pengobatan akut dan
menunjukkan perbaikan klinis yang ditandai dengan hilangnya tanda dan gejala
toksoplasmosis dan perbaikan sistem kekebalan tubuh setelah pengobatan dengan
HAART yang ditandai dengan peningkatan CD4+ >200/mm³ yang menetap
selama kurang lebih 6 bulan.
4. Diagnosis
Pada pasien immunocompromised, reaktivasi toksoplasmosis kronis sering terjadi.
Terapi penekan dan peningkatan sistem kekebalan tubuh dapat mengurangi risiko infeksi
berulang
3) Toxsoplasmosis kongenital (kelainan bawaan)
1. Manifestasi Klinis

Kasus toksoplasmosis kongenital telah dilaporkan di Indonesia. Lazuardi dkk (1989)


melaporkan T.gondii antibodi pada 44,6% anak-anak dengan keterbelakangan mental,
44,6% pada anak- anak dengan lesi mata dan 9,5% pada anak-anak dengan
keterbelakangan mental. anak-anak dengan gejala umum. Risiko dan tingkat keparahan
gejala toksoplasmosis kongenital lebih parah jika infeksi terjadi pada awal kehamilan.
Trias klasik toksoplasmosis kongenital adalah korioretinitis, hidrosefalus, dan kalsifikasi
intrakranial. Keterlibatan sistem saraf dan mata seringkali timbul belakangan jika tidak

19
ditemukan pada saat lahir. Kejang, keterbelakangan mental, dan kekakuan adalah gejala
sisa yang umum.

2. Pemeriksaan
 IgM positif merupakan bukti kuat adanya infeksi kongenital, namun IgM negatif
tidak menyingkirkan diagnosis.
 IgA serum lebih sensitif untuk mendeteksi toksoplasmosis kongenital dibandingkan
IgM.
 Ketika gejala dan bukti serologis toksoplasmosis terdeteksi selama kehamilan,
infeksi pada janin sudah dapat ditegakkan dengan deteksi IgM dan isolasi parasit
dari darah janin atau cairan ketuban pada usia kehamilan 18 minggu.
 Pemeriksaan sebelum usia kehamilan 20 minggu sulit dilakukan karena respon
imunologi janin masih rendah.
 PCR pada cairan ketuban dapat lebih akurat mendiagnosis infeksi pada janin
sebelum usia kehamilan 20 minggu.
 Sensitivitas tes ini sebesar 64% dengan nilai prediksi negatif sebesar 87,8%,
spesifisitas dan nilai prediksi positif sebesar 100%.
 USG Antenatal dapat mengidentifikasi kelainan pada janin yang terinfeksi. Sekitar
36% janin dengan kelainan dapat diidentifikasi. Kelainan yang dapat ditemukan
adalah dilatasi ventrikel simetri bilateral, kalsifikasi intrakranial, peningkatan
ketebalan plasenta, hepatomegali dan asites.
3. Penatalaksanaan
 Pada bayi baru lahir dengan toksoplasmosis, dapat diberikan kombinasi
pirimetamin 1 mg/kg BB per hari selama 2 bulan diikuti 1 mg/kg BB setiap 2 hari
selama 10 bulan, sulfadiazin 50 mg/kg BB per hari, serta asam folat 5 –10 mg 3
kali seminggu untuk mencegah efek samping pirimetamin. Selain pemberian obat
juga diperlukan tindak lanjut yang teratur.
 Hitung darah lengkap 1–2 kali seminggu untuk dosis harian pirimetamin dan 1–2
kali per bulan untuk dosis pirimetamin yang dilakukan setiap 2 hari untuk
memantau efek toksik obat.

20
 Juga diperlukan pemeriksaan pediatrik lengkap, meliputi pemeriksaan oftalmologi
setiap 3 bulan hingga usia 18 bulan dan kemudian setahun sekali, serta pemeriksaan
neurologis setiap 3–6 bulan hingga usia 1 tahun.

