Anda di halaman 1dari 35

SKRIPSI

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI


SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KARANG PULE
TAHUN 2019

OLEH :

CHAERUL UMAM
076 STYC 18

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S.1
MATARAM
2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan kebutuhan setiap individu, Menurut World

Health Organization (WHO) pengertian sehat adalah suatu keadaan dimana

seseorang yang sehat baik secara fisik, mental, sosial, dan spiritual, tidak

hanya bebas dari penyakit dan kelemahan (Efendi & Makhfudli, 2009).

Kesehatan anak usia di bawah lima tahun merupakan bagian yang sangat

penting. Usia ini merupakan landasan yang membentuk masa depan

kesehatan, kebahagiaan, pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya

(Profil Kesehatan Indonesia, 2014).

Target pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) yang

dicetuskan World Health Organization (WHO) tahun 2000, pada point ke-4

adalah menurunkan angka kematian balita 2/3 dari tahun 1990-2015. Badan

kesehatan dunia (WHO) tahun 2012 mengungkapkan bahwa di dunia rata-rata

8 sampai 10 juta balita meninggal tiap tahun atau 23 balita meninggal setiap

harinya. Kematian balita umumnya disebabkan oleh penyakit infeksi, seperti

pneumonia, diarrhoea, malaria, measles, dan HIV/AIDS sebesar 58% dan 2/3

dari penyakit infeksi tersebut adalah ISPA (WHO, 2012).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang

sering terjadi pada anak. Insiden Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di

negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000

kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. ISPA

lebih banyak di negara berkembang dibandingkan di Negara maju dengan

1
2

persentase masing-masing 25%-30% dan 10%-15%. Kematian balita di Asia

Tenggara sebanyak 2,1 juta balita. India, Bangladesh, Indonesia, dan

Myanmar merupakan negara dengan kasus kematian balita akibat ISPA

terbanyak (WHO, 2012).

Menurut Kemenkes RI (2012), Infeksi saluran pernapasan akut

(ISPA) merupakan terinfeksinya saluran pernapasan baik di saluran

pernapasan atas maupun di saluran pernapasan bawah yang disebabkan oleh

virus dan bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau

lebih gejala seperti tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau

berdahak secara umum. Terdapat 3 faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor

karakteristik balita, faktor lingkungan, dan faktor perilaku.

Dari 3 faktor tersebut yang akan di teliti yakni Faktor lingkungan,

berbagai penelitian sebelumnya menyebutkan faktor lingkungan yang dapat

menyebabkan ISPA adalah kualitas udara. Kualitas udara dipengaruhi oleh

seberapa besar pencemaran udara. Pencemaran udara di dalam rumah

mempunyai peran terhadap terjadinya ISPA pada balita, seperti anggota

keluarga merokok di dalam rumah, bahan bakar untuk memasak, anggota

keluarga yang mengalami ISPA (Layuk, 2012).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Winardi (2015), mengenai

faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA menyimpulkan bahwa

terdapat hubungan antara anggota keluarga merokok di dalam rumah, bahan

bakar untuk memasak, anggota keluarga yang mengalami ISPA dengan

kejadian ISPA pada balita.


3

Selain faktor lingkungan dengan pencemaran udara dalam rumah,

faktor lingkungan fisik rumah merupakan salah satu faktor yang berhubungan

dengan kejadian ISPA seperti ventilasi rumah, lantai rumah dan kepadatan

hunian rumah yang tidak memenuhi standar kesehatan. Menurut penelitian

yang dilakukan oleh Padmonobo (2012) mengenai hubungan lingkungan fisik

rumah terhadap kejadian ISPA menyimpulkan bahwa terdapat hubungan

antara ventilasi rumah, lantai rumah dan kepadatan hunian rumah terhadap

resiko kejadian ISPA.

Period prevalence ISPA Indonesia tahun 2013 (25,0%) tidak jauh

berbeda dengan 2007 (25,5%). Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah

Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa

Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Nusa Tenggara Barat

menempati urutan ke-4 dari 5 provinsi dengan angka ISPA tertinggi sejak

tahun 2007-2013 (28,3%), Angka ini terus mengalami peningkatan setiap

tahunnya. Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada

kelompok umur 1-4 tahun (25,8%) (Kemenkes RI, 2015).

Kota Mataram merupakan daerah dengan persentase ISPA 59,27%

pada tahun 2012 (Dikes Provinsi NTB, 2013). Pada tahun 2018 Puskesmas

Karang Pule menempati urutan kedua terbanyak kunjungan balita dengan

ISPA di Kota Mataram. Pada tahun 2015-2016 ISPA menempati peringkat

teratas dari 10 penyakit dengan prevalensi tertinggi di Puskesmas Karang

Pule yakni mencapai 19.237 kasus (27,9%) (Dikes Kota Mataram, 2018).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Karang Pule periode

bulan Januari - Desember 2018, angka kejadian ISPA pada Balita sangat
4

tinggi mencapai 3.043 kasus. Rekapitulasi data ISPA pada Balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Karang Pule pada bulan Januari - Desember 2018 dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.1 Rekapitulasi Data ISPA pada Balita usia 1-5 tahun di Wilayah
Kerja Puskesmas Karang Pule pada bulan Januari - Desember
2018
No Kelurahan Jumlah Kasus Persentase (%)
1 Karang Pule 219 13
2 Jempong Baru 718 44
3 Pagutan 350 22
4 Pagutan Barat 128 8
5 Pagutan Timur 206 13
Jumlah Kasus 1.621 100,0
(Sumber Data : Laporan Puskesmas Karang Pule 2018)

Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukan bahwa di Wilayah kerja

Puskesmas Karang Pule terdiri dari 5 kelurahan yaitu Karang Pule, Jempong

Baru, Pagutan, Pagutan Barat dan Pagutan Timur. Kasus ISPA tertinggi pada

balita usia 1-5 tahun yakni bulan Januari - Desember tahun 2018 terdapat

pada kelurahan Jempong Baru dengan 718 kasus (44%).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan secara observasi pada tanggal

21 November 2018 didapatkan bahwa keadaan lingkungan fisik rumah yang

tidak memenuhi standar, terdapat banyak perokok, keterpaparan anak oleh

asap. Kondisi yang seperti ini dikhawatirkan balita rentan terkena penyakit

ISPA. Kejadian ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti mengenai

hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan

Akut pada balita di wilayah kerja Puskesmas Karang Pule.


5

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian Infeksi

Saluran Pernafasan Akut pada balita di wilayah kerja Puskesmas Karang

Pule?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sanitasi

lingkungan dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Karang Pule.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran kondisi lingkungan balita (pencemaran udara

dalam rumah : anggota keluarga merokok, bahan bakar memasak,

anggota keluarga yang mengalami ISPA, lingkungan fisik rumah :

Ventilasi rumah, lantai rumah, kepadatan hunian rumah) penderita

ISPA di Puskesmas Karang Pule.

2. Mengetahui gambaran kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Karang

Pule.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengembangan

ilmu keperawatan terutama mengenai ISPA pada balita.


6

1.4.2 Praktis

1. Bagi Masyarakat Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule

Dari hasil penelitian ini diharapkan masyarakat di wilayah kerja

Puskesmas Karang Pule dapat mengetahui hubungan sanitasi

lingkungan dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Karang Pule, sehingga masyarakat

dapat melakukan tindakan promotif dan preventif untuk masalah ini.

2. Bagi Peneliti

Diharapkan dengan hasil penelitian ini, peneliti mendapat

tambahan pengetahuan, mengenai penyakit ISPA dan memperoleh

hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian Infeksi Saluran

Pernafasan Akut pada balita di wilayah kerja Puskesmas Karang Pule.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sumber atau bacaan

untuk menambah pengetahuan mengenai ISPA pada balita.

4. Bagi Puskesmas

Diharapkan penelitian ini menjadi bahan evaluasi bagi

Puskesmas untuk meningkatkan kinerja dalam melakukan tindakan

promotif, preventif & kuratif terhadap kejadian Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Karang Pule.


7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sanitasi

lingkungan dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Karang Pule. Penelitian ini dilaksanakan di

10 dusun di Puskesmas Karang Pule pada tanggal 4-17 Juli 2019.. Penelitian

ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross sectional.


8

1.6 Keaslian Penelitian

Tabel 1.2 Keaslian Penelitian

Peneliti/Judul Perbedaan &


No Variabel Metodelogi Hasil penelitian
penelitian Persamaan
1. Layuk, Ribka - Variabel Jenis penelitian Perilaku merokok Perbedaan :
Rerung (2012). independen yang digunakan anggota keluarga - Variabel (BBLR)
Faktor yang (perilaku merokok adalah dalam rumah - Penelitian
Berhubungan anggota keluarga observasional (p=0,000) dan observasional
dengan dalam rumah, dengan penggunaan kayu desain cross
Kejadian ISPA penggunaan kayu desain cross bakar sebagai bahan sectional study.
pada Balita di bakar sebagai sectional study. bakar dalam rumah - Analisis data uji Chi
Lembang Batu bahan bakar dalam Analisis data tangga (p=0,000) Square. 
Sura’ rumah tangga, menggunakan berhubungan dengan
status imunisasi, uji Chi Square.  kejadian ISPA pada Persamaan :
BBLR, dan umur) balita, sedangkan - Variabel yang diteliti
status imunisasi (perilaku merokok
- Variabel dependen (p=0,144), BBLR anggota keluarga
(Kejadian ISPA) (p=0,436), dan umur dalam rumah,
(p=0,061) tidak penggunaan kayu
berhubungan secara bakar sebagai bahan
signifikan dengan bakar dalam rumah
kejadian ISPA pada tangga, status
balita. imunisasi, dan umur)

2. Padmonobo, - Variabel Penelitian ini Balita kasus Perbedaan :


Heru (2012) independen (Jenis merupakan pneumonia - Variabel (Jenis
Hubungan dinding rumah, penelitian menunjukkan dinding rumah,
Faktor-Faktor jenis lantai, observasional tendensi lebih banyak pencahayaan, suhu
Lingkungan pencahayaan, dengan tinggal di rumah kamar, kelembaban
Fisik Rumah ventilasi kamar menggunakan dengan kondisi fisik kamar, sekat dapur)
dengan tidur, suhu kamar, rancangan lebih buruk (jenis - Penelitian
Kejadian kelembaban kamar, penelitian kasus dinding, jenis lanatai, observasional
Pneumonia pada sekat dapur, dan kontrol. luas ventilasi, rancangan case
Balita di kepadatan hunian). Pengambilan pencahayaan alami, control
Wilayah Kerja data dengan suhu kamar, - Analisis data
Puskesmas - Variabel dependen wawancara dan kelembaban kamar, menggunakan Odds
Jatibarang (Kejadian observasi. kepadaatan hunian Ratio (OR)
Kabupaten Pneumonia). Analisis kamar dan
Brebes menggunakan keberadaan sekat Persamaan :
Odds Ratio dapur) dibanding - Variabel yang
(OR). kelompok balita diteliti (jenis lantai,
kontrol. Suhu kamar ventilasi kamar
balita adalah variabel tidur, kepadatan
yang paling dominan hunian, dan kejadian
dengan OR 4,380 pneumonia)
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

