Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan sebagai bagain dari upaya membangun manusia seutuhnya antara
lain diselenggarakan melalui upaya kesehatan anak yang dilakukaan sedini mungkin sejak anak
masih dalam kandungan (Depkes RI, 2014). Derajat kesehatan masyarakat dinilai dari aspek
salah satunya adalah angka kematian bayi dan balita. Hal ini sesuai dengan tujuan Sustainable
Develpoment Goals (SDGs) pada Goal ke- 3 poin ke-3 yaitu mengurangi angka kematian balita
yang disebabkan oleh penyakit infeksi dan mengakhiri epidemik. Kematian balita umumnya
disebabkan oleh penyakit infeksi seperti AIDS, Tuberkolosis, Bronkhopneumonia dan malaria.

World Health Organization (WHO) memperkirakan seperlima dari kematian bayi dan balita
kejadian Bronkhopneumonia dinegara berkembang disebabkan oleh bronchopneumonia.
Indonesia merupakan salah satu dari Negara berkembang yang paling banyak menderita
bronchopneumonia yaitu sekitar 5500 bayi dan balita yang meninggal. Pada tahun 2010
bronkhopneumonia merupakan pembunuh terbesar bagi balita (Kemenkes RI, 2014).

Bronkhopneumonia merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke rumah sakit
(40-60%) dan puskesmas (25-30%) (Kemenkes RI, 2014). Propinsi Jawa Barat masuk dalam 5
besar dengan prevalensi bronchopneumonia tertinggi yaitu sebesar 30% (Riskesdas, 2014),

Pada tahun 2014, prevalansi bronchopneumonia di kota Bandung mencapai (50%).


Berdasarkan data 10 penyakit terbanyak diseluruh wilayah Bandung bronkhopneuonia
menempati urutan kedua sebesar (24%). Sedangkan tahun 2015 bronkhopneumonia urutan
pertama dengan jumlah kasus 28.270 (26,78%) (Profil Kesehatan Kota Bandung, 2016).

Bronkhopneumonia adalah penyakit infeksi saluran pada pernafasan bagian bawah,

penyakit ini menyerang pada anak-anak dan balita hampir diseluruh dunia. Bila penyakit ini

tidak ditangani, maka akan menyebabkan komplikasi bahkan bisa sampai menyebabkan

kematian. Bronkhopneumonia merupakan salah satu bagian dari penyakit Pnemonia.

Bronkhopneumonia adalah suatu peradangan pada paremkim paru yang meluas sampai bronkioli

atau dengan kata lain peradangan yang terjadi pada jaringan paru melalui penyebaran langsung

melalui pernapasan atau melalui hematogen sampai ke Bronkus (Nelson, 2014).


Penyakit bronchopneumonia berdasarkan epidemiologi terjadi akibat interaksi antara

agen, penjamu/ faktor interistik dan eksterinsik (lingkungan). Faktor interistik antara lain umur,

berat badan lahir rendah (BBLR), status gizi, vitamin A, statu imunisasi dan riwayat pemberian

ASI Eksklusif faktor eksterinsik antara lain pendidikan orang tua, status sosial ekonomi rendah,

lingkungan dan anggota keluarga yang merokok (Anik,2013; Pediatri, 2014).

Penelitian yang dilakukan Badriul (2014) kejadian bronchopneumonia pada balita

dopengaruhi status gizi, imunisasi dan berat badan lahir rendah (BBLR) begitu juga dengan

Sukmawati menemukan bahwa balita dan anak mengalami defisiensi vitamin A akan menderita

bronchopneumonia lebih tinggi. Pemberian ASI secara eksklusif atau tidak eksklusif merupakan

salah satu faktor resiko bronchopneumonia. ASI eksklusif merupakan salah satu solusi

pencegahan bronchopneumonia karena salah satu khasiat ASI eksklusif dapat meningkatkan

daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi seperti bronchopneumonia (Prihatiningtyas, 2015).

