Anda di halaman 1dari 55

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit saluran pernapasan merupakan salah satu penyebab kesakitan dan
kematian yang sering menyerang anak-anak. Salah satu penyakit saluran
pernapasan pada anak adalah pneumonia. Pneumonia ialah suatu proses inflamasi
pada alveoli paru-paru yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti
Streptococcus pneumoniae (paling sering), kemudian Streptococcus aureus,
Haemophyllus influenzae, Escherichia coli dan Pneumocystis jiroveci. (Widagdo,
2012).
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit
yang sering terjadi pada anak. Sebanyak 40%-60% kunjungan berobat di
Puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap
rumah sakit disebabkan oleh ISPA. Salah satu penyakit ISPA yang menjadi target
program pengendalian ISPA adalah pneumonia (Setyati, 2014).
Tujuan Millennium Development Goals (MDGs) ke-4 yakni mengurangi
angka kematian anak, mampu terwujud hanya dengan melalui upaya-upaya
intensif yang memfokuskan pada faktor-faktor utama kematian pada anak, yaitu:
masalah neonatal, defisiensi gizi, malaria, diare dan pneumonia (WHO, 2010).
Menurut World Health Organization (WHO) (2016) kasus kematian balita
akibat pneumonia yakni 920.136 pada tahun 2015 (WHO, 2016). Berdasarkan
data United Nations Children’s Fund (UNICEF) pneumonia merupakan penyebab
kematian penyakit menular anak di bawah usia 5 tahun yang menewaskan 2.500
anak tiap harinya (UNICEF, 2017).
Menurut Ditjen P2P,Kemenkes RI (2017) Jumlah kasus Pneumonia pada
balita menurut Provinsi dan kelompok umur tahun 2016 target penemuan
pneumonia balita berjumlah 870.893 jiwa, pneumonia menurut umur < 1 tahun
160.908 jiwa dan umur 1-4 tahun 326.011 jiwa, sedangkan pneumonia berat
menurut umur < 1 tahun berjumlah 8.275 jiwa dan umur 1-4 tahun berjumlah
2

8.544 jiwa kemudian pneumonia ringan menurut umur < 1 tahun 169.183 jiwa dan
umur 1-4 tahun 334.55 jiwa. Jumlah keseluruhan kasus pneumonia balita menurut
provinsi dan kelompok umur adalah 503.738 jiwa 57.84 %.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 pneumonia
masih menjadi penyebab kematian pada bayi baru lahir. Data dari Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) menunjukan prevalensi pneumonia naik dari 1,6% pada 2013
menjadi 2% dari populasi balita yang ada di indonesia pada 2018 .
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Riau (2015), persentase penemuan dan
penanganan penderita pneumonia pada balita tahun 2011-2015, menyatakan pada
tahun 2011 cakupan penemuan dan penanganan penderita pneumonia mencapai
13,7 %, pada tahun 2012 mencapai 15,9% dan cakupan penemuan kasus
pnemunia 2013 berjumlah 17,5 % kemudian pada tahun 2014 mengalami
penurunan dengan jumlah persentase nya 13,7 %, tetapi pada tahun 2015 kembali
mengalami kenaikan mencapai 14,3 %. Sedangkan menurut Ditjen, Kemenkes RI
(2017), menyatakan jumlah kasus pneumonia pada balita menurut provinsi dan
kelompok umur tahun 2016, provinsi Riau target penemuan pneumonia balita
berjumlah 21.132 jiwa, kemudian menurut umur kejadian pneumonia < 1 tahun
berjumlah 3.238 jiwa dan umur 1-4 tahun 7.864 jiwa. Sedangkan Pneumonia
beratberdasarkan umur < 1 tahun 80 dan umur 1-4 tahun 68 jiwa dan persentase
nya adalah 53,24 %.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru (2017), penemuan
kasus pneumonia balita di puskesmas kabupaten kota Pekanbaru. Penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas Harapan Raya kecamatan bukit Raya jumlah
balita 308 jiwa balita menderita pneumonia dari data tersebut yang berhasil di
temukan dan diobati sebesar 210 jiwa , sedangkan jumlah keseluruhan balita yang
ada di puskesmas Harapan Raya adalah 11.630 jiwa
Berdasarkan data Puskesmas Harapan Raya tahun 2018 terdapat jumlah
perkiraan pneumonia balita berjumlah 308 jiwa dan kemudian realisasi penemuan
penderita pneumonia berjumlah 58 orang penderita.
Penelitian yang dilakukan oleh Sugihartono (2012) menunjukkan bahwa
faktor risiko pneumonia yang dominan pada balita di wilayah kerja Puskesmas
3

Sidorejo Kota Pagar Alam yakni riwayat pemberian ASI, kondisi fisik lantai
rumah dan kebiasaan anggota keluarga merokok (Sugihartono, 2012:86).
Penelitian serupa dilakukan oleh Kusumawati, (2015) yang menyimpulkan
bahwa faktor risiko lingkungan fisik dan perilaku anggota keluarga yang
berhubungan dengan kejadian pneumonia balita di wilayah kerja Puskesmas
Magelang Selatan Kota Magelang yakni tingkat kepadatan hunian, intensitas
pencahayaan alamiah dalam rumah, tingkat kelembaban rumah dan kebiasaan
membuka jendela pada pagi dan siang hari (Kusumawati, 2015)
Dari hasil observasi awal dan wawancara dengan 8 orang ibu yang anak
nya menderita pneumonia di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya
Kota Pekanbaru diketahui bahwa, pengetahuan sebagian responden tentang
pencegahan pneumonia tersebut masih rendah yang terlihat pada perilaku ibu
yang masih menolak untuk pemeriksaan rutin berkala. Tidak hanya itu, peran
tenaga kesehatan dalam menangani masalah pneumonia masih rendah hal ini
dapat dilihat dari sedikitnya sumber informasi kesehatan yang diperoleh oleh ibu
dan mengakibatkan sikap ibu terhadap pencegahan pneumonia itu masih rendah.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu terhadap
pencegahan pneumonia pada anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan Raya
Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru tahun 2018”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas didapatkan bahwa pneumonia
merupakan salah satu penyebab kematian anak dibawah usia lima tahun (balita) di
dunia, selain itu penatalaksana kasus pneumonia balita Provinsi Riau tidak
mengalami peningkatan, tetapi tetap berada jauh di bawah target Nasional,
padahal pencegahan penyakit ini menjai fokus kegiatan program pemberantasan
penyakit infeksi saluran pernafasan akut. Hal ini di karenakan masih rendahnya
efektivitas penggalakan pencegahan pneumonia. Tingginya angka kejadian
pneumonia pada anak balita disebabkan karena beberapa faktor antara lain
rendahnya pengetahuan ibu, keadaan lingkungan tempat tinggal dan peran tenaga
4

kesehatan dalam pelaksanaan pencegahan pneumonia. Maka dapat dirumuskan


dengan masalah penelitian sebagai berikut : “Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Perilaku Ibu Terhadap Pencegahan Pneumonia Pada Anak Usia 1-4
Tahun Di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekan Baru
Tahun 2018”.

C. Pertanyaan Penelitian
1. Apakah ada hubungan pengetahuan ibu terhadap pencegahan pneumonia pada
anak usia 1-4 tahun di PuskesmasHarapan RayaKecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru Tahun 2018 ?
2. Apakah ada hubungan sikap ibu terhadap pencegahan pneumonia pada anak
usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru Tahun 2018 ?
3. Apakah ada hubungan keadaan lingkungan terhadap pencegahan pneumonia
pada anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya
Kota Pekanbaru Tahun 2018 ?
4. Apakah ada hubungan peran tenaga kesehatan terhadap pencegahan
pneumonia pada anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan
Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018 ?

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Perilaku Ibu Terhadap Pencegahan Pneumonia Pada
Anak Usia 1-4 Tahun Di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya
Kota Pekanbaru Tahun 2108.
2. Tujuan khusus
a. Diketahuinya distribusi frekuensi pengetahuan ibu, sikap ibu, keadaan
lingkungan dan peran tenaga kesehatan terhadap pencegahan pneumonia
pada anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit
Raya Kota Pekanbaru tahun 2018.
5

b. Diketahuinya hubungan antara pengetahuan ibu terhadap pencegahan


pneumonia pada anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan Raya
Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru tahun 2018.
c. Diketahuinya hubungan antara sikap ibu terhadap pencegahan pneumonia
pada anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit
Raya Kota Pekanbaru tahun 2018.
d. Diketahuinya hubungan antara keadaan lingkungan terhadap terhadap
pencegahan pneumonia pada anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan
Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru tahun 2018.
e. Diketahuinya hubungan antara peran tenaga kesehatan terhadap
pencegahan pneumonia pada anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan
Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru tahun 2018.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Harapan Raya
Agar dapat dijadikan bahan masukan dan tambahan informasi mengenai
pneumonia dan dapat membantu dalam menanggulangi dan mencegah
pneumonia pada bayi dan balita.
2. Bagi Peneliti
Sebagai menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan dalam penelitian
ilmiah terutama yang mencakup hubungan dengan perilaku.

F. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang Faktor-
Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Ibu Terhadap Pencegahan Pneumonia
Pada Anak Usia 1-4 Tahun Di Puskesmas Harapan raya Kecamatan Bukit Raya
Kota Pekanbaru Tahun 2018. Ruang lingkup penelitian terbatas hanya pada
perilaku yang mencakup antara pengetahuan, sikap ibu terhadap pencegahan
pneumonia pada anak usia 1-4 tahun, keadaan lingkungan dan juga peran tenaga
kesehatan terhadap pencegahan pneumonia di Puskesmas Harapan Raya
Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018.
6

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAN

A. Konsep Dasar
1. Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru
(alveoli) yang disebabkan terutama oleh bakteri dan merupakan penyakit
saluran pernapasan akut yang sering menyebabkan kematian (UNICEF,
WHO, 2009; Kemenkes, 2010). Penyebab pneumonia adalah infeksi bakteri,
virus maupun jamur. Pneumonia mengakibatkan jaringan paru mengalami
peradangan. Pada kasus pneumonia, alveoli terisi nanah dan cairan
menyebabkan kesulitan penyerapan oksigen sehingga terjadi kesulitan
bernafas (Rudan, 2008).
Anak dengan pneumonia menyebabkan kemampuan paru
mengembang berkurang sehingga tubuh bereaksi dengan bernapas cepat agar
tidak terjadi hipoksia. Apabila pneumonia bertambah parah, paru akan
menjadi kaku dan timbul tarikan dinding bawah ke dalam (Ni Nyoman,
2013). Anak dengan pneumonia dapat meninggal karena hipoksia dan sepsis.
Akibatnya kemampuan paru untuk menyerap oksigen menjadi berkurang.
Kekurangan oksigen membuat sel-sel tidak bisa bekerja (UNICEF, WHO,
2006).

