Anda di halaman 1dari 31

TUGAS

Penyakit Infeksi Dalam Kehamilan dan Nifas


“TORCH”

Disusun oleh:

Asti Marian Sari


2120332019

Dosen Pengampu: Dr. dr. H. Ariadi, SpOG (K)

PROGRAM STUDI S2 ILMU KEBIDANAN


PASCASARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2023
Kata Pengantar

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya


sehingga saya dapat menyelesaikan makalah pada Mata kuliah Penyakit Infeksi
Kehamilan dan Nifas ini tepat pada waktu yang telah ditentukan. Laporan ini
Diajukan Sebagai Tugas Ujian Akhir Semester.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Dr. dr. H. Ariadi, SpOG (K) sebagai dosen pengampu mata kuliah, yang telah
banyak mencurahkan waktu untuk membimbing dalam proses pembelajaran.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini, dan juga harapan penulis tentunya semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Padang, Februari 2023

Penulis

ii
Daftar Isi

Contents
Kata Pengantar............................................................................................................................ ii
BAB I ............................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Tujuan .............................................................................................................................. 4
BAB II .......................................................................................................................................... 5
TORCH DALAM KEHAMILAN.............................................................................................. 5
A. TOKSOPLASMA ............................................................................................................ 5
B. RUBELLA ..................................................................................................................... 10
C. SITOMEGALOVIRUS................................................................................................. 14
D. HERPES SIMPLEKS ................................................................................................... 18
BAB III ....................................................................................................................................... 26
PENUTUP .................................................................................................................................. 26
A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 26
B. Saran .................................................................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit TORCH merupakan kelompok infeksi beberapa jenis virus


yaitu parasit Toxoplasma gondii, virus Rubella, CMV (Cytomegalo Virus),
virus Herpes Simplex (HSV1 – HSV2) dan kemungkinan oleh virus lain yang
dampak klinisnya lebih terbatas (misalnya Measles, Varicella, Echovirus,
Mumps, Vassinia, Polio dan Coxsackie-B). Penyakit TORCH ini dikenal
karena menyebabkan kelainan dan berbagai keluhan yang bisa menyerang
siapa saja, mulai anak-anak sampai orang dewasa, baik pria maupun wanita.
Bagi ibu yang terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan
pada bayinya, yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka ragam. Infeksi
TORCH juga dapat menyerang semua jaringan organ tubuh, termasuk sistem
saraf pusat dan perifer yang mengendalikan fungsi gerak, penglihatan,
pendengaran, sistem kadiovaskuler serta metabolisma tubuh.
Di Indonesia, kasus toksoplasmosis pada manusia berkisar antara 43
kasus (88%). Pada masa lalu, toksoplasmosis dinyatakan hanya dapat
mengakibatkan gejala klinis pada individu yang memiliki sistem imun yang
lemah. Namun bukti-bukti yang ada dewasa ini memperlihatkan bahwa pada
individu yang imunokompeten (sistem imun dapat berespon optimal) juga
dapat menunjukkan gejala klinis. Hat ini disebabkan patogenitas Toxoplasma
gondii sangat variatif, tergantung klonet atau tipenya. Klonet atau tipe T.
gondii terkait dengan struktur populasi klonal berdasar homologi dan
kekerabatan genetiknya. Masing-masing tipe memiliki kemampuan merusak,
memodulasi sistem imun inang dan kemampuan menghindar (evasi) dari
sistem imun inang yang berbeda beda. Hal tersebut berdampak pada
perbedaan karakter biologis, patogenitas dan imunopatogenesis serta
implikasi klinik dari perbedaan imunopatogenesis yang akan dibahas pada
tulisan ini.

Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis klasik yang dapat

1
dijumpai hampir di seluruh dunia. Menurut data WHO (World Health
organisation), diketahui sekitar 300 juta orang (0,8%) menderita
toxoplasmosis. Penyakit ini dapat menyerang manusia dan berbagai jenis
mamalia. Toxoplasmosis juga memiliki dampak ekonomis yang penting
karena dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan dan fertilitas, termasuk
abortus. Hingga saat ini, toxoplasmosis masih banyak menjadi perhatian
karena penyakit ini dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui daging,
sayuran, dan buah-buahan, serta air yang tercemar.
Pada wanita hamil yang mengalami infeksi primer pada kehamilan
trisemester pertama dapat mengakibatkan keguguran dan juga kelainan pada
janin, seperti hidrosefalus, mikrosefalus, anesefalus, serta bisa
mengakibatkan retardasi mental, retinokorioditis, dan kebutaan, dan
toxoplasmosis dapat juga mengakibatkan cacat seumur hidup, kematian pada
bayi, bahkan menjadi fatal bagi pengidap HIV. Gejala toxoplasmosis dapat
berlangsung selama beberapa minggu hingga akhirnya berkurang, Tanda-
tandanya dapat berupa lesu, sakit kepala, nyeri otot-sendi, disertai demam.
Dalam pidato yang berjudul “Biologi Molekuler Toxoplasma dan
Aplikasinya pada Penanggulangan Toxoplasma”, dituturkan Wayan bahwa
penyakit ini terkadang kurang diperhatikan karena gejala klinis yang muncul
mirip dengan penyakit lain, misalnya flu. Kecurigaan terhadap penyakit ini
baru timbul jika gejala klinis diertai dengan pembesaran kelenjar limfe.
Karena tingginya prevalensi penyakit ini di masyarakat, perlu dikembangkan
berbagai upaya diagnosis dini dan pencegahan, baik pada manusia maupun
hewan.
Berdasarkan data prevalensi toxoplasmosis, sebagian besar penduduk
Indonesia pernah terinfeksi parasit toxoplasma gondii. Pemeriksaan antibodi
pada donor darah di Jakarta memperlihatkan 60% di antaranya mengandung
antibodi terhadap parasit tersebut. Penyebaran toxoplasmosis dapat
disebabkan oleh pola hidup yang kurang higienis, seperti tidak mencuci
tangan sebelum makan dan makan daging setengah matang yang tanpa
disadari mengandung sista.
Pemberian obat, seperti sulfonamide dan pyrimethamine, dapat