4) Toxsoplasmosis okular (mata)


1. Manifestasi Klinis
Korioretinitis toksoplasma dapat terjadi karena infeksi bawaan atau didapat setelah
lahir. Infeksi terjadi pada 2/1000 kehamilan di Amerika, dengan rata-rata infeksi
transplasenta ÿ50%. Tujuh puluh persen bayi dengan infeksi kongenital menunjukkan
bekas luka pada korioretina.Gejalanya meliputi penglihatan kabur, skotoma, fotofobia,
dan nyeri. Dari pemeriksaan oftalmologi diperoleh formasi retinitis nekrotikans fokal
yang menyerupai kapas berwarna putih kekuningan, dengan batas tidak jelas. Pada infeksi
kongenital seringkali lesi bilateral sedangkan pada infeksi didapat umumnya unilateral.
2. Pemeriksaan Meningkat
 Tes serologis seringkali tidak membantu karena diagnosis sering diperoleh dengan
titer IgG yang rendah, seringkali IgM tidak terdeteksi.
 Peningkatan kadar IgG 4 kali lipat dari kadar awal dalam waktu 4 minggu
menunjukkan adanya infeksi primer.
 Tes lain yang dapat dilakukan adalah amplifikasi DNA parasit dari aqueous atau
vitreous humor.
3. Penatalaksanaan
 Pengobatan tergantung pada beberapa faktor seperti lokasi lesi, derajat
peradangan, ancaman kebutaan dan status kekebalan tubuh pasien.
 Bila infeksi tidak mengenai diskus optikus dan makula serta hanya disertai
peradangan ringan maka pengobatan tidak diperlukan.
 Pirimetamin paling efektif untuk infeksi ini, diberikan dosis muatan 25 mg 3
kali/hari dilanjutkan 25 mg/hari. Obat ini sebaiknya dikombinasikan dengan
sulfadiazine dengan dosis muatan lebih lanjut 2 g 1 g 4 kali/hari.Terapi dilakukan
selama 6-12 minggu.
 Respon pengobatan ditunjukkan dengan hilangnya bercak putih kekuningan pada
retina, vitreus menjadi jernih dan bekas luka atrofi korioretina menjadi berbatas
tegas.
21
 Pilihan obat lainnya adalah klindamisin 300 mg 3-4 kali/hari selama 3-4 minggu,
kemudian 150 mg empat kali/hari selama 3-4 minggu berikutnya.

 Spiramycin merupakan obat yang paling sering digunakan dan mempunyai efek
samping yang paling sedikit diantara pilihan obat lain, dapat diberikan dengan
dosis 1 g sebanyak 2 kali/hari. Spiramisin merupakan antibiotik makrolid paling
aktif terhadap toksoplasmosis di bandingkan dengan antibiotika lainnya, dengan
mekanisme kerja yang serupa dengan klindamisin. Spiramisin menghambat
pergerakan mRNA pada bakteri/parasit dengan cara menghambat 50s ribosom,
sehingga sintesis protein bakteri/parasit akan terhambat dan kemudian mati.

5) Toxsoplasmosis Pada Kehamilan


1. Manifestasi Klinis
Kebanyakan ibu hamil dengan infeksi akut tidak mengalami gejala spesifik. Beberapa
memiliki gejala malaise, subfebris, limfadenopati. Frekuensi penularan vertikal ke janin
meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan.

2. Pemeriksaan
 Pemeriksaan IgG dan IgM idealnya dilakukan pada trimester pertama kehamilan.
 Serum IgG dan IgM negatif dengan menunjukkan bahwa ibu hamil tidak terinfeksi,
menghadapi pemeriksaan lebih lanjut yang dilakukan selama kehamilan untuk
mengantisipasi terjadinya serokonversi.
 Pada hasil IgG positif namun IgM negatif pada kehamilan < 18 minggu
menunjukkan telah terjadi infeksi pada masa lampau, sedangkan pada kehamilan >
18 minggu hasil ini sulit untuk diinterpretasikan apakah infeksi tersebut akut atau
kronis berlangsung sehingga diperlukan pemeriksaan aviditas.
 Pada hasil IgG negatif namun pemeriksaan IgM positif harus diulang 1-3 minggu
kemudian, bila hasilnya tetap sama berarti IgM positif tidak mempunyai arti klinis,
sedangkan bila terjadi serokonversi IgG menjadi positif yang menandakan bahwa
infeksi terjadi selama kehamilan sehingga janin berisiko tinggi terkena
toksoplasmosis kongenital.