2.1.1 Definisi

Infeksi Saluran Pernapasan Akut disebut juga dengan istilah Acute

Respiratory Infection (ARI) yang di perkenalkan pada tahun 1984. infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA) terdiri dari tiga unsur yaitu infeksi, saluran

pernapasan, dan infeksi akut. Yang di maksud Infeksi ialah masuknya

mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga

menimbulkan penyakit. Saluran pernafasan adalah organ yang mulai dari

hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus, rongga

telinga tengah dan pleura, sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang

berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk

menunjukan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat

digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari

(Depkes, 2009).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi

akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai

dari hidung (saluran atas) sampai alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

adneksanya seperti sinus, rongga telinga bawah, dan pleura (WHO, 2008).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan terinfeksinya

saluran pernapasan baik di saluran pernapasan atas maupun di saluran

pernapasan bawah maupun keduanya (Kemenkes, 2012).

9
10

Pengertian lain dari ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut

yang menyerang tenggorokan, hidung, dan paru-paru yang berlangsung

kurang lebih 14 hari. ISPA meliputi struktur saluran di atas laring, tetapi

kebanyakan penyakit ini mengenai bagian atas dan bawah secara simultan

atau beruntun (Muttaqin, 2008).

2.1.2 Etiologi

Penyakit ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri, mycoplasma,

jamur dan lain-lain yang jumlahnya lebih dari 300 macam. ISPA bagian atas

umumnya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah

disebabkan oleh bakteri, virus, mycoplasma. Bakteri penyebab ISPA antara

lain adalah dari genus Streptococus, Hemofillus, Stafilococcus,

Pneumococcus, Bordetella, dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA

antara lain golongan Miksovirus (termasuk didalamnya virus influenza, para

influenza, dan virus campak), Enterovirus (Coxsackie virus, echovirus),

Adenovirus, koronavirus, pikornavirus, mikoplasma Herpesvirus (Depkes,

2009). Virus yang mudah ditularkan melalui ludah yang dibatukkan atau

dibersinkan oleh penderita adalah virus influenza, virus sinsisial

pernapasan, dan rinovirus (Junaidi, 2010). Jamur penyebab ISPA antara lain

Aspergillus sp, Candidia albicans, Blastomyces dermatitidis, Histoplasma

capsulatum, Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans (Widoyono,

2008).
11

2.1.3 Patogenesis

Saluran pernapasan selama hidup selalu terpapar dalam dunia luar

sehingga untuk mengatasinya dibutuhkan suatu system pertahanan yang

efektif dan efesien (Alsagaff dan Mukty, 2010). Penularan penyakit ISPA

terjadi melalui udara, bibit penyakit masuk ke tubuh melalui pernafasan,

oleh karena itu ISPA termasuk dalam salah satu penyakit golongan air

borne disease. Aerosol merupakan bentuk dari penyebab penyakit tersebut,

ada dua yakni: droplet nuclei (sisa dari sekresi saluran pernafasan yang

dikeluarkan dari tubuh berupa droplet dan melayang di udara) dan dust

(campuran antara bibit penyakit yang melayang di udara) (Depkes, 2009).

Cara penularan utama sebagian besar ISPA adalah melalui droplet,

tapi penularan melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan yang diikuti

oleh inokulasi tak sengaja) dan aerosol pernapasan infeksius berbagai

ukuran dan dalam jarak dekat dapat juga terjadi untuk sebagian patogen

(WHO, 2008).

Manusia merupakan reservoir utama dan diperkirakan seluruh umat

manusia memiliki bakteri penyebab ISPA pada saluran pernafasannya. Oleh

sebab itu, dalam keadaan daya tahan menurun, penyakit ini bisa

berkembang dengan baik pada anak-anak maupun orang tua (Alsagaff dan

Mukty, 2010).

2.1.4 Patofisiologi

Sebagian ISPA disebabkan oleh bakteri dan virus yang membuat

infeksi pada saluran pernafasan atas maupun bawah. Penyebab tersebut


12

membuat perjalanan penyakit dengan cara kontak antara virus atau bakteri

sehingga organ pada pernafasan akan terserang sehingga akan menimbulkan

respon inflamasi atau membuat infeksi pada organ tersebut. Saat infeksi

akan terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler, hal tersebut

akan membuat manifestasi klinik pada penderita (Hutagaol, 2014).

Perjalanan penyakit ISPA berawal dari saluran pernafasan yang

dilapisi oleh mukosa bersilia. Udara yang masuk melalui hidung akan

disaring oleh rambut pada hidung, partikel kecil dari udara akan menempel

pada mukosa. Pada udara yang kotor, partikel udara akan tertahan pada

mukosa sehingga pergerakan silia akan menjadi lambat yang akan berakibat

pada iritasi pada saluran pernafasan. Hal tersebut membuat peningkatan

produksi lendir sehingga saluran pernafasan menjadi sempit dan makrofage.

