PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan sebagai bagain dari upaya membangun manusia seutuhnya antara
lain diselenggarakan melalui upaya kesehatan anak yang dilakukaan sedini mungkin sejak anak
masih dalam kandungan (Depkes RI, 2014). Derajat kesehatan masyarakat dinilai dari aspek
salah satunya adalah angka kematian bayi dan balita. Hal ini sesuai dengan tujuan Sustainable
Develpoment Goals (SDGs) pada Goal ke- 3 poin ke-3 yaitu mengurangi angka kematian balita
yang disebabkan oleh penyakit infeksi dan mengakhiri epidemik. Kematian balita umumnya
disebabkan oleh penyakit infeksi seperti AIDS, Tuberkolosis, Bronkhopneumonia dan malaria.
World Health Organization (WHO) memperkirakan seperlima dari kematian bayi dan balita
kejadian Bronkhopneumonia dinegara berkembang disebabkan oleh bronchopneumonia.
Indonesia merupakan salah satu dari Negara berkembang yang paling banyak menderita
bronchopneumonia yaitu sekitar 5500 bayi dan balita yang meninggal. Pada tahun 2010
bronkhopneumonia merupakan pembunuh terbesar bagi balita (Kemenkes RI, 2014).
Bronkhopneumonia merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke rumah sakit
(40-60%) dan puskesmas (25-30%) (Kemenkes RI, 2014). Propinsi Jawa Barat masuk dalam 5
besar dengan prevalensi bronchopneumonia tertinggi yaitu sebesar 30% (Riskesdas, 2014),
penyakit ini menyerang pada anak-anak dan balita hampir diseluruh dunia. Bila penyakit ini
tidak ditangani, maka akan menyebabkan komplikasi bahkan bisa sampai menyebabkan
Bronkhopneumonia adalah suatu peradangan pada paremkim paru yang meluas sampai bronkioli
atau dengan kata lain peradangan yang terjadi pada jaringan paru melalui penyebaran langsung
agen, penjamu/ faktor interistik dan eksterinsik (lingkungan). Faktor interistik antara lain umur,
berat badan lahir rendah (BBLR), status gizi, vitamin A, statu imunisasi dan riwayat pemberian
ASI Eksklusif faktor eksterinsik antara lain pendidikan orang tua, status sosial ekonomi rendah,
dopengaruhi status gizi, imunisasi dan berat badan lahir rendah (BBLR) begitu juga dengan
Sukmawati menemukan bahwa balita dan anak mengalami defisiensi vitamin A akan menderita
bronchopneumonia lebih tinggi. Pemberian ASI secara eksklusif atau tidak eksklusif merupakan
salah satu faktor resiko bronchopneumonia. ASI eksklusif merupakan salah satu solusi
pencegahan bronchopneumonia karena salah satu khasiat ASI eksklusif dapat meningkatkan
daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi seperti bronchopneumonia (Prihatiningtyas, 2015).
Penelitian Susilo, dkk (2015) yang berjudul Faktor-Faktor yang berhubungan Dengan
kejadian Bronkhopneumonia menyatakan bahwa ada hubungan ada hubungan antara pemberian
ASI Eksklusif dengan kejadian bronkhipneumonia pada balita dari hasil uji statistic diperoleh
nilai p =0,002 (p < 0,005). Dari hasil analisi diperoleh nilai PR = 0, 193 artinya balita yang tidak
bronchopneumonia.
dan paling baik tidak hanya tahun awal kehidupan seseorang bahkan sepanjang masa kanak-
kanak dan masa dewasa. Manfaat tersebut antara lain terbukti bahwa pemberian ASI
menurunkan resiko berbagai penyakit salah satunya adalag bronchopneumonia (Marni, 2014).
Berbeda dengan penelitian Pandu, dkk (2014) yang berjudul Faktor- Faktor Yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara ASI Ekslusif dengan kejadian bronchopneumonia
pada balita dengan hasil uji Chi Square diperoleh nilai p= 0,684 > α (0.05).
ASI membantu pertumbuhan dan perkrmbangan anak secara optimal serta melindungi
terhadap penyakit (Profil Kesehatan Indonesia, 2013). ASI Eksklusif adalah pemberian ASI
tanpa memberikan makanan pendamping selama 6 bulan. ASI mengandung kekebalan tubuh
immunoglobulin A (igA) dan immunoglobulin M (igM). IgA adalah antibodi yang berfungsi
Bina Gizi dan Kesehatan ibu dan anak kementrian kesehatan menyebutkan, berdasarkan data
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2014 baru ada (33,6%) bayi umur 0-6 bulan
yang mendapatkan ASI Ekslusif (Mahmud,2015). Bayi yang mendapatkan ASI eklsklusif dikota
Bandung pada tahun pada tahun 2015 sebanyak 11.082 bayi (45,56%) dari 24.085 bayi yang ada
Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 10 Oktober 2017 jumlah balita
bronkhopneumonia yang berkunjung ke RSAU dr. M. Salamun menduduki urutan kedua dengan
bronchopneumonia terbanyak pada tahun 2015 sebanyak 466 balita, pada tahun 2016 meningkat
menjadi 624 balita baik pasien rawat jalan maupun rawat inap, terdapat 305 balita yang
tiga bulan terakhir berjumlah 124 orang hampir tiap bulannya berkunjung sekitar 50 balita
ditimbang terdapat 124 yang termasuk balita dalam kategori gizi kurang dengan persentasi
(4,25%). Dari jumlah balita 565 terdapat 95 balita yang tidak diimunisasi lengkap. Jumlah balita
565 didapatkan 130 yang tidak diberikan vitamin A. Cakupan penimbangan, status gizi,
pemberian imunisasi lengkap dan pemeberian vitamin A di RSAU dr. M Salamun dapat
Jumlah sasaran bayi 0-6 bulan balita di kota Bandung yang ditargetkan mendapatkan ASI
eksklusif pada tahun 2014 berjumlah 1623 bayi sedangkan jumlah yang tercapai 758 bayi atau
Berdasarkan hasil wawancara dengan 15 orang ibu yang mempunyai balita diatas 1 tahun
diantaranya 9 ibu mengatakan anaknya tidak diberikan ASI ekslklusif. Dari 9 ibu tersebut 5
1x. Dapat dikatakan bahwa balita yang diberikan ASI eksklusif cenderung lebih sedikit
menderita bronchopneumonia pada balita yang tidak diberikan ASI ekslusif resiko terjadinya
Angka kejadian bronchopneumonia yang tinggi dan belum tercapainya cakupan ASI
eksklusif merupakan suatu masalah yang perlu mendapatkan perhatian sesuai dengan kejadian
bronchopneumonia yang menjadi penyebab kematian bayi di Indonesia dan menjadi penyakit
yang menonjol di RSAU dr.M Salamun peneliti ingin meneliti apakah terapat hubungan antara
Salamun.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu
Apakah ada hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
bronchopneumonia ulang di RSAU dr.M Salamun.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi hubungan riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
bronchopneumonia ulang pada balita di RSAU dr.M Salamun
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi riwayat pemberian ASI eksklusif pada balita di RSAU dr M
Salamun.
b. Mengidentifikasi kejadian bronchopneumonia ulang pada balita di RSAU dr.M
Salamun.
c. Mengidentifikasi hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
bronchopneumonia ulang pada balita di RSAU dr. M Salamun.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini dilakukan agar peneliti dapat menerapkan pengetahuan yang
berkaitan dengan biostatistik dan metodologi penelitian. Selain itu, peneliti juga
dapat mengetahui hubungan riwayat pemberian ASI ekslusif dengan kejadian
bronchopneumonia ulang pada balita.
2. Lingkup Waktu
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan januari 2018
3. Lingkup Materi
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Bronkhopneumonia
Bronkhopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola penyebaran bercak,
teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru
bronkolius terminal yang tersumbat oleh eksudat, kemudian menjadi bagian yang terkonsolidasi
atau membentuk gabungan di dekat lobus, disebut juga pneumonia lobaris (Whaley&Wong,
2000).