2. Klasifikasi Pneumonia
Program Pengendalian Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA
dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan bukan pneumonia. Pneumonia dibagi
atas derajat beratnya yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat
(Kemenkes, 2012). Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis,
dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan
pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini
ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman
7

Streptococcus jarang ditemukan pada Balita. Bila ditemukan harus diobati


dengan antibiotik penisilin. Semua radang telinga akut harus mendapat
antibiotik (Setyati, 2014).
Klasifikasi berdasarkan frekuensi nafas, tarikan dinding dada bagian
bawah, bunyi nafas (stridor):
a. Pneumonia
Batuk, demam lebih dari 380 C disertai sesak nafas. Frekuensi nafas
lebih dari 40 x / menit, ada tarikan dinding dada bagian bawah. Pada
auskultasi didapati bunyi stridor pada paru.
b. Non Pneumonia
Bila bayi dan Balita batuk, demam 380 C tidak disertai nafas cepat
lebih dari 40 x / menit, tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah dan
tidak ada bunyi stridor pada paru (Kemenkes, 2012). Program P2 ISPA
mengklasifikasi kasus keadaan ke dalam 2 kelompok usia yaitu dibawah 2
bulan (Pneumonia berat dan bukan Pneumonia). Usia 2 bulan sampai
kurang dari 5 tahun menjadi pneumonia berat dengan tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam, pneumonia dan bukan pneumonia.

3. Epidemiologi Pneomonia
Epidemologi pneumonia dapat terjadi di semua negara tetapi data
untuk perbandingan sangat sedikit, terutama di negara berkembang.
Pneumonia adalah penyakit umum di semua bagian dunia dan penyebab
utama kematian pada masa neonatus. WHO memperkirakan bahwa 1 dari 5
kematian bayi baru lahir disebabkan pneumonia. Lebih dari dua juta anak
balita meninggal setiap tahun di seluruh dunia (E-jurnal, 2013).
WHO juga memperkirakan bahwa sampai dengan 2 juta kematian
yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae dapat di cegah
dengan vaksin, dan lebih dari 90% dari kematian ini terjadi di negara-negara
berkembang. Kematian akibat pneumonia umumnya menurun dengan usia
sampai dewasa akhir (News Medical, 2011).
8

World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 15


negara dengan prediksi kasus baru dan kejadian pneumonia paling tinggi
anak-balita sebesar 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus diseluruh dunia.
Lebih dari setengah terjadi pada 6 negara, yaitu: India 43 juta, China 21 juta,
Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia, dan Nigeria sebesar 6 juta kasus,
mencakup 44% populasi anak balita di dunia pertahun (World Pneumonia
Day, 2012). Berdasarkan data WHO/UNICEF tahun 2009 dalam
“Pneumonia: The Forgotten Killer of Children”, Indonesia menduduki
peringkat ke-6 dunia untuk kasus pneumonia pada balita dengan jumlah
penderita mencapai 6 juta jiwa. Diperkirakan sekitar separuh dari total kasus
kematian pada anak yang menderita pneumonia di dunia disebabkan oleh
bakteri pneumokokus (UNICEF, WHO, 2009).

4. Etiologi Pneumonia
1. Disebabkan Virus
Virus yang sering ditemukan berasal dari virus influenza, adalah A,B,C,
virus rispiratori syncytial. Virus influenza C biasanya menimbulkan
gejala yang ringan tetapi, influenza A dan B merupakan virus penting
bagi pneumonia.
2. Disebabkan Bakteri
Bakteri penyebab pneumonia pada anak adalah Bran Hamella,
Catarhalis, bateri pneumonia, bakteri pertusis.

5. Patogenesis dan Patofisiologi


Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer
melalui saluran resporatori. Ada 3 stadium dalam patofisiologi penyakit
pneumonia (Said, 2008), yaitu :
1. Stadium hepatisasi merah.
Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru
9

yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN,


fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli.
2. Stadium hepatisasi kelabu.
Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan
leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat.
3. Stadium resolusi.
Setelah itu, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami
degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Sistem
bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.

6. Penyebab Pneumonia
Pneumonia disebabkan oleh virus pathogen yang masuk ke dalam
tubuh melalui aspirasi, inhalasi atau penyebaran sirkulasi. Pneumonia
terutama disebabkan oleh bakteri. Pneumonia inhalasi disebarkan melalui
batuk dan bersin. Agen penyebarannya biasanya adalah virus. Pneumonia bisa
disebabkan oleh penyebaran hematogenous dalam diri pasien yang dapat
mengidap septisemia.
Selain itu, pneumonia juga isebabkan oleh lebih dari 300 jenis kuman,
baik berupa bakteri, virus maupun rickettsia. Penyebab pneumonia pada
balita dinegara berkembang adalah bakteri, yaitu Streptococcus pneumoniae
dan haemophylus influenza (Suryo Joko, 2010).

7. Gambaran Klinis Pneumonia


Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia
pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme
penyebab yang luas, gejala klinis yang kadangkadang tidak khas terutama
pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi non
infeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis (Said, 2008).
Menurut Said (2008) gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak
bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai
berikut :
10

a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,


penurunan nafsu makan, keluhan GIT seperti mual, muntah atau diare:
kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak
perkusi, suara napas melemah, dan ronki, akan tetapi pada neonatus dan bayi
kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas
terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan
(Said, 2008).

8. Penatalaksanaan Pneumonia
Ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis yang
sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya, disertai
pemeriksaan penunjang. Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan
mikrobiologi dan atau serologi (Mansjoer, dkk, 2008).
Berdasarkan pedoman diagnosis dan tatalaksana pneumonia yang
diajukan oleh WHO di dalam buku Mansjoer, dkk (2008), pneumonia
dibedakan atas :
a) Pneumonia sangat berat : harus dirawat di rumah sakit/puskesmas,
penatalaksanaannya diserahkan atau tergantung kebijakan rumah
sakit/puskesmas setempat.
b) Pneumonia berat : bila ada retraksi, tanpa sianosis, dan masih sanggup
minum, harus dirawat di RS dan diberi antibiotik.
c) Pneumonia : bila tidak ada retraksi tapi napas cepat :
1. > 60x/menit pada bayi < 2 bulan
2. > 50x/menit pada anak 2 bulan – 1 tahun
3. > 40x/menit pada anak 1 – 5 tahun
b) Bukan pneumonia : hanya batuk tanpa tanda dan gejala seperti di atas,
tidak perlu dirawat, tidak perlu antibiotik.
11

9. Faktor Beresiko Pneumonia


Meskipun terdapat berbagai mekanisme pertahanan dalam saluran
pernapasan, selalu terdapat faktor risiko. Sehingga hal ini menyebabkan individu
rentan terhadap infeksi (Maitra dan Kumar, 2007). Menurut Wilson L.M. (2006)
bayi dan anak kecil rentan terhadap penyakit pneumonia karena respon imunitas
bayi dan anakkecil masih belum berkembang dengan baik.
Adapun faktor risiko yang lain secara umum adalah:
a. Infeksi pernapasan oleh virus.
b. Penyakit asma dan kistik fibrosis.
c. Sakit yang parah dan menyebabkan kelemahan
d. Kanker (teutama kanker paru).
e. Tirah baring yang lama.
f. Riwayat merokok.
g. Alkoholisme.
h. Pengobatan dengan imunosupresif.
i. Malnutrisi.

B. Perilaku Pencegahan Pneumonia


Mengingat pneumonia adalah penyakit berisiko tinggi yang tanda awalnya
sangat mirip dengan flu, alangkah baiknya para orang tua tetap waspada dengan
memperhatikan cara berikut ini (Misnardiarly,2008).
1. Menghindarkan bayi atau anak dari paparan asap rokok, populasi udara, dan
tempat keramaian yang berpotensi penularan.
2. Menghindarkan bayi atau anak dari kontak dengan penderita ISPA.
3. Membiasakan memberikan ASI.
4. Segera berobat jika mendapati anak mengalami panas, batuk, pilek. Terlebih
jika disertai suara srak, sesak nafas, dan adanya tarikan pada otot diantaranya
rusuk (retraksi).
5. Periksa kembali jika dalam dua hari belum menampakan perbaikan, dan
segera ke rumah sakit jika kondisi anak memburuk.
12

6. Imunisasi, untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi


seperti imunisasi DPT.

C. Konsep Perilaku
Skinner dalam Notoatmodjo (2007), seorang ahli psikologi, merumuskan
bahwa perilaku merupakan respon atau rekasi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Perilaku manusia pada hakekatnya adalah tindakan atau
aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas
antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, penulis,
membaca, dan sebagainya, baik yang dapat diamati langsung maupun yang dapat
diamati oleh pihak luar. Menurut Notoatmodjo (2007), membedakan tiap wilayah,
ranah, atau domain perilaku, menjadi kognitif (cognitive), afektif (affective), dan
psikomotorik (psychomotor), maka dikembangkan tida domain perilaku sebagai
berikut :
1. Faktor Yang berhubungan Dengan Pencegahan Pneumonia
a) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil “tahu“, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo (2012).
Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan (knowledge) adalah
hasil tahu dari manusia, yang sejedar menjawab”what” misalnya apa air,
apa manusia, apa alam dan sebagainya. Pengetahuan pada dasarnya
terdiri dari sejumlah fakta dan kategori yang memungkinkan seseorang
untuk dapat memeahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan
merupakan pemberian bukti oleh seseorang melalui proses pengingatan
atau pengenalan atau fenomena yang diperoleh sebelumnya. Menurut
Notoatmodjo, (2012) pengetahuan mempunyai enam tingkatan
diantaranya sebagai berikut :
1. Tahu (Know)
13

Tahu atrinya adalah sebagai mengingat suatumaateri yang telah


dipelajari. Tingkat pengetahuan ini adalah meningkatkan kembali
terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yang telah diterima
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterprestasikan dengan benar.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi artinya sebagai kemampuan untuk menggunakan meteri
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
4. Analisis (analysis)
Ananisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
objek edalam komponen-komponen tetapi masih didalam suatu
struktur.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menggabungkan bagian-bagian didalam keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (evaluation)
Evalusai itu berkaitan dengan kemampuan utntuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Tingkat pengetahuan juga berdampak besar dalam kejadian
pneumonia balita, dan ini biasanya berkaitan erat dengan pendidikan
ibu. Pengetahuan dan sikap mengenai kesehatan akan berpengaruh
terhadap perilaku sebagai hasil jangka panjang dari pendidikan
kesehatan hal itu dikarenakan dari pengetahuan dan sikap itulah akan
tercipta upaya pencegahan kekambuhan yang dilakukan orangtua
terhadap balitanya (Notoatmojo2007). Dampak ketidaktahuan orangtua,
banyak balita yang masuk rumah sakit dengan gejala yang berat dan
kemungkinan untuk sembuh sangat kecil sehingga banyak balita
yang meninggal akibat pneumonia. Upaya-upaya baik promotif,
14

preventif dan kuratif perlu dilakukan dalam rangka menanggulangi


pneumonia, upaya tersebut antara lain memberikan pendidikan
kesehatan bagi orangtua yang balitanya menderita pneumonia yang
berkunjung ke Rumah Sakit, imunisasi untuk meningkatkan
kekebalan tubuh balita dan pengobatan pada penderita pneumonia

b) Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap secara sederhana yakni merupakan suatu
sindrom atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek,
sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala
kejiwaan yang lain. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk
bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih
tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003). Sikap
mempunyai tiga tingkatan diantaranya adalah :
1. Menerima (receiving)
Menerima artinya bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diterima (objek).
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap,
karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau
mengerjakan ugas yang diberikan, lepas pekerjaan ibu benar atau
salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan
orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat
tiga.
4. Bertanggung jawab ( responsible)
15

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan


segala resiko adalah merupakan sikpa yang paling tinggi.
sikap yang kurang baik dalam melakukan upaya pencegahan
pneumonia pada balita, hal tersebut terjadi dikarenakan orang tua
menganggap informasi mengenai upaya pencegahan pneumonia itu
penting tidak terlalu penting, dan orang tua juga tidak segera membawa
anaknya ke rumah sakit ataupun puskesmas apabila anak
memiliki tanda gejala dengan napas yang cepat. Sebagian
responden ternyata memiliki sikap yang baik karena mereka
menganggap napas yang cepat adalah hal yang tidak boleh dianggap
biasa saja, oleh sebab itu mereka segera membawa anaknya ke
rumah sakit atau ke puskesmas agar tidak memperberat keadaan
balitanya.

c) Keadaan Lingkungan
1. Faktor keadaan Lingkungan
a) Pencemaran Udara Dalam Rumah
Kualitas udara dalam rumah Polusi udara yang berasal
dari pembakaran di dapur dan di dalam rumah mempunyai peran
pada risiko kematian balita di beberapa negara berkembang.
Diperkirakan 1,6 juta kematian berhubungan dengan polusi
udara dari dapur. Hasil penelitian Dherani, dkk (2008)
menyimpulkan bahwa dengan menurunkan polusi pembakaran
dari dapur akan menurunkan morbiditas dan mortalitas
pneumonia. Hasil penelitian juga menunjukkan anak yang
tinggal di rumah yang dapurnya menggunakan listrik atau gas
cenderung lebih jarang sakit ISPA dibandingkan dengan anak
yang tinggal dalam rumah yang memasak dengan menggunakan
minyak tanah atau kayu. Selain asap bakaran dapur, polusi asap
rokok juga berperan sebagai faktor risiko. Anak dari ibu yang
merokok mempunyai kecenderungan lebih sering sakit ISPA
16

daripada anak yang ibunya tidak merokok (16% berbanding


11%) (Kartasasmita, 2010). Asap rokok dan asap hasil
pembakaran bahan bakar untuk memasak dan untuk pemanasan
dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan
paru sehingga akan memudahkan balita terkena infeksi bakteri
pneumokokus ataupun Haemophilus influenzae.
b) Ventilasi Udara
Dalam Rumah Ventilasi mempunyai fungsi sebagai
sarana sirkulasi udara segar masuk ke dalam rumah dan udara
kotor keluar rumah dengan tujuan untuk menjaga kelembaban
udara didalam ruangan. Rumah yang tidak dilengkapi sarana
ventilasi akan menyebabkan suplai udara segar didalam rumah
menjadi sangan minimal. Kecukupan udara segar didalam
rumah sangat di butuhkan oleh penghuni didalam rumah, karena
ketidakcukupan suplai udara segar didalam rumah dapat
mempengaruhi fungsi sistem pernafasan bagi penghuni rumah,
terutama bagi bayi dan balita. Ketika fungsi pernafasan bayi
atau balita terpengaruh, maka kekebalan tubuh balita akan
menurun dan menyebabkan balita mudah terkena infeksi dari
bakteri penyebab pneumonia.
Hasil penelitian Hartati (2011) menunjukkan bahwa
balita yang tinggal di rumah yang tidak ada ventilasi udara
rumah mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 2,5
kali dibandingkan dengan balita yang tinggal dirumah yang
memiliki ventilasi udara. Berbeda dengan penelitian Yuwono
(2008), pada penelitian ini anak balita yang tinggal di rumah
dengan luas ventilasi rumah tidak memenuhi syarat memiliki
risiko terkena pneumonia sebesar 6,3 kali lebih besar
dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan luas
ventilasi rumah memenuhi syarat.
c) Jenis Lantai Rumah
17

Balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai tidak


memenuhi syarat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 3,9
kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah
dengan jenis lantai memenuhi syarat. Hal tersebut menunjukkan
bahwa risiko balita terkena pneumonia akan meningkat jika
tinggal di rumah yang lantainya tidak memenuhi syarat. Lantai
rumah yang tidak memenuhi syarat tidak terbuat dari semen atau
lantai rumah belum berubin. Rumah yang belum berubin juga
lebih lembab dibandingkan rumah yang lantainya sudah berubin.
Risiko terjadinya pneumonia akan lebih tinggi jika balita sering
bermain di lantai yang tidak memenuhi syarat (Yuwono, 2008).
Jenis lantai tanah (tidak kedap air) memiliki peran
terhadap proses kejadian pneumonia, melalui kelembaban dalam
ruangan karena lantai tanah cenderung menimbulkan
kelembaban. Hubungan antara jenis lantai dengan kejadian
pneumonia pada balita bersifat tidak langsung, artinya jenis
lantai yang kotor dan kondisi status gizi balita yang kurang baik
memungkinkan daya tahan tubuh balita rendah sehingga rentan
terhadap kejadian sakit atau infeksi dan dapat dengan mudah
terkena pneumonia kembali, atau pneumonia berulang.
d) Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan penghuni rumah merupakan luas lantai dalam
rumah dibagi dengan jumlah anggota keluarga penghuni
tersebut. Kepadatan hunian dalam rumah menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Kesehatan perumahan, luas ruang tidur minimal 8
meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur
dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan
penyakit dan melancarkan aktivitas.
18

Risiko balita terkena pneumonia akan meningkat jika


tinggal di rumah dengan tingkat hunian padat. Tingkat
kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat disebabkan
karena luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah keluarga
yang menempati rumah. Luas rumah yang sempit dengan jumlah
anggota keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni
dengan luas rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini
memungkinkan bakteri maupun virus dapat menular melalui
pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke penghuni rumah
lainnya. Tempat tinggal yang sempit, penghuni yang banyak,
kurang ventilasi, dapat meningkatkan polusi udara didalam
rumah, sehingga dapat mempengaruhi daya tahan tubuh balita.
Balita dengan sistem imunitas yang lemah dapat dengan mudah
terkena pnuemonia kembali setelah sebelumnya telah terkena
pneumonia atau pneumonia berulang.
Balita yang tinggal di kepadatan hunian tinggi
mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 2,20 kali
dibandingkan dengan balita yang tidak tinggal di kepadatan
hunian tinggi (Hartati, 2011). Sedangkan menurut penelitian
Yuwono (2008) yang dilakukan di Kabupaten Cilacap,
menunjukkan bahwa anak balita yang tinggal di rumah dengan
tingkat hunian padat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar
2,7 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di
rumah dengan tingkat hunian tidak padat.

e) Keberadaan Perokok di Dalam Rumah


Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen, dan
setidaknya 200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi
kesehatan, racun utama pada rokok adalah tar, nikotin dan
karbonmonoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang
19

bersifat 28 lengket dan menempel pada paru-paru, Nikotin


adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran
darah. Zat ini bersifat karsinogen, dan mampu memicu kanker
paru-paru yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang
mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak
mampu mengikat oksigen (Sugihartono dan Nurjazuli, 2012).
Asap rokok yang mencemari di dalam rumah secara
terus-menerus akan dapat melemahkan daya tahan tubuh
terutama bayi dan balita sehingga mudah untuk terserang
penyakit infeksi, yaitu pneumonia (Sugihartono dan Nurjazuli,
2012). Berdasarkan penelitian Yuwono (2008), penelitian
tersebut menunjukkan bahwa risiko balita terkena pneumonia
akan meningkat jika tinggal di rumah yang penghuninya
memiliki kebiasaan merokok. Asap rokok bukan menjadi
penyebab langsung kejadian pneumonia pada balita, tetapi
menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya dapat
menimbulkan penyakit paru-paru yang akan melemahkan daya
tahan tubuh balita.
f) Kondisi Dinding Rumah
Besarnya risiko menderita pneumonia dapat dilihat dari
nilai OR = 2,9 artinya anak balita yang tinggal di rumah dengan
kondisi dinding rumah tidak memenuhi syarat memiliki risiko
terkena pneumonia sebesar 2,9 kali lebih besar dibandingkan
anak balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding rumah
memenuhi syarat (Yuwono, 2008).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa risiko
balita terkena pneumonia akan meningkat apabila tinggal di
rumah yang kondisi dinding rumahnya tidak memenuhi syarat.
Kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat ini dapat
disebabkan karena status sosiol ekonomi yang rendah, sehingga
keluarga hanya mampu membuat rumah dari dinding yang
20

terbuat dari anyaman bambu atau belum seluruhnya terbuat dari


bahan yang tidak mudah terbakar. Dinding rumah yang yang
terbuat dari anyaman bambu maupun dari kayu umumnya
banyak menghasilkan debu yang dapat menjadi media bagi virus
atau bakteri, sehingga mudah terhirup penghuni rumah yang
terbawa oleh angin. Ketika bakteri atau virus terhirup oleh
penghuni rumah, terutama balita maka akan menyebabkan balita
mudah terkena infeksi saluran pernafasan.\
g) Penggunaan obat nyamuk bakar
Anak balita yang tidur dikamar yang memakai obat
nyamuk bakar berisiko 2,31 kali lebih besar untuk mengalami
pnoumenia daripada yang tidak mengunakan obat nyamuk bakar
(Widodo, 2007).
Asap yang dihasilkan oleh obat nyamuk bakar akan
menyebabkan rangsangan pada saluran pernapasan pada balita,
sehingga balita menjadi rentan terinfeksi oleh bakteri atau virus
yang menyebabkan terjadinya pneumonia. Obat nyamuk bakar
mengandung insektisida yang disebut d-aletrin 0,25%. Apabila
dibakar akan mengeluarkan asap yang mengandung d-aletrin
sebagai zat yang dapat mengusir nyamuk, akan tetapi jika
ruangan tertutup tanpa ventilasi maka orang di dalamnya akan
keracunan d-aletrin. Selain itu, yang dihasilkan dari pembakaran
juga CO dan CO2 serta partikulat-partikulat yang bersifat iritan
terhadap saluran pernafasan. Jadi penggunaan obat anti nyamuk
bakar mempunyai efek yang merugikan kesehatan, termasuk
dapat bersifat iritan terhadap saluran 30 pernafasan, yang dapat
menimbulkan dampak berlanjut yaitu mudah terjadi infeksi
saluran pernafasan.
h) Kondisi Jendela Rumah
Jendela merupakan salah satu ventilasi yang berfungsi
sebagai tempat pertukaran udara di dalam rumah atau ruangan.
21

Jendela tidak akan berfungsi semestinya apabila selalu ditutup


ataupun bersifat permanen yaitu terbuat dari kaca yang tidak
dapat dibuka. Jendela yang permanen akan membuat ruangan
menjadi pengap dan lembab. Ruang tidur yang pengap dan
lembab memungkinkan berkembangnya mikroorganisme
patogen, salah satunya mikroorganisme penyebab pneumonia
yaitu pneumokokus. Dengan daya tahan tubuh balita yang
menurun, balita akan mudah terinfeksi oleh mikroorganisme
yang berada di dalam rumah. Oleh karena itu, jendela
hendaknya memenuhi syarat yaitu 10 % dari luas lantai. Jendela
hendaknya juga bersifat tidak permanen agar dapat dibuka setiap
hari sehingga udara dapat keluar masuk dengan lancar.
i) Suhu
Suhu didalam rumah yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan gangguan kesehatan bagi penghuni rumah, seperti
hypotermia. Sedangkan suhu yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan dehidrasi sampai dengan heat stroke bagi
penghuni rumah. Perubahan suhu udara didalam rumah
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain penggunaan bahan
bakar biomassa, ventilasi yang tidak memenuhi syarat,
kepadatan hunian, bahan dan struktur bangunan, kondisi
geografis, dan kondisi topografi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077 Tentang
Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah Tahun 2011, kadar
suhu dalam ruang rumah yang dipersyaratkan adalah suhu udara
antara 18oC-30oC. Apabila suhu udara dalam ruang rumah di
atas 30ºC, maka suhu diturunkan dengan cara meningkatkan
sirkulasi udara dengan menambahkan ventilasi mekanik/buatan.
Dan apabila suhu udara dalam ruang rumah kurang dari 18ºC,
maka perlu menggunakan pemanas ruangan dengan
menggunakan sumber energi yang aman bagi lingkungan dan
22

kesehatan. Bakteri Pneumokokus tumbuh di suhu antara 25oC -


37,5oC.Suhu udara didalam rumah yang sesuai dengan suhu
pertumbuhan bakteri, maka akan meningkatkan pertumbuhan
bakteri di dalam rumah. Meningkatnya pertumbuhan bakteri
pneumokokus di dalam rumah dan dengan daya tahan tubuh
balita yang menurun, maka rentan terjadi infeksi akibat bakteri
pneumokokus.
j) Kelembaban
Kelembaban di dalam ruang rumah yang terlalu tinggi
maupun terlalu rendah dapat menyebabkan suburnya
pertumbuhan mikroorganisme. Bakteri gram positif
(Pneumokokus) hidup pada kelembaban yang cukup tinggi yaitu
sekitar 85 % Rh. Dengan suburnya pertumbuhan
mikroorganisme ini, maka dapat menyebabkan penghuni rumah
terkena penyakit infeksi akibat mikroorganisme. Konstruksi
rumah yang tidak baik seperti atap yang bocor, lantai, dan
dinding rumah yang tidak kedap air, serta kurangnya
pencahayaan baik buatan maupun alami dapat menjadi penyebab
terlalu tinggi atau terlalu rendahnya kelembaban dalam ruang
rumah. 32 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077
Tentang Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah Tahun 2011,
kadar Kelembaban dalam ruang rumah yang dipersyaratkan
adalah kelembaban antara 40%-60% Rh.
Ketika kelembaban dalam rumah kurang dari 40%, maka
dapat dinaikkan dengan cara membuka jendela rumah, dan
menambah jumjlah dan luas jendela rumah. Dan ketika
kelembaban dalam rumah lebih dari 60%, maka dapat
diturunkan dengan cara memasang genteng kaca.
k) Pencahayaan
Nilai pencahayaan (Lux) yang terlalu rendah akan
berpengaruh terhadap proses akomodasi mata yang terlalu
23

tinggi, sehingga akan berakibat terhadap kerusakan retina pada


mata. Sedangkan nilai pencahayaan (Lux) yang terlalu tinggi
akan mengakibatkan kenaikan suhu pada ruangan. Intensitas
cahaya yang terlalu rendah, baik cahaya yang bersumber dari
alamiah maupun buatan dapat mempengaruhi nilai pencahayaan
(Lux). Cahaya sangat berpengaruh pada proses pertumbuhan
bakteri. Bakteri gram positif dapat hidup dengan baik pada
cahaya normal. Tempat tinggal yang meiliki cahaya normal,
dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri gram positif tersebut.
Dengan daya tahan tubuh yang kurang, maka akan rentan terjadi
penyakit infeksi akibat bakteri gram positif.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077 Tentang
Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah Tahun 2011, kadar
nilai pencahayaan (Lux) dalam ruang rumah yang
dipersyaratkan adalah nilai pencahayaan (Lux) minimal sebesar
60 Lux. Pencahayaan dalam ruang rumah diusahakan agar
sesuai dengan kebutuhan 33 untuk melihat benda sekitar dan
membaca berdasarkan persyaratan minimal 60 Lux.

d) Peran Tenaga Kesehatan


Tenaga Kesmas merupakan bagian dari sumber daya manusia
yang sangat penting peranannya dalam pembangunan kesehatan pada
Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Pembangunan kesehatan dengan
paradigma sehat merupakan upaya meningkatkan kemandirian
masyarakat dalam menjaga kesehatan, melalui kesadaran yang leih tinggi
pada pentingnya pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan
preventif.Arsya (2014)
1. Pelayanan Promotif
24

Untuk meningkatkan kemandirian dan peran serta masyarakat dalam


pembangunan kesehatan, diperlukan program penyuluhan dan
pendidikan masyarakat yang berjenjang dan berkesinambungan,
sehingga tercapai tingkatan kemandirian masyarakat dalam
pembangunan kesehatan. Program promotif membutuhkan tenaga-
tenaga Kesmas yang handal, terutama yang mempunyai spesialisasi
dalam penyuluhan dan pendidikan.
2. Pelayanan Preventif
Untuk menjamin terselenggaranya pelayanan ini, diperlukan para
tenaga Kesmas yang memahami epidemiologi penyakit, cara-cara
dan metode pencegahan, serta pengendalian penyakit. Program ini
merupakan salah satu lahan bagi tenaga Kesmas dalam
pembangunan kesehatan. Keterlibatan Kesmas dibidang preventif
dan pengendalian, memerlukan penguasaan teknik-teknik
lingkungan dan pemberantasan penyakit. Tenaga Kesmas juga dapat
berperan di bidang kuratif kalau yang bersangkutan mau dan mampu
belajar, serta meningkatkan kemampuannya di bidang tersebut.

e) Peran ibu dalam Pencegahan Pneumonia


Peran serta tenaga kesehatan dalam pencegahan pneumonia pada
balita termasuk dalam peran pencegahan tingkat pertama. Peran aktif
tenaga kesehatan dalam pencengahan pneumonia sangat diperlukan
karena yang biasa terkena dampak pneumonia adalah usia balita dan
anak-anak yang kekebalan tubuhnya masih rentan terkena infeksi.
Sehingga diperlukan peran tenaga kesehatan dalam menangani hal ini.
Persepsi tentang peran serta tenaga kesehatan dalam pencegahan
pneumonia pada balita termasuk dalam peran pencegahan tingkat
pertama. Peran aktif tenaga kesehatan dalam pencengahan pneumonia
sangat diperlukan karena yang biasa terkena dampak pneumonia adalah
usia balita dan anak-anak yang kekebalan tubuhnya masih rentan terkena
25

infeksi. Sehingga diperlukan peran tenaga kesehatan dalam menangani


hal ini.
Peran orang tua sangatlah penting dalam pencegahan pneumonia
ini. Dimana pneumonia ini diawali ISPA yang apabila tidak segera
ditangani dengan cepat maka akan menjadi pneumonia. Peran ibu sebagai
orang tua yang lebih dekat dan sering berinteraksi dengan anak sangatlah
menentukan penangulangan pneumonia ini. Yang terpenting adalah ibu
memahami cara mendeteksi dini gejala awal ISPA dan pneumonia dan
juga cara mendapatkan pertolongan ke tenaga kesehatan.
Terdapat faktor mempengaruhi ibu /orang tua dalam pencegahan
pneumonia ini adalah :
a) Pekerjaan
Perkerjaan merupakan aspek yang mempunyai pengaruh dalam
pencegahan pneumonia. Bekerja bagi seseorang umumnya
merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bkerja bagi ibu-ibu akan
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga (Suwelo 2002).
Hal ini berarti ibu yang bekerja akan mempunyai waktu yang lebih
sedikit dalam mengetahui dan mendeteksi gejala dini dari pneumonia
dari pada ibu yang tidak bekerja karena ibu tersebut sering berada
dirumah dan dekat dengan anaknya.
b) Pendidikan
Pendidikan dapat mempengaruhi dalam pembentukan perilaku
seseorang terutama dalam motivasi dan sikap. Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, semakin mudah dalam menerima informasi
sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.
Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat
perkembangan sikap seseorang (Notoatmodjo, 2007).
26

c) Ekonomi
Faktor ekonomi menfasilitasi tindakan seseorang dalam upaya
pemeliharaan kesehatan. Kondisi ekonomi yang cukup,
memungkinkan seseorang untuk melakukan perawatan kesehatannya
dengan lebih memadai (Notoatmodjo, 2007).

D. Kerangka Teori
Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2012) mengatakan bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah faktor perilaku. Di
jelaskan ada tiga faktor - faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku sebagai
berikut :
1. Faktor Predisposisi (Presdiposing Factors) Adalah faktor-faktor yang
mempermudah atau memperdisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara
lain pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-niali, tradisi dan sebagainya.
2. Faktor pemungkin (Enabling Factors) adalah faktor-faktor yang
memungkinkan atau yang memfasilitasikan perilaku dan tindakan, misalnya
keadaan lingkungan fisik, sarana dan prasarana seperti rumah sakit,
puskesmas, posyandu, SPAL dan tempat pembuangan sampah.
3. Faktor penguat (Reinforcing Factors) adalah faktor-faktor yang mendorong
atau memperkuat terjadinya perilaku, misalnya adanya tokoh agama, tokoh
masyarakat, peraturan dan undang-undang.
27

Faktor Predisposisi
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Keyakinan
4. Nilai-nilai
5. Motivasi

Faktor Pemungkin
1. Lingkungan Fisik Perilaku
2. Sarana dan prasarana

Faktor Penguat
1. Sikap dan perilaku
petugas
kesehatan/petugas lain,
tokoh masyarakat, Tokoh
agama dan lain-lainnya

Sumber : Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo, 2012

Gambar 1
Kerangka Teori

E. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu hubungan antara konsep satu terhadap
konsep lainnya dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo 2012).
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pengetahuan ibu, sikap ibu,
keadaan dan peran tenaga kesehatan terhadap pencegahan pneumonia, sedangkan
variabel terikatnya adalah pencegahan pneumonia. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat dari gambar dibawah ini :
28

Variabel Bebas Variabel Terikat

1. Pengetahuan
2. Sikap Perilaku Pencegahan
3. Keadaan lingkungan Pneumonia
4. Peran tenaga kesehatan

Gambar 2
Kerangka Konsep

F. Hipotesis
1. Ada hubungan antara pengetahuan ibu terhadap pencegahan pneumonia pada
anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru Tahun 2018.
2. Ada hubungan antara sikap ibu terhadap pencegahan pneumonia pada anak
usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru Tahun 2018.
3. Ada hubungan antara keadaan lingkungan terhadap pencegahan pneumonia
pada anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya
Kota Pekanbaru Tahun 2018.
4. Ada hubungan antara peran tenaga kesehatan terhadap pencegahan
pneumonia pada anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan
Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018.
5. Ada hubungan antara pengetahuan ibu terhadap pencegahan pneumonia pada
anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru Tahun 2018.
29

G. Penelitian Sejenis
Beberapa penelitian yang relevan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada tabel
berikut ini :

Tabel 1
Keteranagan Penelitaian Andri Widayat Lina Sri
sekarang (2014) MarlinaWati
(2015)
Topik Penelitian Faktor-faktor yang Faktor-faktor yang Faktor-faktor yang
berhubungan berhubungan dengan mempengaruhi
dengan perilaku ibu pneumonia pada penemuan kasus
terhadap balita pneumonia balita
pencegahan
pneumonia pada
anak usia 1-4 tahun

Desain Cross sectional Cross sectional Studi kasus


Variabel Pengetahuan ibu, Asi eksklusif, Kasus pneumonia,
sikap ibu, keadaan penggunaan kayu perencanan program
lingkungan, peran bakar, keberadaan kegiatan penenmuan
tenaga kesehatan perokok, imunisasi, pneumonia,
status gizi, vitamin a

Subjek Keseluruhan ibu Ibu yang memiliki Seluruh ibu yang


yang memiliki anak anak balita yang memilik anak balita yang
usia 1-4 tahun yang berkunjung ke berkunjung ke pusksmas
berkunjung ke puskesmas
puskesmas

Tempat Di Puskesmas Di Puskesmas Di Puskesmas Kota


Harapan Raya Mojogedang II Tangkerang Selatan
Kecamatan Bukit Kabupaten
Raya Kota Karanganyar
Pekanbaru
30

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik kuantitatif dengan desain
cross sectional study yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama
melihat apakah ada hubungan antara perilaku ibu terhadap pencegahan pneumonia
pada anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya
Kota Pekanbaru tahun 2018. Dimana setiap subjek penelitian hanya dilakukan
satu kali pengukuran terhadap satu karakter atau variabel subjek pada saat yang
bersamaan dan penelitian pada beberapa populasi yang diamati pada waktu yang
sama.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi PenelitianPenelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Harapan Raya
Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru tahun 2018.
2. waktu penelitian
sejak mulai bulan November 2018.

C. Populasi dan Subjek Penelitian


1. Populasi Penelitian
Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang ditetliti
(Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu-ibu
yang mempunyai anak usia 1-4 tahun yang memiliki anak balita yang
melakukan kunjungan di Puskesmas Harapan RayaKecamatan Bukit Raya
pada tahun 2018 dengan Jumlah 58 orang.
2. Sampel Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah sebagian ibu yang memiliki anak usia 1-4
tahun yang berkunjung ke Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya
31

Kota Pekanbaru tahun 2018 dan memenuhi kriteria responden sebagai berikut
:
a) Kriteria Inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target san yang akan diteliti. Pada penelitian ini kriteria inklusi
adalah :
1) Bersedia menjadi responden
2) Bersedia menjadi responden
3) Ibu yang memiliki anak usia 1-4 tahun yang bertempat tinggal di
wilayah kerja Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru
b) Kriteria Eklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang
memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab. Pada
penelitian ini kriteria ekslusi adalah :
1). Ibu yang memiliki anak usia 1-4 tahun pada saat penelitian tidak
berada ditempat selama 2 kali melakukan penelitian.

D. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan adalah totality sampling merupakan
pengambilan sampel yang mewakli dari seluruh populasi atau total sampling
merupakan metode pengambilan sampel dengan cara mengambil seluruh jumlah
populasi. Jadi sampel yang saya ambil adalah sebanyak 58 penderita.
Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan pada penderita yang
datang berobat ke Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru. Cara memilih sampel yang sesuai dengan krateria penelitian dengan
jumlah sampelnya sebanyak 58 responden yang menderita pneumonia adalah
dengan cara mewawancara langsung dengan instrumen yang telah ditentukan oleh
peneliti. Jika jumlah sample belum memenuhi maka peneliti melakukan
kunjungan dari rumah ke rumah (Door To Door) agar jumlah sample bias
mencapai sebanyak 58 orang.
32

E. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

Tabel 2
Defenisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Cara Ukur Skala Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur
1 Perilaku Merupakan suatu Kuesioner Wawancara Ordinal 0. Buruk jika
pencegahan kegiatan atau skor ≥ 60%
pnumonia aktifitas ibu terhadap 1. Baik jika
pencegahan skor< 60%
pneumonia

2 Pengetahuan Segala sesuatu yang Kuesioner Wawancara Ordinal 0. Pengetahuan


diketahui oleh rendah jika
responden tentang jawaban < 60%
pencegahan 1. Pengetahuan
pneumonia tinggi jika
jawaban ≥ 60%
3 Sikap Reaksi/respon yang Kuesioner Wawancara Ordinal 0. Negatif apabila
masih tertutup dari nilai yang didapat
responden terhadap < 60%
pencegahan 1. Positif apabila
pneumonia nilai yang didapat
≥ 60%
4 Keadaan Segala sesuatu yang Kuesioner Wawancara Ordinal 0. Tidak Baik apabila
lingkungan menyangkut keadaan nilai yang didapat
fisik lingkungan < 60%
tempat tinggal yang 1. Baikapabila nilai
berhubungan dengan yang didapat ≥
pencegahan 60%
pneumonia
5 Peran tenaga Segala sesuatu yang Kuesioner Wawancara Ordinal 0. Tidak peran
kesehatan berkaitan terhadap tenaga
kegiatan petugas kesehatanjika
kshatan yang jawaban <
melakukan kegiatan 60%
promosi kesehatan 1. Ada peran tenaga
program pencegahan kesehatan jika
pneumonia jawaban ≥ 60%
33

G. Jenis dan Cara Pengumpulan Data


1. Jenis Data
a) Data Primer
Data primer di peroleh melalui wawancara langsung dengan responden
yaitu dengan menggunakan kuesioner sebagai panduan yang
dilaksanakan langsung oleh peneliti pada responden. Data primer berupa
variabel data balita yang menderita pneumonia.
b) Data Sekunder
Data sekunder di peroleh dari PuskesmasHarapan Rayaberupa jumlah
sasaran dan data lainnya yang mendukung peneliti.
2. Teknik Pengumpulan Data
a) Observasi
Dilakukan dengan melihat data laporan tahunan dan jumlah balita yang
menderita pneumonia .
b) Wawancara
Untuk mendapatkan data tentang karakteristik responden, tingkat
pengetahuan, sikap responden dan tindakan responden terhadap Penyakit
Pneumonia.

H. Pengolahan Data
Setelah data terkumpul selanjutnya akan dilakukan pengolahan data
dengan tahap sebagai berikut :
1. Editing (Pemeriksaan)
Editing adalah upaya memeriksa kembali kebenaran data yang di peroleh atau
dikumpulkan.
2. Coding (Pengodean)
Merupakan kegiatan pemberi an kode terhadap data yang telah diperoleh,
setiap pertanyaan kuesioner jawaban ya diberi kode 1 dan tidak diberi kode 0.
3. Entry Data (Memasukan Data)
Setelah data dikumpulkan kemudian data dimasukan untuk selanjutnya diolah
ke dalam analisa data univariat.
34

4. Cleaning (Merapikan)
Data yang sudah di cek lagi kelengkapannya, data yang ternyata tidak
lengkap, maka sampel dianggap gugur dan di ambil sampel yang baru.
5. Processing Data (Pengolahan)
Data yang telah di proses kemudian dikelompok kan kedalam variabel yang
sesuai menggunakan sistem komputerisasi.

I. Analisa Data
Analisa data menggunakan sistem komputerisasi, data akan di analisa
dengan cara :
1. Analisa Univariat
Adalah suatu analisa terhadap setiap variabel dari hasil penelitian yang
bertujuan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari
berbagai variabel yang diteliti. Adapun variabel yang diteliti pada penelitian
ini adalah tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan penderita kasus baru
penyakit pneumonia.
2. Analisa Bivariat
Analisa Bivariat dilakukan untuk menganalisa hubungan variabel independen
dan variababel dependen. Dimana untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel, dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square dengan
ɑ 0,05, Convidence Interval atau CI 95% dengan ketentuan hubungan
bermakna secara statistik apabila nilai p ¿ 0,05 dan tidak bermakna bila nilai
p ¿ 0,05.
35

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Gambaran Umum Puskesmas Harapan Raya
a. Geografis
Puskesmas Harapan Raya adalah salah satu dari 21 Puskesmas
yang ada di Kota Pekanbaru, terletak di Kecamatan Bukit Raya, dengan
luas wilayah 22.907 Km2yang berbatasan dengan:
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sail
2) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan BukitRaya
3) Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Marpoyan damai
4) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kampar
Wilayah kerja Puskesmas Harapan Raya mempunyai tiga
kelurahn yang terdiri dari :
1) Kelurahan Tangkerang Selatan : 2.307 Km2
2) Kelurahan Simpang Tiga : 5.350 Km2
3) Kelurahan Air Dingin : 8.300 Km2
b. Kependudukan
Jumlah penduduk di wilayah Puskesmas Harapan Raya 2018
adalah 62.629 jiwa dengaan distribusi pada setiap kelurahannya yaitu :
1) Kelurahan Tangkerang Selatan : 19.956 jiwa
2) Kelurahan Simpang Tiga : 14.224 jiwa
3) Kelurahan Air Dingin : 28.449 jiwa
c. Sarana Kesehatan dan Tenaga Kesehatan
Tabel 3
Sarana Kesehatan di Wilayah kerja Puskesmas Harapan Raya

No Sarana Kesehatan Jumlah


1. Puskesmas induk 1
2. Balai Pengobatan dan Rumah Bersalin 1
36

3. Puskesmas Keliling 1
4. Posyandu 31
5. PUSTU 2
6. Bidan Swasta 24
7. Praktek Dokter 4
8. Praktek Dokter Gigi 8
9. Apotik 30
10. Toko Obat 6
11. Rumah sakit Swasta 1
Total 109
Sumber : profil Puskesmas Harapan Raya

Adapun ketenagaan yang dimiliki oleh Puskesmas Harapan Raya adalah dapat
dilihat ditabel berikut ini :
Tabel 4
Tenaga Kesehatan Puskesmas Harapan Raya Tahun 2018

No Jabatan Jumlah
1. Dokter Umum 5
2. Dokter gigi 3
3. Sarjana Kesehatan Masyarakat 5
4. Bidan (DI) 1
5. Bidan (DIII) 6
6. Bidan (DIV) 2
7. SPK 2
8. Perawat (DIII) 3
9. Perawat S1 7
10. Perawat Gigi (DIII) 2
11. Analis (DIII) 2
12. Petugas Sanitasi (S1) 2
13. Pelaksana Gizi (S1) 2
14. Apoteker 1
15. Asisten Apoteker 3
16. Pekarya 1
17. Sekuriti 1
18. sopir 1

Total 49
Sumber : profil Puskesmas Harapan Raya
37

2. Gambaran Subjek Penelitian


Berdasarkan sampel yang diambil sebanyak 58 responden yaitu ibu
yang membawa anak berumur 1-4 tahun yang ada diwilayah kerja Puskesmas
Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru tahun 2018 melalui
pengisian kuesioner maka didapat hasil penelitian yang dikelompokkan
menurut karakteristik, variabel independen (pengetahuan, sikap, keadaan
lingkungan, peran tenaga kesehatan) dan variabel dependen ( Perilaku
Pencegahan penyakit Pneumonia) adalah sebagai berikut :
a. Umur
Karakteristik responden berdasarkan umur di lihat pada tabel 5 berikut:
Tabel 5
Distribusi Responden Berdasarkan Umur Di Wilayah Kerja Puskesmas
Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru
Tahun 2018
Umur Jumlah Persentase
20-35 Tahun 28 48,3
>35 Tahun 30 51,7
Jumlah 58 100,0

Berdasarkan tabel 5 Umur responden yang berada diwilayah


kerja Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru
diketahui sebagian besar responden berdasarkan umur yang berusia >
35 tahun yaitu sebanyak 30 (51,7%) responden
b. Pendidikan Terakhir
Karateristik responden berdasarkan pendidikan terakhir di lihat pada
tabel 6 berikut :

Tabel 6
Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Di Wilayah
38

Kerja Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru


Tahun 2018

Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase


SD 5 8.6
SMP 13 22.4
SMA 30 51.7
PT 10 17.2
Jumlah 58 100.0

Berdasarkan tabel 6 diketahui Pendidikan diwilayah kerja


Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru
diketahui sebagian besar responden pendidikan terakhir nya adalah
SMA sebanyak 30 (51,7 %) responden.
c. Pekerjaan
Karateristik responden berdasarkan pekerjaan di lihat pada tabel 7
berikut :
Tabel 7
Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru
Tahun 2018

Pekerjaan Jumlah Persentase


PNS 8 13.8
Wiraswasta 2 3.4
Pedagang 21 36.2
Petani 17 29.3
Tidak bekerja 10 17.2
Jumlah 58 100.0

Berdasarkan tabel 7 diketahui Pekerjaan diwilayah kerja


Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru
diketahui sebagian besar responden pekerjaan pedagang sebanyak 21
(36,2 %) responden.
39

3. Analisa Univariat
a. Variabel Bebas
1). Pengetahuan
Tabel 8
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan di
Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya
Kota Pekanbar Tahun 2018

Pengetahuan Jumlah Persentase


Rendah 41 70.7
Tinggi 17 29.3
Jumlah 58 100.0

Berdasarkan tabel 8 di ketahui dari 58 responden sebagian


besar responden berpengetahuan rendah sebanyak 41 (70,7%) orang
dan diantaranya berpengetahuan tinggi sebanyak 17 (29,3%) orang.
2). Sikap
Tabel 9
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap di Wilayah
Kerja Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru Tahun 2018

Sikap Jumlah Persentase


Negatif 41 70.7
Positif 17 29.3
Jumlah 58 100.0

Berdasarkan tabel 9 di ketahui dari 58 responden sebagian


besar responden bersikap negatif sebanyak 41 (70,7%) dan
diantaranya bersikap positif sebanyak 17 (29,3%).
40

3). Keadaan Lingkungan


Tabel 10
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keadaan
Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Raya
Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018

Keadaan Lingkungan Jumlah Persentase


Tidak Sehat 35 60.3
Sehat 23 39.7
Jumlah 58 100.0

Berdasarkan tabel 10 di ketahui dari 58 responden sebagian


besar responden keadaan lingkungannya tidak sehat sebanyak 35
(60,3%) orang dan diantaranya keadaan lingkungan yang sehat
sebanyak 23 (39,7%) orang.
4). Peran Tenaga Kesehatan
Tabel 11
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Peran Tenaga
Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Raya Kecamatan
Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018

Peran Tenaga Jumlah Persentase


Kesehatan
Tidak Ada Peran 22 37.9
Ada Peran 36 62.1
Jumlah 58 100.0

Berdasarkan tabel 11 di ketahui dari 58 responden sebagian


besar responden yang tidak ada mendapatkan peran dari tenaga
kesehatan sebanyak 22 (37,9%) orang dan diantaranya yang ada
mendapatkan peran tenaga kesehatan sebanyak 36 (62,1%).
41

b. Variabel Terikat
1). Perilaku Pencegahan Pneumonia
Hasil penelitian tentang distribusi freksuensi responden
berdasarkan perilaku pencegahan pneumonia di Wilayah Kerja
Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru
Tahun 2018 dilihat pada tabel 12 berikut :
Tabel 12
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku
Pencegahan Pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas Harapan
Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018

Perilaku Pencegahan Jumlah Persentase


Pneumonia
Buruk 43 74.1
Baik 15 25.9
Jumlah 58 100.0

Berdasarkan tabel 12 di ketahui dari 58 responden sebagian


besar responden buruk melakukan perilaku pencegahan pneumonia
sebanyak 43 (74,1%) orang dan diantaranya baik melakukan perilaku
pencegahan pneumonia sebanyak 15 (25,9%) orang.

