Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

“HERNIA DIAFRAGMATIKA, ATRESIA DUODENI DAN ESOPHAGUS”

Dosen Pengampu : Ernawati Tri Handayani, S.ST, M.Keb

Mata Kuliah : Asuhan Neonatus Bayi, Balita dan Anak Pra-Sekolah

Disusun Oleh

1. Adinda Meirissa Diahningrum (190106001)

2. Dian Retno Sari (190106003)

3. Meta Selviana (190106009)

4. Nurwitasari (190106010)

5. Octaviana Giacesita N.A (190106011)

6. Silvia Putri Dewanti (190106018)

7. Yuni Khofifah K (190106020)

TINGKAT II

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN UNIVERSITAS TULUNGAGUNG

Jln. Raya Tulugagung Blitar Km. 04 Sumbergempol Tulungagung

telp. (0355) 331080


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
Karunia dan Rahmat-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul
“Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan Oesophagus”

Penulisan ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas
kuliah Asuhan Neonatus Bayi, Balita dan Anak Pra-Sekolah. Dalam penulisan makalah ini
kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun
materi, mengingat kemampuan yang kami miliki. Tak lupa juga kami ucapakan terima kasih
kepada bapak atau ibu dosen Ernawati Tri Handayani, S.ST, M.Keb yang telah memberikan
arahan kepada kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Kami ucapkan
pula terima kasih sebanyak-banyaknya kepada teman-teman yang sudah ikut berpartisipasi
meluangkan waktunya untuk sekedar membantu kami. Dan ucapan terima kasih untuk semua
yang tak bisa kami sebutkan satu per satu.

Penyusun menyadari bahwa masih terdapat kekurangan maupun, mungkin kesalahan


dalam penyusunan makalah ini sehingga penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangung untuk perbaikan di masa yang akan datang dari seluruh pembaca

Akhir kata, penyusun berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca dan para mahasiswa/mahasiswi umumnya. Penyusun mengucapkan
terima kasih dan mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini.

Tulungagung, Januari 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Hernia Diafragmatika

1. Definisi

2. Etiologi

3. Patofisiologi

4. Tanda dan Gejala

5. Komplikasi

6. Pengobatan

7. Penatalaksanaan

B. Atresia Duodenum

1. Definisi

2. Epidemiologi

3. Etiologi

4. Klasifikasi

5. Patogenesis
6. Penegakkan Diagnosis

7. Penatalaksanaan

8. Komplikasi

9. Prognosis

C. Atresia Esophagus

1. Definisi

2. Etiologi

3. Variasi

4. Patofisiologi

5. Gambaran Klinis

6. Diagnosis

7. Anomali Penyerta

8. Penatalaksanaan

9. Resiko Pembedahan dan Komplikasi

10. Prognosis

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Diafragmatika adalah penonjolan organ intra abdomen ke dalam rongga kavum


pleura melalui suatu lubang pada diafragma. Salah satu penyebab terjadinya hernia
diafragma adalah trauma pada abdomen, baik trauma penetrasi maupun trauma
tumpul, baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Mekanisme dari cedera dapat
berupa cedera penetrasi langsung  pada diafragma atau yang paling sering akibat
trauma tumpul abdomen. Pada trauma tumpul abdomen, penyebab paling sering
adalah akibat kecelakaan sepeda motor. Hal ini menyebabkan terjadi penigkatan
tekanan intraabdominal yang dilanjutkan dengan adanya rupture pada otot-otot
diafragma. Pada trauma penetrasi paling sering disebabkan oleh luka tembak senjata
api dan luka tusuk senjata tajam. Secara anatomi serat otot yang terletak lebih medial
dan lateral diafragma posterior  yang berasal dari arkus lumboskral dan vertebrocostal
adalah tempat yang paling lemah dan mudah terjadi ruptur.
Organ abdomen yang dapat mengalami herniasi antara lain gaster, omentum, usus
halus, kolon, lien dan hepar. Juga dapat terjadi hernia inkarserata maupun
strangulasi dari usus yang mengalami herniasi ke rongga thorak ini. Namu pada bayi
lahir penyebab adalah kemungkinan Akibat penonjolan viscera abdomen ke dalam
rongga thorax melalui suatu pintu pada diafragma. Terjadi bersamaan dengan
pembentukan sistem organ dalam rahim.
Usus manusia secara umum terdiri atas usus besar dan usus halus. Segmen pada
usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum akan diikuti oleh
bagian usus yang panjang yang disebut jejunum. Jejunum diikuti oleh ileum yang
merupakan bagian terakhir dari usus halus yang akan menghubungkan usus halus
dengan usus besar. Apabila bagian dari usus ini gagal untuk berkembang pada masa
fetus, akan mengakibatkan terjadinya sumbatan pada usus yang disebut dengan atresia
intestinal (Tamer et al, 2011).
Atresia merupakan kondisi tidak ada atau tertutupnya lubang pada tubuh atau
organ yang berbentuk tubular secara congenital, 50% kasus atresia intestinal terjadi
pada duodenum, dan 46%kasus terjadi pada jejunoileal.. Intestinum adalah bagian
dari saluran pencernaan yang dimulai dari struktur setelah pilorus gaster hingga anus
dan terdiri dari usus halus dan usus besar, yang fungsinya melengkapi proses
pencernaan, memberi air ke tubuh, elektrolit, zat gizi, dan menyimpan ampas fekal
hingga dikeluarkan (Dorland, 2002).
Angka kejadian atresia intestinal di Amerika Serikat mencapai 1 dari 3000
kelahiran hidup, tetapi di Benua Afrika angka kejadian ini bisa lebih banyak yaitu 1
dari 1000 kelahiran hidup. Kasus atresia intestinal akan menunjukkan gejala beberapa
jam setelah kelahiran, tetapi pada beberapa kasus yang telah terjadi, sering tidak
dilaporkan, sehingga tidak mendapatkan pelayanan medis. Sebelum tahun 1952,
kematian akibat atresia jejuno ileal mencapai 90%. Di antara tahun 1952 dan 1955,
kematian mencapai 80% ketika anastomosis primer terjadi tanpa reseksi usus. Pada
saat reseksi dan dilatasi usus bisa dilakukan, angka kematian menurun hingga 22%.
Kematian menurun kembali hingga 10% pada tahun 1959 sampai 2000. Beberapa
faktor yang berkontribusi dalam kematian antara lain infark usus proksimal,
peritonitis, kelemahan anastomosis, atresia distal yang tidak diketahui, dan sepsis
(Millar et al., 2003).
Atresia Esophagus merupakan kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak
menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan esofagus bagian distal. Atresia
Esophagus dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus (FTE), yaitu kelainan
kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus dengan trakea.
Atresia Esophagus merupakan kelaianan kongenital yang cukup sering dengan
insidensi rata-rata sekitar 1 setiap 2500 hingga 3000 kelahiran hidup. Insidensi Atresia
Esophagus di Amerika Serikat 1 kasus setiap 3000 kelahiran hidup. Di dunia,
insidensi bervariasi dari 0,4 – 3,6 per 10.000 kelahiran hidup.2 Insidensi tertinggi
terdapat di Finlandia yaitu 1 kasus dalam 2500 kelahiran hidup.
Masalah pada atresia esophagus adalah ketidakmampuan untuk menelan, makan
secara normal, bahaya aspirasi termasuk karena saliva sendiri dan sekresi dari
lambung.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan Oesophagus?
2. Apa etiologi dari Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan Oesophagus?
3. Apa patofisiologi dan diagnosis Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan
Oesophagus?
4. Bagaumana tanda dan gejala dari Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan
Oesophagus?
5. Bagaimana penatalaksanaan Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan
Oesophagus?
6. Apa komplikasi Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan Oesophagus?
7. Bagaimana pengobatan/cara mengobati Hernia Diafragmatika, Atresia
Duodeni Dan Oesophagus?