2
membunuh toxoplasma pada stadium takizoit. Namun, pengobatan tersebut
tidak efektif pada stadium bradizoit. Selain itu, obat-obat tersebut bersifat
toksik sehingga tidak disarankan untuk digunakan dalam jangka waktu lama.
Lebih lanjut disampaikannya bahwa pencegahan merupakan faktor utama
dalam mengurangi prevalensi toxoplasma pada manusia. Untuk menghindari
penularan toxoplasma melalui oosit infektif dapat dilakukan dengan beberapa
cara, antara lain, selalu menjaga kebersihan hewan kesayangan (kucing
diketahui sebagai induk semang definitif (toxoplasma), tidak memberikan
daging mentah pada kucing piaraan, dan mencuci buah serta sayur sebelum
dikonsumsi. Sementara itu, untuk mencegah penularan toxoplasma melalui
sista dapat dilakukan dengan mencuci daging sebelum dimasak dan
mengurangi mengonsumsi daging setengah matang. Risiko toxoplasma
individu sangat tergantung pada imunitas seseorang, bahkan sangat bervariasi
sesuai dengan situasi. Salah satu misalnya adalah ibu hamil yang telah imun
sebelum konsepsi, tidak mempunyai risiko toxoplasma terhadap fetus yang
dikandung. Akan tetapi, beberapa individu yang immunocompromise
berisiko bila terjadi reinfeksi toxoplasma. “Oleh sebab itu, pencegahan
congenital toxoplasma dapat dicapai melalui promosi kesehatan dibanding
dengan program screening antenatal,” tutur peraih British Council Research
Awards ini.
Parasit ini biasanya menggunakan hewan kucing sebagai inang
utamanya di samping hewan-hewan herbivora, karnivora, omnivora termasuk
mamalia dan burung yang mungkin juga terinfeksi. Secara geografis,
umumnya infeksi terjadi pada daerah beriklim hangat dan jarang-jarang pada
beriklim dingin atau pegunungan. Hasil penelitian Sayoga melaporkan, dari
288 ibu hamil yang diperiksa, angka kejadian ibu hamil yang di dalam
darahnya positif terinfeksi toxoplasma adalah 14,25%. Dari ibu-ibu yang
terinveksi itu didapatkan, 4 persalinan prematur dan 1 kasus dengan kelainan
saat lahir. Hasil survei kesehatan rumah tangga yang dilakukan Hartono pada
1995 menemukan angka prevalensi zat anti terhadap toxoplasma pada wanita-
wanita hamil sebesar 60,01%.
Sedangkan jumlah penderita penyakit pada hewan-hewan yang

3
hidupnya dekat dengan manusia dagingnya dikonsumsi manusia
menunjukkan angka prevalensi yang cukup tinggi yakni 15 - 75%.
B. TUJUAN

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui mengenai Torch dalam kehamilan secara keseluruhan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui Toksoplasma, meliputi:
1) Untuk mengetahui Definisi Toksoplasma
2) Untuk mengetahui Siklus Hidup Toksoplasma
3) Untuk mengetahui Gejala Klinis Toksoplasma
4) Untuk mengetahui Diagnosis Toksoplasma
5) Untuk mengetahui Penatalaksanaan Toksoplasma
6) Untuk mengetahui Pencegahan Toksoplasma
b. Untuk mengetahui Rubella, meliputi:
1) Untuk mengetahui Definisi Rubella
2) Untuk mengetahui Patogenesis Rubella
3) Untuk mengetahui Gejala Klinis Rubella
4) Untuk mengetahui Diagnosis Rubella
5) Untuk mengetahui Penatalaksanaan Rubella
c. Untuk mengetahui Sitomegalovirus, meliputi:
1) Untuk mengetahui Definisi Sitomegalovirus
2) Untuk mengetahui Patofisiologi Sitomegalovirus
3) Untuk mengetahui Gejala Klinis Sitomegalovirus
4) Untuk mengetahui Diagnosis Sitomegalovirus
5) Untuk mengetahui Penatalaksanaan Sitomegalovirus
d. Untuk mengetahui Herpes Simpleks, meliputi:
1) Untuk mengetahui Definisi Herpes Simpleks
2) Untuk mengetahui Penyebaran Herpes Simpleks
3) Untuk mengetahui Gejala Klinis Herpes Simpleks
4) Untuk mengetahui Diagnosis Herpes Simpleks
5) Untuk mengetahui Penatalaksanaan Herpes Simpleks