4. Analisa Bivariat
a. Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Pencegahan Pneumonia
Hasil penelitian hubungan pengetahuan dengan perilaku
pencegahan pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Raya
Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru pada Tahun 2018 dapat dilihat
pada tabel 13 berikut :
42

Tabel 13
Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Pencegahan Pneumonia di
Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya
Kota Pekanbaru Tahun 2018

Pengetahuan Perilaku Pencegahan Total


Pneumonia Nilai POR 95% C.I
Rendah Tinggi P
n % n % n %

Rendah 34 82,9 7 17,1 41 100,0 4,317

0,041 (1,234-15,107)

Tinggi 9 52,9 8 47,1 17 100,0

Jumlah 43 74,1 15 25,9 58 100,0

Berdasarkan tabel 13dapat diketahui bahwa dari 41


responden yang berpengetahuan rendah, diantaranya 34 (82,9%)
yang berpengetahuan rendah untuk melakukan perilaku pencegahan
pneumonia, sedangkan dari17 responden yang berpengetahuan
tinggi diantaranya 9 (52,9%) responden yang berpengetahuan
tinggi untuk melakukan perilaku pencegahan pneumonia.
Hasil uji stastistik di peroleh p = 0,041 (p value< 0,05),
maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
pengetahuan dengan perilaku pencegahan pneumonia. Dengan nilai
Prevalen Odds Ratio (POR) = 4,317 (CI 95% 1,234-15,107) yang
artinya responden yang berpengetahuan tinggi mempunyai risiko
4,4 kali beresiko baik melakukan perilaku pencegahan pneumonia
dibandingkan dengan ibu yang berpengetahuan rendah.

b. Hubungan Sikap dengan Perilaku Pencegahan Pneumonia


Hasil penelitian hubungan sikap dengan perilaku pencegahan
pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Raya Kecamatan
43

Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018 dapat dilihat pada tabel 14
berikut :
Tabel 14
Hubungan Sikap dengan Perilaku Pencegahan Pneumonia
di Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Raya Kecamatan
Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018

Sikap Perilaku Pencegahan Total


Pneumonia Nilai POR 95% C.I
Buruk Baik P
n % n % n %

Negatif 31 75,6 10 24,4 41 100,0 1,292

0,946 (0,365-4,570)

Positif 12 70,6 5 29,4 17 100,0

Jumlah 43 74,1 15 25,9 58 100,0

Berdasarkan tabel 14 dapat diketahui bahwa dari 41


responden yang bersikap negatif, diantaranya 31 (75,6%)
responden yang buruk dalam melakukan perilaku pencegahan
pneumonia, sedangkan 17 responden yang bersikap positif
diantaranya 12 (70,6%) responden yang baik melakukan perilaku
pencegahan pneumonia.
Hasil uji stastistik di peroleh p = 0,946 (p value> 0,05),
maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
sikap dengan perilaku pencegahan pneumonia. Dengan nilai
Prevalen Odds Ratio (POR) =1,292 (CI 95% 0,365-4,570) yang
artinya responden yang bersikap positif mempunyai risiko 1,3 kali
beresiko baik melakukan perilaku pencegahan pneumonia
dibandingkan dengan ibu yang bersikap negatif.

c. Hubungan Keadaan Lingkungan dengan Perilaku Pencegahan


Pneumonia.
44

Hasil penelitian hubungan keadaan lingkungan dengan


perilaku pencegahan pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas
Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018
dapat dilihat pada tabel 15 berikut :

Tabel 15
Hubungan Keadaan Lingkungan dengan Perilaku Pencegahan
Pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Raya Kecamatan
Bukit Raya Kota PekanbaruTahun 2018

Keadaan Perilaku Pencegahan Total


Lingkungan Pneumonia Nilai POR 95%
Buruk Baik P C.I
n % n % n %

Tidak Sehat 25 73,5 9 26,5 34 100,0 0,926

1,000 (0,280-3,067)

Sehat 18 75,0 6 25,0 24 100,0

Jumlah 43 74,1 15 25,9 58 100,0

Berdasarkan tabel 15 dapat diketahui bahwa dari 34


responden yang keadaan lingkungannya tidak sehat, diantaranya 25
(73,5%) responden yang buruk melakukan perilaku pencegahan
pneumonia, sedangkan 24 responden yang keadaan lingkungannya
sehat diantaranya 18 (75,0%) responden yang baik melakukan
perilaku pencegahan pneumonia.
Hasil uji stastistik di peroleh p = 1,000 (p value ≤ 0,05),
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
keadaan lingkungan dengan perilaku pencegahan pneumonia.
Dengan nilai Prevalen Odds Ratio (POR) = 0,926 (CI 95% 0,280-
3,067) yang artinya responden yang keadaan lingkungannya sehat
mempunyai risiko 1 kali beresiko baik melakukan perilaku
45

pencegahan pneumonia dibandingkan dengan responden yang


keadaan lingkungannya tidak sehat .

d. Hubungan Peran Tenaga Kesehatan dengan Perilaku


Pencegahan Pneumonia
Hasil penelitian hubungan peran tenaga kesehatan dengan
perilaku pencegahan pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas
Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018
dapat dilihat pada tabel 16 berikut :
Tabel 16
Hubungan Peran Tenaga Kesehatan dengan Perilaku Pencegahan
Pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Raya Kecamatan
Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018

Peran Perilaku Pencegahan Total


Tenaga Pneumonia Nilai POR 95%
Kesehatan Baik Buruk P C.I
n % n % n %

Tidak Ada 16 72,7 6 27,3 22 100,0 0,889


Peran 1,000 (0,267-2,963)

Ada Peran 27 75,0 9 25,0 36 100,0

Jumlah 43 74,1 15 25,9 58 100,0

Berdasarkan tabel 16 dapat diketahui bahwa dari 22


responden yang tidak ada peran tenaga kesehatan, diantaranya 16
(72,7%) responden yang buruk melakukan perilaku pencegahan
pneumonia dan sedangkan 36 responden yang ada peran tenaga
kesehatan diantaranya 27 (75,0%) responden yang baik melakukan
perilaku pncegahan pneumonia.
Hasil uji stastistik di peroleh p = 1,000 (p value> 0,05),
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara peran
46

tenaga kesehatan dengan perilaku pencegahan pneumonia. Dengan


nilai Prevalen Odds Ratio (POR) = 0,889 (CI 95% 0,267-2,963)
yang artinya responden yang ada peran tenaga kesehatan
mempunyai risiko 1 kali beresiko baik melakukan perilaku
pencegahan pneumonia dibandingkan dengan responden yang tidak
ada peran tenaga kesehatan .
47

BAB V
PEMBAHASAN

A. Pembahasan
1. Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Perilaku Pencegahan Pneumonia
Pada Anak 1-4 Tahun Di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit
Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa dari 41
responden yang berpengetahuan rendah, diantaranya 34 (82,9%) yang buruk
melakukan perilaku pencegahan pneumonia, sedangkan 17 responden yang
berpengetahuan tinggi diantaranya 9 (52,9%) responden yang baik melakukan
perilaku pencegahan pneumonia. Hasil uji stastistik di peroleh p = 0,041 (p
value> 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
pengetahuan dengan perilaku pencegahan pneumonia. Dengan nilai Prevalen
Odds Ratio (POR) = 4,317 (CI 95% 1,234-15,107) yang artinya responden
yang berpengetahuan tinggi mempunyai risiko 4,4 kali beresiko baik
melakukan perilaku pencegahan pneumonia dibandingkan dengan ibu yang
berpengetahuan rendah.
Menurut teori Notoatmodjo (2012), pengetahuan (knowledge) adalah
hasil tahu dari manusia, yang sejedar menjawab”what” misalnya apa air, apa
manusia, apa alam dan sebagainya. Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari
sejumlah fakta dan kategori yang memungkinkan seseorang untuk dapat
memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan merupakan pemberian
bukti oleh seseorang melalui proses pengingatan atau pengenalan atau
fenomena yang diperoleh sebelumnya. Menurut Notoatmodjo, (2012)
pengetahuan mempunyai enam tingkatan diantaranya sebagai berikut :Tahu
48

(Know), Tahu atrinya adalah sebagai mengingat suatumaateri yang telah


dipelajari. Tingkat pengetahuan ini adalah meningkatkan kembali terhadap
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima. Memahami (comprehension), Memahami diartikan sebagai
suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui dan dapat menginterprestasikan dengan benar.Aplikasi
(application), Aplikasi artinya sebagai kemampuan untuk menggunakan
meteri yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.Analisis
(analysis), Ananisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
objek edalam komponen-komponen tetapi masih didalam suatu
struktur.Sintesis (synthesis), Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan
untuk meletakkan atau menggabungkan bagian-bagian didalam keseluruhan
yang baru.Evaluasi (evaluation), Evalusai itu berkaitan dengan kemampuan
utntuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Situmeang (2009) menunjukan tidak ada hubungan pengetahuan orang tua
dengan perilaku terhadap pneumonia terdapat hubungan pada kategori tinggi.
Hal ini mnunjukan semakin tinggi pengetahuan orang tua terhadap
pneumonia, maka perilaku orang tua juga akan cenderung baik.
Menurut jurnal Handayani Wahyu Rizqa(2016), Hasil analisis
multivariat pada penelitian ini menunjukkan pengetahuan ibu tentang
pneumonia kurang merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada balita.
Ibu dengan pengetahuan tentang pneumonia kurang berisiko 4,1 kali lebih
besar untuk terjadi pneumonia pada balitanya dibanding dengan ibu yang
pengetahuan tentang pneumonia baik (CI 95%=1,54-11,16). Pengetahuan
mempengaruhi seseorang dalam melakukan suatu tindakan atau memutuskan
tindakan mana yang akan mereka lakukan. Sebagian besar pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang. Jika ibu balita atau pengasuh memiliki pengetahuan yang baik
tentang pengertian, tanda/gejala, penyebab, cara penularan dan cara
pencegahan penyakit pneumonia pada balita, maka ibu dapat meminimalkan
49

risiko kejadian pneumonia pada balita. Ibu balita yang mengetahui tentang
pneumonia dan bisa mengenal secara dini tanda bahaya pneumonia akan
segera melakukan tindakan pencarian pengobatan.
Menurut peneliti pengetahuan yang baik paa ibu mempunyai
hubungan terhadap pencegahan pneumonia oleh ibu di dalam keluarga. Ibu
yang memiliki pengetahuan yang baik beleum tentu berperilaku baik dalam
pencegahan pneumonia. Sebaliknya tidak menutup kemungkinan, bahwa ibu
yang memiliki pengetahuan yang buruk dapat berperilaku baik, yang tanpa
mereka sadari sebagai kebiasaan yang dilakukan ibu dalam pencegahan
pneumonia, tetapi mereka tidak mengetahuinya. Tingkat pengetahuan ibu
yang tinggi dapat dipengaruhin oleh beberapa hal diantaranya tingkat
pendidikan responden yang rata-rata SMA juga berpengaruh dalam responden
menganalisa dan memahami informasi yang mereka dapatkan.