Akibatnya benda asing akan terarik dan bakteri atau virus tidak dapat

dikeluarkan dari sistem pernafasan (Hutagaol, 2014).

2.1.5 Klasifikasi

Infeksi saluran pernapasan akut memiliki berbagai macam jenisnya.

Berdasarkan letaknya terbagi menjadi infeksi di saluran pernapasan atas,

sindrom croup (terdiri dari epiglotis, laring dan trakea), dan saluran

pernapasan bawah (terdiri dari bronkus dan bronkiolus (Wong, 2008).

ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan dan untuk

golongan umur 2 bulan - 5 tahun (Muttaqin, 2008):


13

1. Golongan umur kurang 2 bulan

a. Pneumonia berat

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada

bagian bawah atau nafas cepat. Napas cepat untuk golongan umur

kurang dari 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih.

b. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian

bawah atau napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang

2 bulan, yaitu:

1) Kemampuan minum menurun sampai kurang dari ½ volume

yang biasa diminum.

2) Kejang.

3) Kesadaran menurun.

4) Stridor.

5) Wheezing.

6) Demam/dingin.

2. Golongan umur 2 bulan-5 tahun

a. Pneumonia Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding

dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas.

b. Pneumonia Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:

1) Untuk usia 2 bulan - 12 bulan = 50 kali per menit atau lebih.

2) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.


14

c. Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan

tidak ada napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-

5 tahun yaitu:

1) Tidak bisa minum.

2) Kejang.

3) Kesadaran menurun.

4) Stridor.

5) Gizi buruk.

Tanda dan gejala menurut tingkat keparahan ISPA (Depkes RI,

2009) :

1. ISPA ringan

Tanda dan gejala ISPA ringan yaitu batuk, pilek, demam, tidak

ada nafas cepat 40 kali per menit, tidak ada tarikan dinding ke dada

dalam. Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan

gejala-gejala : batuk, serak (bersuara parau pada waktu mengeluarkan

suara), pilek (mengeluarkan lendir dari hidung), panas atau demam

(suhu badan lebih dari 30oC). Penderita ISPA ringan cukup dibawa ke

puskesmas atau diberi obat penurun panas di rumah.

2. ISPA sedang

Tanda dan gejala ISPA sedang yaitu sesak nafas, suhu lebih dari

39oC, bila bernafas mengeluarkan suara seperti mendengkur. Seseorang

dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan

disertai gejala suhu lebih dari 39oC, tenggorokan berwarna merah,


15

timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak, telinga

sakit atau mengeluarkan nanah dari telinga, pernafasan berbunyi seperti

mendengkur.

3. ISPA berat

Tanda dan gejala ISPA berat yaitu kesadaran menurun, nadi

cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung jari

membiru (sianosis). Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika

ditemukan gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala

yaitu bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis pada

waktu bernafas, tidak sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan

berbunyi mendengkur atau tampak gelisah, pernafasan menciut, sela iga

tertarik ke dalam pada waktu bernafas, nadi cepat lebih dari 60 kali per

menit atau tidak teraba, tenggorokan berwarna merah.

2.1.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi ISPA

Menurut Kemenkes RI (2012) faktor terjadinya ISPA secara umum

yaitu faktor karakteristik balita, lingkungan, serta perilaku.

1. Karakteristik Balita

a. Umur

Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk

terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak

balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa.

Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran

klinik yang lebih besar, hal ini disebabkan karena ISPA pada balita

umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum


16

terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Bayi

umur kurang dari 3 tahun mempunyai risiko lebih tinggi terhadap

penyakit ISPA. Hal ini disebabkan imunitas anak kurang dari 3 tahun

belum baik dan lumen saluran napasnya masih sempit. Penelitian

yang dilakukan oleh Marlina (2013) mengenai faktor-faktor

terjadinya ISPA, menyebutkan ISPA pada balita beresiko terjadi pada

usia kurang dari 36 bulan.

b. Status gizi

Gizi adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi proses

perubahan zat makanan yang masuk kedalam tubuh dan dapat

mempertahankan suatu kehidupan. Macam-macam zat gizi atau zat

makanan yang diperlukan oleh tubuh manusia antara lain;

karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air. Penyimpangan

dari kebutuhan gizi dapat menjadi suatu faktor risiko penyakit

maupun penyakit yang degeneratif sehingga gizi yang diperlukan

oleh tubuh adalah gizi yang seimbang yaitu gizi yang terpenuhi

namun tidak kurang atau pun tidak lebih melainkan cukup. Gizi yang

kurang akan mempengaruhi kesehatan anak karena dengan adanya

gizi kurang anak akan mudah rentan terhadap suatu penyakit terutama

penyakit infeksi. Gizi yang cukup dapat mempertahankan imunitas

anak sebagai perlawanan dari suatu penyakit (PERSAGI, 2009).

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang

ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya

tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan


17

balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan

gizi. Keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat“

bahkan serangannya lebih lama (Depkes, 2009). Penelitian yang

dilakukan oleh Damanik (2013) dan Darmayanti (2015) memberikan

hasil bahwa status gizi mempunyai hubungan dengan resiko ISPA.

Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB),

dan Tinggi badan (TB). Variabel BB dan TB disajikan dalam bentuk

tiga indikator antropometri, yaitu BB menurut (BB/U), TB menurut

(TB/U) dan BB menurut TB (BB/TB) (Kemenkes RI, 2011).

Dalam menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan

tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai standar

(Z-score) dengan menggunakan baku antropometri balita (Kemenkes

RI, 2011). Berdasarkan nilai Z-score masing-masing indikator

tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut :

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak (Umur 0 –
60 bulan) Berdasarkan Indeks

Kategori Ambang Batas


Indeks
Status Gizi (Z-score)
Gizi buruk < -3,0 SD

Berat Badan menurut Umur Gizi kurang -3,0 SD s/d < -2,0 SD
(BB/U)
Anak Umur 0 - 60 bulan Gizi baik -2,0 SD s/d 2,0 SD

Gizi lebih > 2,0 SD

Sangat Pendek < -3,0 SD


Panjang Badan menurut Umur
(PB/U) atau Pendek -3,0 SD s/d < -2,0 SD
Tinggi Badan menurut Umur Normal -2,0 SD s/d 2,0 SD
(TB/U)
Tinggi > 2,0 SD
18

Kategori Ambang Batas


Indeks
Status Gizi (Z-score)
Sangat kurus < -3,0 SD
Berat Badan menurut Panjang
Badan (BB/PB) atau Kurus -3,0 SD s/d < -2,0 SD
Berat Badan menurut Tinggi Normal -2,0 SD s/d 2,0 SD
Badan (BB/TB)
Gemuk > 2,0 SD

Sangat kurus < -3,0 SD

Indeks Massa Tubuh menurut Kurus -3,0 SD s/d < -2,0 SD


Umur (IMT/U) Normal -2,0 SD s/d 2,0 SD

Gemuk > 2,0 SD


(Kemenkes RI, 2011)

c. Pemberian ASI Eksklusif

ASI eksklusif telah didefinisikan WHO dimana bayi hanya

mendapatkan ASI tidak ada cairan lain atau padat dengan

pengecualian tetes atau sirup yang terdiri dari vitamin, mineral

suplemen atau obat-obatan (Rahayu, 2011).

Menurut AAP Anerican Academy of Pediatric (2012)

merekomendasikan bahwa pemberian ASI eksklusif dapat dilakukan

sampai usia 6 bulan. ASI terdiri dari air, alfa-laktoalbumin, laktosa,

asam amino, antibody terhadap kuman, virus dan jamur. ASI akan

melindungi terhadap infeksi dan juga merangsang petumbuhan

menjadi normal (Proverawati, 2010).

ASI mempunyai nilai proteksi terhadap infeksi pernafasan

terutama selama 1 bulan pertama. Bayi yang tidak pernah diberi ASI

lebih rentan mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi


19

ASI. Bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan mengalami

perawatan di Rumah Sakit akibat pneumonia dibandingkan dengan

bayi yang mendapat ASI (Proverawati, 2010).

ASI mengandung Immunoglobulin yang dapat mencegah bayi

dari penyakit infeksi, ASI mengandung rangkaian asam lemak tak

jenuh yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangannya.

Selain praktis, ASI juga mudah dicerna, bersih dan aman bagi bayi.

Pada penelitian Damanik (2013) terdapat hubungan antara pemberian

ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita.

d. Status Imunisasi

Imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan sistem

kekebalan tubuh dengan cara memasukkan vaksin, yakni virus atau

bakteri yang sudah dilemahkan, dibunuh, atau bagian-bagian dari

bakteri (virus) tersebut telah dimodifikasi. Vaksin dimasukkan ke

dalam tubuh melalui suntikan atau diminum (oral). Setelah vaksin

masuk ke dalam tubuh, sistem pertahanan tubuh akan bereaksi

membentuk antibodi. Reaksi ini sama seperti jika tubuh kemasukan

virus atau bakteri yang sesungguhnya. Antibodi selanjutnya akan

membentuk imunitas terhadap jenis virus atau bakteri tersebut

(Maryunani, 2010).

Indonesia memiliki jenis imunisasi yang diwajibkan oleh

pemerintah (imunisasi dasar) yakni imunisasi BCG yang diberikan

pada umur 0-12 bulan, vaksinasi Hepatitis B diberikan pada usia


20

0 bulan, vaksinanasi Polio diberikan pada usia 2-12 bulan sebanyak

4x dengan interval 4 minggu, vaksinasi DPT diberikan pada usia 2-12

bulan sebanyak 3x dengan interval 4 minggu, dan vaksinasi campak

diberikan pada usia 9-12 bulan. Imunisasi dasar ini diberikan pada

anak sesuai dengan usianya. Anak yang telah mendapatkan imunisasi

lengkap tubuhnya akan bertambah kekebalan tubuhnya sehingga

tidak mudah terserang penyakit-penyakit tertentu yang sering dialami

oleh anak-anak (Hidayat, 2009).

