Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bronkhopneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi pada anak yang

serius dan merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Menurut Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) pada

tahun 2014 menyebutkan seperlima dari kematian bayi dan balita terutama di

negara-negara berkembang disebabkan oleh pneumonia, melebihi penyakit –

penyakit lain seperti campak, malaria, serta AIDS. Setiap tahunnya terdapat 2 juta

bayi yang meninggal karena pneumonia , 5500 anak meninggal setiap hari atau 4

bayi meninggal setiap satu menit. Pada tahun 2010 pneumonia merupakan

pembunuh terbesar bagi balita diseluruh dunia dengan angka 18% dan diikuti oleh

diare dengan11 % (Liu et al,2014).

Pneumonia merupakan penyakit radang paru yang disebabkan

mikroorganisme,rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan, dapat menjadi

sumber infeksi dimana orang sakit di rawat dan ditempatkan dalam jarak yang

dekat. Infeksi nosokomial dapat terjadi pada penderita, tenaga kesehatan dan juga

setiap orang yang dapat dating ke rumah sakit. Infeksi yang ada di pusat

pelayanan kesehatan dapat ditularkan atau diperoleh melalui petugas kesehatan,

orang sakit, pengunjung yang berstatus karier atau karena kondisi rumah sakit.

(Darmadi,2008).
Kebanyakan anak - anak dibawah umur 5 tahun dinegara- negara

berkembang 4-6 kali pertahun terkena infeksi pernapasan akut atau

bronchopneumonia. Setiap tahunnya kira-kira 3 juta anak dibawah umur 5 tahun

meninggal akibat menderita bronchopneumonia. Radang paru-paru atau

bronchopneumonia akan menyebabkan infeksi saluran pernapasan paling fatal

dan dapat menyebabkan kematian hingga 75% pada anak dan balita di negara

berkembang.

Saat ini penumonia masih merupakan penyebab utama kematian bayi dan

balita di Indonesia. Angka kematian pneumonia balita di Indonesia secara

nasional berdasarkan hasil survey mortalitas yang dilakukan oleh Subdit Infeksi

Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di 10 propinsi pada tahuun 2015 tampak

pneumonia masih merupakan penyebab kematian tertinggi pada balita yaitu

sebesar 22,5%. Sedangkan berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

tahun 2013, menunjukkan prevelensi nasional Infeksi Saluran Pernapasan Akut

(ISPA): 25,5%, angka kesakitan (moebiditas) pneumonia pada balita 3% dan

angka kemaatian (mortalitas) pneumonia balita 15,5%.

Penderita pneumonia di provinsi jawa barat sendiri masih sangat tinggi

dan terus mengalami peningkatan tiap tahun nya. Untuk tahun 2015 tercatat

sebanyak 6.756 anak (8,5%) dan meningkat pada tahun 2017 sebesar 8.450 anak

(10,5%). Untuk RS.AU.dr. M. Salamun sendiri penderita pneumonia pada bayi

dan balita pada tahun 2015 sebanyak 766 orang, tahun 2016 meningkat menjadi

824 orang baik pasien rawat jalan maupun rawat inap.Penderita


bronchopneumonia tiga bulan terakhir berjumlah 230 orang hampir tiap bulannya

balita berkunjung sekitar 70 balita yang terkena bronchopneumonia.

Dengan tingginya angka penderita bronchopneumonia faktor resiko yang

berhubungan dengan kejadian pneumonia terbagi atas dua kelompok besar yaitu

faktor interistik dan faktor ektrinsik. Faktor interistik meliputi umur, jenis

kelamin, status gizi, berat badan lahir rendah, status imunisasi, pemberian ASI,

dan pemberian vitamin A. Faktor ektrinsik meliputi kepadatan tempat tinggal,

polusi udara, tipe rumah, ventilasi, kelembaban, letak dapur, jenis bahan bakar,

penggunaan obat nyamuk, asap rokok, penghasilan keluarga, serta faktor ibu baik

pendidikan, umur ibu, maupun pengetahuan (Azwar 2005).

Cakupan pneumonia yang tinggi menunjukkan bahwa kasus pneumonia

yang tidak dibawa berobat kerumah sakit. Bila kasus kualitas pelayanan rendah ini

dikarenakan peran petugas dalam memberikan pengobatan standar belum berjalan

optimal persediaan obat belum berjalan optimal, persediaan obat belum

mencakupi dan masyarakat belum tau cara perawatan pneumonia yang benar serta

control ulang kunjungan penderita pneumonia yang masih belum berjalan dengan

baik. Keberhasilan keluarga merawat anak balita dengan menderita pneumonia

harus didukung oleh pengetahuan yang baik dan ketaatan sikap untuk melakukan

kontrol ulang.

Agar orang tua balita yang menderita peneumonia dapat melaksanakan

anjuran control ulang dengan baik diperlukan bantuan tenaga kesahatan.

Pemilihan ibu sebagai kelompok sasaran karena pada umumnya ibu merupakan

orang yang terdekat dengan anaknya dan sering sekali ibu berperan sebagai
pengambil keputusan dalam mencari pertolongan pengobatan dini bagi anaknya

yang sakit dengan kata lain ibu sangat menentukan derajat kesahatan keluarga.

Adapun peran perawat sebagai pendidik dapat memberikan penyuluhan kepada

keluarga mengenai macam –macam upaya perawatan balita pneumonia, sebagai

pengamat kesehatan tugas perawat melakukan monitoring perubahan pengetahuan

dan sikap keluarga dalam pencegahan penyakit pneumonia (Depkes RI,2014)

Pemerintah mempunyai program untuk menekan dan mengurangi angka

kematiaan akibat bronchopneumonia ini diantaranya melalui penemuan kasus

pneumonia balita sedini mungkin di pelayanan kesehatan dasar agar dapat

diberikan pengobatan yang cepat. Selain itu pemerintah juga melakukan

penyuluhan ke masyarakat sekitar gaya hidup sehat agar terhindar dari penyakit

bronchopneumonia. Akan tetepi program pemerintah akan berhasil apabila orang

tua penderita dapat bekerja sama dalam pemberian obat secara teratur, gaya hidup

sehat dan memberikan gizi yang cukup agar dapat terhindar dari penyakit

bronchopneumonia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah faktor- faktor yang mempengaruhi Bronkhopneumonia pada

balita di RS.AU. dr M. Salamun.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-

faktor yang mempengaruhi Bronkhopneumonia pada balita di RS.AU.dr. M.

Salamun

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran kejadian penyakit bronchopneumonia pada

balita di RS.AU.dr. M. Salamun.

b. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan orang tua tentang kejadian

bronchopneumonia pada balita di RS.AU dr.M.Salamun.

c. Untuk mengetahui status ekonomi keluarga dengan kejadian

bronchopeneumonia pada balita di RS.AU.dr.M. Salamun.

d. Untuk mengetahui kondisi lingkungan dengan kejadian

bronchopneumonia pada balita di RS.AU.dr.M.Salamun.

e. Untuk mengetahui sikap orang tuan dengan kejadian bronchopneumonia

pada balita di RS.AU.dr.M.Salamun.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan ilmu dan

pengetahuan serta keterampilan terutama dalam melakukan pengobatan pada

balita yang menderita penyakit bronchopneumonia.

2. Bagi Institusi Pendidikan


Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun materi pembelajaran

kepada mahasiswa dengan menggunakan hasil penelitian.

3. Bagi Peneliti lain.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk

melaksanakan pengembangan penelitian lebih lanjut. Penelitian ini juga dapat

menjadi motivasi bagi peneliti untuk melakukan penelitian yang berkaitan

dengan penyakit bronchopneumonia pada balita.

4. Bagi Orang Tua/ Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam

penanganan dan pencegahan pada penederita pneumonia agar tidak terulang

kembali.

E. Ruang Lingkup

1. Lingkup Tempat

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit AngkatanUdara

dr.M.Salamun Bandung.

2. Lingkup Waktu

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan November 2017– Januari

2018.

3. Lingkup Materi

Para penelitian ini di fokuskan pada balita yang menderita penyakit

bronchopneumonia yang berobat di RS.AU dr.M.Salamun.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Bronkhopneumonia

2.1 Pengertian Pneumonia

Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai

pola penyebaran bercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di

dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya

(Smeltzer & Suzanne C,2002:57). Bronkopneumonia adalah bronkolius

terminal yang tersumbat oleh eksudat, kemudian menjadi bagian yang

terkonsolidasi atau membentuk gabungan di dekat lobules, disebut juga

pneumonia lobaris (Whaley& Wong,2000).

Bronkopneumonia berasal dari kata bronchus dan pneumonia berarti

peradangan pada jaringan paru-paru dan juga cabang tenggorokan (broncus).

(Arief Mansjoer) Bronkopneumonia suatu cadangan pada parenkim paru yang

meluas sampai bronkioli atau dengan kata lain peradangan yang terjadi pada

jaringan paru melalui cara penyebaran langsung melalui saluran 8 pernafasan

atau melalui hematogen sampai ke bronkus.(Riyadi sujono& Sukarmin,2009)

Kesimpulannya bronkopneumonia adalah jenis infeksi paru yang

disebabkan oleh agen infeksius seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing

yang mengenai daerah bronkus dan sekitar alveoli.


2.2 Etiologi Bronkhopneumonia

Etiologi pneumonia dibedakan berdasarkan agen penyebab infeksi, baik

itu bakteri, virus, maupun parasite. Pada umumnya terjadi akibat adanya infeksi

bakteri pneumokokus (Streptococus pneumonia). Beberapa penelitian menemukan

bahwa kuman ini menyebabkan pneumonia hamper pada semua kelompok umur

dan paling banyak terjadi dinegara- Negara berkembang (Machmud,2012).

Bakteri- bakteri lain seperti staphylococcus, pneumococcus, dan haemophylus

influenza, serta virus dan jamur juga sering menyebabkan pneumonia. Salah satu

penelitian dilakukan oleh Prof.Dr.Cissy B Kartasasmita SpA (K), Msc pada

sejumlah anak dibandung tahun 2000 ditemukan adanya pneumonia 30% positif

pneumonia berdasarkan hasil pemerikasaan sediaan apus tenggorokan dengan

65% diantaranya kuman pneumokokus (medicastore2010).

Akan tetapi, dari pandangan yang berbeda didapatkan bahwa gambaran

etiologi pneumonia dapat diketahui berdasarkan umur penderita.Hal ini terlihat

dengan adanya perbedaan agen penyebab penyakit, baik pada bayi maupun balita.

Ostapchuk menyebutkan kejadian pneumonia pada bayi neonatus lebih banyak

disebabkan oleh bakteri streptococcus dan Gram negative enteric bacteria

(Escheriachia coli). Hal ini dijelaskan pula oleh Correa, Bahwa bakteri

Streptococus pneumonia sering menyerang neonatus berumur 3 minggu hingga 3

bulan (Machmud,2010). Sementara itu, pneumonia pada anak-anak usia balita


lebih sering disebabkan oleh virus, salah satunya oleh Respiratory syncytial virus

(Ostapchuk dalam Machmud,2008).

2.3. Klasifikasi Klinis Penyakit Pneumonia

Kejadian pneumonia pada balita diperlihatkan dengan adanya ciri-ciri

demam, batuk, pilek, disertai sesak napas dan tarikan dinding dada bagian bawah

ke dalam (chest indrawing), serta sianosis pada infeksi yang berat. Tarikan

dinding dada bagian bawah ke dalam terjadi Karena gerakan paru yang

mnegurang akibat infeksi pneumonia yang berat. Pada usia dibawah 3 bulan,

kejadian pneumonia diikuti dengan penyakit pendahulu seperti otitis media,

conjungtivitis, laryngitis dan pharyngitis. Adapun penentuan klasifikasi klinis

penyakit pneumonia dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok umur 2 bulan

– kurang 5 tahun dan kelompok umur kurang 2 bulan. Untuk anak berumur

kurang, klasifikasi dibagi atas bukan pneumonia, dan pneumonia berat sedangkan

untuk anak berumur kurang dari 2 bulan, maka di klasifikasikan atas bukan

pneumonia dan penemonia berat (Depkes 2010). Pnemonia berat pada anak umur

2 bulan kurang 5 tahun dilihat dari adanya kesulitan bernapas dan atau tarikan

dinding dada bagian bawah ke dalam,sedangkan pada anak umur kurang 2 bulan

diikuti dengan adanya napas cepat dan tarikan dinding dada bagian baawah ke

dalam.

Kelompok Umur Kriteria Pneumonia Gejala Klinis

2 bulan kurang – Batuk bukan pneumonia Tidak ada napas dan tidak ada

5tahun tarikan dinding dada bagian


bawah

Pneumonia Adanya napas cepat dan tidak

tarikan dinding dada bagian

bawah kedalam

Pneumonia berat Adanya tarikan dinding dada

bagian ke dalam

Kurang 2 bulan Bukan pnemonia Tidak ada napas cepat dan tidak

ada tarikan dada bagian bawah

kedalam yang kuat

Pneumonia berat Adanya napas cepat dan tarikan

dinding dada bagian bawah

kedalam yang kuat

Table 2.1 Klasifikasi Klinis Pneumonia Pada Balita Menurut Kelompok Umur

Kriteria napas cepat berdasarkan frekuensi pernpasan dibedakan menurut

umur anak. Untuk umur kurang 2 bulan, dikatakan napas cepat jika frekuensi

napas 60 kali permenit atau lebih, sedangkan untuk umur 2 bulan sampai kurang

12 bulan jika kurang 50 kali permenit , dan umur 12 bulan sampai kurang jika

kurang dari 40 kali permenit (Depkes RI,2012). Peningkatan frekuensi napas

terjadi pada penderita pneumonia sebagai akibat infeksi fisiologis terhadap

keadaan hiposia (kekurangan oksigen) atau dapat pula terjadi pada anak yang

gelisa/akut.

Selain dilihat dari frekuensi napas, pneumonia juga dapat di klasifikasikan

berdasarkan anatomi organ yang terkena, yang dibagi atas pneumonia lobaris,
pneumonia segmentalis dan pneumonia lobularis. Pnemonia lobularis biasanya

mengenai paru bagian atau lebih dikenal sebagai bronkhopnemonia.

2.4 Diagnosis Pneumonia

Pada dasarnya, diagnosis etiologi pneumonia pada bayi dan balita sulit

ditegakkan oleh karena dahak sukar diperoleh. Sulitnya penegakkan diagnositik

penyakit pneumonia juga dapat disebabkan karena adanya defek anatomi

kongenital, kurangnya fungsi imunitas karena obat atau penyakit serta karena

adanya penyakit yang bersifat genetis dan mempengaruhi perkembangan tubuh

(Machmud,2010).

Prosedur yang diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal adalah dengan

aspirat paru dan pemeriksaan specimen darah. Akan tetapi, pada kenyataan hal ini

sulit dilakukan mengingat prosedurnya yang bersifat invasive serta dinilai

berbahaya dan bertentangan dengan kode etik, khususnya jika dilakukan untuk

kepentingan penelitian. Oleh karena itu, pada umumnya diagnosisnya etiologi

pneumonia pada bayi dan balita masih dapat dilihat dari gejala- gejala klinis

sedehana tanpa penentuan dari data laboratorium maupun radiologis. Pemeriksaan

laboratorium untuk melihat adanya organisme penyebab hanya dilakukan pada

pasien pneumonia yang dirawat di rumah sakit dan memiliki riwayat komplikasi.

2.5 Faktor resiko Pnemonia

1. Pemberian Asi

Berdasarkan pedoman manajemen laktasi (2012) yang dimaksud dengan

pemberian ASI eksklusif disini yaitu bayi hanya pemberian ASI tanpa makanan
atau minuman lain ternasuk air putih kecuali obat,vitamin, mineral dan ASI yang

diperas.Asi mengandung nutrisi dan zat-zat penting yang berguna terhadap

kekebalan kekebalan tubuh bayi . Zat- zat yang bersifat protektif tersebut dapat

melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. Oleh sebab itu sangat penting bagi

bayi untuk segera diberikan ASI sejak lahir karena pada saat itu baik belum dapat

memproduksi zat kekebalannya sendiri.

2. Status gizi balita

Beberapa studi melaporkan bahwa kekurangan gizi akan menurunkan

kapasitas kekebalan untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan

fungsi granulosit, penurunan fungsi komplemen dan juga menyebabkan

kekurangan mikronutrient (Sunyataningkamto,2014). Oleh karena itu pemberian

nutrsi yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan balita dapat mencegah

anak terhindar dari penyakit infeksi sehingga pertumbuhan dan perkembangan

balita dapat mencegah anak terhindar dari penyakit infeksi sehingga pertumbuhan

dan perkembangan anak menjadi optimal.

3. Status Imunisasi

Pada dasarnya beberapa penyakit- penyakit infeksi yang terjadi pada

anak- anak dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I),yaitu antara lain difteri ,

pertussis, tetanus, hepatitis, tuberculosis, campak dan polio. Beberapa hasil studi

menunjukkan bahwa pneumonia juga merupakan penyakit yang dapat dicegah

melalui pemberian imunisasi, yaitu dengan imunisasi campak dan pertussis

(Mahmud,2012). Penyakit pertusis berat dapat menyebabkan infeksi saluran napas


berat seperti pneumonia. Oleh karena itu pemberian imunisasi DPT (Difteri,

Pertusis, dan Tetanus) dapat mencegah pneumonia.

Akan tetapi kini telah berkembang di dunia sebuah vaksin yang

penggunaannya dapat menurunkan kejadian penyakit infeksi pneumokokus (IPD)

pada bayi dan anak- anak. Pemberian vaksin ini merupakan tindakan pencegahan

yang dipercaya sebagai langkah protektif setelah diketahui bahwa saat ini

resistensi kuman terhadap antibiotik semakin meningkat. Setelah di vaksinasi,

bayi dan anak- anak akan memperoleh Herd Immunity atau kekebalan populasi.

WHO telah merekomendasikan penggunaan vaksin pneumokokus konjugasi

(PCV-7) ini di setiap Negara dalam program imunisasi nasional khususnya pada

Negara dengan mortalitas anak usia kurang 5 tahun mencapai lebih dari 50

kematian per 1000 kelahiran atau mencapai lebih dari 50.000 kematian

pertahunnya

Umur Jenis Vaksin

Bayi lahir di rumah

0 bulan HB 1

1 bulan BCG, Polio 1

2 bulan DPT1, HB2, Polio 2

3 bulan DPT2, HB3, Polio 3

4 bulan DPT3, Polio 4

9 bulan Campak

Bayi lahir di RS
0 bulan HB1, Polio 1, BCG

2 bulan DPT, HB2, Polio

3 bulan DPT 2, HB3, Polio 3

4 bulan DPT3, Polio 4

9 bulan Campak

Jadwal pemberian Imunisasi pada bayi dengan menggunakan vaksin DPT

dan HB dalam bentuk terpisah

Umur Jenis Vaksin

Bayi lahir dirumah

0 bulan HB1

1 bulan BCG, Polio 1

2 bulan DPT/ HB kombo 1,Polio 2

3 bulan DPT/ HB kombo 2, polio 3

4 bulan DPT/ HB kombo 3, Polio 4

9 bulan Campak

Bayi baru lahir di Rs

0 bulan HB1, Polio 1, BCG

2 bulan DPT/ HB kombo 1, polio 2

3 bulan DPT/ HB komb 2, Polio 3

4 bulan DPT/ HB kombo 3,polio 4

9 bulan Campak
Jadwal pemberian Imunisasi pada bayi dengan menggunakan Vaksin DPT/HB

Kombo.

4. Defisiensi Vitamin A

Dari hasil penelitian (Herman,2012) menunjukkan tidak ada hubungan

yang bermakna antara riwayat pemberian vitamin A dengan kejadian pneumonia,

proporsi anak balita yang mendapatkan vitamin A dan menderita pneumonia

masih lebih tinggi. Peneliti menjelaskan balita yang tidak mendapatkan vitamin A

dengan dosis tinggi lengkap mempunyai peluang 3,8 kali terkena pneumonia

dibanding anak yang memiliki riwayat pemeberian vitamin A dosis tinggi lengkap

dengan cara statistic mempunyai hubungan (p=0,00). Hal ini bisa disebabkan

karena jumlah sample yang diteliti tidak mencukupi untuk meneliti variable

vitamin A. Pemberian vitamin A pada balita bersamaan dengan imunisasi dapat

meningkatkan titer antibodi yang spesifik.

5. Pemberian Makanan Terlalu Dini

Pemberian makan terlalu dini kepada bayi dapat mengakibatkan bayi

terkena pneumonia (Depkes RI, 2007). Pada bulan- bulan pertama

kehidupannya belum mampu menerima makanan. Hal ini disebabkan

karena saluran pencernaan yang belum sempurna.Kekebalan tubuh

bayi juga belum sepenuhnya terbentuk oleh karna itu diperlukan

asupan dari ibu yang diberikan kepada bayi melalui ASI. Pada

dasarnya makanan juga sangat rentan untuk tercemar oleh

kuman.Pemberian makanan belum mampu mencernanya dengan baik


sehingga jika ada kuman yang masuk melalui makanan, bayi akan

mudah terinfeksi penyakit.

6. Faktor Orang Tua

a. Pendidikan Ibu

Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh melalui jenjang

pendidikan. Di Negara- Negara berkembang terdapat petunjuk yang jelas tentang

adanya perbedaan tingkat kelangsungan hidup anak yang berkaitan dengan

pendidikan ibu. Pendidikan ibu adalah salah satu factor yang secara tidak

langsung mempengaruhi kejadian pneumonia pada bayi dan balita.

b. Pengetahuan Ibu

Tingkat pengetahuan ibu ber[eran besar terhadap kejadian pneumonia

balita.Hal ini berkaitan dengan perilaku ibu dalam memberikan makanan yang

memadai dan bergizi kepada anaknya serta perilaku ibu dalam pencarian

pengobatan .Pengetahuan lebih jauh tentang penyakit pneumonia dan praktek

pelayanan yang benar akan meningkatkan keberhasilan dalam upaya penurunan

angka kesakitan dan kematian pada pneumonia

c. Sosial Ekonomi

Faktor sosio- ekonomi merupakan salah satu faktor contributor utama

dalam penyakit pernapasan. Terdapat hubungan korelasi negatif antara status

social ekonomi dengan morbiditas infeksi saluran napas.Pada umumnya status

eknomi yang berhubungan dengan insiden pneumonia diukur dari besarnya rumah

tangga, banyakknya kamar, dan banyaknya orang yang menghuni tiap kamar.
Masyarakat miskin juga identik dengan ketidakmampuannya dalam pemenuhan

kebutuhan dasar. Balita yang hidup dalam keluarga dengan social ekonomi yang

rendah cenderung kurang mendapat asupan makanan yang cukup sehingga lebih

rentan terkena penyakit.

7. Faktor Lingkungan

a. Polusi Udara di dalam Rumah

Polusi udara dapat terjadi baik didalam rumah maupun luar rumah.

Polusi udara didalam rumah dihasilkan dari pembuangan asap

seperti asap rokok dan asap pembakaran kompor tungku atau kayu

bakar. Asap tersebut berpotensi besar menimbulkan pajanan

partikulat seperti PM 10 (Partikulat Matter 10 mikron). Jika terhirup

asap tersebut dapat mengganggu pernapasan.Pemejanan oleh

partikulat lebih berpotensial terjadi jika dapur sering beradaatau

kamar tidur yang berdekatan dengan dapur lebih beresiko untuk

mengalami gangguan pernapasan (Smith,2010)

b. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian untuk rumah sederhana adalah minimal 10

m2/orang. Jika suatu rumah memilki kepadatan hunian yang tinggi

maka akan mempengaruhi pertukaran udara didalam rumah. Foster

menjelaskan bahwa kepadatan orang dalam rumah berhubungan

dengan kejadian pneumonia pada balita (Machmud,2012).

c. Ventilasi Rumah
Ventilasi atau pertukaran udara adalah proses penyediaan dan

pengeluaran udara dari suatu ruang secaraalamiah maupun

mekanis. Pertukaran udara secara mekanis dilakukan melalui

penyediaan lubang ventilasi didalam rumah. Pada dasarnya luas

lunang tersebut minimal 5% dari luas lantai.Akan tetapi jika

ditambah dengan lubang ventilasi menjadi 10% dari luas lantai.

Pada penelitian Herman (2007) diketahui bahwa balita yang

tinggal dirumah dengan ventilasi yang tidak sehat akan memiliki

resiko 4,2 kali lebih besar untuk terkena pneuomonia dibandingkan

yang tinggal dengan ventilasi sehat.

d. Kondisi Fisik Rumah

Rumah yang sehat adalah bangunan rumah yang tinggal yang telah

memenuhi syarat kesehatan dengan beberapa kriteria antara lain

memenuhi kebutuhan fisik (Suhu, iluminasi dan ventilasi),

memenuhi kebutuhan jiwa (privasi dan hubungan antar anggota

keluarga), memenuhi kriteria keselamatan (bangunan yang kokoh

daan terhindar dari gas beracun) serta mampu melimdungi

penghuninya dari kemungkinan penularan (Machmud 2012). Oleh

sebab itu, sangatlah penting memikirkan hal-hal tersebut diatas

agar seluruh anggota keluarga dapat merasa sehat dan nyaman

berada dirumah.
Rumah yang tidak sehat dapat memudahkan penularan

penyakit pernapasan. Contohnya saja jika ventilasi udara dan

pencahayaan dirumah yang tidak baik. Kuman-kuman akan cepat

berkembang biak jika rumah dibiarkan lembab dan tidak terawat.

B. Balita

1. Pengertian Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu

tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak dibawah lima

tahun (Muaris.H,2006). Menurut Sutomo . B. dan Anggraeni (2014)

Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (Batita) dan anak

prasekolah (3-5 tahun). Saat ini usia batita anak masih tergantung

penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti

mandi, buang air, dan makan.Perkembangan berbicara dan berjalan

sudah bertambah baik namun kemampuan lain masih terbatas.

2. Karakteristik Balita

Menurut karakteristik, balita terbagi dua kategori yaitu anak usia 1-

3 tahun (batita) dan anak usia prasekolah. Anak usia 1-3 tahun

merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari

apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih

besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah

makanan yang relative besar. Namun perut yang masih lebih kecil
menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam

sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh

karena itu pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan

frekuensi sering.

Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif.

Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia

ini anak mulai bergaul dengan lingkungan atau bersekolah

playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam

perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes

sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan.

Pada masa ini berat badan anak masih mengalami

penurunan,akibat dari aktivitas yang mulai banyak mengalami

gangguan status gizi bila dibandingkan dengan anak laki- laki.

(Depkes,Ri 2014)

3. Tumbuh Kembang Balita

Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda –beda, namun

prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama yaitu:

a. Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian

bawah (sefalakaudal).

Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ujung kaki, anak

akan berusaha menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar

menggunakan kakinya.

b. Perkembangan dimulai dari batang tubuh kearah luar.


Contohnya adalah anak akan lebihdulu menguasai penggunaan

telapak tangan untuk menggenggam, sebelum ia mampu meraih

benda dengan jemarinya

c. Setelah dua pola diatas dikuasai, barulah anakbelajar

mengeksplorasi keterampilan – keterampilan lain seperti

melempar menendang,berlari dan lain-lain.

Pertumbuhan pada bayi dan balita merupakan gejala kuantitatif.

Pada konteks ini,berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel,

serta jaringan intraseluler pada tubuh anak disertai penambahan

ukuran – ukuran tubuhnya . Hal ini ditandai oleh:

a. Meningkatnya berat badan dan tinggi badan.

b. Bertambahnya ukuran lingkar kepala.

c. Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham.

d. Menguatkan tulang dan membesar otot- otot.

e. Bertambah organ – organ tubuh lainnya seperti

rambut,kuku, dan sebagainya.

Penambahan ukuran – ukuran tubuh ini tentu tidak harus drastis,

sebaliknya berlangsung perlahan, bertahap, dan terpola secara proporsional pada

tiap bulannya. Ketika didapati penambahan ukuran tubuhnya artinya proses

pertumbuhannya berlangsung baik. Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan

ukuran, itu sinyal terjadinya ganguan atau hambatan proses pertumbuhan.

Cara mudah mengetahui baik tidaknya pertumbuhan bayi dan balita adalah

dengan mengamati grafik pertambahan berat badan dan tinggi badan yang
terdapat dengan mengamati grafik pertambahan berat badan dan tinggi badan

yang terdapat pada Kartu menuju Sehat (KMS). Dengan bertambahnya usia anak,

harusnya bertambah pula berat badan dan tinggi badannya. Cara lainnya yaitu

dengan pemantauan gizi, pemantauan status gizi pada bayi dan balita telah

dibuatkan standarisasinya oleh Harvard University dan Wolanski. Penggunaan

standar tersebut di Indonesia telah di modifikasi agar sesuai untuk kasus anak

Indonesia.

Perkembangan pada masa balita merupakan gejala kualitatif, artinya pada

diri balita berlangsung proses peningkatan dan pematangan (maturasi) kemapuan

personal dan kemampuan sosial.

4. Kebutuhan Utama proses tumbuh kembang

Menurut Evelyn dan Djamaludin.2012) Dalam proses tumbuh kembang

anak memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi, kebutuhan tersebut yakni:

Kebutuhan akan gizi (asuh), Kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih)

dan kebutuhan stimulasi dini (asah).

a. Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh)

Usia balita adalah periode penting dalam proses tubuh kembang

anak yang merupakan masa pertumbuhan dasar anak. Pada usia ini

perkembangan kemampuan berbahasa,berkreativitas, kesadaran

sosial, emosional dan intelegensi anak berjalan sangat cepat.

Pemenuhan kebutuhan gizi dalam rangka menopang tumbuh

kembang fisik dan biologis balita perlu diberikan secara tepat dan
berimbang. Tepat berarti makanan yang diberikan mengandung

zat- zat gizi yang sesuai kebutuhan berdasarkan tingkat usia.

Berimbang berarti komposisinya zat-zat gizinya menunjang proses

tumbuh kembang sesuai usianya. Dengan terpenuhinya

kebutuhangizi secara baik, perkembangan bagian otak yang

mengatur system sensorik dan motoriknya.

Pemenuhan kebutuhan fisik atau biologis yang baik akan

berdampak pada system imunitas tubuhnya sehingga daya tahan

tubuhnya akan terjaga dengan baik dan tidak mudah terserang

penyakit.

b. Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih).

Kebutuhan ini meliputi upaya orang tua mengekspresikan

perhatian dan kasih sayang serta perlindungan yang aman dan

nyaman kepada si anak. Orang tua perlu menghargai segala

keunikan dan potensi yang ada padaa anak , pemenuhan yang tepat

atas kebutuhan emosi atau kasih sayang akan menjadikan anak

tumbuh cerdas secara emosi terutama dalam kemampuannya

membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Orang tua

harus menempatkan diri sebagai teladan baik bagi anak- anaknya.

Melalui keteladanan tersebut anak lebih mudah meniru unsur –

unsur positif, jauhi kebiasaan member hukuman pada anak

sepanjang hal tersebut dapat diarahkan melalui metode pendekatan

berlandaskan kasih sayang.


c. Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah)

Stimulasi dini merupakan kegiatan orang tua memberikan

rangsangan tertentu pada anak sedini mungkin. Bahkan hal ini

dianjurkan ketika anak masih dalam kandungan dengan tujuan agar

tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan optimal.

Stimulasi dini meliputi kegiatan merangsang melalui sentuhan-

sentuhan lembut secara bervariasi dan berkelanjutan, kegiatan

mengajari anak berkomunikasi, mengenal objek warna, mengenal

huruf dan angka. Selain itu stimulasi dini dapat mendorong

munculnya pikiran dan emosi positif, kemandirian, kreativitas dan

lain- lain.

Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini secara baik dan benar dapat

merangsang kecerdasan majemuk (multiple intelligence).

Kecerdasan majemuk ini meliputi kecerdasan linguistic,

kecerdasan logis-matematis, kecerdasan intrapribadi

(intrapersonal), kecerdasan interpersonal dan kecerdasan naturalis.

C. Faktor – faktor yang mempengaruhi bronchopneumonia pada anak

balita

a. Usia balita

Bayi dan balita memiliki mekanisme pertahanan tubuh yang masih

rendah dibanding orang dewasa sehingga balita masuk ke dalam

kelompok yang rawan terhadap infeksi sepertiinfluenza dan

pneumonia. Anak- anak berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap


penyakit pneumonia dibanding anak-anak usia diatas 2 tahun. Hal ini

disebabkan imunitas yang belum sempurna dan saluran pernapasan

yang relatif sempit (DepKes RI,2004). Selain itu,balita yang lahir

premature (usia gestasi kurang 37 minggu) mempunyai resiko tinggi

terhadap penyakit-penyakit yang berhubungan dengan maturitas SSP

(Susunan Syaraf Pusat) dan paru- paru antara lain aspirasi pneumonia

karena reflek menghisap, menelan, dan batuk yang belum sempurna

dan sindroma gangguan pernapasan idiopatik (penyakit membrane

hialin)

b. Jenis Kelamin Balita

Anak laki- laki adalah faktor resiko yang mempengaruhi kesakitan

pneumonia (DepKes RI,2004). Hal ini disebabkan diameter saluran

pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibanding dengan anak

perempuan (Sunyataningkamto, 2010).

c. Berat badan lahir balita

Pada bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) pembentukan zat

anti kekebalan kurang sempurna, beresiko terkena penyakit infeksi

terutama pneumonia sehingga resiko kemayian menjasi lebih besar

dibanding dengan berat badan lahir normal.

d. Riwayat mendapatkan vitamin A

e. Riwayat imunisasi campak balita


Balita yang telah mendapatkan imunisasi campak diharapkan terhindar

dari penyakit campak dan pneumonia merupakan komplikasi yang

paling sering terjadi pada anak yang mengalamipenyakit campak. Oleh

karena itu imunisasi campak sangat penting membantu mencegah

terjadinya penyakit pneumonia (UNICEF-WHO,2012).

f. Riwayat imunisasi DPT

Imunisasi DPT dapat mencegah terjadinya difteri, pertusis, dan

tetanus. Menurut UNICEF-WHO (2014) pemberian imunisasi dapat

mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai

komplikasi penyakit pertusis ini. Pertusis dapat diderita oleh semua

orang tetapi penyakit lebih serius bila terjadi pada bayi, oleh karena

pemberian imunisasi DPT sangatlah tepat untuk mencegah anak

terhindar dari penyakit pneumonia.

Anda mungkin juga menyukai