Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan salah satu infeksi

saluran pernapasan menjadi penyebab utama rawat inap dan kematian pada masa

kanak-kanak, terutama di negara berkembang (World Health Organization

(WHO), 2023). Penyebab utama ISPA dan sebagian besar infeksi disebabkan oleh

Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae, sedangkan pada orang

dengan sistem kekebalan yang lemah, penyebab lain seperti virus, jamur, atau

bakteri atipikal bertanggung jawab. Akan tetapi polusi udara seperti asap rokok

merupakan faktor yang sangat meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan

akut, terutama pada anak-anak dan meningkatkan proporsi kematian karena

kondisi ini (Fathmawati, Rauf and Indraswari, 2021). Selain itu ISPA dapat

disebabkan karena adanya pertahanan tubuh yang kurang akibat kekurangan

nutrisi yang cukup bagi anak. ISPA yang terjadi pada anak usia dibawah 2 tahun

dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak serta komplikasi yang

serius apabila tidak ditangani bahkan bisa menyebabkan kematian (Thamrin et al.,

2019). Sebuah studi menjelaskan bahwa paparan asap rokok anak anak

meningkatkan risiko kejadian ISPA 1,3 x lipat pada usia dibawah 5 tahun (Correia

et al., 2021). Sehingga sangat penting pencegahan paparan asap rokok terhadap

anak.
Menurut (WHO), 2023). kejadian ISPA pada anak usia kurang dari

lima tahun lebih besar di negara berkembang, dimana diperkirakan terjadi 151,76

juta kasus baru ISPA per tahun sedangkan di negara maju dilaporkan 4,08 juta

kasus baru per tahun. Lutpiatina et al., (2022) menyebutkan bahwa kasus ISPA

pada anak usia dibawah 5 tahun meningkat sebanyak 14% dari tahun 2020 yaitu

sebanyak 70.981 kasus di ASIA. Menurut statistik nasional, selama tahun 2021

dan 2022, 12,8% anak usia kurang dari lima tahun menunjukkan gejala ISPA

(1273 kasus) (Kemenkes RI., 2022). Menurut Global Nutrition Report

melaporkan tahun 2014 menunjukkan Indonesia termasuk dalam 17 negara teratas

dari 117 negara yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan

overweight pada balita. Sebanyak 56% anak pendek hidup di Asia dan 36% di

Afrika (Kemenkes, 2021b). Prevalensi balita stunting di Indonesia juga tertinggi

dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%)

dan Singapura (4%) (UNSD, 2014). Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) yang

diadakan Kementerian Kesehatan RI tahun 2022menggambarkan persentase

stunting/pendek di Indonesia pada kelompok balita sebesar 29,0% lebih tinggi

dibandingkan kelompok baduta sebesar 21, 7%. Menurut WHO, prevalensi balita

stunting menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20% atau

lebih. Angka kejadian ISPA pada balita di wilayah Kalimantan Utara mencapai

13% dari jumlah anak (Kemenkes RI., 2022). Berdasarkan catatan RSAB

ditemukan 30 kasus ISPA dalam 3 bulan terakhir.

Anak anak rentan terkena ISPA karena daya tahan tubuhnya yang

belum terbentuk sempurna. Itu sebabnya, tubuh Si Kecil sulit untuk melawan
infeksi bakteri maupun virus penyebab ISPA. Selain faktor imunitas, keadaan

lingkungan sekitarnya juga mungkin berperan dalam penularan ISPA.

Tingginya angka kejadian ISPA pada anak dipengaruhi adanya paparan

asap rokok dan variabel lain seperti usia, kelahiran prematur, berat badan lahir

rendah, pemberian ASI yang tidak memadai, malnutrisi, defisiensi nutrisi, status

sosial ekonomi, pendidikan ibu, penyakit penyerta seperti asma dan faktor

lingkungan mempengaruhi kejadian ISPA (Mir et al., 2022). Paparan asap rokok

dapat berkontribusi untuk mengembangkan ISPA melalui inhalasi gas CO yang

apabila terhirup akan melumpuhkan saluran pernapasan yang menyebabkan

tumbuh dan berkembangnya bakteri tindakan langsung di paru-paru menyebabkan

pembengkakan atau mempromosikan kolonisasi bakteri dengan menekan

fagositosis dan fungsi sel silia (Dagne et al., 2020). Penelitian yang dilakukan Mir

et al., (2022) menemukan bahwa paparan asap rokok pada anak berusia dibawah 5

tahun meningkatkan risiko ISPA 2.91 kali lipat dibanding dengan yang lain.

Orangtua yang merokok di dekat anak atau seruangan dengan anak meningkatkan

risiko inhalasi asap rokok lebih dari 82% dari asap rokok yang dikeluarkan saat

merokok. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Wong et al.,(2021) ditemukan

bahwa anak yang mengalami ISPA memiliki risiko 1,40 kali mengalami kematian,

0.3 kali mengalami gangguan pernapasan permanen seperti terjadinya keloid pada

saluran napas hingga bronkiektasis dan 0.71 kali mengalami gejala sesak napas

berkepanjangan.

Perkembangan imunitas dipengaruhi oleh status gizi balita. Kekurangan

gizi dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan otak dan penurunan daya


tahan tubuh terhadap penyakit infeksi (Rahmayana, Ibrahim dan Damayanti,

2014). Salah satu proses akumulatif dari kurangnya asupan zat-zat gizi dalam

jangka waktu yang lama yaitu stunting (Damayanti, Muniroh dan Farapti, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Tary M. Giroth (2022) menemukan bahwa status

gizi balita berhubungan dengan kejadian ISPA balita. Semakin rendah status gizi

balita maka meningkatkan risiko terjadinya ISPA. Zhang et al., (2021)

menemukan bahwa status gizi balita kurang berisiko 2,1x lipat terjadi infeksi

dibanding dengan status gizi baik.

Pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA (P2 ISPA)

memerlukan dukungan dari semua pihak dan peran aktif masyarakat, terutama

peran keluarga. Hal ini sejalan dengan program dari Kementerian Kesehatan saat

ini yaitu menetapkan strategi operasional pembangunan kesehatan melalui

Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) (Kemenkes,

2017). Upaya pencegahan ISPA pada anak telah dilakukan melalui edukasi dan

vaksinani pneumonia. Akan tetapi belum dapat menurunkan kejadian ISPA pada

anak. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran orang dewasa dalam

mengelola perilaku merokok di dekat anak. Pendidikan kesehatan Pola Hidup

Bersih dan Sehat (PHBS) harus bebas dari asap rokok. Solusi anggota keluarga

yang merokok diantaranya menciptakan promosi kesehatan setinggi-tingginya

agar masyarakat hidup sehat dan bahagia, Pemerintah harus menciptakan

lingkungan sehat dan terhindar dari aktivitas merokok. Gaya hidup sehat juga

dapat membantu mencegah pneumonia. Misalnya menghindari merokok,

menyarankan orang tua agar anak beristirahat total dan menjauhi anak dari
paparan asap rokok, karena merusak paru-paru dan meningkatkan kemungkinan

infeksi.

Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada 09 Juni 2023 di RSAB

ditemukan 12 kasus ISPA pada bulan Maret, 15 Kasus pada bulan April dan 14

Kasus pada bulan Mei pada anak usia dibawah 5 tahun dan keseluruhan kasus

menjalani rawat inap. Saat dilakukan wawancara pada 6 orangtua ditemukan

bahwa anggota keluarga lak-laki yang tinggal serumah dengan pasien memiliki

perilaku merokok. Sebagian diantaranya merokok saat bermain dengan anak dan

yang lain seringkali merokok di dalam rumah atau seruangan dengan anak bahkan

di kamar saat anak sedang tidur. Pada saat dilakukan pengukuran status gizi pada

6 balita yang menderita ISPA berdasarkan IMT ditemukan bahwa status gizi

dalam kategori kurang.

B. Rumusan Masalah

ISPA merupakan penyakit yang disebabkan oleh faktor internal dan

eksternal. Faktor internal meliputi status nutrisi yang sangat berpengaruh terhadap

perkembangan sistem pertahanan tubuh atau imunitas. Semakin baik status nutrisi

maka akan semakin baik pula imunitas balita. Sedangkan faktor eksternal meliputi

faktor lingkungan dimana balita tinggal. Lingkungan dipengaruhi oleh adanya

pencemaran udara yang berkaitan dengan proses respirasi. Perilaku merokok pada

orangtua yang tinggal serumah dengan balita merupakan perilaku yang dapat

berdampak pada pencemaran lingkungan. Asap rokok yang ditimbulkan dari


proses merokok dapat terhirup balita sehingga memberikan dampak peradangan

pada saluran napas balita.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka perlu dilakukan penelitian

mengenai hubungan antara status nutrisi dan perilaku merokok orangtua dengan

kejadian ISPA pada balita.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganalisis hubungan antara status nutrisi dan perilaku merokok

orangtua dengan kejadian ISPA pada balita

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi status nutrisi balita.

b. Mengidentifikasi perilaku merokok orangtua

c. Mengidentifikasi kejadian ISPA pada balita.

d. Menganalisis hubungan antara status nutrisi dan perilaku merokok

orangtua dengan kejadian ISPA pada balita

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan konstribusi dalam

pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang keperawatan anak yang

berkaitan dengan penyakit infeksi saluran pernapasan akut..

2. Manfaat Praktisi

a. Bagi Rumah Sakit


Hasil penelitian ini di harapakan dapat menjadi masukkan bagi pihak

RSUD dan bisa di jadikan sumber informasi untuk optimalisasi

penanganan dan pencegahan ISPA pada balita.

b. Bagi Keperawatan

Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi tambahan masukkan bagi

pengembangan ilmu keperawatan tentang pentingnya pencegahan ISPA

pada balita.

c. Bagi Responden

Responden dapat memperoleh pengetahuan dan infromasi terkait ISPA

pada balita.

d. Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini di harapkan menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya

untuk meneliti lebih jauh tentang kejadian ISPA pada balita.

E. Penelitian Sebelumnya

Berdasarkan penelitian yang di lakukan peneliti di berbagai literatur,

didapatkan penelitian yang sejenis yang pernah dilakukan sebagai bahan acuan

peneliti dalam melakukan penelitian ini:

1. Penelitian dilakukan oleh Tary M. Giroth (2022) yang berjudul Hubungan

Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Tompaso

Kabupaten Minahasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

status gizi dengan kejadian ispa pada balita di puskesmas tompaso kabupaten

minahasa. Metode: Jenis penelitian yang digunakan yaitu bersifat kuantitatif

dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel dalam penelitian ini


menggunakan metode Purposive Sampling didapatkan jumlah sampel

sebanyak 62 responden. Penelitian dilakukan dengan hasil anamnesa tim

kesehatan dan perhitungan z-score status gizi balita menurut WHO. Data

kemudian dianalisis menggunakan uji Chi-square. Hasil penelitian

berdasarkan karakteristik status gizi didapatkan gizi baik sebanyak 30 balita,

gizi lebih sebanyak 12 balita, obesitas sebanyak 11 balita, dan gizi kurang

sebanyak 9 balita, kemudian karakteristik ISPA didapatkan yang sementara

mengalami ISPA sebanyak 32 balita dan yang tidak atau sebelumnya pernah

mengalami ISPA sebanyak 30 balita. Hasil analisis kedua variabel

menunjukkan nilai p=0.003 < α=0.05. sehingga dapat disimpulkan bahwa

Terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di

puskesmas tompaso kabupaten minahasa.