22
 Pada pemeriksaan IgG dan IgM positif dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk
memastikan infeksi akut atau kronik tersebut uji aviditas sangat diperlukan.
 IgG aviditas yang tinggi menunjukkan bahwa infeksi terjadi >16 minggu
sebelumnya, sehingga pemeriksaan pada trimester pertama kehamilan
menunjukkan infeksi terjadi sebelum konsepsi mengurangi risiko penularan dan
risiko cacat janin rendah.
3. Penatalaksanaan
 Spiramycin adalah Obat Pilihan untuk toksoplasmosis ibu.
 Dosis 3 g/hari PO dalam dosis terbagi 24 kali/hari selama 3 minggu, dihentikan
selama 2 minggu lalu diulangi siklus 5 mingguan selama kehamilan.
 Bila PCR positif regimen cairan ketuban sebaiknya diganti dengan pirimetamin 50
mg/ hari dan sulfadiazin 3 g/hari dalam 2–3 dosis terbagi selama 3 minggu diselingi
dengan pemberian spiramisin 1 g 3 kali/hari selama 3 minggu.
 Pirimetamin merupakan anti parasit yang secara kimiawi dan farmakologi
menyerupai trimetroprim. Didalamnya terdapat zat aktif diaminopirimidin yang
bekerja sebagai inhibitor poten dari dihidrofolat reduktase dan bekerja secara
sinergis dengan sulfonamid. Dosis pirimetamin 25-50 mg per oral sekali sehari dan
dikombinasikan dengan sulfonamid selama 1-3 minggu; kemudian dosis obat
dikurangi setengah dari dosis sebelumnya, dan terapi dilanjutkan 4-5 minggu.
Kekurangan asam folat akan memicu agranulositosis, sehingga pemberian
pirimetamin harus bersama dengan asam folat.
4. Diagnosa
Bayi yang menderita toksoplasmosis okular mempunyai prognosis yang baik dan dalam
empat tahun ke depan mempunyai perkembangan yang sama dengan bayi yang tidak
terinfeksi.
Pengontrolan :
Sulit untuk mengendalikan toksoplasmosis karena beragamnya reservoir hewan. Saat ini,
belum ada vaksin yang efektif tersedia untuk manusia. Vaksin rekayasa genetika sedang
dikembangkan untuk digunakan pada kucing.

Terapi non-farmakologis :
Rekomendasi untuk menurunkan risiko infeksi primer toksoplasmosis adalah :
23
1. Hindari konsumsi daging yang kurang matang. Masak semua daging sampai tidak
kelihatan merah muda dan tidak berair.
2. Selalu gunakan sarung tangan selama, dan cuci memegang daging mentah.seluruh
tangan setelah.
3. Cucilah semua perkakas yang menyentuh daging yang kurang matang dengan
seksama.
4. Cucilah semua sayuran yang tidak dimasak dengan seksama.
5. Gunakan sarung tangan saat berkebun atau bekerja dengan tanah. Cucilah tangan
segera setelah menyentuh tanah.
6. Jika memungkinkan, jaga kucing agar tetap didalam selama kehamilan dan jangan
member makan. kucing daging yang tidak dimasak atau mentah.
7. Gunakan sarung tangan saat, dan cucilah tangan segera setelah, mengganti alas
kotoran kucing.
Pencegahan :
Infeksi primer toxoplasma dapat dikurangi dengan menghindari bahan yang
terkontaminasi ookista dan memakan daging yang kurang matang. Daging harus dimasak
hingga suhu 60°C dan dibekukan untuk mematikan kista. Tangan harus dicuci sampai bersih
setelah bekerja di kebun, sayur dan buah harus dicuci dahulu.
Darah yang digunakan untuk tranfusi pada penderira dengan keadaan umum lemah.
dengan hasil serologis kehamilan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining untuk
antubodi terhadap Tgondii. Meskipun pemeriksaan skrining serologis tidak dilakukan rutin,
namun wanita dengan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining beberapa kali
selama kehamilannya untuk menemukan bukti adanya infeksi jika mereka terpajan dengan
situasi lingkungan yang memberikan resike terkena infeksi T.gondii.

