BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering
terjadi di Indonesia dan menjadi penyebab utama kematian pada anak-anak. ISPA
dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti virus, bakteri, dan faktor
lingkungan. Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru merupakan salah satu
puskesmas di wilayah Maluku yang mengalami kasus ISPA yang cukup tinggi
pada masyarakatnya.
Peran aktif orang tua terhadap pencegahan ISPA sangat penting dalam
melakukan perawatan kepada Balita karena yang biasa terkena dampak dari ISPA
adalah usia Balita yang kekebalan tubuhnya masih rentan terserang oleh penyakit,
sehingga orang tua harus mengerti tentang dampak negatifdari penyakit ISPA serta
mengetahui cara-cara pencegahan ISPA yaitu dengan mengatur pola makan Balita,
menciptakan lingkungan yang nyaman, dan menghindari faktor pencetus (Sukarto
dkk, 2016). Tingginya angka kejadian ISPA pada balita disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah faktor instrinstik, faktor ekstinstik. Faktor instrinstik
2
meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, status asi eklusif, status imunisasi.
Sedangkan faktor ekstrinstik meliputi kondisi fisik lingkungan rumah, meliputi
yang kepadatan hunian, polusi udara, tipe rumah, ventilasi, asap rokok,
penggunaan bahan bakar, serta faktor perilaku baik pengetahuan dan sikap ibu
(Castanea, 2018).
Kejadian ISPA pada Balita di Indonesia yaitu mencapai 3-6 kali per tahun
dan 10-20% adalah pneumonia (Himawati & Fitria, 2020). Kasus ISPA terbanyak
terjadi Di India 43 juta kasus, China 21 juta kasus, Pakistan 10 juta kasusdan
Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta kasus, semua kasus ISPA
yang terjadi dimasyarakat 7-13% merupakan kasus berat dan memerlukan
perawatan rumah sakit (Aditama, 2012). Menurut Kemenkes RI (2017) kasus
ISPA mencapai 28% dengan 533,187 kasus yang ditemukan pada tahun 2016
dengan 18 provinsi diantaranya mempunyai prevalensi di atas angka nasional
(Kementerian Kesehatan RI, 2017).
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah status gizi berhubungan dengan kejadian ISPA pada bayi dan
balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru?
2. Apakah kondisi rumah berhubungan dengan kejadian ISPA pada bayi dan
balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru?
3. Apakah polutan dalam rumah berhubungan dengan kejadian ISPA pada
bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru?
C. Batasan Masalah
1. Tujuan Penelitian
a) Untuk mengetahui hubungan antara status gizi dan kejadian ISPA pada
bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru.
b) Untuk mengetahui hubungan antara kondisi rumah dan kejadian ISPA pada
bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru.
c) Untuk mengetahui hubungan antara polutan dalam rumah dan kejadian
ISPA pada bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu
Kepulauan Aru.
d) Untuk memberikan rekomendasi dan saran kepada masyarakat,
pemerintah, dan pihak-pihak terkait dalam upaya pencegahan dan
pengendalian ISPA pada bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas
Galaidubu Kepulauan Aru..
2. Manfaat Teoritis
a) Menambah pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian ISPA pada bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu
Kepulauan Aru.
b) Menambah literatur ilmiah tentang ISPA pada bayi dan balita, khususnya
di wilayah Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru.
c) Menambah pengetahuan tentang metode kualitatif dalam penelitian
kesehatan.
3. Manfaat Praktis
6
E. Sistematika Penulisan.
- BAB I PENDAHULUAN
Bab pendahulu yang menguraikan tentang Latar Belakang Masalah,
perumusan masalah dan pembatasan Masalah, tujuan dan penggunaan
penulisan.
- BAB II KAJIAN PUSTAKA
Uraian teori berisi teori-teori yang berhubungan dengan sub stansi
Masalah yang dibahas, kerangka berpikir dan defenisi operasional.
- BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan metode penelitian yang yang
dilakukan dalam perancangan dan implementasi.
BAB II
7
TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut
1.Defenisi ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA adalah infeksi yang menyeran
g saluran pernapasan, baik saluran atas maupun bawah. Kondisi ini dapat terjadi
pada beberapa organ pernapasan seperti sinus, faring, laring hingga hidung. ISPA
adalah salah satu penyakit menular dan rentan mengenai anak-anak, di mana
imunitas mereka memang masih dalam perkembangan. Selain itu, kondisi ini juga
banyak terjadi pada lansia, yang biasanya telah mengalami penurunan kekebalan
tubuh.
a. Grup untuk anak-anak dari 2 bulan hingga 5 tahun dan grup untuk Umur “2
bulan” (MZ, 2007). satu. Untuk kelompok usia dari 2 bulan hingga 5 tahun,
peringkatnya dibagikan pada: sebuah. Pneumonia berat bila anak batuk dan
disertai gejala sensorik di dada.
b. Pneumonia, bila batuk anak disertai napas cepat 50 kali per menit atau lebih
pada anak usia 2 bulan sampai <12 bulan atau 40 kali per menit atau lebih banyak
pada anak usia 12 bulan sampai 5 tahun. Tidak ada pneumonia jika anak batuk
pilek, pernapasan normal, tarikan ke dada tidak terdeteksi bagian bawah (probing
toraks)
a. sebuah. Pneumonia berat, jika anak batuk, disertai napas cepat, yang lebih
lebih dari 60 napas per menit, dengan atau tanpa penyempitan dada dan
tanda bahaya.
b. Tidak ada pneumonia ketika bayi pilek, tidak memiliki sesak napas atau
laju pernapasan kurang dari 60 napas per menit; atau Tidak ada gejala
sensorik yang ditemukan.
ISPA merupakan penyakit yang sering disebut sebagai salah satu penyakit
dari 10 penyakit teratas di negara berkembang pada bayi dan anak kecil, termasuk:
Indonesia Episode ISPA didefinisikan sebagai insiden ISPA yang dipaksakan
setelah diagnosis klinis dengan interval minimal 2 hari gratis gejala penyakit
yang sama. Rata-rata setiap tahun anak balita mendapat 3-6 kali episode ISPA
(DCPP, 2016 ) dan 4 sampai 6 episode (Lanata et al., 2014) Hingga saat ini ISPA
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia Hal ini tampak dari
hasil Survey Kesehatan Nasional (SURKESNAS) Tahun 2011 yang menunjukkan
bahwa proporsi kematian akibat ISPA masih 2896 artinya bahwa dari 100 balita
yang meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA, dan terutama pada Balita
dimana 80926 kasus kematian ISPA adalah akibat Pneumonia (Depkes, 2016).
Hasil Ekstrapolasi data SKRT 2001 menunjukkan bahwa angka kematian balita
akibat penyakit sistem pernafasan adalah 4,9/1000 4 ,9 / balita , yang berarti ada
sekitar 5 dari 1000 balitayang meninggal setiap tahun akibat pneumonia Atau
berarti ada 140.000 Balita yang meninggal setiap tahunnya akibat Pneumonia,
atau rata-rata 1 anak Balita Indonesia meninggal akibat Pneumonia setiap 5 menit
Begitu besarnya masalah ISPA, sehingga sering disebut sebagai epidemi.
2. Macam-macam ISPA
Macam-macam ISPA antara lain :
a. Acute Viral Nasopharyngiti
Nasopharyngitis akut (setara dengan “common cold”) disebabkan oleh
sejumlah virus, biasanya rhinoviruses, RSV, adenovirus, virus influenza, atau
virus parainflu. Gejala nasopharyngitis lebih parah pada bayi dan anak-anak jika
dibandingkan pada orang dewasa. Pada umumya demam, terutama pada anak
kecil. Anak yang lebih besar memiliki demam ringan, yang muncul pada waktu
sakit. Pada anak-anak 3 bulan sampai 3 tahun, demam tiba- tiba terjadi dan
berkaitan dengan mudah dan marah, gelisah, nafsu makan menurun dan
penurunan aktivitas. Peradangan hidung dapat menyebabkan sumbatan saluran,
sehingga harus membuka mulut ketika bernafas. Muntah dan diare mungkin juga
bisa muncul.
b. Faringitis Akut
70 persen pharingitis akut disebabkan oleh virus pada anak usia muda.
Infeksi streptokokus jarang terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun, tapi lebih
sering pada yang lebih 5 tahun. Gejala khasnya adalah kemerahan dan
pembengkakan yang ringan pada faring serta pembesaran tonsil. Seringkali
disertai dengan rhinitis, tonsilitis ataupun laringitis. Di negara dengan kondisi
kehidupan dan populasi yang padat, yang mempunyai predisposisi genetik, gejala
sisa setelah infeksi streptokokus seperti demam reumatik akut dan karditis adalah
umum terjadi pada anak pra dan usia sekolah.
c. Acute Streptococcal Pharyngitis
Group A B- hemolytic streptococcus (GABHS) infeksi saluran napas
bagian atas (radang tenggorokan) bukan merupakan penyakit serius, tetapi efek
bagi anak merupakan resiko serius. Acute Rheumatic Fever (ARF) penyakit
radang sendi, dan sistem saraf pusat dan Acute glomerulonephiritis, infeksi akut
ginjal kerusakan permanen dapat dihasilkan dari ini gejala sisa terutama ARF.
d. Otitis Media Akut
Otitis media akut terjadi hingga 30 % pada infeksi saluran nafas akut. Di
negara berkembang yang pelayanan medisnya tidak adekuat, penyakit ini mugkin
10
yang berperan terjadinya perforasi kendang telinga atau ketulian. Infeksi telinga
yang berulang dapat menyebabkan mastoiditis yang pada gilirannya dapat
menyebarkan infeksi ke meningen (selaput otak). Otitis media ini disebabkan oleh
terbuntunya saluran tuba eustachius oleh karena rinitis dan bisa juga karena alergi.
Gejalanya ditandai dengan adanya peradangan lokal, otorrhea, otalgia, demam dan
bisa juga malaise. Oleh karena akumulasi mukus dan cairan sebagai akibat dari
odema pada tuba eustachius, bakteri dapat menginfeksi pula. Yang paling sering
menyerang anak-anak adalah bakteri streptokokus pneumoniae, haemophilus
influenzae, dan moraxella catharralis.
e. Influenza
Influenza atau “flu” disebabkan oleh tiga ortomyxoviruses, dengan
antigenik yang berbeda. Tipe-tipe A dan B yang menyebabkan penyakit epiddemic
dan tipe C yang tidak penting secara epidemiologis. Virus mengalami perubahan
signifikan dari waktu ke waktu. Perubahan utama terjadi pada interval biasanya 5
sampai 10 tahun yang disebut antigenic shift: variasi minor di dalam subtipe yang
sama antigenic drift, terjadi hampir setiap tahun. Karenanya, antigenic drift dapat
mempengaruhi virus, secara memadai yang mengakibatkan kerentanan individu,
ke jenis yang sebelum mereka diimunisasi atau terinfeksi.
f. Sinusitis
Sinusitis adalah infeksi pada mukosa rongga sinus paranasal. Dengan
gejala hidung tersumbat, sekret dari hidung yang kental jernih atau berwarna,
berbau, nyeri tekan pada daerah wajah atau pipi, bisa disertai batuk, demam
tinggi, nyeri kepala dan malaise. Terjadinya bisa akut yang berlangsung kurang
dari 30 hari, sub akut yang berlangsung antara 30 hari sampai dengan 6 minggu,
dan kronis jika berlangsung lebih dari 6 minggu. Penyebab bisa oleh karena
bakteri, virus atau penyebab yang lain, seperti: polip, alergi, infeksi gigi serta
tumor. Bakteri penyebab yang paling sering adalah streptokokus pneumoniae,
haemophilus influenzae, dan moraxella catharralis. Ditularkan lewat kontak
langsung dengan penderita melalui udara. Dan seharusnya dapat dicegah dengan
pemakaian masker serta cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
penderita.
11
g. Laring Akut
Infeksi laring akut adalah penyakit umum pada anak-anak dan remaja.
Bayi dan anak kecil memiliki keterlibatan yang lebih umum. Virus adalah faktor
yang biasa menyebabkan dan keluhan utama adalah suara serak yang disertai
dengan gejala pernapasan atas lainya misalnya, (coryza, sakit tenggorokan, hidung
tersumbat) dan manifestasi sistemik (misalnya, demam, sakit kepala, myalgia).
pada waktu bernapas, anak tidak sadar atau kesadarannya menurun, pernapasan
berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah, pernapasan berbunyi menciut dan
anak tampak gelisah, nadi cepat lebih dari 60 kali/menit atau tidak teraba,
tenggorokan berwarna merah.
5. Faktor Internal dan Eksternal Penyebab Ispa Pada Bayi dan Balita
a. Faktor Internal:
1) Usia: Anak bayi dan balita memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih
berkembang, sehingga mereka lebih rentan terhadap infeksi.
2) Riwayat penyakit: Anak yang pernah mengalami ISPA atau infeksi saluran
pernapasan lainnya cenderung lebih rentan terhadap ISPA di kemudian
hari.
3) Kondisi medis: Anak yang memiliki kondisi medis tertentu, seperti asma,
alergi, atau kelainan jantung, cenderung lebih rentan terhadap ISPA.
4) Kondisi imunisasi: Anak yang tidak mendapatkan vaksinasi atau imunisasi
yang tepat dan lengkap cenderung lebih rentan terhadap ISPA.
b. Faktor Eksternal:
13
1) Paparan virus dan bakteri: Anak yang terpapar virus dan bakteri penyebab
ISPA, seperti rhinovirus, adenovirus, dan influenza, lebih rentan terhadap
ISPA.
2) Polusi udara: Anak yang tinggal di daerah dengan polusi udara yang tinggi
atau terpapar asap rokok cenderung lebih rentan terhadap ISPA.
3) Iklim: Anak yang tinggal di daerah dengan suhu dan kelembapan udara
yang ekstrem, misalnya daerah yang panas dan lembap atau dingin dan
kering, lebih rentan terhadap ISPA.
4) Kontak dengan orang yang sakit: Anak yang sering berinteraksi dengan
orang yang sakit atau terpapar dengan orang yang terinfeksi ISPA lebih
rentan terhadap ISPA.
5) Kondisi Fisik Rumah ": kondisi rumah yang kurang bersi juga berdampak
pada bayi dan balita gampang terpapar virus yang dapat menyebabkan
ISPA
Faktor-faktor internal dan eksternal tersebut dapat saling berinteraksi dan
meningkatkan risiko anak bayi dan balita terkena ISPA.
1. Pneumonia berat, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernafas,
serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest
indrawing).
14
2. Pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernafas, nafas
cepat sebanyak 50 kali atau lebih/menit untuk usia 2 bulan sampai < 1
tahun, 40 kali atau lebih/menit untuk usia 1 sampai < 5 tahun.
3. Bukan pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernafas,
tidak ada nafas cepat serta tidak adanya `tarikan dinding dada bagian
bawah kedalam.
1. Pneumonia berat, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernafas,
nafas cepat 60 kali atau lebih/menit atau tarikan kuat dinding dada bagian
bawah kedalam.
2. Bukan pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernafas,
tidak adanya nafas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah
kedalam.
7. Etiologi ISPA
Penyakit ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, atau protozoa
(Junaidi, 2010). Virus yang termasuk penggolong ISPA adalahrinovirus,
koronavirus, adenovirus, dan koksakievirus, influenza, virus sinsisial pernapasan.
Virus yang mudah ditularkan melalui ludah yang dibatukkan atau dibersinkan oleh
penderita adalah virus influenza, virus sinsisial pernapasan, dan rinovirus (Junaidi,
2010). Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri dan riketsia serta
jamur. Virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk
didalamnya virus influensa, virus para-influensa dan virus campak), adenovirus.
Bakteri penyebab ISPA misalnya streptokokus hemolitikus, stafilokokus,
pneumokokus, hemofilus influenza, Bordetella pertussis, Korinebakterium
diffteria (Depkes, 2004).
15
9. Patofisiologi
Terjadinya infeksi antara bakteri dan flora normal di saluran nafas. Infeksi
oleh bakteri, virus dan jamur dapat merubah pola kolonisasi bakteri. Timbul
mekanisme pertahanan pada jalan nafas seperti filtrasi udara, inspirasi dirongga
hidung, refleksi batuk, refleksi epiglottis, pembersihan mukosilier dan fagositosis.
Karena menurunnya daya tahan tubuh penderita maka bakteri pathogen dapat
16
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar,
bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernapasan, oleh karena itu, maka
penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara
dimagsudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita
maupun dengan benda terkontaminasi.Sebagian besar penularan melalui udara
dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang
sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang mengandung
unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab (Masriadi,2017).
a) Pneumonia berat: rawat di rumah sakit, beri oksigen (jika anak mengalami
sianosi sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada yang
hebat), terapi antibiotik dengan memberikan benzil penisilin dan
gentamisin atau kanamisin.
b) Bukan Pneumonia: terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, nasehatiibu
untuk menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI secara sering, dan
bersihkan sumbatan pada hidung jika sumbatan itu mengganggu saat
memberi makan.
penghuni yang sehat. Rumah sehat akan meningkatkan kualitas fisik maupun
psikologis penghuninya (Rosana,E.N. 2016).
1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunia
n dan sarana pembinaan keluarga.
2. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang di lengkapi dengan sarana dan
prasarana lingkungan.
3. Kesehatan perumahan adalah kondisi fisik, kimia dan biologi di dalam
umah, dilingkungan rumah dan perumahan sehingga memungkinkan
penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
4. Prasarana kesehatan lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkunga
n yang memungkinkan lingkungan pemukiman dapat berfungsi sebagaima
na mestinya.
5. Sarana kesehatan lingkungan adalah fasilitas penunjang yang berfungsi
untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomis, sosial
dan budaya.
Rumah sehat juga merupakan suatu tempat untuk tinggal permanen yang
berfungsi sebagai tempat perlindungan dari pengaruh lingkungan yang memenuhi
21
Pencahayaan harus cukup baik waktu siang maupun malam hari. Pada
malam hari pencahayaan yang ideal adalah penerangan listrik. Pada waktu pagi
hari diharapkan semua ruangan mendapatkan sinar matahari. Pengaruh buruk
berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya kadar
gas karbondioksida, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan
kelembapan udara ruangan bertambah.
b. Lantai
Lantai yang baik harus selalu kering, tinggi lantai harus disesuaikan dengan
kondisi setempat, lantai harus lebih tinggi dari muka tanah. Syarat yang penting
adalah tidak berdebu pada musim kamarau dan tidak basah pada musim hujan,
sehingga dapat mencegah terjadinya penularan penyakit terhadap penghuninya
(Aprina,S.R. 2017).
penyebab ISPA. Lantai juga harus sering dibersihkan karena lantai yang basah dan
berdebu menimbulkan sarang penyakit.
d. Kelembaban
Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikroorganisme. Faktor resiko yang dapat menyebabkan
kelembaban berubah-ubah adalah kontruksi rumah yang tidak baik seperti atap
yang bocor, lantai dan dinding rumah yang tidak kedap air, serta kurangnya
pencahayaan baik buatan maupun alami (Rosana,E.N. 2016).
e. Pencahayaan
Cahaya matahari sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama bagi
kesehatan. Selain itu, untuk penerangan cahaya matahari juga dapat mengurangi
kelembaban ruang, mengusir nyamuk, membunuh kuman penyakit tertentu seperti
ISPA, TBC, Influenza, penyakit mata dan lain-lain. Agar dapat memperoleh
cahaya yang cukup, setiap ruang harus memiliki lubang cahaya yang memungkink
an masuknya sinar matahari ke dalam ruangan baik secara lansung maupun tidak
langsung. Sedikitnya setiap rumah harus mempunyai lubang cahaya yang dapat
berhubungan langsung dengan cahaya matahari, minimal 10% dari luas lantai
rumah.
besarnya minimal 60 lux. Pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun
tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan
minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.
Kepadatan hunian yang tinggi akan memperburuk sirkulasi udara. Hal ini
akan mengakibatkan penyakit saluran pernapasan terkhususnya yang disebabkan
oleh virus akan lebih cepat menyerang anggota keluarga. Semakin tinggi
kepadatan hunian suatu rumah maka semakin mudah penularan penyakit yang
disebabkan oleh pencemaran udara pada balita seperti gangguan pernapasan atau
ISPA (Fatimah,L. 2017).
g. Suhu
Suhu dalam ruang rumah yang terlalu rendah dapat menyebabkan
gangguan kesehatan hingga hypothermia, sedangkan suhu yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan dehidrasi sampai dengan heat stroke. Perubahan suhu udara
dalam rumah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain penggunaan bahan
bakar biomassa, ventilasi yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian, bahan
dan struktur bangunan, kondisi geografis dan kondisi topografi.
3. Status Gizi
Menurut Nuryanto (2012) status gizi masyarakat biasanya digambarkan dengan
masalah gizi yang dialami oleh golongan masyarakat rawan gizi. Kurang Energi
Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia, disamping kurang
vitamin A, anemia, gizidan gangguan akibat kekurangan iodium. Status gizi balita
dipengaruhi oleh pola asuh anak yang tidak memadai karena kurangnya
pengetahuan, ketrampilan ibu mengenai gizi serta imunisasi dan pelayanan
kesehatan dasar yang tidak memadai. Balita dengan keadaan gizi buruk dan gizi
kurang (malnutrisi) lebih mudah terkena infeksi dibandingkan dengan balita
dengan gizi baik, hal ini disebabkan kurangnya daya tahan tubuh balita. Anak
balita dengan status gizi kurang mempunyai risiko menderita pneumonia 3,3 kali
dibandingkan dengan balita dengan status gizi baik (Nuryanto, 2012).
Status gizi balita sampai dengan tingkat malnutrisi dapat diukur menurut
berbagai pendekatan, salah satunya adalah pendekatanantropometri. Untuk bayi
dan anak-anak dapat dipakai salah satu dari empat macam indikator antropometri,
yaitu berat badan menurut umur (weight-for-age), tinggi badan menurut umur
(height- for- age), berat badan menurut tinggi badan (weight for height), dan
lingkar lengan atas (mid upper arm circumference). Masing-masing indikator itu
memberikan penjelasan tentang status gizi bayi dan anak-anak. Indikator protein
energy malnutrition (PEM) yang paling sering dipakai adalah berat badan menurut
umur.
dan jangka pendek (Nuryanto, 2012). Sedangkan standar baku yang digunakan
dalam penentuan status gizi anak balita pada KMS, berdasarkan hasil kesepakatan
diskusi yang diselenggarakan oleh Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI),
bekerjasama dengan UNICEF Indonesia dan LIPI, yaitu (Depkes RI, 2012):
a. Gizi baik, bila ada kenaikan berat badan dengan bertambahnya umur
balita, angka/nilai berat badan dan umur balita di dalam kurva hijau pada
KMS.
b. Gizi buruk, bila tidak ada kenaikan berat badan dengan bertambahnya
umur balita, angka/nilai berat badan dan umur balita diluar kurva hijau
pada KMS.
bakar. Obat nyamuk bakar biasanya digunakan untuk mengendalikan nyamuk dari
dalam rumah tetapi disisi lain asap obat nyamuk dapat menjadi sumber
pencemaran udara dalam rumah, yang sangat membahayakan kesehatan yaitu
gangguan saluran pernapasan karena obat nyamuk jika dibakar mengandung
bahan SO2 (sebutan dari bahan berbahaya (octachloroprophyl ether) dapat
mengeluarkan bischlorometyl ether atau BCME yang walaupun dalam kondisi
rendah dapat menyebabkan batuk, iritasi hidung, tenggorokan bengkak dan
perdarahan (Depkes R.I, 2012).
2) Asap Rokok
Sumber asap rokok di dalam ruangan lebih membahayakan daripada di
luar ruangan karena sebagian besar orang menghabiskan 60%- 90% waktunya
selama satu hari penuh (24 jam) di dalam ruangan.Asap rokok yang dikeluarkan
seorang perokok umumnya mengandung zat-zat yang berbahaya antara lain tar
yang mengandung bahan kimia beracun dapat merusak sel paru- paru dan
menyebabkan sakit kanker, karbon monoksida (CO) sebagai gas beracun yang
mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen, nikotin
merupakanzat kimia perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah
serta membuat pemakai nikotin kecanduan (Milo, 2015).
Semua studi mengenai polusi udara dalam ruang oleh asap rokok
menunjukkan bahwa asap rokok merupakan bahaya utama terhadap kesehatan.
Campuran asap tersebut lebih dari 4000 jenis senyawa, banyak diantaranya telah
terbukti bersifat racun atau menimbulkan kanker pada manusia dan sebagian besar
29
adalah bahan iritan yang kuat. Sebanyak 43 zat karsinogen telah diidentifikasi,
termasuk diantaranya: nitrosamines, benza pyrene, cadmium, nikel dan zinc.
Karbonmonoksida, nitrogen oksida dan partikulat juga merupakan beberapa
diantara bahan-bahan beracun yang terkandung dalam rokok (Milo, 2015).
Apabila penghawaan rumah tidak baik dan tidak ada lubang asap di dapur
untuk mengeluarkan asap dan partikel-partikel debu dari dapur, maka asap akan
memenuhi ruangan dan menyebabkan sirkulasi udara di dalam ruangan tidak baik.
Apalagi ibu-ibu sering masak sambil menggendong anaknya, asap akan
memperparah penderita sakit pernapasan terutama pada balita dan lansia. Sedapat
mungkin menggunakan bahan bakar yang tidak menimbulkan pencemaran udara
indoor atau sisa pembakarannya dapat disalurkan ke luar rumah. Kejadian ISPA
4,312 kali lebih berisiko pada balita yang di rumahnya menggunakan bahan bakar
memasak seperti kayu bakar/arang/sejenisnya dibandingkan dengan balita yang di
30
C. Penelitian Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Sambominanga (2014) di Puskesmas
Ranotana Weru kota Manado yang bertujuan untuk untuk megidentifikasi
pemberian imunisasi dasar lengkap dan kejadian ISPA serta untuk menganalisis
hubungan antara imunisasi dasar lengkap dengan kejadian ISPA. Sampel pada
penelitian ini berjumlah 56 responden yang didapat menggunakan teknik quota
sampling. Desain penelitian yang digunakan adalah desain Cross Sectional dan
data dikumpulkan dari responden menggunakan lembar observasi. Berbeda
dengan hasil penelitian yang lain sebelumnya, hasil penelitian ini menunjukkan
tidak terdapat hubungan antara pemberian imunisasi dasar lengkap dengan
kejadian ISPA berulang pada balita. sehingga peneliti merekomendasikan untuk
peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti mengenai faktor-faktor lain seperti
status gizi, lingkungan serta imunisasi Hib yang dapat menyebabkan penyakit
ISPA
antara anak balita yang diberikan ASI eksklusif dengan yang tidak diberikan ASI
eksklusif (p<0.05).
D. Kerangka Konsep
Faktor Internal
Status Gizi
Infeksi Saluran
Factor Agen
Pernapasan Akut
Bakteri dan Virus (ISPA)
Faktor Eksternal
Kondisi fisik
Rumah
Dan polutan
dalalam rumah
faktor yang diteliti adalah factor internal status gizi dan factor eksternal
kondisi rumah dan kuatilatas udarah . Peneliti peneliti menggunakan status gizi,
kondisi rumah dan kualitas udarah sebagai variabel bebasnya sedangkan ISPA
sebagai variabel terikatnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
mengenai status gejala yang ada, yaitu keadaan gejala yang dikumpulkan di
lapangan menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan.
D. Sumber Data
sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dimana data diperoleh.
Sumber data yang dimaksud bisa berupa sumber data utama berupa kata-kata
(penjelasan) atau tindakan dari orang yang diamati, maupun sumber data lainnya
yang diperoleh dari catatan yang mampu memberikan informasi mengenai
penelitian.Sumber data utama penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan,
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumentasi dan lain-lain. Secara garis
besar sumber data pada penelitian ini terbagi kedalam kelompok sumber data
primer dan sumber data sekunder:
1. Data Sekunder.
35
Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan dengan
cepat sumber data tambahan yang didapat atau diperoleh dengan cara tidak
langsung. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari sumber tertulis yang dipakai
dalam penelitian ini meliputi arsip, dokumen-dokumen, catatan dan laporan rutin
bisnis thrifing.
2. Data primer
Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data. Dalam hal ini data diperoleh melalui wawancara dan
pengamatan langsung oleh peneliti, ada dua data primer yang digunakan.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian dalam penelitian kualitatif terbagi atas dua yaitu
peneliti sebagai instrument (human instrument), dan buku catatan, tape
recorder, kamera, handy cam, dan lain-lain.
1. Reduksi Data.
37
3. Penarikan kesimpulan/verifikasi.
Penarikan kesimpulan dalam pandangan Miles dan Huberman, hanyalah
sebagian dari suatu kegiatan konfigurasi yang utuh.Kesimpulan-kesimpulan juga
diverifikasi selama penelitian berlangsung.Sejak semula peneliti berusaha mencari
makna dari data yang diperolehnya.Untuk maksud itu, peneliti berusaha mencari
pola, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis,
dan sebagainya. Verifikasi dapat dilakukan dengan singkat yaitu dengan cara
38
mengumpulkan data baru. Singkatnya makna-makna yang muncul dari data harus
diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan
validitasnya.Jika tidak demikian, yang kita miliki adalah sesuatu yang menarik
mengenai sesuatu yang terjadi yang tidak jelas kebenarannya dan kegunaannya.
(Miles& Huberman,1992).
PENARIKAN KESIMPULAN
REDUKSI DATA
Daftar Pustaka