4
BAB II
TORCH DALAM KEHAMILAN
A. TOKSOPLASMA
1. Definisi
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
protozoa obligat intraseluler yaitu Toksoplasma gondii. Penyakit ini
mempunyai gejala klinik dengan manifestasi yang sangat bervariasi
bahkan pada banyak pasien tidak menimbulkan gejala. Pada banyak pasien
termasuk bayi dan pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah,
toksoplasmosis dapat mengancam jiwa. Pada bagian obstetri dan
gynekologi, toksoplasmosis penting karena dapat menyebabkan penyakit
pada ibu yang tidak diketahui penyebabnya dan sangat potensial
menyebabkan infeksi bayi dalam kandungan yang dapat menyebabkan
keguguran, kematian bayi dalam kandungan, dan kecacatan pada bayi.
2. Siklus Hidup
Siklus hidup toksoplasma ada 5 tingkat :
1. fase proliferatif
2. stadium kista
3. fase schizogoni
4. gametogoni
5. fase ookista
Siklus aseksual terdiri dari fase proliferasi dan stadium kista. Fase ini dapat
terjadi dalam bermacam-macam inang. Siklus seksual secara spesifik
hanya terdapat pada kucing.
Fase proliferatif, yang menghasilkan tropozoit, terjadi secara
intraseluler dalam banyak jaringan saat terjadi infeksi primer. Tropozoit
menjadi berkurang jumlahnya pada saat imunitas inang terbentuk, dan
infeksi dapat masuk ke dalam stadium kronis. Apabila terjadi penurunan
dan penekanan daya tahan tubuh, tropozoit dapat kembali berproliferasi
dan menjadi banyak. Fase proliferasi ini juga terjadi saat pembelahan sel.
Kista dapat terbentuk setelah terjadi beberapa siklus proliferasi
dimana terbentuk tropozoit. Kista ini dapat terbentuk selama infeksi kronis
yang berhubungan dengan imunitas tubuh. Kista terbentuk intrasel dan
kemudian terdapat secara bebas di dalam jaringan sebagai stadium tidak
aktif dan dapat menetap dalam jaringan tanpa menimbulkan reaksi
inflamasi. Pada saat ini antibodi dapat menurun meskipun masih terdapat
infeksi. Pada saat daya tahan tubuh menurun dan pada saat fase proliferasi,
kista tidak terbentuk. Kista pada binatang yang terinfeksi menjadi
infeksius bila termakan oleh karnivora dan toksoplasma masuk melalui
usus.
Siklus seksual Toksoplasma gondii hanya terdapat pada kucing.
Kucing dapat terinfeksi saat makan kista, pseudokista, atau ookista.
Kemudian tropozoit masuk ke dalam epitel usus kucing dan membentuk
schizon dan kemudian membentuk makrogamet dan mikrogamet. Ookista
kemudian terbentuk dan dikeluarkan bersama feses kucing 3-5 hari setelah
terinfeksi dan menetap didalamnya selama 1-2 minggu. Ookista kemudian
menjadi sangat infeksius saat terjadi sporulasi setelah 1-3 hari pada suhu
22º C. Ookista dapat bertahan pada berbagai macam kondisi lingkungan
dan pada udara bebas selama 1 tahun atau lebih.
Infeksi pada manusia dapat terjadi saat makan daging yang kurang
matang, sayur-sayuran yang tidak dimasak, makanan yang terkontaminasi
kotorasn kucing, melalui lalat atau serangga. Juga ada kemungkinan
terinfeksi saat menghirup udara yang terdapat ookista yang berterbangan.
Cara penularan lain yang sangat penting adalah pada jalur
maternofetal. Ibu yang mendapat infeksi akut saat kehamilannya dapat
menularkannya pada janin melalui plasenta. Risiko terjadinya infeksi janin
dalam rahim meningkat menuruit lamanya atau umur kehamilan. Pada ibu
yang mendapat infeksi sebelum terjadinya konsepsi sangat jarang
menularkannnya pada janin. Meskipun resiko infeksi meningkat sesuai
umur kehamilan, tetapi > 90% dari infeksi yang didapat saat trimester III
biasanya tidak memberikan gejala saat bayi lahir.

6
Gambar 1 Siklus Hidup Toxoplasma
3. Gejala Klinis

Pada toksoplasmosis kongenital berat dapat menyebabkan kematian


janin, tetapi pada keadaan yang lain, infeksi dapat tidak memberikan gejala
dan bayi dapat lahir normal. Kelainan pada janin dengan toksoplasmosis
kongenital dapat berupa gangguan pertumbuhan janin dalam rahim,
hidrosefali, anensefali, mikrosefali, korioretinitis. Pada bayi dapat juga
lahir tanpa gejala tetapi kemudian timbul gejala lambat seperti
korioretinitis, katarak, ikterus, mikrosefali, pneumonia, dan diare.
Komplikasi jangka panjang yang serius adalah timbulnya kejang,
retardasi mental dan gangguan penglihatan. Kebanyakan bayi yang
meninggal karena infeksi toksoplasma mengalami kerusakan yang berat
pada otak.
4. Diagnosis

Pada pemeriksaan secara makroskopis, plasenta yang terinfeksi


biasanya membesar dan memperlihatkan lesi yang mirip dengan gambaran
khas dari eritroblastosis fetalis. Villi akan membesar, oedematus dan
sering immatur pada umur kehamilan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan

7
adanya gambaran organisme dalam sel. Organisme sulit ditemukan pada
plasenta, tetapi bila ditemukan biasanya terdapat dalam bentuk kista di
korion atau jaringan subkorion. Identifikasi sering sulit, sebab sinsitium
yang mengalami degenerasi sering mirip dengan kista.
Pemeriksaan yang baru dan saat ini sering digunakan adalah
dengan enzyme-linnked immunosorbent assay (ELISA). Pemeriksaan
yang sering digunakan adalan dengan mengukur jumlah IgG, IgM atau
keduanya. IgM dapat terdeteksi lebih kurang 1 minggu setelah infeksi akut
dan menetap selama beberapa minggu atau bulan. IgG biasanya tidak
muncul sampai beberapa minggu setelah peningkatan IgM tetapi dalam
titer rendah dapat menetap sampai beberapa tahun.
Secara optimal, antibodi IgG terhadap toksoplasmosis dapat
diperiksa sebelum konsepsi, dimana adanya IgG yang spesifik untuk
toksoplasma memberikan petunjuk adanya perlindungan terhadap infeksi
yang lampau. Pada wanita hamil yang belum diketahui status serologinya,
adanya titer IgG toksoplasma yang tinggi sebaiknya diperiksa titer IgM
spesifiktoksoplasma. Adanya IgM menunjukkan adanya infeksi yang baru
saja terjadi, terutama dalam keadaan titer yang tinggi. Tetapi harus diingat
bahwa IgM dapat terdeteksi selama lebih dari 4 bulan bila
menggunakan fluorescent antibody test, dan dapat lebih dari 8 bulan bila
menggunakan ELISA.
Diagnosis prenatal dari toksoplasmosis kongenital dapat juga
dilakukan dengan kordosintesis dan amniosintesis dengan test serologi
untuk IgG dan IgM pada darah fetus. Adanya IgM menunjukkan adanya
infeksi akrena IgM tidak dapat melewati barier plasenta sedangkan IgG
dapat berasal dari ibu. Meskipun demikian antibodi IgM spesifik mungkin
tidak dapat ditemukan karena kemungkinan terbentuknya antibodi dapat
terlambat pada janin dan bayi.
Pedoman yang digunakan dalam menilai hasil serologi :
1. Infeksi primer akut dapat dicurigai bila
a. Terdapatnya serokonversi IgG atau peningkatan IgG 2-4 kali lipat
dengan interval 2-3 minggu.

