Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

Kematian janin dalam kandungan adalah kematian hasil konsepsi sebelum


dikeluarkan dengan sempurna dari ibunya tanpa memandang tuanya kehamilan.
Kematian dinilai dengan fakta bahwa sesudah dipisahkan dari ibunya janin tidak
bernafas atau tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, seperti denyut jantung,
pulsasi tali pusat, atau kontraksi otot. Kematian janin fase awal diartikan sebagai
keluarnya hasil konsepsi pada 16 minggu kehamilan dan didiagnosis pertama kali
pada pemeriksaan USG1,2. Prinsip dasar dari kematian janin merupakan hasil akhir
dari gangguan pertumbuhan janin, kegawatdaruratan janin, atau akibat infeksi
yang tidak terdiagnosis sebelumnya sehingga tidak terobati. Usia yang ideal bagi
seorang wanita untuk hamil dan melahirkan adalah dalam rentang 20-30 tahun.
Kejadian kematian janin meningkat pada usia maternal >35 tahun sebesar 1,5 kali
dan juga pada usia 40 tahun terjadi peningkatan kejadian kematian janin pada ras
Afrika-Amerika, pada ibu infertil, riwayat bayi dengan berat badan lahir rendah,
infeksi ibu (ureaplasma urealitikum), obesitas, dan ayah berusia lanjut. Hal ini
disebabkan karena menurunnya perfusi uteroplasenta, komplikasi penyakit kronis
selama kehamilan dan mekanisme lain yang belum jelas.

1
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Death conceptus adalah kematian hasil konsepsi dengan usia kehamilan
kurang dari 20 minggu ditandai dengan tidak adanya denyut jantung pada janin.
Prinsip dasar dari kematian janin merupakan hasil akhir dari gangguan
pertumbuhan janin, kegawatdaruratan janin, atau akibat infeksi yang tidak
terdiagnosis sebelumnya sehingga tidak terobati.

2.2 Etiologi
Lebih dari 50% kasus, etiologi kematian janin dalam kandungan tidak
ditemukan atau belum diketahui penyebabnya dengan pasti. Beberapa penyebab
yang bisa mengakibatkan kematian janin dalam kandungan, antara lain:
a. Perdarahan : plasenta previa dan solusio plasenta
b. Preeklampsi dan eklampsia
c. Penyakit-penyakit kelainan darah
d. Penyakit infeksi dan penyakit menular
e. Penyakit saluran kencing
f. Penyakit endokrin: diabetes melitus
g. Malnutrisi

2.3 Faktor Predisposisi


2.3.1 Faktor Ibu
1. Umur
Bertambahnya usia ibu, maka terjadi juga perubahan perkembangan dari
organ-organ tubuh terutama organ reproduksi dan perubahan emosi atau
kejiwaan seorang ibu. Hal ini dapat mempengaruhi kehamilan yang tidak
secara langsung dapat mempengaruhi kehidupan janin dalam rahim. Usia
reproduksi yang baik untuk seorang ibu hamil adalah usia 20-30 tahun
(Wiknjosastro, 2005). Pada umur ibu yang masih muda organ-organ
3

reproduksi dan emosi belum cukup matang, hal ini disebabkan adanya
kemunduran organ reproduksi secara umum (Wiknjosastro, 2005).
2. Paritas
Paritas yang baik adalah 2-3 anak, merupakan paritas yang aman terhadap
ancaman mortalitas dan morbiditas baik pada ibu maupun pada janin. Ibu
hamil yang telah melahirkan lebih dari 5 kali atau grandemultipara,
mempunyai risiko tinggi dalam kehamilan seperti hipertensi, plasenta
previa, dan lain-lain yang akan dapat mengakibatkan kematian janin.
3. Pemeriksaan Antenatal
Setiap wanita hamil menghadapi risiko komplikasi yang mengancam jiwa,
oleh karena itu, setiap wanita hamil memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan
selama periode antenatal.
a. Satu kali kunjungan selama trimester pertama (umur kehamilan 1-3
bulan)
b. Satu kali kunjungan selama trimester kedua (umur kehamilan 4-6
bulan).
c. Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (umur kehamilan 7-9
bulan). Pemeriksaan antenatal yang teratur dan sedini mungkin pada
seorang wanita hamil penting sekali sehingga kelainan-kelainan yang
mungkin terdapat pada ibu hamil dapat diobati dan ditangani dengan
segera. Pemeriksaan antenatal yang baik minimal 4 kali selama
kehamilan dapat mencegah terjadinya kematian janin dalam kandungan
berguna untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan dalam rahim,
hal ini dapat dilihat melalui tinggi fungus uteri dan terdengar atau
tidaknya denyut jantung janin.
4. Penyulit / Penyakit
a. Anemia
Hasil konsepsi seperti janin, plasenta dan darah membutuhkan zat
besi dalam jumlah besar untuk pembuatan butir-butir darah
pertumbuhannya, yaitu sebanyak berat zat besi. Jumlah ini merupakan
1/10 dari seluruh zat besi dalam tubuh. Terjadinya anemia dalam
kehamilan bergantung dari jumlah persediaan zat besi dalam hati, limpa
4

dan sumsum tulang. Selama masih mempunyai cukup persediaan zat besi,
Hb tidak akan turun dan bila persediaan ini habis, Hb akan turun. Ini
terjadi pada bulan kelima sampai bulan keenam kehamilan, pada waktu
janin membutuhkan banyak zat besi. Bila terjadi anemia, pengaruhnya
terhadap hasil konsepsi salah satunya adalah kematian janin dalam
kandungan. Menurut Manuaba (2003), pemeriksaan dan pengawasan Hb
dapat dilakukan dengan menggunakan alat sahli, dapat digolongkan
sebagai berikut: normal : 11 gr%, anemia ringan : 9-10 gr%, anemia
sedang : 7-8 gr%, anemia berat : <7gr%.
b. Pre-eklampsi dan eklampsi
Pada pre-eklampsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan
retensi garam dan air. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami
spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi
kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan dapat dicukupi. Maka
aliran darah menurun ke plasenta dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin.
c. Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya
normal terlepas dari perlekatannya sebelum janin lahir. Solusio plasenta
dapat terjadi akibat turunnya darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri
yang menuju ke ruang intervirale maka terjadilah anoksemia dari jaringan
bagian distalnya. Sebelum ini terjadi nekrotis, spasme hilang darah
kembali mengalir ke dalam intervilli, namun pembuluh darah distal tadi
sudah demikian rapuh, mudah pecah terjadinya hematoma yang lambat
laun melepaskan plasenta dari rahim. Sehingga aliran darah ke janin
melalui plasenta tidak ada dan terjadilah kematian janin (Wiknjosastro,
2005).
d. Diabetes Mellitus
Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit keturunan dengan ciri-
ciri kekurangan atau tidak terbentuknya insulin, akibat kadar gula dalam
darah yang tinggi dan mempengaruhi metabolisme tubuh secara
menyeluruh dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin.
5

Umumnya wanita penderita diabetes melahirkan bayi yang besar


(makrosomia). Glukosa berubah menjadi lemak dan bayi menjadi besar.
Bayi besar atau makrosomia menimbulkan masalah sewaktu melahirkan
dan kadang-kadang mati sebelum lahir.
e. Rhesus Iso-Imunisasi
Jika orang berdarah rhesus negatif diberi darah rhesus positif, maka
antigen rhesus akan membuat penerima darah membentuk antibodi
antirhesus. Jika transfusi darah rhesus positif yang kedua diberikan, maka
antibodi mencari dan menempel pada sel darah rhesus negatif dan
memecahnya sehingga terjadi anemia ini disebut rhesus iso-imunisasi. Hal
ini dapat terjadi begitu saja di awal kehamilan, tetapi perlahan-lahan sesuai
perkembangan kehamilan. Dalam aliran darah, antibodi antihresus bertemu
dengan sel darah merah rhesus positif normal dan menyelimuti sehingga
pecah melepaskan zat bernama bilirubin, yang menumpuk dalam darah,
dan sebagian dikeluarkan ke kantong ketuban bersama urin bayi. Jika
banyak sel darah merah yang hancur maka bayi menjadi anemia sampai
akhirnya mati.
f. Infeksi dalam kehamilan
Kehamilan tidak mengubah daya tahan tubuh seorang ibu terhadap
infeksi, namun keparahan setiap infeksi berhubungan dengan efeknya
terhadap janin. Infeksi mempunyai efek langsung dan tidak langsung pada
janin. Efek tidak langsung timbul karena mengurangi oksigen darah ke
plasenta. Efek langsung tergantung pada kemampuan organisme penyebab
menembus plasenta dan menginfeksi janin, sehingga dapat mengakibatkan
kematian janin in utero.
g. Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini merupakan penyebab terbesar persalinan prematur
dan kematian janin dalam kandungan. Ketuban pecah dini adalah
pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan ditunggu satu
jam belum dimulainya tanda persalinan. Kejadian ketuban pecah dini
mendekati 10% semua persalinan. Pada umur kehamilan kurang dari 34
minggu, kejadiannya sekitar 4%. Ketuban pecah dini menyebabkan
6

hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam rahim, sehingga
memudahkan terjadinya infeksi. Salah satu fungsi selaput ketuban adalah
melindungi atau menjadi pembatas dunia luar dan ruangan dalam rahim
sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. Makin lama periode laten,
makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematuritas
dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan
kematian janin dalam rahim (Manuaba, 2003).
h. Letak lintang
Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang di dalam
uterus dengan kepala pada sisi yang satu sedangkan bokong berada pada
sisi yang lain. Pada letak lintang dengan ukuran panggul normal dan cukup
bulan, tidak dapat terjadi persalinan spontan. Bila persalinan dibiarkan
tanpa pertolongan, akan menyebabkan kematian janin. Bahu masuk ke
dalam panggul sehingga rongga panggul seluruhnya terisi bahu dan
bagian-bagian tubuh lainnya. Janin tidak dapat turun lebih lanjut dan
terjepit dalam rongga panggul. Dalam usaha untuk mengeluarkan janin,
segmen bawah uterus melebar serta menipis, sehingga batas antara dua
bagian ini makin lama makin tinggi dan terjadi lingkaran retraksi patologik
sehingga dapat mengakibatkan kematian janin (Wiknjosastro, 2005).
i. Antiphospolipid Syndrome
Ada dua macam antibodi antifosfolipid yang telah dikenal yaitu :
Lupus Antikoagulan ( LA ), dan Antikardiolipin Antibodi ( ACA ).
Sedangkan klasifikasi APS terdiri dari APS tanpa penyebab lain disebut
sebagai APS primer, sedangkan APS karena penyakit lain seperti SLE
dinamakan APS sekunder5.
j. Perangsangan pada ibu
Perangsangan yang menyebabkan uterus berkontraksi misalnya
terkejut, obat uterotonika, ketakutan, dan dapat juga trauma langsung
terhadap fetus, selaput janin rusak langsung karena instrumen, benda dan
obat-obatan.
7

2.3.2 Faktor Janin


1. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur
bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan
kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya kematian janin dalam
kandungan, atau lahir mati. Bayi dengan kelainan kongenital, umumnya
akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai
bayi kecil untuk masa kehamilannya. Dilihat dari bentuk morfologik,
kelainan kongenital dapat berbentuk suatu deformitas atau bentuk
malformitas. Suatu kelainan kongenital yang berbentuk deformitas secara
anatomik mungkin susunannya masih sama tetapi bentuknya yang akan
tidak normal. Kejadian ini umumnya erat hubungannya dengan faktor
penyebab mekanik atau pada kejadian oligohidramnion. Sedangkan bentuk
kelainan kongenital malformitas, susunan anatomik maupun bentuknya akan
berubah. Kelainan kongenital dapat dikenali melalui pemeriksaan
ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban, dan darah janin.
2. Infeksi intranatal
Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain.
Kuman dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban
pecah. Ketuban pecah dini mempunyai peranan penting dalam timbulnya
plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban
masih utuh, misalnya pada partus lama dan seringkali dilakukan
pemeriksaan vaginal. Janin kena infeksi karena menginhalasi likuor yang
septik, sehingga terjadi pneumonia kongenital atau karena kuman-kuman
yang memasuki peredaran darahnya dan menyebabkan septicemia. Infeksi
intranatal dapat juga terjadi dengan jalan kontak langsung dengan kuman
yang terdapat dalam vagina, misalnya blenorea dan oral thrush.
3. Kelainan Tali Pusat
Tali pusat sangat penting artinya sehingga janin bebas bergerak dalam
cairan amnion, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya berjalan
dengan baik. Pada umumnya tali pusat mempunyai panjang sekitar 55 cm.
Tali pusat yang terlalu panjang dapat menimbulkan lilitan pada leher,
8

sehingga mengganggu aliran darah ke janin dan menimbulkan asfiksia


sampai kematian janin dalam kandungan.
a. Kelainan insersi tali pusat
Insersi tali pusat pada umumnya parasentral atau sentral. Dalam
keadaan tertentu terjadi insersi tali pusat plasenta battledore dan insersi
velamentosa. Bahaya insersi velamentosa bila terjadi vasa previa, yaitu
pembuluh darahnya melintasi kanalis servikalis, sehingga saat ketuban
pecah pembuluh darah yang berasal dari janin ikut pecah. Kematian janin
akibat pecahnya vase previa mencapai 60%-70% terutama bila pembukaan
masih kecil karena kesempatan seksio sesaria terbatas dengan waktu
(Wiknjosastro, 2005).
b. Simpul tali pusat
Pernah ditemui kasus kematian janin dalam rahim akibat terjadi
peluntiran pembuluh darah umbilikalis, karena selei Whartonnya sangat
tipis. Peluntiran pembuluh darah tersebut menghentikan aliran darah ke
janin sehingga terjadi kematian janin dalam rahim. Gerakan janin yang
begitu aktif dapat menimbulkan simpul sejati sering juga dijumpai
(Manuaba, 2003).
c. Lilitan tali pusat
Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang panjang
besar kemungkinan dapat terjadi lilitan tali pusat. Lilitan tali pusat pada
leher sangat berbahaya, apalagi bila terjadi lilitan beberapa kali. Tali pusat
yang panjang berbahaya karena dapat menyebabkan tali pusat menumbung,
atau tali pusat terkemuka. Dapat diperkirakan bahwa makin masuk kepala
janin ke dasar panggul, makin erat lilitan tali pusat dan makin terganggu
aliran darah menuju dan dari janin sehingga dapat menyebabkan kematian
janin dalam kandungan (Wiknjosastro, 2005).

2.4 Epidemiologi
Secara epidemiologi, angka death conceptus biasanya dimasukkan ke
dalam angka bayi lahir mati (stillbirth rate). Angka bayi lahir mati masih cukup
tinggi di dunia, yaitu sekitar 2,6 juta per tahun, terutama di negara-negara
9

berkembang. Di Indonesia, diperkirakan angka bayi lahir mati sekitar 13 per 1.000
total kelahiran.
WHO memperkirakan angka bayi lahir mati (stillbirth rate) secara global
sekitar 2,6 juta per tahun. Sekitar 98% angka bayi lahir mati diperkirakan terjadi
di negara berkembang. Sekitar 50% dari angka bayi lahir mati (1,3 juta) terjadi
pada saat proses persalinan dan disebabkan oleh kondisi yang sebenarnya dapat
dicegah. Pada tahun 2014, data dari Badan Pusat Statistik Nasional Amerika
Serikat (National Vital Statistic Report) melaporkan terdapat 15.840 kematian
janin pada usia kehamilan 20 minggu atau lebih di Amerika Serikat. Penyebab
kematian janin dari data tersebut adalah sebagai berikut6:
 Nonspesifik: 30%
 Gangguan pada plasenta dan membran: 28%
 Kematian janin akibat komplikasi maternal: 14%
 Kematian janin akibat kelainan kongenital: 10%
 Kematian janin karena kondisi maternal yang tidak berkaitan dengan
kehamilan: 8%7
Berdasarkan data dari UNICEF (United Nations Children’s Fund) pada
tahun 2015, diperkirakan 5.000.000 bayi lahir di Indonesia atau sekitar 13.800 per
harinya. Sekitar 203 bayi meninggal setiap harinya sebelum mencapai usia 1
bulan dan diperkirakan sekitar 201 bayi lahir mati terjadi per harinya. Perkiraan
angka bayi lahir mati di Indonesia pada tahun 2015 adalah 13 per 1.000 total
kelahiran8.

2.5 Patofisiologi
Patofisiologi death conceptus berupa kegagalan mekanisme unit
fetomaternal yang dapat disebabkan oleh berbagai penyebab, misalnya sindrom
antifosfolipid, insufisiensi plasenta, solusio plasenta, atau villitis kronik berat.
Sindrom antibody antifosfolipid (APS) adalah salah satu diantara banyak
penyebab kematian hasil konseptus yang ditandai antibodi multiple yang berbeda
yang timbul bersama antibody antifosfolipid dengan thrombosis arteri dan vena.
APS dikenal juga sebagai sindrom Hughes. Trombosis telah diketahui secara luas
sebagai salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas kehamilan. APS adalah
penyebab utama trombosis dalam kehamilan yang bertanggung jawab atas
10

morbiditas dan mortalitas janin serta ibu seperti preeklampsia, pertumbuhan janin
terhambat, kematian janin dalam rahim, persalinan preterm dan bahkan gangguan
proses implantasi mudigah ke dalam endometrium. Jika terjadi kematian janin
maka selanjutnya terjadi perdarahan desidua basalis, diikuti nekrosis jaringan
sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing oleh
uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan hasil konsepsi tersebut.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, villi khorialis belum menembus desidua
secara dalam, jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8-
12 minggu, penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan
secara sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari
14 minggu, janin dikeluarkan lebih dahulu daripada plasenta. Hasil konsepsi
keluar dalam berbagai bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda kecil
yang tak jelas bentuknya, janin lahir mati, janin masih hidup, mola kruenta, fetus
kompresus, maserasi atau fetus papiraseus9 .

2.6 Manifestasi Klinis


Pada umumnya ibu dapat tidak merasakan gejala apa-apa karena usia
kandungan masih sangat kecil. Beberapa gejala yang mungkin dapat dirasakan
yaitu :
1. Rahim yang hamil tersebut tidak bertambah besar lagi, bahkan semakin
mengecil
2. Tidak lagi dirasakan gerakan janin
3. Tidak ditemukan bunyi jantung janin pada pemeriksaan
4. Bentuk uterus menjadi tidak tegas sebagaimana suatu kehamilan normal
5. Bila kematian itu telah berlangsung lama, dapat dirasakan krepitasi,
yakni akibat penimbunan gas dalam tubuh
6. Rasa keram atau nyeri pada perut bawah

2.7 Diagnosis
11

2.7.1 Anamnesis
1. Ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari, atau gerakan
janin sangat berkurang
2. Ibu merasakan perutnya tidak bertambah besar, bahkan bertambah kecil
atau kehamilan tidak seperti biasa
3. Ibu merasakan belakangan ini perutnya sering menjadi keras dan merasa
sakit-sakit seperti mau melahirkan
4. Jika kematian janin terjadi di awal kehamilan, mungkin tidak akan
ditemukan gejala kecuali berhentinya gejala-gejala kehamilan yang biasa
dialami (mual, sering berkemih, kepekaan pada payudara)
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Tidak kelihatan gerakan-gerakan janin, yang biasanya dapat terlihat
terutama pada ibu yang kurus
2. Palpasi
a. Tinggi fundus lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan, tidak
teraba gerakan-gerakan janin
b. Dengan palpasi yang teliti, dapat dirasakan adanya krepitasi pada
tulang kepala janin
3. Auskultasi
Baik memakai stetoskop, monoral maupun dengan doptone tidak terdengar
denyut jantung janin (DJJ)
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Pada pemeriksaan laboratorium terjadi penurunan kadar gonadotropin
korionik manusia (Human Chorionic Gonadotropin atau HCG) mungkin
dapat membantu diagnosis dini selama kehamilan, namun kadar HCG
masih dapat tetap tinggi setelah beberapa hari setelah kematian hasil
konsepsi
2. Ultrasonografi Tidak ditemukan DJJ (Denyut Jantung Janin) maupun
gerakan janin, seringkali tulang-tulang letaknya tidak teratur, khususnya
tulang tengkorak sering dijumpai overlapping. USG saat ini merupakan
baku emas untuk mengkonfirmasi kematian janin dengan
12

mendokumentasikan tidak adanya aktifitas jantung janin setelah usia


gestasi 6 minggu
3. Rontgen foto abdomen
a. Tanda Spalding
Tanda Spalding menunjukkan adanya tulang tengkorak yang saling
tumpang tindih (overlapping) karena otak bayi yang sudah mencair, hal
ini terjadi setelah bayi meninggal beberapa hari dalam kandungan
b. Tanda Nojosk
Tanda ini menunjukkan tulang belakang janin yang saling
melenting (hiperpleksi)
c. Tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah
d. Tampak udema di sekitar tulang kepala

2.8 Diagnosis banding


2.8.1 IUFD ( Intra Uterine Fetal Death )
1. Definisi
Menurut WHO dan The American College of Obstetricians and
Gynecologists yang disebut kematian janin dalam rahim ( Intra Uterine
Fetal Death ) adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500
gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20
minggu atau lebih.
2. Etiologi
Penyebab kematian janin dalam rahim yaitu :
a. 50 % kematian janin bersifat idiopatik (tidak diketahui
penyebabnya)
b. Kondisi medis ibu (hipertensi, pre-eklamsi, diabetes mellitus)
berhubungan dengan peningkatan insidensi kematian janin. Deteksi
dini dan tata laksana yang yang sesuai akan mengurangai risiko
IUFD
c. Komplikasi plasenta (plasenta previa, abruption plasenta) dapat
menyebabkan kematian janin. Peristiwa yang tidak diinginkan
akibat tali pusat sulit diramalkan, tetapi sebagian besar sering
13

ditemukan pada kehamilan kembar monokorionik/monoamniotik


sebelum usia gestasi 32 minggu
d. Penentuan kariotipe janin harus dipertimbangkan dalam semua
kasus kematian janin untuk mengidentifikasi abnormalitas
kromosom, khususnya dalam kasus ditemukannya abnormalitas
struktural janin. Keberhasilan analisis sitogenetik menurun pada
saat periode laten meningkat. Kadang-kadang, amniosentesis
dilakukan untuk mengambil amniosit hidup untuk keperluan
analisis sitogenetik
e. Perdarahan janin-ibu (aliran sel darah merah transplasental dari
janin menuju ibu) dapat menyebabkan kematian janin. Kondisi ini
terjadi pada semua kehamilan, tetapi biasanya dengan jumlah
minimal ( <0,1ml )
f. Sindrom Antibodi Antifosfolipid
Diagnosis ini memerlukan pengaturan klinis yang benar (>3
kehilangan pada trimester pertama) kehilangan kehamilan trimester
kedua dengan penyebab yang tidak dapat dijelaskan, peristiwa
tromboembolik vena yang tidak dapat dijelaskan
g. Infeksi intra-amnion yang mengakibatkan kematian janin
biasanya jelas terlihat pada pemeriksaan klinis. Kultur pemeriksaan
histology terhadap janin, plasenta/selaput janin, dan tali pusat akan
membantu.
3. Predisposisi IUFD
Menurut Winkjosastro (2005), pada 25-60% kasus penyebab
kematian janin tidak jelas. Kematian janin dapat disebabkan oleh faktor
maternal, fetal, atau kelainan patologik plasenta.
a. Faktor maternal antara lain adalah post term(>42 minggu),
diabetes mellitus tidak terkontrol, sistemik lupus eritematosus,
infeksi hipertensi, pre-eklamsia, eklamsia, hemoglobinopati, umur
ibu tua, penyakit rhesus, rupture uteri, antifosfolipid sindrom,
hipotensi akut ibu, kematian ibu
14

b. Faktor fetal antara lain: hamil kembar, hamil tumbuh terlambat,


kelainan kongenital, kelainan genetik, infeksi
c. Faktor plasenta antara lain: kelainan tali pusat, lepasnya
plasenta, KPD, vasa previa
d. Sedangkan faktor resiko terjadinya kematian janin intra uterine
meningkat pada usia >40 tahun, pada ibu infertil, hemokonsentrasi
pada ibu, riwayat bayi dengan berat badan lahir rendah, infeksi ibu
(ureplasma urelitikum), kegemukan, ayah berusia lanjut
4. Manifestasi klinis
a. Ibu tidak merasakan gerakan janin
b. Gerakan janin tidak dirasakan lagi
c. Uterus tegang / kaku
d. Adanya gelembung-gelembung gas pada badan janin
5. Diagnosis banding

Gejala dan tanda selalu Gejala dan tanda selalu ada Diagnosa kemungkinan
ada
         Gerakan janin berkurang      Syok Solusio placenta
atau hilang      Uterus tegang atau kaku

         Nyeri perut hilang      Gawat janin atau djj tidak

timbul atau menetap terdengar


         Perdarahan pervaginam
sesudah hamil 22 minggu
         Gerakan janin dan djj      Syok Rupture uteri
tidak ada      Perut kembung atau cairan

         Perdarahan bebas intra abdominal


         Nyeri perut hebat      Kontur uterus abnormal

     Abdomen nyeri

     Bagian-bagian janin teraba

         Gerakan janin berkurang      Cairan ketuban campur Gawat janin


atau hilang mekonium
         Djj abnormal
( <100/menit atau
>180/menit)
         Gerakan janin atau djj      Tanda- tanda kehamilan Kematian janin
hilang berhenti
     Tinggi fundus uteri
15

berkurang
     Pembesaran uteri

berkurang
Tabel 2.1 Diagnosis banding IUFD

6. Diagnosis IUFD
Diagnosis kematian janin dalam rahim meliputi:
a. Gejala jika kematian janin terjadi terjadi di awal kehamilan,
mungkin tidak akan ditemukan gejala kecuali berhentinya
gejala-gejala kehamilan yang biasa dialami (mual, sering
berkemih, kepekaan pada payudara). Di usia kehamilan
selanjutnya, kematian janin harus dicurigai jika janin tidak
bergerak dalam jangka waktu yang cukup lama
b. Tanda-tanda ketidakmampuan mengidentifikasi denyut
jantung janin pada kunjungan ANC (antenatal care) setelah usia
gestasi 12 minggu atau tidak adanya pertumbuhan uterus dapat
menjadi dasar diagnosis
c. Pada pemeriksaan laboratorium terjadi penurunan kadar
gonadotropin korionik manusia (Human Chorionic
Gonadotropin atau HCH) mungkin dapat membantu diagnosis
dini selama kehamilan
d. Pada pemeriksaan radiologis. Secara historis, foto rontgen
abdominal digunakan untuk mengkonfirmasi IUFD. Tiga
temuan sinar X yang dapat menunjukkan adanya kematian
janin meliputi penumpukan tulang tengkorak janin (tanda
spalding), tulang punggung janin melengkung secara
berlebihan dan adanya gas didalam janin. Meskipun demikian,
foto rontgen sudah tidak digunakan lagi. USG saat ini
merupakan baku emas untuk mengkonfirmasi IUFD dengan
mendokumentasikan tidak adanya aktifitas jantung janin
setelah usia gestasi 6 minggu. Temuan sonografi lain
mencakup edema kulit kepala dan maserasi janin
7. Penatalaksanaan IUFD
16

Janin yang mati dalam rahim sebaiknya segera dikeluarkan secara:


a. Lahir spontan: 75% akan lahir spontan dalam 2 minggu
b. Persalinan anjuran :
- Dilatasi serviks dengan batang laminaria. Setelah
dipasang 12-24 jam kemudian dilepas dan dilanjutkan
dengan infus oksitosin sampai terjadi pengeluaran janin dan
plasenta
- Dilatasi serviks dengan kateter folley
Untuk umur kehamilan > 24 minggu. Kateter folley no 18,
dimasukan dalam kanalis sevikalis diluar kantong amnion.
Diisi 50 ml aquades steril. Ujung kateter diikat dengan tali,
kemudian lewat katrol, ujung tali diberi beban sebesar 500
gram. Dilanjutkan infus oksitosin 10 u dalam dekstrose 5 %
500 ml, mulai 8 tetes/menit dinaikkan 4 tetes tiap 30 menit
sampai his adekuat.
- Infus oksitosin
Keberhasilan sangat tergantung dengan kematangan
serviks, dinilai dengan Bishop Score, bila nilai = 5 akan
lebih berhasil. Dipakai oksitosin 5-10 u dalam dekstrose 5
% 500 ml mulai 8 tetes / menit dinaikan 4 tetes tiap 15
sampaihis adekuat
- Induksi prostaglandin
Dosis : Pg-E 2 diberikan dalam bentuk suppositoria 20 mg,
diulang 4-5 jam. Pg-E 2 diberikan dalam bentuk suntikan
im 400 mg. Pg-E 2,5 mg/ml dalam larutan NaCL 0.9 %,
dimulai 0,625 mg/ml dalam infuse. Kontra Indikasi: asma,
alergi dan penyakit kardiovaskuler.
8. Pencegahan IUFD
Menurut Winkjosastro (2005), upaya mencegah kematian janin,
khususnya yang sudah atau mendekati aterm adalah bila ibu merasa
gerakan janin menurun, tidak bergerak atau gerakan janin terlalu keras,
perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Perhatikan adanya solusio
17

plasenta. Pada gemeli dengan TT (twin to twin transfusion) pencegahan


dilakukan dengan koagulasi pembuluh anastomosis.

2.8.2 Abortus
1. Definisi
Keguguran atau abortus adalah terhentinya proses kehamilan yang
sedang berlangsung sebelum mencapai umur 28 minggu atau berat janin
sekitar 500 gram. Abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara
apapun, spontan maupun buatan, sebelum janin mampu bertahan hidup.
Batasan ini berdasar umur kehamilan dan berat badan. Dengan kata lain
abortus adalah terminasi kehamilan sebelum 20 minggu atau dengan berat
kurang dari 500 gr. Berdasarkan beberapa definisi tentang abortus di atas
maka disimpulkan bahwa abortus adalah keluarnya hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup diluar kandungan pada umur kehamilan < 20 minggu
dengan berat badan janin < 500 gr.
2. Klasifikasi Abortus
a. Abortus spontan
Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis
untuk mengosongkan uterus, maka abortus tersebut dinamai
abortus spontan. Kata lain yang luas digunakan adalah keguguran
(Miscarriage). Abortus spontan secara klinis dapat dibedakan
antara abortus imminens, abortus insipiens, abortus inkompletus,
abortus kompletus. Selanjutnya, dikenal pula missed abortion,
abortus habitualis, abortus infeksiosus dan abortus septik.
- Abortus imminens (keguguran mengancam)
Abortus imminens adalah perdarahan bercak yang
menunjukkan ancaman terhadap kelangsungan suatu
kehamilan. Dalam kondisi seperti ini kehamilan masih
mungkin berlanjut atau dipertahankan. Diagnosis abortus
imminens ditentukan karena pada wanita hamil terjadi
perdarahan melalui ostium uteri eksternum, disertai mules
sedikit atau tidak sama sekali, uterus membesar sebesar
18

tuanya kehamilan, serviks belum membuka, dan tes


kehamilan positif. Pada beberapa wanita hamil dapat terjadi
perdarahan sedikit pada saat haid yang semestinya datang
jika tidak terjadi pembuahan. Hal ini disebabkan oleh
penembusan villi koreales ke dalam desidua, pada saat
implantasi ovum. Perdarahan implantasi biasanya sedikit,
warnanya merah, cepat berhenti, dan tidak disertai mules-
mules.
- Abortus insipiens (keguguran berlangsung)
Perdarahan intrauterin sebelum kehamilan lengkap
20 minggu dengan dilatasi serviks berlanjut tetapi tanpa
pengeluaran product of conception (POC). Pada abortus ini
mungkin terjadi pengeluaran sebagian atas seluruh hasil
konsepsi dengan cepat. Abortus dianggap inspiens jika ada
tanda-tanda berikut : penipisan serviks derajat sedang,
dilatasi serviks > 3 cm, pecah selaput ketuban, perdarahan
> 7 hari, kram menetap meskipun sudah diberikan analgetik
narkotik, dan tanda-tanda penghentian kehamilan (misal,
tidak ada mastalgia).
- Abortus inkompletus (keguguran tidak lengkap)
Perdarahan pada kehamilan muda dimana sebagian
dari hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri melalui
kanalis servikalis. Apabila plasenta (seluruhnya atau
sebagian) tertahan di uterus, cepat atau lambat akan terjadi
perdarahan yang merupakan tanda utama abortus
inkompletus. Pada abortus yang lebih lanjut, perdarahan
kadang-kadang sedemikian masif sehingga menyebabkan
hipovolemia berat.
- Abortus kompletus (keguguran lengkap)
Proses abortus di mana keseluruhan hasil konsepsi
telah keluar melalui jalan lahir. Tanda dan gejalanya yaitu
ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup,
19

dan uterus sudah mengecil. Penderita tidak memerlukan


pengobatan khusus.
- Abortus infeksiosa dan Abortus septic
Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai
infeksi pada genitalia, sedangkan abortus septik adalah
abortus infeksiosa berat dengan penyebaran kuman atau
toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritoneum.
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap
abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus
inkompletus dan lebih sering ditemukan pada abortus
buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan
antisepsis. Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi
terbatas pada desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri
tinggi, dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba,
parametrium, dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar
lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan
kemungkinan diikuti oleh syok. Diagnosis abortus
infeksiosa ditentukan dengan adanya abortus yang disertai
gejala dan tanda infeksi genitalia, seperti panas, takikardi,
perdarahan pervaginam berbau, uterus yang membesar,
lembek, serta nyeri tekan, dan leukositosis. Apabila
terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat, kadang-
kadang menggigil, demam tinggi dan tekanan darah
menurun.
- Missed abortion (retensi janin mati)
Kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi
janin yang telah mati itu tidak dikeluarkkan selama 8
minggu atau lebih.
- Abortus habitualis
Abortus spontan yang terjadi berturut-turut tiga kali
atau lebih. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi
hamil, namun kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu.
20

b. Abortus provokatus
Abortus buatan adalah tindakan abortus yang sengaja
dilakukan untuk menghilangkan kehamilan sebelum umur 28
minggu atau berat janin 500 gram. Abortus ini terbagi lagi
menjadi:
- Abortus therapeutic (Abortus medisinalis)
Pengakhiran kehamilan sebelum saatnya janin mampu
hidup dengan maksud melindungi kesehatan ibu. Indikasi untuk
melakukan abortus therapeutic adalah apabila kelangsungan
kehamilan dapat membahayakan nyawa wanita tersebut seperti
pada penyakit vaskular hipertensif tahap lanjut dan invasive
karsinoma pada serviks. Selain itu, abortus therapeutic juga boleh
dilakukan pada kehamilan akibat perkosaan atau akibat hubungan
saudara (incest) dan sebagai pencegahan untuk kelahiran fetus
dengan deformitas fisik yang berat atau retardasi mental.
- Abortus provokatus kriminalis
Pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau
oleh orang yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum atau
dilakukan oleh yang tidak berwenang. Kemungkinan adanya
abortus provokatus kriminalis harus dipertimbangkan bila
ditemukan abortus febrilis.
- Unsafe Abortion
Upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksana
tindakan tersebut tidak mempunyai cukup keahlian dan prosedur
standar yang aman sehingga dapat membahayakan keselamatan
jiwa pasien.
21

Gambar 2.1. Jenis jenis abortus

3. Etiologi
a. Hal yang dapat menyebabkan abortus, antara lain :
- Infeksi akut virus, misalnya :
(1). Rubella
Infeksi rubella merupakan penyakit infeksi ringan pada
anak dan dewasa muda, tetapi memberi nuansa istimewa
seandainya infeksinya mengenai ibu hamil, dimana virus dapat
menembus barier plasenta dan langsung patogenik terhadap
janin yang dikandung. Infeksi rubella dapat menyebabkan
abortus spontan, lahir mati, malformasi janin, kelainan bayi,
sindrom rubella pada anak di kemudian hari.
(2) Parasit, misalnya malaria
Terdapat empat spesies plasmodium yang menyebabkan
malaria pada manusia, yaitu vivax, ovale, malariae, dan
falsiparum. Organisme ini ditularkan melalui gigitan nyamuk
Anopheles betina. Serangan-serangan malaria secara bermakna
meningkat tiga sampai empat kali lipat pada dua trimester
22

terakhir kehamilan dan dua bulan pascapartum. Insiden abortus


dan kelahiran preterm meningkat pada wanita hamil yang
mengalami malaria
(3) Cacar.
(4) Hepatitis
(5) Infeksi bakteri misalnya streptokokus
- Infeksi kronis
(1) Pneumonia
Pneumonia dalam kehamilan merupakan penyebab
kematian non obstetrik yang terbesar setelah penyakit jantung.
Oleh karena itu, pneumonia harus segera diketahui dalam
kehamilan, segera dirawat, dan diobati secara intensif untuk
mencegah timbulnya kematian janin/ibu, terjadinya abortus,
persalinan prematur, atau kematian dalam kandungan .
(2) Tuberkulosis paru
(3) Sifilis, biasanya menyebabkan abortus pada trimester kedua.
- Penyakit kronis, misalnya :
(1) Hipertensi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik
sekurangkurangnya 30 mmHg, atau peningkatan diastolik
sekurang-kurangnya mmHg, atau adanya tekanan sistolik
sekurang-kurangnya 140 mmHg, atau tekanan diastolik sekurang-
kurangnya 90 mmHg.
(2) Diabetes Melitus (DM)
Diabetes adalah gangguan kesehatan yang berupa
kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula
(glukosa) darah akibat kekurangan atau resistensi insulin. Beberapa
gangguan endokrin telah terlibat dalam abortus spontan berulang,
salah satu diantaranya adalah diabetes mellitus. Abortus spontan
dan malformasi kongenital mayor meningkat pada wanita dengan
diabetes dependen-insulin. Risiko ini berkaitan dengan derajat
kontrol metabolik pada trimester pertama.
23

(3) Infeksi Toxoplasma Gondii


Penyakit toxoplasmosis bukan disebabkan virus tetapi
disebabkan oleh sejenis parasit toxoplasma gondii. Bila penyakit
ini menjangkiti seorang wanita hamil, maka pada janin dalam
kandungannya juga akan berisiko terinfeksi dan menimbulkan
berbagai kecacatan fisik pada anak setelah dilahirkan. Infeksi
toxoplasma gondii menyebabkan abortus spontan sebesar 4%, lahir
mati sebesar 3%, toxoplasmosis bawaan 20%.
(4) Anemia berat
Hemoglobin merupakan protein yang terdapat dalam sel
darah merah atau eritrosit, yang memberi warna merah pada darah.
Hemoglobin terdiri atas zat besi yang merupakan pembawa
oksigen. Kadar hemoglobin dapat ditetapkan dengan berbagai cara,
antara lain metode sahli, oksihemoglobin atau cyanmethemoglobin.
Kadar hemoglobin dalam darah yang rendah dikenal dengan istilah
anemia. Salah satu penyebab tinggi abortus spontan adalah anemia
yang disebabkan karena gangguan nutrisi dan peredaran oksigen
menuju sirkulasi utero plasenter sehingga dapat secara langsung
mempengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan melalui
plasenta. Pada anemia ringan dapat mengakibatkan terjadinya lahir
prematur dan berat bayi lahir rendah (BBLR), sedangkan pada
anemia berat selama masa hamil dapat mengakibatkan morbiditas
dan mortalitas baik pada ibu maupun janin yang salah satunya
adalah terjadinya abortus dan perdarahan pada saat persalinan.
(5) Penyakit jantung
(6) Gangguan fisiologis, misalnya syok, ketakutan, dan lain-lain
(7) Trauma
4. Faktor Predisposisi
Penyebab abortus ada berbagai macam yang diantaranya adalah :
a. Faktor maternal
- Kelainan genetalia ibu misalnya pada ibu yang menderita:
24

(1) Anomali kongenital (hipoplasia uteri, uterus bikornis,


dan lain-lain).
(2) Kelainan letak dari uterus seperti retrofleksi uteri fiksata
(3) Tidak sempurnanya persiapan uterus dalam menanti
nidasi dari ovum yang sudah dibuahi, seperti kurangnya
progesteron atau estrogen, endometritis, dan mioma
submukosa
(4) Uterus terlalu cepat teregang (kehamilan ganda,
molahidatidosa)
(5) Distorsia uterus, misalnya karena terdorong oleh tumor
pelvis.
(6) Serviks inkompeten
- Penyakit-penyakit ibu
(1) Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi
seperti pneumonia, tifoid, pielitis, rubeola, demam malta,
dan sebagainya
(2) Keracunan Pb, nikotin, gas racun, alkohol, dan lain-
lain.
(3) Ibu yang asfiksia seperti pada dekompensasi kordis,
penyakit paru berat, anemi gravis
(4) Malnutrisi, avitaminosis dan gangguan metabolisme,
hipotiroid, kekurangan vitamin A, C, atau E, diabetes
melitus.
- Antagonis rhesus
- Perangsangan pada ibu yang menyebabkan uterus
berkontraksi
- Gangguan sirkulasi
- Usia
- Paritas
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari
sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas lebih dari 3
25

mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi


paritas, lebih tinggi kematian maternal.
b. Faktor janin
Menurut Hertig dkk, pertumbuhan abnormal dari fetus sering
menyebabkan abortus spontan. Menurut penyelidikan mereka, dari
1000 abortus spontan, maka 48,9% disebabkan karena ovum yang
patologis; 3,2% disebabkan oleh kelainan letak embrio; dan 9,6%
disebabkan karena plasenta yang abnormal. Pada ovum abnormal 6%
diantaranya terdapat degenerasi hidatid vili. Abortus spontan yang
disebabkan oleh karena kelainan dari ovum berkurang
kemungkinannya kalau kehamilan sudah lebih dari satu bulan, artinya
makin muda kehamilan saat terjadinya abortus makin besar
kemungkinan disebabkan oleh kelainan ovum (50- 80%).
c. Faktor paternal
Tidak banyak yang diketahui tentang faktor ayah dalam terjadinya
abortus. Translokasi kromosom dalam sperma dapat menimbulkan
zigot yang mendapat bahan kromosom terlalu sedikit atau terlalu
banyak, sehingga terjadi abortus4 . Penyakit ayah: umur lanjut,
penyakit kronis seperti TBC, anemi, dekompensasi kordis, malnutrisi,
nefritis, sifilis, keracunan (alcohol, nikotin, Pb, dan lain-lain), sinar
rontgen, avitaminosis.
5. Komplikasi abortus
Komplikasi yang berbahaya pada abortus adalah perdarahan,
perforasi, infeksi, syok, dan gagal ginjal akut.
a. Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-
sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah.
Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan
tidak diberikan pada waktunya.
b. Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus
dalam posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita
pelu diamati dengan teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera
26

dilakukan laparotomi, dan tergantung dari luas dan bentuk


perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi.
c. Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap
abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan
lebih sering pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa
memperhatikan asepsis dan antisepsis. Apabila infeksi menyebar
lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan
kemungkinan diikuti oleh syok.
d.Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok
hemoragik) dan infeksi berat (syok endoseptik).
e.Gagal ginjal akut yang persisten pada kasus abortus biasanya
berasal dari efek infeksi dan hipovolemik yang lebih dari satu.
Bentuk syok bakterial yang sangat berat sering disertai dengan
kerusakan ginjal intensif. Setiap kali terjadi infeksi klostridium
yang disertai dengan komplikasi hemoglobenimia intensif, maka
gagal ginjal pasti terjadi. Pada keadaan ini, harus sudah menyusun
rencana untuk memulai dialysis yang efektif secara dini sebelum
gangguan metabolik menjadi berat.

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Antikoagulan Theraphy
Di antara wanita yang mengalami dead conceptus berulang dan positif
terdapat antibodi antifosfolipid tes, dua uji klinis menunjukkan perbaikan tingkat
kelahiran hidup dengan penggunaan dosis profilaksis unfractionated heparin
(misalnya, 5000 U subkutandua kali sehari) dan aspirin dosis rendah,
dibandingkan dengan aspirin alone. Strategi ini menjadi pengobatan standar
karena sindrom antifosfolipid, namun percobaan yang lebih baru yang melibatkan
beberapa wanita dengan sindrom ini tidak menunjukkan peningkatan angka
kelahiran hidup secara signifikan dengan penggunaan dosis profilaksis rendah
heparin dan aspirin dosis rendah. Dengan demikian, peran perawatan ini khusus
untuk pencegahan keguguran berulang masih kontroversial1,10.
27

2.9.2 Manajemen Kelainan Genetik


Prognosis bervariasi tergantung pada kelainan. Risiko bayi lahir-hidup
dengan translokasi trisomi adalah rendah, umumnya kurang dari 1%. IVF dengan
diagnosis genetik praimplantasi telah digunakan dalam upaya untuk mencegah
terjadinya hal tersebut. Namun, kemungkinan jumlah keturunan karyotypically
yang normal dalam intervention ini membuat kegunaannya dipertanyakan1 .
2.9.3 Intervensi Imunologic
Meskipun allo immunity telah diduga menjadi kemungkinan penyebab
dead conseptus yang berulang, sebuah uji coba secara acak dari leukosit ayah
immunilisasi menunjukkan ada perbaikan dalam tingkat kelahiran yang hidup1 .
2.9.4 Penanganan Aktif
1. Untuk rahim yang usianya 12 minggu atau kurang dapat dilakukan
dilatasi atau kuretase
2. Untuk rahim yang usia lebih dari 12 minggu, dilakukan induksi
persalinan dengan oksitosin. Untuk oksitosin diperlukan pembukaan
serviks dengan pemasangan kateter foley intra uterus selama 24 jam4 .

Kuretase
Kuret sebenarnya adalah nama sebuah alat operasi untuk mengeluarkan
jaringan dari dalam rahim. Prosedurnya disebut kuretase.

Fungsi kuret

Kuret tidak hanya dilakukan untuk membersihkan rahim


setelah keguguran, tapi juga dapat dilakukan untuk mendiagnosis kondisi tertentu
pada rahim, seperti ketika terjadi perdarahan vagina yang mencurigakan.
1. Kuret untuk Pemeriksaan
Untuk membantu diagnosis, pada umumnya kuret dilakukan jika
pasien mengalami kondisi-kondisi seperti di bawah ini.
 Mengalami perdarahan setelah menopause.
 Mengalami perdarahan di luar siklus menstruasi, atau dengan jumlah
yang berlebihan
28

 Sebagai langkah pemeriksaan lanjutan jika dokter menemukan sel


abnormal dari hasil pemeriksaan, misalnya untuk mendeteksi kanker
serviks pada hasil papsmear yang abnormal.
Ketika prosedur kuret dijadikan sebagai bagian dari proses diagnosis,
maka dokter akan mengumpulkan sampel jaringan dari rahim untuk
diperiksa di laboratorium. Hasil pemeriksaan dapat digunakan untuk
mendiagnosis berbagai kondisi, seperti kanker rahim, polip rahim, atau
hiperplasia endometrium (kondisi prakanker yang ditandai dengan
menebalnya dinding rahim). Sebagai prosedur pemeriksaan, kuret sering
dipadukan dengan histeroskopi, yang dilakukan dengan memasukkan
selang fleksibel tipis dengan kamera dan sinar, untuk memeriksa apakah
ada sesuatu yang tidak normal pada rahim.  Di tengah proses histeroskopi,
dokter mungkin dapat mengangkat tumor fibroid dan polip berukuran kecil
dalam rahim. Namun sebagai prosedur pemeriksaan, kuret kini tidak lagi
banyak digunakan dan lebih sering digantikan dengan ultrasonografi
(USG).
2. Kuret sebagai Terapi
Jika kuret untuk pemeriksaan hanya dilakukan dengan mengambil
sampel, kuret yang dijalankan untuk menangani kondisi tertentu dilakukan
dengan mengeluarkan hampir seluruh jaringan dalam rahim.
Langkah ini umumnya dilakukan dalam situasi berikut:
 Membersihkan jaringan yang tersisa dalam rahim untuk mencegah
perdarahan berat atau Misalnya setelah terjadi keguguran atau setelah
prosedur aborsi.
 Mengangkat polip pada rahim atau leher rahim (serviks).
 Mengeluarkan gumpalan di rahim yang disebabkan oleh kehamilan
mola (hamil anggur).
 Pembersihan plasenta yang tersisa dan menempel dalam rahim, untuk
menangani perdarahan berlebih setelah persalinan.
 Mengangkat tumor fibroid jinak yang terbentuk pada dinding rahim.
Lapisan pada dinding dalam rahim, yang disebut endometrium, akan
terbentuk kembali, namun haid Anda berikutnya mungkin akan terlambat
29

datang. Jika kuret dijalankan karena Anda mengalami keguguran,


konsultasikan kepada dokter untuk merencanakan kehamilan selanjutnya.
Umumnya sebelum proses kuret dimulai, pasien akan dibius agar tidak
merasakan sakit. Jenis bius yang akan diberikan tergantung kepada jenis
kuret yang akan dilalui. Bius lokal akan membuat daerah di sekitar leher
rahim kebas atau tidak merasakan apa pun. Bius epidural akan membuat
tubuh dari pinggang ke bawah menjadi kebas. Sementara itu, bius total
akan membuat Anda tidak sadar sepanjang prosedur.
Setelah dibius, dokter akan memasukkan spekulum ke dalam vagina, dan
membersihkan leher rahim menggunakan antiseptik. Kemudian, berikut
tahapan yang akan dijalani pasien kuret:

Dilatasi

Langkah pertama yang akan dilakukan adalah dilatasi. Ini adalah


proses pelebaran leher rahim menggunakan obat, atau dengan
menempatkan alat bernama laminaria yang akan menyerap cairan pada
leher rahim dan mengembang, sehingga dapat melebarkan leher rahim
untuk mempermudah proses kuret.

Kuretase

Pengangkatan lapisan dan isi rahim dengan alat tipis serupa sendok
bernama kuret. Sebuah alat bernama kanula juga bisa digunakan untuk
mengisap jaringan yang tersisa di dalam rahim. Namun, jika kuret
dilakukan untuk tujuan pemeriksaan, dokter hanya akan mengambil sedikit
jaringan sebagai sampel, untuk kemudian diuji di laboratorium.
Setelah prosedur, kondisi pasien akan dimonitor selama beberapa jam
untuk memastikan pasien sudah pulih sepenuhnya dari obat bius dan untuk
mendeteksi apakah terjadi komplikasi, seperti perdarahan hebat.
Mengantuk, mual, dan muntah adalah efek yang mungkin terasa apabila
pasien menjalani bius total.
Umumnya pasien dapat langsung pulang dalam beberapa jam setelah
prosedur, namun disarankan untuk ditemani dan diantar oleh keluarga.
30

Normalnya, pasien dapat kembali melakukan aktivitas seperti biasa setelah


24 jam.
Sebagian pasien dapat merasakan mual dan kram selama setidaknya satu
hari. Sebagian lagi bahkan dapat mengalami perdarahan lewat vagina
selama kurang lebih 1-2 minggu. Karena itu, disarankan untuk
menggunakan pembalut atau pantyliner setelah menjalani kuret.

Risiko Kuret

Meski relatif aman, namun tiap prosedur operasi pasti memiliki risiko. Kuret
mengandung risiko sebagai berikut:

 Perdarahan yang hebat.


 Infeksi dalam rahim.
 Luka parut pada dinding rahim, atau disebut sindrom Asherman, yang
dapat menyebabkan keguguran di masa yang akan datang, nyeri atau
gangguan haid, bahkan kemandulan.

Selain itu, risiko kuret yang lebih jarang terjadi termasuk kerusakan atau
terbentuknya lubang pada leher rahim, rahim, kandung kemih, atau pembuluh
darah. Lubang dapat terbentuk karena cedera akibat alat operasi.

Terbentuknya lubang pada rahim akibat cedera lebih berisiko terjadi pada wanita
yang telah memasuki masa menopause atau baru saja melahirkan. Meski
umumnya lubang ini dapat menutup dengan sendirinya, namun kadang perlu
dilakukan tindakan lanjutan berupa pemberian obat atau operasi jika terjadi
kerusakan pada organ atau pembuluh darah.

2.10 Komplikasi
Sekitar 20-25% dari ibu yang mempertahankan janin yang telah mati
selama lebih dari 3 minggu maka akan mengalami koagulopati intravaskuler
diseminata (Disseminated Intravascular Coagulopathy atau DIC) akibat adanya
konsumsi factor faktor pembekuan darah secara berlebihan. Selain itu juga dapat
31

menimbulkan infeksi di dalam rahim akibat pembusukan hasil konsepsi yang telah
mati.

2.11 Pencegahan
Meskipun tidak semua kasus kematian hasil konsepsi bisa dicegah, namun ibu
hamil bisa melakukan beberapa hal untuk mengurangi risiko fetal death, antara
lain:
1. Tidak merokok selama masa kehamilan.
2. Tidak mengonsumsi minuman beralkohol dan obat-obatan berbahaya
selama masa kehamilan. Hal itu dapat memengaruhi perkembangan janin, dan
meningkatkan risiko keguguran, serta lahir mati.
3. Rutin melakukan pemeriksaan kehamilan ke dokter kandungan atau bidan
untuk memantau tumbuh kembang janin dan memastikan kondisi kesehatan
ibu dan janin selama kehamilan.
32

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : WJB
Tanggal Lahir : 1 Juli 1998
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Br. Timbul, Pupuan, Tegallalang
Usia : 21 tahun
No. RM : 24.06.77
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Hindu
Suku : Bali
Status Perkawinan : Menikah
MRS : 17 Februari 2020
Tanggal Pemeriksaan : 17 Februari 2020

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Keputihan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan keputihan sejak 1 minggu yang lalu. Keputihan dikatakan
keluar terus menerus terutama jika sedang beraktifitas dan berkeringat. Keputihan
berwarna putih kekuningan, sedikit berbau amis namun tidak gatal. Tidak
ditemukan adanya darah yang keluar dan juga kontraksi pada perut.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit gula, riwayat hipertensi, penyakit jantung, asma, alergi
obat disangkal pasien
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit hipertensi, penyakit gula, asma disangkal pasien

• Riwayat Pribadi dan Sosial Ekonomi


33

Pasien sehari-hari makan nasi dengan lauk dan sayur secukupnya.


Namun terkadang pasien tidak makan sama sekali karena merasa mual.
Konsumsi buah dan sayur jarang. Pasien tidak merokok, tidak minum
alkohol, dan tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu.
• Riwayat Antenatal Care (ANC)
Pasien kontrol kehamilan sebanyak 3 kali.
30/01/2020 : keluhan mual, UK 10-11 mgg
10/02/2020 : keluhan mual, UK 11-12 mgg
17/02/2020 : keluhan keputihan, UK 11-12 mgg
• Riwayat Menstruasi
Menarche 14 tahun, siklus teratur, lamanya haid 1 minggu. Hari pertama
haid terakhir tanggal 15 November 2019. Hari perkiraan lahir tanggal 22
Agustus 2020
• Riwayat Seksual dan Pernikahan
Pasien menikah sekali pada usia 20 tahun. Lama menikah 1 tahun. Coitus
pertama usia 20 tahun. Riwayat dispareunia tidak ada.
• Riwayat Obstetri
Hamil pertama. Tidak ada riwayat penggunaan KB sebelumnya

3.3 Pemeriksaan Fisik


• Keadan umum : baik
• Kesadaran : Compos mentis
• Vital sign :
o Tekanan Darah : 109/71mmHg
o Nadi : 88 x/menit
o Pernafasan : 24 x/menit
o Suhu : 36,7°C
o BB : 80kg
o TB : 155cm

Status General
Kepala :
34

o Normochepal
o Tidak tampak adanya deformitas
Mata :
o Tidak terdapat ptosis pada palpebra dan tidak terdapat oedem
o Conjunctiva tidak anemis
o Sklera tidak tampak ikterik
o Pupil isokor
o Hidung
o Bagian luar : normal, tidak terdapat deformitas
o Septum : terletak ditengah dan simetris
o Mukosa hidung : tidak hiperemis
o Cavum nasi : tidak ada tanda perdarahan
o Telinga
o Daun telinga : normal
o Liang telinga : lapang
o Membrana timpani : intake
o Nyeri tekan mastoid : tidak ada
o Sekret : tidak ada
o Mulut dan tenggorokan
o Bibir : pucat
o Palatum : tidak ditemukan torus
o Lidah : normoglosia
o Tonsil : T1/T1 tenang
o Faring : tidak hiperemis
o Leher JVP : (5+2) cm H2O
o Kelenjar tiroid : tidak teraba membesar
o Trakea : letak di tengah
o Thorax
o Paru-Paru
o Inspeksi : pergerakan nafas statis dan dinamis
35

o Palpasi : vocal fremitus sama pada kedua paru


o Perkusi : sonor pada seluruh lapangan paru
o Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
o Jantung
o Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari linea midclavicularis sinistra,
ICS 5
o Perkusi : Batas atas : ICS 2 linea parasternalis sinistra Batas
kanan : ICS 3-4 linea sternalis dextra Batas kiri : ICS 5, 1 cm
lateral linea midclavicularis sinistra
o Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
o Abdomen
o Inspeksi : striae gravidarum
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Perkusi : timpani, nyeri ketok (-), shifting dullnes (-)
o Palpasi : nyeri tekan (-), hepar teraba (-), lien teraba (-), benjolan
(-)
o Ekstremitas atas : gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi
normal, telapak tangan pucat (+), turgor kembali lambat (-)
o Ekstremitas Bawah : gerakan bebas, jaringan parut (-), pigmentasi normal,
telapak kaki pucat (+), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-), edema
pretibia dan pergelangan kaki (-), parestesia (-).
• Status Obstetri
Abdomen
- Leopold I : belum bisa ditentukan
- Leopold II : belum bisa ditentukan
- Leopold III : belum bisa ditentukan
- Leopold IV : belum bisa ditentukan
- TFU : belum teraba
- TBJ : belum bisa ditentukan
- HIS : (-)
36

• Pemeriksaan dalam vagina (VT)


Pembukaan (-) cm, portio tebal lunak, darah (-), sekret (+)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


USG ( Ultrasonografi )

Gambar 2.2 Pemeriksaan penunjang Ultrasonografi

3.5 Diagnosis
- G1P0000 UK 8 minggu 4 hari + Death Conceptus

3.6 Penatalaksanaan
- Invitec 2 tablet / oral
- Invitec 1 tablet / vagina
- DC dengan GA
- Cek DL BT CT
- Konsul TS. Anastesi
- Pasien dipuasakan

Hasil Laboratorium
PARAMETER RESULT MIN MAX

WBC 9.5 103/ul 4.1 11.0

LYM% 26.5 % 13.0 40.0


37

MID% 5.7 % 4.0 18.0

GRA% 67.8 % 40.0 74.0

LYM 2.5 103/ul 1.0 4.0

MID 0.6 103/ul 0.0 1.2

GRAN 6.4 103/ul 1.5 7.0

RBC 4.52 103/ul 4.0 5.2

HGB 12.9 g/dl 12.0 16.0

HCT 37.9 % 36.0 46.0

MCV 83.9 fl 80.0 100.0

MCH 28.6 pg 26.0 34.0

MCHC 34 g/dl 31.0 36.0

RDW% 13.8 % 11.6 14.8

RDWa 61 fl 30.0 150.0

PLT 216 103/ul 140.0 440.0

MPV 9 fl 6.8 10.0

PDW 11.1 fl 0.1 99.9

PCT 0.19 % 0.0 10.0

LPCR 20 % 0.1 99.9

LED mm/jam 0 15

Tabel 2.2 Hasil Laboratorium Darah Lengkap


38

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode

FAAL HEMOSTASIS

BLOODING TIME 1’00” mnt 1.00-3.00 -


(BT)

CLOOTING TIME 8’30” mnt 5.00-15.00 -


(CT)

Tabel 2.3 Hasil Laboratorium Faal Hemostasis

Golongan darah : B Rh +
HIV : Non Reactive
HBsAg : Non Reactive
SYPHILIS : Non Reactive

3.7 Monitoring
Tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, respirasi), keluhan, tanda-tanda
perdarahan

3.8 Follow Up

TANGGAL/ S O A P
JAM

17-2- Telah KU : baik Post kuretase -Obs 2 jam post kuretase


2020/12.30 dilakukan hari - 0
kuretase, TD : 110/70 - Aff Infus
nyeri (+) N : 82x/menit - Opicef tab 500mg
minimal
RR : 19x/menit - Miotonic tab
0,125mg
T : 36,6C
- Fibrinase caps
Abd : supel, BU 525mg
(+) nyeri tekan
(+) minimal - Mefinter tab
500mg
39

- BPL bila stabil

17-2- Nyeri (+) KU : baik Post kuretase - BPL


2020/14.30 minimal hari – 0
TD : 110/70 - Opicef tab
2x500mg
N : 82x/menit
- Miotonic tab
RR : 19x/menit 3x0,125mg
T : 36,6C
- Mefinter tab
Abd : supel, BU 3x500mg
(+) nyeri tekan
- Fibrinase caps
(+) minimal
2x525mg

- Kontrol poliklinik
Obgyn tanggal
24/02/2020

Tabel 2.4 Follow-up pasien


40

BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan kasus diatas, pasien wanita usia 21 tahun datang dengan


keluhan keputihan sejak 1 minggu yang lalu. Keputihan dikatakan keluar terus
menerus terutama jika sedang beraktifitas dan berkeringat. Keputihan berwarna
putih kekuningan, sedikit berbau amis namun tidak gatal. Tidak ditemukan adanya
darah yang keluar dan juga kontraksi pada perut. Pada pemeriksaan tanda vital
dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan.
Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan adanya janin, CRL 1,97cm, GA
8w4d, EDD 24/09/2020, FHB (-). Menurut teori death conceptus adalah kematian
hasil konsepsi dengan usia kehamilan kurang dari 20 minggu ditandai dengan
tidak adanya denyut jantung pada janin.
Keluhan yang dialami pasien sesuai dengan teori yang ada. Pada death
conceptus dengan kehamilan sangat muda, bisa tidak dirasakan gejala apapun
pada perut. Seperti janin tidak bergerak, keram pada perut, uterus tidak menegang
lagi, dan lain-lain. Biasanya pasien mengetahui janin sudah tidak berkembang lagi
saat pemeriksaan ANC (Antenatal Care) atau dengan keluhan lain yang
menyebabkan pasien dating berobat dan dilakukan pemeriksaan Ultrasonografi.
Pada pasien ini hanya mengeluh keputihan yang dirasakan sejak 1 minggu. Selain
itu pasien juga mengalami riwayat mual mutah yang hebat sejak awal kehamilan.
Kedua hal ini merupakan salah satu factor yang dapat menyebabkan terjadinya
death conceptus pada pasien, yakni infeksi yang didapatkan karena keputihan
yang kekuningan dan berbau amis, dan malnutrisi karena adanya mual muntah
hebat sejak awal kehamilan yang dapat menyebabkan pasien kekurangan zat
nutrisi untuk janin. Pada hasil pemeriksaan ultrasonografi didapatkan usia
kehamilan 8minggu 4 hari, dimana jika dihitung dari HPHT pasien seharusnya
usia kehamilan pasien saat ini memasuki 12 minggu 2 hari. Kondisi ini dapat
terjadi karena janin sudah tidak berkembang selama 4 minggu di dalam
kandungan. Tidak ditemukannya denyut jantung janin ( FHB negatif )
menandakan jantung janin sudah tidak berdetak atau mengalami kematian. Hal ini
menandakan telah terjadi kematian pada janin di dalam kandungan. Hasil
41

penghitungan CRL ( Crown Rump Length ) pada USG menunjukkan 1,97cm,


dimana hasil ini mengacu pada usia kehamilan berkisar 8-9 minggu yang juga
tidak sesuai dengan usia kehamilan pasien jika diukur menggunakan HPHT.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami death conceptus
atau kematian hasil konsepsi saat kandungan berusia kurang dari 20 minggu.
Penatalaksanaan death conceptus dapat terbagi menjadi terapi
antikoagulan, manajemen kelainan genetic, intervensi imunologi, dan penganan
aktif. Pada pasien ini dilakukan terapi penanganan aktif yakni dilatase kuretase
dengan general anestesi. Hal ini dikarenakan 3 terapai lainnya sangat jarang
dilakukan di Indonesia dan biasanya hanya dilakukan pada pasien dengan
kejadian berulang dan sangat sering. Dilatasi kuretase dilakukan pada pasien
dengan usia kehamilan kurang dari 12 minggu, dan jika usia kehamilan sudah
lebih dari 12 minggu dapat dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin. Pada
pasien ini terlebih dahulu diberikan invitec yang berisi kandungan misoprostol
sebanyak 2 tablet secara oral dan 1 tablet secara vagina, yang bertujuan untuk
memudahkan terlepasnya hasil konsepsi pada saat dilakukan kuretase. Setelah
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan didapatkan hasil yang normal, pasien
dipuasakan dan dipersiapan untuk dilakukan general anestesi. Pasien ditatalaksana
dengan dilatasi kuretase, yakni dilatasi merupakan proses pelebaran leher rahim
menggunakan obat, atau dengan menempatkan alat bernama laminaria yang akan
menyerap cairan pada leher rahim dan mengembang, sehingga dapat melebarkan
leher rahim untuk mempermudah proses kuret. Setelah itu dilakukan kuretase,
yakni pengangkatan lapisan dan isi rahim dengan alat tipis serupa sendok bernama
kuret. Setelah selesai dilakukan tindakan dilatasi kuretase pasien membutuhkan
monitoring untuk mengevaluasi nyeri dan adanya tanda-tanda perdarahan.
42

BAB V
SIMPULAN

Death conceptus adalah kematian hasil konsepsi dengan usia kehamilan


kurang dari 20 minggu ditandai dengan tidak adanya denyut jantung pada janin.
Death conceptus yang terjadi di awal kehamilan dapat tidak menunjukkan gejala
apapun, diagnosis ini tegak setelah dilakukan pemeriksaan USG dengan tidak
ditemukannya denyut jantung janin dan usia janin yang lebih kecil dari
seharusnya.
Penatalaksanaan death conceptus dapat dilakukan dengan terapi
antikoagulan, manajemen kelainan genetic, intervensi imunologi, dan penganan
aktif. Namun di Indonesia yang paling sring dilakukan adalah penanganan aktif
dengan dilatasi kuretase jika usia kehamilan kurang dari 12 minggu dan persalinan
normal dengan induksi oksitosin jika usia kehamilan lebih dari 12 minggu.
43

DAFTAR PUSTAKA

1. Branch Ware, Gibson Mark, Robbert Silver. Reccurent Miscarriage. The New

England Journal Of Medicine 2010;363(18) 1740-7. Available at :

http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp1005330

2. Kiwi, Robert. Recurrent pregnancy loss: Evaluation and discussion of the

causes and their management.Cleveland Clinic Journal Of Medicine 2007;73(10)

913-20. Available at : http://www.ccjm.org/content/73/10/913.full.pdf

3. Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu bedah Kebidanan. Jakarta: Bina PustakA ; 2005

4. Manuaba. Gawat Darurat Obstetri-Ginekologi dan Obstetri-Ginekologi Sosial

untuk profesi bidan. Jakarta : EGC ; 2003

5. Haram Kjell, Eva-Marie Jacobsen and Per Morten Sandset. Antiphospholipid

Syndrome in Pregnancy,Antiphospholipid Syndrome. Intech (Ed);2012. Available

at: http://www.intechopen.com/books/antiphospholipid-

yndrome/antiphospholipidsyndrome-in-pregnancy

6. World Health Organization. The neglected tragedy of stillbirths. Sexual and

Reproductive Health. 2019. Diunduh dari:

https://www.who.int/reproductivehealth/topics/maternal_perinatal/stillbirth/en/

7. National Vital Statistics Report (NVVS). Cause of fetal death: Data from the

fetal death report, 2014. National Vital Statistics Reports vol 65 no 7. October 31

2016. Available at https://www.cdc.gov/nchs/data/nvsr/nvsr65/nvsr65_07.pdf

8. Lawn JE, Blencowe H, Waiswa P, et al, for The Lancet Ending Preventable

Stillbirths Series study group with The Lancet Stillbirth 9. Epidemiology

investigator group. Stillbirths: rates, risk factors, and acceleration towards 2030.

Lancet 2016.
44

Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ. In: William’s Obstetrics. Ed 23. The Mc

Graw-Hill Companies. New York, 2010

10. Erkan D, Patel S, Nuzzo M, Gerosa M, Meroni PL, Tincani A, et al.

Management Of The Controversial Aspects Of The Antiphospholipid Syndrome

Pregnancies: A Guide For Clinicians And Researchers. Rheumatology (Oxford)

2008 Jun;47 Suppl 3:iii23-iii27.

Anda mungkin juga menyukai