2. Penelitan dilakukan oleh Yusridawati (2021) berjudul Relationship between

Nutritional Status and The Incidence of Acute Respiratory Infections (ISPA)

in Children under five at the Deli Serdang District Health Center Quiz Bar in

2020. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Status Gizi

dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di

Puskesmas Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Tahun 2020. Jenis

penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi

dalam penelitian seluruh balita yang terkena ISPA yang datang ke Puskesmas

Batang Kuis dengan jumlah 175 orang. Teknik pengambilan sampel yaitu

Accidental Sampling, sebanyak 26 balita. Data diambil dengan lembar

observasi, data diolah dengan univariat dan bivariat dengan uji Chi square.
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas status gizi balita yaitu gizi kurang

sebanyak 15 orang (57,7%). Kejadian ISPA yaitu Pneumonia sebanyak 18

orang (69,2%). Hasil analisa bivariat menggunakan Chi-Square menunjukkan

p value sebesar 0,03 < 0,05. Maka Ha diterima artinya: Ada Hubungan antara

Status Gizi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada

Balita di Puskesmas Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Tahun 2020.

Kesimpulan penelitian ini adalah Ada Hubungan antara Status Gizi dengan

Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Puskesmas

Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Tahun 2020. Bagi petugas kesehatan

diharapkan lebih giat dalam melaksanakan posyandu pada balita dan

memberikan penyuluhan kesehatan terkait dengan gizi pada balita serta

bahaya penyakit ISPA

3. Penelitian dilakukan oleh Sanni Yasmi Nurjamillah (2022) berjudul

Nutritional Status and the Acute Respiratory Infection Incidence in Toddlers

in the Work Area of the Unyur Health Center of Serang City Before and

During the Covid-19 Pandemic. Penelitian ini bertujuan menganalisis

hubungan status gizi balita dengan kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut

(ISPA) pada balita di wilayah kerja Puskesmas Unyur Kota Serang sebelum

dan selama pandemi covid-19. Desain penelitian adalah komparatif cross

sectional menggunakan data sekunder register Manajemen Terpadu Balita

Sakit (MTBS) Puskesmas tahun 2019-2020. Penelitian ini menganalisis data

balita yang diperoleh dengan systematic sampling. Data yang dianalisis

adalah karakteristik balita, status imunisasi, status gizi dan kejadian ispa pada
balita. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak ada hubungan antara

karakteristik, status imunisasi dan status gizi (p>0,05) dengan kejadian ISPA

dan derajat keparahannya pada balita sebelum dan selama pandemi Covid-19.

4. Penelitian dilakukan oleh Rikky Gita Hilmawan (2020) yang berjudul

Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di

Kelurahan Sukajaya Kecamatan Purbaratu Kota Tasimalaya. Tujuan

penelitian ini untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan

kejadian ISPA pada balita. Rencana pentilian ini menggunakan desain

analitik korelasional yaitu penelitian yang menghubungkan satu variabel

dengan variabel lain. Menggunakan pendekatan Cross Sectional ,pengambilan

sampel menggunakan Porvosive sampling sebanyak 49 orang Balita yang

mengalami ISPA. Alat pengumpulkan data menggunakan lembar kuesioner

untuk mengetahui kebiasaan merokok, lembar observasi digunakan untuk

melihat kejadian ISPA. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar

keluarga merokok sebanyak 37 orang (75,5%), sebagian besar kejadian ISPA

balita pada kategori sedang sebanyak 25 orang (51,0%) dan keluarga yang

merokok sebanyak 22 orang (59,5%) pada balita kategori sedang. Hasil uji

statistik diperoleh nilai p sebesar 0,02, jika dibandingkan dengan nilai 

(0,05) maka nilai p lebih kecil daripada nilai  (0,02 < 0,05), maka H0 ditolak

artinya ada hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita

di Kelurahan Sukajaya Kecamatan Purbaratu Kota Tasikmalaya.

5. Penelitian dilakukan oleh Siprianus Salmon Seda (2021) berjudul Hubungan

Perilaku Merokok Orang Terdekat Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Yang
Berobat Di Puskesmas Cempaka Banjarmasin. Penelitian ini bertujuan

mengetahui hubungan perilaku merokok orang terdekat dengan kejadian

ISPA pada balita yang berobat di Puskesmas Cempaka Besar Banjarmasin.

Penelitian ini menggunakan design Cross Sectional, pengumpulan data

melalui survey, dengan teknik Consecutive Sampling berjumlah 57 responden

yang merupakan orang terdekat yang membawa balita berobat. Analisis data

menggunakan uji Chi-square. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa

responden yang merokok dan balita yang menderita ISPA ringan 46,5%,

ISPA sedang 44,2%, dan tidak menderita ISPA 9,3%. Responden yang tidak

merokok dan balita yang menderita ISPA ringan 28,6%, ISPA sedang 21,4%,

dan tidak menderita ISPA 50%. Nilai p-value yaitu 0,004 lebih kecil dari taraf

signifikan 0,05. Kesimpulan dari penelitian ini terdapat hubungan perilaku

merokok orang terdekat dengan kejadian ISPA pada balita yang berobat di

Puskesmas Cempaka Banjarmasin. Penelitian ini menyarankan agar perawat

lebih intensif lagi memberikan penyuluhan kepada keluarga atau masyarakat

mengenai bahaya merokok juga berpengaruh terhadap kesehatan balita

termasuk ISPA pada balita.

6. Penelitian dilakukan oleh (2021) berjudul The Correlation Of Family

Members Smoking Habit With Acute Respiratory Infection Case In Toddler At

Pratama Sehati Husada Clinic Sibiru-Biru Subdistrict. Penelitian ini

menggunakan metode analitik dengan pendekatan case control. Sampel

penelitian ini adalah 50 balita yang tidak mengalami ISPA sebagai kontrol

dan 50 balita yang mengalami ISPA sebagai kasus. Data akan dianalisis
dengan uji chi-square. Balita yang mengalami ISPA yaitu laki-laki (52,0%)

dan perempuan (48,0%). Sebagian besar balita yang mengalami ISPA berada

pada rentang usia 25-36 bulan (36,0%) dan minimal usia kisaran 1-12 (4,0%).

Pada balita dengan ISPA, sebagian besar anggota keluarga memiliki

kebiasaan merokok (82,0%) dibandingkan yang tidak merokok (18,0%).

Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin balita dengan

kejadian ISPA di Poliklinik Pratama Sehati Husada Kecamatan Sibiru-Biru

Tahun 2020 dengan nilai p = 0,689 (p> 0,05). Daan tidak ada hubungan yang

bermakna antara umur balita dengan kejadian ISPA di Poliklinik Pratama

Sehati Husada Kecamatan Sibiru-Biru Tahun 2020 dengan nilai p = 0,887 (p>

0,05). Maka kesimpulannya ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan

merokok pada anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Pratama Sehati Husada Kecamatan SibiruBiru Tahun 2020.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Balita

1. Pengertian

Balita atau biasa disebut dengan bawah usia lima tahun adalah anak usia

di bawah lima tahun. Balita dibagi menjadi dua yaitu batita dan balita, batita

adalah anak dengan umur satu sampai tiga tahun dan balita adalah anak dengan

umur tiga sampai lima tahun (Price & Gwin, 2014). Peraturan Menteri Kesehatan

RI No 24 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak Pasal 1 di mana balita

adalah anak dengan usia 12 bulan sampai 59 bulan atau usia 1 sampai 5 tahun.

Balita didefinisikan sebagai anak dengan usia di bawah lima tahun

dimana pertumbuhan tubuh dan otak sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan

fungsinya. Masa balita sering disebut sebagai golden age karena pada masa ini

pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan

kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional, dan intelegensia

yang berjalan sangat cepat dan merupakan dasar perkembangan berikutnya

(Wirandani 2013).

2. Karakteristik balita

Balita mempunyai karakteristik yang digolongkan menjadi dua yaitu

anak usia 1-3 tahun yang disebut batita dan anak usia prasekolah (Kemenkes RI

2015). Menurut Sufyanti (2019), toddler adalah anak berusia 12-36 bulan dimana

masa ini yang paling penting untuk pertumbuhan intelektual dan perkembangan

kepandaian anak. Anak usia di bawah lima tahun khususnya pada usia 1-3 tahun
merupakan masa pertumbuhan fisik yang cepat, sehingga memerlukan kebutuhan

gizi yang paling banyak dibanding masa-masa berikutnya. Anak akan mudah

mengalami gizi kurang di usia ini apabila kebutuhan nutrisi tidak ditangani

dengan baik (Ningsih et al. 2015)

3. Pertumbuhan dan Perkembangan

Pertumbuhan bersifat kuantitatif seperti pertambahan sel, pertambahan

tinggi, dan berat badan. Sedangkan perkembangan bersifat kualitatif dan

kuantitatif, contohnya adalah kematangan suatu organ tubuh. Masa bayi dan anak

memiliki masa pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda dari orang dewasa.

Pertumbuhan tersebut salah satunya adalah bertumbuhnya organ menjadi besar

lebih matang dan siap digunakan pada masa dewasa. Selain itu bertambahnya

selsel akan memperkuat fungsi dari suatu organ. Perkembangan sendiri akan

berjalan normal saat pertumbuhan dan kematangan berjalan sesuai umurnya. Pada

tahun pertama kehidupan, tumbuh kembang anak akan cepat, pada umur 3-4 tahun

akan melambat dan meningkat pada masa remaja (Adriana, 2021). Kesehatan

balita sangat penting untuk masa pertumbuhan, orang tua harus memperhatikan

makanan, lingkungan dan kesehatan anak dari lahir hingga anak dapat mengontrol

dirinya sendiri. Balita sangat rentan terhadap berbagai penyakit mulai dari lahir

hingga usia 4 tahun. Kondisi-kondisi Bayi dan balita sakit hasil ringksan kajian

kesehatan Ibu dan Anak oleh UNICEF (2012) menyebutkan bahwa di Indonesia, 1

dari 3 balita yang demam disebabkan oleh malaria, infeksi saluran pernafasan

akut, dan lainnya.. Penyebab angka kematian balita sebagian besar merupakan

penyakit yang dapat dicegah.


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan anak terdiri dari (Sufyanti 2019):

a. Faktor genetik Faktor genetik merupakan faktor bawaan yang diturunkan

oleh orang tua. Faktor genetik antara lain jenis kelamin dan suku bangsa.