Imunisasi lengkap perlu diupayakan untuk mengurangi faktor

yang meningkatkan mortalitas ISPA. Campak, pertusis, difteri dan

beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko ISPA, maka

peningkatan cakupan imunisasi seperti difteri, pertusis serta campak

akan berperan besar dalam upaya pemberantasan penyakit tersebut.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti (2015) terdapat

hubungan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA. Status

imunisasi merupakan faktor resiko timbulnya penyakit ISPA,

Imunisasi berguna untuk memberikan kekebalan untuk melindungi

anak dari serangan penyakit menular. Imunisasi yang paling efektif

mencegah penyakit ISPA yaitu imunisasi campak dan DPT

(Darmayanti, 2015).
21

2. Lingkungan

a. Pencemaran udara dalam rumah

1) Anggota keluarga merokok

Asap rokok yang berasal dari perokok dalam ruangan

rumah dapat menyebabkan pencemaran udara, yang selanjutnya

dapat merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga

memudahkan balita yang tinggal serumah dengan perokok

menderita ISPA. Sumber pencemar kimia yang dapat

menyebabkan pencemaran udara dalam rumah yang dihasilkan

oleh asap rokok adalah Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Dioksida

(NO2), Karbon monoksida (CO), Karbondioksida (CO2). Asap

rokok (Environmental Tobacco Smoke/ETS) merupakan gas

beracun yang dikeluarkan dari pembakaran produk tembakau

yang biasanya mengandung polycyclic aromatic hydrocarbon

(PAHs) yang berbahaya bagi kesehatan manusia (Kemenkes RI,

2011).

Asap rokok (ETS) mempunyai dampak memperparah

gejala anak- anak penderita asma, senyawa dalam asap rokok

menyebabkan kanker paru-paru, dan bayi serta anak-anak yang

orang tuanya perokok mempunyai risiko lebih besar terkena

gangguan saluran pernapasan dengan gejala sesak napas, batuk

dan lendir berlebihan. Upaya penyehatannya adalah merokok di

luar rumah yang asapnya dipastikan tidak masuk kembali ke

dalam rumah, merokok di tempat yang telah disediakan apabila


22

berada di fasilitas atau tempat-tempat umum, melakukan

penyuluhan kepada masyarakat, serta penyuluhan kepada

masyarakat tentang bahaya menghirup asap rokok (Kemenkes RI,

2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Layuk (2012) menunjukan

bahwa terdapat hubungan antara keberadaan perokok di dalam

rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Anggota keluarga yang

memiliki kebiasaan merokok dalam rumah merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita.

Keterpaparan asap rokok pada balita sangat tinggi pada saat

berada dalam rumah. Keterpaparan asap rokok, khususnya bagi

anak-anak dapat meningkatkan risiko untuk mengalami ISPA dan

gangguan paru-paru di masa mendatang. Anak dan anggota

keluarga dari perokok lebih mudah dan lebih sering menderita

gangguan pernapasan dibanding anak dan anggota keluarga yang

bukan perokok (Layuk, 2012).

2) Bahan bakar untuk memasak

Penggunaan bahan bakar memasak seperti arang, kayu,

minyak bumi, dan batu bara dapat mengakibatkan risiko

terjadinya pencemaran udara didalam rumah, yang mana dapt

menjadikan sumber pencemaran kimia seperti Sulfur Dioksida

(SO2), Nitrogen Dioksida (NO2), Karbon monoksida (CO),

Karbon dioksida (CO2) serta partikel debu yang bisa

meningkatkan resiko terjadinya ISPA (Kemenkes RI, 2011).


23

Hasil penelitian Layuk (2012) mengatakan bahwa terdapat

hubungan antara bahan bakar memasak dengan menggunakan

kayu bakar dengan resiko ISPA. Penggunaan kayu bakar sebagai

bahan bakar memasak dapat menyebabkan polusi udara dan

gangguan pernapasan.

3) Anggota keluarga yang mengalami ISPA

Salah satu Penyebab terjadinya ISPA adalah virus

sehingga jika terdapat anggota keluarga yang mengalami ISPA

maka anggota keluarga yang lain akan mudah tertular. Hal ini

disebabkan karena ISPA dapat ditularkan melalui air ludah,

bersin, dan udara pernapasan. Penularan yang paling sering

adalah melalui udara pernapasan karena virus dapat masuk ke

tubuh orang yang sehat melalui udara pernapasannya (Susilo,

2011).

Hasil penelitian Gertrudis (2010) mengatakan bahwa

balita yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami ISPA

akan mendapatkan resiko ISPA 8,4 kali untuk menderita ISPA

daripada balita yang tidak tinggal dengan anggota keluarga yang

tidak mengalami ISPA.

Keberadaan penderita ISPA serumah menyebutkan bahwa

adanya anggota keluarga lain yang terkena infeksi pernafasan

merupakan faktor resiko batuk pilek pada balita (Gertrudis, 2010).


24

b. Lingkungan fisik rumah

1) Ventilasi

Ventilasi adalah proses memasukkan dan menyebarkan

udara dari dalam ke luar atau udara dari luar yang telah diolah

sebagai daur ke dalam ruangan Dan Pertukaran udara yang tidak

memenuhi syarat dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan

mikroorganisme, yang menyebabkan gangguan kesehatan

manusia (Depkes, 2009). Menurut Permenkes RI No.

1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara

dalam Ruang menyebutkan rumah harus dilengkapi dengan

ventilasi minimal 10% luas lantai (Kemenkes RI, 2012).

Ventilasi udara yang dibuat serta pencahayaan di dalam

rumah sangat diperlukan karena akan mengurangi polusi asap

yang ada di dalam rumah sehingga dapat mencegah seseorang

menghirup asap tersebut yang lama kelamaan bisa menyebabkan

terkena penyakit ISPA (Kemenkes, 2012). Menurut penelitian

yang dilakukan oleh Winardi (2015) terdapat hubungan yang

bermakna antara Ventilasi dengan Kejadian Infeksi Saluran

Pernafasan Akut pada anak balita. Ventilasi kamar anak memiliki

peluang sebesar 6,8 kali terjadinya kejadian penyakit ISPA

dibandingkan ventilasi kamar anak yang memenuhi syarat.

Menurut Permenkes RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011

tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang, syarat ventilasi

yang baik adalah sebagai berikut:


25

a) Luas lubang ventilasi tetap minimal lima persen dari luas

lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil

(dapat dibuka dan ditutup) minimal lima persen dari luas

lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai

ruangan.

b) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari

sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu, dan lain-lain.

c) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan

menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding.

Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-barang

besar, misalnya lemari, dinding, sekat, dan lain-lain.

Secara umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan

dengan cara Dengan cara mengukur luas ventilasi dan dibagi

dengan luas ruangan (menggunakan rollmeter) dikalikan 100%.

Berdasarkan indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang

memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari sama dengan 10%

dari luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi

syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari luas lantai rumah

(Kemenkes RI, 2011).

2) Lantai rumah

Lantai sebaiknya dibangun sedemikian rupa sehingga

tidak mudah menimbulkkan debu, mudah dibersihkan dan

dikeringkan. Menurut Permenkes RI No. 1077/Menkes/Per

/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang,


26

Lantai yang baik adalah lantai yang dibuat kedap air, dapat

terbuat dari keramik, ubin, atau semen yang kedap atau kuat.

Lantai tanah atau semen yang rusak dapat menimbulkan debu.

Lantai rumah yang tidak kedap air dan sulit dibersihkan akan

menjadi wahana untuk tumbuh dan berkembangnya

mikroorganisme di dalam rumah dan juga dapat mengeluarkan

debu. Untuk melindungi penghuni rumah terutama balita yang

mempunyai daya tahan tubuh rendah dari penyakit berbasis

lingkungan maka diperlukan jenis lantai yang kedap air dan

mudah dibersihkan (Kemenkes RI, 2011).

Hasil penelitian yang dilakukan Winardi (2015)

menunjukkan bahwa risiko balita terkena penyakit ISPA tidak

akan meningkat jika tinggal di rumah yang lantainya memenuhi

syarat. Lantai rumah yang memenuhi syarat terbuat dari semen

atau lantai rumah berubin. Kondisi lantai yang baik dapat

mengurangi instrusi air sehingga dapat mengurangi kelembaban

di dalam rumah.

3) Kepadatan hunian

Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) RI mengungkapkan

bahwa aturan luas rumah yang sehat untuk memenuhi kebutuhan

minimal 9 m2 untuk per jiwa atau per orang, sehingga jika dalam

satu rumah berisi 4 orang maka luas rumah yang ideal berkisar

36m2. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) RI No. 829

menetapkan mengenai kesehatan pembangunan rumah bahwa luas


27

ruang tidur minimal 8m2 dan tidak digunakan untuk lebih dari 2

orang dewasa dalam 1 ruang tidur, kecuali anak dengan usia

dibawah 5 tahun. Kepadatan tempat tinggal atau keadaan rumah

yang sempit dengan jumlah penghuni rumah yang banyak akan

berdampak kurangnya oksigen di dalam rumah.

Kepadatan penghuni menimbulkan perubahan suhu

ruangan yang kalor dalam tubuh keluar disebabkan oleh

pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban

akibat uap air dari pernapasan tersebut. Semakin banyak jumlah

penghuni ruangan tidur atau dengan penghuni lebih dari 2 orang

dalam ruang tidur maka semakin cepat udara ruangan mengalami

pencemaran gas atau bakteri, selain itu juga memperhambat

proses penukaran gas udara bersih yang dapat menyebabkan

penyakit ISPA (Sinaga, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Winardi (2015)

menunjukan ada hubungan antara tingkat kepadatan hunian

rumah terhadap penyakit ISPA pada anak balita. tingkat

kepadatan hunian rumah memiliki peluang sebesar 8,173 kali

terjadinya kejadian penyakit ISPA dibandingkan tingkat

kepadatan hunian rumah yang memenuhi syarat (Winardi, 2015).

Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh (Sinaga, 2012)

yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan

hunian dengan kejadian ISPA pada balita.


28

3. Perilaku

a. Pengertian

Perilaku merupakan hasil dari pada segala macam serta

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk

pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon atau

reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar

maupun dalam dirinya (Notoatmodjo, 2010).

Perilaku sehat adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan

berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan

kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

Menurut (Notoatmodjo, 2010) faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku antara lain :

1) Faktor Predisposisi (Predisposing factor)

Terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan,

keyakinan, nilai-nilai.

2) Faktor pendukung (Enabling factor)

Terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak

tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan,

misalnya: puskesmas, obat-obatan, obat steril.

3) Serta faktor pendorong (Reinforcing Factor)

Terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan,

yang merupakan kelompok referensi dan perilaku masyarakat.