8
b. Terdapatnya IgA dan IgM positif menunjukkan infeksi 1-3
minggu yang lalu.
c. IgG avidity yang rendah
d. Hasil Sabin-Feldman/ IFA >300 IU/ml atau 1:1000
e. IgM-IFA 1:80 atau IgM-ELISA 2.600 IU/ml
2. IgG yang rendah dan stabil tanpa disertai IgM diperkirakan
merupakan infeksi lampau.
3. Satu kali pemeriksaan dengan IgG dan IgM positif tidak dapat
dipastikan sebagai infeksi akut dan harus dilakukan pemeriksaan
ulang atau pemeriksaan lain.
5. Penatalaksanaan

Infeksi toksoplasma pada ibu hamil dapat dicegah dengan cara


menghindari tertelannya kista atau ookista berbentuk spora dengan
menjaga kebersihan diri. Perlu kebiasaan mencuci tangan sebelum makan
atau setelah kontak dengan kucing/ kotoran kucing, memasak makanan
sampai matang benar (>66º C) dan menggunakan sarung tangan sewaktu
berkebun. Buah-buahan dan sayur mentah harus dicuci bersih dan
makanan dilindungi supaya tidak dihinggapi lalat, kecoa, dan serangga
atau binatang lain yang mungkin dapat membawa kontaminasi dari
kotoran kucing.
Pengobatan terhadap ibu hamil yang terinfeksi akut dengan tujuan
mengurangi infeksi ke janin, dosis yang dianjurkan WHO adalah :
1. Kombinasi antara sulfa, pirimethamin, dan asam folat dengan dosis :
a. Sulfonamide/ sulfadiazin 1000 mg per hari
b. Pirimethamin (Daraprim) 25 mg per hari
c. Asam folat 10 mg/ minggu (mencegah depresi sumsum tulang)
Dosis ini diberikan selama 4 minggu dan diulang lagi dengan interval
4 minggu dengan maksimum 3 siklus pemberian sampai terjadinya
persalinan. Karena teratogenik maka kombinasi pirimethamin dan
sulfa baru dapat digunakan setelah kehamilan 20 minggu.

9
2. Pada kehamilan trimester I digunakan spiramisin, suatu antibiotika
golongan makrolid dengan dosis 3x1 gram selama 4 minggu (9 juta
unit) dan diulang tiap 4 minggu.
6. Pencegahan
a. Hindari kontak dengan kucing, tanah & daging mentah

b. Cuci tangan dengan sabun setelah memegang daging mentah &


sebelum makan
c. Jangan memegang mulut & mata pd waktu mengolah daging mentah
d. Cuci sayur/lalap & buah
e. Hindari kontak dg bahan-bahan yang mungkin tercemar kotoran
kucing
f. Pakai sarung tangan saat berkebun

B. RUBELLA
1. Definisi
Rubella atau campak jerman adalah infeksi virus RNA dari golongan
Togavirus yang ditandai dengan ruam merah muda, demam, dan
pembesaran kelenjar limfe. Penyakit ini relatif tidak berbahaya dengan
morbiditas dan mortalitas yang rendah pada manusia normal. Tetapi jika
infeksi didapat saat kehamilan, dapat menyebabkan gangguan pada
pembentukan organ dan mengakibatkan kecacatan.

10
2. Patogenesis
Infeksi terjadi melalui selaput lendir saluran pernafasan bagian atas.
Setelah tujuh hari timbal viremia yang berlangsung sampai timbulnya
antibodi pada hari ke 12-14. Pembentukan antibodi bertepatan dengan
timbulnya ruam. Setelah timbulnya ruam, virus dapat ditemukan dalam
nasopharing.
3. Gejala Klinis
Pada janin, infeksi rubella dapat menyebabkan abortus bila terjadi
pada trimestre I. Mula-mula replikasi virus terjadi dalam jeringan janin,
dan menetap dalam kehidupan janin, dan mempengaruhi pertumbuhan
janin sehingga menimbulkan kecacatan atau kelainan yang lain.
Infeksi ibu pada trimester II juga dapat menyebabkan kelainan yang
luas pada organ. Menetapnya virus dan interaksi antara virus dan sel di
dalam uterus dapat menyebabkan kelainan yang luas pada periode
neonatal, seperti anemiahemolitika dengan hematopoesis extra meduler,
hepatitis, nefritis interstitial, encefalitis, pancreatitis interstitial, dan
osteomielitis.
Gejala rubella kongenital dapat dibagi dalam 3 kategori:
1. Sindroma rubella kongenital yang meliputi 4 defek utama yaitu:
a. Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila infeksi
terjadi sebelum umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini dapat
merupakan satu-satunya gejala yang timbul.
b. Gangguan jantung meliputi PDA, VSD, dan stenosis katup
pulmonal.
c. Gangguan mata : katarak dan glukoma. Kelainan ini jarang berdiri
sendiri
d. Retardasi mental
2. Extended-sindroma rubella kongenital. Meliputi cerebral palsy,
retardasi mental, keterlambatan pertumbuhan dan berbicara, kejang,
ikterus, dan gangguan imunologi (hipogamaglobulin).

11
3. Delayed-sindroma rubella kongenital. Meliputi panensefalitis, dan
Diabetes Mellitus tipe 1, gangguan pada mata dan pendengaran yang
baru muncul bertahun-tahun kemudian.

4. Diagnosis
Antibodi rubella biasanya lebih dahulu muncul saat timbul ruam.
Diagnosis rubella ditegakkan bila titer meningkat 4 kali saat fase akut, dan
biasanya imunitas menetap lama. Apabila pasien diperiksa beberapa hari
setelah timbul ruam, diagnosis dapat ditegakkan dengan analisis antibodi
IgM anti rubella dengan menggunakan sistem ELISA. IgM spesifik rubella
dapat terlihat 1-2 minggu setelah infeksi primer dan menetap selama 1-3
bulan. Adanya antibodi IgM menunjukkan adanya infeksi primer, tetapi
bila negatif belum tentu tidak terinfeksi.
Diagnosis prenatal ditegakkan dengan memeriksa adanya IgM dari
darah janin melalui CVS(chorionic villus sampling) atau kordosintesis.
Konfirmasi infeksi fetus pada trimester I dilakukan dengan menemukan
adanya antigen spesifik rubella dan RNA pada CVS. Metode ini adalah
yang terbaik untuk isolasi virus pada hasil konsepsi.
Berdasar gejala klinik dan temuan serologi, sindroma rubella
kongenital (CRS, Congenital Rubella Syndrome) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :

12
1. CRS confirmed. Defek dan satu atau lebih tanda/ gejala berikut :
a. virus rubella yang dapat diisolasi
b. adanya IgM spesifik rubella
c. menetapnya IgG spesifik rubella
2. CRS compatible. Terdapat defek tetapi konfirmasi laboratorium tidak
lengkap. Didapatkan 2 defek dari item a atau satu dari item a dan b
a. katarak dan/ atau glaucoma kongenital. Penyakit jantung
kongenital, tuli, retinopati
b. purpura, splenomegali, kuning, mikrosefali, retardasi mental,
meningo encefalitis, penyakit tulang radiolusen.
c. CRS posible. Defek klinis yang tidak memenuhi kriteria untuk
CRS compatible.
d. CRI (Congenital Rubella Infection). Temuan serologi tanpa defek
e. Stillbirth. Stillbirth yang disebabkan rubella maternal.
f. Bukan CRS. Temuan hasil laboratorium tidak sesuai dengan
CRS, yaitu tidak adanya antibodi rubella pada anak umur <24>
5. Penatalaksanaan
Penanggulangan infeksi rubella adalah dengan pencegahan infeksi
salah satunya dengan cara pemberian vaksinasi. Pemberian vaksinasi
rubella secara subkutan dengan virus hidup rubella yang dilemahkan dapat
memberi kekebalan yang lama dan bahkan bisa seumur hidup.
Vaksin rubella dapat diberikan bagi orang dewasa terutama wanita
yang tidak hamil. Vaksin rubella tidak boleh diberikan pada wanita yang
hamil atau akan hamil dalam 3 bulan setelah pemberian vaksin. Hal ini
karena vaksin berupa virus rubella hidup yang dilemahkan dapat beresiko
menyebabkan kecacatan meskipun sangat jarang.
Tidak ada preparat kimiawi atau antibiotik yang dapat mencegah
viremia pada orang-orang yang tidak kebal dan terpapar rubella. Bila
didapatkan infeksi rubella dalam uterus, sebaiknya ibu diterangkan tentang
resiko dari infeksi rubella kongenital. Dengan adanya kemungkinan terjadi
defek yang berat dari infeksi pada trimester I, pasien dapat memilih untuk
mengakhiri kehamilan, bila diagnosis dibuat secara tepat.

13
C. SITOMEGALOVIRUS
1. Definisi
Sitomegalovirus merupakan virus DNA dari golongan herpesviridae
seperti : Herpes simplex virus tipe 1 dan 2, Varicella-Zoster, Eipstein Barr
virus. Karakteristik virus dari golongan ini adalah kemampuannya untuk
beradaptasi di dalam tubuh manusia sedemikian rupa sehingga dapat
menimbulkan masa latent atau dormant. Virus ini merupakan penyebab
utama infeksi kongenital, dan diperkirakan 0,2-2,2 % janin yang terinfeksi
intrauterin dapat fatal bagi janin dan bila bertahan hidup dapat terjadi
retardasi mental, buta atau tuli.

2. Patofisologi
Infeksi CMV dimulai dengan interaksi antara virus dengan reseptor di
permukaan sel, kemudian diikuti dengan penetrasi dan maturasi. Interaksi
dan penetrasi ini dapat terjadi pada sel yang memungkinkan maupun yang
tidak memungkinkan bagi CMV untuk tumbuh. Ha ini menunjukkan bahwa
reseptor untuk CMV ini terdapat pada berbagai sel, dengan demikian sel
spesifik untuk CMV ini lebih ditentukan oleh hal-hal setelah penetrasi.
Infeksi CMV menyebabkan pembesaran sel disertai inklusi
intranuklear. Inti sel sering menunjukkan gambaran kromatin yang terdesak

14
ke tepi, serta inklusi yang dikelilingi oleh suatu hallo yang jernih. Pada
infeksi yang berat, semua sistem organ dapat terlibat. CMV secara khas
menginfeksi sel-sel epitel duktal, sedangkan permukaan serosa dan mukosa
juga terinfeksi dengan derajad yang lebih ringan.
Meskipun bersifat sitopatik dan mampu merusak jaringan, CMV
memiliki virulensi yang rendah. Replikasi virus yang lambat mengakibatkan
lebih banyak virion intraseluler daripada ekstraseluler serta lebih banyak
terdapat virion yang defektif. Disamping efek sitopatik, CMV juga merspon
imun host dan vaskulitis yang biasa menyertai infeksi yang menyebabkan
infeksi organ yang terlibat.
Setelah lepas dari sel yang terinfeksi, CMV dapat berikatan dengan
dan diselubungi oleh 2-mikroglobulin sehingga virus dapat terlindungi
dari antibodi penetral. CMV yang berasosiasi dengan sel menginduksi
sintesa protein yang terlokalisir pada permukaan sel dan dapat berperan
sebagai reseptor Fc immunoglobulin. Protein ini melindungi sel yang
terinfeksi terhaadap efek sitotoksik sistem imun.
CMV bersifat imunosupresif. Respon proliferasi limfosit dihambat
selama infeksi akut dan dan hal ini lebih memudahkan terjadinya infeksi
CMV yang persisten. Setelah menginfeksi, CMV masuk dalam peredaran
darah, dan menyebar diseluruh tubuh. Viruria dan viremia berlangsung
beberapa minggu sampai dengan beberapa bulan. Pada infeksi subklinik Ig
M spesifik akan muncul pada awal infeksi dan menghilang setelah 12-16
minggu. Ig G spesifik mencapai puncak dalam 2 bulan pertama setelah
infeksi, dan akan menetap seumur hidup.
3. Gejala klinis
Hanya pada individu dengan penurunan daya tahan dan pada masa
pertumbuhan janin sitomegalovirus menampakkan virulensinya pada
manusia. Tidak seperti virus rubella, sitomegalovirus dapat menginfeksi
hasil konsepsi setiap saat dalam kehamilan. Bila infeksi terjadi pada masa
organogenesis (trimester I) atau selama periode pertumbuhan dan
perkembangan aktif (trimester II) dapat terjadi kelainan yang serius.