Gangguan pertumbuhan di negara maju biasanya disebabkan oleh faktor

genetik, sedangkan di negara berkembang selain faktor genetik, penyebab

kematian terbesar adalah faktor lingkungan yang kurang memadai, seperti

asupan gizi, infeksi penyakit, dan kekerasan pada anak.

b. Faktor lingkungan Faktor lingkungan sangat berperan penting dalam

menentukan potensi yang sudah dimilikinya. Faktor lingkungan meliputi

faktor prenatal yaitu faktor lingkungan dalam kandungan, dan lingkungan

postnatal yaitu lingkungan setelah bayi lahir yang didalam faktor tersebut

terdapat kebutuhan mutrisi yang penting dalam proses pertumbuhan dan

perkembangan (Hidayat 2018).

Menurut Sulistyawati (2014) faktor lingkungan prenatal yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin, yaitu gizi pada ibu

sewaktu hamil, mekanis, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, stress,

imunitas, dan anoksia embrio. Faktor lingkungan postnatal yang berpengaruh

terhadap tumbuh kembang terdiri dari:

a. Lingkungan biologis terdiri dari ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur,

gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis,

fungsi metabolisme dan hormon.


b. Faktor fisik terdiri dari cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah,

sanitasi, keadaan rumah, dan radiasi.

c. Faktor psikososial terdiri dari stimulasi, motivasi belajar, ganjaran atau

hukuman yang wajar, kelompok sebaya, stress, sekolah, cinta dan kasih

sayang, dan kualitas interaksi anak dan orang tua.

d. Faktor adat dan istiadat terdiri dari pekerjaan dan pendapatan keluarga,

Pendidikan ayah dan ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga,

stabilitas rumah tangga, kepribadian ibu dan ayah, adat istiadat, norma-

norma dan tabu, agama, urbanisasi, dan kehidupan politik dalam

masyarakat yang mempengaruhi prioritas kepentingan anak dan anggaran.

Berdasarkan usia, pertumbuhan pada anak sebagai berikut Hidayat

(2018):

a. Berat badan

Berat badan anak usia 1-3 tahun akan mengalami penambahan berat badan

sekitar empat kali lipat dari berat badan lahir pada usia kurang lebih 2,5

tahun. Penambahan berat badan setiap tahunnya adalah 2-3 kg.

b. Tinggi badan

Tinggi badan anak usia 1-3 tahun akan mengalami penambahan tinggi

badan kurang lebih 12cm selama tahun ke-2. Sedangkan penambahan

untuk tahun ke-3 rata-rata 4-6 cm.

c. Lingkar kepala

Pertumbuhan lingkar kepala terjadi sangat cepat pada 6 bulan pertama

melahirkan yaitu 35-43 cm. pada usia selanjutnya lingkar kepala akan
mengalami perlambatan. Pada usia 1 tahun hanya mengalami pertumbuhan

kurang lebih 46,5 cm. pada usia 2 tahun mengalami pertumbuhan kurang

lebih 49 cm, kemudian bertambah 1 cm sampai usia 3 tahun.

d. Gigi

e. Pertumbuhan gigi pada masa tumbuh kembang dibagi menjadi dua bagian,

yaitu bagian rahang atas dan rahang bawah.

1) Pertumbuhan gigi rahang atas

a) Gigi insisi sentral pada usai 8-12 bulan

b) Gigi insisi lateral pada usia 9-13 bulan

c) Gigi taring (caninus) pada usia 16-22 bulan

d) Molar pertama usia 14-18 bulan dan molar kedua 24-30 bulan

2) Pertumbuhan gigi rahang bawah

a) Gigi insisi sentral pada usai 6-10 bulan

b) Gigi insisi lateral pada usia 10-16 bulan

c) Gigi taring (caninus) pada usia 17-23 bulan

d) Molar pertama usia 14-18 bulan dan molar kedua 24-30 bulan

f. Organ penglihatan Perkembangan organ penglihatan anak dapat dimulai

sejak anak itu lahir. Usia 11-12 bulan ketajaman penglihatan mencapai

20/20, dapat mengikutiobjek bergerak. Pada usia 12-18 bulan mampu

mengidentifikasi bentuk geometric. Pada usia 18-24 bulan penglihatan

mampu berakomodasi dengan baik.

g. Organ pendengaran
Perkembangan pada pendengaran dapat dimulai saat anak itu lahir. Pada

usia 10-12 bulan anak mampu mengenal beberapa kata dan artinya. Pada

usia 18 bulan organ pendengaran anak dapat membedakan bunyi. Pada

usia 36 bulan mampu membedakan bunyi yang halus dalam berbicara.

B. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

1. Definisi

Infeksi saluran pernapasan akut atau disingkat ISPA adalah penyakit

infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas, mulai

dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

adneksanya seperti sinus rongga telinga tengah dan paru-paru (Kemenkes, 2012).

ISPA dikenal sebagai suatu proses infeksi yang menyerang tenggorokan, hidung,

paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari atau 2 minggu (Muttaqin, 2008).

Pneumonia adalah suatu infeksi atau peradangan pada organ paru-paru yang

disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi ini menyebabkan

reaksi tubuh berupa pembengkakan dinding saluran napas kecil di paru-paru

maupun peningkatan produksi mukus yang menyumbat jalan napas dan

mengurangi jumlah oksigen yang dapat masuk ke dalam tubuh. Pneumonia adalah

manifestasi infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yang paling berat karena dapat

menyebabkan kematian (Arifianto, 2017).

2. Etiologi

Etilogi penyakit ISPA melibatkan lebih dari 300 tipe antigen dari bakteri

maupun virus. (Kemenkes, 2018). Penelitian yang dilakukan oleh Lambert (2017)

mengungkapkan bahwa jenis virus yang menyebabkan penyakit ISPA antara lain
adalah miksovirus, respiratory syncytial virus (RSV), adenovirus, parainfluenza,

miksovirus, koronavirus, pikornavirus. Bakteri penyebab ISPA antara lain

streptococcus pneumonia, staphilococcus aureus, streptococcus beta hemoliticus

group A, pseudomonas, aeruginosa (Benet T, 2015).

Penelitian membuktikan bahwa pneumonia disebabkan oleh virus pada

25%-75% kasus, bakteri pada umumnya ditemukan pada kasus yang berat, bila

kedua penyebab ditemukan, kemungkinan pneumonia pada awalnya disebabkan

oleh virus dan kemudian terjadi infeksi bakteri. Kematian umumnya disebabkan

oleh infeksi bakteri. Penyebab terpenting infeksi saluran pernapasan pada anak

adalah pneumokokus, bakteri diplokokus gram positif. Sebagian pneumokokus

dapat ditemukan sebagai flora normal saluran napas atas. Pada keadaan

mekanisme pernapasan saluran terganggu, pneumokokus di nasofaring dapat

berinvasi dan mengakibatkan penyakit pneomonia. Kemampuan pneumokokus

untuk mengadakan invasi karena peran polisakarida. Serotipe pneumokokus

ditentukan oleh polisakarida yang melingkari dinding sel. Sampai saat ini telah

dapat diidentifikasikan lebih dari 90 serotipe, namun hanya beberapa serotipe

yang menyebabkan penyakit yang serius seperti invasive pneumococcal disease

(IPD) (Jhonson et al., 2016).

Penyebab lain pneumonia pada anak adalah Haemophilus influenza tipe b

(Hib). Penelitian menunjukan bahwa bakteri Haemophilus influenza tipe b

bertanggung jawab terhadap 5-18% kejadian pneumonia. Haemophilus influenza

tipe b (Hib) bukan merupakan virus influenza, tetapi merupakan suatu bakteri

gram negatif. Haemophilus influenza terbagi atas dua jenis yang berkapsul dan
tidak berkapsul. Tipe yang tidak berkapsul umumnya tidak ganas dan hanya

menyebabakan infeksi ringan misalnya faringitis atau otitis media. Jenis yang

berkapsul terbagi dalam 6 serotipe dari a sampai f. Di antara jenis yang berkapsul,

tipe b merupakan tipe yang terganas dan merupakan salah satu penyebab tersering

dari kesakitan dan dan kematian pada bayi dan anak berumur kurang dari 5 tahun.

(IDAI, 2017)

Haemophilus influenzae hanya ditemukan pada manusia. Penyebaran

terjadi melalui droplet dari individu yang sakit kepada orang yang lain. Sebagian

besar orang yang mengalami infeksi tidak menjadi sakit, tetapi menjadi pembawa

kuman karena Hib menetap di tenggorokan. Prevalensi karier yang lebih dari 3 %

menunjukkan angka yang cukup tinggi. Penelitian pendahuluan di Lombok Nusa

Tenggara Barat menunjukkan prevalensi carrier-rate sebesar 4,6%, suatu angka

yang cukup tinggi. Prevalensi pembawa kuman yang cukup banyak menunjukan

potensi kejadian pneumonia akibat Hib juga tinggi. (Hadinegoro et al., 2016)

3. Patofisiologi

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus

ataupun bakteri dengan tubuh. Masuknya virus atau bakteri sebagai antigen ke

saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran

nafas bergerak ke atas mendorong virus atau bakteri tersebut ke arah faring atau

dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring, apabila refleks tersebut gagal

maka virus atau bakteri merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran

pernafasan. Iritasi virus atau bakteri pada kedua lapisan tersebut menyebabkan

timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan


menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada

dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi

normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk.

Gejala tahap awal ISPA yang paling menonjol adalah batuk (Corwin, 2022).

4. Manifestasi klinis

Gambaran klinis infeksi saluran pernapasan akut menurut Asih dan

Effendy (2014) secara khas timbul dengan hidung tersumbat dan rinorea (terus

mengeluarkan sekret dari hidung). Sakit tenggorokan dan rasa tidak nyaman saat

menelan, bersin,batuk nyaring dan batuk kering adalah gejala umum. Manifestasi

klinis ISPA yaitu batuk, bersin, kongesti nasal, pengeluaran mucus, rabas dari

hidung, sakit kepala, demam ringan, malaise (Crowin, 2019). Tanda balita

mengalami pneumonia adalah terjadi peningkatan frekuensi napas sehingga anak

tampak sesak, selain itu jika diamati pada daerah dada tampak tarikan dinding

dada bagian bawah setiap kali anak menarik nafas ( Arifianto, 2017).

5. Klasifikasi

ISPA dapat diklasifikasikan berdasarkan dari kelompok umur, klasifikasi

dan gejala yang menyertai batuk dan sukar bernafas. Tingkat ISPA juga

diklasifikasikan menjadi ISPA bukan pneumonia, pneumonia, dan pneumonia

berat.