2. Hubungan Sikap Dengan Perilaku Pencegahan Pneumonia Pada Anak


1-4 Tahun Di Puskesmas Harapan Raya Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru Tahun 2018.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 41 responden yang
bersikap negatif, diantaranya 31 (75,6%) responden yang buruk dalam
melakukan perilaku pencegahan pneumonia, sedangkan 17 responden yang
bersikap positif diantaranya 12 (70,6%) responden yang baik melakukan
perilaku pencegahan pneumonia. Hasil uji stastistik di peroleh p = 0,946 (p
value> 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
sikap dengan perilaku pencegahan pneumonia. Dengan nilai Prevalen Odds
Ratio (POR) =1,292 (CI 95% 0,365-4,570) yang artinya responden yang
bersikap positif mempunyai risiko 1,3 kali beresiko baik melakukan perilaku
pencegahan pneumonia dibandingkan dengan ibu yang bersikap negatif.
Menurut teori Notoatmodjo 2003,Sikap merupakan reaksi atau respon
yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara
sederhana yakni merupakan suatu sindrom atau kumpulan gejala dalam
merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran,
50

perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain. Sikap merupakan


kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan
motif tertentu. Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang
masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003).
Sikap mempunyai tiga tingkatan diantaranya adalah :Menerima (receiving),
Menerima artinya bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diterima (objek).Merespon (responding), Memberikan jawaban apabila
ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu
indikasi dari sikap, karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan
atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan ibu benar atau salah
adalah berarti orang menerima ide tersebut.Menghargai (valuing), Mengajak
orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap
suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.Bertanggung jawab (
responsible), Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mulyono 2003 tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara sikap ibu tentang pneumonia dan
diperoleh hasil lebih banyak ibu yang bersikap positif dari pada yang bersikap
negatif. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu
yang tinggi, sikap seseorang baik apabila pengetahuannya tentang sesuatu
baik pula, apabila pengetahuan tentang sesuatu hal buruk maka sikap
seseorang akan buruk pula.
Menurut peneliti afaqinisa 2015, Berdasarkan analisis bivariat antara
sikap orang tua dengan tingkat kekambuhan pneumonia pada balita dengan
menggunakan Chi-Square didapatkan hasil p-value sebesar 0,026 (OR=3,600;
95% CI=1,142-11,346). Karena p-value < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha
diterima, artinya terdapat hubungan yang signifikan antara sikap orang tua
dengan tingkat kekambuhan pneumonia pada balita. Nilai Odd Ratio (OR)
adalah 3,600 yang berarti bahwa orang tua yang memiliki sikap negatif
memiliki resiko untuk mengalami kekambuhan pneumonia 3,6 kali lebih
besar daripada orang tua yang memiliki sikap positif.
51

Menurut peneliti berdasarkan penelitian sikap ibu yang cenderung


bersikap positif terhadap pencegahan pneumonia dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya pendidikan rata-rata SMA, umur responden yang
rata-rata 20-35 tahun, dengan pekerjaan responden terbanyak wiraswasta. Hal
ini dapat mempengaruhi pola pikir ibu terhadap suatu presepsi yang akan ia
terima.

3. Hubungan Keadaan Lingkungan Dengan Perilaku Pencegahan


Pneumonia Pada Anak 1-4 Tahun Di Puskesmas Harapan Raya
Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 34 responden yang
keadaan lingkungannya tidak sehat, diantaranya 25 (73,5%) responden yang
buruk melakukan perilaku pencegahan pneumonia, sedangkan 24 responden
yang keadaan lingkungannya sehat diantaranya 18 (75,0%) responden yang
baik melakukan perilaku pencegahan pneumonia. Hasil uji stastistik di
peroleh p = 1,000 (p value ≤ 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara keadaan lingkungan dengan perilaku pencegahan
pneumonia. Dengan nilai Prevalen Odds Ratio (POR) = 0,926 (CI 95%
0,280-3,067) yang artinya responden yang keadaan lingkungannya sehat
mempunyai risiko 1 kali beresiko baik melakukan perilaku pencegahan
pneumonia dibandingkan dengan responden yang keadaan lingkungannya
tidak sehat .
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 keadaan lingkungan fisik meliputi kondisi rumah
yaitu keadaan rumah yang memenuhi syarat yang terdiri dari ventilasi,
kepadatan hunian, dan dapur yang ada dalam suatu rumah yang ketentuan
telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah. Dengan
keadaan ventilasi 10% dari luas lantai, kepadatan penghuni dengan luas
52

rumah 8m2 ditempati oleh satu orang dewasa dan dapur yang ukuran minimal
1,4m2 dan memiliki cerobong asap tersendiri.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sunaina
2010 yang menyatakan, bahwa kondisi fisik rumah mempengaruhi keaktifitan
keluarga dalam program pencegahan pneumonia. Demikian juga dengan hasil
penelitian ulang dilakukan oleh Dirman 2006 membuktikan bahwa kondisi
fisik rumah berpengaruh terhadap pencegahan ISPA terutama pneumonia
pada keluarga.
Menurut peneliti Suryani 2018, Faktor risiko yang terbukti
berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita adalah luas ventilasi OR
adjusted 5,99, artinya balita yang balita yang tinggal di rumah dengan luas
ventilasi kurang dari 10 % luas lantai, berisiko menderita pneumonia sebesar
5,99 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah
dengan luas ventilasi10 % dari luas lantai.
Menurut peneliti maka mengendalikan pneumonia, bagi responden
yang memiliki kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
terhadap pencegahan pneumonia, sebaiknya dapat melakukan hal yang lebih
bermanfaat agar dapat membantu mengendalikan timbulnya pneumonia pada
anggota keluarga. Kondisi fisik rumah sangat berpengaruh dalam pencegahan
pneumonia, sesuai dengan teori Lawreen Green tentang ketersediaan sarana,
rumah yang menjadi sarana perkembangan dan pencegahan pneumonia.
Dengan demikian hal ini sangat harus diperhatikan, keadaan rumah yang
memenuhi syarat kesehatan akan lebih memudahkan terjadi pencegahan
pneumonia. Kondisi fisik rumah dapat dilihat dari besar ventilasi 10% dari
luas lantai, kepadatan penghuni dengan luas rumah 8m2 ditempati oleh satu
orang dewasa dan dapur yang memiliki cerobong asap khusus serta dapur
yang ukuran minimal 1,4m2.
53

4. Hubungan Peran Tenaga Kesehatan Dengan Perilaku Pencegahan


Pneumonia Pada Anak 1-4 Tahun Di Puskesmas Harapan Raya
Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2018.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 22 responden yang
tidak ada peran tenaga kesehatan, diantaranya 16 (72,7%) responden yang
buruk melakukan perilaku pencegahan pneumonia dan sedangkan 36
responden yang ada peran tenaga kesehatan diantaranya 27 (75,0%)
responden yang baik melakukan perilaku pncegahan pneumonia. Hasil uji
stastistik di peroleh p = 1,000 (p value> 0,05), maka dapat disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan antara peran tenaga kesehatan dengan perilaku
pencegahan pneumonia. Dengan nilai Prevalen Odds Ratio (POR) = 0,889
(CI 95% 0,267-2,963) yang artinya responden yang ada peran tenaga
kesehatan mempunyai risiko 1 kali beresiko baik melakukan perilaku
pencegahan pneumonia dibandingkan dengan responden yang tidak ada peran
tenaga kesehatan .
Menurut Arsya 2014 Tenaga Kesmas merupakan bagian dari sumber
daya manusia yang sangat penting peranannya dalam pembangunan
kesehatan pada Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Pembangunan kesehatan
dengan paradigma sehat merupakan upaya meningkatkan kemandirian
masyarakat dalam menjaga kesehatan, melalui kesadaran yang leih tinggi
pada pentingnya pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif.
Menurut peneliti dengan demikian untuk mengendalikan pneumonia,
peran tenaga kesehatan sangat berdampak terhadap pencegahan pneumonia.
Dengan baiknya peran tenaga kesehatan akan berkontribusi terhadap
menurunnya kejadian pneumonia. Sebaiknya lebih banyak diadakan
penyuluhan dan waktu penyuluhan disesuaikan dengan aktifitas masyarakat,
melakukan hal-hal yang memberi informasi bermanfaat lagi agar dapat
membantu mengendalikan rimbulnya pneumonia pada keluarga. Dalam teori
Lawreen Green, berpengaruh dalam perilaku kesehatan karena tindakan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan menjadi contoh bagi masyarakat dalam
pencegahan pneumonia pada anggota keluarga.
54

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada BAB sebelumnya
yang paling dominan dengan perilaku Pencegahan pneumonia dapat diambil
kesimpulanterdapat hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan
pneumonia pada anak usia 1-4 tahun dengan P value = 0,041 dan POR = 4,317,
dan kemudian tidak terdapat hubungan antara sikap ,keadaan lingkungan dan
peran tenaga kesehatan dengan perilaku pencegahan pneumonia pada anak usia 1-
4 tahun.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut ada beberapa saran yang dapat
disampaikan peneliti antara lain :
1. Bagi Puskesmas Harapan Raya
a. Meningkatkan pendidikan kesehatan dan kunjungan rumah di wilayah
kerja Puskesmas Harapan Raya
Untuk lebih meningkatkan sikap masyarakat tentang pencegahan
pneumonia sebaiknya petugas kesehatan di Puskesmas Harapan Raya
memberikan pendidikan kesehatan terutama pencegahan pneumonia dan
melakukan kunjungan rumah pada masyarakat yang terdeteksi penyakit
pneumonia sehingga masyarakat lebih termotivasi untuk melakukan
tindakan pencegahan pneumonia.
b. Membentuk kelompok bimbingan tentang penyakit pneumonia
55

Dengan adanya kelompok bimbingan tentang pneumonia


diharapkan masyarakat lebih memahami tentang pencegahan pneumonia
dan dapat mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap pencegahan
pneumonia.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya


Diharapkan bagi peneliti selanjutnya agar lebih memperdalam dan
mengembangkan serta melanjutkan tentang perilaku pencegahan pneumonia
dengan variabel yang lebih banyak, misalnya umur, pekerjaan dan lain
sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai