Anda di halaman 1dari 6

TUGAS

Tumbuh Kembang

Disusun Oleh:
Asti Marian Sari
2120332019

Dosen Pengampu:
dr. Nice Rachmawati, Sp. A (K)

PROGRAM STUDI S2 ILMU KEBIDANAN


PASCASARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2023
A. Jurnal Pertama (kebutuhan dasar tumbang: ASI)

Judul Effect of exclusive breastfeeding cessation time on


childhood morbidity and adverse nutritional outcomes
in Ethiopia: Analysis of the demographic and health
surveys
NamaJurnal PLoS ONE
Volume. No. Thn 2019 ;14(10)
Halaman 1-12
Penulis Dabere Nigatu, Muluken Azage, dan achenef
Motbainor
Penelaah Asti Marian Sari
NIM 2120332019
Doi https://doi.org/10.1371/journal.pone.0223379

1. Pendahuluan
Nutrisi bayi yang cukup sangat penting untuk memastikan potensi penuh
untuk pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan anak [1]. Dalam praktik
pemberian makan bayi dan anak kecil, menyusui diakui sebagai intervensi
karena ASI secara unik disesuaikan dengan kebutuhan gizi bayi. Ini juga
memiliki sifat imunologi dan anti-inflamasi yang melindungi dari sejumlah
penyakit bagi ibu dan anak [2-4]. Selain itu, menyusui merupakan intervensi
kesehatan anak yang efektif yang tidak menuntut infrastruktur sistem kesehatan
yang ekstensif. Oleh karena itu, peningkatan angka pemberian ASI eksklusif dan
lanjutan dapat mengurangi ketidaksetaraan morbiditas dan mortalitas anak di
negara berkembang [5]
Dalam dokumen kebijakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ASI
Eksklusif (EBF) untuk usia enam bulan pertama merupakan rekomendasi
kesehatan masyarakat yang diartikulasikan untuk mencapai pertumbuhan,
perkembangan, dan kesehatan bayi yang optimal. Setelah itu, pengenalan
makanan pendamping yang kaya nutrisi, aman dan tepat dan lanjutkan menyusui
hingga dua tahun atau lebih. Selain itu, Fewtrell dan rekan mengatakan
pentingnya melacak konsekuensi dari rekomendasi pemberian makan bayi WHO
tahun 2001 dalam pengaturan yang berbeda untuk mengidentifikasi dan
menindaklanjuti kejadian buruk secara tepat waktu.
Sejak peluncuran kebijakan WHO tahun 2001 tentang pemberian ASI
eksklusif, tingkat kepatuhan yang sangat bervariasi dan kemajuan yang terbatas
diamati antara dan di dalam wilayah/negara. Pada tahun 2010, praktik pemberian
ASI eksklusif berkisar dari 3,5% di Djibouti hingga 77,3% di Rwanda [5]
dengan hanya 37% proporsi EBF di negara berpenghasilan rendah dan
berpenghasilan menengah [9]. Masih ada penelitian yang tidak meyakinkan
tentang dilema penyapihan: pilihan antara efek perlindungan yang diketahui dari
pemberian ASI eksklusif terhadap penyakit dan ketidakcukupan teoretis ASI saja
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi setelah usia empat bulan. Sebuah studi
kohort terus mendukung untuk mempromosikan EBF selama 4-6 atau 6 bulan
sementara studi lain sepenuhnya sesuai dengan rekomendasi WHO tahun 2001
tentang ASI eksklusif selama enam bulan pertama.
Metode Menggunakan Survei Demografi dan Kesehatan Ethiopia
2011 dan 2016. Penelitian tersebut melibatkan 2.433 anak
di bawah usia enam bulan. Model regresi logistik
diterapkan untuk menentukan pengaruh waktu
penghentian EBF pada variabel hasil. Population
Attributable Fraction dihitung untuk mengevaluasi
dampak kesehatan masyarakat dari penghentian EBF
pada populasi.
Subjek Semua wanita berusia 15-49 tahun yang memenuhi syarat
yang tinggal di rumah tangga terpilih mengenai
pemberian ASI eksklusif.
Hasil Menghentikan EBF pada 0–3 bulan (rasio odds yang
disesuaikan (AOR): 1,95, 95% interval kepercayaan (CI):
1,08, 3,53)) dan 4–6 bulan (AOR: 3,57, 95% CI: 2,19,
5,83) peningkatan diare terjadi dibandingkan dengan anak
yang melanjutkan EBF hingga 6 bulan. Anak-anak yang
menghentikan EBF pada 4-6 bulan mengalami
peningkatan kemungkinan demam (AOR: 1,73, 95% CI:
1,11, 2,68) dan penyakit pernapasan akut (ISPA) (AOR:
2,74, 95% CI: 1,61, 4,65). Penghentian EBF lebih awal
dari 4 bulan atau antara 4-6 bulan dikaitkan dengan
peningkatan kemungkinan memiliki setidaknya satu
morbiditas masa kanak-kanak. Penghentian EBF pada 0–
3 bulan dan pada 4–6 bulan dikaitkan dengan peningkatan
kejadian wasting (AOR: 2.32, 95% CI: 1.45, 3.74) dan
kekurangan berat badan (AOR: 2.30, 95% CI: 1.36, 3.91),
masing-masing. Pemberian ASI eksklusif dapat
mencegah 42% diare, 27% ISPA, 21% demam, 26%
kurus dan 23% beban berat badan kurang pada anak di
bawah usia enam bulan.
Kesimpulan Waktu penghentian pemberian ASI eksklusif berpengaruh
pada terjadinya morbiditas anak dan hasil gizi yang
buruk. Studi tersebut menyimpulkan bahwa penghentian
EBF lebih awal dari usia enam bulan dikaitkan dengan
peningkatan kejadian diare, demam, dan ISPA