24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh protozoa organisme
intraseluler Toxoplasma gondii. Infeksi terjadi melalui oral karena mengkonsumsi produk
hewani yang mengandung ookista dan tidak dimasak dengan benar, makanan yang
mengandung parasit seperti bradizoit, kontak dengan kotoran kucing yang mengandung
ookista atau penyebaran vertikal hematogen dari plasenta. Toksoplasmosis dapat
menimbulkan gejala patologis yang parah, termasuk retinochoroiditis, miokarditis dan
meningoensefalitis, berpotensi menyebabkan kematian. Namun, kebanyakan manusia yang
terinfeksi tidak menunjukkan gejala, menunjukkan sedikit atau tidak ada gejala fisiologis.
Diagnosis dari toksoplasmosis dapat dilakukan dengan uji serologi. Saat ini, diagnosis
menjadi lebih mudah dan akurat, hal ini akan membuat penyembuhan sempurna bagi pasien.
Dengan cara ini, diharapkan insidensi keguguran, defek kongenital dan bayi lahir mati yang
diakibatkan oleh toksoplasmosis dapat dicegah sesegera mungkin. Akhirnya, insidensi
disabilitas pada anak-anak dapat dihindari sehingga dihasilkan sumber daya manusia dengan
kualitas tinggi.

3.2 Saran
Saran yang dapat diambil dari makalah tentang Toksoplasmosis antara lain:
1. Perlu adanya kesadaran akan pentingnya memasak makanan dengan benar dan
menghindari konsumsi daging mentah atau setengah matang serta air yang
terkontaminasi oleh ookista Toksoplasma gondii untuk mencegah infeksi.
2. Diperlukan peningkatan kesadaran akan risiko toksoplasmosis pada wanita hamil, serta
perlunya pemeriksaan rutin untuk deteksi dini dan penanganan yang tepat.
3. Pentingnya penelitian lebih lanjut terkait penularan dan pencegahan toksoplasmosis,
terutama pada populasi rentan seperti anak-anak dan individu dengan sistem kekebalan
tubuh yang lemah.
4. Perlunya edukasi masyarakat tentang cara-cara penularan toksoplasmosis dan langkah-
langkah pencegahannya, serta pentingnya konsultasi dengan tenaga medis jika
mengalami gejala yang mencurigakan.

25
5. Diperlukan upaya untuk meningkatkan akses terhadap pemeriksaan dan pengobatan
toksoplasmosis, terutama di daerah dengan tingkat infeksi yang tinggi.
Saran-saran tersebut dapat menjadi panduan untuk upaya pencegahan, deteksi dini, dan
penanganan toksoplasmosis di masyarakat.

26
DAFTAR PUSTAKA

Garcia,Lynee Shore.2007. DIAGNOSTIC MEDICAL PARASITOLOGY FIFTH


EDITION.Washington, D.C:Asm Press.Hal 523.
Ghosh,Sougata.2018. Paniker’s Textbook of MEDICAL PARASITOLOGY Eighth
Edition.Hal 90.
Yuliawati,Irma and Nasronudin .2015. PATHOGENESIS, DIAGNOSTIC AND
MANAGEMENT OF TOXOPLASMOSIS.,Indonesia journal of tropical and
infectious disease,Vol.5 no. 4 January-April 2015.

27

Anda mungkin juga menyukai