15
Pada trimester I infeksi kongenital sitomegalovirus dapat
menyebabkan prematur, mikrosefali, IUGR, kalsifikasi intrakranial pada
ventrikel lateral dan traktus olfaktorius, sebagian besar terdapat
korioretinitis, juga terdapat retardasi mental, hepatosplenomegali, ikterus,
purpura trombositopeni, DIC.
Infeksi pada trimester III berhubungan dengan kelainan yang bukan
disebabkan karena kegagalan pertumbuhan somatik atau pembentukan
psikomotor. Bayi cenderung normal tetapi tetap beresiko terjadinya kurang
pendengaran atau retardasi psikomotor.
Mortalitas infeksi kongenital cukup tinggi yaitu sebesar 20-30 % dan
dari yang bertahan hidup 90% akan menderita komplikasi lambat seperti
retardasi mental, buta, defisit psikomotor, tuli dan lain-lain. Gejala lambat
juga timbul pada 5-15% dari mereka yang lahir asimtomatik seperti
gangguan pendengaran tipe sensorik sebelum tahun kedua.

16
4. Diagnosis
Untuk dapat menegakkan diagnosis infeksi sitomegalovirus ibu
dibutuhkan antara lain:
a. peningkatan titer antibodi anti sitomegalovirus sebesar lebih dari 4 kali
(konversi serologi)
b. adanya antibodi IgM ibu, atau
c. isolasi virus
Pada bayi baru lahir, kultur CMV dapat diambil dari urine dan cairan
amnion. TORCH screen antibody assays, terutama mengukur IgG,
memerlukan 2 contoh serum untuk diagnosis yang lebih tepat, yang pertama
diambil pada neonatus saat lahr, dan yang kedua pada umur 4-6 bulan.
Penurunan titer antiboodi CMV menunjukkan bahwa antibodi dari ibu ke
janin, dialirkan melalui plasenta. Titer yang menetap atau meninggi akan
membantu diagnosis infeksi kongenital, perinatal atau paska natal.
Bila ditemukan adanya IgM pada bayi baru lahir menujukkan suatu
infeksi kongenital, sedangkan IgG pada bayi dapat terjadi karena transfer
pasif melalui plasenta ibu.
Pemeriksaan penunjang lainnya untuk mendiagnosis abnormalitas
fetus dalam kandungan adalah dengan pemeriksaan USG. Melalui USG,
dapat diketahui adanya kalsifikasi intrakranial, IUGR, hidrosefalus,
ventrikulomegali, oligohidramnion, plasenta besar, asites, dan peritonitis
mekoneum.
Karakteristik yang penting dan perlu diperhatikan pada infeksi
maternal, neonatal dan kongenital adalah kemampuan penyebaran infeksi
pada lingkungan sekitarnya. Bayi dengan infeksi sitomegalovirus
kongenital dapat mengeluarkan virus yang infeksius dari orofaring dan
traktus urinarius. Untuk itu diharapkan ibu hamil dengan seronegatif tidak
melakukan kontak dengan bayi tersebut. Kemungkinan peningkatan
transmisi kongenital hanya bila :
a. Didapatkan titer virus yang tinggi (menandakan adanya infeksi yang
baru terjadi)

17
b. Adanya peningkatan lebih dari 4 kali antibodi spesifik.
c. Adanya antibodi IgM anti sitomegalovirus.
5. Penatalaksanaan
Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk mengatasi
infeksi maternal, dan karena resiko terjadinya morbiditas fetal adalah rendah
pemeriksaan penyaring serologisselama kehamilan mempunyai nilai yang
terbatas. Berbeda dengan infeksi virus rubella, antibodi sitomegalovirus
tidak dapat melindungi kemungkinan infeksi kongenital pada kehamilan
yang berikutnya, sehingga kegunaan vaksinasi untuk sitomegalovirus
diragukan.
Yang penting dan perlu diperhatikan bagi wanita hamil yang
seronegatif harus mencegah agar tidak terlalu sering kontak dengan anak-
anak usia 2-4 tahun terutama yang diketahui menderita infeksi infeksi
sitomegalovirus, dan selalu menjaga kebersihan diri dengan membiasakan
selalu mencuci tangan setelah kontak dengan produk cairan anak-anak
seperti muntahan, popok, dan lain-lain.
D. HERPES SIMPLEKS
1. Definisi

Virus herpes simpleks adalah merupakan virus DNA, dan seperti


virus DNA yang lain mempunyai karakteristik melakukan replikasi
didalam inti sel dan membentuk intranuclear inclusion body. Intranuclear
inclusion body yang matang perlu dibedakan dari sitomegalovirus.
Karakteristik dari lesi ini adalah adanya central intranuclear inclusion
body eosinofilik yang ireguler yang dibatasi oleh fragmen perifer darin
kromatin pada tepi membran inti.
Berdasarkan perbedaan imunologis dan klinis, virus herpes simpleks
dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu :
a. virus herpes simpleks tipe 1 yang menyebabkan infeksi herpes non
genital, biasanya pada daerah mulut, meskipun kadang-kadang dapat
menyerang daerah genital. Infeksi virus ini biasanya terjadi saat anak-
anak dan sebagian besar seropositif telah didapat pada waktu umur 7
tahun.

18
b. virus herpes simples tipe 2 hampir secara ekslusif hanya ditemukan
pada traktus genitalis dan sebagian besar ditularkan lewat kontak
seksual.

2. Penyebaran

Virus herpes simpleks menyebar melalui kontak tubuh secara


langsung dan sebagian besar dengan kontak seksual. Dalam keadaan tanpa
adanya antibodi, kontak dengan partner seksual yang menderita lesi herpes
aktif, sebagian besar akan mengakibatkan panyakit yang bersifat klinis.
Penyebaran transplasenta sangat jarang terjadi dan masih belum
jelas, tetapi diduga tidak jauh berbeda dengna penularan virus herpes yang
lain seperti sitomegalovirus, Eipstein-Barr virus dan lain-lain.
Penularan pada bayi dapat terjadi bila janin yang lahir kontak dengan
virus pada ibu yang terinfeksi virus aktif dari jalan lahirnya dan ini
merupakan penularan pada neonatal yang paling sering terjadi. Meskipun
demikian kejadian herpes neonatal kecil sekali yaitu 1:25.000 kelahiran.
Beberpaa keadaan yang mempengaruhi terjadinya herpes neonatal adalah
banyak sedikitnya virus, kulit ketuban masih utuh atau tidak, ada atau
tidaknya lesi herpes genital, dan ada atau tidaknya antibodi virus herpes
simpleks. Pada ibu hamil dengan infeksi primer dan belum terbentuk
antibodi maka penularan dapat terjadi sampai 50% sedangkan pada infeksi
rekuren hanya 2,5-5%.