Bronkopneumonia berasal dari kata bronchus dan bronkhopneumonia berarti peradangan pada
jaringan paru-paru dan juga cabang tenggorokan (broncus). Bronkopneumonia suatu cadangan
pada parenkim paru yang meluas sampai bronkioli atau dengan kata lain peradangan yang terjadi
pada jaringan paru melalui cara penyebaran langsung melalui saluran 8 pernafasan atau melalui
Kesimpulannya bronkopneumonia adalah jenis infeksi paru yang disebabkan oleh agen infeksius
seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing yang mengenai daerah bronkus dan sekitar alveoli.
2. Klasifikasi Bronkhopneumonia
Kejadian bronkhopneumonia pada balita diperlihatkan dengan adanya ciri-ciri demam, batuk,
pilek, disertai sesak napas dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing),
serta sianosis pada infeksi yang berat. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam terjadi
Karena gerakan paru yang mnegurang akibat infeksi pneumonia yang berat. Pada usia dibawah 3
bulan, kejadian bronkhopneumonia diikuti dengan penyakit pendahulu seperti otitis media,
conjungtivitis, laryngitis dan pharyngitis. Adapun penentuan klasifikasi klinis penyakit
bronkhopneumonia dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok umur 2 bulan – kurang 5
tahun dan kelompok umur kurang 2 bulan. Untuk anak berumur kurang, klasifikasi dibagi atas
dari 2 bulan, maka di klasifikasikan atas bukan pneumonia dan penemonia berat.
bronkhopnemonia berat pada anak umur 2 bulan kurang 5 tahun dilihat dari adanya kesulitan
bernapas dan atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam,sedangkan pada anak umur
kurang 2 bulan diikuti dengan adanya napas cepat dan tarikan dinding dada bagian bawah ke
Table 2.1. Klasifikasi Klinis bronkhopneumonia Pada Balita Menurut Kelompok Umur
Kriteria
Kelompok Umur Gejala Klinis
Bronkhopneumonia
2 bulan kurang – Batuk bukan bronkho Tidak ada napas dan tidak ada
5tahun pneumonia tarikan dinding dada bagian
bawah
Bronkhopneumonia Adanya napas cepat dan tidak
tarikan dinding dada bagian
bawah kedalam
Bronkhopneumonia Adanya tarikan dinding dada
berat bagian ke dalam
Kurang 2 bulan Bukan Tidak ada napas cepat dan tidak
bronchopneumonia ada tarikan dada bagian bawah
kedalam yang kuat
Bronkhopneumonia Adanya napas cepat dan tarikan
berat dinding dada bagian bawah
kedalam yang kuat
Kriteria napas cepat berdasarkan frekuensi pernpasan dibedakan menurut umur anak. Untuk
umur kurang 2 bulan, dikatakan napas cepat jika frekuensi napas 60 kali permenit atau lebih,
sedangkan untuk umur 2 bulan sampai kurang 12 bulan jika kurang 50 kali permenit , dan umur
12 bulan sampai kurang jika kurang dari 40 kali permenit (Nelson,2014). Peningkatan frekuensi
napas terjadi pada penderita pneumonia sebagai akibat infeksi fisiologis terhadap keadaan
hiposia (kekurangan oksigen) atau dapat pula terjadi pada anak yang gelisah /akut.
Selain dilihat dari frekuensi napas, bronkhopneumonia juga dapat di klasifikasikan berdasarkan
anatomi organ yang terkena, yang dibagi atas pneumonia lobaris, pneumonia segmentalis dan
pneumonia lobularis. Pnemonia lobularis biasanya mengenai paru bagian atau lebih dikenal
sebagai bronkhopnemonia.
3. Etiologi Bronkhopneumonia
Etiologi bronkopneumonia dibedakan berdasarkan agen penyebab infeksi, baik itu bakteri, virus,
maupun parasite. Pada umumnya terjadi akibat adanya infeksi bakteri pneumokokus
bronkhopneumonia hampir pada semua kelompok umur dan paling banyak terjadi dinegara-
haemophylus influenza, serta virus dan jamur juga sering menyebabkan pneumonia (Machmud,
2012).
Akan tetapi, dari pandangan yang berbeda didapatkan bahwa gambaran etiologi pneumonia dapat
diketahui berdasarkan umur penderita.Hal ini terlihat dengan adanya perbedaan agen penyebab
penyakit, baik pada bayi maupun balita. Kejadian bronkhopneumonia pada bayi neonatus lebih
banyak disebabkan oleh bakteri streptococcusdan Gram negative enteric bacteria (Escheriachia
coli). Hal ini dijelaskan pula oleh Correa, Bahwa bakteri Streptococus pneumonia sering
menyerang neonatus berumur 3 minggu hingga 3 bulan. Sementara itu, pneumonia pada anak-
anak usia balita lebih sering disebabkan oleh virus (Nelson, 2014).
4. Patofisiologi Bronkhpneumonia
1. Tanda
Tanda- tanda penyakit bronkhopneumonia pada balita antara lain: batuk non
produktif, ingus, suara yang lemah penggunaan obat bantu nafas, demam,
cyanosis (kebiruan), thorax photo menunjukkan infeltrasi melebar, sakit
kepala, kekakuan dan nyeri otot, sesak napas, menggigil, berkeringat, lelah
terkadang kulit menjadi lembab mual dan muntah (Nelson, 2014).
2. Gejala
Gejala penyakit bronkhopenumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran
napas atas akut selama beberapa hari. Selain itu didapatkan demam mengigil
suhu tubuh mencapai 400C, sesak napas,nyeri, dada dan batuk dahak kental
terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada bagian penderita juga
ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala
(Nelson, 2014).
a. Usia
Bronkhopneumonia dapat ditemukan 50% anak dibawah 5 tahun dan 30% anak berusia 5-12
tahun. Bayi dan anak- anak yang masih kecil terutama yang berusia anatar 6 bulan dan 3 tahun,
bereaksi pernapasan akut dibandingkan dengan anak- anak yang lebih besar. Bronkhopneumonia
lebih sering mengenai anak usia dibawah 3 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak
pada usia muda akan lenih sering menderita bronchopneumonia dari pada usia yang lebih lanjut
(Hidayati, 2013).
b. Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat kesehatan, khususnya
kesehatan anak. Status gizi pada anak dapat dinilai dari pengukuran rasio berat badan dan tinggi
(panjang) badan. Status gizi yang baik dapat diperoleh dari asupan gizi yang tentu saja cukup dan
seimbang. Kekurangan gizi (malnutrisi) dapat terjadi pada bayi dan anak akan menimbulkan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini hingga dewasa
(Depkes RI, 2014).
c. Pemberian ASI
ASI merupakan makanan yang terbaik bagi bayi terutama diawal kehidupannya karena
komposisi ASI paling sesuai dengan kondisi fisiologis bayi pada masa awal kehidupannya.
Pemberian ASI harus dilakukan segera setelah bayi lahir dalam waktu 1 jam pertama. Sampai
usia 6 bulan, bayi cukup mendapatkan asupan makanan dari ASI tanpa makanan tambahan atau
minuman lain karena ASI mengandung semua zat gizi dn cairan yang dibutuhkan untuk
memenuhi seluruh kebutuhan gizi dan cairan yang dibutuhkan untuk memenuhi seluruh
kebutuhan gizi bayi pada 6 bulan pertama kehidupannya (Prihatiningtyas, 2014).
ASI mengandung kolostrum yang banyak mengandung antibody yang salah satunya adalah
BALT yang menghasilkan antibodi terhadap infeksi pernapasan dan sel darah putih,
ssehgkjfserssssssertsertvivitamin A yang
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa
balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih
besar dibandingkan dengan barat badan lahir normal, terutama pada bulan pertama kelahiran
karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena infeksi,
terutama bronchopneumonia dan gangguan saluran pernapasan lainnya (Maryunani, 2013). Hal
ini disebabkan oleh karena pembentukan zat kekebalan yang kurang sempurna sehingga system
pertahanan tubuh rendah terhadap mikroorganisme pathogen. Hasil penelitian yang dilakukan
dinyatakan bahwa bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah memiliki risiko
bronchopneumonia 3kali lebih besar dari pada bayi yang lahir dengan berat badan lahir normal
(Lestari, 2014).
e. Imunisasi
Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko terkena
bronchopneumonia dan memperberat bronchopneumonia itu sendiri, tetapi sebelumnya hal ini
dapat dicegah. Di India, anak yang baru sembuh dari campak selama 6 bulan berikutnya dapat
mengalami bronchopneumonia tiga kali lebih sering dari pada anak yang tidak terkena campak.