Tabel 2.1 Klasifikasi ISPA umur < 2 bulan

Pneumonia berat Bukan pneumonia


Napas cepat > 60 kali atau lebih Tidak ada napas cepat dan tidak
permenit atau tarikan kuat dinding ada tarikan dinding dada bagian
dada bagian bawah ke dalam yang ke dalam.
kuat
Sumber : (Kemenkes, 2012)

Tabel 2.2 Klasifikasi ISPA umur 2 bulan sampai < 5 tahun

Pneumonia berat Pneumonia Bukan pneumonia


Tarikan dinding dada Napas cepat sesuai Tidak ada napas cepat dan
bagian bawah kedalam golongan umur 2 tidak ada tarikan dinding
(Chest Indrawing) bulan < 1 tahun : 50 dada bagian ke dalam
kali atau lebih per
menit 1-< 5 Tahun :
40 kali atau lebih
permenit

Sumber : (Kemenkes, 2012)

ISPA dapat diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan lokasi anatomi

yaitu infeksi saluran pernapasan bagian atas atau upper respiratory tract infection

(URIs) atau infeksi saluran pernapasan bagian bawah lower respiratory tract

infection (LRIs). Saluran pernapasan bagian atas terdiri atas hidung, sampai

dengan pita suara yang terdapat pada laring, termasuk paranasal sinus dan telinga

bagian tengah. Saluran pernapasan bagian bawah merupakan lanjutan dari

pernapasan dari trakea dan bronchi ke bronkiolus sampai dengan pada akhirnya di

alveolus (WHO, 2018).

IDAI dalam Arifianto (2017) mengklasifikasikan penyakit infeksi akut

pada saluran pernafasan atas hingga parenkim paru diantaranya sebagai berikut :

a. Rinitis atau common cold

Penyakit rinitis ini merupakan golongan infeksi akut ringan pada

pernafasan, penyakit ini sangat mudah penularannya. Pada daerah tropis

sering terjadi pada saat pergantian musim. Penyakit ini ditandai dengan

hidung tersumpat dan adanya sekret hidung dikarenakan oleh virus.


b. Faringitis, tonsilitis, dan tonsilifaringitis akut.

Faringitis merupakan infeksi yang menyerang jaringan mukosa faring dan

jaringan disekitarnya seperti tonsil dan hidung sehingga faringitis memiliki

beberapa pengertian yaitu tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilifaringitis.

Penyakit ini ditandai dengan sakit tenggorokan yang disebabkan oleh virus

maupun bakteri.

c. Otitis media.

Otitis media adalah salah satu infeksi yang menyerang telinga bagian tengah

karena terjadinya penumpukan cairan.

d. Rinosinuitis.

Para ahli sepakat dengan penyakit rinosinuitis ataupun rinosinobronkhitis

karena infeksi maupun inflamasi pada rinitis (radang pada mukosa hidung),

sinuitis (radang pada salah satu sinus di paranasal), dan bronkhitis (radang

pada bronkus) sering terjadi bersamaan dengan pertimbangan penyakit ini

menyerang saluran pernafasan atas (hidung, laring, trakea) dan saluran

pernafasan bawah (bronkus).

e. Epiglotitis.

Infeksi yang terjadi pada epiglotis sangat berbahaya jika dibiarkan. Hal ini

ditandai dengan sesak nafas berat dan bunyi nafas stridor.

Penyebabnyaadalah Haemophilus influenza tipe b (Hib). Setelah ada vaksin

Hib, epiglotitis jarang terjadi.

f. Laringo trakeobronkhitis akut (CROUP).


Sindrom CROUP ini merupakan penyakit heterogen yang menyerang laring,

subglotis, trakea dan bronkus. Berawal dari laringitis yang menyebar hingga

trakea disebut laringotrakeitis, dan saat menyebar hingga bronkus maka

terjadilah laringo trakeobronkhitis. Diakibatkan oleh beberapa organisme

virulen.

g. Bronkhitis akut.

Proses inflamasi yang terjadi pada trakea, bronkus utama dan menengah

yang ditandai dengan batuk berdahak. Bronkhitis disebabkan oleh virus

maupun bakteri. Pada beberapa kasus, bronkhitis akan membaik dalam 2

minggu tanpa pengobatan apapun.

h. Bronkiolitis.

Bronkiolitis adalah infeksi yang menyerang bronkioli, saluran napas kecil

yang berujung di alveoli. Bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi

dibawah usia 6 bulan. Penyebabnya dalah virus terutama Respiratory

Syncytal Virus (RSV), rhinovirus dan beberapa virus pernapasan lain.

Gejala diawali dengan batuk pilek dan demam, kemudian diikuti sesak

napas, wheezing dan retraksi dinding dada.

i. Pneumonia. Infeksi yang menyerang parenkim paru ini merupakan angka

tertinggi penyebab morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. Terjadi

karena pada awalnya disebabkan oleh infeksi virus hingga

menyebabkankomplikasi infeksi bakteri. Menular melalui droplet (tetesan

kecil ludah atau cairan saluran pernapasan) saat bersin atau batuk yang
mengandung virus yang tersebar dan menempel diberbagai permukaan

termasuk tangan yang kemudian menyentuh mulut dan hidung.

6. Faktor risiko ISPA

Faktor risiko balita menderita ISPA diantaranya adalah :

1. Cuaca atau musim.

ISPA cenderung meningkat pada musim dingin di negara-negara yang

memiliki empat musim. Di negara tropis dua musim ISPA dua atau tiga

kali lebih sering terjadi pada musim hujan. Hasil penelitian yang dilakukan

di Australia menunjukan bahwa faktor cuaca berhubungan dengan

kejadian ISPA. ISPA lebih sering terjadi selama akhir musim dingin (Chen

Y et al., 2012).

2. Faktor nutrisi.

3. Malnutrisi merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan

kematian di negara berkembang. Nutrisi yang tidak adekuat memegang

peran yang penting pada tingkat kejadian infeksi pernapasan akut maupun

kronis, kurangnya asupan nutrisi pada saat hamil dan di kehidupan awal

anak menyebabkan tidak optimalnya fungsi paru-paru dan berkurangnya

mekanisme pertahan tubuh melawan kuman dan virus penyebab ISPA.

(Karim., 2017). Diketahui adanya hubungan antara pemberian vitamin

dengan risiko terjadinya ISPA. Sebuah studi systematic review dan

metaanalysis menunjukan dari 11 penelitian yang dilakukan tentang

pemberian intervensi vitamin D menunjukan hasil bahwa vitamin D

memiliki efek perlindungan untuk melawan penyakit ISPA (Karim, 2016).


Penelitian case control yang dilakukan di Euthopia juga menunjukan

bahwa vitamin D merupakan faktor nutrisi yang penting untuk

menurunkan risiko kejadian pneumonia pada balita, hal tersebut dapat

dilihat dari tingginya angka kejadian pneumonia pada balita yang tidak

diberikan vitamin D jika dibandingkan dengan balita yang diberikan

vitamin D. (Muthe et al.,1997 dalam Karim, 2016) Penelitian lain yang

dilakukan oleh Morris et al. (2016) yaitu tentang pengaruh pemberian

suplemen vitamin D dengan dosis berbeda terhadap 1300 wanita hamil

yang terbagi dalam 5 grup dengan tingkat kejadian ISPA pada bayi pada

usia 0-6 bulan menunjukan bahwa pemberian vitamin D selama kehamilan

(Prenatal) dan selama 3 bulan setelah melahirkan (Postpartum) dengan

dosis 28,000 IU/minggu secara signifikan mampu mengurangi kejadian

ISPA pada balita, hal tersebut dibuktikan dengan rendahnya hasil deteksi

kuman dan virus penyebab ISPA melalui analisa polymerase chain

reaction pada kelompok intervensi dibanding kelompok kontrol yang

diberikan placebo. Keadaan defisiensi vitamin A juga merupakan salah

satu faktor risiko ISPA, defisiensi vitamin A dapat menghambat

pertumbuhan balita dan mengakibatkan pengeringan jaringan epitel

saluran pernafasan. Gangguan pada epitel ini juga menjadi penyebab

mudahnya balita terjangkit ISPA. Sebuah systematic review dari database

Chocrain menganalisis 6 penelitian RCT mengenai efek pemberian

vitamin Aterhadap 1.740 anak, hasil penelitian menunjukan suplemen


vitamin A pada dosis tertentu memiliki efek yang signifikan terhadap

penurunan angka kejadian bronchopneumonia ( Karim, 2016).

4. Status imunisasi.

Diketahui secara teoritis bahwa imunisasi adalah cara untuk menimbulkan

kekebalan terhadap berbagai penyakit. Dari penelitian yang dilakukan,

didapatkan proporsi kasus balita penderita ISPA terbanyak terdapat anak

yang imunisasinya tidak lengkap (Hailemariam, 2015)

5. Status sosioekonomi

Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya ISPA adalah kepadatan

penduduk dan tingkat sosioekonomi yang rendah. Sebuah penelitian

menunjukan bahwa Integrasi intervensi mikro ekonomi kredit program

dengan intervensi penyuluhan ISPA berpengaruh terhadap tingkat

pengetahuan ibu tentang ISPA dan juga penurunan tingkat kejadian ISPA

pada balita (Hadi, 2022)

6. Pemberian air susu ibu (ASI) ekslusif.

Penelitian yang dilakukan pada sepuluh tahun terakhir ini menunjukkan

bahwa ASI kaya akan faktor antibodi yang berguna untuk melawan infeksi

bakteri dan virus. Penelitian di negara-negara berkembang menunjukkan

bahwa pemberian ASI ekslusif melindungi bayi terhadap infeksi saluran

pernapasan akut. ( Hailemariam, 2015).

7. Faktor Lingkungan.

Pencemaran udara dalam rumah berupa asap rokok dan asap hasil

pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat


merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan

timbulnya ISPA. Asap rokok dalam rumah juga merupakan penyebab

utama terjadinya pencemaran udara dalam ruangan. Hasil penelitian yang

dilakukan menunjukan bahwa asap rokok dari orang yang merokok dalam

rumah merupakan risiko yang bermakna terhadap terjadinya penyakit

ISPA (Walker et al., 2014). Faktor lainnya dari lingkungan yang

berpengaruh terhadap kejadian ISPA adalah ventilasi rumah. Ventilasi

berfungsi sebagai pertukaran udara, mencegah akumulasi gas beracun dan

mikroorganisme, memelihara temperatur dan kelembaban optimum

terhadap udara di dalam ruangan. Ventilasi yang baik akan memberikan

rasa nyaman dan menjaga kesehatan penghuninya. (Schlein, 2007)

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih (2017) membuktikan bahwa

ventilasi berhubungan dengan kejadian ISPA. Penderita ISPA banyak di

temukan pada masyarakat yang mempunyai ventilasi rumah dengan

perhawaan paling kecil (0 - 0,99 m). Selain ventilasi yang baik, hal lain

yang perlu diperhatikan adalah kepadatan hunian. Kepadatan hunian dapat

mempengaruhi kualitas udara di dalam rumah, semakin banyak jumlah

penghuni maka akan semakin cepat udara di dalam rumah akan mengalami

pencemaran. Hal ini sesuaidengan penelitian Ribka (2012) bahwa rumah

yang padat sering kali menimbulkan gangguan pernapasan terutama pada

anak-anak.
7. Pencegahan ISPA (Pneumonia)

Pencegahan ISPA dibagi menjadi tiga yaitu pencegahan tingkat pertama,

pencegahan tingkat kedua dan pencegahan tingkat ketiga. Pencegahan tingkat

pertama (Primary Prevention) ditujukan pada orang sehat dengan usaha

peningkatan derajat kesehatan (health promotion) dan pencegahan khusus

(spesific protection) terhadap penyakit tertentu. Pencegahan tingkat pertama pada

penyakit ISPA contohnya adalah penyuluhan. Kegiatan penyuluhan ini

diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang

dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan

dapat berupa penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI ekslusif, penyuluhan

imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan

lingkungan, penyuluhan bahaya rokok, dan penyuluhan imunisasi yang

merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka kesakitan ISPA.

(Hartono, 2012). Penyuluhan yang dilakukan tersebut diharapkan mampu

meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat khusunya keluarga tentang

penyakit ISPA.

Upaya pencegahan tingkat primer yang bisa dilakukan di tatanan

keluarga yaitu antara lain menjaga keadaan gizi balita agar tetap baik, melakukan

imunisasi dasar lengkap, membiasakan hidup sehat dengan melakukan cuci tangan

secara baik dan benar, pemberian vitamin, mencegah dan membatasi balita dari

kontak dengan penderita ISPA, menjauhkan balita dari asap, debu, serta bahan-

bahan lain yang mengganggu pernapasan. (Garcia, 2015). Pencegahan tingkat

kedua (secondary prevention). Pencegahan sekunder berupa deteksi dini penyakit


ISPA dan pengobatan segera untuk mencegah terjadinya komplikasi. Adapun

beberapa hal yang perlu dilakukan orang tua untuk mengatasi anaknya yang

menderita ISPA adalah mengatasi panas atau demam yaitu memberikan obat

penurun panas atau dengan kompres hangat. Pemberian makanan dan minuman

yang cukup tinggi gizi dengan cara sedikit-sedikit tetapi sering dan juga memberi

ASI lebih sering. (Karim, 2016).

Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention). Tingkat pencegahan ini

ditujukan kepada balita pada masa pemulihan, setelah mengalami ISPA berat.

Bentuk intervensi yang biasa dilakukan adalah upaya rehabilitasi pasca pasca

perawatan di fasilitas tatanana pelayanan kesehatan ataupun di masyarakat untuk

mencegah ketidakmampuan, ketidakberdayaan atau kecacatan lebih lanjut.

Penemuan kasus ISPA harus dilakukan secara aktif melalui pendekatan keluarga.

Pemahaman dan keterlibatan keluarga dalam mengenali gejala pneumonia pada

balita dan membawanya ke fasilitas pelayanan kesehatan diharapkan akan dapat

meningkatkan cakupan penemuan kasus pneumonia (Mousa, 2016).

8. Penatalaksanaan ISPA

WHO mencanangkan kerangka strategi pencegahan dan pengendalian

ISPA (pneumonia) pada balita pada menjadi 3 misi yaitu proteksi balita,

pencegahan pneumonia dan juga tatalaksana pneumonia yang tepat. Misi yang

pertama adalah melindungi (to protect). Proteksi ditujukan untuk menyediakan

lingkungan hidup yang sehat bagi balita, yaitu nutrisi yang cukup, ASI eksklusif

sampai bayi usia 6 bulan, dan udara pernafasan yang terbebas dari polusi (asap

rokok, asapkendaraan, asap pabrik), perilaku hidup bersih dan sehat. Pemberian
ASI eksklusif dapat menurunkan kejadian pneumonia pada balita sebesar 20

persen. Misi yang kedua yaitu mecegah (to prevent). Upaya yang dilakukan dalam

kategori ini adalah pemberian vaksinasi campak, Haemophilus Influenzae b (Hib)

dan pneumokokus. Misi yang ketiga yaitu mengobati (to treat) balita yang terkena

pneumonia melalui tata-laksana kasus baik di fasilitas pelayanan kesehatan

pratama maupun di Rumah Sakit. (WHO, 2015)

Tabel 2.3 Tata laksana anak batuk atau kesukaran bernafas umur 2 bulan-59 bulan
Umur 2 bulan - 59 bulan

Pneumonia berat Pneumonia Bukan pneumonia


1. Beri Oksigen maksimal 1. Berikan 1. Beri pelega
2-3 liter per menit Amoksisilin oral tenggorokan dan
2. Beri dosis pertama dosis tinggi kali per pereda batuk yang
antibiotik yang sesuai hari untuk 3 hari aman
3. Rujuk segera ke RS 2. Beri pelega 2. Apabila batuk > 14
4. Obati wheezing bila ada tenggorokan dan hari rujuk
pereda batuk yang 3. Apabila wheezing
aman berulang rujuk
3. Apabila batuk > 4. Nasihati kapan kembali
14hari rujuk segera
4. Apabila wheezing 5. Kunjungan ulang
berulang rujuk dalam 5 hari bila tidak
5. Nasihati kapan ada perbaikan
kembali segera 6. Obati wheezing bila
6. Kunjungan ulang ada
dalam 2 hari
7. Obati wheezing
bila ada
Sumber : (Kemenkes, 2012)

C. Status Nutrisi Balita

1. Pengertian

Status gizi adalah keadaan pada tubuh manusia yang merupakan dampak

dari makanan dan penggunaan zat gizi yang dikonsumsi seseorang (Puspasari dan

Andriani, 2017). Status gizi merupakan indikator yang menggambarkan kondisi


kesehatan dipengaruhi oleh asupan serta pemanfaatan zat gizi dalam tubuh.

Asupan energi yang masuk ke dalam tubuh diperoleh dari makanan yang

dikonsumsi sedangkan pengeluaran energi digunakan untuk metabolisme basal,

aktivitas fisik dan efek termik makanan. Keseimbangan antara pemasukan energi

dan pengeluarannya akan menciptakan status gizi normal. Apabila keadaan

tersebut tidak terjadi maka dapat menimbulkan masalah gizi baik masalah gizi

kurang dan masalah gizi lebih (Puspasari and Andriani, 2017).

Berdasarkan (Kemenkes, 2016a), status gizi balita dinilai menjadi tiga

indeks, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur

(TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). BB/U adalah berat badan

anak yang dicapai pada umur tertentu. TB/U adalah tinggi badan yang dicapai

pada umur tertentu, BB/TB adalah berat badan anak dibandingkan dengan tinggi

badan yang dicapai. Ketiga nilai indeks tersebut dibandingkan dengan baku

pertumbuhan WHO, z-score merupakan simpangan BB atau TB dari nilai BB atau

TB normal.

2. Penilaian status gizi pada balita

Status gizi anak diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi

badan (TB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan digital

yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang atau tinggi badan diukur dengan

menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan

TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U,

TB/U, dan BB/TB (Riskesdas, 2018).


Penilaian status gizi dibagi menjadi dua, yaitu penilaian status gizi secara

langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung

a. Penilaian status gizi secara langsung (Arisman, 2019):

1) Antropometri Antropometri digunakan untuk mengukur status gizi

dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi.

Antropometri merupakan indikator status gizi yang dilakukan dengan

mengukur beberapa parameter, antara lain: umur, berat badan, tinggi

badan, lingkarlengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar

pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit. Berdasarkan (Kemenkes,

2016a), kategori status balita antara lain sebagai berikut:

Tabel 2.4 Penilaian status gizi anak berdasarkan standar antropometri

Indikator Status Gizi Z-Score


BB/U Gizi Buruk < -3,0 SD
Gizi Kurang -3,0 SD s/d < -2,0 SD
Gizi Baik -2,0 SD s/d 2,0 SD
Gizi Lebih > 2,0 SD
TB/U Sangat Pendek < -3,0 SD
Pendek -3,0 SD s/d < -2,0 SD
Normal ≥ -2,0 SD
BB/TB Sangat Kurus < -3,0 SD
Kurus -3,0 SD s/d < -2,0 SD
Normal -2,0 SD s/d 2,0 SD
Gemuk > 2,0 SD
Standar Deviasi Unit (SD) disebut juga z-score. Waterlow juga

merekomendasikan penggunaan SD untuk menyatakan hasil pengukuran

pertumbuhan atau Growth Monitoring. WHO memberikan gambaran

perhitungan SD unit terhadap baku NCHS.

a) Umur Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi.


b) Berat badan Berat badan merupakan salah satu parameter yang

memberikan gambaran masa tubuh.

Tabel 2.5 Rumus Perkiraan Berat Badan

Usia Tinggi Badan (cm)


Lahir 3,25
1-12 bulan [Usia (bulan) + 9] : 2
1-6 tahun [Usia (tahun) x 2 + 8]
6-12 tahun [Usia (tahun) x 7 - 5] : 2

c) Tinggi badan Tinggi atau panjang badan merupakan indikator umum

ukuran tubuh dan panjang tulang. Tinggi badan diukur dalam keadaan

berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki, kedua tangan merapat ke badan,

punggung dan bokong menempel pada dinding, dan pandangan arah

ke depan. Kedua lengan tergantung relaks di samping badan

Tabel 2.6 Rumus Perkiraan Tinggi Badan

Usia Tinggi Badan (cm)


Lahir 50
-1 tahun 75
2-12 tahun Usia (tahun) x 6 + 77

d) Lingkar Kepala

Pengukuran lingkar kepala merupakan prosedure baku di bagian anak,

digunakan untuk menentukan kemungkinan adanya keadaan patologis

yang berupa pembesaran (hidrosefalus) dan pengecilan

(mikrosefalus). Lingkar kepala berhubungan dengan ukuran otak, dan

dalam skala kecil, ketebalan kulit kepala, serta tulang tengkorak.

e) Lingkar Dada
Pertumbuhan lingkar dada pesat samapi anak berusia 3 tahun. Rasio

lingkar kepala dan dada dapat digunakan sebagai indikator KEP

(kurang energi dan protein) pada balita. Pada usia enam bulan lingkar

dada dan kepala sama. Pada umur berikutnya lingkar kepala tumbuh

lebih lambat daripada lingkar dada. Pada anak yang KEP terjadi

pertumbuhan dada yang lambat sehingga rasio lingkar dada dan

kepala < 1. (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2010). Alat

yang digunakan untuk pengukuran lingkar dada sama dengan

pengukuran lingkar kepala, dan dibaca sampai 0,1 cm.

f) Lingkar Lengan

Selama tahun pertama kehidupan, pertambahan otot dan lemak di

lengan berlangsung cepat. Pada anak berusia 5 tahun, pertumbuhan

nyaris hampir tidak terjadi, dan ukuran lengan tetap konstan di angka

16 cm. Apabila anak mengalami malnutrisi, otot akan mengecil, lemak

menipis, dan ukuran lingkar lengan akan susut. Pengukuran lingkar

lengan berguna untuk mendeteksi malnutrisi anak balita, terutama bila

usia yang tepat tidak diketahui dan alat timbang tidak ada.

2) Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik secara keseluruhan, termasuk

riwayat kesehatan. Pemeriksaan klinis yang mencakupbagian tubuh yaitu

kulit, gigi, gusi, bibir, lidah, mata dan alat kelamin (khusus lelaki).

3) Biokimia
Pengukuran biokimia merupakan pemeriksaan spesimen yang diuji secara

laboratoris yang dilakukan pada berbagai jaringan tubuh. Pemeriksaan

biokimia dibutuhkan spesimen yang akan diuji, antara lain darah, urin, tinja,

dan jaringan tubuh (hati, otot, tulang, rambut, kuku, dan lemak bawah kulit)

(Gizi & Kesehatan Masyarakat, 2010).

4) Biofisik

Metode biofisik merupakan penentuan status gizi berdasarkan kemampuan

fungsi dari jaringan dan perubahan struktur jaringan (Gizi & Kesehatan

Masyarakat, 2010).

D. Perilaku Merokok

1. Pengertian Rokok

Rokok adalah hasil dari olahan tembakau yang terbungkus, dihasilkan

dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya atau

sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.

Menurut PP RI No. 109 Tahun 2012 rokok merupakan salah satu produk

tembakau yang dihasilkan untuk dibakar dan dihisap atau dihirup dan

menghasilkan asap, termasuk rokok kretek, rokok putih, rokok cerutu atau bentuk

lainnya (Nasution, 2017). Merokok adalah suatu aktivitas menghisap asap

tembakau yang berasal dari membakar rokok masuk kedalam tubuh lewat hisapan

tersebut dan menghembuskan asap yang dihasilkan dari aktivitas merokok tadi.

Merokok adalah kegiatan mengeluarkan asap dengan membakar tembakau secara

langsung melalui dan dengan penggunakan pipa atau filter. Menurut sebagian

orang merokok sebagai wujud kemandirian dan kebanggaan (Herwono, 2017).


2. Perilaku Merokok Orang Tua

Perilaku manusia merupakan reaksi individu yang diwujudkan dengan

tindakan atau aktivitas terhadap suatu rangsangan tertentu. Dalam hal ini

rangsangan tersebut adalah rokok. Kebiasaan merokok bukanlah hal baru.

Merokok merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia

dengan mengingat bahwa merokok merupakan salah satu faktor resiko utama dari

beberapa penyakit kronis yang dapat menyebabkan kematian. Merokok juga

merupakan faktor resiko dari 4 penyakit tidak menular termuka disamping pola

makan yang tidak sehat, kurangnya aktivitas fisik, dan konsumsi alcohol. Hal ini

menunjukkan rokok merupakan permasalahan besar bagi kesehatan masyarakat

apalagi jika orang tua yang memiliki balita dirumah. Ironisnya kebiasaan merokok

ini, khususnya di Indonesia seakan sudah membudaya, meskipun banyak perokok

yang sebenarnya menyadari dan mengakui adanya bahaya bahwa kebiasaan

merokok akan dapat memicu timbulnya kanker dan penyakit-penyakit lainnya

didalam tubuh mereka. Tetapi mereka tetap tidak mau berhenti merokok dengan

alasan bahwa sudah terlambat bagi mereka untuk berhenti. Sebagian besar

masyarakat Indonesia masih menganggap merokok adalah perilaku yang wajar

dalam kehidupan sosial. Generasi muda memiliki tingkat penyebaran yang tinggi

menjadi perokok pemula. Terdapat masalah yang juga dikenal kelompok rentan,

yaitu kelompok dengan prevalensi tinggi sehingga memiliki kemungkinan yang

besar melakukan tindakan merokok. Masyarakat rentan berhubungan dengan

tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan dan perilaku, terutama pemahaman

bahaya merokok. Selain itu tingkat ekonomi keluarga juga khususnya keluarga
miskin dan keluarga yang lebih memprioritaskan belanja rokok dibanding

kebutuhan yang lainnya. Pengetahuan masyarakat yang masih rendah meskipun

telah terbukti dengan jelas tentang bahaya merokok, hanya sedikit dari

diperkirakan lebih dari 50% penduduk Indonesia dengan usia dewasa memiliki

kebiasaan merokok.

Status merokok dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :

a. Perokok Aktif

Perokok aktif adalah orang yang sering mengkonsumsi rokok dalam jumlah

kecil walaupun hanya 1 batang sehari, atau orang yang merokok walaupun

bukan kegiatan sehari-hari atau sekedar cobacoba (P2PTM Kementerian

Kesehatan RI, 2019).

b. Perokok Pasif

Bukan seorang perokok tetapi orang yang menghirup asap rokok orang lain

atau seseorang yang berada dalam ruangan tertutup dengan perokok tersebut

(P2PTM Kemenkes RI, 2018).

Pengertian Merokok Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 109

Tahun 2012 tentang perlindungan produk tembakau yang mengandung zat aditif

bagi kesehatan, jelas terlihat bahwa rokok merupakan salah satu produk tembakau

yang dirancang untuk dibakar dan atau dihirup melalui asap, antara lain rokok

kretek, rokok putih, cerutu, atau bentuk lainnya. Rokok yang diproduksi adalah

nicotiana tabcum, tembakau nicotiana dan jenis atau komposit lain, dan asapnya

mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa tambahan. Kandungan Zat Adiktif
dalam Rokok Didalam rokok terdapat banyak sekali zat-zat kimia beracun yaitu

diantaranya (Sri, 2020).

a. Acrolein adalah cairan tidak berwarna, seperti aldehida. Zat tersebut

diperoleh dengan mengekstraksi cairan dari gliserin atau

mengeringkannya. Zat tersebut mengandung alkohol lebih banyak atau

lebih sedikit. Cairan ini sangat berbahaya bagi kesehatan.

b. Karbon Monoksida adalah gas yang tidak berbau. Unsur ini dihasilkan

oleh pembakaran arang atau karbon yang tidak sempurna. Zat tersebut

sangat beracun. Jika hemoglobin penuh dengan karbon monoksida,

oksigen yang dibawa oleh hemoglobin ke dalam tubuh akan berkurang.

Karena itu, seseorang akan mengalami hipoksia. Karena otot

membutuhkan banyak ATP, karbon monoksida bisa membuat orang

mudah lelah.

c. Nikotin adalah cairan berminyak tidak berwarna yang dapat

menghasilkan rasa yang sangat asam. Nikotin mencegah rasa lapar

menyusut. Inilah mengapa seseorang tidak merasa lapar karena

merokok. Inilah sebabnya mengapa seseorang yang berhenti merokok

menjadi gemuk karena dia selalu lapar.

d. Ammonia adalah gas tak berwarna yang terdiri dari nitrogen dan

hidrogen. Zat ini sangat mengiritasi dan memiliki bau yang sangat

menyengat. Amonia dengan mudah masuk ke sel manusia.


e. Formic Acid adalah cairan tak berwarna yang bergerak bebas dan dapat

menghasilkan lepuh. Cairan ini sangat tajam dan berbau tidak sedap.

Zat ini membuat orang merasa seperti digigit semut.

f. Zat adalah zat paling ringan dan mudah terbakar. Ini mungkin sama

berbahayanya dengan bahaya bom hidrogen. Zat tersebut sangat efektif

mencegah pernapasan. Sianida merupakan zat yang mengandung racun

yang sangat berbahaya.

g. Nitrous Oxide adalah gas tidak berwarna yang menyebabkan hilangnya

kewarasan dan rasa sakit saat dihirup.

h. Nitrous oksida adalah kelas zat yang pada awalnya digunakan sebagai

obat bius (anestesi) selama pembedahan.

i. Formaldehida adalah gas tak berwarna dengan bau menyengat. Gas

diklasifikasikan sebagai pengawet dan pestisida. Salah satu jenis

formaldehyde adalah formalin. Ini karena formaldehida sangat beracun

bagi semua makhluk hidup.

j. Phenol adalah campuran kristal yang disuling dari beberapa zat organik

(seperti kayu dan batang), itu juga diperoleh dari arang. Zat ini beracun

dan sangat berbahaya. Fenol mengikat protein dan mencegah aktivitas

enzim.

k. Hydrogen Sulfide adalah gas beracun yang mudah terbakar dengan bau

yang menyengat. Zat ini menghambat oksidasi enzim.

l. Pyridine adalah cairan tidak berwarna dengan bau yang menyengat. Itu

diperoleh dari distilasi minyak tulang, arang, dan dari peluruhan jenis
alkohol tertentu (zat alkali dari tumbuhan). Piridin juga ada di

tembakau. Zat tersebut dapat digunakan untuk mengubah sifat alkohol,

digunakan sebagai pelarut, insektisida, dan juga telah digunakan

sebagai obat asma.

m. Methyle Chloride adalah campuran zat dengan rongga atas nama

hidrogen, dan karbon adalah elemen utamanya. Zat tersebut merupakan

senyawa organik yang sangat beracun. Uap yang dihasilkan bisa

bertindak sebagai obat bius.

n. Methanol adalah cairan ringan, mudah menguap dan mudah terbakar.

Cairan tersebut diperoleh dengan memurnikan kayu atau mensintesis

karbon monoksida dan hidrogen. Meminum atau menghirup metanol

dapat menyebabkan kebutaan dan bahkan kematian.

o. Tar disebut Ter zatnya adalah cairan kental berwarna coklat tua atau

hitam yang bisa diperoleh dari kayu atau arang dengan distilasi.

(Nainggolan, 2022).

E. Teori Perilaku Lawrence Green

Dikutip dari Fertman pada tahun 2010 bahwa pendekatan terkenal untuk

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam program promosi kesehatan adalah

model Precede-Proceed yang dikemukakan oleh Green dan Kreuter pada tahun

1999. Bagian Precede (Predisposising, Reinforcing and Enabling Causes in

Educational Diagnosis and Evaluation) pada model (fase 1–4) berfokus pada

perencanaan program dan bagian procede (Policy, Regulatory Organizational

Construct in Ediucational and Environmental Development) (fase 5–8) berfokus


pada pelaksanaan dan evaluasi. Delapan fase dari model pedoman perencanaan

dalam membuat program promosi kesehatan, dimulai dengan keluaran yang lebih

umum dan berubah menjadi keluaran yang lebih spesifik. Pada akhirnya,

membuat program, menghantarkan program dan mengevaluasi program

1. Fase 1: Penilaian Sosial Dalam fase ini, program menyoroti kualitas dari hasil

keluaran secara spesifik, indikator utama penilaian sosial dari kesehatan

dalam populasi spesifik (contohnya derajat kemiskinan, rata-rata kriminalitas

atau tingkat pendidikan yang rendah) yang berefek kepada kesehatan dan

kualitas hidup.
2. Fase 2: Penilaian Epidemiologi Dalam fase kedua, setelah spesifik masalah

sosial yang berkaitan dengan buruknya kualitas kehidupan dalam fase

pertama, selanjutnya program mengidentifikasi masalah kesehatan atau faktor

lain yang berperan dalam perburukan kualitas hidup. Masalah kesehatan akan

dianalisis berdasarkan dua faktor: hubungan masalah kesehatan dengan

indikator sosial di dalam penilaian sosial dan menerima untuk merubah

masalah kesehatan yang ada. Setelah prioritas utama masalah kesehatan

stabil, selanjutnya mengidentifikasi dari determinan yang mengarah pada

munculnya masalah kesehatan. Langkah selanjutnya dalam penilaian ini

adalah akan mengidentifikasi penyebab utama dari penyakit tersebut, seperti

faktor lingkungan (contohnya racun, kondisi kerja yang penuh tekanan atau

kondisi pekerjaan yang tidak terkontrol), faktor prilaku (contohnya sedikitnya

aktivitas fisik, diet yang buruk, merokok atau konsumsi alkohol) dan faktor

genetik (contohnya riwayat keluarga). Pentingnya perubahan data akan

dianalisis dan kemudian satu atau beberapa dari faktor resiko ini akan dipilih

menjadi fokus. Untuk melengkapi fase ini, tujuan status kesehatan, perilaku

objektif dan lingkungan objek akan disusun.

3. Fase 3: Penilaian Pendidikan dan Ekologis Fokus dalam fase 3 berganti

menjadi faktor mediasi yang membantu atau menghindarkan sebuah

lingkungan positif atau prilaku positif. Faktorfaktor ini dikelompokan

kedalam tiga kategori: faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor

penguat (Green dan Kreuter, 2005). Faktor predisposisi adalah faktor yang

dapat mendukung atau mengurangi untuk memotivasi perubahan, seperti


sikap dan pengetahuan. Faktor pemungkin adalah faktor yang dapat

mendukung atau mengurangi dari perubahan, seperti sumber daya atau

keahlian. Faktor penguat adalah faktor yang dapat membantu melanjutkan

motivasi dan merubah dengan memberikan umpan balik atau penghargaan.

Faktor-faktor ini dianalisis berdasarkan kepentingannya, perubahan dan

kemungkinan (adalah, seberapa banyak faktor yang mungkin dapat

dimasukan dalam sebuah program). Faktorfaktor kemudian dipilih untuk

disajikan sebagai dasar untuk pengembangan program dan keobjektifitasan

pendidikan yang telah disusun.

4. Fase 4: Administrasi dan Penilaian Kebijakan dan Keselarasan Intervensi

Pada fase ini berisi tentang upaya untuk memperbaiki status kesehatan yang

dapat didukung atau dihambat oleh peraturan dan kebijakan yang ada.

Sehingga dapat dilihat bahwa fokus utama dalam administrasi dan penilaian

kebijakan dan keselarasan intervensi dalam fase ke empat adalah pemastian

kenyatan, untuk meyakinkan bahwa ini ada dalam aturan (sekolah, tempar

kerja, organisasi pelayanan kesehatan atau komunitas) semua dukungan yang

memungkinkan, pendanaan, kepribadian, fasilitas, kebijakan dan sumber daya

lainnya akan ditampilkan untuk mengembangkan dan pelaksanaan program.

5. Fase 5: Implementasi atau Pelaksanaan Penyampaian program terjadi selama

fase 5 dan proses evaluasi (fase 6), dalam fase evaluasi yang pertama terjadi

secara simultan dengan pelaksanaan program.

6. Fase 6: Proses Evaluasi Proses evaluasi adalah sebuah evalusi yang formatif,

sesuatu yang muncul selama pelaksanaan program. Tujuannya adalah untuk


mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif untuk menilai program yang

sudah berjalan berkualitas. Pencapaian pendidikan dari tujuan juga diukur

dalam fase ini.

7. Fase 7: Pengaruh Evaluasi Fokus dalam fase ini adalah evaluasi sumatif, yang

diukur setelah program selesai, untuk mencari tahu pengaruh intervensi dalam

prilaku atau lingkungan. Waktunya akan bervariasi mulai dari sesegera

mungkin setelah selesai dari menyelesaikan aktivitas intervensi sampai

beberapa tahun kemudian.

8. Fase 8: Hasil atau Keluaran Evaluasi Fokus dari fase evualusi terakhir sama

dengan fokus ketija semua proses berjalan – indikator evaluasi dalam kualitas

hidup dan derajat kesehatan

1. Faktor yang mempengaruhi perilaku

Green juga menyatakan bahwa Perilaku dipengaruhi dan dibentuk atau

ditentukan oleh delapan fase, namun dalam penelitian ini lebih difokuskan dalam

fase 3. Didalam fase 3 terdapat beberapa faktor yang dikelompokkan dalam tiga

kategori, (Green & Kreuter,2005) yaitu:

1. Predisposing factors (faktor predisposisi) dapat berupa : pengetahuan, sikap,

keyakinan, nilai-nilai, sosio ekonomi, umur, jenis kelamin dan presepsi yang

berhubungan dengan motivasi individu

2. Enabling factors (faktor pemungkin) dapat terwujud dalam bentuk

ketersediaan sumber daya, biaya, aksesibilitas, rujukan, aturan/hukum,

keterampilan, perilaku petugas kebersihan, perilaku pihak pengelola pasar,

sumber daya atau keahlian dll.


3. Reinforcing factors (faktor penguat) yang terdapat pada lingkungan secara

fisik yaitu: perilaku petugas, teman, parents, pengusaha, dll.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan penelitian

analisis deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk

memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara

obyektif (Nursalam, 2020) Pendekatan yang digunakan dalam penelitian

adalah cross-sectional. Pendekatan cross sectioning dilakukan dengan

cara mengukur hanya satu kali pada satu saat tanpa adanya tindak

lanjut, tetapi tentunya tidak semua subjek penelitian harus diobservasi

pada hari atau waktu yang sama, akan tetapi baik variabel independen

maupun variabel dependen dinilai hanya satu kali saja. Penelitian potong

lintang/cross sectional dalam penelitian ini dimaksudkan untuk

mendapatkan gambaran hubungan antara status gizi dan perilaku merokok

orangtua dengan kejadian ISPA Balita.

B. Kerangka Konsep Penelitian

Hubungan antara status gizi dan perilaku merokok orangtua dengan kejadian

ISPA Balita

Status Nutrisi Balita

Kejadian ISPA

Perilaku merokok orangtua


balita
C. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

2. Waktu penelitian

Penelitian dilakukan pada Juli 2023.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah sejumlah besar subyek yang mempunyai

karakteristik tertentu (Nursalam,2020) Populasi pada penelitian ini

adalah seluruh balita dengan ISPA di RS yaitu 30 balita.

2. Sampel

Sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam,

2020). Sampel adalah sebagian populasi yang akan diteliti (Nursalam,

2020). Sampel dalam penelitian ini didasarkan pada kriteria inklusi

dan eksklusi, yaitu:

a. Kriteria Inklusi Balita

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu

populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2020).

Kriteria inklusi pada penelitian ini, yaitu:

1) Mengalami ISPA

2) Dapat di ukur status gizi.

b. Kriteria Eksklusi Balita


Kriteria eksklusi pada penelitian ini, yaitu:

1) mengalami penurunan kesadaran

2) Tidak berada di RS ketika penelitian

c. Kriteria inklusi orangtua

1) Tinggal serumah dengan balita

2) Mampu berkomunikasi dengan bahasa yang sama dengan peneliti

yaitu bahasa Indonesia.

d. Kriteria eksklusi orangtua

1) mengalami penurunan kesadaran

2) tidak mampu melanjutkan penelitian

3. Teknik sampling

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total

sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana

jumlah sampel sama dengan populasi (Nursalam, 2020). Alasan

pengambilan sampling ini adalah karena jumlah populasi yang kurang dari

100 seluruh populasi dijadikan sampel penelitian terbatas, maka peneliti

mengambil seluruh balita yang mengalami ISPA yaitu 30 responden.

E. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Independen

Variabel independen dalam penelitian ini adalah status nutrisi dan perilaku

merokok orangtua.
2. Variabel dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA pada

balita.

3. Definisi Operasional

Definisi operasional bertujuan untuk menciptakan variabel yang

jelas dan terukur (Nursalam, 2020), serta memudahkan pembaca untuk

mengartikan variabel dalam penelitian.

Tabel 3.1 Definsi Operasional Penelitian

Definisi Skala
Variabel Parameter Instrumen Skor
Operasional Data

Variabel Independen (X)

Status Nutrisi Keadaan Berat badan Alat Ordinal BB/U) 1.Gizi


dari balita Antropom buruk bila
yang dapat etri dan zscore terletak
ditentukan
timbangan <-3 SD 2.Gizi
dari
indikator kurang bila z-
berat score terletak
badan pada <-2 SD
menurut s/d -3 SD
umur 3.Gizi normal
(BB/U) bila z-score
dengan
terletak -2 SD
nilai Z-
Score < -3 s/d +2 SD
SD 4.Gizi lebih
bila zscore
terletak > +2
SD
Kepmenkes,20
10)

Perilaku Suatu kegiatan atau Aktivitas kuesioner Ordinal 1. merokok


merokok aktivitas membakar merokok 2. tidak
tembakau untuk merokok
dihisap, baik
menggunak an
rokok ataupun pipa
yang diukur
berdasarka n
intensitas
Definisi Skala
Variabel Parameter Instrumen Skor
Operasional Data
Variabel Dependen (Y)
Kejadian Infeksi yang terjadi Sesuai dengan Lembar Ordinal 1. ya
ISPA pada saluran hasil rekam 2. tidak
pernapasan Balita pemeriksaan medis
medis

F. Sumber Data dan Instrument Penelitian

1. Sumber data

Sumber data adalah salah satu pertimbangan dalam memilih masalah

penelitian. Yang di maksud sumber data dalam penelitian adalah subjek

dari mana data didapat diperoleh. Dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan dua sumber data yaitu:

a. Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri atau

dirinya sendiri. Ini adalah data yang belum pernah dikumpulkan

sebelumnya, baik dengan cara tertentu atau pada periode waktu

tertentu. Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian

ini adalah perawat yang berada di RS

b. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh orang lain, bukan

peneliti sendiri. Data ini biasanya dari peneliti lain yang dilakukan

oleh lembaga-lembaga atau organisasi. Dalam penelitian ini sumber

data sekunder didapatkan melalui lembar observasi. Hal ini

bertujuan agar hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti akurat.

Adapun cara pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan

membagikan kuesioner kepada responden. Responden diminta untuk

mengisi sendiri kuesioner yang ditunggu dan langsung dikembalikan


kepada peneliti. Peneliti mengambil data dengan cara memberikan

kuesioner pada saat responden menunggu antrian pemeriksaan

3. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan peneliti untuk

mengumpulkan data atau informasi yang relevan dengan permasalahan

penelitian (Indrawan dan Yaniawati, 2014). Metode yang digunakan untuk

mengumpulkan data yaitu dengan menggunakan lembar observasi dan

kuisoner. Lembar kuesioner berisi data usia balita, jenis kelamin, status

gizi, dan perilaku merokok orangtua.

G. Uji Instrumen Penelitian

1. Uji validitas

Validitas adalah suatu indeks yang akan menunjukkan alat ukur

itu benar - benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2012). Sebuah

instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang dinginkan,

dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat

(Arikunto, 2012). Untuk mengetahui validitas instrumen biasanya

dilakukan dengan rumus Pearson Product Moment yaitu cara melakukan

korelasi antar skor masing-masing variabel dengan skor totalnya.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan

bila fakta atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam

waktu yang berlainan (Nursalam, 2020). Suatu skala dianggap reliabel

yaitu dapat dipercaya, bila secara konsisten memberi hasil yang sama pada
waktu yang berbeda (Nasution, 2010). Mengetahui hasil reliabilitas

dengan cara membandingkan nilai r hitung dengan r tabel. Rumus

reliabilitas dengan rumus Alpha Cronbach yang digunakan untuk mencari

reliabilitas instrumen yang skornya bukan 1 dan 0 misalnya angket atau

soal bentuk uraian. Dalam penelitian ini untuk uji reliabilitas instrumen

dengan skala Likert dengan rumus Alpha Cronbach (Sugiono, 2012).

H. Pengolahan Data

Menurut Mundir (2013) setelah lembar observasi di isi maka data

diolah melalui tahap sebagai berikut:

1. Editing yaitu meneliti kembali apakah isian dalam lembar observasi sudah

lengkap dan diisi, editing dilakukan di tempat pengumpulan data, sehingga

jika ada kekurangan data segera dikonfirmasi pada responden. Dengan

demikian diharapkan akan diperoleh data yang valid dan dapat

dipertanggung jawabkan, yang perlu dicek adalah: a. Kelengkapan

pengisian b. Keserasian (consisency) c. Lengkap yaitu semua pernyataan

sudah terisi

2. Cooding adalah usaha pengklasifikasian jawaban dari para responden

menurut macamnya. Dalam melakukan cooding, jawaban responden di

klasifikasikan dengan menggunakan code tetentu berupa angka.

3. Tabulating yaitu langkah memasukkan data-data hasil penelitian kedalam

tabel-tabel sesuai dengan kriteria yang di tentukan. Pada saat memasukkan

data peneliti harus tetap teliti jika salah sekali dalam memasukkan data,

maka hasil yang didapatkan tidak sesuai.


4. Entry data yaitu memasukkan data kedalam kategori tertentu untuk

dilakukan analisis data dengan bantuan program komputer.

5. Cleaning yaitu mengecek kembali data yang sudah di entry apakah ada

kesalahan atau tidak, membuang data yang sudah tidak dipakai.

I. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan terhadap tiap-tiap variabel dari hasil

penelitian (Notoatmodjo, 2010). Tujuan dari analisa ini adalah untuk menjelaskan

atau mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel dalam penelitian. Data

yang telah didapat kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan perangkat

komputer dan ditampilkan dalam bentuk tabel data yang menjabarkan distribusi

frekuensi dan persentase dari masing-masing variabel. Analisis statistik, yaitu

prosedur pengolahan data dengan menggambarkan dan meringkas data ilmiah

dalam bentuk tabel atau grafik (Nursalam, 2020). Analisis univariat hanya

menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase variabel. Analisis bivariat

dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu independen

dengan dependen, maka digunakan uji spearman rho pada aplikasi Software

SPSS dengan tingkat kemaknaan α= 5% dengan tingkat kepercayaan 95%.

Ketentuannya apabila p-value ≤ 0.05 maka dikatakan ada hubungan yang

bermakna antara dua variabel, sehingga H1 diterima, sedangkan apabila p-value >

α = 0,05 artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel independent

dengan variabel dependen, maka H1 ditolak.


J. Etika penelitian

1. Prinsip Etika Penelitian

Penelitian yang menggunakan subjek penelitian manusia, maka

peneliti harus memahami hak dasar manusia. Manusia memiliki kebebasan

dalam menentukan dirinya, sehingga peneliti yang dilaksanakan

benarbenar menjunjung tinggi kebebasan manusia. Beberapa prinsip

penelitian pada manusia yang harus dipahami antara lain:

a. Prinsip Manfaat

Prinsip aspek maka segala bentuk mamfaat adalah segala bentuk penelitian

yang dilakukan diharapkan dapat dimamfaatkan untuk kepentingan

manusia. Prinsip ini dapat ditegakkan dengan membebaskan, tidak

memberikan atau menimbulkan kekerasan pada manusia, tidak menjadikan

manusia ekspoitasi. Penelitian yang dihasilkan dapat memberikan

mamfaat dan mempertimbangkan antara aspek resiko dengan aspek

mamfaat, bila penelitian yang dilakukan dapat mengalami dilemma etik

(Hidayat, 2007).

b. Prinsip Menghormati Manusia.

Manusia mempunyai hak dan merupakan mahluk yang mulia yang harus di

hormati, karena manusia berhak untuk menentukan pilihan antara mau atau

tidak untukm ikut serta menjadi subjek penelitian (Hidayat, 2007).

c. Prinsip keadilan.

Prinsip ini dilakukan untuk menjujung tinggi keadalian manusia dengan

menghargai hak atau memberikan pengobatan secara adil, hak menjaga


privacy manusia dan tidak berpihak dalam perlakuan terhadap manusia

(Hidayat, 2007).

2. Masalah Etika Penelitian

Masalah etika penelitian merupakan masalah yang sangat penting

mengingat penelitian berhubungan dengan manusia, maka segi penelitian

harus diperhatikan karena manusia mempunyai hak asasi dalam penelitian.

Masalah etika penelitian meliputi (Sugiyono, 2010):

a. Informed Concent

Lembar persetujuan ini diberikan pada respondent yang diteliti yang

memenuhi kriteria, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian

yang dilakukan. Subyek yang bersedia menjadi responden

menandatangani lembar persetujuan untuk dijadikan sebagai

responden.

b. Anonimitas

Yaitu untuk menjaga kerahasian responden, tetapi lembar persetujuan

diberi kode yang hanya diketahui oleh peneliti.

c. Confidentiality

Informasi yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin

kerahasiannya oleh peneliti, dan hanya akan digunakan untuk

pengembangan ilmu. Penelitian ini mencamtumkan semua nama dan

sumber kutipan yang diambil peneliti, baik dari buku, skripsi maupun

jurnal. Dalam penelitian ini responden bersedia secara sukarela

sebagai responden. Penelitian ini memperhatikan kerahasiaan,


sehingga menggunakan inisial saja tanpa menjamin semua informasi

yang dikumpulkan dalam penelitian tidak dibuka di depan publik,

kecuali data dilakukan, terlebih dahulu peneliti memberikan lembar

persetujuan kepada responden, sehingga responden dapat memutuskan

bersedia ataupun menolak untuk menjadi sampel.

d. Respect for persons (Prinsip menghormati harkat dan martabat

manusia).

Merupakan bentuk penghormatan terhadap harkat dan martabat

manusia sebagai pribadi yang memiliki kebebasan berkehendak atau

memilih dan sekaligus bertanggung jawab secara pribadi terhadap

keputusannya sendiri. Penelitian yang dilakukan harus menghormati

otonomi responden dan melindungi responden terhadap otonominya

yang terganggu atau kurang. Peneliti menghormati hak subjek

penelitian, apakah subjek tersebut bersedia untuk ikut serta dalam

penelitian atau tidak, dengan memberikan Informen Concent (lembar

persetujuan) pada subjek peneliti.

e. Beneficence (Prinsip etik berbuat baik)

Penelitian yang dilakukan dengan mengupayakan manfaat maksimal

dengan kerugian minimal, risiko penelitian harus wajar dibanding

mamfaat yang diharapkan, memenuhi persyaratan ilmiah, peneliti

mampu melaksanakan penelitian dan sekaligus mampu menjaga

kesejahteraan subjek penelitian serta tidak mencelakakan atau


melakukan hal-hal yang merugikan (non maleficence, do no harm)

subjek penelitian.

f. Justice (Prinsip etik penelitian)

Penelitian yang dilakukan memperlakukan subjek penelitian dengan

moral yang benar dan pantas, memperhatikan hak dari subjek

penelitian serta distribusi seimbang dan adil dalam hal beban dan asas

manfaat keikutsertaan dalam penelitian.

g. Balancing harm and benefit (Memperhatikan manfaat dan kerugian

yang ditimbulkan).

Penelitian melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian

guna mendapatkan hasil yang bermamfaat semaksimal mungkin bagi

subjek penelitian dan dapat digeneralisasi ditingkat populasi

(benefince). Penelitian meminilisasi dampak yang merugikan

(nonmaleficen), apabila intervensi penelitian peneliti berpotensi

penelitian untuk mencegah terjadinya cedera, kesakitan, stress,

maupun kematian subjek peneliti untuk mencegah terjadinya cedera,

kesakitan, stress, maupun kematian subjek penelitian.

3. Alur Penelitian

Alur penelitian memberikan gambaran keseluruhan mengenai

prosedur penelitian (Dahlan, 2014). Prosedur pengumpulan data yang

dilakukan peneliti dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu:

a. Prosedur Administratif
1) Peneliti meminta surat pengantar dari ITKES Wiyata Husada

Samarinda untuk melakukan studi pendahuluan di RS

2) Mengajukan surat permohonan ijin penelitian kepada Direktur

RSUD.

3) Mengajukan permohonan ijin pengumpulan data pelaksanaan triage

di RSUD.

4) Menentukan responden penelitian sesuai kriteria inklusi dan

eksklusi.

5) Mengajukan ijin dan kesepakatan kepada responden untuk menjadi

sampel dan menandatangani lembar persetujuan menjadi responden

(informed concent) bagi responden yang bersedia untuk menjadi

sampel penelitian.

b. Prosedur Teknis Penelitian

1) Melakukan pengkajian terhadap responden dengan validasi data

berdasarkan rekam medis dan lembar observasi.

2) Melakukan pengambilan data.

3) Sebelum melakukan penelitian, dilakukan sosialisasi dengan

perawat yang bertugas saat itu

4) Melakukan pembagian instrumen lembar observasi dan kuesioner

yang telah disiapkan.

5) Melakukan analisa
Populasi
Semua balita (30)

Total sampling

Sampel
Sampel sesuai kriteria inklusi

Variabel independen status Variabel dependen


nutrisi dan perilaku Kejadian ISPA
merokok orangtua

Analisa Data

menggunakan uji statistik regresi linier dengan derajat


kemaknaan α ≤ 0,05

Kesimpulan hasil penelitian

Anda mungkin juga menyukai