29

c. Perilaku pencegahan dan penanggulangan penyakit

Perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit

terkait ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek

penanganan ISPA di keluarga yang dilakukan oleh orang tua, baik itu

ibu, bapak, ataupun oleh anggota keluarga lainnya. Peran aktif

keluarga atau masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting

karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di

dalam masyarakat atau keluarga dan dapat menular. Hal ini perlu

mendapat perhatian serius karena penyakit ini banyak menyerang

balita, sehingga balita dan anggota keluarganya yang sebagian besar

dekat dengan balita dengan ISPA mengetahui dan terampil dalam

menangani penyakit ISPA ketika anaknya sakit (Maryunani, 2010).

Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda dan

keluhan dini pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan rujukan

pada sistem pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak

menjadi lebih berat. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa

peran keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA

sangatlah penting, sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat

keluarga kurang atau buruk akan berpengaruh pada perjalanan

penyakit dari yang ringan menjadi tambah berat (Maryunani, 2010).

Sikap dan perilaku ibu yang positif memiliki peluang untuk

upaya yang baik terhadap kejadian ISPA pada balita sebesar 5,107

kali dibandingkan sikap ibu yang negatif (Andriani, 2014). Penelitian

yang dilakukan oleh Maryunani (2010), mengatakan terdapat


30

hubungan antara sikap dan perilaku ibu terhadap kejadian ISPA pada

balita. Maryunani (2010) juga menyimpulkan bahwa sikap dan

perilaku ibu yang baik bisa memiliki upaya dalam pencegahan dan

penanggulangan kejadian ISPA pada balita, ibu yang memiliki sikap

dan perilaku positif cenderung baik dalam praktek cara perawatan

penyakit ISPA, sedangkan ibu yang memiliki sikap positif kurang

baik atau kurang terampil dalam menangani kejadian penyakit ISPA

dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA pada balita.

2.1.7 Penatalaksanaan ISPA

1. Pencegahan

Pencegahan terjadinya ISPA yakni dengan meningkatkan daya

tahan tubuh atau memperbaiki gizi dengan makan makanan yang

bergizi, minum cukup, dan istirahat cukup. Kunjungi pelayanan

kesehatan segera atau beri pengobatan bila mulai muncul tanda-tanda

ISPA. Tempat tinggal sedapat mungkin memiliki ventilasi yang baik dan

tidak terlalu penuh penghuninya agar udara tidak sesak, serta pastikan

anak mendapatkan imunisasi lengkap (Maryunani, 2010).

Pencegahan terjadinya penyakit ISPA terutama dengan

menghindari bakteri yang pathogen dengan menjaga kebersihan tangan,

gunakan alat pelindung diri terutama masker untuk menghindari droplet

yang melayang di udara jika diperkirakan ada penyebab ISPA untuk

menular, menutup mulut dengan sapu tangan atau tissue, selain itu juga

untuk individu anak dilakukantidak dekat-dekat sama orang yang

terinfeksi, ciptakan lingkungan yang bersih, hindari anak dari asap yang
31

membuat anak untuk sulit bernapas. Pencegahan ini juga dilakukan

orang tua atau keluarga menggunakan etika batuk dengan cara ketika

batuk peningkatan kekebalan tubuhnya dengan melakukan imunisasi

lengkap (WHO, 2008).

2. Pengobatan

Pengobatan dilakukan dalam pelayanan sesuai klasifikasinya

dengan petunjuk bagan MTBS, untuk gejala batuk bukan Pneumonia

beri pelega tenggorokan dan pereda batuk yang aman, jika batuk lebih

dari 3 minggu rujuk untuk pemeriksaan lanjutan, kunjungi pelayanan

kesehatan bila selama 5 hari tidak ada perbaikan. Klasifikasi ISPA

diberikan antibiotik yang sesuai, beri pelega tenggorokan dan pereda

batuk yang aman dan ISPA berat beri dosis pertama antibiotik yang

sesuai dan dirujuk ke sarana kesehatan yang lebih memadai (Depkes,

2009). Perawatan di rumah sangat penting dalam penatalaksanaan anak

dengan penyakit ISPA, dengan cara (WHO, 2008):

a. Pemberian makanan

1) Berilah makanan secukupnya selama sakit,

2) Tambahlah jumlahnya setelah sembuh,

3) Bersihkan hidung agar tidak mengganggu pemberian makanan.

b. Pemberian cairan

1) Berilah anak minuman lebih banyak

2) Tingkatkan pemberian ASI.

c. Pemberian obat pelega tenggorokan dan pereda batuk dengan

ramuan yang aman dan sederhana


32

d. Paling penting: amati tanda‐tanda pneumonia, Bawalah kembali ke

petugas kesehatan, bila nafas menjadi sesak, nafas menjadi cepat,

anak tidak mau minum, sakit anak lebih parah.

2.2 Kerangka Teori

KARAKTERISTIK BALITA

1. Umur
2. Status Gizi
3. Pemberian ASI Eksklusif
4. Status Imunisasi

LINGKUNGAN

1. Pencemaran udara dalam rumah


- Anggota keluarga merokok
- Bahan bakar untuk memasak
- Anggota keluarga yang
mengalami ISPA
2. Lingkungan fisik rumah
- Ventilasi rumah
ISPA
- Lantai rumah
- Kepadatan hunian

PERILAKU

- Perilaku pencegahan dan


penanggulangan penyakit

Gambar 2.1 Kerangka Teori Gambaran Faktor Penyebab ISPA pada balita
(Sumber: Kemenkes RI, 2012).
33

Anda mungkin juga menyukai