B. Jurnal ke Dua (Penyakit yang dapat dicegah dengan Vaksin)

Judul HUBUNGAN VAKSINASI BCG DENGAN


KEJADIAN TB PARU DI RUMAH SAKIT

NamaJurnal Jurnal Kesehatan Medika Saintika


Volume. No. Thn 12 Nomor 1, 2021
Halaman 205-213
Penulis Honesty Diana Morika, Siti Aisyah Nur, Indah Komala
Sari, Oktari Faizah
Penelaah Asti Marian Sari
NIM 2120332019
Doi http://dx.doi.org/10.30633/jkms.v12i1.893

1. PENDAHULUAN
Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular dengan 90%
kasusnya menginfeksi paru-paru (TB paru) dan sisanya menginfeksi organ tubuh
lainnya. Sembilan puluh persen penderita TB tidak menunjukkan gejala
(asymptomatic) dan menginfeksi sekitar 1,7 milyar orang. Jumlah ini
merepresentasikan 23% dari total penduduk dunia dengan 10 juta kasus baru
setiap tahunnya (Daley, 2019). Anak-anak dengan penyakit TB pulmonary
bersifat kurang menularkan dibandingkan dengan penderita dewasa. Hal ini
disebabkan anak-anak tidak menghasilkan sputum ketika batuk. Namun,
penularan dari anak-anak masih dapat terjadi. Oleh karena itu, anak-anak dan
remaja dengan penyakit TB seharusnya dievaluasi tingkat penularannya dengan
Kriteria ini meliputi keberadaan batuk yang bertahan lama selama 3 minggu atau
lebih, lubang atau rongga pada radiografi dada, atau penyakit saluran nafas yang
melibatkan paru-paru, saluran udara atau laring (CDC, 2016) .
Organisasi Kesehatan Dunia atau The World Health Organization
(WHO) melaporkan Indonesia menduduki posisi ketiga dengan kasus
tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia. Sementara posisi pertama dan kedua saat ini
adalah India dan Tiongkok.jumlah estimasi kasus TB di Indonesia sebanyak
845.000 orang. Jumlah ini meningkat dari sebelumnya sebanyak 843.000 orang.
Ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang 60% dari
seluruh kasus TB dunia (WHO, 2019).
Tuberkulosis merupakan satu dari 10 penyebab kematian terkemuka di
seluruh dunia yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Secara Global
sekitar 10,0 juta orang terkena penyakit TB pada tahun 2017 sebesar 5,8 juta
orang dewasa, 3,2 juta perempuan dan 1,0 juta anak, Negara Indonesia berada di
posisi peringkat kedua di dunia dalam jumlah kasus TB terbanyak yaitu 420.994
baik jumlah keseluruhan kasus maupun kasus baru. Menurut survei prevalensi ,
TB pada laki – laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan (WHO, 2018).
2. Metode
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan design yaitu
deskriptif analitik dengan cross sectional. Lokasi penelitian di RSUD M.Zein
Painan .Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak yang berkunjung di
Poliklinik dengan jumlah sampel sebanyak 100 responden.dengan kriteria
inkulis anak berusia 1-14 tahun. Pengumpulan data menggunakan instument
kuesioner dan uji yang digunakan dalam penelitian ini ChiSquare
3. Hasil
Hasil Penelitian ini terdiri dari analisa univariat dan bivariat. Analisa univariat
meliputi Pemberian Vaksinasi BCG dan Kejadian TB Paru. Kemudian analisa
bivariat yaitu hubungan antara pemberian vaksinasi BCG dengan kejadian TB
paru pada anak, yakni hubungan riwayat vaksinasi BCG dengan kejadian TB
paru pada anak dengan ρ value 0,012 di Poliklinik RSUD Dr.M Zein Painan.
4. Kesimpulan
Penelitian ini dapat disimpulkan Terdapat hubungan riwayat pemberian
vaksinasi BCG dengan kejadian TB paru pada anak di Poliklinik RSUD Dr.M
Zein Painan.

Anda mungkin juga menyukai