19
3. Gejala Klinik

Secara umum gejala klinik infeksi virus herpes simpleks dapat


dibagi dalam 2 bentuk yaitu :
a. Infeksi primer yang biasanya disertai gejala (simtomatik) meskipun
dapat pula tanpa gejala (asimtomatik). Keadaan tanpa gejala
kemungkinan karena adanya imunitas tertentu dari antibodi yang

20
bereaksi silang dan diperoleh setelah menderita infeksi tipe 1 saat
anak-anak. Masa inkubasi yang khas selama 3-6 hari yang diikuti
dengan erupsi papuler dengan rasa gatal, atau pegal-pegal yang
kemudian menjadi nyeri dan pembentukan vesikel dengan lesi vulva
dan perineum yang multipel dan dapat menyatu. Vesikel yang
terbentuk pada perineum dan vulva mudah terkena trauma dan dapat
terjadi ulserasi serta terjangkit infeksi sekunder. Lesi pada vulva
cenderung menimbulkan nyeri yang hebat dan dapat mengakibatkan
disabilitas yang berat.Dalam waktu 2-4 minggu, semua keluhan dan
gejala infeksi akan menghilang tetapi dapat kambuh lagi karena
terjadinya reaktivasi virus dari ganglion saraf.
b. Infeksi rekuren. Setelah infeksi mukokutaneus yang primer, partikel-
partikel virus akan menyerang sejumlah ganglion saraf yang
berhubungan dan menimbulkan infeksi laten yang berlangsung lama.
Infeksi laten dimana partikel-partikel virus terdapat dalam ganglion
saraf secara berkala akan terputus oleh reaktivasi virus yang disebut
infeksi rekuren yang mengakibatkan infeksi yang asimtomatik secara
klinis (pelepasan virus) dengan atau tanpa lesi yang simtomatik. Lesi
ini umumnya tidak banyak, tidak begitu nyeri serta melepaskan virus
untuk periode waktu yang lebih singkat (2-5 hari) dibandingkan
dengan yang terjadi pada infeksi primer, dan secara khas akan timbul
lagi pada lokasi yang sama. Walaupun sering terlihat pada infeksi
primer, infeksi serviks tidak begityu sering terjadi pada infeksi virus
yang rekuren.
Infeksi primer pada ibu dapat menular pada janin melalui plasenta
atau lewat koriopamnion yang utuh dan dapat menyebabkan abortus
spontan, prematuritas, ataupun kelainan kongenital dengan gejala mirip
infeksi pada sitomegalovirus seperti mikrosefali, korioretinitis, IUGR.
Janin hampir selalu terinfeksi oleh virus yang dilepaskan dari serviks atau
traktus genitalis bawah setelah ketuban pecah atau saat bayi dilahirkan.
Infeksi herpes pada bayi baru lahir mempunyai salah satu dari ketiga
bentuk berikut ini :

21
a. Diseminata (70%), menyerang berbagai organ penting seperti otak,
paru, hepar, adrenal, dan lain-lain dengan kematian lebih dari 50%
yang disebabkan DIC atau pneumonitis, dan yang berhasil hidup
sering menderita kerusakan otak. Sebagian besar bayi yang terseranng
bayi prematur.
b. Lokalisata (15%) dengan gejala pada mata, kulit, dan otak dengan
kematian lebih rendah dibanding dengan bentuk disseminata, tetapi
bila tidak diobati 75% akan menyebar dan menjadi bentuk
diddeminata yang fatal. Bentuk ini sering berakhir dengan kebutaan
dan 30% disertai kelainan neurologis.
c. Asimtomatik hanya terjadi pada sebagian kecil penderita herpes
neonatal.

22
4. Diagnosis

Ditemukannya virus dalam kultur jaringan. Sayangnya pemeriksaan


ini cukup mahal dan membutuhkan waktu lebih dari 48 jam. Cara yang
lebih cepat adalah dengan memeriksa adanya antibodi secara ELISA,
dengan sensitivitas 97,5 % dan spesifitas 98% meskipun waktu yang
dibutuhkan tetap lebih dari 24 jam.

5. Penatalaksanaan

Prinsip utama adalah jangan biarkan virus dan bayi bertemu. Wanita
yang terkena infeksi virus herpes genitalia dianjurkan untuk tidak hamil.
Apabila ibu sudah terlanjur hamil hati-hati dengan ancaman partus
prematuria dan viremia pada ibu karena penurunan daya tahan tubuh. Ibu
yang terkena virus herpes genitalia dan bayi yang lahir dengan herpes
neonatal dapat diobati dengan acyclovir atau vidarabine yang aman
terhadap kehamilan maupun pada bayinya.
Karena beratnya ancaman infeksi virus herpes pada neonatus,
persalinan perabdominam dianjurkan pada kasus-kasus dengan dugaan lesi
herpes pada genitalia atau dengan kultur atau Pap smear terakhir yang
memperlihatkan hasil positif untuk virus herpes. Kultur hanya dilakukan
pada ibu dengan lesi herpetik yang mencurigakan. Bila tidak terdapat lesi,
persalinan dapat dilakukan pervaginam.