Campak, pertusis dan difteri bersama-sama dapat menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian
yang berkaitan dengan bronchopneumonia (Rahajoe, 2013).
Tingkat pendidikan orang tua menunjukan adanya hubungan terbalik antara angka kejadian
deangan kematian bronchopneumonia. Tingkat pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan
sosial ekonomi, dan juga berkaitan dengan pengetahuan orang tua. Penelitian menyatakan bahwa
ada hubungan antara pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan ibu terhadap
bronchopneumonia pada balita. Ibu yang berpendidikan rendah (< SMA) cenderung tidak
mengetahui gejala-gejala bronchopneumonia yang dialami oleh balita dan menganggap hal
tersebut tidak berbahaya (Fillacano, 2013). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
menyatakan bahwa ada hubungan anatar tingkat pengetahuan ibu tentang bronchopneumonia
dengan kejadian bronchopneumonia berulang pada balita.
Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-faktor lain seperti
nutrisi, lingkungan dan penerimaan layanan kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga dengan
status sosial ekonomi rendah mempunyai risiko lebih besar mengalami bronchopneumonia
(Rahajoe, 2013). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nana (2012) yang
menyatakan bahwa balita dengan latar belakang keluarga yang mempunyai status sosial
ekonomo rendah lebih berisiko terkena bronchopneumonia disbanding dengan status sosial
ekonomi yang tinggi.
Studi epidemiologi di Negara berkembang menunjukkan bahwa polusi udara, baik dari
dalam maupun dari luar rumah berhubungan dengan beberapa penyakit termasuk
bronchopneumonia. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang dapat
mengiritasi saluran mukosa respiratori. Kondisi tempat tinggal mempengaruhi terjadinya
penularn penyakit, bibit penyakit mudah ditularkan karena kondisi tempat tinggal yang tidak
sehat, misalnya : TBC, penyakit- penyakit kulit dan penyakit saluran pernapasan (Azwar, 2012).
Anak yang tinggal dirumah berventilasi baik memiliki angka insiden bronchopneumonia
lebih rendah dari pada anak yang berada di dalam rumah berventilasi buruk. Faktor lingkungan
tempat tinggal anak dapat berpengaruh pada kejadian bronchopneumonia dibutuhkan kualitas
rumah tinggal yang baik serta memenuhi syarat kesehatan untuk menjaga lingkungan tetap sehat.
Kualitas rumah tinggal yang baik ditentukan oleh jenis bahan bangunan yang digunakan, dan
cukup luas untuk satu keluarga. Orang tua yang merokok menyebabkan anaknya rentan terhadap
bronchopneumonia (Rahajoe, 2013).
Populasi yang sangat rentan terhadap asap rokok adalah anak-anak karena mereka
mengirup udara lebih sering dari pada orang dewasa. Organ anak-anak masih lemah sehingga
rentan terhadap gangguan dan masalah sehingga jika terkena dampak buruk maka perkembangan
organnya tidak sesuai dengan semestinya (Depkes, 2012).
Bronkhopneumonia ditularkan lewat udara pada saat orang yang sudah terinfeksi akan
mengalami batuk, bersin atau bernafas maka bersamaan dengan itu bakteri atau zat virus yang
menyebabkan bronchopneumonia sacara tidak sengaja akan menginfeksi orang yang ada di
sekitar yang menhirup udara tersebut. Faktor yang dapat memudahkan penularan (Rahajoe,
2013):
8. Bronkhopneumonia Berulang
B. ASI Eksklusif
1. Definisi
2. Manfaat ASI
3. Komposisi ASI
4. Pengelompokkan ASI
C. Konsep DasarBalita
D. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Bronkhopneumonia Berulang
Pada Balita
E. Kerangka Teori