Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KOMPREHENSIF

ASUHAN KEBIDANAN PADA AKSEPTOR KONTRASEPSI METODE


OPERASI WANITA (MOW) DI POLI KB/ NIFAS RSUD DR. SOETOMO
SURABAYA

OLEH:
RATIH NAWANG WULAN
NIM. 011913243034

PROGRAM STUDI PROFESI PENDIDIKAN BIDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa Nifas (peurperium) merupakan periode setelah plasenta lahir sampai
kembalnya alat kandungan ke keadaan sebelum hamil yang berlangsung kira-kira 6
minggu (Kemenkes RI. 2013). Pelayanan pasca persalinan harus terselenggara pada
masa ini untuk memenuhi kebutuhan ibu dan bayi yang meliputi upaya pencegahan,
deteksi dini dan pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi imunisasi, nutrisi dan
cara menjarangkan kehamilan (Prawirohardjo. 2010). Kebutuhan ibu nifas
mengenai cara menjarangkan kehamilan merupakan salah satu tujuan dari keluarga
berencana (KB).
Keluarga berencana adalah upaya untuk mengatur kelahiran anak, jarak, dan
usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan melalui promosi, perlindungan dan
bantuan sesuai hak reproduksi untuk mencapai keluarga berkualitas (Sugiyono.
2018). Keluarga Berencana Nasional mempunyai tujuan mewujudkan
pembangunan yang berwawasan kependudukan dan mewujudkan keluarga kecil
bahagia sejahtera. Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia diproyeksikan dari
1,49 % pertahun pada periode 2000 – 2010 menurun menjadi 1,38% pertahun pada
kurun 2010 – 2015, kemudian pada periode 2015 – 2019 menjadi 1,19% pertahun
(Sugiyono. 2018). Salah satu upaya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk
bisa melalui program keluarga berencana (KB). Upaya KB yang dalam hal ini
berkaitan dengan penekanan laju pertumbuhan penduduk yaitu melalui pemilihan
dan penggunaan alat kontrasepsi.
Merencanakan keluarga perlu adanya komitmen yang kuat oleh pasangan usia
subur (PUS). Berdasarkan data dari kementerian kesehatan Republik Indonesia
(Kenmenkes RI) tahun 2018, jumlah PUS yang sudah menggunakan alat
kontrasepssi sebanyak 38. 343.931 PUS. Jumlah tersebut terbagi berdasarkan jenis
kontrasepsi yang dipakai yakni sebanyak 1.759.862 PUS (7,35 %) menggunakan
alat kontrasepsi dalam rrahum (AKDR), 660.259 PUS (2,76 %) menggunakan
Medis Operasi Wanita (MOW), 119. 314 PUS (0,50 %) menggunakan Medis
Operasi Pria (MOP), 1.724.796 PUS (7,20 %) menggunakan implan, 15.261.014
PUS (63,71 %) menggunakan suntik, 298.218 PUS (1,24 %) menggunakan
kondom, 4.130.495 PUS (17,24 %) menggunakan pil. Salah satu alat kontrasepsi
yang memiliki efektivitas cukup tinggi yakni tubektomi namun kenyataannya hanya
2,76% PUS yang menjadikan MOW atau tubektomi sebagai media untuk
merencanakan keluarga berencana.
Tubektomi atau Medis Operasif Wanita (MOW) merupakan tindakan penutupan
terhadap kedua saluran telur kanan dan kiri dengan demikian sel telur tidak dapat
bertemu dengan sperma sehingga tidak terjadi kehamilan (Rodiani dan Forcipta.
2017). Tubektomi termasuk metode kontrasepsi yang efektif. Efektivitas tubektomi
cukup tinggi jika dibandingkan dengan metode lain yakni kurang dari 1 kehamilan
per 100 perempuan pada tahun pertama penggunaan (Affandi. 2014)
Bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan memiliki peran terhadap program
keluarga berencana melalui komunikasi informasi dan edukasi kepada masyrakat.
Bidan dapat membantu, memotivasi dan mengaeahkan pasien atau masyarakat
dalam penggunakan kontrasepsi sesuai kebutuhan (Ferbriyanti, dkk. 2015).
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk membuat laporan praktik
klinik profesi tentang asuhan kebidanan pada akseptor KB MOW.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada akseptor KB
MOW dengan menerapkan pola pikir melalui pendekatan manajemen Varney
dan pendokumentasian menggunakan SOAP.
1.2.2 Tujuan khusus
1. Mampu menjelaskan konsep dasar masa nifas, section caesaria dan kontrasepsi
MOW.
2. Mampu menjelaskan konsep dasar asuhan kebidanan pada ibu nifas Post SC dan
akseptor KB MOW (Follow up)
3. Mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas Post SC dan akseptor
KB MOW (Follow up)
4. Mampu melakukan pendokumentasian dengan menggunakan SOAP
5. Mampu melakukan pembahasan antara kasus dengan konsep dasar teori
mengenai masa nifas dan kontrasepsi MOW .
1.3 Manfaat
1.3.2 Manfaat bagi penulis
Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan selama pendidikan
1.3.2 Manfaat bagi klien
Klien mendapatkan asuhan kebidanan yang komprehensif dan terhindar dari
komplikasi yang tidak diinginkan
1.4 Pelaksanaan
Asuhan Kebidanan ini dilaksanakan di Poli KB 1 RSUD Dr Soetomo Surabaya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Masa Nifas

2.1.1 Definisi
Masa nifas (puerperium) adalah masa setelah plasenta lahir dan berakhir
ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas
berlangsung selama kira-kira 6 minggu (Saleha, 2009).
Menurut Saifuddin (2009), masa nifas adalah waktu yang dimulai setelah
kelahiran placenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti
keadaan sebelum hamil.
Masa nifas adalah masa yang dimulai setelah plasenta keluar dan berakhir
ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan semula (sebelum hamil).
Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu. Selama masa pemulihan
tersebut berlangsung, ibu akan mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun psikologis (Sulistyawati, 2009).
Masa nifas (puerperium) adalah masa pemulihan kembali, mulai dari
persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil. Lama
masa nifas 6-8 minggu (Sofian, 2013)

2.1.2 Klasifikasi
Saleha (2009), membagi masa nifas menjadi 3 tahapan, yakni diantaranya
adalah :
a. Periode Immediate Postpartum
Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada masa ini
sering terdapat masalah, misalnya perdarahan karena atonia uteri. Oleh
karena itu bidan dengan teratur harus melakukan pemeriksaan kontraksi
uterus, pengeluaran lochea, tekanan darah dan suhu.
b. Periode Early Postpartum (24 jam – 1 minggu)
Pada fase ini bidan memastikan involusi uteri dalam keadaan normal, tidak
ada perdarahan, lochea tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup
mendapatkan makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik.
c. Periode Late Postpartum (1 minggu – 5 minggu)
Pada periode ini bidan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan
sehari-hari serta konseling KB.

2.1.3 Fisiologi Nifas


1) Involusi
Involusi adalah proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil
(Bobak, 2004). Involusi adalah perubahan yang merupakan proses
kembalinya alat kandungan atau uterus dan jalan lahir setelah bayi
dilahirkan hingga mencapai keadaan seperti sebelum hamil. Proses involusi
mengurangi berat uterus dari 1000 gram seminggu kemudian 500 gram, 2
minggu post partum 300 gram dan setelah 6 minggu post partum berat
uterus menjadi 40 – 60 gram (berat uterus normal +30 gram). Selama
involusi, vagina mengeluarkan sekret yang dinamakan lochea.
Peningkatan kadar estrogen dan progesteron bertanggungjawab untuk
pertumbuha masif uterus selama masa hamil. Pertumbuhan uterus pada
masa prenatal tergantung pada hyperplasia, peningkatan jumlah sel – sel
otot dan hypertropi, yaitu pembesaran sel – sel yang sudah ada. Pada masa
post partum penurunan kadar hormon- hormon ini menyebabkan autolisis.
Proses involusi uterus adalah sebagai berikut :
a) Autolysis
Merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi didalam otot
uterine. Enzim proteolitik akan memendekkan jarungan otot yang telah
sempat mengendur hingga 10 kali panjangnya dari semula dan lima kali
lebar dari awal kehamilan. Sitoplasma sel yang berlebihan akan tercerna
sendiri sehingga tertinggal jaringan fibroelastic dalma jumlah renik
sebagai bukti kehamilan.
b) Atofi Jaringan
Jaringan yang berpoliferasi dengan adanya estrogen dalam jumlah
besar, kemudian mengalami atrofi sebagai reaksi terhadap penghentian
produksi estrogen yang menyertai pelepasan plasenta. Selain perubahan
atrofi pada otot – otot uterus, lapisan desidua akan mengalami atrofi dan
terlepas dengan meninggalkan lapisan basal yang akan beregenerasi
menjadi endometrium yang baru.
c) Efek Oksitosin
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah
bayi lahir, diduga terjadi sebagai respon terhadap penurunan volume
intrauterin yang sangat besar. Hormon oksitosin yang dilepas dari
kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus,
mengompresi pembuluh darah dan membantu proses hemostasis.
Kontraksi dan retraksi otot uterus akan mengurangi suplai darah ke
uterus. Proses ini akan membantu mengurangi bekas luka implantasi
plasenta serta mengurangi perdarahan. Luka bekas perlekatan plasenta
memerlukan waktu 8 minggu untuk sembuh total. Selama 1 sampai 2 jam
pertama post partum intensitas kontraksi uterus bisa berkurang dan
menjadi teratur. Karena itu penting sekali menjaga dan mempertahankan
kontraksi uterus pada masa ini. Suntikan oksitosin biasanya diberikan
secara intravena atau intramuskuler segera setelah bayi lahir. Pemberian
ASI segera setelah bayi lahir akan merangsang pelepasan oksitosin
karena isapan bayi pada payudara (Saraswati, 2014).

2) Laktasi
Sejak kehamilan muda, sudah terdapat persiapan-persiapan pada
kelenjar-kelenjar mamae untuk menghadapi masa laktasi setelah partus
pengaruh menekan dari estrogen dan progesteron terhadap hypofisis hilang.
Laktasi mempunyai 2 pengertian, yaitu : produksi air susu dan pengeluaran
air susu.
Ada beberapa refleks yang berpengaruh terhadap kelancaran laktasi,
refleks yang terjadi pada ibu yaitu prolaktin dan let down. Kedua refleks ini
bersumber dan perangsang puting susu akibat isapan bayi meliputi :
a. Refleks prolaktin
Sewaktu bayi menyusu, ujung saraf peraba yang terdapat pada puting
susu terangsang. rangsangan tersebut oleh serabut afferent dibawa ke
hipotalamus didasar otak. Lalu dilanjutkan ke bagian depan kelenjar
hipofise yang memacu pengeluaran hormon prolaktin ke dalam darah
melalui sirkulasi memacu sel kelenjar memproduksi air susu.
b. Reflek Let Down
Rangsangan yang ditimbulkan bayi saat menyusu diantar ke bagian
belakang kelenjar hipofisis yang akan dilepaskan hormon. Oksitosin
masuk ke dalam darah dan akan memacu otot-otot polos mengelilingi
alveoli dan duktuli dan sinus menuju puting susu (Huliana, 2003).

2.1.4 Perubahan fisiologis pada masa nifas


1) Sistem reproduksi
a. Uterus
Segera setelah plasenta lahir, uterus mengalami kontraksi dan retraksi.
Ototnya akan menjadi keras sehingga dapat menutup / menjepit
pembuluh darah besar yang bermuara pada bekas inplantasi plasenta.
Proses involusi uterus terjadi secara progressive dan teratur yaitu 1-2 cm
setiap hari dari 24 jam pertama post partum sampai akhir minggu
pertama saat tinggi fundus sejajar dengan tulang pubis. Pada minggu
keenam uterus kembali normal seperti keadaan sebelum hamil kurang
lebih 50-60 gram. Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil
(involusi) sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil.

Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus


Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram
Plasenta Lahir 2 jari bawah pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat simfisis 500 gram
2 minggu Tidak teraba di atas simfisis 350 gram
6 minggu Bertambah kecil 50 gram
8 minggu Sebesar normal 30 gram

b. Perineum
Dalam proses persalinan, terkadang dilakukan episiotomi atas indikasi
atau dapat juga terjadi robekan perineum. Luka itu akan di jahit untuk
mengembalikan fungsi perineum. Setelah persalinan perineum menjadi
kendur karena teregang oleh tekanan kepala bayi yang bergerak maju.
Pulihnya otot perineum terjadi sekitar 5-6 minggu post partum dan hal ini
akan lebih cepat pulih bila dibantu dengan latihan atau senam
postpartum. Perineum mendapat suplai darah yang banyak karena adanya
laserasi atau luka episiotomi pada perineum. Luka jahitan dapat sembuh
dalam 7 hari tetapi laserasi yang luas akan bersifat sensitif dan akan
terasa sakit untuk beberapa minggu.
c. Lochea
Lochea adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina,
yang keluar pada saat masa nifas. Macam-macam lochea :
- Locha Rubra (cruenta)
Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua,
verniks caseosa, lanugo dan mekonium selama 2 hari pasca
persalinan.
- Lochea Sanguinolenta
Berwarna merah kuning berisi darah dan lendir yang keluar pada
hari ke-3 sampai ke-7 pasca persalinan.
- Lochea Serosa
Berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi pada hari ke-7-14 pasca
persalinan.
- Lochea Alba
Cairan putih, setelah 2 minggu.
- Lochia Purulenta
Terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk.
- Lochiostasis
Lochia yang tidak lancar pengeluarannya
d. Serviks
Setelah persalinan bentuk serviks agak menganga seperti corong
berwarna merah kehitaman. Konsistensinya lunak, kadang-kadang
terdapat perlukaan-perlukaan kecil. Setelah bayi lahir, tangan masih bisa
masuk rongga rahim. Setelah 2 jam dapat dilalui oleh 2-3 jari dan setelah
7 hari hanya dapat dilalui 1 jari.
e. Payudara
Lepasnya plasenta dan berkurangnya fungsi korpus luteum,
mengakibatkan estrogen dan progesterone berkurang, prolaktin akan
meningkat dalam darah yang merangsang sel-sel acini untuk
memproduksi ASI. Keadaan payudara pada dua hari pertama post partum
sama dengan keadaan dalam masa kehamilan. Pada hari ketiga dan
keempat buah dada membesar, keras dan nyeri ditandai dengan sekresi
air susu sehingga akan terjadi proses laktasi (Saleha, 2009).
2) Sistem perkemihan
Pelvis, ginjal dan ureter yng teregang dan berdilatasi selama kehamilan
kembali normal pada akhir minggu keempat setelah melahirkan. Kurang
lebih 40% wanita nifas mengalami proteinuria yang nonpatologis sejak
pasca melahirkan sampai 2 hari post partum. Diuresis yang normal dimulai
segera setelah bersalin sampai hari kelima setelah persalinan. Jumlah urine
yang keluar dapat melebihi 3000 ml per harinya. Hal ini diperkirakan
merupakan salah satu cara untuk menghilangkan peningkatan cairan
ekstraseluler yang merupakan bagian normal dari kehamilan. Ureter dan
pelvis renalis yang mengalami distensi akan kembali normal pada 2-8
minggu setelah persalinan (Saleha, 2009).
3) Sistem gastrointestinal
Selama persalinan, motilitas lambung berkurang, terutama akibat nyeri, rasa
takut dan obat narkotik. Penurunan tonus sfingter esofagus bawah,
penurunan motilitas lambung dan peningkatan keasaman lambung
menyebabkan perlambatan pengosongan lambung. Tonus dan tekanan
sfingter esofagus bawah kembali normal dalam 6 minggu selama persalinan.
Namun pada masa nifas dini, penurunan tonus otot dan motilitas saluran
cerna dapat menyebabkan relaksasi abdomen, peningkatan distensi gas dan
konstipasi segera setelah melahirkan. Defekasi pertama biasanya terjadi
dalam 2 atau 3 hari setelah persalinan (Coad, 2006).
4) Sistem hematologi
Kadar hemoglobin kembali ke kadar normal prahamil dalam 4-6 minggu
dan jumlah sel darah putih turun ke normal dalam seminggu setelah
persalinan. Jumlah trombosit meningkat pada beberapa hari pertama setelah
persalinan, kemudian turun secara bertahap sampai ke kadar prahamil.
Aktifitas fibrinolitik maksimum segera setelah persalinan selama beberapa
jam sebagai respons terhadap keluarnya plasenta, yang menghasilkan
inhibitor fibrinolitik. Hasil akhir adalah keadaan hiperkoagulabilitas pada
kehamilan meningkat pada masa nifas awal dan kemudian secara perlahan
kembali ke keadaan prahamil dalam beberapa minggu. Mobilisasi
merupakan hal penting untuk mengoptimalkan aliran balik vena untuk
menghindari stasis di dalam jaringan vaskular sehingga resiko trombosis
vena profunda dapat berkurang (Coad, 2006)
5) Sistem kardiovaskular
Pada awalnya terjadi peningkatan mencolok curah jantung karena aliran
uteroplasenta kembali ke sistem vena dan uterus tidak lagi menghambat
aliran darah vena kava. Hal ini diperkuat oleh mobilisasi cairan ekstrasel.
Walaupun wanita hamil secara normal mampu menoleransi pengeluaran
darah yang normal saat persalinan, para wanita yang ekspansi vaskularnya
kurang selama kehamilan, misalnya mereka yang mengidap preeklamsia
mungkin kurang mampu menoleransi pengeluaran darah. Resolusi hipertrofi
ventrikel berlangsung lambat. Remodeling vaskular pada kehamilan
menetap selama paling sedikit setahun setelah persalinan dan diperkuat oleh
kehamilan selanjutnya. Karena volume darah dalam sirkulasi dan curah
jantung turun pada masa nifas dan ventrikel yang hipertrofi lambat
mengalami remodelling, isi sekuncup relatif tetap tinggi. Hal ini berarti
kecepatan denyut jantung pada masa nifas berkurang karena isi sekuncup
secara proporsional memberi kontribusi yang lebih besar terhadap
penurunan curah jantung. Dengan demikian, wanita masa nifas lazim
mengalami bradikardia (penurunan kecepatan denyut jantung menjadi
sekitar 60-70 kali per menit). Peningkatan kecepatan denyut mungkin
mengindikasikan anemia berat, trombosis vena atau infeksi (Coad, 2006).
6) Sistem endokrin
Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan pada sistem
endokrin, terutama pada hormone-hormon yang berperan dalam proses
tersebut, misalnya :
a. Oksitosin
Oksitosin disekresikan dari kelenjar otak bagian belakang. Selama
tahap ketiga persalinan, hormone oksitosin berperan dalam pelepasan
plasenta dan mempertahankan kontraksi, sehingga mencegah
terjadinya perdarahan. Isapan bayi dapat merangsang produksi ASI
dan sekresi oksitosin. Hal tersebut membantu uterus kembali ke
bentuk normal seperti pra hamil.
b. Prolaktin
Menurunnya kadar esterogen menimbulkan terangsangnya kelenjar
pituitary bagian belakang untuk mengeluarkan prolaktin, hormone ini
berperan dalam pembesaran payudara untuk merangsang produksi
susu. Pada wanita yang menyusui bayinya, kadar prolaktin tetap tinggi
dan pada permulaan ada rangsangan folikel dalam ovarium yang
ditekan. Pada wanita yang tidak menyusui bayinya tingkat sirkulasi
prolaktin menurun dalam 14-21 hari setelah persalinan, sehingga
merangsang kelenjar bawah depan otak yang mengontrol ovarium
kearah permulaan pola produksi esterogen dan progesterone yang
normal, pertumbuhan folikel, ovulasi dan menstruasi.
c. Esterogen dan progesteron
Selama hamil vlume darah normal meningkat walaupun
mekanismenya secara penuh belum dimengerti. Diperkirakan bahwa
tingkat esterogen yang tinggi memperbesar hormone antidiuretik yang
meningkatkan volume darah. Di samping itu, progesteron
mempengaruhi otot halus yang mengurangi perangsangan dan
peningkatan pembuluh darah. Hal ini sangat mempengaruhi saluran
kemih, ginjal, usus, diding vena, dasar panggul, perineum, vulva dan
vagina.
7) Perubahan tanda-tanda vital
a. Suhu
Suhu tubuh wanita inpartu tidak lebih dari 37,2 0C. Sesudah partus dapat
naik kurang lebih 0,50C dari keadaan normal, namun tidak akan melebihi
380C. sesudah 2 jam pertama melahirkan umumnya suhu badan akan
kembali normal. Bila suhu lebih dari 38 0C, mungkin terjadi infeksi pada
klien.
b. Nadi dan pernapasan
Nadi berkisar antara 60-80 denyutan per menit setelah partus, dan dapat
terjadi bradikardi. Bila terdapat takikardi dan suhu tubuh tidak panas
mungkin ada perdarahan berlebihan atau ada vitium kordis pada
penderita. Pada masa nifas umumnya denyut nadi labil dibandingkan
dengan suhu tubuh, sedangkan pernapasan akan sedikit meningkat
setelah partus kemudian kembali seperti keadaan semula.
c. Tekanan darah
Pada beberapa kasus ditemukan keadaan hipertensi post partum dan akan
menghilang dengan sendirinya apabila tidak terdapat penyakit-penyakit
lain yang menyertainya dalam ½ bulan tanpa pengobatan (Saleha, 2009).