Penelitian Susilo, dkk (2015) yang berjudul Faktor-Faktor yang berhubungan Dengan

kejadian Bronkhopneumonia menyatakan bahwa ada hubungan ada hubungan antara pemberian

ASI Eksklusif dengan kejadian bronkhipneumonia pada balita dari hasil uji statistic diperoleh

nilai p =0,002 (p < 0,005). Dari hasil analisi diperoleh nilai PR = 0, 193 artinya balita yang tidak

mendapatkan ASI eksklusif mempunyai peluang 0,193 kali untuk mengalami

bronchopneumonia.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ASI memberikan kekebalan tubuh maksimal

dan paling baik tidak hanya tahun awal kehidupan seseorang bahkan sepanjang masa kanak-

kanak dan masa dewasa. Manfaat tersebut antara lain terbukti bahwa pemberian ASI

menurunkan resiko berbagai penyakit salah satunya adalag bronchopneumonia (Marni, 2014).
Berbeda dengan penelitian Pandu, dkk (2014) yang berjudul Faktor- Faktor Yang

Berhubungan Dengan Kejadian Bronkhopneumonia pada Balita di Rumah Sakit Manado,

menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara ASI Ekslusif dengan kejadian bronchopneumonia

pada balita dengan hasil uji Chi Square diperoleh nilai p= 0,684 > α (0.05).

ASI membantu pertumbuhan dan perkrmbangan anak secara optimal serta melindungi

terhadap penyakit (Profil Kesehatan Indonesia, 2013). ASI Eksklusif adalah pemberian ASI

tanpa memberikan makanan pendamping selama 6 bulan. ASI mengandung kekebalan tubuh

immunoglobulin A (igA) dan immunoglobulin M (igM). IgA adalah antibodi yang berfungsi

menggumpalkan dan menghancurkan kuman, sedangkan igM mencegah perkembangbiakan

virus, menetralisirkan racun dan jasad renik (Anni, 2013).

Pemberian ASI Eksklusif di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya. Direktur Jendral

Bina Gizi dan Kesehatan ibu dan anak kementrian kesehatan menyebutkan, berdasarkan data

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2014 baru ada (33,6%) bayi umur 0-6 bulan

yang mendapatkan ASI Ekslusif (Mahmud,2015). Bayi yang mendapatkan ASI eklsklusif dikota

Bandung pada tahun pada tahun 2015 sebanyak 11.082 bayi (45,56%) dari 24.085 bayi yang ada

dengan target pencapaian (80-100%) (Profil Kesehatan Kota Bandung, 2015).

Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 10 Oktober 2017 jumlah balita

bronkhopneumonia yang berkunjung ke RSAU dr. M. Salamun menduduki urutan kedua dengan

bronchopneumonia terbanyak pada tahun 2015 sebanyak 466 balita, pada tahun 2016 meningkat

menjadi 624 balita baik pasien rawat jalan maupun rawat inap, terdapat 305 balita yang

mengalami bronchopneumonia ulang dengan persentasi (35,60%). Penderita bronkhopneumonia

tiga bulan terakhir berjumlah 124 orang hampir tiap bulannya berkunjung sekitar 50 balita

perbulan yang terkena bronchopneumonia (Rekam Medis Salamun, 2016).


Menurut hasil survei Rekam Medis RSAU dr M Salamun didapatkan 565 balita yang

ditimbang terdapat 124 yang termasuk balita dalam kategori gizi kurang dengan persentasi

(4,25%). Dari jumlah balita 565 terdapat 95 balita yang tidak diimunisasi lengkap. Jumlah balita

565 didapatkan 130 yang tidak diberikan vitamin A. Cakupan penimbangan, status gizi,

pemberian imunisasi lengkap dan pemeberian vitamin A di RSAU dr. M Salamun dapat

dikatakan sudah cukup baik.

Jumlah sasaran bayi 0-6 bulan balita di kota Bandung yang ditargetkan mendapatkan ASI

eksklusif pada tahun 2014 berjumlah 1623 bayi sedangkan jumlah yang tercapai 758 bayi atau

(54,45%) (Profil Kesehatan Kota Bandung, 2014).

Berdasarkan hasil wawancara dengan 15 orang ibu yang mempunyai balita diatas 1 tahun

diantaranya 9 ibu mengatakan anaknya tidak diberikan ASI ekslklusif. Dari 9 ibu tersebut 5

diantaranya mengalami bronchopneumonia 2x dan 4 diantaranya mengalami bronchopneumonia

1x. Dapat dikatakan bahwa balita yang diberikan ASI eksklusif cenderung lebih sedikit

menderita bronchopneumonia pada balita yang tidak diberikan ASI ekslusif resiko terjadinya

bronchopneumonia berulang lebih sering dan lebih tinggi

Angka kejadian bronchopneumonia yang tinggi dan belum tercapainya cakupan ASI

eksklusif merupakan suatu masalah yang perlu mendapatkan perhatian sesuai dengan kejadian

bronchopneumonia yang menjadi penyebab kematian bayi di Indonesia dan menjadi penyakit

yang menonjol di RSAU dr.M Salamun peneliti ingin meneliti apakah terapat hubungan antara

riwayat pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian bronchopneumonia ulang di RSAU dr M

Salamun.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu
Apakah ada hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
bronchopneumonia ulang di RSAU dr.M Salamun.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi hubungan riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
bronchopneumonia ulang pada balita di RSAU dr.M Salamun
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi riwayat pemberian ASI eksklusif pada balita di RSAU dr M
Salamun.
b. Mengidentifikasi kejadian bronchopneumonia ulang pada balita di RSAU dr.M
Salamun.
c. Mengidentifikasi hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
bronchopneumonia ulang pada balita di RSAU dr. M Salamun.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini dilakukan agar peneliti dapat menerapkan pengetahuan yang
berkaitan dengan biostatistik dan metodologi penelitian. Selain itu, peneliti juga
dapat mengetahui hubungan riwayat pemberian ASI ekslusif dengan kejadian
bronchopneumonia ulang pada balita.

2. Bagi Institusi Pendidikan


Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun materi pembelajaran kapada
mahasiswa dengan menggunkan hasil penelitian.
3. Bagi Peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk melaksanakan
pengembangan penelitan lebih lanjut. Penelitian ini juga dapat menjadi motivasi
bagi peneliti untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan penyakit
bronchopneumonia pada balita.
4. Bagi Tenaga Kesehatan
Penelitian ini dapat memberikan motivasi kepada tenaga kesehatan untuk dapat
berperan aktif dalam memberikan penyuluhan kepada ibu menyusui untuk
memberikan ASI eksklusif.
E. Ruang Lingkup Penelitian
1. Lingkup Tempat
Penelitian ini dilakukan di RSAU dr.M Salamun.

2. Lingkup Waktu
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan januari 2018

3. Lingkup Materi

Penelitian ini di fokuskan pada keperawatan anak dan Metodologi penelitian.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Bronkhopenumonia

1. Definisi Bronkhopneumonia

Bronkhopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola penyebaran bercak,

teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru

yang berdekatan di sekitarnya (Smeltzer & Suzanne C, 2002). Bronkhopneumonia adalah

bronkolius terminal yang tersumbat oleh eksudat, kemudian menjadi bagian yang terkonsolidasi

atau membentuk gabungan di dekat lobus, disebut juga pneumonia lobaris (Whaley&Wong,

2000).

Bronkopneumonia berasal dari kata bronchus dan bronkhopneumonia berarti peradangan pada

jaringan paru-paru dan juga cabang tenggorokan (broncus). Bronkopneumonia suatu cadangan

pada parenkim paru yang meluas sampai bronkioli atau dengan kata lain peradangan yang terjadi

pada jaringan paru melalui cara penyebaran langsung melalui saluran 8 pernafasan atau melalui

hematogen sampai ke bronkus (Nelson, 2014).

Kesimpulannya bronkopneumonia adalah jenis infeksi paru yang disebabkan oleh agen infeksius

seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing yang mengenai daerah bronkus dan sekitar alveoli.

2. Klasifikasi Bronkhopneumonia

Kejadian bronkhopneumonia pada balita diperlihatkan dengan adanya ciri-ciri demam, batuk,

pilek, disertai sesak napas dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing),

serta sianosis pada infeksi yang berat. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam terjadi

Karena gerakan paru yang mnegurang akibat infeksi pneumonia yang berat. Pada usia dibawah 3

bulan, kejadian bronkhopneumonia diikuti dengan penyakit pendahulu seperti otitis media,
conjungtivitis, laryngitis dan pharyngitis. Adapun penentuan klasifikasi klinis penyakit

bronkhopneumonia dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok umur 2 bulan – kurang 5

tahun dan kelompok umur kurang 2 bulan. Untuk anak berumur kurang, klasifikasi dibagi atas

bukan bronkhopneumonia, danbronkhopneumonia berat sedangkan untuk anak berumur kurang

dari 2 bulan, maka di klasifikasikan atas bukan pneumonia dan penemonia berat.

bronkhopnemonia berat pada anak umur 2 bulan kurang 5 tahun dilihat dari adanya kesulitan

bernapas dan atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam,sedangkan pada anak umur

kurang 2 bulan diikuti dengan adanya napas cepat dan tarikan dinding dada bagian bawah ke

dalam (Nelson, 2014).

Table 2.1. Klasifikasi Klinis bronkhopneumonia Pada Balita Menurut Kelompok Umur

Kriteria
Kelompok Umur Gejala Klinis
Bronkhopneumonia
2 bulan kurang – Batuk bukan bronkho Tidak ada napas dan tidak ada
5tahun pneumonia tarikan dinding dada bagian
bawah
Bronkhopneumonia Adanya napas cepat dan tidak
tarikan dinding dada bagian
bawah kedalam
Bronkhopneumonia Adanya tarikan dinding dada
berat bagian ke dalam
Kurang 2 bulan Bukan Tidak ada napas cepat dan tidak
bronchopneumonia ada tarikan dada bagian bawah
kedalam yang kuat
Bronkhopneumonia Adanya napas cepat dan tarikan
berat dinding dada bagian bawah
kedalam yang kuat
Kriteria napas cepat berdasarkan frekuensi pernpasan dibedakan menurut umur anak. Untuk

umur kurang 2 bulan, dikatakan napas cepat jika frekuensi napas 60 kali permenit atau lebih,

sedangkan untuk umur 2 bulan sampai kurang 12 bulan jika kurang 50 kali permenit , dan umur

12 bulan sampai kurang jika kurang dari 40 kali permenit (Nelson,2014). Peningkatan frekuensi

napas terjadi pada penderita pneumonia sebagai akibat infeksi fisiologis terhadap keadaan

hiposia (kekurangan oksigen) atau dapat pula terjadi pada anak yang gelisah /akut.

Selain dilihat dari frekuensi napas, bronkhopneumonia juga dapat di klasifikasikan berdasarkan

anatomi organ yang terkena, yang dibagi atas pneumonia lobaris, pneumonia segmentalis dan

pneumonia lobularis. Pnemonia lobularis biasanya mengenai paru bagian atau lebih dikenal

sebagai bronkhopnemonia.

3. Etiologi Bronkhopneumonia

Etiologi bronkopneumonia dibedakan berdasarkan agen penyebab infeksi, baik itu bakteri, virus,

maupun parasite. Pada umumnya terjadi akibat adanya infeksi bakteri pneumokokus

(Streptococus pneumonia). Beberapa penelitian menemukan bahwa kuman ini menyebabkan

bronkhopneumonia hampir pada semua kelompok umur dan paling banyak terjadi dinegara-

Negara berkembang. Bakteri- bakteri lain seperti staphylococcus, pneumococcus, dan

haemophylus influenza, serta virus dan jamur juga sering menyebabkan pneumonia (Machmud,

2012).

Akan tetapi, dari pandangan yang berbeda didapatkan bahwa gambaran etiologi pneumonia dapat

diketahui berdasarkan umur penderita.Hal ini terlihat dengan adanya perbedaan agen penyebab

penyakit, baik pada bayi maupun balita. Kejadian bronkhopneumonia pada bayi neonatus lebih

banyak disebabkan oleh bakteri streptococcusdan Gram negative enteric bacteria (Escheriachia

coli). Hal ini dijelaskan pula oleh Correa, Bahwa bakteri Streptococus pneumonia sering
menyerang neonatus berumur 3 minggu hingga 3 bulan. Sementara itu, pneumonia pada anak-

anak usia balita lebih sering disebabkan oleh virus (Nelson, 2014).

4. Patofisiologi Bronkhpneumonia

Perjalanan klinis bronchopneumonia dimulai dengan berinteraksinya virus dengan


tubuh. Masuknya virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran
pernapasan. Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbunya
batuk kering. Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernapasan
menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mucus yang terdapat pada dinding
saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal
Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris
yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terahadap
infeksi bakteri, sehingga memudahkan bakteri- bakteri pathogen yang terdapat
pada saluran nafas atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza
dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder
bakteri ini menyebabkan sekresi mucus bertambah banyak dan dapat menyumbat
saluran nafas sehingga timbul sesak dan juga menyebabkan batuk yang produktif.
Virus yang menyerang menyebar ke saluran nafas bawah dan dapat menginfeksi
paru-paru sehingga menyebabkan bronchopneumonia bakteri.
Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid
yang tersebar, merupakan ciri khas imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah
bahwa IgA memegang peran pada saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran
nafas bawah. Diketahui pula sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam
mempertahankan integritas mukosa saluran nafas (Nelson, 2014).

5. Tanda dan Gejala Bronkhopneumonia

1. Tanda
Tanda- tanda penyakit bronkhopneumonia pada balita antara lain: batuk non
produktif, ingus, suara yang lemah penggunaan obat bantu nafas, demam,
cyanosis (kebiruan), thorax photo menunjukkan infeltrasi melebar, sakit
kepala, kekakuan dan nyeri otot, sesak napas, menggigil, berkeringat, lelah
terkadang kulit menjadi lembab mual dan muntah (Nelson, 2014).

2. Gejala
Gejala penyakit bronkhopenumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran

napas atas akut selama beberapa hari. Selain itu didapatkan demam mengigil
suhu tubuh mencapai 400C, sesak napas,nyeri, dada dan batuk dahak kental

terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada bagian penderita juga

ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala

(Nelson, 2014).

6. Faktor Risiko Bronkhopneumonia Berulang

Tingginya kejadian bronchopneumonia berulang pada balita dipengaruhi oleh banyak


faktor. Faktor- Faktor yang berpengaruh berasal dari balita sendiri (Interistik) dan lingkungan
(eksterinsik). Menurut Depkes RI (2012) faktor resiko interistik penyakit bronchopneumonia
terutama adalah umur, jenis kelamin, berat badan lahir, pemberian ASI, status imunisasi, status
gizi, defisiensi vitamin A, pemberian makanan tambahan terlalu dini, pengetahuan ib, serta
keadaan sosial ekonimi keluarga, sedangkan faktor eksterinsik antara lain lingkungan adalah
polusi udara baik yang berasal dari dalam rumah mauoun dari luar rumah, kepadatan tempat
tinggal, dan ventilasi rumah. Menurut (Marni, 2014) anak dengan dayatahan tubuhterganggu dan
penurunan daya tahan tubuh yang salah satunya karena pengobatn dengan antibiotic yangbtidak
sempurna akan menderita bronchopneumonia berulang.

Timbulnya penyakit bronchopneumonia juga berhubungan dengan proses penularan yaitu


kontak dengan penderita penyakit bronchopneumonia, TBC selain itu juga berhungan dengan
penyakit asma, dimana kenaikan reaktivitas terjadi selama infeksi virus pernapasan. Sebagian
besar anak batuk yang dating ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya hanya menderita
infeksi saluran pernapasan yang bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan
pengobatan dengan antibiotik, tetapi pada beberapa anak bisa terjadi infeksi akut pada paru-paru.
Bronkhopneumonia bila tidak diobati dengan antibiotic anak tersebut dapat meninggal, baik
karena kekurangan oksigen maupun karena infeksi bakteri pada aliran darah (sepsis atau
septicemia) (Depkes RI, 2014).

Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit bronchopneumonia pada


anak. Hal ini berhubungan dengan pejamu, agen penyakit dan lingkungan (Rahajoe, 2013).
Terdapat juga beberapa penelitian yang menghubungkan faktor tersebut dengan kejadian
bronchopneumonia berulang.

a. Usia
Bronkhopneumonia dapat ditemukan 50% anak dibawah 5 tahun dan 30% anak berusia 5-12
tahun. Bayi dan anak- anak yang masih kecil terutama yang berusia anatar 6 bulan dan 3 tahun,
bereaksi pernapasan akut dibandingkan dengan anak- anak yang lebih besar. Bronkhopneumonia
lebih sering mengenai anak usia dibawah 3 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak
pada usia muda akan lenih sering menderita bronchopneumonia dari pada usia yang lebih lanjut
(Hidayati, 2013).

b. Status Gizi

Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat kesehatan, khususnya
kesehatan anak. Status gizi pada anak dapat dinilai dari pengukuran rasio berat badan dan tinggi
(panjang) badan. Status gizi yang baik dapat diperoleh dari asupan gizi yang tentu saja cukup dan
seimbang. Kekurangan gizi (malnutrisi) dapat terjadi pada bayi dan anak akan menimbulkan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini hingga dewasa
(Depkes RI, 2014).

Status gizi merupakan faktor risiko penting timbulnya bronchopneumonia (Rahajoe,


2013). Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang bronchopneumonia dengan
gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan
menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan akibat kekurangan gizi. Pada keadaan gizi
kurang, balita lebih mudah terserang bronchopneumonia berat bahkan serangan lebih lama. Hasil
penelitian yang dilakukan (Maryunani, 2013) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara status gizi dengan kejadian bronchopneumonia pada balita, karena balita dengan gizi yang
kurang (malnutrisi) akan lebih mudah terken penyakit infeksi dibandingkan dengan balita gizi
baik. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan (irawati, 2013) menyatakan bahwa ada hubungan
status gizi balita dengan kejadian bronchopneumonia berulang dimana balita dengan status gizi
kurang lebih sering menderita bronchopneumonia lebih sering menderita bronchopneumonia
dibandingkan balita yang mempunyai gizi baik.

c. Pemberian ASI

ASI merupakan makanan yang terbaik bagi bayi terutama diawal kehidupannya karena
komposisi ASI paling sesuai dengan kondisi fisiologis bayi pada masa awal kehidupannya.
Pemberian ASI harus dilakukan segera setelah bayi lahir dalam waktu 1 jam pertama. Sampai
usia 6 bulan, bayi cukup mendapatkan asupan makanan dari ASI tanpa makanan tambahan atau
minuman lain karena ASI mengandung semua zat gizi dn cairan yang dibutuhkan untuk
memenuhi seluruh kebutuhan gizi dan cairan yang dibutuhkan untuk memenuhi seluruh
kebutuhan gizi bayi pada 6 bulan pertama kehidupannya (Prihatiningtyas, 2014).
ASI mengandung kolostrum yang banyak mengandung antibody yang salah satunya adalah
BALT yang menghasilkan antibodi terhadap infeksi pernapasan dan sel darah putih,
ssehgkjfserssssssertsertvivitamin A yang

d. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa
balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih
besar dibandingkan dengan barat badan lahir normal, terutama pada bulan pertama kelahiran
karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena infeksi,
terutama bronchopneumonia dan gangguan saluran pernapasan lainnya (Maryunani, 2013). Hal
ini disebabkan oleh karena pembentukan zat kekebalan yang kurang sempurna sehingga system
pertahanan tubuh rendah terhadap mikroorganisme pathogen. Hasil penelitian yang dilakukan
dinyatakan bahwa bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah memiliki risiko
bronchopneumonia 3kali lebih besar dari pada bayi yang lahir dengan berat badan lahir normal
(Lestari, 2014).

e. Imunisasi

Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko terkena
bronchopneumonia dan memperberat bronchopneumonia itu sendiri, tetapi sebelumnya hal ini
dapat dicegah. Di India, anak yang baru sembuh dari campak selama 6 bulan berikutnya dapat
mengalami bronchopneumonia tiga kali lebih sering dari pada anak yang tidak terkena campak.
Campak, pertusis dan difteri bersama-sama dapat menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian
yang berkaitan dengan bronchopneumonia (Rahajoe, 2013).

Dalam penurunan angka kejadian bronchopneumonia dengan memberikan imunisasi


lengkap pada anak. Imunisasi terbagi atas imunisasi dasar yang wajib dan imunisasi yang
penting. Sebelum anak berusia dua tahun kelengkapan imunisasi dasar harus dipenuhi. Penelitian
menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara status imunisasi balita dengan kejadian
bronchopneumonia dengan Odds Ratio 3,99 yang berarti balita dengan status imunisasi tidak
lengkap memiliki 4 kali lebih besar mengalami bronchopneumonia dibandingkan balita dengan
status imunisasi lengkap (Darmayanti, 2014). Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sukmawati (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara imunisasi dengan kejadian
bronchopneumonia berulang.

f. Pendidikan dan pengetahuan Orang tua

Tingkat pendidikan orang tua menunjukan adanya hubungan terbalik antara angka kejadian
deangan kematian bronchopneumonia. Tingkat pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan
sosial ekonomi, dan juga berkaitan dengan pengetahuan orang tua. Penelitian menyatakan bahwa
ada hubungan antara pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan ibu terhadap
bronchopneumonia pada balita. Ibu yang berpendidikan rendah (< SMA) cenderung tidak
mengetahui gejala-gejala bronchopneumonia yang dialami oleh balita dan menganggap hal
tersebut tidak berbahaya (Fillacano, 2013). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
menyatakan bahwa ada hubungan anatar tingkat pengetahuan ibu tentang bronchopneumonia
dengan kejadian bronchopneumonia berulang pada balita.

g. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-faktor lain seperti
nutrisi, lingkungan dan penerimaan layanan kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga dengan
status sosial ekonomi rendah mempunyai risiko lebih besar mengalami bronchopneumonia
(Rahajoe, 2013). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nana (2012) yang
menyatakan bahwa balita dengan latar belakang keluarga yang mempunyai status sosial
ekonomo rendah lebih berisiko terkena bronchopneumonia disbanding dengan status sosial
ekonomi yang tinggi.

h. Lingkungan tempat tinggal dan sanitasi perumahan

Studi epidemiologi di Negara berkembang menunjukkan bahwa polusi udara, baik dari
dalam maupun dari luar rumah berhubungan dengan beberapa penyakit termasuk
bronchopneumonia. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang dapat
mengiritasi saluran mukosa respiratori. Kondisi tempat tinggal mempengaruhi terjadinya
penularn penyakit, bibit penyakit mudah ditularkan karena kondisi tempat tinggal yang tidak
sehat, misalnya : TBC, penyakit- penyakit kulit dan penyakit saluran pernapasan (Azwar, 2012).

Anak yang tinggal dirumah berventilasi baik memiliki angka insiden bronchopneumonia
lebih rendah dari pada anak yang berada di dalam rumah berventilasi buruk. Faktor lingkungan
tempat tinggal anak dapat berpengaruh pada kejadian bronchopneumonia dibutuhkan kualitas
rumah tinggal yang baik serta memenuhi syarat kesehatan untuk menjaga lingkungan tetap sehat.
Kualitas rumah tinggal yang baik ditentukan oleh jenis bahan bangunan yang digunakan, dan
cukup luas untuk satu keluarga. Orang tua yang merokok menyebabkan anaknya rentan terhadap
bronchopneumonia (Rahajoe, 2013).

Populasi yang sangat rentan terhadap asap rokok adalah anak-anak karena mereka
mengirup udara lebih sering dari pada orang dewasa. Organ anak-anak masih lemah sehingga
rentan terhadap gangguan dan masalah sehingga jika terkena dampak buruk maka perkembangan
organnya tidak sesuai dengan semestinya (Depkes, 2012).

7. Cara Penularan Bronkhopneumonia

Bronkhopneumonia ditularkan lewat udara pada saat orang yang sudah terinfeksi akan
mengalami batuk, bersin atau bernafas maka bersamaan dengan itu bakteri atau zat virus yang
menyebabkan bronchopneumonia sacara tidak sengaja akan menginfeksi orang yang ada di
sekitar yang menhirup udara tersebut. Faktor yang dapat memudahkan penularan (Rahajoe,
2013):

a. Kuman (bakteri dan virus) yang menyebabkan bronchopneumonia mudah


berkembangbiak dalam rumah yang lantainya lembab, pencahayaan kurang, ventilasi
yang tidak memenuhi standard an polusi udara entah karena asap rokok ataupun asap
api sebagai bahan untuk memasak
b. Orang yang terkena bronchopneumonia akan mudah menularkan kuman pada orang
lain bail lewat kontak langsung maupun lewat udara pada saat bersin atau batuk tanpa
menutup mulut atau hidung.
c. Kuman yang menyebabkan bronchopneumonia mudah sekali menular dari orang
yang satu ke orang yang lain, terutama pada rumah yang anggota keluarganya banyak
dan tinggal dalam rumah yang ukurannya kecil.

8. Bronkhopneumonia Berulang

Angka kejadian bronchopneumonia yang masih tinggi pada balita disebabkan


oleh tingginga frekuensi kejadian bronchopneumonia pada balita. Faktor kerentanan
daya tahan tubuh sangat menentukan penyakit ini kembali berulang. Jadi anak yang
daya tahan tubuhnya rendah mudah mengalami bronkhopneumonia berulang. Angka
kejadian bronchopneumonia berulang pada balita di Negara berkembang 2-10 kali
lebih tinggi dari pada Negara maju. Dalam satu tahun rata-rata seorang anak
dipedesaan dapat terserang bronchopneumonia 3-5 kali, sedangkan di daerah
perkotaan sampai 6-8 kali (Rahajoe, 2013).

Penyebab tingginya kejadian bronchopneumonia ulang pada balita terkait dengan


banyaknya faktor yang berhubungan dengan bronchopneumonia. Beberapa faktor
yang berkaitan dengan bronchopneumonia pada balita antara lain usia, keadaan gizi
yang buruk, pemberian ASI yang tidak memadai, status imunisasi yang tidak lengkap
serta kondisi lingkungan yang buruk sperti ventilasi rumah yang tidak memenuhi
syarat, kepadatan hunian rumah yang terlalu padat, pencemaran udara (asap dan
debu) di dalam rumah maupun diluar rumah (Rahajoe, 2013).

Bronkhopeumonia yang berulang- ulang khususnya pada paru-paru dapat


mengakibatkan gangguan fungsi pernapasan. Akibatnya pada masa dewasa anak
tersebut akan menderita batuk dan sesak nafas yang menahun (kronis). Selain itu
apabila bronchopneumonia berulang tidak segera ditangani maka akan terjadi
komplikasi yaitu terjadinya infeksi pada saluran nafas bagian bawah, sehingga anak
mengalami bronchitis, radang paru-paru ataupun asmatik bronchitis (Dinkes RI,
2012).
Kematian pada pendertita Bronkhopneumonia terjadi jika penyakit telah mencapai
derajat bronchopneumonia yang berat. Paling sering kematian terjadi karena infeksi
telah mencapai paru-paru. Ke berulang tidak segera ditangani maka akan terjadi
komplikasi yaitu terjadinya infeksi pada saluran nafas bagian bawah, sehingga anak
mengalami bronchitis, radang paru-paru ataupun asmatik bronchitis (Dinkes RI,
2012).

Kematian pada pendertita Bronkhopneumonia terjadi jika penyakit telah mencapai


derajat bronchopneumonia yang berat. Paling sering kematian terjadi karena infeksi
telah mencapai paru-paru. Keadaan ini disebut bronchopneumonia sebagian besar
keadaan ini terjadi karena karena penyakit ringan bronchopneumonia ringan yang
diabaikan. Sering kali penyakit dimulai dengan batuk biasa, tetapi karena daya tahan
tubuh anak lemah maka penyakit dengan cepat menjalar ke paru-paru. Jika
penyakitnya telah menjalar ke paru-paru dan anak tidak mendapatkan pengobatan
serta perawatan yang tepat, anak dapat meninggal (Depkes, 2012).

B. ASI Eksklusif
1. Definisi
2. Manfaat ASI
3. Komposisi ASI
4. Pengelompokkan ASI
C. Konsep DasarBalita
D. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Bronkhopneumonia Berulang
Pada Balita
E. Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai