Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering
terjadi di Indonesia dan menjadi penyebab utama kematian pada anak-anak. ISPA
dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti virus, bakteri, dan faktor
lingkungan. Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru merupakan salah satu
puskesmas di wilayah Maluku yang mengalami kasus ISPA yang cukup tinggi
pada masyarakatnya.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan terjadinya risiko


kematian yang disebabkan oleh penyakit ISPA yaitu dengan melakukan upaya
penanganan dan pencegahan yang telah dilakukan pemerintah seperti program
pemberian vitamin A, program imunisasi lengkap, dan program Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang telah dilakukan diberbagai puskesmas serta
pemberian pendidikan kesehatan tentang penatalaksanaan ISPA (Ani, 2014).
Upaya dalam menanggulangi penyakit ISPA baik yang dilakukan oleh Ibu atau
Keluarga lainnya dapat dilakukan dengan mengusahakan agar Balita memperoleh
gizi yang baik, memberikan imunisasi lengkap, menjaga kebersihan perorangan
dan lingkungan agar tetap bersih serta mencegah Balita berhubungan dengan klien
ISPA (Silaban, 2015).

Peran aktif orang tua terhadap pencegahan ISPA sangat penting dalam
melakukan perawatan kepada Balita karena yang biasa terkena dampak dari ISPA
adalah usia Balita yang kekebalan tubuhnya masih rentan terserang oleh penyakit,
sehingga orang tua harus mengerti tentang dampak negatifdari penyakit ISPA serta
mengetahui cara-cara pencegahan ISPA yaitu dengan mengatur pola makan Balita,
menciptakan lingkungan yang nyaman, dan menghindari faktor pencetus (Sukarto
dkk, 2016). Tingginya angka kejadian ISPA pada balita disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah faktor instrinstik, faktor ekstinstik. Faktor instrinstik
2

meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, status asi eklusif, status imunisasi.
Sedangkan faktor ekstrinstik meliputi kondisi fisik lingkungan rumah, meliputi
yang kepadatan hunian, polusi udara, tipe rumah, ventilasi, asap rokok,
penggunaan bahan bakar, serta faktor perilaku baik pengetahuan dan sikap ibu
(Castanea, 2018).

World Health Organization (WHO), memperkirakan insiden infeksi


saluran pernafasan akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian
balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15% - 20% per tahun pada
golongan usia balita. Menurut WHO 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap
tahun dan sebagianbesar kematian tersebut terdapat di negara berkembang,
dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan
menubuh 4 juta anak balita setiap tahun (Silaban, 2015).

Kejadian ISPA pada Balita di Indonesia yaitu mencapai 3-6 kali per tahun
dan 10-20% adalah pneumonia (Himawati & Fitria, 2020). Kasus ISPA terbanyak
terjadi Di India 43 juta kasus, China 21 juta kasus, Pakistan 10 juta kasusdan
Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta kasus, semua kasus ISPA
yang terjadi dimasyarakat 7-13% merupakan kasus berat dan memerlukan
perawatan rumah sakit (Aditama, 2012). Menurut Kemenkes RI (2017) kasus
ISPA mencapai 28% dengan 533,187 kasus yang ditemukan pada tahun 2016
dengan 18 provinsi diantaranya mempunyai prevalensi di atas angka nasional
(Kementerian Kesehatan RI, 2017).

Berdasarkan hasil Riskesdas (2018) prevalensi ISPA di Indonesia sebesar


9,3% diantaranya 9,0% berjenis kelamin laki-laki dan 9,7% berjenis kelamin
perempuan (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Prevalensi ISPA tertinggi terjadi
pada kelompok umur satu sampai empat tahun yaitu sebesar 13,7% (Kementerian
Kesehatan RI, 2018). Kasus ISPA terbanyak di Indonesia yaitu terjadi di Provinsi
Nusa Tenggara Timur 15,4%, Papua 13,1%, Banten 11,9%, Nusa Tenggara Barat
11,7%, Bali 9,7% (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
3

Data Riskedas tahun 2018 mengenai prevalensi ISPA berdasarkan


diagnosis tenaga kesehatan menurut provinsi di tahun 2018 menunjukan bahwa
prevalensi ISPA di Indonesia sebesar 4,4%. Prevalensi tertinggi di tahun 2018
terdapat di provinsi Papua dengan prevalensi sebesar 10,0% sedangkan yang
terendah terdapat di Bangka Belitung dengan prevalensi sebesar 1,5%. Prevalensi
untuk provinsi Maluku sebesar 6% (19.019 jiwa) dimana, angka ini lebih besar
dari angka prevalensi nasional.
Prevalensi ISPA menurut karakteristik di Provinsi Maluku. Prevalensi
ISPA menurut jenis kelamin di Provinsi Maluku pada laki-laki 5,28% (9.571 jiwa)
dan pada perempuan 5,88% (9.448 jiwa). Prevalensi ISPA menurut umur yang
paling tertinggi ada pada kelompok umur 5-14 tahun 4,45% (4.217 jiwa) dan yang
paling rendah ada pada kelompok umur 75+ tahun (249 jiwa). Prevalensi ISPA
menurut pendidikan yang paling tertinggi ada pada kelompok pendidikan tamat
SMA/MA 4,90 (4.807 jiwa) dan yang paling rendah ada pada kelompok
pendidikan tidak sekolah 3,32 (803 jiwa). Prevalensi ISPA menurut pekerjaan
yang paling tertinggi ada pada kelompok tidak bekerja 5,20 (4.327 jiwa) dan yang
paling rendah ada pada kelompok nelayan 4,60 (310 jiwa). Prevalensi ISPA
menurut tempat tinggal yang paling tertinggi ada pada wilayah pedesaan sebanyak
5,00% (11.081 jiwa) dan yang paling rendah ada pada wilayah perkotaan
sebanyak 6,38% (7.938 jiwa) (Riskesdas 2018).

Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru merupakan puskesmas yang


melayani wilayah kepulauan Aru dengan jumlah penduduk sekitar 7.200 jiwa.
Wilayah ini terdiri dari beberapa pulau yang tersebar dan hanya dapat diakses
melalui transportasi laut. Beberapa faktor lingkungan seperti polusi udara,
kelembaban tinggi, dan ventilasi yang buruk dapat meningkatkan risiko terjadinya
penyakit ISPA pada masyarakat di wilayah ini.
4

Berdasarkan uraian masalah diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan


penelitan dengan judul ”Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA
Pada Wilayah Kerja Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru”.

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah status gizi berhubungan dengan kejadian ISPA pada bayi dan
balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru?
2. Apakah kondisi rumah berhubungan dengan kejadian ISPA pada bayi dan
balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru?
3. Apakah polutan dalam rumah berhubungan dengan kejadian ISPA pada
bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru?

C. Batasan Masalah

Pembatasan suatu masalah digunakan untuk menghindari adanya


penyimpangan maupun pelebaran pokok masalah agar penelitihan tersebut lebih
terarah dan memudahkan dalam pembahasan sehingga tujuan penelitihan akan
tercapai. Beberapa batrasan masalah dalam penelitihan ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini hanya melibatkan bayi dan balita di wilayah kerja
Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru sebagai sampel penelitian.
2. Variabel bebas yang diteliti hanya meliputi status gizi, kondisi
rumah, dan polutan dalam rumah sebagai faktor eksternal yang
mempengaruhi kejadian ISPA pada bayi dan balita.
3. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali
persepsi dan pengalaman responden mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian ISPA pada bayi dan balita.
5

4. Penelitian ini akan mengumpulkan data dari rekam medis


puskesmas dan wawancara dengan orang tua atau wali dari bayi
dan balita.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
a) Untuk mengetahui hubungan antara status gizi dan kejadian ISPA pada
bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru.
b) Untuk mengetahui hubungan antara kondisi rumah dan kejadian ISPA pada
bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru.
c) Untuk mengetahui hubungan antara polutan dalam rumah dan kejadian
ISPA pada bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu
Kepulauan Aru.
d) Untuk memberikan rekomendasi dan saran kepada masyarakat,
pemerintah, dan pihak-pihak terkait dalam upaya pencegahan dan
pengendalian ISPA pada bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas
Galaidubu Kepulauan Aru..

2. Manfaat Teoritis
a) Menambah pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian ISPA pada bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu
Kepulauan Aru.
b) Menambah literatur ilmiah tentang ISPA pada bayi dan balita, khususnya
di wilayah Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru.
c) Menambah pengetahuan tentang metode kualitatif dalam penelitian
kesehatan.

3. Manfaat Praktis
6

a) Memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya orangtua dan


keluarga bayi dan balita, tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian ISPA pada bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Galaidubu
Kepulauan Aru.
b) Memberikan informasi kepada pemerintah dan pihak terkait tentang
upaya-upaya pencegahan dan pengendalian ISPA pada bayi dan balita di
wilayah kerja Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru.
c) Menjadi acuan bagi pihak-pihak terkait dalam mengembangkan program
dan kebijakan kesehatan terkait ISPA pada bayi dan balita di wilayah kerja
Puskesmas Galaidubu Kepulauan Aru.

E. Sistematika Penulisan.

Sistematika penulisan dibuat untuk mempermudah dalam penyusunan


skripsi ini maka perlu ditentukan sistematika penulisan yang baik. Sistematika
penulisannya adalah sebagai berikut :

- BAB I PENDAHULUAN
Bab pendahulu yang menguraikan tentang Latar Belakang Masalah,
perumusan masalah dan pembatasan Masalah, tujuan dan penggunaan
penulisan.
- BAB II KAJIAN PUSTAKA
Uraian teori berisi teori-teori yang berhubungan dengan sub stansi
Masalah yang dibahas, kerangka berpikir dan defenisi operasional.
- BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan metode penelitian yang yang
dilakukan dalam perancangan dan implementasi.

BAB II
7

TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut
1.Defenisi ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA adalah infeksi yang menyeran
g saluran pernapasan, baik saluran atas maupun bawah. Kondisi ini dapat terjadi
pada beberapa organ pernapasan seperti sinus, faring, laring hingga hidung. ISPA
adalah salah satu penyakit menular dan rentan mengenai anak-anak, di mana
imunitas mereka memang masih dalam perkembangan. Selain itu, kondisi ini juga
banyak terjadi pada lansia, yang biasanya telah mengalami penurunan kekebalan
tubuh.

Penyebab ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri, virus dan rakhitis. Agen


bakteri yang menyebabkan infeksi pernapasan akut termasuk streptokokus, stafilo
kokus, pneumokokus, Haemophilus influenzae, Bordetella dan Corynebacterium.
Penyebab virus ISPA antara lain myxovirus, adenovirus, coronavirus, Picornaviru
s, Myxoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (MZ, 2016

Klasifikasi ISPA. Dalam menentukan klasifikasi penyakit dibagi menjadi


dua kelompok, yaitu:

a. Grup untuk anak-anak dari 2 bulan hingga 5 tahun dan grup untuk Umur “2
bulan” (MZ, 2007). satu. Untuk kelompok usia dari 2 bulan hingga 5 tahun,
peringkatnya dibagikan pada: sebuah. Pneumonia berat bila anak batuk dan
disertai gejala sensorik di dada.

b. Pneumonia, bila batuk anak  disertai napas cepat 50 kali per menit atau lebih
pada anak usia 2 bulan sampai <12 bulan atau 40 kali per menit atau lebih banyak
pada anak usia 12 bulan sampai 5 tahun. Tidak ada pneumonia jika anak  batuk
pilek, pernapasan normal, tarikan ke dada tidak terdeteksi  bagian bawah (probing
toraks)

Untuk kelompok umur sampai dengan 2 bulan, pembagiannya menjadi:


8

a. sebuah. Pneumonia berat, jika anak batuk, disertai napas cepat, yang lebih
lebih dari 60 napas per menit, dengan atau tanpa penyempitan dada dan
tanda bahaya.
b. Tidak ada pneumonia ketika bayi pilek, tidak memiliki sesak napas atau
laju pernapasan kurang dari 60 napas per menit; atau Tidak ada gejala
sensorik yang ditemukan.

ISPA merupakan penyakit yang sering disebut sebagai salah satu penyakit
dari 10 penyakit teratas di negara berkembang pada bayi dan anak kecil, termasuk:
Indonesia Episode ISPA didefinisikan sebagai insiden ISPA yang dipaksakan
setelah diagnosis klinis dengan interval minimal 2 hari gratis gejala  penyakit
yang sama. Rata-rata setiap tahun anak balita mendapat 3-6 kali episode ISPA
(DCPP, 2016 ) dan 4 sampai 6 episode (Lanata et al., 2014)  Hingga saat ini ISPA
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia Hal ini tampak dari
hasil Survey Kesehatan Nasional (SURKESNAS) Tahun 2011 yang menunjukkan
bahwa proporsi kematian akibat ISPA masih 2896 artinya bahwa dari 100 balita
yang meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA, dan terutama pada Balita
dimana 80926 kasus kematian ISPA adalah akibat Pneumonia (Depkes, 2016).
Hasil Ekstrapolasi data SKRT 2001 menunjukkan bahwa angka kematian balita
akibat penyakit sistem pernafasan adalah 4,9/1000 4 ,9 / balita , yang berarti ada
sekitar 5 dari 1000 balitayang meninggal setiap tahun akibat pneumonia Atau
berarti ada 140.000 Balita yang meninggal setiap tahunnya akibat Pneumonia,
atau rata-rata 1 anak Balita Indonesia meninggal akibat Pneumonia setiap 5 menit
Begitu besarnya masalah ISPA, sehingga sering disebut sebagai epidemi.

Pandemi ISPA karena  banyak korban yang meninggal karena infeksi


saluran pernapasan akut dan pneumonia, tetapi sangat sedikit perhatian yang
diberikan mengatasi masalah ISPA Hal ini menunjukkan bahwa masih menjadi
masalah di dunia, termasuk di Indonesia. Sayangnya upaya perhatian yang tepat
dan proporsional belum diberikan untuk pencegahan khususnya masyarakat
umum.
9

2. Macam-macam ISPA
Macam-macam ISPA antara lain :
a. Acute Viral Nasopharyngiti
Nasopharyngitis akut (setara dengan “common cold”) disebabkan oleh
sejumlah virus, biasanya rhinoviruses, RSV, adenovirus, virus influenza, atau
virus parainflu. Gejala nasopharyngitis lebih parah pada bayi dan anak-anak jika
dibandingkan pada orang dewasa. Pada umumya demam, terutama pada anak
kecil. Anak yang lebih besar memiliki demam ringan, yang muncul pada waktu
sakit. Pada anak-anak 3 bulan sampai 3 tahun, demam tiba- tiba terjadi dan
berkaitan dengan mudah dan marah, gelisah, nafsu makan menurun dan
penurunan aktivitas. Peradangan hidung dapat menyebabkan sumbatan saluran,
sehingga harus membuka mulut ketika bernafas. Muntah dan diare mungkin juga
bisa muncul.
b. Faringitis Akut
70 persen pharingitis akut disebabkan oleh virus pada anak usia muda.
Infeksi streptokokus jarang terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun, tapi lebih
sering pada yang lebih 5 tahun. Gejala khasnya adalah kemerahan dan
pembengkakan yang ringan pada faring serta pembesaran tonsil. Seringkali
disertai dengan rhinitis, tonsilitis ataupun laringitis. Di negara dengan kondisi
kehidupan dan populasi yang padat, yang mempunyai predisposisi genetik, gejala
sisa setelah infeksi streptokokus seperti demam reumatik akut dan karditis adalah
umum terjadi pada anak pra dan usia sekolah.
c. Acute Streptococcal Pharyngitis
Group A B- hemolytic streptococcus (GABHS) infeksi saluran napas
bagian atas (radang tenggorokan) bukan merupakan penyakit serius, tetapi efek
bagi anak merupakan resiko serius. Acute Rheumatic Fever (ARF) penyakit
radang sendi, dan sistem saraf pusat dan Acute glomerulonephiritis, infeksi akut
ginjal kerusakan permanen dapat dihasilkan dari ini gejala sisa terutama ARF.
d. Otitis Media Akut
Otitis media akut terjadi hingga 30 % pada infeksi saluran nafas akut. Di
negara berkembang yang pelayanan medisnya tidak adekuat, penyakit ini mugkin
10

yang berperan terjadinya perforasi kendang telinga atau ketulian. Infeksi telinga
yang berulang dapat menyebabkan mastoiditis yang pada gilirannya dapat
menyebarkan infeksi ke meningen (selaput otak). Otitis media ini disebabkan oleh
terbuntunya saluran tuba eustachius oleh karena rinitis dan bisa juga karena alergi.
Gejalanya ditandai dengan adanya peradangan lokal, otorrhea, otalgia, demam dan
bisa juga malaise. Oleh karena akumulasi mukus dan cairan sebagai akibat dari
odema pada tuba eustachius, bakteri dapat menginfeksi pula. Yang paling sering
menyerang anak-anak adalah bakteri streptokokus pneumoniae, haemophilus
influenzae, dan moraxella catharralis.
e. Influenza
Influenza atau “flu” disebabkan oleh tiga ortomyxoviruses, dengan
antigenik yang berbeda. Tipe-tipe A dan B yang menyebabkan penyakit epiddemic
dan tipe C yang tidak penting secara epidemiologis. Virus mengalami perubahan
signifikan dari waktu ke waktu. Perubahan utama terjadi pada interval biasanya 5
sampai 10 tahun yang disebut antigenic shift: variasi minor di dalam subtipe yang
sama antigenic drift, terjadi hampir setiap tahun. Karenanya, antigenic drift dapat
mempengaruhi virus, secara memadai yang mengakibatkan kerentanan individu,
ke jenis yang sebelum mereka diimunisasi atau terinfeksi.
f. Sinusitis
Sinusitis adalah infeksi pada mukosa rongga sinus paranasal. Dengan
gejala hidung tersumbat, sekret dari hidung yang kental jernih atau berwarna,
berbau, nyeri tekan pada daerah wajah atau pipi, bisa disertai batuk, demam
tinggi, nyeri kepala dan malaise. Terjadinya bisa akut yang berlangsung kurang
dari 30 hari, sub akut yang berlangsung antara 30 hari sampai dengan 6 minggu,
dan kronis jika berlangsung lebih dari 6 minggu. Penyebab bisa oleh karena
bakteri, virus atau penyebab yang lain, seperti: polip, alergi, infeksi gigi serta
tumor. Bakteri penyebab yang paling sering adalah streptokokus pneumoniae,
haemophilus influenzae, dan moraxella catharralis. Ditularkan lewat kontak
langsung dengan penderita melalui udara. Dan seharusnya dapat dicegah dengan
pemakaian masker serta cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
penderita.
11

g. Laring Akut
Infeksi laring akut adalah penyakit umum pada anak-anak dan remaja.
Bayi dan anak kecil memiliki keterlibatan yang lebih umum. Virus adalah faktor
yang biasa menyebabkan dan keluhan utama adalah suara serak yang disertai
dengan gejala pernapasan atas lainya misalnya, (coryza, sakit tenggorokan, hidung
tersumbat) dan manifestasi sistemik (misalnya, demam, sakit kepala, myalgia).

3. Gejala dan tanda ISPA


Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernafasan dapat berupa batuk,
kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, demam, dan sakit kepala tidak
memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Namun sebagian anak yang menderita
radang paru (pneumonia), bila infeksi ini tidak segera diobati dengan antibiotik
maka akan menyebabkan kematian.15 Gejala-gejala ISPA antara lain:
a. Gejala ISPA Ringan
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala-
gejala sebagai berikut: Batuk, sesak yaitu anak bersuara parau pada waktu
mengeluarkan suara (misalnya pada waktu bicara atau menangis), pilek adalah
mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung, panas atau demam dengan suhu
tubuh lebih dari 37OC atau jika dahi anak diraba dengan punggung tangan terasa
panas.
b. Gejala ISPA Sedang.
Tanda dan gejala ISPA sedang meliputi tanda dan gejala pada ISPA ringan
ditambah satu atau lebih tanda dan gejala seperti pernafasan yang lebih cepat
(lebih dari 50 kali per menit), wheezing (nafas menciutciut), dan panas 390C atau
lebih. Tanda dan gejala lainnya antara lain sakit telinga, keluarnya cairan dari
telinga yang belum lebih dari dua minggu, sakit campak.
c. Gejala ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat gejala sebagai berikut:
bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar)
12

pada waktu bernapas, anak tidak sadar atau kesadarannya menurun, pernapasan
berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah, pernapasan berbunyi menciut dan
anak tampak gelisah, nadi cepat lebih dari 60 kali/menit atau tidak teraba,
tenggorokan berwarna merah.

4. Faktor-faktor yang menyebabkan ISPA


ISPA bisa disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia. Infeksi bakterial
merupakan penyulit ISPA oleh virus terutama bila ada epidemi/ pandemi Bakteri
penyebab ISPA misalnya dari genus Streptococcus, Haemophylus, Stafilococcus,
Pneumococcus, Bordetella, dan Corynebakterium. Virus penyebab ISPA antara
lain grup Mixovirus (virus influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus),
Enterovirus (Coxsackie virus, echovirus), Adenovirus, Rhinovirus, Herpesvirus,
Sitomegalovirus, virus Epstein-Barr. Jamur penyebab ISPA antara lain Aspergillus
sp, Candidia albicans, Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum,
Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans. Selain itu ISPA pada anak
disebabkan kurangnya pengetahuan dan sikap ibu tentang ISPA.

5. Faktor Internal dan Eksternal Penyebab Ispa Pada Bayi dan Balita
a. Faktor Internal:
1) Usia: Anak bayi dan balita memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih
berkembang, sehingga mereka lebih rentan terhadap infeksi.
2) Riwayat penyakit: Anak yang pernah mengalami ISPA atau infeksi saluran
pernapasan lainnya cenderung lebih rentan terhadap ISPA di kemudian
hari.
3) Kondisi medis: Anak yang memiliki kondisi medis tertentu, seperti asma,
alergi, atau kelainan jantung, cenderung lebih rentan terhadap ISPA.
4) Kondisi imunisasi: Anak yang tidak mendapatkan vaksinasi atau imunisasi
yang tepat dan lengkap cenderung lebih rentan terhadap ISPA.

b. Faktor Eksternal:
13

1) Paparan virus dan bakteri: Anak yang terpapar virus dan bakteri penyebab
ISPA, seperti rhinovirus, adenovirus, dan influenza, lebih rentan terhadap
ISPA.
2) Polusi udara: Anak yang tinggal di daerah dengan polusi udara yang tinggi
atau terpapar asap rokok cenderung lebih rentan terhadap ISPA.
3) Iklim: Anak yang tinggal di daerah dengan suhu dan kelembapan udara
yang ekstrem, misalnya daerah yang panas dan lembap atau dingin dan
kering, lebih rentan terhadap ISPA.
4) Kontak dengan orang yang sakit: Anak yang sering berinteraksi dengan
orang yang sakit atau terpapar dengan orang yang terinfeksi ISPA lebih
rentan terhadap ISPA.
5) Kondisi Fisik Rumah ": kondisi rumah yang kurang bersi juga berdampak
pada bayi dan balita gampang terpapar virus yang dapat menyebabkan
ISPA
Faktor-faktor internal dan eksternal tersebut dapat saling berinteraksi dan
meningkatkan risiko anak bayi dan balita terkena ISPA.

6. Klasifikasi ISPA pada Balita


Menurut Program Pemberantasan Penyakit ISPA terdapat 2 golongan
klasifikasi penyakit ISPA yaitu pneumonia dan bukan pneumonia. Berdasarkan
derajat beratnya penyakit, pneumonia itu sendiri dibagi lagi menjadi pneumonia
berat dan pneumonia tidak berat (Saputri,I.W. 2016). Secara lebih jelasnya ISPA
diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok sebagai berikut (Kunoli,F.J. 2013):

a. Untuk kelompok usia 2 bulan sampai < 5 tahun, dibedakan dalam 3


klasifikasi, antara lain:

1. Pneumonia berat, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernafas,
serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest
indrawing).
14

2. Pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernafas, nafas
cepat sebanyak 50 kali atau lebih/menit untuk usia 2 bulan sampai < 1
tahun, 40 kali atau lebih/menit untuk usia 1 sampai < 5 tahun.
3. Bukan pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernafas,
tidak ada nafas cepat serta tidak adanya `tarikan dinding dada bagian
bawah kedalam.

b. Untuk usia < 2 bulan, klasifikasi terdiri dari:

1. Pneumonia berat, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernafas,
nafas cepat 60 kali atau lebih/menit atau tarikan kuat dinding dada bagian
bawah kedalam.
2. Bukan pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernafas,
tidak adanya nafas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah
kedalam.

7. Etiologi ISPA
Penyakit ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, atau protozoa
(Junaidi, 2010). Virus yang termasuk penggolong ISPA adalahrinovirus,
koronavirus, adenovirus, dan koksakievirus, influenza, virus sinsisial pernapasan.
Virus yang mudah ditularkan melalui ludah yang dibatukkan atau dibersinkan oleh
penderita adalah virus influenza, virus sinsisial pernapasan, dan rinovirus (Junaidi,
2010). Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri dan riketsia serta
jamur. Virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk
didalamnya virus influensa, virus para-influensa dan virus campak), adenovirus.
Bakteri penyebab ISPA misalnya streptokokus hemolitikus, stafilokokus,
pneumokokus, hemofilus influenza, Bordetella pertussis, Korinebakterium
diffteria (Depkes, 2004).
15

8. Etiologi ISPA pada balita


Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri,
virus, jamur dan aspirasi. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah Diplococcus
Pneumoniea, Pneumococcus, Strepococus Pyogenes Staphylococcus Aureus,
Haemophilus Influenza, dan lain-lain. Virus penyebab ISPA antara lain adalah
Influenza, Adenovirus, Sitomegagalovirus. Jamur penyebab ISPA antara lain
Aspergilus Sp, Gandida Albicans Histoplasm, dan lain-lain. Penyakit ISPA selain
disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur juga disebabkan oleh aspirasi seperti
makanan, asap kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, cairan amnion pada saat
lahir, benda asing (biji-bijian) mainan plastic kecil, dan lain-lain (Kunoli, 2013).

Terjadinya ISPA tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu kondisi


lingkungan (polutan udara seperti asap rokok dan asap bahan bakar memasak,
kepadatan anggoata keluarga, kondisi ventilasi rumah kelembaban, kebersihan,
musim,suhu), ketersediaan dan efektifitas pelayanan kesehatan serta
langkahlangkah pencegahan infeksi untuk pencegahan penyebaran (vaksin, akses
terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi), factor penjamu
(usia, kebiasaan merokok, kemampuan penjamu menularkan infeksi, status gizi,
infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh pathogen lain,
kondisi kesehatan umum) dan karakteristik pathogen (cara penularan, daya tular,
faktor virulensi misalnya gen, jumlah atau dosis mikroba). Kondisi lingkungan
yang berpotensi menjadi faktor firiko ispa adalah lingkungan yang banyak
tercemar oleh asap kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, asap hasil
pembakaran serta benda asing seperti mainan plastik kecil (Rosana, 2016).

9. Patofisiologi
Terjadinya infeksi antara bakteri dan flora normal di saluran nafas. Infeksi
oleh bakteri, virus dan jamur dapat merubah pola kolonisasi bakteri. Timbul
mekanisme pertahanan pada jalan nafas seperti filtrasi udara, inspirasi dirongga
hidung, refleksi batuk, refleksi epiglottis, pembersihan mukosilier dan fagositosis.
Karena menurunnya daya tahan tubuh penderita maka bakteri pathogen dapat
16

melewati mekanisme system pertahanan tersebut, akibatnya terjadi invasi


didaerah-daerah saluran pernapasan atas maupun bawah.

Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar,
bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernapasan, oleh karena itu, maka
penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara
dimagsudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita
maupun dengan benda terkontaminasi.Sebagian besar penularan melalui udara
dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang
sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang mengandung
unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab (Masriadi,2017).

10. Cara perawatan balita dengan masalah ISPA


Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasianaknya
yang menderita ISPA, adalah:

a. Mengatasi panas (Demam)


Demam diatasi dengan memberikan obat penurun panas golongan parasetamol
b. Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi dan memperbanyak jumlahnya setelah
sembuh
c. Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih) lebih banyak dari biasanya. Pemberian
ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.
d. Berikan kenyamanan pada anak
Bila anak tersumbat hidungnya oleh ingus maka bersihkanlah hidung yang
tersumbat tersebut agar anak dapat bernapas dengan lancar. Suruhlah anak
beristirahat/berbaring di tempat tidur, pertahankan suhu tubuh.
e. Perhatikan apakah ada tanda-tanda bahaya ISPA ringan/ ISPA berat yang
memerlukan bantuan khusus petugas kesehatan.
17

11. Pencegahan penyakit ISPA


Penyelenggaraan Program P2 ISPA dititikberatkan pada penemuan dan
pengobatan penderita sedini mungkin dengan melibatkan peran serta aktif
masyarakat terutama kader, dengan dukungan pelayanan kesehatan dan rujukan
secara terpadu disarana kesehatan yang terkait.

a. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)


Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor risiko dapat dianggap
sebagai strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden) pneumonia. Strategi
tersebutadalah:
1. Penyuluhan,dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini
diharapkan dapat mengubah sikap dan prilaku masyarakat terhadap
hal-hal yang dapat meningkatkan faktor risiko penyebab ISPA,
penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan
anak, penyuluhan kesehatan lingkungan, penyuluhan bahaya
rokok.
2. Imunisasi yang merupakan strategi spesifik untuk dapat
mengurangi angka
3. kesakitan (insiden) pneumonia
4. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, devisiensi
vitamin A.
5. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan
lahir rendah.
6. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang
menangani masalah polusi di dalam maupun di luar rumah.

b. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)


1) Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini
mungkin. Upaya pengobatan yang di lakukan dibedakan atas klasifikasi ISPA
yaitu: Kelompok umur < 2 bulan, pengobatannya meliputi:
18

a) Pneumonia berat: rawat di rumah sakit, beri oksigen (jika anak mengalami
sianosi sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada yang
hebat), terapi antibiotik dengan memberikan benzil penisilin dan
gentamisin atau kanamisin.
b) Bukan Pneumonia: terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, nasehatiibu
untuk menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI secara sering, dan
bersihkan sumbatan pada hidung jika sumbatan itu mengganggu saat
memberi makan.

2) Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, pengobatannya meliputi:


a) Pneumonia sangat berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi
antibiotik dengan memberikan kloramfenikol secara intramuskuler setiap 6
jam. Apabila pada anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari),
pemberiannya diubah menjadi kloramfenikol oral, obati demam, obati
mengi, perawatan suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai
ulang dua kali sehari.
b) Pneumonia berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotic
dengan memberikan benzil penesilin secara intramuscular setiap 6 jam
paling sedikit selama 3 hari, obati demam, obati mengi, perawatan
suportif, hati-hati pada pemberian terapi cairan, nilai ulang setiap hari.
c) Pneumonia: diobati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan
kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain
intramuscular per hari, nasehati ibu untuk memberikan perawatan di
rumah, obati demam, obati mengi, nilai ulang setelah 2 hariBukan
pneumonia (batuk atau pilek): obati di ruma, terapi antibiotik sebaiknya
tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati demam,
nasehati ibu untuk memberikan perawatan di rumah.

c. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)


Tingkat pencegahan ketiga ditujukan kepada balita penderita ISPAagar
tidk bertambah parah dan mengakibatkan kematian.
19

1) Pneumonia sangat berat: jika anak semakin memburuk setelah


pemberian kloram fenikol selama 48 jam, periksa adanya
komplikasi dan ganti dengan kloksasilin ditambah gentamisin jika
diduga suatu pneumonia stafilokokus.
2) Pneumonia berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian
benzil penisilin dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah
pemberian benzil penisilin kemudian periksa adanya komplikasi
dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak masih menunjukkan
tanda pneumonia setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka cari
penyebab pneumonia persistensi.
3) Pneumonia: coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan
periksa adanya tanda perbaikan (pernapasan lebih lambat, demam
berkurang, nafsu makan membaik). Nilai kembali dan kemudian
putuskan jika anak dapat minum, terdapat, terdapat penarikan
dinding dada atau tanda penyakit sangat berat maka lakukan
kegiatan ini yaitu rawat, obati sebagai pneumonia berat atau
pneumonia sangat berat. Jika anak tidak membaik sama sekali
tetapi tidak terdapat tanda pneumonia berat atau tanda lain penyakit
sangat berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.

B.Tinjauan Umum Variabel Penelitian


1. Rumah Sehat
a. Pengertian Rumah Sehat
Rumah adalah tempat tujuan akhir dari manusia, rumah menjadi tempat
berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan sekitar, menyatukan sebuah
keluarga, meningkatkan tumbuh kembang kehidupan setiap manusia, dan menjadi
bagian dari gaya hidup manusia. Kesehatan adalah faktor utama bentuk dan
arsitektur dari sebuah rumah. Penilaian terhadap rumah sebagai tujuan akhir dari
manusia ini sangat dipengaruhi oleh kesehatan. Ini disebabkan rumah sehat tentu
akan mendukung tercapainya tujuan akhir tersebut. Didalam rumah sehat terdapat
20

penghuni yang sehat. Rumah sehat akan meningkatkan kualitas fisik maupun
psikologis penghuninya (Rosana,E.N. 2016).

Menurut Persyaratan Penyehatan Rumah yang tertera Keputusan Menteri


Kesehatan RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 menjelaskan:

1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunia
n dan sarana pembinaan keluarga.
2. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang di lengkapi dengan sarana dan
prasarana lingkungan.
3. Kesehatan perumahan adalah kondisi fisik, kimia dan biologi di dalam
umah, dilingkungan rumah dan perumahan sehingga memungkinkan
penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
4. Prasarana kesehatan lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkunga
n yang memungkinkan lingkungan pemukiman dapat berfungsi sebagaima
na mestinya.
5. Sarana kesehatan lingkungan adalah fasilitas penunjang yang berfungsi
untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomis, sosial
dan budaya.

Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat


tinggalyang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat
penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Rumah sehat adalah bangunan tempat
berlindung dan beristirahat yang menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik,
mental dan social sehingga seluruh anggota keluarga dapat memperoleh derajat
kesehatan yang optimal (Hutabarat,Y.D. 2017).

Rumah sehat juga merupakan suatu tempat untuk tinggal permanen yang
berfungsi sebagai tempat perlindungan dari pengaruh lingkungan yang memenuhi
21

syarat fisiologis, psikologis, dan bebas dari penularan penyakit (Aprina,S.R.


2017). Syarat-syarat Rumah Sehat, antara lain:

1. Memenuhi kebutuhan Fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan


(ventilasi), ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan/suara yang
mengganggu.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain cukup nyaman dan aman bagi
masing-masing penghuni rumah, privasi yang cukup, komunikasi yang
sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah, lingkungan tempat
tinggal yang memiliki tingkat ekonomi yang relatif sama.
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni
rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan air limbah
rumah tangga, bebas vector penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang
berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan
minuman daripencemaran.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang
timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah. Termasuk dalam
persyaratan ini antara lain bangunan yang kokoh, terhindar dari bahaya
kebakaran, tidak menyebabkan keracunan gas, terlindung dari kecelakaan
lalu lintas, dan lain sebagainya.

Komponen yang harus dimiliki rumah sehat adalah:


1. Fondasi yang kuat untuk meneruskan beban bangunan ke tanah
dasar memberi kestabilan bangunan merupakan konstruksi
penghubung antara bangunan dengan tanah.

2. Lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari


perkarangandan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air, untuk
rumah panggung dapatterbuat dari papan atau anyaman bambu.
3. Memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan
masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10% luas lantai.
22

4. Dinding rumah kedap air yang berfungsi sebagai mendukung atau


menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari
panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan penghuninya.

Persyaratan kesehatan perumahan adalah ketetapan atau ketentuan teknis


kesehatan yang wajib di penuhi dalam rangka melindungi penghuni dalam rangka
melindungi penghuni rumah, masyarakat yang bermukim di perumahan dan atau
masyarakat sekitarnya dari bahaya atau gangguan.

Parameter yang dipergunakan untuk menentukan rumah sehat adalah


sebagaimana yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
829/Menkes/SK/VII/199 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan meliputi 3
lingkup kelompok komponen penilaian, yaitu:

1. Kelompok komponen rumah, meliputi langit-langit, dinding,


lantai,ventilasi, sarana pembuangan asap dapur dan pencahayaan.
2. Kelompok sarana sanitasi, meliputi sarana air bersih, pembuangan
kotoran,
3. pembuangan air limbah, sarana tempat pembuangan sampah.
4. Kelompok prilaku penghuni, meliputi membuka jendela ruangan
dirumah,
5. membersihkan rumah dan halaman, membuang tinja ke jamban,
membuang sampah pada tempat sampah.

2. Kondisi Fisik Rumah


a. Ventilasi
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran
udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah atau mekanis. Tersedianya
udara segar dalam rumah atau ruangan amat dibutuhkanmanusia, sehingga apabila
suatu ruangan tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik dan over crowded
23

maka akan menimbulkan keadaan yang dapat merugikan kesehatan (Rosana,E.N.


2016).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829 tahun 1999 tentang


kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas penghawaan atau ventilasi alamiah
yang permanen minimal 10% dari luas lantai, dengan adanya ventilasi yang baik
maka udara segar dapat dengan mudah masuk ke dalam ruangan sehingga
kejadian ISPA akan semakin berkurang.

Pencahayaan harus cukup baik waktu siang maupun malam hari. Pada
malam hari pencahayaan yang ideal adalah penerangan listrik. Pada waktu pagi
hari diharapkan semua ruangan mendapatkan sinar matahari. Pengaruh buruk
berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya kadar
gas karbondioksida, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan
kelembapan udara ruangan bertambah.

b. Lantai
Lantai yang baik harus selalu kering, tinggi lantai harus disesuaikan dengan
kondisi setempat, lantai harus lebih tinggi dari muka tanah. Syarat yang penting
adalah tidak berdebu pada musim kamarau dan tidak basah pada musim hujan,
sehingga dapat mencegah terjadinya penularan penyakit terhadap penghuninya
(Aprina,S.R. 2017).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999


tentang persyaratan kesehatan perumahan, komponen dan penataan ruangan
rumah sehat dimana lantai dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai
harus kedap air, mudah di bersihkan dan tidak rawan kecelakaan. Keadaan lantai
perlu diplester dan akan lebih baik apabila dilapisi ubin atau keramik yang mudah
dibersihkan. Jenis lantai yang terbuat dari tanah saat musim hujan akan lembab
sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap penghuninya dan merupakan
tempat yang baik untuk berkembangbiaknya kuman penyakit, termasuk bakteri
24

penyebab ISPA. Lantai juga harus sering dibersihkan karena lantai yang basah dan
berdebu menimbulkan sarang penyakit.

d. Kelembaban
Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikroorganisme. Faktor resiko yang dapat menyebabkan
kelembaban berubah-ubah adalah kontruksi rumah yang tidak baik seperti atap
yang bocor, lantai dan dinding rumah yang tidak kedap air, serta kurangnya
pencahayaan baik buatan maupun alami (Rosana,E.N. 2016).

Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di dalam rumah menurut


Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829 /Menkes/SK/VII/1999 adalah berkisar
antara 40% hingga 70%. Kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat dapat
menjadi sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme sehingga kuman
pathogen dapat tumbuh dan berkembang terutama pada daerah yang tingkat
kelembaban yang tinggi.

e. Pencahayaan
Cahaya matahari sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama bagi
kesehatan. Selain itu, untuk penerangan cahaya matahari juga dapat mengurangi
kelembaban ruang, mengusir nyamuk, membunuh kuman penyakit tertentu seperti
ISPA, TBC, Influenza, penyakit mata dan lain-lain. Agar dapat memperoleh
cahaya yang cukup, setiap ruang harus memiliki lubang cahaya yang memungkink
an masuknya sinar matahari ke dalam ruangan baik secara lansung maupun tidak
langsung. Sedikitnya setiap rumah harus mempunyai lubang cahaya yang dapat
berhubungan langsung dengan cahaya matahari, minimal 10% dari luas lantai
rumah.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999


tentang persyaratan kesehatan perumahan, pencahayaan alami dianggap baik jika
25

besarnya minimal 60 lux. Pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun
tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan
minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

f. Kepadatan Hunian Rumah


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829 tahun 1999 tentang
persyaratan kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal
8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang, kecuali anak dibawah
umur 5 tahun. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuniny
a akan mempunyai dampak kurangnya oksigen di dalam ruangan sehingga daya
tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernapa
san seperti ISPA.

Kepadatan hunian yang tinggi akan memperburuk sirkulasi udara. Hal ini
akan mengakibatkan penyakit saluran pernapasan terkhususnya yang disebabkan
oleh virus akan lebih cepat menyerang anggota keluarga. Semakin tinggi
kepadatan hunian suatu rumah maka semakin mudah penularan penyakit yang
disebabkan oleh pencemaran udara pada balita seperti gangguan pernapasan atau
ISPA (Fatimah,L. 2017).

g. Suhu
Suhu dalam ruang rumah yang terlalu rendah dapat menyebabkan
gangguan kesehatan hingga hypothermia, sedangkan suhu yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan dehidrasi sampai dengan heat stroke. Perubahan suhu udara
dalam rumah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain penggunaan bahan
bakar biomassa, ventilasi yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian, bahan
dan struktur bangunan, kondisi geografis dan kondisi topografi.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829 tahun 1999 tentang


persyaratan kesehatan perumahan, suhu udara yang ideal dan nyaman adalah
berkisar antara 180C – 300C. Jika suhu udara diatas 300C diturunkan dengan cara
26

meningkatkan sirkulasi udara dengan menambah ventilasi, dan apabila suhu


kurang dari 180C maka perlu memerlukan pemanas ruangan dengan
menggunakan sumber energy yang aman bagi lingkungan dan kesehatan. Suhu
ruangan sangat di pengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara, kelembaban
udara, suhu benda-benda yang ada di sekitar.

3. Status Gizi
Menurut Nuryanto (2012) status gizi masyarakat biasanya digambarkan dengan
masalah gizi yang dialami oleh golongan masyarakat rawan gizi. Kurang Energi
Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia, disamping kurang
vitamin A, anemia, gizidan gangguan akibat kekurangan iodium. Status gizi balita
dipengaruhi oleh pola asuh anak yang tidak memadai karena kurangnya
pengetahuan, ketrampilan ibu mengenai gizi serta imunisasi dan pelayanan
kesehatan dasar yang tidak memadai. Balita dengan keadaan gizi buruk dan gizi
kurang (malnutrisi) lebih mudah terkena infeksi dibandingkan dengan balita
dengan gizi baik, hal ini disebabkan kurangnya daya tahan tubuh balita. Anak
balita dengan status gizi kurang mempunyai risiko menderita pneumonia 3,3 kali
dibandingkan dengan balita dengan status gizi baik (Nuryanto, 2012).

Status gizi balita sampai dengan tingkat malnutrisi dapat diukur menurut
berbagai pendekatan, salah satunya adalah pendekatanantropometri. Untuk bayi
dan anak-anak dapat dipakai salah satu dari empat macam indikator antropometri,
yaitu berat badan menurut umur (weight-for-age), tinggi badan menurut umur
(height- for- age), berat badan menurut tinggi badan (weight for height), dan
lingkar lengan atas (mid upper arm circumference). Masing-masing indikator itu
memberikan penjelasan tentang status gizi bayi dan anak-anak. Indikator protein
energy malnutrition (PEM) yang paling sering dipakai adalah berat badan menurut
umur.

Nilai rendah angka indikator berat badan menurut umur (WAZ)


mencerminkan terjadinya adaptasi anak terhadap gangguan gizi jangka panjang
27

dan jangka pendek (Nuryanto, 2012). Sedangkan standar baku yang digunakan
dalam penentuan status gizi anak balita pada KMS, berdasarkan hasil kesepakatan
diskusi yang diselenggarakan oleh Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI),
bekerjasama dengan UNICEF Indonesia dan LIPI, yaitu (Depkes RI, 2012):

a. Gizi baik, bila ada kenaikan berat badan dengan bertambahnya umur
balita, angka/nilai berat badan dan umur balita di dalam kurva hijau pada
KMS.
b. Gizi buruk, bila tidak ada kenaikan berat badan dengan bertambahnya
umur balita, angka/nilai berat badan dan umur balita diluar kurva hijau
pada KMS.

4. Sumber Polutan Dalam Rumah


Kualitas udara dipengaruhi oleh adanya bahan polutan di udara
(Lindawaty, 2010). Polutan di dalam rumah kadarnya berbeda dengan bahan
polutan di luar rumah. Peningkatan bahan polutan di dalam ruangan dapat pula
berasal dari sumber polutan di dalam rumah seperti asap rokok, asap dapur dan
pemakaian obat nyamuk. Faktor lingkungan tingkat rumah tangga yang berkaitan
dengan pencemaran udara di rumah tangga ialah:1) Kepadatan dalam rumah, 2)
Merokok, 3) Jenis bahan bakar, 4) Ventilasi rumah, 5) Kelembaban dalam rumah,
6) Debu rumah (Susilo, 2011). Kualitas udara pemukiman meliputi udara dalam
rumah dan udara di sekitar pemukiman. Di dalam rumah kualitas udara berkaitan
dengan ventilasi dan kegiatan penghuni di dalamnya. Dengan bertambahnya
jumlah penduduk di pemukiman perkotaan, menyebabkan tingginya kepadatan
bangunan sehingga sulit untuk membuat ventilasi (Susilo, 2011). Sumber polutan
dalam rumah di antaranya yaitu:

1) Racun Nyamuk Bakar


Pengendalian dan pemberantasan nyamuk dalam rumah sebagian keluarga
menggunakan bahan insektisida berupa obat nyamuk semprot dan obat nyamuk
28

bakar. Obat nyamuk bakar biasanya digunakan untuk mengendalikan nyamuk dari
dalam rumah tetapi disisi lain asap obat nyamuk dapat menjadi sumber
pencemaran udara dalam rumah, yang sangat membahayakan kesehatan yaitu
gangguan saluran pernapasan karena obat nyamuk jika dibakar mengandung
bahan SO2 (sebutan dari bahan berbahaya (octachloroprophyl ether) dapat
mengeluarkan bischlorometyl ether atau BCME yang walaupun dalam kondisi
rendah dapat menyebabkan batuk, iritasi hidung, tenggorokan bengkak dan
perdarahan (Depkes R.I, 2012).

Beberapa studi yang dilakukan pada anak-anak di Malaysia terdapat


peningkatan prevalensi ISPA pada rumah yang menggunakan obat nyamuk bakar.
Hal ini sejalan dengan penelitian Pascawati (2011) menyatakan kejadian ISPA
pada balita sebesar 1,85 kali dibandingkan dengan rumah yang tidak
menggunakan obat nyamuk bakar.

2) Asap Rokok
Sumber asap rokok di dalam ruangan lebih membahayakan daripada di
luar ruangan karena sebagian besar orang menghabiskan 60%- 90% waktunya
selama satu hari penuh (24 jam) di dalam ruangan.Asap rokok yang dikeluarkan
seorang perokok umumnya mengandung zat-zat yang berbahaya antara lain tar
yang mengandung bahan kimia beracun dapat merusak sel paru- paru dan
menyebabkan sakit kanker, karbon monoksida (CO) sebagai gas beracun yang
mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen, nikotin
merupakanzat kimia perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah
serta membuat pemakai nikotin kecanduan (Milo, 2015).

Semua studi mengenai polusi udara dalam ruang oleh asap rokok
menunjukkan bahwa asap rokok merupakan bahaya utama terhadap kesehatan.
Campuran asap tersebut lebih dari 4000 jenis senyawa, banyak diantaranya telah
terbukti bersifat racun atau menimbulkan kanker pada manusia dan sebagian besar
29

adalah bahan iritan yang kuat. Sebanyak 43 zat karsinogen telah diidentifikasi,
termasuk diantaranya: nitrosamines, benza pyrene, cadmium, nikel dan zinc.
Karbonmonoksida, nitrogen oksida dan partikulat juga merupakan beberapa
diantara bahan-bahan beracun yang terkandung dalam rokok (Milo, 2015).

Laporan penelitian menunjukkan bahwa orang yang merokokdan orang


yang tinggal dengannya akan menerima pajanan yang lebih besar dari ultrafine
partikel dan komponen environment tobacco smokes lainnya dibandingkan orang
yang bukan perokok, oleh karena itu hal inidapat merupakan faktor resiko dari
timbulnya gejala-gejala gangguan pernapasan dan penyakit pernapasan pada anak-
anak, terutama anak-anak kecil serta orang tua perokok berhubungan dengan
terjadinya penurunan fungsi paru-paru pada anak-anak dan kerusakan paru-paru
yang tidak dapat diobati (Milo, 2015).

3) Jenis Bahan Bakar Memasak


Penggunaan bahan bakar dalam rumah tangga untuk beberapa keperluan
seperti memasak dan penerangan biasanya dapat memberi pengaruh terhadap
kualitas kesehatan lingkungan rumah. Pemakaian bahan bakar tradisional seperti
kayu bakar, arang dan lainnya serta bahan minyak tanah, sering menghasilkan
pembakaran kurang sempurna sehingga banyak menimbulkan sisa pembakaran
yang dapat mempengaruhi kesehatan (Rosdiana, 2015).

Apabila penghawaan rumah tidak baik dan tidak ada lubang asap di dapur
untuk mengeluarkan asap dan partikel-partikel debu dari dapur, maka asap akan
memenuhi ruangan dan menyebabkan sirkulasi udara di dalam ruangan tidak baik.
Apalagi ibu-ibu sering masak sambil menggendong anaknya, asap akan
memperparah penderita sakit pernapasan terutama pada balita dan lansia. Sedapat
mungkin menggunakan bahan bakar yang tidak menimbulkan pencemaran udara
indoor atau sisa pembakarannya dapat disalurkan ke luar rumah. Kejadian ISPA
4,312 kali lebih berisiko pada balita yang di rumahnya menggunakan bahan bakar
memasak seperti kayu bakar/arang/sejenisnya dibandingkan dengan balita yang di
30

rumahnya menggunakan bahan bakar memasak gas/minyak tanah


(Rosdiana,2015).

C. Penelitian Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Sambominanga (2014) di Puskesmas
Ranotana Weru kota Manado yang bertujuan untuk untuk megidentifikasi
pemberian imunisasi dasar lengkap dan kejadian ISPA serta untuk menganalisis
hubungan antara imunisasi dasar lengkap dengan kejadian ISPA. Sampel pada
penelitian ini berjumlah 56 responden yang didapat menggunakan teknik quota
sampling. Desain penelitian yang digunakan adalah desain Cross Sectional dan
data dikumpulkan dari responden menggunakan lembar observasi. Berbeda
dengan hasil penelitian yang lain sebelumnya, hasil penelitian ini menunjukkan
tidak terdapat hubungan antara pemberian imunisasi dasar lengkap dengan
kejadian ISPA berulang pada balita. sehingga peneliti merekomendasikan untuk
peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti mengenai faktor-faktor lain seperti
status gizi, lingkungan serta imunisasi Hib yang dapat menyebabkan penyakit
ISPA

Selanjutnya dalam penelitian yang berbeda Abdi Putra (2014) melakukan


penelitian di Puskesmas Pariaman Kelurahan Pauh barat kota Pariaman. Bertujuan
untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan rumah dan status imunisasi dengan
kejadian ISPA pada balita di Puskesmas tersebut. Penelitian ini menggunakan
metode observasional analitik dan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel 45
orang dari 82 Ibu yang memiliki balita. Dengan teknik simple random sampling.
Pengumpulan data dilakukan secara langsung terhadap responden dengan
wawancara, lembar observasi dengan indikator luas ventilasi rumah dan
kepadatan hunian dengan luas lantai. Hasil analisis univariat didapatkan (66.7%)
kondisi ventilasi responden yang tidak memenuhi syarat, (82.2%) kepadatan
hunian kamar balita yang padat, (57.8%) status imunisasi balita yang tidak
lengkap, dan (55.6%) balita mengalami ISPA. Hasil analisis bivariat didapatkan
ada hubungan antara faktor lingkungan rumah luas ventilasi (p = 0.002),
31

kepadatan hunian kamar (p = 0.001), status imunisasi (p = 0.002) dengan kejadian


ISPA pada balita di Puskesmas Pariaman Kelurahan Pauh Barat Tahun 2014.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara faktor
lingkungan rumah dan status imunisasi dengan kejadian ISPA. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukkan bagi profesi keperawatan
dan tenaga kesehatan dalam memberikan promosi kesehatan terkait tentang
kejadian ISPA sehingga kejadian ISPA dapat diturunkan

Penelitian lainnya dilakukan oleh Fransiska tentang hubungan antara status


gizi, status imunisasi dan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian penyakit ISPA
pada balita di Puskesmas Batipuh I kabupaten Tanah Datar dilakukan pada tahun
2014. Dimana tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui hubungan
antara status gizi, status imunisasi dan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
ISPA pada balita. Penelitian yang dilakukan oleh Fransiska merupakan penelitian
observasional yang menggunakan pendekatan analitik dengan desain cross
sectional study. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April s/d September
2014 di wilayah kerja Puskesmas Batipuh I Kecamatan Batipuh Kabupaten
Tanah Datar tahun 2014. Populasi dan Sampel dalam penelitian ini adalah
sebanyak 95 sampel ibu yang mempunyai anak balita (umur 12-59 bulan) yang
memenuhi kriteria inklusi dan terpilih sebagai sampel. Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan multistage sampling yaitu
pengambilan sampel berdasarkan tingkat wilayah secara bertahap. Pengolahan
data dilakukan secara manual dan komputerisasi. Data dianalisis secara univariat
terhadap masing-masing variabel yang diteliti dengan tabel distribusi frekuensi
dan analisis bivariat untuk melihat hubungan antara variabel independen dan
dependen. Dari hasil analisis data disimpulkan bahwa status gizi balita tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA (dimana nilai p =0,22 <
0,05). Balita yang status imunisasinya tidak lengkap mempunyai peluang 6.6 kali
untuk menderita ISPA dibanding dengan anak balita yang status imunisasinya
lengkap. Ada perbedaan proporsi kejadian ISPA (ada hubungan yang signifikan)
32

antara anak balita yang diberikan ASI eksklusif dengan yang tidak diberikan ASI
eksklusif (p<0.05).

D. Kerangka Konsep

Faktor Internal

Status Gizi

Infeksi Saluran
Factor Agen
Pernapasan Akut
Bakteri dan Virus (ISPA)

Faktor Eksternal

Kondisi fisik
Rumah
Dan polutan
dalalam rumah

Penjelasan Kerangka Konsep:


1. Faktor Eksternal: faktor-faktor dari luar tubuh, termasuk kondisi fisik
rumah,kondisi lingkungan seperti kualitas udara, suhu, kelembapan, dan
paparan asap rokok.
2. Faktor Internal: faktor-faktor dari dalam tubuh, termasuk status kesehatan
seperti kekebalan tubuh, usia, dan status gizi.
3. Faktor Agen: penyebab utama ISPA, termasuk bakteri dan virus yang
dapat menyebar melalui udara atau kontak dengan orang yang sudah
terinfeksi.
4. Terpapar Penyakit ISPA: hasil dari interaksi antara faktor-faktor eksternal,
internal, dan agen yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit ISPA.
33

faktor yang diteliti adalah factor internal status gizi dan factor eksternal
kondisi rumah dan kuatilatas udarah . Peneliti peneliti menggunakan status gizi,
kondisi rumah dan kualitas udarah sebagai variabel bebasnya sedangkan ISPA
sebagai variabel terikatnya.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian deskriptif kualitatif,


Menurut Arikunto (2005:234) mengatakan bahwa penelitian deskriptif kualitatif
merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi
34

mengenai status gejala yang ada, yaitu keadaan gejala yang dikumpulkan di
lapangan menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan.

B. Pengelolaan Peran Sebagai Peniliti


Bagian ini perlu disebutkan bahwa peneliti bertindak sebagai instrumen
sekaligus pengumpul data. Instrumen selain manusia dapat pula digunakan, tetapi
fungsinya terbatas sebagai pendukung tugas peneliti sebagai instrumen. Oleh
karena itu, kehadiran peneliti di lapangan untuk penelitian kualitatif mutlak
diperlukan. Kehadiran peneliti ini harus dilukiskan secara eksplisit dalam laopran
penelitian. Perlu dijelaskan apakah peran peneliti sebagai partisipan penuh,
pengamat partisipan, atau pengamat penuh. Di samping itu perlu disebutkan
apakah kehadiran peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti oleh subjek atau
informan.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian


1) Lokasi penelitian ini bertempat Di Puskesmas galaidubu Kepulauan
Aru
2) Waktu penelitian akan di sesuaikan dengan surat yang dikeluarkan dari
universitas / fakultas terkait dan sebagai suatu bentuk pengesahan
dimulainya penelitian ini.

D. Sumber Data
sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dimana data diperoleh.
Sumber data yang dimaksud bisa berupa sumber data utama berupa kata-kata
(penjelasan) atau tindakan dari orang yang diamati, maupun sumber data lainnya
yang diperoleh dari catatan yang mampu memberikan informasi mengenai
penelitian.Sumber data utama penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan,
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumentasi dan lain-lain. Secara garis
besar sumber data pada penelitian ini terbagi kedalam kelompok sumber data
primer dan sumber data sekunder:
1. Data Sekunder.
35

Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan dengan
cepat sumber data tambahan yang didapat atau diperoleh dengan cara tidak
langsung. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari sumber tertulis yang dipakai
dalam penelitian ini meliputi arsip, dokumen-dokumen, catatan dan laporan rutin
bisnis thrifing.

2. Data primer
Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data. Dalam hal ini data diperoleh melalui wawancara dan
pengamatan langsung oleh peneliti, ada dua data primer yang digunakan.

E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian dalam penelitian kualitatif terbagi atas dua yaitu
peneliti sebagai instrument (human instrument), dan buku catatan, tape
recorder, kamera, handy cam, dan lain-lain.

F. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data


1.) Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dipakai untuk
melakukan pengamatan langsung dilapangan dan menghimpun atau
mengetahui masalah.
b. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dimana penulis
melakukan wawancara secara langsung dan fokus pada kondisi
lapangan.
c. library, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk
mendapatkan berbagai teori yang relevan untuk mengkaji masalah
penelitian.
d. Studi Dokumen, Peneliti dapat mengumpulkan data melalui dokumen
seperti catatan medis anak-anak yang telah didiagnosis dengan ISPA,
36

laporan pemeriksaan lingkungan dan data lain yang relevan untuk


faktor-faktor risiko ISPA pada bayi dan balita.

2.) Prosedur Pengumpulan Data


Dalam pengumpuan data dijelaskan tentang sejauh mana bukti nyata
lapangan disajikan apakah dengan catatan lapangan, rekaman audio atau video,
sejauh mana wawancara dan observasi dilakukan secara sistematis dan terstruktur.
Hal penting yang juga harus ada dalam bagian ini ialah tentang cara-cara untuk
memastikan keabsahan data dengan triangulasi dan waktu yang diperlukan dalam
pengumpulan data.

G. Pengolahan dan Analisis Data


Analisis data dalam sebuah penelitian termasuk bagian yang sangat
penting, sebab dengan analisis inilah data yang ada akan tampak manfaatnya
terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir dalam
penelitian. analisis data merupakan proses mencari dan menata data dari hasil
wawancara, angket, dan dokumentasi secara sistematis untuk meningkatkan
pemahaman peneliti atas kasus yang diteliti, sehingga mampu mencapai
kesimpulan yang mudah dipahami oleh diri sendiri maupun bagi orang lain.

Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, langkah berikutnya yang harus


dilakukan adalah tahap analisis data, yaitu tahap pemanfaatan data sedemikian
rupa, sehingga dapat menyimpulkan kebenaran yang dapat digunakan dalam
menjawab pokok permasalahan. Dalam hal ini, peneliti menganalisis data di
lapangan dengan model Miles and Huberman (1992), yakni aktivitas analisis data
kualitatif dilakukan dengan tiga langkah pengolahan data, yakni reduksi data (data
reduction), penyajian data (data display), juga melakukan sebuah penarikan
kesimpulan (verification)

1. Reduksi Data.
37

Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,


memfokuskan pada hal-hal yang penting dicari tema dan polanya dan membuang
yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan
gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan
pengumpulan data. Data yang dipilih-pilih adalah data dari hasil pengumpulan
data lewat wawancara, observasi, dan dokumentasi.Seperti data hasil observasi
peran pengasuh dalam membina dan membentuk karakter anak panti
asuhan.Semua data itu dipilih sesuai permasalahan yang digali oleh penulis. Data
wawancara di lapangan juga dipilih terkait dengan masalah penelitian seperti hasil
wawancara mengenai peran pengasuh di panti asuhan dalam membina dan
membentuk karakter anak .

2. Display Data atau Penyajian Data.


Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian
data.Penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. (Miles &
Huberman,1992). Data yang semakin bertumpuk – tumpuk itu kurang dapat
memberikan gambaran secara menyeluruh. Oleh sebab itu diperlukan display data.
Display data ialah cara menyajikan data dalam bentuk matrik, network, chart, atau
grafik dan sebagainya. (Usman & Akbar,2000). Data yang penulis sajikan adalah
data hasil pengumpulan reduksi data, kemudian penulis narasikan dalam bentuk
teks.Dari hasil pemilihan data, yang disajikan yaitu seperti informasi berupa peran
pengasuh dalam membina dan membentuk karakter anak panti asuhan.

3. Penarikan kesimpulan/verifikasi.
Penarikan kesimpulan dalam pandangan Miles dan Huberman, hanyalah
sebagian dari suatu kegiatan konfigurasi yang utuh.Kesimpulan-kesimpulan juga
diverifikasi selama penelitian berlangsung.Sejak semula peneliti berusaha mencari
makna dari data yang diperolehnya.Untuk maksud itu, peneliti berusaha mencari
pola, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis,
dan sebagainya. Verifikasi dapat dilakukan dengan singkat yaitu dengan cara
38

mengumpulkan data baru. Singkatnya makna-makna yang muncul dari data harus
diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan
validitasnya.Jika tidak demikian, yang kita miliki adalah sesuatu yang menarik
mengenai sesuatu yang terjadi yang tidak jelas kebenarannya dan kegunaannya.
(Miles& Huberman,1992).

Tabel 2 : Analisis Data

PENGUMPULAN DATA PENYAJIAN DATA

PENARIKAN KESIMPULAN
REDUKSI DATA

Daftar Pustaka

Budiarto, Eko. 2010. Pengantar epidemiologi.jakarta: penerbit buku kedokteran


egc
39

Bustan MN, 2002. Pengantar epidemiologi, Jakarta, rineka cipta


Cindi Astuti. 2017. Hubungan Perilaku Keluarga;Fakultas Ilmu Kesehatan UMP
CDC, 2010, Principles of Epidemiology in Public Health Practice Atlanta
Depkes RI. (2009). Pedoman Program Pemberantas Penyakit Ispa. Jakarta: Untuk
Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Depkes. R.I. Jakarta.
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo 2012. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.
Riyadina, W. (2005). Pengaruh Paparan Rokok Terhadap Kesehatan. Jakarta:
Majalah Kesehatan Masyarakat No. 52.
Suprihatin, E. (2013). Hubungan Faktor-Faktor Dengan Kejadian Ispa Pada Balita
Di Puskesmas X Kota Bandung. Jurnal Keperawatan Bsi, 1(1).
Widia, L. (2017). Hubugan Antara Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita.
Jurnal Darul Azhar. Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai