Disusun Oleh
4. Nurwitasari (190106010)
TINGKAT II
Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
Karunia dan Rahmat-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul
“Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan Oesophagus”
Penulisan ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas
kuliah Asuhan Neonatus Bayi, Balita dan Anak Pra-Sekolah. Dalam penulisan makalah ini
kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun
materi, mengingat kemampuan yang kami miliki. Tak lupa juga kami ucapakan terima kasih
kepada bapak atau ibu dosen Ernawati Tri Handayani, S.ST, M.Keb yang telah memberikan
arahan kepada kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Kami ucapkan
pula terima kasih sebanyak-banyaknya kepada teman-teman yang sudah ikut berpartisipasi
meluangkan waktunya untuk sekedar membantu kami. Dan ucapan terima kasih untuk semua
yang tak bisa kami sebutkan satu per satu.
Akhir kata, penyusun berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca dan para mahasiswa/mahasiswi umumnya. Penyusun mengucapkan
terima kasih dan mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Hernia Diafragmatika
1. Definisi
2. Etiologi
3. Patofisiologi
5. Komplikasi
6. Pengobatan
7. Penatalaksanaan
B. Atresia Duodenum
1. Definisi
2. Epidemiologi
3. Etiologi
4. Klasifikasi
5. Patogenesis
6. Penegakkan Diagnosis
7. Penatalaksanaan
8. Komplikasi
9. Prognosis
C. Atresia Esophagus
1. Definisi
2. Etiologi
3. Variasi
4. Patofisiologi
5. Gambaran Klinis
6. Diagnosis
7. Anomali Penyerta
8. Penatalaksanaan
10. Prognosis
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
C. TUJUAN MASALAH
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami serta
menindaki yang antara lain:
1. Mengetahui apa itu Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan Oesophagus
2. Mengetahui apa etiologi dari Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan
Oesophagus
3. Mengetahui apa patofisiologi dan diagnosis Hernia Diafragmatika, Atresia
Duodeni Dan Oesophagus
4. Mengetahui serta mengetahui bagaimana tanda dan gejala dari Hernia
Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan Oesophagus
5. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan Hernia Diafragmatika, Atresia
Duodeni Dan Oesophagus
6. Mengetahui serta memahami apa saja komplikasi Hernia Diafragmatika,
Atresia Duodeni Dan Oesophagus
7. Mengetahui serta dapat menerapkan bagaimana pengobatan/cara mengobati
Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni Dan Oesophagus
BAB II
PEMBAHASAN
A. HERNIA DIAFRAGMATIKA
1. Definisi
Hernia berasal dari bahasa latin, herniae yang berarti penonjolan isi suatu
rongga melalui jaringan ikat tipis yang lemah ( defek ) pada dinding rongga
diafragma. Dinding yang rongga yang lemah itu membentuk suatu kantong
dengan pintu berupa cincin. Hernia Diafragmatika adalah penonjolan intra
abdomen yang abnormal ke dalam rongga kavum pleura melalui satu lubang pada
diafragma akibat penyatuan yang tidak sempurna dari struktur – struktur
diafragma.Salah satu penyebab terjadinya hernia diafragmatika adalah trauma
pada abdomen , baik trauma penetrasi maupun trauma tumpul abdomen.
Pada hernia diafragmatika, lubang yang terbentuk pada diafragma tersebut
membuat organ-organ perut dapat memasuki rongga dada, dimana hal ini dapat
menyebabkan kesulitan bernafas yang berat, kulit berwarna kebiruan, denyut
jantung dan nafas cepat, Hal ini terjadi pada saat bayi baru lahir dan bisa juga
terjadi pada 24 jam setelah kelahiran
Hernia Diafragmatika dibagi menjadi 2 :
a. Hernia Diafragmatika Traumatika : akibat pukulan,tembakan,dan tusukan
pada perut terutama pada sisi kiri, sebab pada sisi kanan perut dilindungi
oleh hati.
b. Hernia Diafragmatika Non-Traumatika :
1). Kongenital
a). Hernia Bochdalek atau Pleuroperitoneal
Celah dibentuk dari pars lumbalis dan pars costalis diafragma
Diafragma berkembang secara tidak wajar atau usus mungkin
terperangkap di rongga dada pada saat diafragma berkembang
2). Akuisita
3. Patofisiologi
5. Diagnosis
a. Gambaran Klinis
Secara klinis hernia diafragmatika akan menyebabkan
gangguan kardiopulmoner karena terjadi penekanan paru dan terdorongnya
mediastinum ke arah kontralateral. Pemeriksaan fisik didapatikan
gerakan pernafasan yang tertinggal, perkusi pekak, fremitus menghilang,
suara pernafasan menghilang dan mungkin terdengar bising usus pada
hemitoraks yang mengalami trauma. Walaupun hernia morgagni
merupakan kelainan kongenital, hernia ini jarang bergejala sebelum usia
dewasa. Sebaliknya hernia Bockdalek menyebabkan gangguan nafas
segera setelah lahir sehingga memerlukan pembedahan darurat.
Pada hernia diafragma traumatika gambaran klinis yang sering muncul
seperti tergantung dari mekanisme injuri (trauma tumpul/trauma
tajam) dan adannya trauma penyerta di tempat lain. Pada beberapa kasus
keterlambatan dalam mendiagnosis ruptur diafragma disebabkan oleh tidak
adanya gejala atau keluhan yang muncul pada saat trauma seperti herniasi atau
prolap organ intra abdominal ke rongga thorak meskipun telah terjadi ruptur
diafragma.
Ruptur diafragma jarang merupakan trauma tunggal biasanya
disertai trauma lain, trauma thorak dan abdomen, dibawa ini merupakan
organ-organ yang paling sering terkena bersamaan dengan ruptur diafragma:
(I) fraktur pelvis 40%, (2) ruptur lien 25%, (3) ruptur hepar, (4) ruptur aorta
pars thorakalis 5-I0%. Pada suatu penelitian retrospektif hubungan yang unik
antara kejadian rupture diafragma dan ruptur aorta thorakalis. I,8% pasien
dengan trauma abdomen terjadi ruptur diafragma, I,I% terjadi ruptur aorta
thorakalis dan I0,I% terjadi keduanya. Beberapa ahli membagi ruptur
diafragma berdasarkan waktu mendiagnosisnya menjadi :
1) Early diagnosis
Diagnosis biasanya tidak tampak jelas dan hampir 50% pasien rupture
diafragma tidak terdiagnosis dalam 24 jam pertama
Gejala yang muncul biasanya adanya tanda gangguan pernapasan
Pemeriksaan fisik yang mendukung: adanya suara bising usus
di dinding thorak dan perkusi yang redup di dinding thorak yang
terkena.
2) Delayed diagnosis
Bila tidak terdiagnosis dalam 4 jam pertama, biasanya akan
terdiagnosa akan muncul beberapa bulan bahkan tahun kemudian.
Grimes membanginya dalam 3 fase, yaitu:
a) fase akut, sesaat setelah trauma
b) fase laten, tidak terdiagnosis pada awal trauma biasanya
asimptomatik namun setelah sekian lama baru muncul herniasi dan
segala komplikasinya
c) fase obstruktif, ditandai dengan viseral herniasi, obstruksi,
strangulasi bahkan ruptur gaster atau kolon. Bila herniasi
menimbulkan gejala kompresi paru yang nyata dapat menyebabkan
tension pneumothorak, kardiak tamponade.
b. Gambaran Radiologi
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah dilakukan
pemeriksaan radiologi yaitu pemeriksaan foto thorax. Sekitar 23 -73 % rupture
diafragma karena trauma dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiologi
thoraks. Foto thoraks sangat sensitive dalam mendeteksi adanya hernia
diafragma kiri. Adanya rupture diafragma akibat trauma bila dilihat dari foto
thoraks dapat ditemukan gambaran abnormal seperti adanya isi abdomen pada
rongga thoraks, terlihat selang NGT di dalam rongga thoraks, peninggian
hemidiafragma (kiri lebih tinggi dari pada kanan), dan batas diafragma yang
tidak jelas.
Pada pemeriksaan foto thorax terlihat hemithorax yang kecil,
ada gambaran opak yang terlihat luas mulai dari daerah perut sampai ke
hemithorax. Hal ini bisa saja terjadi secara homogen atau bisa juga terdapat
daerah yang lusen oleh karena adanya usus. Daerah yang terlihat opak dapat
menempati seluruh paru-paru. Efusi pleura dan atelektasis juga dapat terlihat.
CT-Scan dan MRI sangat membantu dalam melihat ukuran dan lokasi hernia
ini.
Pemeriksaan CT – Scan yang konvensional memiliki nilai sensitivitas
14- 82% dengan spesifisitas 87%, pada Helical CT, senstifitas meningkat 71
-100%, tanda ruptur diafragma pada CT- Scan yaitu :
a. gambaran langsung adanya defect
b. gambaran diafragma secara segmental tidak terlihat
c. herniasi organ viscera ke intra thorak
d. collar sign berkaitan dengan konstriksi lengkung usus yang mengalami
herniasi
Pemeriksaan dengan USG FAST (focused assessment with sonography
for trauma) dapat dilakukan selain mengevaluai setiap keempat kuadran dapat
juga menilai pergerakan dari diafragma, pada kasus ruptur diafragma terjadi
penurunan gerakan diafragma, namun teknik ini tidak berlaku pada pasien
yang mengalami mekanikal ventilasi oleh karena adanya tekanan positif. USG
dapat juga berguna untuk diagnosis. Pada beberapa kasus ruptur diafragma
kanan di mana terdapat pengumpulan cairan pada rongga pleura,
USG dapat memperlihatkan gambaran pinggiran bebas dari tepi
diafragma yang robek sebagai flap dalam cairan pleura ataupun herniasi
hepar ke dalam rongga toraks.
6. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita hernia diafragmatika tipe
bockdalek antara lain 20 % mengalami kerusakan kongenital paru – paru dan 5 –
16 % mengalami kelainan kromosom. Selain komplikasi tersebut ada beberapa
komplikasi yang lain, antara lain :
a. Adanya penurunan jumlah alveoli dan pembentukan bronkus
b. Bayi mengalami distress respirasi berat dalam usia beberapa jam pertama
c. Mengalami muntah akibat obstruksi usus
d. Kolaps respirasi yang berat dalam 24 jam pertama
e. Tidak ada suara nafas
7. Pengobatan
Pengobatan awal yang mendesak harus mencakup masuknya pipa
nasogastrik guna menggosokkan lambung dan untuk mencegah memburuknya
keadaan akibat masuknya gas terus-menerus ke dalam usus yang mengalami
herniasi. Terapi oksigen diperlukan untuk mengatasi distress dan sianosis bayi
tersebut. Pada bayi yang menderita lebih berat lagi, diperlukan intubasi trakeal,
tetapi hanya ventilasi paru ringan saja yang boleh dilakukan jika ingin mencegah
terjadinya pneumothoraks di satu sisi atau sisi lain.
a. Anak ditidurkan dalam posisi duduk dan dipasang pipa nasogastrik yang
dengan teratur dihisap.
8. Penatalaksanaan
Sebelum operasi dilakukan tindakan pemberian oksigen bila bayi tampak biru,
kepala dan dada harus lebih tinggi daripada kaki dan perut, yaitu agar tekanan dari
isi perut terhadap paru berkurang dan membiarkan diafragma bergerak dengan
bebas. Posisi ini juga dilakukan setelah operasi. Pengobatan yang dapat dilakukan
adalah dengan operasi. Mortalitas dari kasus ini adalah sekitar 25-50 %
a. Bedah dan transplantasi paru
b. Memberikan asuhan prenatal, pada asuhan prenatal pemberian
kortikosteroid pada ibu dapat membantu proses maturase pada paru – paru
c. Tindakan Resusitasi dan monitoring bayi, Resusitasi dan stabilisasi pasien
dengan hernia diafragma akuisata sama seperti pada pasien trauma dan
kegawatan lain, yaitu dengan prinsip ABC (Airway, Breathing,
Circulation). Pastikan patensi jalan napas, pertahankan saturasi pernapasan
di atas 92%, beri oksigen jika perlu, pasang intravenous line untuk
resusitasi cairan dan pemberian obat sesuai indikasi, dan pantau tanda vital.
B. ATRESIA DUODENUM
1. Definisi
2. Epidemiologi
3. Etiologi
4. Klasifikasi
a. Tipe 1
Atresia duodenum yang ditandai oleh adanya webs atau membrane pada
lumen duodenum.
b. Tipe 2
c. Tipe 3
5. Patogenesis
6. Penegakkan diagnosis
a. Manifestasi klinis
Jika atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi pada
bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau seperti susu
yang mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan
berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada
hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup
sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen
dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses juga dapat
digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada anak
dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya lebih
sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan
mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang
nampak seperti normal (Kessel et al, 2011)
b. Pemeriksaan fisik
7. Penatalaksanaan
a. Pre operasi
b. Intraoperasi
Selain itu, tindakan bedah dapat dilakukan sesuai dengan tipe dari atresia
duodenum.
a. Tipe 1
b. Tipe 2
c. Tipe 3
Gambar 7. Tindakan operasi pada atresia duodenum tipe 2 (atas) dan atresia
duodenum tipe 3 (bawah)
d. Post operasi
8. Komplikasi
Komplikasi post operasi dilaporkan pada 14-18% pasien, dan beberapa pasien
memerlukan operasi kembali. Beberapa kondisi yang sering terjadi dan
menyebabkan pasien perlu dioperasi kembali yaitu :
c. Kebocoran anastomosis
e. Adhesi
h. Refluks gastroesofageal
9. Prognosis
Angka harapan hidup untuk bayi dengan atresia duodenum adalah 90 - 95%.
Mortalitas yang tinggi disebabkan karena prematuritas serta abnormalitas
congenital yang menyertainya. Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara
bermakna selama 50 tahun terakhir. Adanya kemajuan dibidang anestesi pediatric,
neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat
hingga 90%. Menurut Milar (2005), walaupun prognosis atresia duodenal secara
general bagus namun angka kematian sebesar 7%. Hubungan kelainan kongenital
diindentifikasikan sebagai faktor risiko independent. Berat lahir rendah dan
permasalah prematur lebih jauh meningkatkan resiko kematian (Richard et al,
2001).
C. ATRESIA ESHOPAGUS
1. Definisi Atresia
Atresia esophagus adalah perasaan nyeri di dada, karena masuknya isi lambung
kedalam esophagus bagian bawah. Keluhan sering ditemukan dalam kehamilan,
terutama dalam posisi tengkurap, atau menelan sesuatu makanan tertentu atau obat.
Pada kehamilan tua, mungkin kelainan ini agak sering di jumpai karena pengaruh
tekanan rahim yang membesar. Pada esophagus terjadi esofagitis, akan tetapi pada
endoskopi tidak kelihatan ada tanda-tanda radang, hanya secara histologik dapat di
lihat. Isi lambung tersebut barisi asam klorida, pepsin serta makanan. Pirosis
biasanya tidak akan menimbulkan komplikasii seperti sriktura, pendarahan, karena
waktuunya sebentar saja. Pengobatan cukup dengan memberikan obat antacid,
mengubah posisi tubuh dan menegakkan kepala serta mencegah tengkurap setelah
makan. Keadaan yang lebih berat, kadang-kadang menyebabkan penderita sulit
menelan, ada pendarahan (Hematemesis) sebagai akibat terjadi esofagitis erosit.
Pengobatannya tetap seperti di uraikan diatas.
2. Etiologi
Hingga saat ini, teratogen penyebab kelainan ini masih belum diketahui.
Terdapat laporan yang menghubungkan atresia esofagus dalam keluarga. Terdapat
2% resiko apabila saudara telah terkena kelainan ini. Kelainan ini juga
dihubungkan dengan trisomi 21, 13 dan 18. angka kejadian pada anak kembar
dinyatakan 6 X lebih banyak dibanding bukan kembar.
Pada tahun 1984, O’Rahily menyatakan bahwa terdapat fix cephalad point dari
pemisahan trakeoesofageal, dengan elemen dari trakeobronkial dan esofageal
memanjang menuju kaudal. Teori ini kurang cocok untuk atresia esofagus, tetapi
menjelaskan TEF sebagai defisiensi aau kegagalan mukosa esofagus, sebagai
pertumbuhan linear organ pada pembelahan selular dari epitel esofagus.
Pada tahun 2001 Oxford dan lainnya menyatakan bahwa kesalahan posisi
ventral ektopik dari notochord pada embrio berusia 21 hari gestasi dapat
menyebabkan gangguan lokus gen, gangguan apoptosis pada foregut dan jenis jenis
atresia esofagus. Kondisi ini dapat terjadi karena variasi pengaruh teratogen pada
masa gestasi awal seperti kembar, paparan racun, atau kemungkinan aborsi.
a. Tipe A – atresia esofagus tanpa fistula atau atresia esofagus murni (10%)
b. Tipe B – atresia esofagus dengan TEF proksimal (<1%)
c. Tipe C – atresia esofagus dengan TEF distal (85%)
d. Tipe D – atresia esofagus dengan TEF proksimal dan distal (<1%)
e. Tipe E – TEF tanpa atresia esofagus atau fistula tipe H (4%)
f. Tipe F – stenosis esofagus kongenital (<1%)
Gambar 2.1 Variasi Atresia Esofagus
4. Patofisiologi
Janin dengan atresia esofagus tidak dapat menelan cairan amnion dengan efektif.
Pada janin dengan atresa esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan mengalir
menuju trakea, ke fistula kemudian menuju usus. Akibat dari hal ini dapat terjadi
polihidramnion. Polihidramnion sendiri dapat menyebabkan kelahiran prematur. Janin
seharusnya dapat memanfaatkan cairan amnion, sehingga janin dengan atresia
esofagus lebih kecil daripada usia gestasinya.
Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan banyak
air liur. Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau liur. Apabila
terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung. Udara dari trakea juga
dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis, atau menerima ventilasi. Hal
ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang seringkali mematikan. Penelitian
mengenai manipulasi manometrik esofagus menunjukkan esofagus distal seringkali
dismotil, dengan peristaltik yang jelek atau anpa peristaltik. Hal ini akan
menimbulkan berbagai derajat disfagia setelah manipulasi yang berkelanjutan menuju
refluks esofagus.
5. Gambaran Klinis
Ada beberapa keadaan yang merupakan gejala dan tanda atersia esophagus, antara
lain:
6. Diagnosis
Pada bayi baru lahir dengan ibu polihidramnion semestinya diperiksa dengan
nasogastric tube sesegera mungkin untuk menyingkirkan ada nya AE. Bayi dengan
AE tidak mampu menelan ludah dan air ludah nya akan terus keluar sehingga
membutuhkan suction. Pada tahap ini sebelum pemberian makan pertama, kateter stiff
wide-bored (10 – 12) dimasukan melalui mulut menuju esofagus. Pada pasien dengan
AE kateter tidak dapat masuk lebih dari 10 cm. Foto polos dada dan abdomen akan
memperlihatkan ujung kateter terhenti di mediastinum posterior (T2 – T4), juga
keberadaan udara pada traktus gastrointestinal menandakan keberadaan FTE distal.
Perlu di pehatikan bahwa kateter harus bersifat kaku. Untuk mencegah kesalahan
penilaian.
7. Anomali Penyerta
Lebih dari 50% bayi dengan atresia esofagus memiliki 1 atau lebih kelainan
tambahan. Sistem yang terlibat adalah
a. Kardiovaskuler (29%)
b. Anorektal (14%)
c. Genitourinari (14%)
d. Gastrointestinal (13%)
e. Vertrebral/skeletal (10%)
f. Respirasi (6%)
g. Genetik (4%)
8. Penatalaksanaan
Pada anak yang telah dicurigai menderita atresia esophagus, bayi tersebut harus
segera segera dipindahkan ke bagian neonatal atau pediatrik yang memiliki fasilitas
medis. Tindakan bedah harus segera dijadwalkan sesegera mungkin.
Sebagai penatalaksanaan preoperasi, perlu diberi tindakan pada bayi dengan Atresia
Esophagus. Posisi tidur anak tergantung kepada ada tidaknya fistula, karena aspirasi
cairan lambung lebih berbahaya dari saliva. Anak dengan fistula trakeo-esofagus
ditidurkan setengah duduk. Anak tanpa fistel diletakkan dengan kepala lebih rendah
(posisi Trendelenberg). Suction 10F double lumen di gunakan untuk mengeluarkan
sekret dan mencegah aspirasi selama pemindahan. Bayi diletakan pada incubator dan
tanda vital terus di pantau. Akses vena harus tersedia untuk memberi nutrisi, cairan
dan elektrolit, dan sebagai persiapan. Antibiotik spektrum luas dapat diberikan
sebagai profilaksis.
Resiko yang ditimbulkan pasca pembedahan adalah akibat dari pembedahan itu
sendiri, akibat obat anestesi yang digunakan, perdarahan, cedera saraf dan
pneumotoraks.
Prognosis menjadi lebih buruk bila diagnosis terlambat akibat penyulit pada paru.
Keberhasilan pembedahan tergantung pada beberapa faktor resiko, antara lain berat
badan lahir bayi, ada atau tidaknya komplikasi pneumonia dan kelainan congenital
lainnya yang menyertai. Prognosis jangka panjang tergantung pada ada tidaknya
kelainan bawaan lain yang mungkin multiple.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Atresia duodenum adalah suatu kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari
usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari
lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus. Pada
kondisi ini duodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga
menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses
absorbs. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut
dengan duodenal stenosis.
Perlu dilakukan pemeriksaan dengan NGT untuk mencari ada tidaknya atresia
esofagus pada bayi baru lahir terutama dengan faktor resiko ibu yang memiliki
polihidramnion ataupun tanda dari bayi seperti mulut berbuih, air liur yang terus
keluar, batuk dan sesak nafas, ataupun kembung. Dalam perujukan, perlu dilakukan
tindakan khusus saat pemindahan, yaitu untuk mencegah hipotermia, sumbatan jalan
nafas dan aspirasi dengan suction berulang, dan gangguan sirkulasi seperti dehidrasi,
hipoglikemia dan gangguan elektrolit dengan pemberian cairan intravena.
B. SARAN
Dengan adanya makalah “ Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni dan Eshopagus “
semoga dapat bermanfaat dan dipergunakan sebagaimana semestinya.
DAFTAR PUSTAKA