23
Bayi yang lahir dengan ibu atau bapak yang sedang terserang herpes
genital atau oral dapat dirawat gabung dengan ibu, dan dapat diberikan
ASI bila tidak ada lesi pada puting dan dihindari kontak langsung dengan
setiap lesi yang ada.
Sejak tahun 1980an mulai digunakan pengobatan antivirus untuk
infeksi herpes dengan acyclovir. Acyclovir dapat digunakan dalam
beberapa bentuk preparat antara lain krim untuk topikal, powder untuk
intravena, kapsul oral dan suspensi oral. Preparat tiopikal digunakan
dengan dioleskan pada daerah terinfeksi setiap 3 jam, 6 kali perhari,
selama 7 hari. Acyclovir intravena diberikan pada kasus yang berat dengan
dosis 5 mg/kg setiap 8 jam selama 5 hari.
Kapsul oral acyclovir diindikasikan untuk 3 keadaan yaitu :
Pengobatan infeksi primer, pengobatan infeksi ulang yang berat dan
penekanan rekurensi yang serinng dan berat. Dosis pemberian acyclovir
oral adalah 200 mg, 5 kali perhari selama 10 hari.
Sampai saat ini belum ditemukan vaksinasi yang efektif untuk
infeksi virus herpes simpleks, meskipun pada model binatang didapatkan
vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi dan untuk mengurangi
pembentukan fase laten di ganglion saraf.

24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Torch
a. Toxoplasmosis
b. Others (Syphilis, GBS, Listeriosis, dsb)
c. Rubella
d. Cytomegalovirus (+ Chlamydia trachomatis)
e. Herpes Simplex (+Virus Hepatitis B, HIV, HPV, Human Parvovirus B 19)
2. Cara infeksi fetal/neonatal
1. Intrauterin
a. Transplasental
b. Korioamnionitis
2. Intrapartum
a. Paparan maternal
b. Kontaminasi eksternal
3. Neonatal
a. Transmisi dari orang lain
b. Peralatan
3. Prevalensi dan Transmisi

Toxo Rubella CMV HSV

Prevalensi seropositif 3-50% 10-15% 35-90% No data


Transplasental + + + +
Intrapartum - - + +
Postnatal + + + +
4. Test Diagnostik
1. Direk: deteksi antigen (kultur & teknik diagnostik molekuler)
a. Teknis sulit, makan waktu, mahal
2. Indirek: respon imunologik maternal
a. Mengatasi kelemahan cara direk
b. Meramalkan perjalanan penyakit
c. Mengikuti perjalanan alamiah penyakit
d. Monitoring respon terapi
5. Teknik menentukan saat terjadi infeksi maternal
1. Adanya serokonversi
2. Aviditas IgG
3. Pola hasil test negatif atau positif yang dilakukan secara pararel
4. Model matematik berdasar hasil test yang dilakukan secara berpasangan
(paired testing)
B. Saran
Diharapkan kepada para bidan mampu melakukan pencegahan dan
menanggulangi jika terjadi kondisi ibu hamil dengan keadaan infeksi atau
mengalami Torch, sehingga dapat diatasi dengan baik dan mengurangi dampak
terjadinya morbiditas dan mortalitas.

27
DAFTAR PUSTAKA
1. Sembiring EB, Roza E. Aplikasi diagnosa infeksi torch pada kehamilan.
Jurnal Integrasi. 2016; 8(2):119-24.
2. Magdalena CM, Arundina A, Natalia D.Gambaran tingkat pengetahuan
dan upaya pencegahan infeksi torch (toxoplasmosis, rubella,
cytomegalovirus, herpes simplex virus) pada wanita usia subur di
komunitas pecinta kucing kalimantan barat tahun 2015.2017.
Jurnal Untan; 5(1).

3. Nelson CT, Demmler GJ. Laboratory methods for the diagnosis of congenital
cytomegalovirus infection. The Journal of the International
Federation of Clinical. Chemistry and Laboratory Medicine.
1996;8(10).

4. Suromo, Budipradigdo L. Kewaspadaan terhadap infeksi cytomegalovirus


serta kegunaan deteksi secara laboratorik. Pidato Pengukuhan Guru
Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.
2007.

5. Prabandari, Mustika G, Musthofa SB, Kusumawati A. Beberapa faktor yang


berhubungan dengan penerimaan ibu terhadpa imunisasi measles
rubella pada anak sd di desa gumpang, kecamatan kartasura,
kabupaten sukoharjo. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2018;
6(4):573-81.

6. Depkes RI. imunisasi measles rubella lindungi kita [internet]. 2017. Diakses
pada: 30 Januari 2019. Tersedia
dari:www.depkes.go.id.

7. Department of Health and Human Services. Center for Disease Control and
prevention: epidemiology and prevention of vaccine preventable
disease. 2005. Diakes pada : 30 Januari 2019. Tersedia
dari: http://www.cdc.gov.
8. Handojo I. Imunoasai untuk penyakit infeksi virus. Dalam: Handoyo I.
Imunoasai terapan pada beberapa penyakit infeksi. Surabaya:
Airlangga University Press; 2004; 176–88.
9. Kadek, Darmadi. Congenital rubella syndrome based on serologic and rna
virus examination. Indonesian Journal of Clinical. Pathology and
Medical Laboratory. 2007;13(2):63-71
10. Matuscak R. Rubella virus infection and serology. In: Shehaan, C.
Clinical immunolgy principles and laboratory diagnosis.
Philadelphia: JB Lipincott Co.;1990
11. Banatvala JE, Brown DWG. Rubella. Scientific book (compilation) additional
torch infections articles. Prosiding PDS-PATKLIN Temu Ilmiah
Surabaya (The Indonesian Association of Clinical Pathologists).
2005; 7–14.

12. Anonim. Rubella[internet]. Diakses pada : 30 Januari 2019. Tersedia dari:


http://www.cdc.gov/nip/publications/pink/r ubella.pdf.

13. Gnansia ER. Congenital Rubella Syndrome[internet]. 2004. .


Diakses pada : 30 Januari 2019. Tersedia dari:
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk- rubella.pdf.

14. Mahony JB, Chernesky MA. Rubella virus. Dalam: Manual of clinical
laboratory immunology. Rose NR, Hamilton RG, Detrix B, eds.
Edisi ke-6. Washington DC: American Society of
Microbiology;2002.
15. Gershon, A. Rubella (german measles). Dalam: Fauci AS, Martin JB,
eds. Principles of internal medicine. New York : Mc Graw-
Hill;1998.

16. Kementerian Republik Indonesia. Imunisasi MR Penting Diberikan Untuk


Melindungi Anak [internet]. 2017. Diakses pada : 30 Januari
2019.. Tersedia dari: www.depkes.go.id.

26

Anda mungkin juga menyukai