2.1.5 Adaptasi psikologis pada masa nifas


Periode masa nifas merupakan waktu dimana ibu mengalami stress pasca
persalinan, terutama pada ibu primipara. Periode ini diekspresikan oleh Reva
Rubin yang terjadi pada 3 tahap berikut :
1) Taking in period
Terjadi pada 1-2 hari setelah persalinan. Ibu masih pasif dan sangat
bergantung pada orang lain, fokus perhatian terhadap tubuhnya, ibu lebih
mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami, serta
kebutuhan tidur dan nafsu makan meningkat.

2) Taking hold period


Berlangsung 3-4 hari postpartum. Ibu lebih berkonsentrasi pada
kemampuannya dalam menerima tanggung jawab sepenuhnya terhadap
perawatan bayi. Pada masa ini ibu menjadi sangat sensitive, sehingga
membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi kritikan
yang dialami ibu.
3) Letting go period
Dialami setelah ibu dan bayi tiba di rumah. Ibu secara penuh menerima
tanggung jawab sebagai “seorang ibu” dan menyadari atau merasa
kebutuhan bayi sangat bergantung pada dirinya.
2.1.6 Tanda bahaya masa nifas
Bahiyatun (2009), menyebutkan tanda bahaya pada masa nifas yaitu
sebagai berikut :
a. Perdarahan vagina yang keluar biasa atau tiba-tiba bertambah banyak.
b. Pengeluaran vagina yang baunya menusuk.
c. Rasa sakit dibagian bawah abdomen atau punggung.
d. Sakit kepala yang terus-menerus, nyeri ulu hati atau masalah pengelihatan.
e. Pembengkakan di wajah atau di tangan.
f. Demam, muntah, rasa sakit waktu buang air kecil.
g. Payudara yang berubah menjadi merah, panas, atau terasa sakit.
h. Kehilangan nafsu makan dalam waktu yang lama.
i. Rasa sakit, merah, lunak, atau pembengkakan di kaki

2.1.7 Kebutuhan dasar dan perawatan masa nifas


1) Mobilisasi / ambulasi
Ambulasi sedini mungkin sangat dianjurkan, kecuali ada kontra indikasi.
Ibu yang baru melahirkan mungkin enggan bergerak karena letih dan sakit.
Berdasarkan penelitian ibu sudah diperbolehkan turun dari tempat tidur
dalam kurun waktu 1- 2 jam setelah persalinan dengan bantuan keluarga
atau bidan. Ambulasi ini akan meningkatkan sirkulasi dan mencegah risiko
tromboflebitis, meningkatkan fungsi kerja peristaltik dan kandung kemih,
sehingga mencegah distensia abdominal dan konstipasi. Bidan harus
menjelaskan pada ibu tentang tujuan dan manfaat ambulasi dini. Ambulasi
ini dilakukan secara bertahap sesuai kekuatan ibu (Bahiyatun, 2009).
2) Diet / nutrisi
Tidak ada kontra indikasi dalam pemberian nutrisi postpartum. Ibu harus
mendapatakan nutrisi yang lengkap dengan tambahan kalori (200 – 500
kkal), yang akan mempercepat pemulihan kesehatan dan kekuatan. Ibu nifas
memerlukan diet untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi, mencegah
konstipasi, dan untuk memulai proses pemberian ASI ekslusif. Asupan
kalori perhari ditingkatkan sampai 2700 kkal. Asupan cairan perhari
ditingkatkan sampai 3000 ml (susu 1000 ml). Suplemen zat besi dapat
diberikan kepada ibu nifas selama 4 minggu pertama setelah kelahiran
(Bahiyatun, 2009).
3) Eliminasi
Menurut Saleha (2009) pola eliminasi pada ibu nifas dibagi menjadi :
- Buang air kecil
Ibu diminta untuk miksi 6 jam postpartum. Jika dalam 8 jam
postpartum ibu belum dapat berkemih atau sekali berkemih belum
melebihi 100 cc, maka dilakukan katerisasi. Akan tetapi, kalau
ternyata kandung kemih penuh, tidak perlu menunggu 8 jam untuk
kateterisasi.
- Buang air besar
Ibu post partum diharapkan dapat BAB setelah hari kedua post
partum. Jika pada hari ketiga belum juga BAB, maka perlu diberi obat
pencahar per oral atau per rektal.
4) Hygiene
Masa nifas adalah masa yang rentan terjadi infeksi pada ibu. Oleh karena
itu, ibu nifas disarankan :
- Menjaga kebersihan seluruh tubuh dengan mandi.
- Membersihkan daerah kelamin sabun dan air. Untuk membersihkan
daerah disekitar kelamin dilakukan dari arah depan ke belakang
kemudian didaerah sekitar anus setiap selesai buang air kecil maupun
buang air besar. Keringkan dengan handuk dengan cara ditepuk –
tepuk dari arah muka ke belakang.
- Menyarankan ibu untuk mengganti pembalut setidaknya dua kali
sehari.
- Cuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah membersihkan daerah
kelaminnya (Bahiyatun, 2009)
5) Perawatan payudara
Perawatan payudara dilakukan untuk memperlancar pengeluaran ASI. Pada
payudara terjadi proses laktasi, sehingga perlu pengkajian fisik dengan
perabaan apakah terdapat benjolan, pembesaran kelenjar, atau abses serta
bagaimana keadaan puting. Merawat payudara dengan menjaga tetap bersih
dan kering, menggunakan bra yang menyokong payudara (Saleha, 2009)
6) Kebutuhan psikologis
Wanita mengalami banyak perubahan emosi / psikologis selama masa nifas.
Cukup sering ibu menunjukkan depresi ringan beberapa hari setelah
kelahiran. Hal ini sering terjadi akibat sejumlah faktor seperti :
 Kekecewaan emosional yang mengikuti rasa puas dan takut yang
dialami kebanyakan wanita selama kehamilan dan persalinan.
 Rasa sakit masa nifas awal
 Kelelahan karena kurang tidur selama persalinan dan postpartum
 Kecemasan tentang kemampuannya merawat bayi
 Ketakutan tentang penampilan yang tidak menarik lagi bagi suaminya.
Pada sebagian besar kasus tidak diperlukan terapi yang efektif, kecuali
antisipasi, pemahaman dan rasa aman. Seorang bidan dapat lebih dekat
dengan ibu dan berusaha memberi nasihat yang berarti dan meminta
keluarga untuk tetap memberi dukungan moral dan perhatian terhadap ibu.
Bayi yang baru dilahirkan segera disusukan kepada ibu agar ikatan antara
ibu dan bayi (bounding) semakin erat. Menyusui bayi sedini mungkin
adalah terciptanya rasa kasih sayang, sehingga tumbuh pertalian yang intim
antara ibu dan anak (Bahiyatun, 2009).
7) Istirahat
Istirahat sangat penting untuk ibu yang menyusui. Seorang wanita yang
dalam masa nifas dan menyusui memerlukan waktu lebih banyak untuk
istirahat karena sedang dalam proses penyembuhan, terutama organ-organ
reproduksi dan untuk kebutuhan menyusui bayinya. Bayi biasanya terjaga
saat malam hari. Hal ini akan mengubah pola istirahat ibu, oleh karena itu
dianjurkan istirahat / tidur saat bayi sedang tidur. Ibu dianjurkan untuk
menyesuaikan jadwalnya dengan jadwal bayi dan mengejar kesempatan
untuk istirahat. Jika ibu kurang istirahat akan mengakibatkan berkurangnya
jumlah produksi ASI, memperlambat proses involusi, menyebabkan depresi
dan menimbulkan rasa ketidakmampuan merawat bayi (Saleha, 2009)
8) Kebutuhan seksual
Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami-isteri begitu darah
berhenti dan ibu dapat memasukkan 1 atau 2 jari ke dalam vagina tanpa rasa
nyeri. Begitu darah berhenti dan ibu tidak merasakan ketidaknyamanan,
inilah saat yang aman untuk memulai hubungan suami-isteri kapan saja ibu
siap. Banyak budaya yang mempunyai tradisi menunda hubungan suami-
isteri sampai waktu tertentu, misalnya setelah 40 hari persalinan. Keputusan
bergantung pada pasangan yang bersangkutan (Bahiyatun, 2009)
9) Keluarga berencana (KB)
Idealnya pasangan harus menunggu sekurang-kurangnya 2 tahun sebelum
ibu hamil kembali. Setiap pasangan harus menentukan sendiri kapan dan
bagaimana mereka ingin merencanakan kehamilan. Namun petugas
kesehatan dapat membantu merencanakan dengan mengajarkan kepada
mereka tentang cara mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Biasanya
wanita tidak akan menghasilkan telur (ovulasi) sebelum ia mendapatkan lagi
haidnya selama meneteki. Oleh karena itu, metode amenorhea laktasi dapat
dipakai sebelum haid pertama kembali untuk mencegah terjadinya
kehamilan baru. Bila tidak menyusui, siklus menstruasi biasanya akan
kembali dalam waktu 6-8 minggu, tapi sulit untuk menentukan secara klinis
waktu spesifik terjadinya menstruasi pertama setelah melahirkan (amenore
laktasi). Menstruasi pertama pada wanita menyusui dapat terjadi paling
cepat pada bulan ke 2 – bulan ke 18 (Bahiyatun, 2009)

2.1.8 Kunjungan masa nifas


Kunjungan masa nifas dilakukan paling sedikit 4 kali. Kunjungan ini
bertujuan untuk menilai status ibu dan bayi baru lahir juga untuk mencegah,
mendeteksi serta menangani masalah-masalah yang terjadi (Saleha, 2009)
Kunjungan Waktu Tujuan
1 6-8 jam 1. Mencegah terjadinya perdarahan masa nifas.
setelah 2. Mendeteksi dan merawat penyebab lain
Persalinan perdarahan dan memberi rujukan bila
perdarahan berlanjut.
3. Memberikan konseling pada ibu atau salah
satu anggota keluarga mengenai bagaiman
mencegah perdarahan masa nifas karena
atonia uteri.
4. Pemberian ASI pada awal menjadi ibu.
5. Mengajarkan cara mempererat hubungan
antara ibu dan bayi baru lahir.
6. Menjaga bayi tetap sehat dengan cara
mencegah hipotermia.
jika bidan menolong persalinan, maka bidan harus
menjaga ibu dan bayi baru lahir untuk 2 jam
pertama setelah kelahiran atau sampai ibu dan
bayi dalam keadaan stabil.
2 6 hari 1. Memastikan involusi berjalan normal, uterus
setelah berkontraksi, fundus dibawah umbilikus,
persalinan tidak ada perdarahan abnormal, tidak ada
bau.
2. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi
atau perdarahan abnormal
3. Memastikan ibu mendapatkan cukup
makanan, cairan dan istirahat
4. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan
tak memperlihatkan tanda-tanda penyulit
5. Memberikan konseling pada ibu mengenai
asuhan pada bayi, tali pusat, menjaga bayi
tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari
3 2 minggu Sama seperti di atas (6 hari setelah persalinan)
setelah
persalinan
4 6 minggu Menanyakan pada ibu tentang penyulit-penyulit
setelah yang ibu atau bayi alami dan memberikan
persalinan konseling untuk KB secara dini

2.2. Konsep Dasar Seksio Sesarea

2.2.1 Pengertian Seksio Sesarea


Seksio sesarea adalah melahirkan janin yang sudah mampu hidup (beserta
plasenta dan selaput ketuban) secara transabdominal melalui insisi uterus
(Benson dan pernoll, 2009). Sectio caesarea adalah cara melahirkan janin
dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dindig depan perut atau
vagina (Wahyuni. 2018).
Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilhirkan
melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Winkjosastro, 2010).

2.2.2 Keuntungan Seksio Sesarea


Operasi caesar lebih aman dipilih dalam menjalani proses persalinan
karena telah banyak menyelamatkan jiwa ibu yang mengalami kesulitan
melahirkan. Jalan lahir tidak teruji dengan dilakukannya seksio sesarea, yaitu
bilamana di diagnosa panggul sempit atau fetal distress didukung data
pelvimetri. Bagi ibu yang paranoid terhadap rasa sakit, maka seksio sesarea
adalah pilihan yang tepat dalam menjalani proses persalinan, karena diberi
anastesi atau penghilang rasa sakit (Fauzi, 2007)

2.2.3 Kerugian Seksio Sesarea


Operasi seksio caesar merupakan prosedur medis yang mahal. Prosedur
anastesi pada operasi bias membuat anak ikut terbius, sehingga anak tidak
spontan menangis, keterlambatan menangis ini mengakibatkan kelainan
hemodinamika dan mengurangi apgar score. Ibu akan mendapat luka baru di
perut dan kemungkinan timbulnya infeksi bila luka operasi tidak dirawat dengan
baik. Gerak tubuh ibu menjadi sangat terbatas sehingga proses penyembuhan
luka akan semakin lama. Tindakan Seksio Caesar biasanya dianggap sebagai
suatu penyiksaan bagi yang tidak memiliki kebiasaan beristirahat lama di rumah
sakit setelah melahirkan (Fauzi, 2007)

2.2.4 Indikasi Seksio Sesarea


1. Indikasi ibu
Dalam proses persalinan terdapat tiga faktor penentu yaitu power
(tenaga mengejan dan kontraksi dinding otot perut dan dinding rahim),
passageway (keadaan jalan lahir), passanger (janin yang dilahirkan) dan
psikis ibu. Mula-mula indikasi seksio sesarea hanya karena ada kelainan
passageaway, misalnya sempitnya panggul, dugaan akan terjadinya trauma
persalinan pada jalan lahir atau pada anak, sehingga kelahirannya tidak bisa
melalui jalan vagina. Namun, akhirnya merambat ke faktor power dan
pasanger. Kelainan power yang memungkinkan dilakukannya seksio sesarea,
misalnya mengejan lemah, ibu sakit jantung atau penyakit menahun lainnya
mempengaruhi tenaga. Sedangkan kelainan passenger diantaranya
makrosemia, anak kelainan letak jantung, primigravida >35 tahun dengan
janin letak sungsang, persalina tak maju, dan anak menderita fetal distress
syndrome (denyut jantung janin melemah). Secara terperinci ada tujuh
indikasi medis seorang ibu yang harus menjalani seksio sesarea yaitu: 1) Jika
panggual sempit, sehingga besar anak tidak proporsional dengan indikasi
panggul ibu (disporsi). Olehkarena itu, penting untuk melakukan pengukuran
panggul pada waktu pemeriksaan kehamilan awal. Dengan tujuan
memperkirakan apakah panggul ibu masih dalam batas normal. 2) Pada kasus
gawat janin akibat terinfeksi misalnya, kasus ketuban pecah dini (KPD)
sehingga bayi terendam cairan ketuban yang busuk atau bayi ikut memikul
demam tinggi. Pada kasus ibu mengalami preeklamsia/eklamsia, sehingga
janin terpengaruh akibat komplikasi ibu. 3) Pada kasus plasenta terletak
dibawah yang menutupi ostium uteri internum (plasenta previa), biasanya
plasenta melekat di bagian tengah rahim. Akan tetapi pada kasus plasenta
previa menutupi ostium uteri internum. 4) Pada kasus kelainan letak. Jika
posisi anak dalam kandungan letaknya melintang dan terlambat diperiksa
selama kehamilan belum tua. 5) Jika terjadi kontraksi yang lemah dan tidak
terkordinasi, hal ini menyebabkan tidak ada lagi kekuatan untuk mendorong
bayi keluar dari rahim. (incordinate uterine-action). 6) Jika ibu menderita
preeklamsia, yaitu jika selama kehamilan muncul gejala darah tinggi, ada
protein dalam air seni, penglihatan kabur dan juga melihat bayangan ganda.
Pada eklamsia ada gejala kejang-kejang sampai tak sadarkan diri. 7) Jika ibu
mempunyai riwayat persalinan sebelumnya adalah seksio sesar maka
persalinan berikutnya umumnya harus seksio sesar karena takut terjadi
robekan rahim. Namun sekarang, teknik seksio sesar dilakukan dengan
sayatan dibagian bawah rahim sehingga potongan pada otot rahim tidak
membujur lagi. Dengan demikian bahaya rahim robek akan lebih kecil
dibandingkan dengan teknik seksio dulu yang sayatan dibagian tengah rahim
dengan potongan yang bukan melintang (Cunningham, et,al 2006)

2. Indikasi sosial
Selain indikasi medis terdapat indikasi nonmedis untuk melakukan
seksio sesar yang indikasi sosial. Persalinan seksio sesar karena indikasi
sosial timbul karena adanya permintaan pasien walaupun tidak ada masalah
atau kesulitan untuk melakukan persalinan normal. Indikasi sosial biasanya
sudah direncanakan terlebih dahulu untuk dilakukan tindakan seksio sesar
(Cunningham, et,al 2006)
Menurut Winkjosastro (2010) menyatakan bahwa indikasi seksio sesarea
dibagi menjadi tiga faktor :
1. Faktor Janin
a. Bayi terlalu besar. Berat bayi sekitar 4000 gram atau lebih, menyebabkan
bayi sulit keluar dari jalan lahir.
b. Kelainan letak bayi. Ada dua kelainan letak janin dalam rahim yaitu letak
sungsang dan lintang.
c. Ancaman gawat janin (Fetal Distress). Gangguan pada janin melalui tali
pusat akibat ibu menderita hipertensi atau kejang rahim. Gangguan pada
bayi juga diketahui adanya mekonium dalam air ketuban. Apabila proses
persalinan sulit melalui vagina maka dilakukan operasi seksio sesarea.
d. Janin abnormal. Janin abnormal misalnya kerusakan genetik dan
hidrosephalus.
e. Multiple pregnancy (kehamilan kembar). Tidak selamanya bayi kembar
dilaksanakan secara operasi. Persalinan kembar memiliki resiko terjadinya
komplikasi misalnya lahir prematur sering terjadi preeklamsi pada ibu.
Bayi kembar dapat juga terjadi sungsang atau letak lintang. Oleh karena itu
pada persalinan kembar dianjurkan dirumah sakit, kemungkinan dilakukan
tindakan operasi.
2. Faktor plasenta
a. Ada beberapa kelainan plasenta yang menyebabkan keadaan gawat darurat
pada ibu dan janin sehingga harus dilakukan persalinan dengan operasi
bila itu plasenta previa dan solutio plasenta.
b. Kelainan tali pusat. Ada dua kelainan tali pusat yang biasa terjadi yaitu
prolaps tali pusat dan terlilit tali pusat.
3. Faktor Ibu
a. Usia. Ibu yang melahirkan pertama kali diatas usia 35 tahun atau wanita
usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini seseorang memiliki penyakit yang
beresiko misalnya hipertensi, jantung, DM dan eklamsia.
b. Penyakit yang menyertai kehamilan seperti Hipotiroid, SLE, Preeklampsi,
Anemia, dll.
c. Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin.
d. Persalinan sebelumnya dengan operasi
e. Faktor hambatan jalan lahir. Gangguan jalan lahir terjadi adanya tumor
atau mioma. Keadaan ini menyebabkan persalinan terhambat atau tidak
maju.
f. Ketuban pecah dini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sekitar 60-
70% bayi yang mengalami ketuban pecah dini akan lahir sendiri 2×24 jam.
Apabila bayi tidak lahir lewat waktu, maka dokter akan melakukan
tindakan operasi seksio sesarea.
Berdasarkan hasil statistik yang disusun Peel dan Chamberlain dalam
Wiknjosastro (2010), indikasi untuk seksio sesarea ialah CPD (21%), gawat
janin (14%), plasenta previa (11%), pernah seksio sesarea (11%), kelainan letak
(10%), incoordinate uterine action (9%), dan pre-eklampsia dan hipertensi (7%).

2.2.5 Kontraindikasi
Kontraindikasi seksio sesarea dilakukan baik untuk kepentingan ibu
maupun untuk kepentingan anak, oleh sebab itu, seksio sesarea tidak dilakukan
kecuali tidak dalam keadaan terpaksa. Seksio sesarea tidak boleh dilakukan pada
kasus-kasus seperti ini: 1) Janin sudah mati dalam kandungan. Dalam hal ini
dokter memastikan denyut jantung janin tidak ada lagi, tidak ada lagi gerakan
janin anak dan dari pemeriksaan USG untuk memastikan keadaan janin, 2)Janin
terlalu kecil untuk mampu hidup diluar kandungan, 3) Terjadi infeksi dalam
kehamilan, 4) Anak dalam keadaan cacat seperti Hidrocefalus dan anecepalus
(Cunningham, et,al 2006)

2.2.6 Komplikasi luka


Menurut Wkinjosastro (2010) menyatakan bahwa komplikasi yang bisa
terjadi pada luka operasi seksio sesarea antara lain:
1) Hematoma
Balutan dilihat terhadap perdarahan (hemoragi) pada interval yang sering
selama 24 jam setelah pembedahan. Setiap perdarahan dalam jumlah yang
tidak semestinya dilaporkan. Pada waktunya, sedikit perdarahan terjadi di
bawah kulit. Hemoragi ini biasanya berhenti secara spontan tetapi
mengakibatkan pembentukan bekuan di dalam luka. Jika bekuan kecil, maka
akan terserap dan tidak harus ditangani. Ketika lukanya besar dan luka
biasanya menonjol dan penyembuhan akan terhambat kecuali bekuan ni
dibuang. Proses penyembuhan biasanya dengan granulasi atau penutupan
sekunder dapat dilakukan.
2) Infeksi
Staphylococcus Aureus menyebabkan banyak infeksi luka pasca operatif.
Infeksi lainnya dapat terjadi akibat E.Coli, Proteus Vulgaris. Bila terjadi
proses inflamatori, hal ini biasanya menyebabkan gejala dalam 36 sampai 48
jam. Frekuensi nadi dan suhu tubuh meningkat, dan luka biasanya
membengkak, hangat dan nyeri tekan, tanda-tanda lokal mungkin tidak
terdapat ketika infeksi sudah mendalam.
3) Dehiscene dan Eviserasi
Dehiscene adalah gangguan insisi atau luka bedah dan eviserasi adalah
penonjolan isi luka. Komplikasi ini sering terjadi pada jahitan yang lepas,
infeksi dan yang lebih sering lagi karena batuk keras dan mengejan.
2.2.7 Prinsip Perawatan Luka Pasca Operasi
Penutup atau pembalut luka berfungsi sebagai penghalang terhadap
infeksi selama proses penyembuhan yang dikenal dengan repitelisasi.
Pertahankan penutup luka ini selama hari pertama setelah pembedahan untuk
mencegah infeksi selama proses reepitelisasi berlangsung (Prawirohardjo,
2010)
Luka perlu ditutup dengan kassa steril, sehingga sisa darah dapat diserap
oleh kassa. Dengan menutup luka itu kita mencegah terjadinya kontaminasi
kuman, tersenggol.
Sehabis operasi, luka yang timbul langsung ditutup dengan kassa steril
selagi di kamar bedah dan biasanya tidak perlu diganti sampai diangkat
jahitannya, kecuali bila terjadi perdarahan sampai darahnya menembus di atas
kassa barulah diganti kassa steril lagi. Pada saat mengganti kassa lama perlu
diperhatikan teknik aseptik supaya tidak terjadi infeksi.
Luka insisi diperiksa setiap hari. Karena itu bebat yang tipis tanpa plester
yang berlebihan lebih menguntungkan. Penutup luka dipertahankan selama
hari pertama setelah pembedahan untuk mencegah infeksi pada saat proses
penyembuhan berlangsung (Prawirohardjo, 2010).
Penutup/pembalut luka berfungsi sebagai penghalang terhadap infeksi
selama proses penyembuhan.
a. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu
banyak, jangan mengganti pembalut, perkuat pembalutnya dan pantau
keluarnya cairan dan darah. Jika perdarahan tetap bertambah atau sudah
membasahi setengah atau lebih dari pembalutnya, buka pembalut, inspeksi
luka, atasi penyebabnya dan ganti dengan pembalut baru.
b. Jika pembalut kendor, jangan ganti pembalutnya tetapi berikan plester untuk
mengencangkan.
c. Ganti pembalut dengan cara yang steril
d. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih.

Penatalaksanaan asuhan kebidanan yang perlu dilakukan pada ibu


postpartum dengan SC antara lain: observasi tanda-tanda vital dan keadaan
umum ibu, keseimbangan cairan dan nutrisi, atasi nyeri, mobilisasi secara
bertahap, kateterisasi apabila diperlukan, jaga kebersihan luka operasi serta
dukungan proses menyusui (Wahyuni. 2018).

2.3. Konsep Dasar Kontrasepsi

2.3.1 Pengertian
Kontrasepsi merupakan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya
kehamilan. Usaha-usaha itu dapat bersifat sementara dan permanen
(Wiknjosastro, 2007). Kontrasepsi yaitu pencegahan terbuahinya sel telur oleh
sel sperma (konsepsi) atau pencegahan menempelnya sel telur yang telah
dibuahi ke dinding rahim (Nugroho dan Utama, 2014).

2.3.2 Efektivitas (daya guna) Kontrasepsi


Menurut Wiknjosastro (2010) efektivitas atau daya guna suatu cara
kontrasepsi dapat dinilai pada 2 tingkat, yakni:
1. Daya guna teoritis (theoretical effectiveness), yaitu kemampuan suatu cara
kontrasepsi untuk mengurangi terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan,
apabila kontrasepsi tersebut digunakan dengan mengikuti aturan yang benar.
2. Daya guna pemakaian (use effectiveness), yaitu kemampuan kontrasepsi dalam
keadaan sehari-hari dimana pemakaiannya dipengaruhi oleh faktorfaktor seperti
pemakaian yang tidak hati-hati, kurang disiplin dengan aturan pemakaian dan
sebagainya.

2.3.3 Macam – Macam Kontrasepsi


Macam – macam metode kontrasepsi dibagi menjadi 3 antara lain:
1. Kontrasepsi Sederhana
Metode kontrasepsi sederhana terdiri dari 2 yaitu metode kontrasepsi
sederhana tanpa alat dan metode kontrasepsi dengan alat. Metode kontrasepsi
tanpa alat antara lain: Metode Amenorhoe Laktasi (MAL), Couitus
Interuptus, Metode Kalender, Metode Lendir Serviks, Metode Suhu Basal
Badan, dan Simptotermal yaitu perpaduan antara suhu basal dan lendir servik.
Sedangkan metode kontrasepsi sederhana dengan alat yaitu kondom,
diafragma, cup serviks dan spermisida (Handayani, 2010).
2. Kontrasepsi Hormonal
Kontrasepsi hormonal merupakan salah satu metode kontrasepsi yang paling
efektif dan reversibel untuk mencegah terjadinya konsepsi (Baziad, 2008).
Kontrasepsi hormonal merupakan kontrasepsi dimana estrogen dan
progesteron memberikan umpan balik terhadap kelenjar hipofisis melalui
hipotalamus sehingga terjadi hambatan terhadap folikel dan proses ovulasi
(Manuaba, 2010). Metode kontrasepsi hormonal pada dasarnya dibagi
menjadi 2 yaitu kombinasi (mengandung hormon progesteron dan estrogen
sintetik) dan yang hanya berisi progesteron saja. Kontrasepsi hormonal
kombinasi terdapat pada pil dan suntikan/injeksi. Sedangkan kontrasepsi
hormon yang berisi progesteron terdapat pada pil, suntik dan implant
(Handayani, 2010).
3. Kontrasepsi Non Hormonal atau IUD (AKDR) merupakan alat kontrasepsi
yang dimasukkan kedalam rahim wanita. Metode kontrasepsi ini secara garis
besar dibagi menjadi 2 yaitu AKDR yang mengandung hormon sintetik
(sintetik progesteron) dan yang tidak mengandung hormon (Handayani,
2010). AKDR yang mengandung hormon Progesterone atau Leuonorgestrel
yaitu Progestasert (Alza-T dengan daya kerja 1 tahun, LNG-20 mengandung
Leuonorgestrel (Hartanto, 2002).
4. Kontrasepsi Mantap (KONTAP)
Metode kontrasepsi mantap terdiri dari 2 macam yaitu Metode Operatif
Wanita (MOW) dan Metode Operatif Pria (MOP). MOW sering dikenal
dengan tubektomi karena prinsip metode ini adalah memotong atau mengikat
saluran tuba/tuba falopii sehingga mencegah pertemuan antara ovum dan
sperma. Sedangkan MOP sering dikenal dengan nama vasektomi, vasektomi
yaitu memotong atau mengikat saluran vas deferens sehingga cairan sperma
tidak dapat keluar atau ejakulasi (Handayani, 2010).

2.4. Konsep Dasar Tubektomi

2.4.1 Pengertian
Kontrasepsi mantap atau tubektomi adalah setiap tindakan pada kedua
saluran telur wanita yang mengakibatkan orang/pasangan yang bersangkutan
tidak akan mendapat keturunan lagi. Metode ini hanya digunakan untuk jangka
panjang, meskipun terkadang dapat dipulihkan kembali kesuburannya
(Wiknjosastro, 2005). Tubektomi merupakan tindakan penutupan terhadap
keduasaluran telur kanan dan kiri yang menyebabkan sel telur tidak dapat
melewati saluran dengan demikian sel telur tidak dapat bertemu sehingga
kehamilan tidak terjadi (Sufiyati, Mardjan dan Saleh. 2017).
Kontrasepsi mantap atau sterilisasi pada wanita adalah suatu kontrasepsi
permanen yang dilakukan dengan cara melakukan suatu tindakan pada kedua
saluran telur sehingga menghalangi pertemuan sel telur (ovum) dengan sel mani
(sperma) (Sofian, 2013). Tubektomi merupakan prosedur bedah secara sukarela
dengan tujuan untuk menghentikan kesuburan seorang perempuan (Affandi.
2014). Tubektomi atau sterilisasi pada wanita merupakan suatu tindakan operasi
yang dilakukan dengan cara memutus saluran telur wanita (Nani. 2018)

2.4.2 Efektivitas MOW


Tubektomi merupakan metode kontrasepsi yang sangat efektif dan tidak
menimbulkan efek samping jangka panjang. Efektivitasnya yaitu 0,5 kehamilan
per 100 perempuan (0,5%) selama tahun pertama penggunaan (Saifuddin, 2010).

2.4.3 Manfaat
Menurut Affandi (2014) keuntungan dari tubektomi antara lain:
1. Manfaat sebagai kontrasepsi
a. Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun pertama
penggunaan)
b. Tidak mempengaruhi proses menyusui
c. Tidak bergantung pada faktor senggama
d. Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi risiko kesehatan yang
serius.
e. Tidak ada efek samping dalam jangka panjang
f. Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual
2. Manfaat non Kontrasepsi
a. Berkurangnya risiko kanker ovarium
2.3.1. Keterbatasan
Menurut Affandi (2014) keuntungan dari tubektomi antara lain:
1. Harus dipertimbangkan sifat permanen pada metode kontrasepsi ini tidak
dapat dipulihkan kembali kecuali dengan operasi rekanalisasi.
2. Harus dilakukan oleh dokter yang sudah terlatih (dibutuhkan dokter spesialis
ginekologi atau dokter spesialis bedah untuk proses laparoskopi).
3. Klien dapat menyesal dikemudian hari
4. Rasa sakit atau ketidaknyamanan muncul dalam waktu pendek setelah
tindakan
5. Tidak melindungi diri dari IMS termasuk HBV dan HIV/AIDS
2.3.2. Waktu Untuk melakukan Tubektomi
Menurut Affandi (2014) keuntungan dari tubektomi antara lain:
1. Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini pasien tidak hamil
2. Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi
3. Pasca persalinan dalam waktu 2 hari atau setelah 6 minggu atau 12 minggu
4. Pasca Keguguran dalam waktu 7 hari dan tidak menunjukkan adanya infeksi
pelvik
2.3.3. Syarat Tubektomi
Menurut Affandi (2014) syarat dari tubektomi antara lain:
1. Usia > 26 tahun
2. Paritas > 2
3. Yakin telah memiliki keluarga sesuai dengan keinginannya
4. Pasca persalinan atau pasca keguguran
5. Paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur ini.
2.3.4. Persiapan pra- operatif MOW
Menurut Saifuddin (2010), persiapan pra-operatif MOW yaitu:
1. Jelaskan secara lengkap mengenai tindakan MOW termasuk mekanisme
2. Pencegahan kehamilan yang dihasilkan dan efek samping yang mungkin
terjadi
3. Berikan nasihat untuk perawatan luka bedah, kemana minta pertolongan bila
terjadi kelainan atau keluhan sebelum waktu kontrol
4. Berikan nasihat tentang cara menggunakan obat yang diberikan sesudah
tindakan pembedahan
5. Anjurkan klien puasa sebelum operasi atau tidak makan dan minum
sekurang-kuurangnya 2 jam sebelum operasi
6. Datang ke klinik dengan dengan diantar anggota keluarga atau ditemani
orang dewasa
7. Rambut pubis yang cukup panjang digunting pendek dan dibersihkan
dengan sabun dan air serta dilanjutkan dengan cairan antiseptik
8. Tidak memakai perhiasan
9. Menghubungi petuugas klinik setibanya di klinik
2.3.5. Perawatan dan Pemeriksaan Pasca Operasi MOW
Menurut Suratun dalam Ratnasari (2014), perawatan dan pemeriksaan
yang dilakukan pasca tindakan operasi antara lain:
1. Setelah tindakan pembedahan klien dirawat di ruang pulih selama kurang
lebih 4-6 jam
2. Bila dilakukan anastesi lokal, pemindahan klien dari meja operasi ke kereta
dorong dan dari kereta dorong ke tempat tidur di ruang pulih dilakukan oleh
2 orang perawat dengan mendekatkan kereta dorong ke meja operasi atau
tempat tidur. Akseptor diminta untuk menggeserkan badannya, bila klien
memperoleh anastesi umum pemindahan dilakukan oleh 3-4 orang.
3. Selama di ruang pulih diamati dan dinilai:
a. Nadi, tekanan darah, pernafasan tiap 15 menit pertama, tiap 30 menit
pada 1 jam kedua dan selanjutnya tiap jam hingga pasien pulang
b. Rasa nyeri yang timbul mungkin memerlukan pengobatan analgetik
c. Perdarahan dari luka dan kemaluannya
4. Dua jam setelah tindakan dengan anastesi lokal kliien diizinkan minum dan
makan karena rasa mengantuk telah hilang
5. Dua jam setelah tindakan dengan anastesi lokal klien diizinkan duduk dan
latihan berjalan dengan ditemani keluarganyya apabila pasien tidak pulang.
2.3.6. Komplikasi dan Penanganannya
Komplikasi Penanganan
Infeksi Luka Apabila terlihat infeksi luka, obati
dengan antibiotik. Bila terdapat abses,
lakukan drainase dan obati seperti yang
terindikasi
Demam Pasca Operasi (>38 C) Obati infeksi berdasarkan apa yang
ditemukan
Luka pada kandung kemih, intestinal Apabila kandung kemih atau usus
(jarang terjadi) terluka dan diketahui sewaktu operasi,
lakukan reparasi primer. Apabila
ditemukan pasca operasi, dirujuk ke
rumah sakit yang tepat.
Hematoma (Subkutan) Gunakan packs yang hangat dan lembab
di tempat tersebut.
Emboli gas yang diakibatkan oleh Anjurkan ke tingkat asuhan yang tepat
laparoskopi (sangat jarang terjadi) dan mulailah resusitasi intensif,
termasuk; cairan intravena, resusitasi
kardio pulmonar dan tindakan
penunjang kehidupan lainnya
Rasa sakit pada lokasi pembedahan Pastikan adanya infeksi atau abses dan
obati berdasarkan apa yang ditemukan
Perdarahan superfisial (tepi kulit atau Mengontrol perdarahan dan obati
subkutan) berdasarkan apa yang ditemukan
Sumber : (Affandi. 2014)

2.5. Konsep Dasar Asuhan Kebidanan Tubektomi

2.5.1 Pengkajian
A. Data Subyektif
1. Identitas
 Umur
Umur ibu 25 tahun keatas dengan anak hidup 4 orang, 30 tahun
keatas dengan anak hidup 3 orang dan usia ibu 35 tahun keatas
dengan anak hidup 2 orang maka dapat melakukan operasi
tubektomi.

 Agama
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa sterilisasi
haram hukumnya secara mutlak namun dapat dilakukan jika pasien
dalam keadaan darurat (Prestyana dan Panjalu. 2017).
2. Alasan kunjungan
Kontrol ulang (follow up) MOW
3. Keluhan utama
 Nyeri pada luka daerah operasi (Affandi. 2014)
4. Riwayat riwayat obstetri yang lalu
Kontrasepsi mantap (Kontap) biasanya digunakan oleh ibu pasca
melahirkan atau pasca abortus tanpa disertai infeksi. Serta syarat untuk
melakukan operasi tubektomi ialah wanita dengan paritas lebih dari 2
atau yang sudah tidak menghendaki atau memiliki anak lagi (Affandi.
2014).
5. Riwayat kontrasepsi
Hal ini penting untuk mengetahui penggunaan kontrasepsi apa saja yang
pernah digunakan, lama pemakaian, keluhan/ efek samping/ komplikasi
yang pernah dialami, serta alasan mengganti cara (bagi klien akseptor
lama yang ingin ganti cara kontrasepsi).
6. Riwayat kesehatan ibu
Penyakit hipertensi, jantung dan diabetes militus boleh melakukan
operasi tubektomi (Affandi. 2014)
7. Riwayat psikososial
Penggunaan kontrasepsi perlu didiskusikan bersama suami karena
berhubungan dengan fungsi kesuburan dan kesepakatan untuk tidak
memiliki anak lagi sehingga tidak menyesal dikemudian hari.
8. Data fungsional kesehatan
 Aktivitas
Pekerjaan yang telalu berat akan berpengaruh terhadap keluhan pasca
tindakan pembedahan
 Istirahat
Sebaiknya ibu beristirahat setelah pembedahan karena terkadang
disertai nyeri setelah dilakukan pembedahan
 Seksual
Sebaiknya menghindari hubungan intim hingga merasa cukup nyaman
terutama nyeri pada lokasi pembedahan.

B. Data Obyektif
1. Pemeriksaan umum
- Keadaan umum : baik – jelek
- Kesadaran : compos mentis, apatis, somnolent, sopor,
koma.
- Tanda Vital
TD : 140/90 atau lebih
N : normalnya 60 – 100 kali/menit
S : normalnya 36 – 37ºC (jika > 38ºC menandakan
adanya infeksi)
RR : normalnya 16 – 24 kali/menit

2. Pemeriksaan fisik
 Wajah
Tidak pucat dan tidak oedema. Konjungtiva merah muda, sklera putih.
Tidak ada pernapasan cuping hidung. Bibir lembab dan tidak pucat.
 Abdomen
Terdapat luka bekas jahitan operasi, tidak teraba massa, tidak ada
nyeri tekan, dan tidak ada tanda-tanda kehamilan.
 Genetalia
Vulva dan vagina tidak oedema. Pada saat dilakukan pemeriksaan
bimanual didapatkan uterus antefleksi/ retrofleksi, gerakan serviks
bebas dan tidak terdapat nyeri goyang, tidak terdapat nyeri tekan pada
adneksa kanan maupun kiri.
2.3.2 Identifikasi diagnosis dan masalah
 Diagnosis
P.... akseptor KB Tubektomi
 Masalah yang mungkin terjadi :
Rasa sakit pada daerah pembedahan.
2.3.3 Identifikasi diagnosis dan masalah potensial
 Infeksi luka, (Affandi. 2014)
 Demam pasca operasi (Affandi. 2014)
 Hematoma (Affandi. 2014)
 Rasa sakit pada lokasi pembedahan (Affandi. 2014)
2.3.4 Identifikasi kebutuhan tindakan segera
Kolaborasi dengan dr. SpOG untuk penatalaksanaan apabila ditemukan adanya
emboli gas

2.3.5 Perencanaan
1. Jelaskan hasil pemeriksaan pada ibu
R/ Informasi yang jelas akan mengoptimalkan asuhan yang diberikan.
2. Melakukan perawatan luka bekas jahitan operasi
R/ melihat penyembuhan luka dan apakah ada tanda-tanda infeksi.
3. Berikan KIE pada ibu mengenai:
- perawatan luka
R/ apabila Ibu belum mengetahui secara jelas mengenai perawatan luka
maka dapat memicu adanya infeksi pasca pembedahan .
- aktivitas seksual dilakukan 1 minggu setelah pembedahan
R/ adanya luka operasi mengakibatkan nyeri pada daerah lokasi
pembedahan dan dapat mengganggu aktivitas ibu. Biasanya pasien akan
merasa baik setelah 7 hari.
- Efek samping MOW
R/ perlu dijelaskan agar ibu dapat mengetahui mengenai efeksamping dan
dapat melakukan pertolongan jika terjadi efek samping.
- Nutrisi
R/ mengkonsumsi makanan yang mengandung kadar garam yang tinggi
dapat meningkatkan tekanan darah.
R/ protein diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan luka.
- Tanda bahaya
R/ gejala komplikasi preeklamsia pada masa nifas meliputi; sakit kepala,
nyeri epigastrium serta pandangan mata kabur.
4. Anjurkan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit jika mengalami sesuatu.
R/ memeriksakan diri ke rumah sakit dapat mengetahui apakah klien
mengalami komplikasi pasca pembedahan atau tidak.
2.3.6 Implementasi
Melakukan asuhan sesuai kebidanan sesuai dengan perencanaan yang telah
dibuat
2.3.7 Evaluasi
Kontrol evaluasi dengan melihat ada atau tidaknya infeksi yang ditandai dengan
ada tidaknya nanah/pus pada daerah pembedahan serta demam.
BAB 3
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEBIDANAN NIFAS DAN KB
PADA Ny. “R” DENGAN POST SC + AKSEPTOR KB MOW (FOLLOW UP)
DI POLI KB/ NIFAS RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA

No. Register : 127xxxxx


Tanggal : 13-9-2019
Tempat : Poli KB RSUD Dr Soetomo
Pukul : 09.00 WIB
Oleh : Arum Dewi Pusparini

1.1 Data Subyektif


1. Identitas Klien
Nama : Ny. R Nama suami : Tn. F
Umur : 37 th Umur : 43 th
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : S1 Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS Pekerjaan : PNS
Suku : Madura Suku : Madura
Alamat : Bangkalan
2. Alasan datang
Kontrol nifas dengan KB steril (MOW)
3. Keluhan utama
Nyeri jahitan
4. Riwayat Menstruasi
HPHT : masa nifas
Menarche : 14 tahun
Lama : 4-5 hari
Banyak : 2-3x ganti pembalut sehari
Siklus : teratur, 30 hari
Disminorea : tidak
Keputihan : tidak
5. Riwayat Obstetri
Kehamilan Persalinan Anak Nifas
Suam Jns
U Car H/ pyl
i ke Ke Pylt Pnlg Tmpt Pylt klm BB ASI
K a M t
n
1. 1. 9 - dokter RS SC KPD, L 3200 H/ 2 -
bln oligo gr 14 tahu
th n
1. 2 Abortus

1 3 9 - dokter RS SC BSC L 2800 H / 2 -


bln gr 7 tahu
th n
1 4 26 PEB dokter RS SC BSC, L < M - -
mg , PEB 1000
IUF gr
D

6. Riwayat Kontrasepsi
No. Jenis Lama Keluhan Alasan lepas
1 Suntik 1 3 tahun tidak ada Bosan
bulan
2 Pil 2 tahun Tidak ada Ingin punya anak
lagi
3 Suntik 3 2 tahun Tidak ada Ingin punya anak
bulan lagi
4 Steril Saat ini

7. Riwayat persalinan ini


Ibu bersalin tanggal September 2019 secara SC di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya atas indikasi bekas bekas SC dan PEB. Ibu dilakukan tindakan
tubektomi setelah persalinan. Keputusan untuk tubektomi dilakukan 1 hari
sebelum persalinan ibu.
8. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan klien
ibu menderita hipertensi sejak 2 bulan yang lalu dan ibu sedang
mengkonsumsi obat anti hipertensi yang diberikan oleh dokter yaitu metil
dopa 3x 250 mg.
b. Riwayat kesehatan keluarga
Ibu klien menderita darah tinggi (hipertensi) .
9. Riwayat pernikahan
Pernikahan pertama dan lama pernikahan l6 tahun.
10. Pola Fungsional Kesehatan
Nutrisi : makan 3x sehari : nasi, sayur,buah,telur. Minum 4-5 gelas sehari,
tidak ada tarak makan seperti ayam, ikan-ikanan.
Eliminasi : tidak ada masalah BAK dan BAB, BAK ±7X sehari, BAB 2x
sehari
Personal Hygiene: ganti pembalut 2-3 x/hari
Aktivitas : sekarang sudah mampu beraktivitas seperti memasak, menyapu
perlahan-lahan.
Istirahat : tidur malam ±5-6 jam dengan kualitas kurang baik karena sering
bangun untuk menyusui dan tidur siang 1 jam.
11. Riwayat Psikososial, Budaya, dan Spiritual
Ibu merasa sedih karena sebenarnya masih menginginkan anak lagi tetapi
menurut dokter keadaan ibu saat ini berisiko jika ibu hamil lagi sehingga
disarankan untuk tubektomi.

1.2 Data Obyektif


1. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum: Baik
Kesadaran: Compos mentis
TTV : TD: 159/111 mmHg
N: 120 x/menit
RR : 23x/menit
BB : 63 kg
TB : 163 cm
2. Pemeriksaan Fisik
Wajah : tidak pucat, konjungtiva merah muda, sklera putih
Payudara : bersih, konsistensi lunak, ASI keluar.
Abdomen : nampak bekas jahitan SC melintang, luka bersih, menutup,
kering, tidak ada tanda-tanda infeksi.
TFU : sudah tidak teraba
Genetalia : Lochea serosa, jumlah ± 5 cc, warna kecoklatan
Ekstremitas : tidak oedem

1.3 Analisis
P2112 Post partum + akseptor KB MOW hari ke-11

1.4 Penatalaksanaan
1. Menjelaskan hasil pemeriksaan bahwa ibu dalam kondisi baik; ibu mengetahui
kondisinya saat ini.
2. Melakukan perawatan luka jahitan MOW ; luka kering, ditutup dengan kasa.
3. Kolaborasi dengan dokter untuk rujuk ke poli jantung. Pasien langsung ke poli
jantung.
4. Menjelaskan penyebab nyeri yang dirasakan yaitu dikarenakan terputusnya
jaringan dan saraf pada daerah operasi sehingga ibu akan merasakan nyeri pada
daerah tersebut, Ibu mengetahui penyebab nyeri yang dirasakannya.
5. Memberikan support kepada ibu serta menjelasan bahwa keadaan yang ibu alami
yaitu preeklamsia berat akan bertambah buruk ketika ibu hamil sehingga ibu
tidak disarankan untuk hamil lagi. Ibu mengetahui kondisinya saat ini.
6. Memberikan HE tentang : nutrisi terutama mengurangi makan-makanan asin
memperbanyak konsumsi telur minimal 4 butir per hari, cara merawat luka di
rumah, hubungan seksual, manfaat MOW, personal hygiene, serta tanda bahaya
pada masa nifas. Ibu dapat menjelaskan ulang.
7. Menganjurkan ibu untuk kontrol lagi ke poli KB apabila ada keluhan dan kontrol
ke poli jantung. Ibu bersedia untuk kontrol.
.
BAB 4
PEMBAHASAN

Asuhan kebidanan yang telah dilakukan pad Ny R, pada pengkajian data subjektif
didapatkan bahwa usia ibu adalah 37 tahun dengan anak hidup 2 orang. Menurut
Noviawati (2011) menyatakan usia ibu 35 tahun keatas dengan anak hidup 2 orang
maka dapat melakukan operasi tubektomi.
Ny. R beragama islam dan hukum melakukan sterilisasi menurut fatwa majelis
ulama indonesia (MUI) adalah haram tetapi dapat dilakukan jika pasien dalam keadaan
darurat atau berbahaya untuk ibu. (Prestyana dan Panjalu. 2017). Ny R melakukan
sterilisasi karena sekarang menderita PEB, bahaya yang bisa terjadi apabila hamil lagi
Ny R bisa mengalami PEB kembali, kejang bahkan sampai kematian (Wahyuni. 2018).
Keluhan yang dirasakan oleh Ny. R terkait dengan MOW adalah nyeri jahitan.
Menurut Affandi (2014) menyatakan bahwa salah satu yang dialami pasien pasca
tindakan MOW adalah ras sakit pada lokasi pembedahan. Pemilihan kontrasepsi MOW
dilakukan karena Ny. R pernah hamil 4 kali namun hanya 2 anak saja yang hidup. Anak
terakhir Ny. R meninggal didalam kandungan dan pada kehamilan terakhir, Ny. R
mengalami PEB yang dapat membahayakan ibu. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
kontrasepsi mantap (Kontap) biasanya digunakan oleh ibu pasca melahirkan atau pasca
abortus tanpa disertai infeksi. Serta syarat untuk melakukan operasi tubektomi ialah
wanita dengan paritas lebih dari 2 atau yang sudah tidak menghendaki atau memiliki
anak lagi serta apabila hamil pada kemudian hari akan membahayakan nyawa
ibu(Affandi. 2014). Perasaan ibu sedih karena Ny R berharap masih masih bisa hamil
lagi tetapi setelah dijelaskan oleh dokter bahwa keadaannya saat ini bisa membahayakan
kesehatan ibu jika terhadi kehamilan. Menurut Affandi (2014) menyatakan bahwa salah
satu syarat dilakukannya operasi tubektomi apabila ibu mengalami gangguan kesehatan
yang akan bertambah berat jika terjadi kehamilan. Preeklamsia berat bisa berisiko
terjadinya PEB kembali, kejang bahkan sampai kematian (Wahyuni. 2018).
Pada data objektif didapatkan bahwa ibu memiliki riwayat preeklamsia dan
menderita hipertensi sejak 2 bulan yang lalu. Hipertensi dengan tekanan darah sistolik <
160 mmHg boleh dilakukan tindakan tubektomi karena termasuk WHO kategori B
artinya bahwa tindakan kontrasepsi mantap dapat dilakukan tetapi dengan persiapan
khusus (Affandi. 2014). Pada pemeriksaan fisik di daerah abdomen nampak bekas
jahitan SC melintang, luka bersih, menutup, kering, tidak ada tanda-tanda infeksi. Hal
ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa tubektomi atau sterilisasi pada wanita
merupakan suatu tindakan operasi yang dilakukan dengan cara memutus saluran telur
wanita (Nani. 2018).
Pada penatalaksanaan Ny R dilakukan yaitu dengan melakukan perawatan luka
dengan menggunakan kassa steril. Hal ini didukung oleh teori yang menyatakan bahwa
luka perlu ditutup dengan kassa steril, sehingga sisa darah dapat diserap oleh kassa.
Dengan menutup luka itu kita mencegah terjadinya kontaminasi kuman, tersenggol
(Prawirohardjo. 2010). KIE yang diberikan antara lain cara merawat luka di rumah,
hubungan seksual, manfaat MOW. Nutrisi terutama mengurangi makan-makanan asin
memperbanyak konsumsi telur minimal 4 butir per hari. Menurut bahiyatun dalam
Seniorita (2017) menyatakan bahwa Sumber pembangun (protein) diperlukan ibu nifas
untuk pertumbuhan dan pergantian sel-sel yang rusak atau mati. Sumber protein dapat
diperoleh dari protein hewani (telur, daging, ikan, udang, kerang, susu dan keju) dan
protein nabati (tahu, tempe dan kacang-kacangan). Cara merawat luka di rumah agar
tidak terinfeksi, hal ini didukung oleh teori yang menyatakan bahwa setelah tindakan
MOW berikan nasihat untuk perawatan luka bedah dan kemana minta pertolongan bila
terjadi kelainan atau keluhan sebelum waktu kontrol (Ratnasari. 2014).
Peran Bidan dalam pelayanan kebidanan secara mandiri yaitu memberikan asuhan
kebidanan pada wanita usia subur yang khususnya pada ibu akseptor MOW melalui
konseling atau KIE kepada pasien. Sedangkan dalam memberikan pelayanan kebidanan,
bidan sebagai anggota tim melakukan rujukan dengan dokter spesialis kebidanan dan
kandungan dalam pemberian terapi. Dalam hal ini peran bidan dalam memberikan
asuhan kebidanan pada Ny. R sudah sesuai dengan kewenangan.
.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
Selama melaksanakan Asuhan Kebidanan pada Ny. R dengan post SC dan
Akseptor KB IUD, penulis tidak mengalami suatu kesulitan yang berarti. Hal ini
dikarenakan selama diberikan penjelasan dan asuhan, ibu tampak kooperatif dalam
semua tindakan sehingga dapat terjalin kerjasama yang baik dan akhirnya dapat
membantu terselesainya proses asuhan kebidanan yang dilakukan oleh petugas
kesehatan.
Penatalaksanaan kasus sudah sesuai dengan teori pada tinjauan teori sehingga
tidak ditemukan kesenjangan yang berarti.
5.2 Saran
1. Bagi pasien dan keluarga
Ibu dan keluarga diharapkan mampu mengikuti anjuran dan kooperatif terhadap
semua tindakan yang dilakukan oleh petugas kesehatan dalam memberikan
asuhan, agar dapat mencegah komplikasi yang tidak diharapkan.
2. Bagi mahasiswa
Mahasiswa diharapakan mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
dalam memberikan asuhan secara komprehensif pada klien post SC dan akseptor
MOW.
3. Bagi instansi kesehatan
Diharapkan mampu meningkatakan kewaspadaan dalam memberikan pelayanan
dan mampu melakukan deteksi dini komplikasi sehingga pelayanan terhadap
akseptor MOW dapat diberikan secara optimal sesuai standar prosedur
operasional.
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Biran. (2014). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta:


PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Bahiyatun, 2009. Buku Ajar Kebidanan Asuhan Nifas Normal. Jakarta : EGC

Ferbiyanti, dkk. (2015). Peran Bidan Dalam Pelaksanaan Program Keluarga


Berencana Berdasarkan Permenkes 1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang Izin
dan Penyelenggaraan Praktik Bidan (Studi Kasus Di Kota Semarang).
Jurnal hukum kesehatan 1 (1).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Pelayanan Kesehatan Ibu di


Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. (Ketua: dr. Gita Maya Keosmara
Sakti, MHA). Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Data dan Informasi Profil


Kesehatan Indonesia tahun 2018. (Ketua: Dr. Drh. Didik Budijanto,
M.Kes). Kemekes RI.

Nani, Desiyani. (2018). Fisiologi Manusia Siklus Reproduksi Wanita. Jakarta:


Penebar Plus

Noviawati. (2011). Panduan Lengkap Pelayanan KB terkini. Yogyakarta: Nuha


Medika

Prawirohardjo, Sarwono. (2010). Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.


Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono

Prestyana, R.L., dan Panjalu, G.F. (2017). Pembatasan Keturunan (Tahdid Al-
Nasl) (Studi Komparasi Fatwa MUI dan Putusan Majelis Tajrih
Muhammadiyah Prespektif Maqasid Syariah). Jurnal Studi Hukum Islam 2
(6).

Rahma, A (2011). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan pemilihan


kontrasepsi Non IUD pada Wanita Usia Subur 20-39 tahun. Universitas
Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/32865/1/Annisa_Rahma.pdf

Rodiani dan Forcepta. (2017). Faktor – Faktor Penggunaan Alat Kontrasepsi


Medis Operasi Wanita pada Pasangan Usia Subur. Jurnal Majority 6 (1).

Saifuddin, A.B., (2010). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta:


PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Seniorita, Dona. (2017). Gambaran Pengetahuan Ibu Postpartum Tentang


Kebutuhan Dasar Selama Masa Nifas di Rumah Bersalin di Rumah
Bersalin Srikaban Binjai tahun 2016). Jurnal Ilmiah Kohesi 1 (1).

Sufiyati, F.S., Mardjan. Saleh, Ismail. (2017). Faktor – Faktor Yang


Berhubungan Dengan Pemilihan Metode Kontrasepsi Tubektomi Pada
Pasangan Usia Subur. Jurnal Mahasiswa dan Peneliti Kesehatan 1 (1).

Sugiyono. (2018). Peran BKKBN di Balik Gerakan Penanggulangan Stunting.


Jurnal Keluarga 1 (1)

Wahyuni, Elly Dwi. (2018). Asuhan Kebidanan Nifasdan Menyusui. Jakarta:


Kementerian KesehatanRI.

Winkjosastro, Hanifa, 2010. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Anda mungkin juga menyukai