C. TUJUAN MASALAH
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami serta
menindaki yang antara lain:
1. Mengetahui apa itu Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan Oesophagus
2. Mengetahui apa etiologi dari Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan
Oesophagus
3. Mengetahui apa patofisiologi dan diagnosis Hernia Diafragmatika, Atresia
Duodeni Dan Oesophagus
4. Mengetahui serta mengetahui bagaimana tanda dan gejala dari Hernia
Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan Oesophagus
5. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan Hernia Diafragmatika, Atresia
Duodeni Dan Oesophagus
6. Mengetahui serta memahami apa saja komplikasi Hernia Diafragmatika,
Atresia Duodeni Dan Oesophagus
7. Mengetahui serta dapat menerapkan bagaimana pengobatan/cara mengobati
Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan Oesophagus
BAB II
PEMBAHASAN

A. HERNIA DIAFRAGMATIKA
1. Definisi

Hernia berasal dari bahasa latin, herniae yang berarti penonjolan isi suatu
rongga melalui jaringan ikat tipis yang lemah ( defek ) pada dinding rongga
diafragma. Dinding yang rongga yang lemah itu membentuk suatu kantong
dengan pintu berupa cincin. Hernia Diafragmatika adalah penonjolan intra
abdomen yang abnormal ke dalam rongga kavum pleura melalui satu lubang pada
diafragma akibat penyatuan yang tidak sempurna dari struktur – struktur
diafragma.Salah satu penyebab terjadinya hernia diafragmatika adalah trauma
pada abdomen , baik trauma penetrasi maupun trauma tumpul abdomen.
Pada hernia diafragmatika, lubang yang terbentuk pada diafragma tersebut
membuat organ-organ perut dapat memasuki rongga dada, dimana hal ini dapat
menyebabkan kesulitan bernafas yang berat, kulit berwarna kebiruan, denyut
jantung dan nafas cepat, Hal ini terjadi pada saat bayi baru lahir dan bisa juga
terjadi pada 24 jam setelah kelahiran
Hernia Diafragmatika dibagi menjadi 2 :
a. Hernia Diafragmatika Traumatika : akibat pukulan,tembakan,dan tusukan
pada perut terutama pada sisi kiri, sebab pada sisi kanan perut dilindungi
oleh hati.
b. Hernia Diafragmatika Non-Traumatika :
1). Kongenital
a). Hernia Bochdalek atau Pleuroperitoneal
 Celah dibentuk dari pars lumbalis dan pars costalis diafragma
 Diafragma berkembang secara tidak wajar atau usus mungkin
terperangkap di rongga dada pada saat diafragma berkembang

b). Hernia Morgagni atau Pars Sternalis

 Celah dibentuk dari perlekatan diafragma pada costa dan


sternum.
 Otot yang seharusnya berkembang di tengah diafragma tidak
berkembang secara wajar.  

2). Akuisita

a). Hernia Hiatus Esophagus

 Bagian atas sisi kiri lambung masuk ke rongga dada dan


menonjol ke atas melalui celah di otot diafragma, yaitu otot yang
memisahkan rongga dada dengan rongga perut.
2. Etiologi
Pemisahan perkembangan rongga dada dan perut disempurnakan dengan
menutupnya kanalis pleuroperitoneum posterolateral selama kehamilan minggu
ke-8. Gagalnya menutupnya kanalis ini merupakan mekenisme yang diterima pada
terjadinya hernia diafragmatika posterolateral kongenital.
Lesi ini biasanya terdapat pada distress respirasi berat pada masa neonatus
yang disertai dengan anamali system organ lain misalnya anamali system saraf
pusat atresia osefagus, omfalokel dan lain-lain. Pada neonatus hernia diafragma
disebabkan oleh gangguan pembentukan diafrgama yang ditandai dengan gejala.
Sesak nafas pada neonatus terjadi pada saat tidur datar, dada tampak menonjol
tetapi gerakan nafas tidak nyata, perut kempis, dan post apeks jantung bergeser
sehingga kadang – kadang terletak di hemitoraks kanan.

3. Patofisiologi

Hernia Diafragmatika disebabkan oleh gangguan pembentukan diafragma.


Diafragma dibentuk dari 3 unsur yaitu membrane pleuroperitonei, septum
transversum, dan pertumbuhan dari tepi yang berasal dari otot – otot dinding dada.
Gangguan pembentukan ini dapat berupa kegagalan pembentukan seperti
diafragma , gangguan fusi ketiga unsur dan gangguan pembentukan otot. Pada
gangguan fusi dan pembentukan akan terjadi lubang hernia , sedangkan gangguan
pembentukan otot akan menyebabkan diafragma tipis dan menimbulkan
eventerasi.

Diafragma berkembang antara minggu ke-7 sampai minggu ke-10 kehamilan.


Pada hernia tipe Pada hernia tipe Bockdalek, diafragma berkembang secara tidak
wajar atau usus mungkin terperangkap di rongga dada pada saat
diafragma berkembang. Pada hernia tipe Morgagni, otot yang seharusnya
berkembang di tengah diafragma tidak berkembang secara wajar. Pada
kedua kasus di atas perkembangan diafragma dan saluran pencernaan tidak
terjadi secara normal. Hernia difragmatika terjadi karena berbagai faktor, yang
berarti “banyak faktor” baik faktor genetik maupun lingkungan.

Pada hernia diafragmatika kongenital gangguan difusi bagian sentral dan


bagian kostal diafragma di garis median mengakibatkan defek yang disebut
foramen Morgagni. Tempat ini dapat menjadi lokasi hernia retrosternal yang
disebut juga hernia parasternalis. Jika penutupan diafragma tidak terganggu,
foramen Morgagni dilalui oleh mammaria interna dengan cabangnya,
epigastrika superior. Gangguan penutupan diafragma di sebelah posterolateral
meninggalkan foramen Bochdalek yang akan menjadi lokasi hernia
pleuroperitoneal.

4. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala hernia diafrgamatika meliputi :
a. Gangguan pernafasan yang berat
b. Sianosis ( warna kulit akibat kekurangan oksigen )
c. Bentuk dinding kanan dan kiri yang tidak simetris
d. Takikardia ( denyut jantung yang cepat )
e. Perut kecil dan cekung
f. Terdengar bising usus di daerah dada
g. Bunyi jantung terdengar di daerah yang berlawanan karena terdorong oleh
isi perut
h. Takipnea ( laju pernafasan yang cepat )
Jika hernia diafragmatika membesar biasanya paru – paru pada sisi hernia
tidak berkembang secara sempurna setelah lahir , bayi akan menangis dan
bernafas sehingga usus segera terisi udara terbuka masa yang mendorong jantung
sehingga menekan paru-paru.

5. Diagnosis
a. Gambaran Klinis
Secara klinis hernia diafragmatika akan menyebabkan
gangguan kardiopulmoner karena terjadi penekanan paru dan terdorongnya
mediastinum ke arah kontralateral. Pemeriksaan fisik didapatikan
gerakan pernafasan yang tertinggal, perkusi pekak, fremitus menghilang,
suara pernafasan menghilang dan mungkin terdengar bising usus pada
hemitoraks yang mengalami trauma. Walaupun hernia morgagni
merupakan kelainan kongenital, hernia ini jarang bergejala sebelum usia
dewasa. Sebaliknya hernia Bockdalek menyebabkan gangguan nafas
segera setelah lahir sehingga memerlukan pembedahan darurat.
Pada hernia diafragma traumatika gambaran klinis yang sering muncul
seperti tergantung dari mekanisme injuri (trauma tumpul/trauma
tajam) dan adannya trauma penyerta di tempat lain. Pada beberapa kasus
keterlambatan dalam mendiagnosis ruptur diafragma disebabkan oleh tidak
adanya gejala atau keluhan yang muncul pada saat trauma seperti herniasi atau
prolap organ intra abdominal ke rongga thorak meskipun telah terjadi ruptur
diafragma.
Ruptur diafragma jarang merupakan trauma tunggal biasanya
disertai trauma lain, trauma thorak dan abdomen, dibawa ini merupakan
organ-organ yang paling sering terkena bersamaan dengan ruptur diafragma:
(I) fraktur pelvis 40%, (2) ruptur lien 25%, (3) ruptur hepar, (4) ruptur aorta
pars thorakalis 5-I0%. Pada suatu penelitian retrospektif hubungan yang unik
antara kejadian rupture diafragma dan ruptur aorta thorakalis. I,8% pasien
dengan trauma abdomen terjadi ruptur diafragma, I,I% terjadi ruptur aorta
thorakalis dan I0,I% terjadi keduanya. Beberapa ahli membagi ruptur
diafragma berdasarkan waktu mendiagnosisnya menjadi :
1) Early diagnosis
 Diagnosis biasanya tidak tampak jelas dan hampir 50% pasien rupture
diafragma tidak terdiagnosis dalam 24 jam pertama
 Gejala yang muncul biasanya adanya tanda gangguan pernapasan
 Pemeriksaan fisik yang mendukung: adanya suara bising usus
di dinding thorak dan perkusi yang redup di dinding thorak yang
terkena.
2) Delayed diagnosis
 Bila tidak terdiagnosis dalam 4 jam pertama, biasanya akan
terdiagnosa akan muncul beberapa bulan bahkan tahun kemudian.
 Grimes membanginya dalam 3 fase, yaitu:
a) fase akut, sesaat setelah trauma
b) fase laten, tidak terdiagnosis pada awal trauma biasanya
asimptomatik namun setelah sekian lama baru muncul herniasi dan
segala komplikasinya
c) fase obstruktif, ditandai dengan viseral herniasi, obstruksi,
strangulasi bahkan ruptur gaster atau kolon. Bila herniasi
menimbulkan gejala kompresi paru yang nyata dapat menyebabkan
tension pneumothorak, kardiak tamponade.
b. Gambaran Radiologi
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah dilakukan
pemeriksaan radiologi yaitu pemeriksaan foto thorax. Sekitar 23 -73 % rupture
diafragma karena trauma dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiologi
thoraks. Foto thoraks sangat sensitive dalam mendeteksi adanya hernia
diafragma kiri. Adanya rupture diafragma akibat trauma bila dilihat dari foto
thoraks dapat ditemukan gambaran abnormal seperti adanya isi abdomen pada
rongga thoraks, terlihat selang NGT di dalam rongga thoraks, peninggian
hemidiafragma (kiri lebih tinggi dari pada kanan), dan batas diafragma yang
tidak jelas.
Pada pemeriksaan foto thorax terlihat hemithorax yang kecil,
ada gambaran opak yang terlihat luas mulai dari daerah perut sampai ke
hemithorax. Hal ini bisa saja terjadi secara homogen atau bisa juga terdapat
daerah yang lusen oleh karena adanya usus. Daerah yang terlihat opak dapat
menempati seluruh paru-paru. Efusi pleura dan atelektasis juga dapat terlihat.
CT-Scan dan MRI sangat membantu dalam melihat ukuran dan lokasi hernia
ini.
Pemeriksaan CT – Scan yang konvensional memiliki nilai sensitivitas
14- 82% dengan spesifisitas 87%, pada Helical CT, senstifitas meningkat 71
-100%, tanda ruptur diafragma pada CT- Scan yaitu :
a. gambaran langsung adanya defect
b. gambaran diafragma secara segmental tidak terlihat
c. herniasi organ viscera ke intra thorak
d. collar sign berkaitan dengan konstriksi lengkung usus yang mengalami
herniasi
Pemeriksaan dengan USG FAST (focused assessment with sonography
for trauma) dapat dilakukan selain mengevaluai setiap keempat kuadran dapat
juga menilai pergerakan dari diafragma, pada kasus ruptur diafragma terjadi
penurunan gerakan diafragma, namun teknik ini tidak berlaku pada pasien
yang mengalami mekanikal ventilasi oleh karena adanya tekanan positif. USG
dapat juga berguna untuk diagnosis. Pada beberapa kasus ruptur diafragma
kanan di mana terdapat pengumpulan cairan pada rongga pleura,
USG dapat memperlihatkan gambaran pinggiran bebas dari tepi
diafragma yang robek sebagai flap dalam cairan pleura ataupun herniasi
hepar ke dalam rongga toraks.

Gambar : USG thorax pasien dengan hernia diafragmatika kiri ,tampak


gambaran diafragma kiri tidak terlihat

6. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita hernia diafragmatika tipe
bockdalek antara lain 20 % mengalami kerusakan kongenital paru – paru dan 5 –
16 % mengalami kelainan kromosom. Selain komplikasi tersebut ada beberapa
komplikasi yang lain, antara lain :
a. Adanya penurunan jumlah alveoli dan pembentukan bronkus
b. Bayi mengalami distress respirasi berat dalam usia beberapa jam pertama
c. Mengalami muntah akibat obstruksi usus
d. Kolaps respirasi yang berat dalam 24 jam pertama
e. Tidak ada suara nafas

7. Pengobatan
Pengobatan awal yang mendesak harus mencakup masuknya pipa
nasogastrik guna menggosokkan lambung dan untuk mencegah memburuknya
keadaan akibat masuknya gas terus-menerus ke dalam usus yang mengalami
herniasi. Terapi oksigen diperlukan untuk mengatasi distress dan sianosis bayi
tersebut. Pada bayi yang menderita lebih berat lagi, diperlukan intubasi trakeal,
tetapi hanya ventilasi paru ringan saja yang boleh dilakukan jika ingin mencegah
terjadinya pneumothoraks di satu sisi atau sisi lain.

Kesulitan untuk menegakkan diagnosis hernia diafragma preoperative


menyebabkan sering terjadinya kesalahan diagnosis dan untuk itu diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis hernia diafragmatika.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah dilakukan pemeriksaan radiologi
yaitu pemeriksaan foto thoraks. Sekitar 23 -73 % rupture diafragma karena trauma
dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiologi thoraks. Foto thoraks
sangat sensitive dalam mendeteksi adanya hernia diafragma kiri. Adanya
rupture diafragma akibat trauma bila dilihat dari foto thoraks dapat ditemukan
gambaran abnormal seperti adanya isi abdomen pada rongga thoraks, terlihat
selang NGT di dalam rongga thoraks, peninggian hemidiafragma ( kiri lebih tinggi
dari pada kanan), dan batas diafragma yang tidak jelas. Bila didapatkan
abnormalitas pada pemeriksaan foto thorak, selanjutnya dilakukan pemeriksaan
CT Scan atau USG FAST untuk memastikan diagnosis rupture diafragma
dan hernia diafragma. Banyak kasus yang mengenai diafragma kiri adalah
akibat dari efek buttressing dari liver. Apabila pada anak dijumpai adanya
kelainan-kelainan yang bisa mengarah pada hernia difragmatika, maka anak
perlu segera dibawa ke dokter atau rumah sakit agar segera bias ditangani dan
mendapatkan diagnosis yang tepat. Tindakan yang bisa dilakukan sesuai dengan
masalah dan keluhan-keluhan yang dirasakan adalah :

a. Anak ditidurkan dalam posisi duduk dan dipasang pipa nasogastrik yang
dengan teratur dihisap.

b. Diberikan antibiotika profilaksis dan selanjutnya anak dipersiapkan untuk


operasi. Hendaknya perlu diingat bahwa biasanya (70%) kasusini disertai
dengan hipospadia paru. Organ perut harus dikembalikan ke rongga perut
dan lubang pada difragma diperbaiki. Pembedahan elektif perlu
untuk mencegah penyulit. Tindakan darurat juga perlu jika dijumpai
insufisiensi jantung paru pada neonatus. Reposisi hernia dan penutupan
defek memberi hasil baik.
c. Indikasi Operasi :
1) Esophagitis – refluks gastroesofageal
2) Abnormal PH monitoring pada periksaan monometrik
3) Kelainan pada foto upper GI
4) Adanya hernia paraesofageal dengan gejala mekanis
5) Esophageal stricture
6) Tindakan operatif pada Barrett’s esophagus
7) Kegagalan terapi medikal yang adekuat
8) Ruptur diafragma pada hernia traumatika
9) Insuffisiensi kardiorespirator progress

8. Penatalaksanaan
Sebelum operasi dilakukan tindakan pemberian oksigen bila bayi tampak biru,
kepala dan dada harus lebih tinggi daripada kaki dan perut, yaitu agar tekanan dari
isi perut terhadap paru berkurang dan membiarkan diafragma bergerak dengan
bebas. Posisi ini juga dilakukan setelah operasi. Pengobatan yang dapat dilakukan
adalah dengan operasi. Mortalitas dari kasus ini adalah sekitar 25-50 %
a. Bedah dan transplantasi paru
b. Memberikan asuhan prenatal, pada asuhan prenatal pemberian
kortikosteroid pada ibu dapat membantu proses maturase pada paru – paru
c. Tindakan Resusitasi dan monitoring bayi, Resusitasi dan stabilisasi pasien
dengan hernia diafragma akuisata sama seperti pada pasien trauma dan
kegawatan lain, yaitu dengan prinsip ABC (Airway, Breathing,
Circulation). Pastikan patensi jalan napas, pertahankan saturasi pernapasan
di atas 92%, beri oksigen jika perlu, pasang intravenous line  untuk
resusitasi cairan dan pemberian obat sesuai indikasi, dan pantau tanda vital.

B. ATRESIA DUODENUM

1. Definisi

Atresia duodenum adalah suatu kondisi dimana duodenum (bagian pertama


dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran
terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari
lambung ke usus. Pada kondisi ini duodenum bisa mengalami penyempitan secara
komplit sehingga menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus
untuk mengalami proses absorbs. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial,
maka kondisi ini disebut dengan duodenal stenosis.

2. Epidemiologi

Secara statistik insidensi atresia duodenum dilaporkan terdapat 1 diantara


5000-10000 kelahiran di Afrika. Atresia duodenum dan jejunoileal peringkat
kedua paling banyak penyebab obstruksi intestinal pada populasi Afrika(Millar,
2005). Sekitar 20-30% bayi dengan atresia duodenal memiliki sindrom down.
Atresia duodenal selalu dihubungkan dengan defek kelahiran lain (Wyllie, 2007).

3. Etiologi

Penyebab atresia duodenum belum diketahui, tetapi diperkirakan hasil dari


permasalahan selama perkembangan embrio dimana duodenum tidak berubah
bentuk secara normal (Wyllie, 2007). Masa kehamilan minggu ke 5 sampai ke 10,
duodenum berupa chord padat. Obstruksi instriksi hasil dari kegagalan
vakuoliasasidan rekanalisasi. Pancreas annular hasil dari fusi bagian anterior dan
posterior, pembentukkan cincin jaringan pankreas yang disekitar duodenum.
Obstruksi ekstrinsik hasil dari berbagai macam kelainan perkembangan
embriologi spesifik penyebab patologi (Millar, 2005).
Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan malformasi pada
neonates lainnya yang menunjukkan kemungkinan bahwa anomaly ini disebabkan
karena gangguan yang dialami pada awal kehamilan. Pada beberapa penelitian,
anomaly ini diduga karena gangguan pembuluh darah mesenterika. Gangguan ini
bisa disebabkan karena volvulus, malrotasi, gastroskisis maupun penyebab yang
lain. Pada atresia duodenum, juga diduga disebabkan karena kegagalan proses
rekanalisasi. Disamping itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa annular
pancreas berhubungan dengan terjadinya aresia duodenal (Richard et al, 2001).

4. Klasifikasi

Atresia duodenum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 morfologi, yaitu :

a. Tipe 1

Atresia duodenum yang ditandai oleh adanya webs atau membrane pada
lumen duodenum.

b. Tipe 2

Atresia duodenum dengan segmen proksimal dan distal dihubungkan dengan


fibrous cord.

c. Tipe 3

Atresia dengan diskontinuitas komlit antar segmen proksimal dan distal.

5. Patogenesis

Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya


atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali
ini karena kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian
akhir foregut dan bagian sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat
oleh proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke
8- 10. Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan atresia duodenum.
Perkembangan duodenum terjadi karena proses ploriferasi endoderm yang tidak
adekuat (elongasi saluran cerna melebihi ploriferasinya atau disebabkan kegagalan
rekanalisasi epitelial (kegagalan proses vakuolisasi) (Alan et al, 2001).

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa epitel duodenum berploriferasi


dalam usia kehamilan 30-60 hari ataupada kehamilan minggu ke 5 atau minggu ke
6, kemudian akan menyumbat lumen duodenum secara sempurna. Kemudian akan
terjadi proses vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami proses apoptosis
yang timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan terjadinya
degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11 kehamilan. Proses ini
mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen duodenum. Apabila proses ini
mengalami kegagalan, maka lumen duodenum akan mengalami penyempitan.

Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor


ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan struktur organ
sekitarnya, seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular.
Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling
duodenum, terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan mengakibatkan
gangguan perkembangan duodenum (Free et al, 2004).

6. Penegakkan diagnosis

a. Manifestasi klinis

Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala


akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat
timbul gejala dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran.
Muntah yang terus menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada
neonatus dengan atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan
pada 85% pasien. Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah
mengandung cairan empedu (biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah
yang timbul yaitu non-biliosaapabila atresia terjadi pada proksimal dari
ampula veteri. Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah
neonates mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi
obstruksi.

Jika atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi pada
bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau seperti susu
yang mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan
berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada
hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup
sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen
dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses juga dapat
digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada anak
dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya lebih
sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan
mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang
nampak seperti normal (Kessel et al, 2011)

Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu.


Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi
anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi,
penurunan berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak
ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau hipokloremia.
Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirka cairan berwarna empedu
(biliosa) dalam jumlah bermakna. Anak dengan atresi duodenum juga akan
mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus
sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik
ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan nafas anak. Pada
beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien
mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º F maka kemungkinan
pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis (Kessel et al, 2011).

b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi


ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak
dirawat. Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium.
Distensi dapat tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada beberapa
neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat,
kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga cairan berpindah
ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia duodenum memiliki gejala khas
perut yang berbentuk skafoid (Kessel et al, 2011).

Saat auskultasi, terdengar gelombang peristaltik gastrik yang melewati


epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada
kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon,
maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut
(Kessel et al, 2011).

c. Pemeriksaan penunjang Pre natal

Secara general, atresia duodenum sulit untuk di diagnosis selama


kehamilan. Diagnosis prenatal selalu berdasarkan tanda non spesifik pada fetal
ultrasound seperti dilatasi lambung. Karena cairan amnion ditelan dan dicerna
secara normal oleh fetus, atresia duodenum dapat menyebabkan peningkatan
cairan dalam sakus amnion, hidramnion. Ini mungkin merupakan tanda awal
atresia duodenum (Millar, 2005). Diagnosis saat masa prenatal yakni dengan
menggunakan prenatal ultrasonografi. Sonografi dapat meng-evaluasi adanya
polihidramnion dengan melihat adanya struktur yang terisi dua cairan dengan
gambaran double bubble pada 44% kasus. Sebagian besar kasus atresia
duodenum dideteksi antara bulan ke 7 dan 8 kehamilan (Fellicitas et, 2009)

Gambar 4. Gambaran USG prenatal pada atresia duodenal Post natal

Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru lahir dengan


kecurigaan atresia duodenum, yakni pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa yakni
pemeriksaan serum, darah lengkap, serta fungsi ginjal pasien. Pasien bisanya
muntah yang semakin progresive sehingga pasien akan mengalami gangguan
elektrolit. Biasanya mutah yang lama akan menyebabkan terjadinya metabolik
alkalosis dengan hipokalemia atau hipokloremia dengan paradoksikal aciduria.
Oleh karena itu, gangguan elektrolit harus lebih dulu dikoreksi sebelum
melakukan operasi. Disamping itu, dilakukan pemeriksaan darah lengkap
untuk mengetahui apakah pasien mengalami demam karena peritonitis dan
kondisi pasien secara umum (Hayden et al, 2003).

Pemeriksaan roentgen yang pertama kali dilakukan yakni plain abdominal


x-ray. X-ray akan menujukkan gambaran double-bubble sign tanpa gas pada
distal dari usus. Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak gambaran gambaran
lambung yang terisi cairan dan udara dan terdapat dilatasi dari duodenum
proksimal pada garis tengah agak kekanan. Apabila pada x-ray terdapat gas
distal, kondisi tersebut tidak mengekslusi atresia duodenum. Pada neonatus
yang mengalami dekompresi misalnya karena muntah, maka udara akan
berangsur-angsur masuk ke dalam lambung dan juga akan menyebabkan
gambaran double-bubble (Richard et al, 2001).

Gambar 5. Gambaran double bubble pada atresia duodenum

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan secara umum yaitu :

 Pemasangan tube orogastrik untuk mendekompresi lambung

 Memberikan cairan elektrolilt melalui intravena (mengkoreksi dehidrasi


dan ketidakseimbangan elektrolit).

 Mengatasi sindrom down.


 Pembedahan untuk mengkoreksi kebuntuan duodenum perlu dilakukan
namun tidak darurat. Pembedahan ini tergantung pada sifat abnormalitas.
Prosedur operatif standar saat ini berupa duodenoduodenostomi.

a. Pre operasi

Penatalaksanaan terdiri dari dekompresi nasogastrik dan menyediakan


penggantian cairan dan elektrolik. Banyak penderita merupakan prematur dan
umur kelahirannya rendah, maka harus menjaga tubuh dari panas dan
menghindari hipoglikemia terutama pada kasus berat bayi lahir rendah,
penyakit jantung kongenital, sindroma distres respirasi (Millar, 2005).

Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat diperlukan


dengan melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan abnormalitas
elektrolit serta melakukan kompresi pada gastrik. Dilakukan pemasangan
orogastrik tube dan menjaga hidrasi IV. Managemen preoperatif ini dilakukan
mulai dari pasien lahir. Sebagian besar pasien dengan duodenal atresia
merupakan pasien premature dan kecil, sehingga perawatan khusus diperlukan
untuk menjaga panas tubuh bayi dan mencegah terjadinya hipoglikemia,
terutama pada kasus berat badan lahir yang sangat rendah, CHD, dan penyakit
pada respirasi. Sebaiknya pesien dirawat dalam incubator (Tamer et al, 2011).

b. Intraoperasi

Tindakan ini memerlukan anestesi general dengan intubasi endotrakeal.


Yang sering banyak digunakan dengan insisi pemotongan otot, transversal,
insisi kuadran kanan atas. Namun, beberapa menggunakan motode laparoskopi
untuk memperbaiki (Blanco-Rodríguez, 2008).

Sisi ke sisi duodenoduodenostomi merupakan standar perbaikan untuk


stenosis duodenal, atresia atau obstruksi yang disebabkan vena porta
preduodenal. Ketika pankreas annular dihubungkan dengan obstruksi duodenal
bertemu, pilihan penyembuhan dengan duodenoduodenostomi antara segmen
duodenum yang diatas dan dibawah pada area cincin pankreas (Blanco-
Rodríguez, 2008).

Menurut Felicitass (2011), teknik pembedahan pada atresia duodenum :


a. Side to side anastomosis

Dimulai dari bagian dorsal dari anastomosis, sebuah duodenostomi


melintang dibuat di segmen proksimal. Bagian ujung dari lambung dan
duodenum dilakukan duodenotomi. Insisi pararel dibuat pada distal
duodenum kemudian lapisan posterior anastomosis dijahitkan.

b. For diamond shape duodenostomi

Diperlukan mobilisasi untuk menempatkan dinding duodenum


proksimal terlihat dengan jelas. Kemudian dibuat sayatan melintang di
proksimal membujur ke duodenum bagian distal.

c. For a duodenal web

Untuk web duodenum, membrane biasanya terletak di kedua bagian


duodenum, Lokasi membrane dapat dibantu oleh pemasangan NGT ke
dalam duodenum.

d. For membrane resection

Untuk reseksi membrane, sayatan dibuat memanjang. Kemudian


mengidentifikasi ampula vater. Eksisi dimulai dengan insisi radial di pusat
ostium. Sebelum menutup duodenum secara melintang, patensi duodenum
bagian distal diuji terlebih dahulu dengan menggunakan kateter silicon
kecil.

Selain itu, tindakan bedah dapat dilakukan sesuai dengan tipe dari atresia
duodenum.

a. Tipe 1

Atresia duodenum yang ditandai oleh adanya webs atau membrane


pada lumen duodenum. Tindakan bedah yang dilakukan adalah menginsisi
dinding duodenum kemudian mengeksisi membrane bagian dalamnya,
kemudian dijahit.
Gambar 6. Tindakan bedah pada atresia duodenum tipe 1

b. Tipe 2

Atresia duodenum dengan segmen proksimal dan distal dihubungkan


dengan fibrous cord. Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah
dudenoduodenostomi. Bagian yang mengalami atresia dihilangkan,
kemudian kedua ujung tersebut digabungkan.

c. Tipe 3

Atresia dengan diskontinuitas komlit antar segmen proksimal dan distal.


Tindakan bedah yang dilakukan adalah gastrojejunum, yaitu
menggabungkan antara utung jejunum langsung ke lambung.

Gambar 7. Tindakan operasi pada atresia duodenum tipe 2 (atas) dan atresia
duodenum tipe 3 (bawah)
d. Post operasi

Penggunaan selang transanastomik berada dalam di jejunum,


pemberian makan dapat diberikan setelah 48 jam paska operasi. Nutrisi
parenteral via central atau perifer dimasukan kateter dapat sangat efektif
untuk menjaga nutrisi waktu yang lama jika transanastomik enteral tidak
cukup atau tidak dapat ditolenrasi oleh tubuh pasien (Millar, 2005).

8. Komplikasi

a. Komplikasi yang dapat ditemukan ialah kelainan congenital lainnya.

b. Mudah terjadi dehidrasi

Komplikasi post operasi dilaporkan pada 14-18% pasien, dan beberapa pasien
memerlukan operasi kembali. Beberapa kondisi yang sering terjadi dan
menyebabkan pasien perlu dioperasi kembali yaitu :

c. Kebocoran anastomosis

d. Obstruksi fungsional duodenum

e. Adhesi

f. Bengkak pada bagian pertama usus halus (megaduodenum)

g. Permasalahan pergerakan usus

h. Refluks gastroesofageal

i. Sepsis intraabdomen (Richard et al, 2001)

9. Prognosis

Angka harapan hidup untuk bayi dengan atresia duodenum adalah 90 - 95%.
Mortalitas yang tinggi disebabkan karena prematuritas serta abnormalitas
congenital yang menyertainya. Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara
bermakna selama 50 tahun terakhir. Adanya kemajuan dibidang anestesi pediatric,
neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat
hingga 90%. Menurut Milar (2005), walaupun prognosis atresia duodenal secara
general bagus namun angka kematian sebesar 7%. Hubungan kelainan kongenital
diindentifikasikan sebagai faktor risiko independent. Berat lahir rendah dan
permasalah prematur lebih jauh meningkatkan resiko kematian (Richard et al,
2001).

C. ATRESIA ESHOPAGUS

1. Definisi Atresia

Atresia esophagus adalah perasaan nyeri di dada, karena masuknya isi lambung
kedalam esophagus bagian bawah. Keluhan sering ditemukan dalam kehamilan,
terutama dalam posisi tengkurap, atau menelan sesuatu makanan tertentu atau obat.
Pada kehamilan tua, mungkin kelainan ini agak sering di jumpai karena pengaruh
tekanan rahim yang membesar. Pada esophagus terjadi esofagitis, akan tetapi pada
endoskopi tidak kelihatan ada tanda-tanda radang, hanya secara histologik dapat di
lihat. Isi lambung tersebut barisi asam klorida, pepsin serta makanan. Pirosis
biasanya tidak akan menimbulkan komplikasii seperti sriktura, pendarahan, karena
waktuunya sebentar saja. Pengobatan cukup dengan memberikan obat antacid,
mengubah posisi tubuh dan menegakkan kepala serta mencegah tengkurap setelah
makan. Keadaan yang lebih berat, kadang-kadang menyebabkan penderita sulit
menelan, ada pendarahan (Hematemesis) sebagai akibat terjadi esofagitis erosit.
Pengobatannya tetap seperti di uraikan diatas.

2. Etiologi

Hingga saat ini, teratogen penyebab kelainan ini masih belum diketahui.
Terdapat laporan yang menghubungkan atresia esofagus dalam keluarga. Terdapat
2% resiko apabila saudara telah terkena kelainan ini. Kelainan ini juga
dihubungkan dengan trisomi 21, 13 dan 18. angka kejadian pada anak kembar
dinyatakan 6 X lebih banyak dibanding bukan kembar.

Saat ini, banyak yang percaya bahwa perkembangan terjadinya atresia


esofagus tidak berhubungan dengan genetik. Debat mengenai proses
embriopatologi ini terus berlangsung, akan tetapi hanya sedikit perkembangan yan
didapat. Teori His lama menyatakan lateral infolding membagi foregut menjadi
esofagus dan trakea, tetapi penemuan di bidang embriologi manusia tidak
mendukung teori ini.

Pada tahun 1984, O’Rahily menyatakan bahwa terdapat fix cephalad point dari
pemisahan trakeoesofageal, dengan elemen dari trakeobronkial dan esofageal
memanjang menuju kaudal. Teori ini kurang cocok untuk atresia esofagus, tetapi
menjelaskan TEF sebagai defisiensi aau kegagalan mukosa esofagus, sebagai
pertumbuhan linear organ pada pembelahan selular dari epitel esofagus.

Pada tahun 1987, Kluth menyatakan septal trakeoesofageal memegang


peranan penting dalam perkembangan atresia esofagus. Berdasar proses
embriopatologik dalam perkembangan meskipun masih tahap awal, tetapi telah
terjadi diferensiasi antara trakea dan esofagus, dimana jarak diantara keduanya
terlalu dekat sehingga tidak terjadi pemisahan. Ia juga menyatakan bahwa
gangguan vaskularisasi juga dapat berperan dalam terjadinya aresia esofagus
ataupun fistula.

Pada tahun 2001 Oxford dan lainnya menyatakan bahwa kesalahan posisi
ventral ektopik dari notochord pada embrio berusia 21 hari gestasi dapat
menyebabkan gangguan lokus gen, gangguan apoptosis pada foregut dan jenis jenis
atresia esofagus. Kondisi ini dapat terjadi karena variasi pengaruh teratogen pada
masa gestasi awal seperti kembar, paparan racun, atau kemungkinan aborsi.

3. Variasi Atresia Esofagus

Terdapat variasi dalam atresia esofagus berdasar klasifikasi anatomi. Menurut


Gross of Boston, variasi atresia esofagus beserta frekuensinya adalah sebagai
berikut:

a. Tipe A – atresia esofagus tanpa fistula atau atresia esofagus murni (10%)
b. Tipe B – atresia esofagus dengan TEF proksimal (<1%)
c. Tipe C – atresia esofagus dengan TEF distal (85%)
d. Tipe D – atresia esofagus dengan TEF proksimal dan distal (<1%)
e. Tipe E – TEF tanpa atresia esofagus atau fistula tipe H (4%)
f. Tipe F – stenosis esofagus kongenital (<1%)
Gambar 2.1 Variasi Atresia Esofagus

4. Patofisiologi

Janin dengan atresia esofagus tidak dapat menelan cairan amnion dengan efektif.
Pada janin dengan atresa esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan mengalir
menuju trakea, ke fistula kemudian menuju usus. Akibat dari hal ini dapat terjadi
polihidramnion. Polihidramnion sendiri dapat menyebabkan kelahiran prematur. Janin
seharusnya dapat memanfaatkan cairan amnion, sehingga janin dengan atresia
esofagus lebih kecil daripada usia gestasinya.

Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan banyak
air liur. Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau liur. Apabila
terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung. Udara dari trakea juga
dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis, atau menerima ventilasi. Hal
ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang seringkali mematikan. Penelitian
mengenai manipulasi manometrik esofagus menunjukkan esofagus distal seringkali
dismotil, dengan peristaltik yang jelek atau anpa peristaltik. Hal ini akan
menimbulkan berbagai derajat disfagia setelah manipulasi yang berkelanjutan menuju
refluks esofagus.

Trakea juga terpengaruh oleh gangguan embriogenesis pada atresia esofagus.


Membran trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti biasa.
Perubahan ini menyebabkan kelemahan sekunder ada struktur anteroposterior trakea
atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan gejala batuk kering dan dapat
terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh. Sekret sulit untuk dibersihkan dan dapat
menjurus ke pnemona berulang. Trakea juga dapat kolaps secara parsial ketika
makan, setelah manipulasi, atau ketika terjadi refluks gastroesofagus; yang daat
menjurus ke kegagalan nafas; hipoksia, bakan apnea.

5. Gambaran Klinis

Ada beberapa keadaan yang merupakan gejala dan tanda atersia esophagus, antara
lain:

a. Mulut berbuih (gelembung udara dari hidung dan mulut)


b. Sianosis
c. Batuk dan sesak napas
d. Gejala pneumonia akibat regurgitasi air ludah dari esophagus yang buntu dan
regurgitasi cairan lambung melalui fistel ke dalam jalan napas
e. Perut kembung, karena udara melalui fistel masuk ke dalam lambung dan usus
f. Oligouria, karena tidak ada cairan yang masuk
g. Biasanya juga disertai dengan kelainan bawaan yang lain, seperti kelainan
jantung, atresia rectum atau anus.

6. Diagnosis

Atresia esofagus dapat dicurigai keberadaan nya sebelum kelahiran melalui


pemeriksaan USG pada minggu ke 18 kehamilan apabila di dapatkan gelembung
perut janin yang sedikit atau tidak ada. Sensitifitas pemeriksaan ini sebesar 42% akan
tetapi bila dikombinasikan dengan adanya polihidramnion maka nilai prediksi
meningkat hingga 56%. Metode lain untuk meningkatkan diagnosa ini adalah dengan
pemeriksaan USG dan MRI pada leher janin untuk melihat buntunya kantung atas
esofagus.

Pada bayi baru lahir dengan ibu polihidramnion semestinya diperiksa dengan
nasogastric tube sesegera mungkin untuk menyingkirkan ada nya AE. Bayi dengan
AE tidak mampu menelan ludah dan air ludah nya akan terus keluar sehingga
membutuhkan suction. Pada tahap ini sebelum pemberian makan pertama, kateter stiff
wide-bored (10 – 12) dimasukan melalui mulut menuju esofagus. Pada pasien dengan
AE kateter tidak dapat masuk lebih dari 10 cm. Foto polos dada dan abdomen akan
memperlihatkan ujung kateter terhenti di mediastinum posterior (T2 – T4), juga
keberadaan udara pada traktus gastrointestinal menandakan keberadaan FTE distal.
Perlu di pehatikan bahwa kateter harus bersifat kaku. Untuk mencegah kesalahan
penilaian.

7. Anomali Penyerta

Lebih dari 50% bayi dengan atresia esofagus memiliki 1 atau lebih kelainan
tambahan. Sistem yang terlibat adalah

a. Kardiovaskuler (29%)
b. Anorektal (14%)
c. Genitourinari (14%)
d. Gastrointestinal (13%)
e. Vertrebral/skeletal (10%)
f. Respirasi (6%)
g. Genetik (4%)

8. Penatalaksanaan

Pada anak yang telah dicurigai menderita atresia esophagus, bayi tersebut harus
segera segera dipindahkan ke bagian neonatal atau pediatrik yang memiliki fasilitas
medis. Tindakan bedah harus segera dijadwalkan sesegera mungkin.

Sebagai penatalaksanaan preoperasi, perlu diberi tindakan pada bayi dengan Atresia
Esophagus. Posisi tidur anak tergantung kepada ada tidaknya fistula, karena aspirasi
cairan lambung lebih berbahaya dari saliva. Anak dengan fistula trakeo-esofagus
ditidurkan setengah duduk. Anak tanpa fistel diletakkan dengan kepala lebih rendah
(posisi Trendelenberg). Suction 10F double lumen di gunakan untuk mengeluarkan
sekret dan mencegah aspirasi selama pemindahan. Bayi diletakan pada incubator dan
tanda vital terus di pantau. Akses vena harus tersedia untuk memberi nutrisi, cairan
dan elektrolit, dan sebagai persiapan. Antibiotik spektrum luas dapat diberikan
sebagai profilaksis.

Bayi dengan distress pernafasan memerlukan perhatian khusus, seperti intubasi


endotrakeal dan ventilasi mekanik. Tekanan intra abdomen yang meningkat akibat
udara juga perlu di pantau. Seluruh bayi dengan AE haus dilakukan echocardiogram
untuk mencari kelainan jantung.
Tidak dilakukan tindakan merupakan pilihan pada bayi dengan sindroma Potter
(agenesis renal bilateral) dan trisomi 18 karena angka kematian tahun pertama pada
bayi ini lebih dari 90%. Bayi dengan kelainan jantung yang tidak bisa dikoreksi atau
perdarahan intra ventrikel grade 4 juga sebaiknya tidak di operasi.

Anak dipersiapkan untuk operasi sesegera mungkin. Pembedahan dapat dilakukan


dalam satu tahap atau dua tahap tergantung pada tipe atresia dan penyulit yang ada.
Biasanya dilakukan dengan membuat stoma pada esophagus proksimal dari
gastrostomi. Penutupan fistel, anastomosis esophagus, atau interposisi kolon
dilakukan kemudian hari setelah janin berusia satu tahun.

9. Resiko Pembedahan dan Komplikasi

Resiko yang ditimbulkan pasca pembedahan adalah akibat dari pembedahan itu
sendiri, akibat obat anestesi yang digunakan, perdarahan, cedera saraf dan
pneumotoraks.

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi setelah pembedahan, meliputi:

a. Dismotilitas esophagus, yang terjadi akibat kelemahan otot-otot dinding


esophagus. Pada keadaan ini membutuhkan tindakan khusus saat bayi akan
makan atau minum.
b. Hampir 50% dari pasien akan mengalami gastroesophageal refluks disease
(GERD) pada masa kanak-kanak atau dewasa. GERD merupakan suatu
keadaan dimana terjadinya aliran balik isi lambung ke dalam esophagus.
Keadaan ini memerluka pengobatan khusus.
c. Trakeoesofageal fistula yang berulang.
d. Kesulitan menelan (disfagia) yang dapat disebabkan oleh tersangkutnya
makanan pada bekas pembedahan.
e. Kesulitan bernafas dan batuk. Hal ini berhubungan dengan lambatnya
pengosongan makanan di esophagus oleh karena tersangkutnya makanan oleh
bekas pembedahan atau aspirasi makanan ke dalam trakea.
10. Prognosis

Prognosis menjadi lebih buruk bila diagnosis terlambat akibat penyulit pada paru.
Keberhasilan pembedahan tergantung pada beberapa faktor resiko, antara lain berat
badan lahir bayi, ada atau tidaknya komplikasi pneumonia dan kelainan congenital
lainnya yang menyertai. Prognosis jangka panjang tergantung pada ada tidaknya
kelainan bawaan lain yang mungkin multiple.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hernia Diafragmatika adalah penonjolan intra abdomen yang abnormal ke dalam


rongga kavum pleura melalui satu lubang pada diafragma akibat penyatuan yang tidak
sempurna dari struktur – struktur diafragma.Salah satu penyebab terjadinya hernia
diafragmatika adalah trauma pada abdomen , baik trauma penetrasi maupun trauma
tumpul abdomen.
Pada hernia diafragmatika, lubang yang terbentuk pada diafragma tersebut
membuat organ-organ perut dapat memasuki rongga dada, dimana hal ini dapat
menyebabkan kesulitan bernafas yang berat, kulit berwarna kebiruan, denyut jantung
dan nafas cepat, Hal ini terjadi pada saat bayi baru lahir dan bisa juga terjadi pada 24
jam setelah kelahiran
Hernia Diafragmatika dibagi menjadi 2 :
a. Hernia Diafragmatika Traumatika
b. Hernia Diafragmatika Non-Traumatika

Atresia duodenum adalah suatu kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari
usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari
lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus. Pada
kondisi ini duodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga
menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses
absorbs. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut
dengan duodenal stenosis.

Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital dengan variasi fistula


trakeoesofageal maupun kelainan kongenital lainnya. Atresia esofagus dapat dicurigai
sejak kehamilan, dan didiagnosa segera setelah bayi lahir. Bahaya utama pada AE
adalah resiko aspirasi, sehingga perlu dilakukan suction berulang. Penatalaksanaan
pada AE utama adalah pembedahan, tetapi tetap dapat meninggalkan komplikasi lebih
lanjut yang berhubungan dengan gangguan motilitas esophagus.

Perlu dilakukan pemeriksaan dengan NGT untuk mencari ada tidaknya atresia
esofagus pada bayi baru lahir terutama dengan faktor resiko ibu yang memiliki
polihidramnion ataupun tanda dari bayi seperti mulut berbuih, air liur yang terus
keluar, batuk dan sesak nafas, ataupun kembung. Dalam perujukan, perlu dilakukan
tindakan khusus saat pemindahan, yaitu untuk mencegah hipotermia, sumbatan jalan
nafas dan aspirasi dengan suction berulang, dan gangguan sirkulasi seperti dehidrasi,
hipoglikemia dan gangguan elektrolit dengan pemberian cairan intravena.

B. SARAN
Dengan adanya makalah “ Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni dan Eshopagus “
semoga dapat bermanfaat dan dipergunakan sebagaimana semestinya.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/37905084/BAB_I_HERNIA_DIAFRAGMATIKA diakses pada


tanggal 14 Januari 2021
https://griyahusada.id/files/bahan-ajar/Buku%20Ajar%20Neonatus.pdf? diakses pada
tanggal 14 Januari 2021
https://id.scribd.com, diakses pada tanggal 14 Januari 2021
https://www.researchgate.net/publication/339704906_Interposisi_Colon_Retrosternal_dan_E
sofagoplasty_Pada_Pasien_Atresia_Esophagus_Tipe_A_Long_Gap diakses pada tanggal 14
Januari 2021
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/26733/1/209c72b3275856864e013ed640867d37.pdf diakses
pada tanggal 14 Januari 2021
https://id.scribd.com/doc/307436286/Atresia-Esofagus diakses pada tanggal 14 Januari 2021

Anda mungkin juga menyukai