Anda di halaman 1dari 73

LAPORAN PRAKTIK

ASUHAN KEBIDANAN BAYI BARU LAHIR PATOLOGI


PADA BY. NY. M DENGAN HIPOSPADIA
DI PMB JULIA

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Ketuntasan


Praktik Stase Askeb Bayi Baru Lahir
Program Studi Pendidikan Profesi Bidan Program Profesi

Disusun oleh:

Nama : RIZKY PUTRI ANDRIANTI


NIM : 15901191013

UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN PROFESI BIDAN PROGRAM PROFESI
TAHUN AKADEMIK 2019/2020

1i
2

HALAMAN PERSETUJUAN

LAPORAN PRAKTIK

ASUHAN KEBIDANAN BAYI BARU LAHIR PATOLOGI PADA BY. NY. M


DENGAN HIPOSPADIA DI PMB JULIA

Oleh :

Nama : Rizky Putri Andrianti


NIM : 15901191012

Disetujui untuk diseminarkan pada tanggal : 18 Juli 2020

Pembimbing Institusi

Tanggal : 18 Juli 2020 (Ajeng Maharani, SST. M.Keb)


Di : Universitas Kusuma Husada NIK : 201991231

ii
3

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat- Nya
sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Asuhan Kebidanan
Bayi Baru Lahir Patologi Pada By. Ny. M dengan Hipospadia di PMB Julia”.
Penyusunan Laporan Praktik Stase ini bertujuan untuk memenuhi Praktik Stase
Asuhan Kebidanan Bayi Baru Lahir di Semester 2.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Ajeng Maharani, SST.,M.Keb.
selaku pembimbing institusi yang telah membimbing dan memberikan masukan
dalam penyusunan laporan kasusini sehingga dapat terselesaikan tepat waktu.
Dengan Laporan Praktik Stase ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
bagi penulis dan pembaca terutama mengenai masalah bayi baru lahir patologi.
Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu penulis harapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan yang akan
datang.

Surakarta, Juli 2020

Penulis

iii
4

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan masalah ............................................................................ 3
C. Tujuan ............................................................................................. 3
D. Manfaat............................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori kasus BBL ............................................................................. 5
B. Teori manajemen asuhan kebidanan pada BBL ..............................46
C. Teori EBM pada asuhan kebidanan yang diterapkan dalam Askeb
BBL .................................................................................................47
BAB III TINJAUAN KASUS
A. Data Subyektif .................................................................................51
B. Data Obyektif ..................................................................................53
C. Analisa .............................................................................................55
D. Penatalaksanaan ..............................................................................56
BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisa Temuan Kasus ....................................................................59
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .........................................................................................63
B. Saran ................................................................................................64
DAFTAR PUTAKA
LAMPIRAN

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberlangsungan hidup bayi baru lahir bergantung pada kemampuannya
untuk beradaptasi dengan lingkungan ekstrauterin. Kemampuan adaptasi ini
meliputi adaptasi dalam sikulasi kardiopulmunal dan penyesuaian fisiologis
lain untuk menggantikan fungsi plasentadan mempertahankan homeostatis.
kelahiran juga merupakan permulaan awal hubungan orang tua/bayi dan,
setelah ibu dan bayi dipastikan sehat, privasi orang tua untuk berbicara,
menyentuh, dan berkumpul berdua saja dengan bayinya merupakan hal
penting (Fraser dan Cooper, 2012).
Penelitian menunjukkan bahwa 50% kematian bayi terjadi dalam periode
neonatal yaitu dalam bulan pertama kehidupan kurang baiknya penanganan
bayi baru lahir yang sehat akan menyebabkan kelainan-kelainan yang
mengakibatkan cacat seumur hidup, bahkan kematian, misalnya karena
hipotermiaakan menyebabkan hipoglikemia dan akhirnya dapat terjadi
kerusakan otak. Pencegahan merupakan hal yang terbaik yang harus
dilakukan dalam penanganan neonatal sehingga neonatus sebagai organisme
yang harus menyesuaikan diri dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin dapat
bertahan dengan baik karena periode neonatal merupakan periode yang paling
kritis dalam fase pertumbuhan dan perkembangan bayi (Indrayani, 2013).
Upaya kesehatan anak antara lain diharapkan mampu menurunkan angka
kematian anak. Indikator angka kematian yang berhubungan dengan anak
yakni Angka Kematian Neonatal (AKN) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Perhatian terhadapupaya penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari)
menjadi penting karena kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 59%
kematian bayi (Kemenkes RI, 2016).
Hipospadia berasal dari bahasa latin, yaitu hypo (di bawah) dan spadon
(lubang). Hipospadia adalah kelainan kongenital pada laki-laki yang berupa
muara uretra terletak di ventral penis (Stein, 2012). Hipospadia pada laki-laki
dihubungkan dengan tiga kelainan dari penis, yaitu meatus orifisium eksterna
dapat terletak dimana saja antara glans hingga perineum, deviasi ventral penis

1
2

(chrodee), dan tudung prepusium bagian dorsal (dorsal hood) berhubungan


dengan kurangnya prepusium bagian ventral. Hipospadia merupakan kelainan
yang mengganggu dalam fungsi urinasi, ereksi atau seksual, dan secara
estetika tidak seperti bentuk anatomis yang normal.
Insidensi kelainan hipospadia berkisar 1:250 hingga 1:300 kelahiran bayi
(Krisna, et al., 2017). Prevalensi hipospadia di dunia sangat luas dan
bervariasi secara geografis. Di Indonesia, prevalensi hipospadia belum
diketahui secara pasti. Maritzka et al. (2015) melakukan studi obervasi pada
tahun 2010-2012 di Jawa Tengah menemukan 120 kasus.
Kelainan hipospadia dapat diperbaiki dengan tindakan pembedahan.
Untuk mendapatkan hasil akhir operasi yang baik, menurut Yildiz, et al
(2013) harus disertai dengan kemajuan teknik operasi, pemahaman patologi
hipospadia, dan usia saat operasi yang tepat. Secara ideal hasil akhir
pembedahan hipospadia harus memiliki tingkat komplikasi yang rendah, tidak
ditemukan gangguan urinasi dan ereksi, serta secara kosmetik bentuk penis
serta meatus uretra sesuai dengan anatomisnya (Yildiz, et al. 2013).
Komplikasi tersering setelah operasi hipospadia adalah fistula
uretrokutaneus. Penelitian yang dialakukan Yildiz, et al (2013) komplikasi
pembedahan hipospadia, yaitu fistula uretrokutaneus (6,2%), stenosis meatus
(3,58%), glans dehiscence (0,97%), dan stenosis uretra (0,65%). Penelitian
lain yang dilakukan Spinoit, et al (2013) menyatakan bahwa komplikasi
terbanyak penyebab reoperasi hipospadia adalah fistula uretrokutaneus (36),
stenosis meatus (27), kosmesis (20), dan lainnya (9).
Penelitian mengenai hubungan tipe hipospadia, usia, dan teknik operasi
sudah pernah dilakukan di luar negeri, tetapi belum banyak dilakukan di
Indonesia. Adanya faktor yang masih diperdebatkan, seperti usia dan tipe
hipospadia, memerlukan penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, berdasarkan
opini dan data tersebut, peneliti ingin mengetahui hubungan tipe hipospadia,
usia anak saat operasi, dan teknik operasi terhadap komplikasi fistula
uretrokutaneus pada kasus hipospadia anak.
3

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang
diambil adalah “Bagaimana Asuhan Kebidanan Patologi Bayi Baru Lahir
dengan Hipospadia di Puskesmas Plupuh 1”?

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengimplementasikan asuhan
kebidanan patologi bayi baru lahir dengan Hipospadia menggunakan pola
pikir manajemen kebidanan serta mendokumentasikan hasil asuhannya
dalam bentuk SOAP.
2. Tujuan khusus
Mahasiswa mampu dengan benar :
a. Menjelaskan mengenai teori dan konsep dasar asuhan kebidanan
patologi bayi baru lahir dengan hipospadia.
b. Mengintegrasikan teori dan manajemen asuhan kebidanan patologi bayi
baru lahir dengan hipospadia serta mengimplementasikannya pada
kasus yang dihadapi, yang meliputi:
1) Melakukan pengkajian data subjektif dan objektif pada bayi baru
lahir dengan hipospadia.
2) Melakukan analisis data yang telah diperoleh untuk merumuskan
diagnosa dan masalah aktual pada bayi baru lahir dengan hipospadia.
3) Melakukan identifikasi diagnosa dan masalah potensial pada bayi
baru lahir dengan hipospadia.
4) Mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera dan rujukan pada bayi
baru lahir dengan hipospadia.
5) Menyusun rencana asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan
hipospadia.
6) Melakukan evaluasi hasil asuhan yang telah dilakukan pada bayi
baru lahir dengan hipospadia.
7) Melakukan dokumentasi asuhan kebidanan yang telah diberikan
pada bayi baru lahir dengan hipospadia.
4

8) Menganalisis asuhan kebidanan kehamilan pada bayi baru lahir


dengan hipospadia yang telah dilaksanakan dengan teori yang ada.

D. Manfaat
1. Bagi Penulis
a. Sebagai penyempurna proses pendidikan belajar dan mengajar di
Universitas Kusuma Husada Surakarta.
b. Melatih kemampuan analisis terhadap masalah yang ditemukan.
2. Bagi Institusi
Diharapkan dapat berguna sebagai bahan bacaan dan menambah
wawasan tentang Asuhan Kebidanan Patologi Bayi Baru Lahir dengan
Hipospadia untuk seluruh civitas Universitas Kusuma Husada Surakarta.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Teori Kasus
1. Konsep Dasar Bayi Baru Lahir
a. Pengertian
Beberapa ahli telah memberikan pendapat tetang pengertian bayi
baru lahir. Diantaranya dari Marmi dan Rahardjo (2014), mengatakan
bayi baru lahir adalah bayi yang baru mengalami proses kelahiran yang
berusia 0-28 hari, bayi baru lahir atau neonatus adalah bayi yang baru
saja dilahirkan ibu sampai umur 28 hari. Sedangkan bayi baru lahir
normal adalah bayi yang lahir dari usia kehamilan 3 sampai 42
minggu dan berat badan lahir 2500 gram samapi 4000 gram (Saleha,
2012).
Bayi lahir normal adalah bayi yang lahir dalam presentasi belakang
kepala melalui vagina tanpa memakai alat, pada usia kehamilan genap
37 minggu sampai dengan 42 minggu dengan berat badan 2500-4000
gram, nilai APGAR >7 dan tanpa cacat bawaan (Muslihatun, 2010).
Masa neonatal adalah masa sejak lahir sampai dengan 4 minggu
(28 hari) sesuai kelahiran. Neonatus adalah bayi berumur 0 (baru lahir)
sampai dengan usia 1 bulan sesudah lahir. Neonatus dini adalah bayi
berusia 0-7 hari. Neonatus lanjut adalah bayi berusia 7-28 hari
(Muslihatun, 2010).
Umumnya bayi baru lahir akan dianggap sehat bila langsung
menangis saat lahir. Seluruh tubuhnya tampak kemerahandan tidak
terlihat pucat atau biru. Selain itu, bayi memiliki gerakan yang aktif dan
bisa menetek dengan kuat. Selain itu berat bayi sehat minimal 2,5 kg
(Ronald, 2011). Bayi baru lahir dengan berat badan 2500 gram sampai
dengan 4000 gram dengan masa kehamilan 37 minggu sampai 42
minggu. Bayi baru lahir dengan usia 0-7 hari disebut neonatal dini,
sedangkan 0-28 hari disebut neonatal lanjut (Sari dan Rimandini, 2014).

5
6

b. Perubahan fisiologis pada BBL


Adapun beberapa perubahan yang terjadi pada bayi ketika sudah
lahir di dunia menurut beberapa ahli yaitu:
1) Sistem pernapasan
Struktur matang ranting paru-paru sudah bisa mengembangkan
sistem alveoli. Selama dalam uterus janin mendapatkan oksigen dari
pertukaran gas melalui plasenta. Setelah bayi lahir, pertukaran gas
harus melalui paru-paru bayi. Pernapasan pertama pada bayi normal
terjadi dalam waktu 30 menit pertama sesudah lahir. Usaha bayi
pertama kali untuk mempertahankan tekanan alveoli, selain adanya
surfaktan yang dengan menarik napas dan mengeluarkan napas
dengan merintih sehingga udara tertahan di dalam. Respirasi pada
neonatus biasanya pernapasan diafragmatik dan abdomen, sedangkan
frekuensi dan dalam tarikan belum teratur.
Apabila surfaktan berkurang, maka alveoli akan kolaps dan
paru- paru kaku, sehingga terjadi atelektasis dalam keadaan anoksia
neonatus masih dapat mempertahankan hidupnya karena adanya
kelanjutan metabolisme anaerobik (Indrayani dan Djami, 2013).
2) Peredaran darah
Pada masa fetus daerah dari plasenta melalui vena umbilikalis
sebagian ke hati, sebagian ke langsung ke serabi kiri jantung,
kemudian ke bilik kiri jantung. Dari bilik kiri darah di pompa
melalui aorta ke seluruh tubuh. Dari bilik kanan darah di pompa
sebagian ke paru dan sebagian melalui duktus arteriosus ke aorta.
Setelah bayi lahir, paru akan berkembang mengakibatkan
tekanan arteriol dalam paru menurun. Tekanan dalam jantung kanan
turun, Sehingga tekanan jantung kiri lebih besar daripada tekanan
jantung kanan yang mengakibatkan menutupnya foramen oval secara
fungsionil. Hal ini terjadi pada jam-jam pertama setelah kelahiran.
Oleh karena tekanan dalam paru turun dan tekanan dalam aorta
desenden naik dank arena rangsangan biokimian (paO2 yang naik),
duktus arteriosus berobliterasi ini terjadi pada hari pertama.
7

Aliran darah sistolik pada hari pertama rendah, yaitu 1,96


liter/menit/m2 dan bertambah pada hari kedua dan ketiga (3,54
liter/m2) karena penutupan duktus arteriosus. Tekanan darah pada
waktu lahir di pengaruhi oleh jumlah darah yang melalui transfusi
plasenta dan pada jam-jam pertama sedikit menurun, untuk
kemudian naik lagi dan menjadi konstan kira-kita 85/40 mmHg
(Armini, dkk. 2017).
3) Suhu tubuh
Ada 4 mekanisme kemungkinan hilangnya panas tubuh dari bayi
baru lahir ke lingkungannya.
a) Konduksi
Panas dihantarkan dari tubuh bayi ke benda sekitarnya yang
kontak langsung dengan tubuh bayi (pemindahan panas dari tubuh
bayi ke objek lain melalui kontak langsung). Contoh: Menimbang
bayi tanpa alas timbangan, tangan penolong yang dingin
memegang bayi baru lahir, menggunakan stetoskop dingin untuk
pemeriksaan BBL.
b) Konveksi
Panas hilang dari tubuh bayi ke udara sekitarnya yang sedang
bergerak (jumlah panas yang hilang tergantung pada kecepatan
dan suhu udara).
Contoh: membiarkan atau menempatkan BBL dekat jendela,
membiarkan bayi baru lahir di ruangan yang terpasang kipas
angin.
c) Radiasi
Panas dipancarkan dari BBL, keluar tubuhnya ke lingkungan
yang lebih dingin (pemindahan panas antara 2 objek yang
berbeda).
Contoh: bayi baru lahir dibiarkan dalam ruangan AC tanpa di
berikan pemanas (radiant warmer), bayi baru lahir dibiarkan
dalam keadaan telanjang, bayi baru lahir ditidurkan berdekatan
dengan ruang yang dingin, misalnya dekat tembok.
8

d) Evaporasi
Panas hilang melalui proses penguapan tergantung kepada
kecepatan dan kelembapan udara (perpindahan panas dengan cara
mengubah cairan menjadi uap). Evaporasi dipengaruhi oleh:
jumlah panas yang dipakai, tingkat kelembapan udara, aliran
udara yang melewati.
Mencegah kehilangan panas: keringkan bayi secara saksama,
selimuti bayi dengan selimut atau kain bersih, kering dan hangat,
tutup bagian kepala bayi, anjurkan ibu untuk memeluk dan
menyusukan bayinya, jangan segera menimbang atau
memandikan bayi baru lahir, tempatkan bayi di lingkungan yang
hangat.
Dalam proses adaptasi kehilangan panas, bayi mengalami:
stres pada BBL menyebabkan hipotermi, BBL mudah kehilangan
panas, bayi menggunakan timbunan lemak cokelat untuk
meningkatkan suhu tubuhnya, lemak cokelat terbatas, sehingga
apabila habis akan menyebabkan adanya stress dingin (Armini,
dkk. 2017).
4) Metabolisme
Luas permukaan tubuh neonatus, relatif lebih luas dari tubuh
orang dewasa sehingga metabolisme basal per kg BB akan lebih
besar. Pada jam-jam pertama energi didapatkan dari pembakaran
karbohidrat dan pada hari ke dua energi basal dari pembakaran
lemak (Marmi dan rahardjo 2014).
5) Keseimbangan air dan fungsi ginjal
Tubuh BBL mengandung relatif banyak air dan kadar natrium
relatif lebih besar dari kalium karena ruangan ekstraseluler luas.
Fungsi ginjal belum sempurna karena:
a) Jumlah nefron masih belum sebanyak orang dewasa.
b) Ketidakseimbangan luas permukaan glomerulus dan volume
tubulus proksimal.
9

c) Renal blood flow relatif kurang bila dibandingkan dengan orang


dewasa (Indrayani & Djami, 2013).
6) Imunoglobin
Pada neonatus tidak terdapat sel plasma pada sum-sum tulang
dan lamina propia ilium dan apendiks. Plasenta merupakan sawar,
sehingga fetus bebas dari anti antigen dan stres imunologis.
Pada BBL hanya terdapat gama globulin G, sehingga imunologi
dari ibu dapat melalui plasenta karena berat molekulnya kecil. Tetapi
bila ada infeksi yang dapat melalui plasenta (Lues, toksoplasma,
herpes simpleks, dll) raeksi imunologis dapat terjadi dengan
pembentukan sel plasma dan antibody gama A, G dan M (Armini,
dkk. 2017).
7) Traktus Digestivus
Traktus digestivus relatif lebih berat dan lebih panjang
dibandingkan dengan orang dewasa. Pada neonatus traktus
digestivus mengandung zat yang brwarna hitam kehijauan yang
terdiri dari mukopolisakarida dan disebut mekonium. Pengeluaran
mekonium biasanya dalam 10 jam pertama dan 4 hari biasanya tinja
sudah berbentuk serta berwarna normal. Enzim dalam traktus
digestivus biasanya sudah terdapat pada neonatus, kecuali amylase
pankreas. Bayi sudah ada refleks hisap dan menelan, sehingga pada
saat bayi lahir sudah bisa minum ASI. Gumoh sering terjadi akibat
dari hubungan esofagus bahwa dengan lambung belum sempurna,
dan kapasitas dari lambung juga terbatas yaitu ± 30 cc (Indrayani
dan Djami, 2013).
8) Hati
Segera setelah lahir, hati menunjukkan perubahan kimia dan
morfologis, yaitu kenaikan kadar protein dan penurunan kadar lemak
serta glikogen. Sel hemopoetik juga mulai berkurang, walaupun
memakan waktu agak lama. Enzim hati belum aktif benar pada
waktu bayi baru lahir, daya detoksifikasi hati pada neonatus juga
belum sempurna, contohnya pemberian obat kloramfenikol dengan
10

dosis lebih dari 50 mg/kgBB/hari dapat menimbulkan grey baby


syndrome (Marmi dan rahardjo, 2014).
9) Keseimbangan Asam Basa
PH darah pada waktu lahir rendah karena glikolisis anaerobik.
Dalam 24 jam neonatus telah mengompensasi asidosis ini
(Indarayani & Djami, 2013).
c. Pemeriksaan Fisik
1) Menilai keadaan umum
Langkah yang awal dilakukan untuk menilai saat bayi lahir
untuk pemberian asuhan selanjutnya yaitu:
a) Lahir cukup bulan ?
b) Cairan ketuban jernih?
c) Bernafas atau menangis?
d) Denyut jantung >100 kali/menit ?
e) Tonus otot baik? (Lissauer dan Fanaroff, 2013)
2) Tanda-tanda vital
Pemeriksaan tanda-tanda vital dilakkan untuk mengukur
keadaan bayi saat setelah lahir.
a) Pemeriksaan suhu tubuh bayi dengan menghindari memandikan
bayi hingga sedikitnya enam jam dan hanya setelah itu jika tidak
terdapat masalah medis dan jika suhunya 36,5 C kemudian
bungkus bayi dengan kain yang kering dan hangat hingga kepala
tertutup (Saifuddin, 2014).
b) Pernapasan adalah tanda vital pertama yang berhenti ketika bbl
kekurangan oksigen (Dewi, 2014).
c) Pemeriksaan nadi
Pemeriksaan nadi harus dilakukan pada keempat ekstremitas
dalam menilai biasanya terdapat kesalahan yang sering dilakukan
adalah pemeriksaan hanya menghitung frekuensi nadi per menit.
Padahal seharusnya penilaian nadi harus mencakup frekuensi atau
laju nadi, irama, isi atau kualitas serta ekualitas nadi (Wahidiyat
dan Sastroasmoro, 2014).
11

3) Head to toe
a) Telinga
Pemeriksa dalam hubungan letak dengan mata dan kepala.
b) Mata
Melihat tanda-tanda infeksi seperti adanya pus.
c) Hidung dan mulut
Melihat bentuk bibir dan langit-langit, periksa adanya
sumbing dan refleks hisap dengan penilaian mengamati bayi pada
saat menyusu.
d) Leher
Melihat adanya pembengkakan dan gumpalan.
e) Dada
Melihat bentuk, puting, bunyi napas dan bunyi jantung.
f) Bahu, lengan, dan tangan
Melihat gerakan normal dan jumlah jari.
g) Sistem syaraf
Adanya refleks moro, lakukan rangsangan dengan suara keras
dengan tepukan tangan
h) Perut
Melihat bentuk, penonjolan atau lembek sekitar tali pusat
pada saat menangis, perdarahan tali pusat?
i) Kelamin perempuan
Ditandai dengan vagina berlubang, uretra berlubang dan labia
minora menutupi labia mayora.
j) Kelamin laki-laki
Dilihat dari testis berada dalam skrotum dan penis berlubang
dan pada ujung letak lubang.
k) Tungkai dan kaki
Dilihat dari gerakan normal, tampak normal dan jumlah jari.
l) Punggung dan anus
Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat pembengkakan
atau ada cekungan, ada anus dan lubang.
12

m) Kulit
Pemeriksaan dengan melihat Verniks (tidak perlu dibersihkan
karena menjaga kehangatan tubuh bayi), warna, ada
pembengkakan atau bercak- bercak hitam, dan tanda-tanda lahir
(Saifuddin, 2014).
d. Ballard score
Sistem penilaian untuk menentukan usia gestasi bayi baru lahir
melalui penilaian neuromuscular dan fisik. Penilaian neuromuskuler
meliputi postur, jendela pergerakan tangan, gerakan lengan membalik,
sudut popliteal, tanda selandang, lutut ke telinga sedangkan
pemeriksaan fisik meliputi kulit, lanugo, permukaan plantar, payudara,
mata/telinga dan genitalia perempuan/laki-laki (Ballard JL, dkk. 1991).
Kemudian hasil penilaian baik dari maturitas neuromuskuler
maupun fisik akan disesuaikan dengan skor dan dijumlahkan hasilnya.
13

Gambar 2.1 Ballard Score


Berdasarkan pertumbuhan intra uterin dilihat dari kurva lubchenco
dan batalgin, penilaian Sesuai Masa kehamilan (SMK) yaitu bayi
dengan lahir sesuai dengan berat lahir untuk masa gestasi dan pada
IUGC terletak antara persentil ke 10 dan ke 90, Kecil Masa Kehamilan
(KMK) yaitu bayi dengan lahir lebih kecil dari berat lahir untuk masa
gestasi dan mengalami gangguan pertumbuhan intra uteri diliat dari
IUGC dibawah persentil ke 10 kemudian Besar Masa Kehamilan
(BMK) yaitu bayi dengan berat lahir lebih dari berat lahir untuk masa
gestasinya dilihat dari IUGC > 9 (Singhal, dkk. 2017).
14

Gambar 2.2 Kurva Lubchenco

e. Ciri-ciri BBL
Bayi baru lahir dapat dikatakan normal jika memiliki ciri-ciri
tersendiri diantaranya yaitu, memiliki berat badan 2500-4000 gram,
panjang badan 48- 52 cm, lingkar dada 30-38 cm, lingkar kepala 33-35
cm, frekuensi jantung 120-160x/menit, pernapasan 40-60x/menit, kulit
kemerah-merahan dan licin karena jaringan sub kutan cukup, rambut
lanugo tidak terlihat, rambut kepala biasanya telah sempurna, kuku
agak panjang dan lemas, genetalia jika perempuan labia mayora sudah
menutupi labia minora sedangkan pada laki- laki testis sudah turun,
skrotum sudah ada.
Kemudian refleks hisap dan menelan sudah terbentuk dengan baik,
refleks morro atau gerak memeluk bila dikagetkan sudah baik, refleks
graps atau menggenggam sudah baik, refleks rooting mencari putting
susu dengan rangsangan taktil pada pipi dan daerah mulut terbentuk
dengan baik, eliminasi baik, meconium akan keluar dalam 24 jam
pertama, mekonium berwarna hitam kecoklatan (Dwienda, dkk. 2014).
Menurut Dewi (2014), ciri-ciri BBL normal adalah:
1) Lahir aterm antara 37-42 minggu.
2) Berat badan 2500-4000 gram.
3) Panjang badan 48-52 cm.
15

4) Lingkar dada 30-38 cm.


5) Lingkar Kepala 33-35 cm.
6) Lingkar lengan 11-12 cm.
7) Frekwensi denyut jantung 120-160x/menit.
8) Pernafasan ±40-60x/menit.
9) Kulit kemerahan dan licin karena jaringan subkutan yang cukup.
10) Rambut lanugo tidak terlihat dan rambut kepala biasanya telah
sempurna.
11) Kuku agak panjang dan lemas.
12) Nilai APGAR >7.
13) Gerak aktif.
14) Bayi lahir langsung menangis.
15) Refleks rooting (mencari putting susu dengan rangsangan taktil
pada daerah pipi dan daerah mulut) sudah terbentuk dengan baik.
16) Refleks sucking (isap dan menelan) sudah terbentuk dengan baik.
17) Refleks moro (gerakan memeluk bisa dikagetkan) sudah terbentuk
dengan baik.
18) Refleks graps (menggenggam) sudah baik.
19) Genetalia.
a) Perempuan kematangan ditandai dengan vagina dan uretra
berlubang, labia mayora menutupi labia minora.
b) Laki-laki kematangan ditandai dengan testis yang berada pada
scrotum dan penis yang berlubang.
20) Eliminasi baik yang ditandai dengan keluarnya mekonium dalam
24 jam pertama dan berwarna hitam kecoklatan (Dewi, 2014).
f. Lingkup neonatus bermasalah
Pada bayi baru lahir sangat diharapkan dan di inginkan lahir
dengan normal tanpa ada masalah apapun, namun kenyataannya
berbagai masalah dapat terjadi pada bayi baru lahir diantaranya yaitu
asfiksia (Tidak bernapas/sulit bernapas), hipotermia dan hipetermia,
bayi berat lahir rendah (BBLR), dehidrasi, ikterus neonatorum, kejang,
16

obstipasi, Infeksi, sindrom kematian bayi mendadak, diare (Dwienda,


dkk. 2014).
g. Fisiologis pernapasan bayi baru lahir
Oksigen sangat penting untuk kehidupan sebelum dan sesudah
persalinan. Selama di dalam Rahim janin mendapatkan oksigen dan
nutrisi dari ibu melalui mekanisme difusi melalui plasenta yang berasal
dari ibu diberikan kepada janin. Sebelum lahir, alveoli paru bayi
menguncup dan terisi oleh cairan. Paru janin tidak berfungsi sebagai
sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan CO2 (karbondioksida)
sehingga paru tidak perlu diperfusi atau dialiri darah dalam jumlah
besar.
Setelah lahir, bayi tidak berhubungan dengan plasenta lagi sehingga
akan segera bergantung kepada paru sebagai sumber utama oksigen.
oleh karena itu, maka beberapa saat sesudah lahir paru harus segera
terisi oksigen dan pembulu darah paru harus berelaksasi untuk
memberikan perfusi pada alveoli dan menyerap oksigen untuk
diedarkan ke seluruh tubuh (Dwienda, dkk. 2014).
h. Penatalaksanaan BBL
Asuhan bayi baru lahir oleh Bidan dimulai dari menilai kondisi
bayi, memfasilitasi kontak dini dan mencegah hipoksia sekunder,
menentukan kelainan, serta melakukan tindakan pertolongan dan
merujuk sesuai kebutuhan (Sari dan Rimandini, 2014).
Berbagai upaya yang aman dan efektif untuk mencegah dan
mengatasi penyebab utama kematian bayi baru lahir adalah pelayanan
antenatal yang berkualitas, asuhan persalinan normal atau dasar dan
pelayanan kesehatan neonatal oleh tenaga profesional (Depkes, 2008).
1) Penilaian
a) Nilai kondisi bayi:
(1) Apakah bayi menangis kuat / bernafas tanpa kesulitan?
(2) Apakah bayi bergerak dengan aktif / lemas?
(3) Apakah warna kulit bayi merah muda, pucat / biru?
17

Ketiga hal diatas dilakukan secara cepat dan tepat guna


melanjutkan pemberian asuhan bayi baru lahir selanjutnya.
b) Membersihkan jalan nafas:
(1) Sambil menilai pernafasan secara cepat, letakkan bayi dengan
handuk diatas perut ibu.
(2) Bersihkan darah/ lendir dari wajah bayi dengan kain bersih
dan kering/ kassa.
(3) Periksa ulang pernafasan.
(4) Bayi akan segera menangis dalam waktu 30 detik pertama
setelah (Sari dan Rimandini, 2014).
Jika tidak dapat menangis spontan dilakukan:
(1) Letakkan bayi pada posisi terlentang ditempat yang keras dan
hangat.
(2) Gulung sepotong kain dan letakkan dibawah bahu sehingga
leher bayi ekstensi.
(3) Bersihkan hidung, mulut dan tenggorokkan bayi dengan jari
tanganyang dibungkus kassa steril.
(4) Tepuk telapak kaki bayi sebanyak 2-3x, gosok kulit bayi
dengan kain kering dan kasar (Sari dan Rimandini, 2014).
c) Penghisapan lendir
(1) Gunakan alat penghisap lendir mulut (De Le) atau alat lain
yang steril, sediakan juga tabung oksigen dan selangnya.
(2) Segera lakukan usaha menghisap mulut dan hidung.
(3) Memantau mencatat usaha nafas yang pertama.
(4) Warna kulit, adanya cairan/ mekonium dalam hidung/ mulut
harus diperhatikan (Sari dan Rimandini, 2014).
Menurut Kemenkes RI (2010) dalam (Sari dan Rimandini,
2014). Sehingga secara keseluruhan tanda-tanda bayi lahir sehat
menurut Buku Panduan Pelayanan Kesehatan BBL adalah:
(1) Berat badan bayi 2500 – 4000 gram.
(2) Umur kehamilan 37 – 40 minggu.
(3) Bayi segera menangis.
18

(4) Bergerak aktif, kulit kemerahan.


(5) Mengisap Air Susu Ibu (ASI) dengan baik.
(6) Tidak ada cacat bawaan.
Tanda-tanda bayi baru lahir normal:
(1) Berat badan bayi 2500 - 4000 gram.
(2) Panjang badan 48 - 52 cm.
(3) Lingkar kepala 33 - 35 cm.
(4) Lingkar dada 30 - 38 cm.
(5) Bunyi jantung 120-160x/menit.
(6) Pernafasan dada 40 - 60x/menit.
(7) Kulit kemerahan dan licin karena jaringan dan diikuti vernik
caseosa.
(8) Rambut lanugo terlihat, rambut kepala biasanya sudah
sempurna.
(9) Kuku sudah sedikit lemas dan panjang.
(10) Genetalia jika perempuan labia mayora telah menutupi labia
minora, jika laki-laki testis sudah turun.
(11) Refleks hisap dan menelan telah terbentuk dengan baik.
(12) Refleks moro bila dikagetkan akan seperti memeluk.
(13) Graps refleks sudah baik jika tangan diletakkan benda bayi
akan menggenggam.
(14) Eliminasi baik, urine dan mekonium akan keluar dalam 24
jam (Sari dan Rimandini, 2014).
2) Pencegahan infeksi
Bayi baru lahir sangan rentan terhadap infeksi mikroorganisme
yang terpapar dan terkontaminasi selama proses persalinan
berlangsung maupun beberapa saat setelah lahir. Untuk tidak
menambah resiko infeksi, maka sebelum menangani bayi baru lahir
pastikan penolong persalinan dan pemberi asuhan bayi baru lahir
telah melakukan upaya pencegahan infeksi berikut:
19

a) Cuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan bayi.


b) Pakai sarung tangan bersih pada saat menangani bayi yang belum
dimandikan.
c) Pastikan semua peralatan (gunting, benang tali pusat) telah di
desinfeksi tingkat tinggi (DTT), jika menggunakan bola karet
penghisap, pastikan dalam keadaan bersih.
d) Pastikan semua pakaian, handuk, selimut serta kain yang
digunakan untuk bayi dalam keadaan bersih.
e) Pastikan timbangan, pipa pengukur, termometer, stetoskop dan
benda-benda lainnya akan bersentuhan dengan bayi dalam
keadaan bersih dan dekontaminasi setelah digunakan (Sari dan
Rimandini, 2014).
3) Pencegahan kehilangan panas
Bayi baru lahir dapat mengukur temperatur tubuhnya secara
memadai dan dapat dengan cepat kedinginan jika kehilangan panas
tidak dicegah (Sari dan Rimandini, 2014).
a) Mekanisme kehilangan panas bayi baru lahir
(1) Radiasi
Dari objek kepanas bayi, contoh: timbangan bayi dingin
tanpa alas.
(2) Evaporasi
Karena penguapan cairan yang melekat pada kulit,
contoh: air ketuban pada tubuh bayi baru lahir, tidak cepat
dikeringkan.
(3) Konduksi
Panas tubuh diambil oleh suatu permukaan yang melekat
ditubuh, contoh: pakaian bayi yang basah tidak cepat diganti.
(4) Konveksi
Penguapan dari tubuh ke udara, contoh: angin disekitar
bayi baru lahir (Prawirohardjo, 2016).
b) Cara pencegahan kehilangan panas:
(1) Keringkan bayi secara seksama.
20

(2) Selimuti bayi dengan selimut atau kain bersih, kering dan
hangat.
(3) Tutup bagian kepala bayi.
(4) Anjurkan ibu untk memeluk dan menyusui bayinya.
(5) Jangan segera menimbang atau memandikan bayi baru lahir.
(6) Tempatkan bayi dilingkungan yang hangat (Sari dan
Rimandini, 2014).
4) Cara perawatan tali pusat
a) Menjepit tali dengan klem dengan jarak 3 cm dari pusat, lalu
mengurut tali pusat kearah ibu dan memasang klem ke-2 dengan
jarak 2 cm dari klem (Dewi, 2014).
b) Memegang tali pusat diantara 2 klem dengan menggunakan
tangan kiri (jari tengah melindungi tubuh bayi) lalu memotong
tali pusat diantara 2 klem (Dewi, 2014).
c) Ikat ujung tali pusat sekitar 1 cm dari pusat dengan menggunakan
benang DTT. Lakukan simpul kunci/ jepitan (Sari dan Rimandini,
2014).
d) Jika menggunakan benang tali pusat, lingkarkan benang sekeliling
ujung tali pusat dan lakukan pengikatan kedua dengan simpul
kunci dibagian tali pusat pada sisi yang berlawanan (Sari dan
Rimandini, 2014).
e) Lepaskan klem penjepit dan letakkan didalam larutan klorin 0,5%
(Sari dan Rimandini, 2014).
f) Selimuti bayi dengan kain bersih dan kering, pastikan bahwa
bagian kepala bayi tertutup (Sari dan Rimandini, 2014).
5) Inisiasi Menyusui Dini (IMD)
Pastikan bahwa pemberian ASI dimulai dalam waktu 1 jam
setelah bayi lahir. Jika mungkin anjurkan ibu untuk memeluk dan
mencoba untuk menyusukan bayinya segera setelah tali pusat diklem
dan dipotong beri dukungan dan bantu ibu untuk menyusukan
bayinya (Sari dan Rimandini, 2014).
21

a) Keuntungan ASI
(1) Merangsang produksi air susu ibu.
(2) Memperkuat reflek penghisap bayi.
(3) Mempromosikan keterikatan antara ibu dan bayinya.
(4) Memberikan kekebalan pasif segera kepada melalui
kolostrum.
(5) Merangsang kontraksi uterus (Sari dan Rimandini, 2014).
b) Posisi menyusui
(1) Ibu memeluk keapala dan tubuh bayi secara lurus agar muka
bayi menghadapi ke payudara ibu dengan hideng didepan
puting susu ibu.
(2) Perut bayi menghadap ke perut ibu dan ibu harus menopang
seluruh tubuh bayi tidak hanya leher dan bahunya.
(3) Dekatkan bayi ke payudara jika ia tampak siap untuk
menghisap puting susu.
(4) Membantu bayinya untuk menempelkan mulut bayi pada
puting susu di payudaranya.
(a) Dagu menyentuh payudara ibu.
(b) Mulut terbuka lebar.
(c) Mulut bayi menutupi sampai ke areola.
(d) Bibir bayi bagian bawah melengkung keluar.
(e) Bayimenghisap dengan perlahan dan dalam,
serta kadang-kadang berhenti (Sari dan Rimandini,
2014).
c) Langkah IMD
Setelah bayi lahir dan tali pusat dipotong, segera letakkan
bayi tengkurap di dada ibu, kulit bayi kontak dengan kulit ibu
untuk melaksanakan proses IMD. Langkah IMD pada persalinan
normal (partus spontan).
(1) Suami dan keluarganya dianjurkan mendampingi ibu di
kamar bersalin.
22

(2) Bayi lahir segera dikeringkan kecuali tangannya tanpa


menghilangkan vernix, kemudian tali pusat diikat.
(3) Bila bayi tidak memerlukan resusitasi, bayi ditengkurapakn
di dada ibu denga kulit bayi melekat pada kulit ibu dan mata
bayi setinggi puting susu ibu. Keduanya diselimuti dan bayi
diberi topi.
(4) Ibu dianjurkan merangsang bayi dengan sentuhan dan biarkan
bayi sendiri mencari puting susu ibu.
(5) Ibu didukung dan dibantu tenaga kesehatan mengenal prilaku
bayi sebelum menyusu.
(6) Biarkan kulit bayi bersentuhan dengan kulit ibu minimal
selama satu jam bila menyusu awal terjadi sebelum 1 jam,
biarkan bayi tetap di dada ibu sampai 1 jam.
(7) Bila bayi belum mendapatkan puting susu ibu dalam 1 jam
posisikan bayi lebih dekat dengan puting susu dan biarkan
kontak kulit bayi dengan kulit ibu selama 30 menit atau 1 jam
berikutnya (Sari dan Rimandini, 2014).
6) Pencegahan infeksi pada mata
Pencegahan infeksi dapat diberikan pada bayi baru lahir antara
lain dengan:
a) Memberikan obat tetes mata/ salep
Diberikan satu jam pertama bayi baru lahir yaitu: eritromysin
0,5%/ tetrasilin 1%. Yang biasa dipakai adalah larutan perak
nitrat/ neosporin dan langsung diteteskan pada mata bayi segera
setelah bayi lahir.
b) Pemberian imunisasi awal (akan dijelaskan pada bagian
selanjutnya).
Upaya profilaksis untuk gangguan pada mata tidak kan efektif
jika tidak diberikan dalam 1 jam pertama kehidupannya. Teknik
pemberian profilaksis mata:
23

a) Cuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir.


b) Jelaskan pada keluarganya tentang apa yang anda lakukan,
yakinkan mereka bahwa obat tersebut akan sangat
menguntungkan pada bayi.
c) Berikan salep mata dengan satu garis lurus, mulai dari bagian
mata yang paling dekat dengan hidung bayimenuju kebagian luar
mata.
d) Jangan biarkan ujung mulut tabung/ salep atau tabung penates
menyentuh mata bayi.
e) Jangan menghapus salep/ tetes mata bayi dan minta agar
keluarganya tidak menghapus obat tersebut (Sari dan Rimandini,
2014).
7) Pemberian imunisasi awal
Pelaksanaan penimbangan , penyuntikan vitamin K1, salep mata
dan imunisasi Hepatitis B (HB0) harus dilakukan. Pemberian
layanan kesehatan tersebut dilaksanakan pada periode setelah IMD
sampai 2-3 jam setelah lahir dan dilaksanakan dikamar bersalin oleh
dokter, bidan atau perawat (Sari dan Rimandini, 2014).
Semua BBL harus diberi penyuntikan vitamin K1
(phytomenadione) 1 mg intramuskuler (IM) dipaha kiri, untuk
mencegah pendarahan BBL akibat defisiensi vitamin K yang dapat
dialam ioleh sebagian BBL (Indrayani dan Djami, 2013).
Salep mata atau tetes mata diberikan untyk pencegahan infeksi
mata (oxytetrasilin 1%). Imunisasi Hepatitis B diberikan 1-2 jam
dipaha kanan setelah penyuntikan vitamin K yang bertujuan untuk
pencegahan penularan Hepatitis B melalui jalur ibu ke bayi yang
dapat menimbulkan kerusakan hati (Sari dan Rimandini, 2014).
Pemberian imunisasi Hepatitis B:
Berikan imunisasi Hepatitis B regimen tunggal sebanyak 3 kali,
pada usia 0 bulan (segera setelah lahir), usia 1 bulan, usia 6 bulan
atau pemberian regimen kombinasi 4 kali, pada usia 0 bulan, usia 2
24

bulan (DPT+Hep B), usia 3 bulan, usia 4 bulan. Pemberian imunisasi


hepatitis B (Rukiyah dan Yuianti, 2010).
8) Pemberian identitas
Alat pengenal untuk memindahkan identifikasi bayi perlu
dipasangkan segera pasca persalinan. Beberapa hal yang dilakukan
antara lain:
a) Alat yang digunakan hendaknya kebal air dengan tepi yang halus
dan tidak mudah melukai, tidak mudah sobek, tidak mudah lepas.
b) Pada alat identifikasi harus tercantum nama bayi (bayi dan
ibunya), tanggal lahir, nomor bayi, jenis kelamin, unit.
c) Disetiap tempat tidur harus diberi tanda tangan dengan
menggunakan nama , tanggal lahir, nomor identitas.
d) Sidik telapak kaki bayi dan jari ibu harus dicetak dicatatan yang
tidak mudah hilang (Sari dan Rimandini, 2014).

2. Penatalaksanaan Bayi Baru Lahir, meliputi:


a. Asuhan bayi baru lahir pada 0-6 jam.
b. Asuhan bayi baru lahir normal, dilaksanakan segera setelahlahir dan
diletakkan di dekat ibunya dalam ruangan yang sama.
c. Asuhan bayi baru lahir dengan komplikasi dilaksanakan satu ruangan
dengan ibunya atau ruangan khusus.
d. Pada proses persalinan, ibu dapat didampingi suami.
e. Asuhan bayi baru lahir pada 6 jam sampai 28 hari.
f. Pemeriksaan neonates pada periode ini dapat dilaksanakan di
puskesmas/ pustu/ polindes/ poskesdes atau melalui kunjungan rumah
oleh tenaga kesehatan. Pemeriksaan neonates dilaksanakan didekat ibu,
bayi didampingi ibu atau keluarga pada saat diperiksa atau diberikan
pelayanan kesehatan (Sari dan Rimandini, 2014).
25

Langkah-langkah Pemeriksaan
a. Pemeriksaan dilakukan pada keadaan bayi tenang (tidak menangis).
b. Pemeriksaan tidak harus berurutan, didahulukan menilai pernafasan dan
tarikan dinding dada bawah, denyut jantung serta perut.
c. Selalu mencuci tangan pakai sabun dengan air mengalir sebelum dan
sesudah memegang bayi (Sari dan Rimandini, 2014).

Tanda-tanda bahaya yang harus diwaspadai pada bayi baru lahir:


a. Pernafasan: sulit/ <60x/menit.
b. Kehangatan: terlalu panas (>380C atau terlalu dingin <360C).
c. Warna: kuning (terutama pada 24 jam pertama), biru/ pucat, memar.
d. Pemberian makan: hisapan lemah, mengantuk berebihan, banyak
muntah.
e. Tali pusat: merah, bengkak, keluar cairan, bau busuk, berdarah.
f. Infeksi: suhu meningkat, merah, bengkak, keluar cairan nanah, bau
busuk, pernafasan sulit.
g. Tunja/ kemih: tidak berkemih dalam 24 jam, tinja lembek, sering, hijau
tua, ada lender atau darah pada tinja.
h. Aktifitas: menggigil, atau tangis tidak bisa, sangat mudah tersinggung,
lemas, terlalu mengantuk, lunglai, kejang, kejang halus, tidak bisa
tenang, menangis terus-menerus.

Pemantauan Pasca Pemberian Asuhan Bayi Baru Lahir :


Pemantauan bayi pada jam pertama setelah lahir yang dinilai meliputi
kemampuan menghisap kuat dan lemah, bayi tampak aktif dan lunglai,
bayi kemerahan atau biru, yang menjadi penilaian terhadap ada tidaknya
maslah kesehatan yang memerlukan tindaklanjut (Sari dan Rimandini,
2014).
26

3. Hipospadia
a. Definisi dan Anatomi
Hipospadia merupakan kelainan kongenital urologi yang paling
sering dijumpai. Kelainan tersebut melibatkan uretra, korpus
spongiosum, kospus kavernosum, glans dan prepusium.
Hipospadia, berasal dari istilah yunani, hipo (dibawah) dan spadon
(celah). Hipospadia merupakan anomali kongenital pada genitalia
eksterna laki-laki yang sering terjadi (Stein, 2012). Sekitar 80% kasus
hipospadia adalah isolated hypospadias, yaitu hipospadia tanpa disertai
kelainan kongenital lainnya (Nissen, 2015).

Gambar 2.3 Hipospadia


Hipospadia adalah malformasi yang umum terjadi di saluran genital
laki-laki yang ditunjukan dengan muara uretra yang abnormal dimana
lokasi muara uretra/ostium uretra eksternum (OUE) dapat berada di
bagian anterior (glandular, coronal, dan distal penile), bagian
pertengahan, atau bagian posterior (penoscrotal, scrotal, perineal)
dengan derajat kurvatura penis yang berbeda.
Hipospadia merupakan keadaan dimana muara eksterna uretra
terletak di sisi ventral penis yang proksimal dari ujung glans, dari
sulkus balanopreputial hingga ke area perineal (Sharma, 2013).
Kelainan ini diklasifikasikan menjadi ringan (glans atau penis) atau
berat (skrotum atau perineal) tergantung lokasi anatomi dari meatus
uretra (Krisna, 2017). Kelainan ini terjadi akibat terlambatnya
27

perkembangan fusi uretra pada trimester 1 kehamilan (Sharma, 2013).


Hipospadia adalah salah satu kelainan kongenital yang paling sering
terjadi pada laki laki.
Hipospada didefinisikan sebagai anomali yang melibatkan aspek
ventral penis. Malformasi ini terutama terdiri dari pembukaan ventral
abnormal meatus uretra, kelengkungan ventral abnormal penis (kordee),
dan atau distribusi abnormal kulup.
Hipospadia terjadi akibat perkembangan tuberkulum genitalia yang
tidak lengkap sehingga mengakibatkan pertumbuhan jaringan di ventral
penis menjadi tidak normal. Trias klinis yang sering ditemukan pada
hipospadia adalah (1) meatus uretra yang terletak di ventral penis, (2)
korde atau penis yang menekuk ke arah ventral, (3) prepusium yang
berlebihan di bagian dorsal penis, meskipun tidak selalu dijumpai pada
setiap kasus hipospadia.
Secara anatomi kelainan yang dapat dijumpai pada ujung hingga
pangkal penis adalah:
1) Glans yang terbelah ke arah ventral.
2) Letak muara uretra di ventral penis, terkadang dengan diameter yang
sempit. Pada bagian distal dari muara tersebut biasanya terbentuk
lempeng uretra.
3) Adanya uretra yang tipis pada bagian yang tidak di lindungi oleh
korpus spongiosum
4) Distal dari korpus spongiosum terbagi dua pilar disertai
vaskularisasinya masing-masing sebelum mencapai posisi muara
uretra normal.
5) Korpus spongiosum yang proksimal dari muara uretra mempunyai
struktur yang normal
6) Pada kasus yang berat skrotum bisa terbelah dua dan bertemu di
penoskrotal/ skrotal bifida
7) Pada hipospadia berat dijumpai pembesaran utrikulus prostat.
28

Gambar 2.4 Gambar kiri: glans yang terbelah ke arah ventral (cleft
glans). Gambar tengah: glans yang terbelah sebagian
(incomplete cleft glans). Gambar kanan: flat glans.
(Dimodifikasi dari Hadidi AT, Azmy AF, eds. Hypospadias
Surgery: An Illustrated Guide, 1st ed. Springer Verlag,
2004).

Gambar 2.5 Gambar kiri: uretra tipis yang tidak terlindung korpus
spongiosum dan korpus spongiosum distal yang terbagi 2
pilar. Gambar tengah dan kanan: hipospadia kasus berat
(skrotum terbelah dua dan bertemu di penoskrotal / skrotal
bifida)

b. Prevalensi
Sekitar 4-6 tiap 1000 bayi laki-laki yang lahir mengalami kelainan
kongenital hipospadia. Beberapa studi menyatakan terjadinya
peningkatan prevalensi hipospadia dalam 30 tahun terakhir sehubungan
dengan kasus hipospadia jenis ringan dan meningkatnya survival bayi
dengan berat lahir rendah karena peningkatan perawatan masa neonatal
(Erin, 2014).
29

Peningkatan jumlah pasien hipospadia dengan berbagai derajat


keparahan juga dilaporkan di Australia Barat, Denmark, dan
Washington. Peningkatan prevalensi hipospadia juga dicatat di Cina,
yaitu kurang dari 1 tiap 1000 kelahiran bayi laki-laki (Li Y, 2012).
Sedangkan di New York, Amerika Serikat terdapat sedikit
penurunan insidensi kasus hipospadia dari 36,34 dalam 10.000
kelahiran pada tahun 1983 menjadi 34,9 dalam 10.000 kelahiran antara
1992 dan 2005, dengan perubahan yang tidak signifikan pada periode
selanjutnya.

c. Etiologi
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang
belum diketahui penyebab pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa
faktor yang oleh para ahli dianggap paling berpengaruh antara lain:
1) Gangguan dan ketidakseimbangan hormon
Hormon yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang
mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau biasa juga karena
reseptor hormone androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang
atau tidak ada. Sehingga walaupun hormon androgen sendiri telah
terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja
tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim
yang berperan dalam sintesis hormone androgen tidak mencukupi
pun akan berdampak sama.
2) Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya
terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen
tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi. Mekanisme
genetik yang tepat mungkin rumit dan variabel. Penelitian lain
adalah turunan autosomal resesif dengan manifestasi tidak lengkap.
Kelainan kromosom ditemukan secara sporadis pada pasien dengan
hipospadia.
30

3) Prematuritas
Peningkatan insiden hipospadia ditemukan di antara bayi yang
lahir dari ibu dengan terapi estrogen selama kehamilan. Prematuritas
juga lebih sering dikaitkan dengan hipospadia.
4) Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah
polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan
mutasi.

d. Patofisiogi
Fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi
sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada
berbagai derajat kelainan letak meatus ini, dari yang ringan yaitu sedikit
pergeseran pada glans, kemudian disepanjang batang penis, hingga
akhirnya di perineum. Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan
menyerupai topi yang menutup sisi dorsal dari glans. Pita jaringan
fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan
kurvatura (lengkungan) ventral dari penis.
Hipospadia terjadi dari pengembangan tidak lengkap uretra dalam
rahim. Penyebab pasti cacat diperkirakan terkait dengan pengaruh
lingkungan dan hormonal genetik. Perpindahan dari meatus uretra
biasanya tidak mengganggu kontinensia kemih. Namun, stenosis
pembukaan dapat terjadi, yang akan menimbulkan obstruksi parsial
outflowing urin. Hal ini dapat mengakibatkan ISK atau hidronefrosis.
Selanjutnya, penempatan ventral pembukaan urethral bisa mengganggu
kesuburan pada pria dewasa, jika dibiarkan tidak terkoreksi.
Hipospadia merupakan salah satu kelainan kongenital genital pria
yang umum dijumpai dengan kecendrungan peningkatan jumlah angka
kejadian di beberapa negara. Faktor etiologi hipospadia masih belum
diketahui dengan pasti, namun ada beberapa faktor yang diyakini
berperan penting dalam pembentukan hipospadia, diantaranya adalah
faktor genetik. Salah satu faktor genetik tersebut adalah variasi jumlah
31

CAG repeat pada Gen androgen reseptor (AR). Gen AR diketahui


berfungsi untuk membuat protein androgen reseptor yang berperan
dalam memediasi kerja hormon androgen; suatu hormon yang
diperlukan dalam proses pembentukan fenotip pria. Maka dari itu,
perubahan pada gen AR dapat menyebabkan perubahan pada protein
yang dihasilkan sehingga proses mediasi kerja hormon androgen dapat
terganggu dan pada akhirnya dapat menimbulkan gangguan dalam
proses pembentukan fenotip pria, dalam kasus ini adalah hipospadia
(Maritska, 2015).

e. Diagnosis
Diagnosis hipospadia secara jelas dapat ditemukan pada
pemeriksaan inspeksi. Pada beberapa kasus, hipospadia dapat
didiagnosis pada pemeriksaan ultrasound prenatal. Jika tidak dapat
teridentifikasi pada masa intrauterin maka dapat diidentifikasi setelah
bayi lahir. Kasus tertentu dapat diketahui saat penderita dewasa, yaitu
penderita mengeluh adanya gangguan mengarahkan pancaran urin dan
gangguan seksual. Hipospadia tipe perineal dan penoscrotal
menyebabkan penderita harus miksi dengan posisi duduk. Gangguan
seksual yang mereka alami karena adanya chordee pada penisnya.
Diagnosis hipospadia ditegakkan dengan pemeriksaan fisik.
Pencatatan pemeriksaan fisik harus disertai deskripsi temuan lokal
seperti posisi meatus uretra, bentuk dan lebar orifisium, ukuran penis,
lempeng uretra, informasi derajat kurvatura penis (pada saat ereksi),
prepusium, dan skrotum bifidum.
Hipospadia biasanya didiagnosis dalam pembibitan bayi baru lahir
oleh penampilan karakteristik penis.
1) Pembukaan kemih (meatus) lebih rendah dari normal, dan sebagian
anak laki-laki hanya memiliki pengembangan parsial kulup, kurang
penutup normal atau glans di bawah.
2) Abnormal “berkerudung” kulup meminta perhatian dengan kondisi.
32

3) Tidak semuabayi yang baru lahir dengan pengembangan kulup


parsial memiliki hipospadia, karena beberapa memiliki pembukaan
kencing normal dengan kulup berkerudung, disebut “chordee tanpa
hipospadia”.
Megameatus dengan preputium (MIP) varian utuh hipospadia
terjadi ketika kulup adalah normal dan ada hipospadia tersembunyi.
1) Kondisi ini ditemukan selama sunat yang baru lahir atau lambat di
masa kecil ketika kulup mulai menarik.
2) Bayi baru lahir dengan normal muncul kulup dan penis lurus yang
ditemukan memiliki hipospadia setelah sunat dimulai dapat memiliki
sunat selesai tanpa khawatir untuk membahayakan perbaikan
hipospadia di masa depan.
3) Hipospadia ditemukan setelah sunat adalah hampir tidak pernah hasil
dari cedera saat sunat.
Beberapa kelainan kongenital yang ditemukan pada kasus hipospadia:
1) Undesensus testis dan hernia inguinalis.
2) Pembesaran utrikulus prostat.
3) Penoskrotal transposisi dan mikropenis.
4) Disorder of sex development (DSD).

f. Gejala Klinis
Mayoritas penderita hipospadia memiliki penis yang melengkung
ke bawah dan diperjelas saat terjadi ereksi. Penyebab keluhan tersebut
adalah adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang menyebar dari
meatus yang letaknya abnormal hingga glans penis. Jaringan fibrosa
tersebut merupakan bentuk rudimenter dari uretra, korpus spongiosum,
dan tunika dartos. Chordee merupakan salah satu ciri dari hipospadia
tetapi tidak semua hipospadia memiliki chordee.
Gejala lainnya yang sering dikeluhkan penderita adalah kesulitan
dalam mengatur aliran air kencing saat miksi dan pada penderita
dewasa mengalami gangguan hubungan seksual. Berikut ini gejala
klinis hipospadia.
33

1) Muara uretra eksterna tidak berada di ujung glans penis;


2) Prepusium tidak didapatkan di bawah penis dan menumpuk di
bagian dorsal penis;
3) Adanya chordee yang nampak dengan ciri adanya kurvatura penis
terutama saat ereksi; dan
4) Tidak adanya chordee, jika letak meatus pada dasar dari glans penis.

g. Klasifikasi
Hipospadia biasanya diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi
meatus urethra:
1) Anterior atau hipospadia distal (meatus urethra terletak di gland
penis)
Pada hipospadia derajat pertama ini letak meatus urethra
eksterna dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
a) Hipospadial sine (curvatura ventral penis dengan letak meatus
urethra eksterna normal, jenis ini sering dianggap hipospadia
yang bukan sebenarnya)
b) Glandular (letak meatus ekterna hanya turun sedikit pada bagian
ventral gland penis)
c) Sub-coronal (letak meatus urethra eksterna terletak di sulcus
coronal penis).
2) Middle shaft atau intermediate hipospadia
Disebut hipospadia derajat dua, juga dapat dibagi berdasar letak
meatus urethra menjadi distal penis, mid-shaft, dan tipe proksimal
3) Hipospadia posterior atau proksimal atau derajat tiga dibagi menjadi:
a) Penoscrotal (meatusurethra di antara pertemuan basis penis dan
scrotum)
b) Scrotal (meatus urethra eksterna di scrotum),
c) Perineal (meatus urethra eksterna di bawah scrotum dan pada area
perineum) (Holmes, 2012 dan Erin 2014).
34

Gambar 2.6 Klasifikasi Hipospadia

h. Embirologi Genetalia Eksterna Laki-laki


Pertumbuhan awal genitalia eksterna pada laki-laki hampir sama
dengan pertumbuhan genitalia eksterna wanita. Diferensiasi seks pada
genitalia eksterna terjadi antara minggu ke 7-17 usia kehamilan (Yiee,
2010). Dibawah pengaruh gen SRY pada lengan pendek kromosom Y
terjadi diferensiasi genitalia pria, yang selanjutnya memacu
pertumbuhan testis dengan memberi sinyal pertumbuhan pertama pada
sel sertoli. Sel sertoli membantu perkembangan germ cell dan sel
leydig. Dibawah pengaruh testosteron yang diproduksi oleh sel leydig
testis yang selanjutnya dikonversi menjadi dihidrotestosteron, genitalia
eksterna laki-laki berkembang menjadi duktus genitalis dan genitalia
eksterna. Mesoderm dari genitalia eksterna membesar membentuk
corpus cavernosa dan gland penis, sedangkan endoderm mengalami
tubularisasi dari proksimal menuju ke arah distal membentuk urethra
penis dan ektoderm berkembang menjadi kulit penis dan prepusium
(Yiee, 2010).
35

Gambar 2.7 Embriologi genetalia eksterna laki-laki


Keterangan gambar: (A) Minggu ke-7 usia kehamilan, prekusor
diferensiasi sex dimulai. (B) Perkembangan genitalia eksterna laki-laki
pada minggu ke-7 sampai minggu ke-17 usia kehamilan.
Pada perkembangan genitalia eksterna laki-laki ditandai oleh
pemanjangan cepat tuberkulum genital yang disebut phallus. Selama
proses pemanjangan, phallus menarik lipatan urethra kearah distal
hingga membentuk urethra penis. Namun, saluran urethra tersebut tidak
memanjang hingga ke ujung phallus. Bagian paling distal urethra
terbentuk saat sel-sel ectoderm dari ujung gland penis menembus ke
arah dalam dan membentuk korda epitel pentek. Korda tersebut
kemudian membentuk lumen dan disebut orificium urethra eksterna.

i. Faktor genetik terhadap Hipospadia


Sebagian besar kasus hipospadia belum diketahui etiologinya.
kemungkinan kombinasi faktor genetik dan lingkungan dianggap
merupakan faktor yang mempengaruhi. Bukti keterlibatan faktor
genetik dibuktikan oleh meningkatnya mutasi genetik, riwayat
keturunan dan etnis (Erin, 2014).
Beberapa mutasi genetik telah ditemukan yang memungkinkan
menjadi penyebab terjadinya hipospadia, tetapi beberapa peneliti
percaya bahwa mutasi single tidak mungkin menjadi penyebab kasus
isolated hypospadias. Meskipun demikian, penelitian menemukan
36

polimorfism pada gen FGF8, FGFR2, AR, Hydroxysteroid 17-β-


dehydrogenase-3 (HSD17B3), SRD5A2, Estrogen Receptors-1(ESR1),
Estrogen Receptors-2 (ESR2), dan Cytochrome P450, family 1,
subfamily A, polypeptide 1 (CYP1A1) yang menjadi faktor risiko
hipospadia. Selain itu, ekpresi gen Connective Tissue Growth Factor
(CTGF) dan cysteine-rich, angiogenic inducer, 61 (CYR61) dan
Epidermal Growth Factor (EGF) telah diidentifikasi juga sebagai
kandidat gen (Van der, 2012 dan Carmichael, 2014).
Ketika pembentukan urethra laki-laki atau genitalia eksterna laki-
laki selama trimester pertama usia kehamilan, kecukupan kebutuhan
androgen sangat dibutuhkan (Samtani, 2015). Oleh karena itu, hal
tersebut menyatakan sebuah teori rasional yang menjelaskan bahwa
hipospadia merupakan sebuah kelainan abnormal pada jalur metabolism
androgen.
Penutupan urethra secara normal terjadi selama minggu ke 8-14
usia kehamilan, yang melibatkan sebuah proses kontinyu pada fusi
ventral di proksimal menuju ke arah distal. Proses tersebut
membutuhkan sintesis testosterone menjadi dihydrotestosterone (DHT),
sebuah androgen yang lebih aktif yang memegang peran penting
termasuk pembentukan genitalia eksterna dan interna. Selanjutnya DHT
terikat pada androgen receptor (AR) dan terbentuk sinyal AR yang
sesuai (Carmichael, 2014). Polimorfisme genetik pada gen yang
mengontrol aksi androgen dan biosintesis testosterone serta DHT
merupakan gen yang penting dalam etiologi hipospadia.18 Beberapa
gen diantaranya yaitu HSD17B3, Hydroxy-β-5-steroid
dehydrogenase,3β and steroid β-1 (HSD3B1), SRD5A2, dan StAR-
related lipid transfer Domain-3(STARD3). Gen-gen tersebut
menunjukkan berbagai aspek dalam sintesis hormon dan metabolisme
selama pembentukan urethra dan genitalia eksterna laki-laki
(Carmichael, 2014).
Pada penelitian sebelumnya, telah dilaporkan bahwa kariotipe
kromosom pada isolated hypospadias menunjukkan kariotipe yang
37

normal, yaitu 46, XY. Lalu, skrining pada 17 pasien isolated


hypospadias untuk menilai copy number variants (CNVs), ditemukan
secara signifikan CNVs pada 3 pasien dengan lokus 5p15, 12p13 dan
Xq28.40 Selain itu, telah diteliti pada 69 keluarga dengan minimal 2
anggota keluarga yang memiliki hipospadia, ditemukan lokus
kromosom yang terkait dengan kejadian hipospadia yaitu pada 9q22,
2p11, 10p15 dan 10q21. Sedangkan studi lain pada 3 generasi keluarga
menunjukkan hipospadia berhubungan dengan riwayat keturunan
autosom dominan pada lokus 7q32.2–q36.1.
Beberapa studi menyatakan bahwa hipospadia berhubungan dengan
kondisi keturunan yang diestimasikan mempengaruhi 57-77% kejadian
hipospadia. Menurut data yang ada dilaporkan bahwa persentasi
penurunan kejadian hipospadia dari jalur ayah dan ibu sama. Individu
yang memiliki saudara laki-laki hipospadia, memiliki 13.4 kali (95 %
Confidence Interval (CI): 11.0 – 16.4) risiko lebih besar mengalami
hipospadia dan individu yang memiliki ayah hipospadia akan
meningkatkan risiko terjadinya hipospadia 10,4 kali (95 % CI: 7.5 –
14.3) lebih besar dibandingkan keluarga yang normal (Erin, 2014).
Diperkirakan risiko hipospadia akibat riwayat keluarga akan
meningkat 12-20 kali terutama hipospadia derajat 1.14 Secara menarik,
terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa anak yang memiliki
riwayat keturunan hipospadia, mengalami kelainan kongenital
hipospadia dengan tipe yang lebih ringan. Penelitian tersebut
menyatakan bahwa kasus hipospadia yang terjadi dengan adanya
riwayat keluarga, lebih sering terjadi pada hipospadia derajat 1 dan
hipospadia derajat 2 dibanding hipospadia derajat 3.

j. Faktor Lingkungan terhadap Hipospadia


Studi sebelumnya menyebutkan bahwa faktor lingkungan berperan
penting terhadap kejadian hipospadia, penggunaan pestisida,
kontrasepsi oral dan obat-obatan oleh ibu hamil dilaporkan
berhubungan dengan terjadinya hipospadia.
38

Riwayat pekerjaan yang di bidang agrikultural dan penggunaan


obat nyamuk meningkatkan paparan pestisida yang selanjutnya akan
meningkatkan risiko terjadinya hipospadia. Zat kimia yang banyak
terdapat di lingkungan tersebut telah dipelajari mengandung bahan yang
dapat mengganggu endokrin (endocrine disruptors). Endocrin
disruptors merupakan bahan kimia yang dapat menginterverensi
hormonal. Menurut bukti studi pada hewan menunjukkan bahwa
endocrine disruptors tertentu dapat menyebabkan terjadinya hipospadia
melalui interferensi jalur sinyal androgen dan estrogen selama
diferensiasi seksual. Selain pestisida, fitoestrogen juga merupakan zat
yang termasuk endocrine disruptors yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya hipospadia (Carmichael, 2014).
Sebuah penelitian telah mencatat bahwa peningkatan konsentrasi
pestisida organoklorin di jaringan adiposa berkorelasi dengan
peningkatan usia ibu. Sumber paparan kimia tersebut diperoleh dari
produk makanan yang dikonsumsi. Pestisida organoklorin tersebut
dipercaya memiliki efek estrogenik. Studi lainnya menyatakan bahwa
peningkatan kerusakan sitogenik berhubungan dengan peningkatan usia
perempuan dengan paparan pekerjaan yang terkena pestisida.
Obat-obatan yang digunakan oleh ibu hamil diindikasikan sebagai
paparan yang berhubungan dengan terjadinya hipospadia, salah satunya
adalah asam valproat. Asam valproate merupakan gonadotropin-
releasing hormone-agonist yang telah dicatat memiliki efek anti
androgen sehingga dapat mengganggu perkembangan embriologi
genitalia eksterna laki-laki. Obat lain yang dilaporkan berhubungan
dengan peningkatan risiko terjadinya hipospadia, tapi masih
membutuhkan penelitian lebih lanjut yaitu termasuk besi, loperamide,
dan anti-retroviral. Beberapa obat seperti loratadin diduga
menyebabkan hipospadia, tetapi obat tersebut tidak terbukti pada
penelitian pada manusia.
Selain itu, penggunaan kontrasepsi oral pada maternal juga
dihubungan dengan terjadinya hipospadia. Paparan diethylstilbestrol
39

(DES) pada sirkulasi uteroplasenta dari ibu pada bayi laki-laki


dikatakan berhubungan dengan hipospadia. DES merupakan estrogen
sintetis non steroid yang digunakan di untuk mencegah komplikasi
kehamilan (Erin, 2014).

k. Faktor Maternal terhadap Hipospadia


Tingkat keparahan hipospadia dilaporkan berbanding lurus dengan
peningkatan usia ibu. Usia ibu yang lebih tua secara potensial akan
memiliki paparan lebih panjang terhadap ganguan endokrin, sehingga
menimbulkan deformitas yang lebih serius.
Adanya penyakit ibu seperti infeksi virus selama hamil, hipertensi
maternal dan preeklamsia juga merupakan salah satu faktor risiko
hipospadia, Hubungan antara hipospadia dengan hipertensi maternal
serta preeklamsia diduga akibat insufisiensi plasenta yang merupakan
salah satu faktor yang berperan terhadap terjadinya hipospadia. Selain
itu, adanya hormon endogen yang dipengaruhi oleh estradiol bebas
yang berhubungan dengan berat badan berlebih pada maternal,
primiparitas, dan kehamilan multipel juga dinyatakan berkontribusi
terhadap kerentanan terjadinya hipospadia (Yinon, 2010).
Selain itu primipara dan obestitas maternal juga meningkatkan
risiko terjadinya hipospadia. Obesitas maternal berhubungan dengan
peningkatan risiko tejadinya hipospadia 1,3-2 kali lebih besar
dibandingkan dengan wanita dengan berat badan normal. Faktor
tersebut dihubungkan dengan adanya gangguan keseimbangan androgen
dan estrogen. Seorang wanita primipara dan obesitas dinyatakan
memiliki kadar estradiol bebas yang lebih tinggi (Van der, 2012).
Padahal peningkatan paparan estrogen semasa intauterin diindikasikan
akan menyebabkan ketidaknormalan reproduksi laki-laki seperti
terjadinya hipospadia akibat kerusakan perkembangan sel leydig serta
terjadi supresi produksi testosterone atau ekspresi reseptor androgen.

l. Faktor Fetus terhadap Hipospadia


40

Bayi laki-laki yang lahir prematur, kembar, atau berat badan lahir
rendah memiliki hubungan dengan terjadinya hipospadia. Pada
sebagian besar kasus, bayi kembar dengan berat badan lahir rendah,
salah satunya kemungkinan besar mengalami hipospadia.
Insufisiensi plasenta telah dicatat pada berbagai studi terkait
dengan kejadian hipospadia. Human Chorionic Gonadotropin (hCG)
plasenta berfungsi menstimulasi steroidogenesis testis selama masa
fetus sebelum fetus memiliki axis pituitary–gonadal mandiri.
Insufisiensi plasenta menyebabkan ketidakcukupan hCG dan Intra
Uterin Growth Retardation (IUGR), yang memungkinkan penjelasan
tentang hubungan antara hipospadia dan berat badan lahir rendah serta
small for gestational age (SGA) yang konsisten, meskipun beberapa
data penelitian menunjukkan data yang tidak signifikan (Jin Ye, 2010).
Salah satu hipotesis menyatakan bahwa hormon hCG secara normal
akan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan genitalia ekterna
laki-laki secara sempurna, termasuk perkembangan urethra selama
minggu ke-14 kehamilan. Insufisiensi plasenta dapat mengurangi suplai
hCG ke fetus yang berakhir terjadinya hipospadia. Walaupun, studi lain
menyatakan bahwa insufisiensi plasenta berhubungan dengan level
hCG serum ibu yang tinggi (Yinon, 2010).
Peningkatan frekuensi infark plasenta akibat berat badan lahir
sangat rendah dan onset dini pada IUGR, serta SGA berhubungan
dengan insufisiensi plasenta yang lebih sering terjadi pada kasus
hipospadia posterior. Riwayat kelahiran prematur yang berhubungan
dengan disfungsi plasenta yang terlambat, juga dinyatakan berhubungan
dengan terjadinya hipospadia. Meskipun studi lainnya menyatakan
tidak mengkonfirmasi tentang hal tersebut.
Sebuah studi menyatakan bahwa terdapat korelasi antara tingkat
keparahan IUGR dengan tingkat keparahan hipospadia. Secara
signifikan, dinyatakan bahwa bayi dengan hipospadia yang memiliki
berat badan ketika lahir kurang dari persentil tiga dan berat badan lahir
rendah dibandingkan dengan bayi hipospadia yang sedang dan ringan:
41

94% (17/18) dibanding 55% (6/11) dengan p = 0.02.56 Dengan


demikian disimpulkan bahwa hipospadia berkaitan dengan IUGR yang
disebabkan oleh insufisiensi plasenta (Yinon, 2010).

m. Konseling genetik pada pasien Hipospadia


Diagnosis hipospadia pada bayi baru lahir tidak serta merta
langsung dikenali, perlu pemeriksaan seksama dari dokter maupun
bidan sebagai penolong persalinan. Hipospadia berat seringkali
menyulitkan penolong persalinan dalam menentukan jenis kelamin si
bayi. Dalam hal ini pemeriksaan kromosom untuk menentukan jenis
kelamin perlu dilakukan. Selain itu dari pemeriksaan kromosom ini
dapat terdeteksi kelainan lain yang mungkin terkait. Orang tua bayi
perlu mendapatkan informasi yang jelas perihal kelainan yang dialami
anaknya. Beberapa informasi yang perlu diperoleh orang tua bayi antara
lain kepastian jenis kelamin anaknya (perlu dilakukan karyotiping),
jenis kelainan yang dialami anaknya (dalam hal ini adalah kelainan
muara kencing yang tidak normal), penyebab terjadinya kelainan
tersebut dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi. Angka insiden
kelainan hipospadia di dunia pada umumnya maupun di Indonesia dapat
diberikan dengan tujuan meningkatkan kesadaran orang tua akan
kelainan ini dan menumbuhkan optimisme untuk mencari pertolongan.
Walaupun kelainan hipospadia dapat diperbaiki dengan pembedahan
namun orang tua perlu tahu bahwa tidak semua pembedahan berakhir
sesuai harapan. Kesulitan-kesulitan pasien hipospadia post-operasi
biasanya dialami setelah mereka dewasa seperti kesulitan pengosongan
urin, fungsi seksual, kepercayaan diri dan masalah psikoseksual.

n. Terapi
42

Intervensi bedah direkomendasikan untuk bentuk hipospadia


sedang dan berat, serta hipospadia distal dengan derajat kurvatura penis
yang berat dan stenosis meatal. Pada hipospadia distal sederhana,
koreksi kosmetik hanya dilakukan setelah diskusi menyeluruh
mengenai aspek psikologis dan harapan tampilan kosmetik yang lebih
baik.
Tujuan terapi adalah untuk mengkoreksi kurvatura penis, untuk
membentuk neo-uretra dan untuk menempatkan muara neo-uretra ke
ujung glans penis jika memungkinkan. Untuk mencapai hasil yang
memuaskan diperlukan kaca pembesar dan benang jahit khusus,
pengetahuan mengenai berbagai teknik operasi plastik (rotational skin
flaps, free tissue transfer), penggunaan dermatom, perawatan luka, dan
terapi pasca operasi. Operasi dapat mulai dikerjakan saat usia anak 6
bulan dan diharapkan operasi selesai sebelum usia sekolah. Terapi pre-
operasi dengan testosteron dapat membantu untuk memperbesar penis
sehingga dapat memudahkan operasi. Terdapat beberapa pilihan teknik
operasi untuk hipospadia distal yaitu Mathieu, MAGPI, King, Duplay,
Snodgrass, dan Onlay.
Apabila masih terdapat kurvatura setelah dilakukan kordektomi
atau sisa kulit saluran uretra yang terbuka tipis dan sirkulasinya buruk,
mungkin diperlukan transeksi lempeng uretra. Pada disproporsi
korporeal, harus ditambahkan tindakan orthoplasty (modifikasi plikasi
korporeal dorsal Nesbit atau Baskin). Orthoplasty (Nesbit, modifikasi
Nesbit, Schroder-Essed) dan penutupan dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan dalam dua tahap. Teknik Onlay dengan preservasi lempeng
uretra dan menghindari anastomosis sirkumferensial merupakan
metode pilihan dengan tingkat komplikasi yang rendah untuk
hipospadia. Syarat yang diperlukan untuk dilakukan teknik di atas
adalah lempeng uretra yang intak dengan vaskularisasi yang baik, atau
hasil yang memuaskan setelah tindakan pertama dengan penis yang
lurus dan batang penis yang tertutup dengan baik. Jika lempeng uretra
tidak dapat dipertahankan semua (setelah eksisi kordae), digunakan
43

tube-onlay flap atau operasi bertahap. Jika tidak ada prepusium atau
kulit penis, dapat digunakan mukosa bukal, mukosa buli, dan free skin
graft.
Benang yang digunakan sebaiknya hanya dari bahan yang dapat
diserap dengan baik (6/0-7/0). Untuk koagulasi darah, sebaiknya
menggunakan alat bipolar. Untuk glanuloplasti dan meatoplasti dapat
diberikan infittrasi dengan larutan epinefrin 1:100.000 atau
menggunakan tourniquet. Setelah preparasi neurovaskular dorsal,
dipasang jahitan modifikasi Nesbit (benang monofilamen yang tidak
dapat diserap 4/0-5/0) dengan simpul terlipat ke dalam. Urin dialirkan
melalui kateter transuretra atau suprapubik. Jika menggunakan kateter
suprapubik, harus dipasang stent pada neo-uretra. Untuk stent uretra
dan drainase, digunakan stent yang berukuran 8-10 Fr dan apabila
diperlukan dengan lubang multipel di bagian samping dengan ujung di
uretra pars bulbosa (tidak sampai ke buli). Prosedur rutin lainnya adalah
penggunaan balutan sirkular dengan kompresi ringan dan pemberian
antibiotik.
Perbaikan hipospadia dapat dilakukan dalam jangka penuh, bayi
sehat setiap saatdari 3 bulan. Bayi prematur umumnya operasi
dilakukan pada usia 6 bulan atau lebih.
44

Gambar 2.8 Alogarirma Penatalaksanaan Hipospadia

o. Teknik Operasi
Teknik pembedahan hipospadia telah dikenal memiliki beberapa
macam teknik. Pada umumnya operasi hipospadia dilakukan dengan
tahap berikut.
1) Chordectomy atau orthoplasty, yaitu dilakukan eksisi chordee dari
muara uretra sampai glans penis. Setelah eksisi chordee, penis akan
lurus tetapi meatus uretra eksternal masih terletak abnormal. Untuk
melihat keberhasilan eksisi dilakukan tes ereksi buatan dengan
menyuntikkan NaCl 0,9% ke dalam korpus kavernosum;
2) Uretroplasti, yaitu membuat muara uretra eksterna di ujung glans
penis. Biasanya dilakukan enam bulan pasca operasi pertama. Uretra
dibuat dari kulit penis bagian ventral yang di insisi secara
longitudinal paralel di kedua sisi.
45

Kedua tahap tersebut dapat dilakukan secara bersamaan yang


disebut operasi satu tahap. Jika dilakukan secara terpisah maka disebut
operasi dua tahap (Mouriquand dalam Gearhart et al., 2010).
Pemilihan teknik operasi yang tepat sesuai kondisi hipospadia
memiliki peranan penting dalam keberhasilan operasi dan mencegah
terjadinya komplikasi. Teknik operasi hipospadia pada umumnya
terbagi berdasarkan prosedur rekonstruksi uretra, yaitu teknik
advancement, tubularisasi, dan penggunaan flap atau graft. Untuk tipe
hipospadia distal, salah stau teknik advancement yang digunakan adalah
MAGPI (Meatal Advancement and Glanuloplasty Incorporated)
(Mouriquand dalam Gearhart et al., 2010). Teknik tersebut merupakan
teknik terbanyak yang digunakan pada tipe glanular dengan jumlah
kasus komplikasi yang sedikit. Teknik operasi lain yang juga digunakan
pada tipe distal adalah teknik tubularisasi, yaitu TIP (Tubularized
Incised Plate). Teknik TIP juga banya digunakan pada tipe distal
dengan risiko komplikasi yang rendah dengan hasil kosmetik yang lebih
baik. Namun teknik ini kurang sesuai jika digunakan pada dua tahap
(Mouriquand dalam Gearhart et al., 2010).
Teknik tubularisasi lainnya untuk tipe distal adalah, GAP (Glans
Approximation Plasty). Teknik GAP dapat dilakukan pada urethral
plate yang cukup lebar sehingga dapat langsung ditutup tanpa
membutuhkan insisi pada plate. Teknik flap untuk hipospadia distal
adalah teknik Mathieu. Pada hipospadia midshaft dapat menggunakan
teknik Onlay Island Flap. Sementara untuk tipe proksimal dapat
dilakukan dengan teknik TIF (Transverse Island Flap), TIP, dan teknik
Koyagi-Nonomura dengan satu tahap operasi. Tipe proksimal juga
dapat dilakukan dengan dua tahap operasi menggunakan teknik Bracka.
Pemilihan teknik operasi yang tepat sesuai tipe operasi dan kemampuan
ahli bedah yang menangani sangat berperan dalam keberhasilan operasi
dan mencegh komplikasi pasca operasi (Mouriquand dalam Gearhart et
al., 2010).
46

p. Komplikasi
Penyempitan meatus setelah splint dilepas dapat dikoreksi dengan
dilatasi secara berkala. Intervensi bedah diperlukan untuk kasus dengan
skar meatus dimana tindakan dilatasi tidak efektif untuk jangka
panjang. Untuk striktur uretra sebaiknya dilakukan operasi terbuka
setelah satu kali usaha urethrotomi intema gagal. Jika terjadi fistula,
revisi sebaiknya dilakukan setelah 6 bulan.
1) Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat
kelamin dalam 1 jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri
sexsual tertentu).
2) Infertility
3) Resiko hernia inguinalis
4) Gangguan psikologis dan psikososial
5) Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat
dewasa.

B. Teori Manajemen Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir


Penerapan menejemen kebidanan menurut Varney (2008), meliputi
pengkajian, interpretasi data, diagnosa potensial dan tindakan antisipasi segera
untuk mencegahya, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan dan evaluasi.
1) Pengkajian
Pengkajian atau pengunpulan data dasar adalah mengumpulkan semua
data yang dibutuhkan untuk mengevaluasi keadaan pasien.
2) Interpretasi data
Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosa
atau masalah dan kebutuhan klien bedasarkan interpretasi data yang benar
atas data-data yang dikumpulkan (Sujiyatini, 2009).
Data dasar
Diagnosa : Kesimpulan dari data subjektif dan objektif menunjukan
hasil apakah mengarah pada hipospadia.
Masalah : Masalah yang muncul akibat hipospadia.
Kebutuhan : Kebutuhan yang harus diberikan dari masalah yang ada.
47

3) Diagnosa potensial
Pada langkah ini mengidentifikasi masalah atau diagnosa potensial
lain bedasarkan rangkaian masalah dan diagnosa yang sudah teridentifikasi,
langkah ini membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan
pencegahan, sambil mengamati lien bidan diharapkan dapat bersiap-siap
bila diagnosa/ masalah potensial benar-benar terjadi (Sujiyatini, 2009).
4) Identifikasi kebutuhan akan tindakan segera atau kolaborasi dan konsultasi
Pada langkah ini merupakan kelanjutan menejemen terhadap diagnosa
atau masalah yang telah diidentifikasi atau antisipasi, pada langkah ini
informasi/data dasar yang tidak lengkap dilengkapi (Sujiyatini, 2009).
Dari diagnosa potensial kubutuhan segera untuk mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat akibat hipospadia, yang dapat menimbulkan
komplikasi pada bayi.
5) Perencanaan
Pelaksanaan asuhan kebidanan patologi bayi baru lahir dengan
hipospadia.
6) Pelaksanaan
Langkah ini merupakan pelaksanaan rencana asuhan kebidanan yang
telah di buat sesuai dengan masalah yang ada seperti yang dituliskan diatas.
7) Evaluasi
Pada langkah ini dinilai keefektifan asuhan yang telah diberikan,
apakah telah memenuhi kebutuhan asuhan yang telah teridentifikasi dalam
diagnosis maupun masalah (Muslihatun, dkk, 2009).

C. Teori EBM pada Asuhan Kebidanan yang diterapkan dalam Askeb Bayi
Baru Lahir
Penatalaksanaan satu-satunya untuk kondisi hipospadia adalah dengan
operasi, yang bertujuan untuk memperbaiki secara fungsional dan kosmetik.
Teknik operasi yang paling banyak digunakan saat ini adalah yang
diperkenalkan oleh Snodgrass tahun 1994, yaitu teknik tubularized incised
plate (TIP) (Tarmono, 2016). Secara umum tekniknya adalah dengan
melakukan insisi midline sampai ke urethral plate melebarkannya sampai
48

mencukupi untuk dibentuk menjadi neo urethra. Sejumlah penelitian


menyebutkan bahwa teknik ini memberikan angka komplikasi yang cukup
rendah dan angka keberhasilan yang cukup tinggi (Subramaniam, 2011 dalam
Saksono, 2017).
Tujuan terapi adalah untuk mengkoreksi kurvatura penis, untuk
membentuk neo-uretra dan untuk menempatkan muara neo-uretra ke ujung
glans penis jika memungkinkan. Untuk mencapai hasil yang memuaskan
diperlukan kaca pembesar dan benang jahit khusus, pengetahuan mengenai
berbagai teknik operasi plastik (rotational skin flaps, free tissue transfer),
penggunaan dermatom, perawatan luka, dan terapi pasca operasi. Operasi
dapat mulai dikerjakan saat usia anak 6 bulan dan diharapkan operasi selesai
sebelum usia sekolah. Terapi pre-operasi dengan testosteron dapat membantu
untuk memperbesar penis sehingga dapat memudahkan operasi. Terdapat
beberapa pilihan teknik operasi untuk hipospadia distal yaitu Mathieu,
MAGPI, King, Duplay, Snodgrass, dan Onlay.
Beberapa faktor secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi
usia operasi pada kasus hipospadia anak. Menurut American of Pediatrics
usia operasi hipospadia yang direkomendasikan adalah 6-12 bulan pada bayi
yang lahir dengan sehat (Stein, 2012). Sementara, menurut European
Asscotiation of Urology (2011) usia yang direkomendasikan untuk
penanganan hipospadia adalah 6-18 bulan. Hal penting yang menjadi
pertimbangan memilih usia operasi adalah manfaat dan risiko dari anestesi
maupun pembedahan. Kedua hal tersebut dikaitkan dengan dampak
psikologis dari operasi alat kelamin pada usia anak. Satu tahun pertama
kehidupan adalah waktu terbentuknya hubungan orang tua dan anak yang
kuat. Pada usia 6-15 bulan mungkin relatif tidak berisiko dalam
perkembangan emosional untuk dilakukan pembedahan hipospadia.
Anak-anak dengan hipospadia memiliki masa puber dan pertumbuhan
seks sekunder yang normal. Penderita hipospadia memiliki fungsi testis dan
androgen yang normal. Aktivitas seksual cukup memuaskan dan fertilitas
tidak terpengaruh kecuali penderita memiliki kelainan lain yang berkaitan
(Krisna, dkk. 2017).
49

MAGPI (Meatal Advancement and Glanuloplasty Incorporated)


Teknik MAGPI ini dapat digunakan untuk pasien dengan hipospadia
glanular dan subcoronal. Pada teknik MAGPI dilakukan sayatan sekeliling
subcoronal sekitar sentimeter dari proksimal ke meatus uretra. Kemudian di
persimpangan penoscrotal, setiap jaringan chordee direseksi dan dilakukan
ssayatan longitudinal pada aspek dorsal meatus. Bagian dorsal alur glans
(glans groove) ditutup dengan cara melintang Heineke-Mikulicz yang
menaikkann meatus ke ujung distal alur glans dengan menggunakan benang
resorbable 6.0 atau 7.0. Glans wings dibentuk di glans penis dan
glanuloplasti dilakukan dengan dua lapis jahitan pada glans wings dengan
menggabungkan bagian ventral uretra pada jahitan paling distal, dan
memberikan aspek kerucut. Langkah terakhir adalah melakukan jahitan
sirkumsisi. Angka kejadian komplikasi dari teknik MAGPI sebesar 16,7%,
yaitu 8,3% retraksi meatus, 4,1% glans dehiscence, 4,1% infeksi luka.

TIP (Tubularized Incised Plate)


Tubularized Incised Plate (TIP) adalah teknik modifikasi yang
ditemukan oleh Snodgrass. Teknik ini biasanya dipakai untuk mengkoreksi
hipospadia yang muara uretranya ada di midshaft, atau shaft penis yang
letaknya di distal. Prinsip dasar teknik ini adalah membuat insisi garis tengah
sampai ke urethral plate yang disesuaikan sehingga bidang yang dihasilkan
dapat dibuat suatu neourethra. Sejalan dengan perkembangan teknologi dan
material bedah, teknik ini mulai banyak digunakan untuk hipospadia
proksimal dengan hasil operasi yang cukup baik.
Tahapan operasi TIP secara umum, yaitu pertama identifikasi dari
urethral plate, buat rancangan bagian yang akan diinsisi. Kemudian
melakukan insisi longitudinal pada kedua sisi urethral plate sepanjang garis
batas urethral plate dan glans wing. Selanjutnya yang sangat penting adalah
membuat insisi pada garis tengah urethral plate. Kemudian dilakukan
pemasangan stent sebagai penyangga uretra baru, dan dilanjutkan dengan
dilakukan penjahitan tubularisasi. Jahitan pada uretra baru kemudian dilapisi
dengan flap dari fascia dartos, kemudian ditutup dengan kulit. Komplikasi
50

fistula uretrokutaneus dengan menggunakan teknik TIP pada tipe hipospadia


distal dan proksimal sebesar 10-21%.

Onlay Island Flap


Teknik onlay island flap berevolusi dari transverse preputial island flap
yang dapat dilakukan dengan diseksi jaringan subkutan kulit penis dan plikasi
garis tengah pada bagian dorsal. Suplai darah pada penggunan teknik onlay
island flap sangat mudah didapatkan melalui jaringan kutaneus prepusium
pada bagian dorsal penis dengan arah longitudinal. Pada perbaikan hipospadia
yang lebih pendek, vaskularisasi teknik onlay island flap dapat dibuat dari
satu setengah dari jaringan prepusium dan meninggalkan setengahnya untuk
penutupan sekunder. Penutupan sekunder menggunaka onlay flap dapat
digunakan untuk menutupi jahitan yang terbuka. Flap akan mengalami
epitelisasi dan dijahit di atas uretroplasti untuk mencegah fistula. Tingkat
komplikasi pasca operasi hipospadia dengan menggunakan teknik onlay
island flap sebesar 6-32% (Stein, 2012).

Prosedur Mathieu
Prosedur Mathieu dimulai dengan mengukur panjang defek uretra dari
meatus ke ujung glans. Jarak yang sama ditarik pada kulit proksimal penis, di
sepanjang urethral plate. Kemudian, insisi dilakukan sepanjang tanda
tersebut. Lebar yang sesuai biasanya 7 sampai 8 mm diukur untuk flap
proksimal, lebar ini dikecilkan menjadi 5 sampai 6 mm pada bagian distal
glans.. Pembedahan pada jaringan subkutan dari flap dilakukan dengan hati-
hati agar memungkinkan flap dibawa ke ujung glans. Flap dilipat ke meatus
dan jahitan berjalan mendekati flap ke garis lateral urethral plate. Jaringan
flap dartos digunakan untuk menutupi jahitan dan glans wings, dan jahitan
sirkumsisi dapat dilakukan. Angka terjadinya komplikasi dengan prosedur ini
adalah jarang dengan masing-masing, striktura distal (1%), fistula
uretrokutaneus (1%) dan retraksi meatus (0,5%) (Mouriquand et al., 2010).
51

BAB III
TINJAUAN KASUS

ASUHAN KEBIDANANBAYI BARU LAHIR PATOLOGI PADA BY. NY.


A DENGAN HIPOSPADIA DI PUSKESMAS PLUPUH 1

No register : 1234567
Tanggal masuk : 09 Juli 2020
Tanggal Pengkajian : 09 Juli 2020

A. Data Subyektif
1. Identitas
Nama Bayi : By. Ny. M
Anak ke :2
Umur Bayi : 1 hari
Tgl/jam lahir : 09 Juli 2020/ 14.00 WIB
Jenis kelamin : Laki-laki
Berat badan : 2700 gr
Panjang badan : 48 cm

Nama Ibu : Ny. M Nama Suami : Tn. P


Umur : 32 tahun Umur : 32 tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa/WNI Suku/bangsa : Jawa/WNI
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Buruh Pabrik Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : jl. Sui. Sengkuang rt/rw: 001/001

2. Anamnesa
PADA IBU
a. Riwayat kehamilan sekarang
1) HPHT : 10 Oktober 2019
2) HPL : 16 Juli 2020
52

3) Keluhan pada
a) Trimester I : Tidak ada
b) Trimester II : Sering kencing + nyeri pinggang
c) Trimester III : Nyeri pinggang
4) ANC : 15 X Teratur
5) Penyuluhan yang pernah didapat : Tanda bahaya kehamilan, nutrisi
6) Imunisasi TT :5 X
b. Riwayat persalinan ini
1) Tempat persalinan : PMB Julia Penolong : Bidan
2) Jenis Persalinan : Spontan
3) Kompliksi/kelainan dalam persalinan : Tidak ada
c. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit saat hamil : Tidak ada
2) Riwayat penyakit sistemik
a) Jantung : Tidak ada
b) Ginjal : Tidak ada
c) Asma : Tidak ada
d) TBC : Tidak ada
e) Hepatitis : Tidak ada
f) DM : Tidak ada
g) Hipertensi : Tidak ada
h) Epilepsi : Tidak ada
i) Lain-lain : Tidak ada
3) Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada
4) Riwayat keturunan kembar : Tidak ada
5) Riwayat operasi : Tidak ada
53

B. Data Obyektif
1. Riwayat pemeriksaan khusus

NILAI JUMLAH
ASPEK YANG
Menit Menit
DINILAI 0 1 2
I II
Apperance Biru/ Badan merah Badan dan 1 1
(warna kulit) pucat muda, ekstremitas
ekstremitas merah muda
biru
Pulse Tidak < 100  100 2 2
(denyut jantung) teraba
Grimance Tidak ada Lambat Menangis 2 2
(refleks) kuat
Activity Lemas/ Gerakan Aktif/ fleksi 1 2
(Aktivitas) lumpuh sedikit/ fleksi tungkai baik/
tungkai reaksi
melawan
Respiratory Tidak ada Lambat, Baik, 1 2
(pernafasan) tidak teratur menangis
kuat
JUMLAH 7 9

2. Pemeriksaan umum
a. Suhu : 36,80 C Jam : 15.00 WIB
b. Pernafasan : 45 x/mnt Sifat : Teratur
c. Nadi : 126 x/mnt Sifat : Teratur
3. Pemeriksaan fisik sistematis

a. Kepala : Simetris kiri dan kanan, tidak ada caput succedeneum,


tidak ada chepal hematoma
b. Ubun-ubun : UUB belum menutup rambut hitam tipis dan halus,
moulase 0
c. Muka : Wajah menyeringai, tidak ada oedema, bersih
d. Mata : Simetris kiri dan kanan, pupil mata bereaksi dengan
baik, sklera putih dan tidak ikterik, dan konjungtiva
merah muda, tidak ada tanda-tanda infeksi.
e. Telinga : Simetris kiri dan kanan, bersih, tidak ada pengeluaran
lendir dan cairan
54

f. Mulut : Refleks menghisap lemah, tidak ada lendir, tidak ada


kelainan pada pallatum, bibir pucat
g. Hidung : Tidak ada pernafasan cuping hidung
h. Leher : Tidak ada pembesaran, pembengkakan dan nyeri tekan
ditandai dengan bayi tidak menangis
i. Dada : Auskultasi jantung paru baik, simetris kiri dan kanan,
tidak ada retraksi dinding dada, tidak ada tonjolan
j. Abdomen : Tidak ada perdarahan tali pusat, tidak ada tanda
infeksi, tali pusat masih basah
k. Punggung : Tidak ada tonjolan pada tulang punggung, tidak ada
spina bifida
l. Ektremitas : Gerakan normal (+/+), jumlah jari lengkap (+/+),
pergerakan aktif (+/+)
m. Genetalia : Penis, kepala penis berbentuk lebih datar, penis
melengkung kebawah, lubang penis tidak terdapat di
ujung penis, tetapi berada di glandular (letak meatus
ekterna hanya turun sedikit pada bagian ventral gland
penis), penis tampak seperti berkerudung karena
adanya kelainan pada kulit dengan penis, di skrotum
ada 2 testis
n. Anus : Tidak ada kelainan, lubang anus (+)
o. Eliminasi
BAB : Belum
BAK : Belum
4. Refleks
a. Reflek moro : (+), bila diangkat memperlihatkan gerakan memeluk
b. Reflek rooting : (+), bayi mencari benda yang ditempelkan kepipinya
c. Reflek sucking : (+), bayi menghisap dengan kuat
d. Reflek grasping : (+), bayi menggengam saat diberikan jari telunjuk
e. Reflek babinski : (+), saat telapak kaki disentuh maka jari kaki bergerak
f. Reflek tonic neck: (+), bayi dapat menggerak gerakkan kepalanya
55

5. Antropometri
a. Lingkar kepala : 36 cm
b. Lingkar dada : 36 cm
c. Lingkar lengan atas : 11 cm
d. BB/PB : 2700 gr/ 48 cm
6. Pemeriksaan penunjang : Tidak dilakukan

C. Analisa
By. Ny. M bayi baru lahir dengan hipospadia

1. Diagnosa potensial : Pseudohermatriditisme (alat kelamin dalam 1


jenis kelamin tetapi dengan beberapa ciri
seksual tertentu), Infertilitas, Risiko hernia
inguinalis, Gangguan psikologi dan psikososial.
2. DS
a) Ibu mengatakan bahwa lubang penis bayinya tidak pada tempatnya.
b) Ibu mengatakan bahwa penis bayinya seperti berkerudung dan
melengkung kebawah.
c) Ibu mengatakan merasa khawatir dengan keadaan bayinya.
3. DO
a) Pemeriksaan genetali : Kepala penis berbentuk lebih datar, penis
melengkung kebawah, lubang penis tidak
terdapat di ujung penis, tetapi berada di
glandular (letak meatus ekterna hanya turun
sedikit pada bagian ventral gland penis), penis
tampak seperti berkerudung karena adanya
kelainan pada kulit dengan penis.
4. Masalah
a) Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di glandular
(letak meatus ekterna hanya turun sedikit pada bagian ventral gland
penis).
b) Ibu tampak khawatir dengan keadaan bayinya
56

5. Kebutuhan
a) Berikan motivasi dan dukungan pada ibu dan keluarga
b) Lakukan rujukan untuk kolaborasi dengan dokter spesialis anak

D. Penatalaksanaan

Tanggal/ Rencana Implementasi Evaluasi


Jam
09/07/ Lakukan Segera setelah bayi lahir, keringkan Bayi merangkak
2020 inisiasi seluruh badan kecuali kedua mencari puting
(15.00
WIB) menyusu dini telapak tangan bayi kemudian susu ibu
letakkan bayi didada ibu untuk
melakukan inisiasi menyusui dini
Jelaskan pada Menjelaskan pada ibu tindakan Ibu mengerti dan
ibu tindakan yang akan dilakukan, seperti bersedia bayinya
yang akan melakukukan perawatan bayi dilakukan
dilakukan segera setelah lahir termasuk perawatan segera
pemeriksaan fisik dan antropometri, setelah lahir
injeksi vit K, serta pemberian salep
mata
Lakukan Melakukan pemeriksaan fisik Pemeriksaan pada
pemeriksaan pemeriksaan khusus, pemeriksaan bayi telah
fisik, umum, refleks dan pemeriksaan dilakukan
pemeriksaan antropometri pada bayi
khusus,
pemeriksaan
umum, refleks
dan
pemeriksaan
antropometri
pada bayi

Jelaskan hasil Menjelaskan hasil pemeriksaan Ibu mengetahui


pemeriksaan yang telah dilakukan, bahwa bayi hasil pemeriksaan
yang telah mengalami hipospadia, yaitu bayinya
keadaan dimana letak lubang
dilakukan
kencing pada bayi laki-laki tidak
normal. Kondisi ini merupakan
kelainan bawaan sejak lahir. Pada
kondisi normal, uretra (saluran
kencing) terletak tepat di ujung
penis. Tetapi pada bayi dengan
hipospadia, uretra berada di bagian
bawah penis.
57

Jelaskan pada Menjelaskan pada ibu dan keluarga Ibu mengerti


ibu dan bahwa keadaan hipospadia dapat dengan penjelasan
keluarga disembuhkan dengan melakukan yang diberikan dan
bahwa keadaan pembedahan pada bayi. Namun menerima dengan
hipospadia harus tetap menerima risiko yang risiko sebelum dan
dapat terjadi setelah dilakukan sesudah tindakan
disembuhkan pembedahan, karna tidak semua yang akan
dengan pembedahan dapat berjalan dengan dilakukan
melakukan baik. padabayinya
pembedahan
pada bayi
Berikan Memberikan motivasi dan Klien merasa
motivasi dan dukungan mental bagi ibu dan sedikit tenang
dukungan keluarga agar tidak khawatir
mental bagi dengan keadaan bayinya
ibu dan
keluarga
Lakukan Melakukan JAIKAN, yaitu Jaga JAIKAN telah
JAIKAN dan hangat tubuh bayi, Atur posisi bayi, dilakukan, suhu
mempertahank Isap lendir, Keringkan bayi, Atur tubuh bayi tetap
an suhu tubuh ulang posisi bayi, dan Nilai bayi, hangat (36,8oC)
bayi agar tetap segera setelah bayi lahir. Pastikan
hangat untuk untuk tetap mempertahankan suhu
mencegah tubuh bayi untuk mencegah
hipotermi hipotermi
Bersihkan bayi Membersihkan bayi dan melakukan Bayi sudah bersih.
dan lakukan perawatan tali pusat menggunakan Perawatan tali
perawatan tali kassa steril tanpa dibubuhi apa-apapusat telah di
pusat lakukan
Berikan salep Memberikan salep pada mata kanan Salep mata dan
mata dan dan kiri bayi, serta injeksi vit K injeksi vit K telah
injeksi vit K sebanyak 1 mg secara IM di vastus diberikan
pada bayi lateralis paha kiri
Berikan injeksi Memberikan injeksi Hb0 sebanyak Injeksi Hb0 telah
Hb0 pada bayi 0,5 ml secara IM di otot paha kanan diberikan
setelah 2 jam penyuntikkan vit K
Rapikan bayi Merapikan bayi dan memberikan Rooming in telah
dan berikan bayi pada ibu untuk dilakukan dilakukan
bayi pada ibu rooming in
untuk
dilakukan
rooming in
Observasi Mengobservasi pemantauan Tidak terdapat
pemantauan terdapat tanda bahaya, seperti: bayi tanda bahaya pada
terdapat tanda tidak bisa atau tidak mau menyusu, bayi baru lahir
bahaya pada kejang, mengantuk atau tidak sadar,
BBL frekuensi nafas < 20 x/mnt atau
58

apneu, frekuensi nafas > 60 x/mnt,


merintih, sianosis dan tarikan dada
bawah ke dalam yang kuat
Jelaskan Menjelaskan informed consent dan Klien menyetujui
informed informed choice kepada klien dan informed consent
consent dan keluarga untuk dilakukan rujukan dan informed
informed choice untuk
choice kepada dilakukan rujukan
klien dan
keluarga untuk
dilakukan
rujukan
Lakukan Melakukan rujukan untuk Rujukan telah
rujukan untuk berkolaborasi dengan dokter dilakukan
kolaborasi spesialis anak
dengan dokter
spesialis anak

Pembimbing Mahasiswa Praktikan

Ajeng Maharani P., SST., M.Keb Rizky Putri Andrianti


NIK. 201991231 NIM. 15901191013
59

BAB IV

PEMBAHASAN

Pengkajian data dasar pada kasus dilakukan saat pengamatan pertama kali
ketika ibu datang ke fasilitas kesehatan. Pengkajian meliputi anamnesis langsung
yang diperoleh dari ibu dan keluarga. Pengkajian data objektif diperoleh melalui
pemeriksaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik serta
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan USG. Pengkajian pada kasus ini dilanjutkan pada pendokumentasian.

Ny. M usia 32 tahun, baru saja melahirkan putra keduanya di PMB Julia. 1
jam kemudian dilakukan perawatan bayi baru lahir. Ibu mengatakan bahwa
lubang penis bayinya tidak pada tempatnya dan penis bayinya seperti berkerudung
dan melengkung kebawah. Ibu mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit
hipertensi, asma jantung dan diabetes, riwayat mengomsumsi obato-batan selama
hamil di sangkal klien. Selama hamil, nutrisi pasien terpenuhi dengan baik,
istirahat cukup, aktivitas pasien tetap melakukan pekerjaannya dan pekerjaan
rumah tangga. Ibu mengatakan bekerja di perusahaan pupuk dan peptisida.

Pemeriksaan fisik pada bayi didapatkan semua dalam batas normal, BB/PB:
2700gr/ 48cm, namun pada pemeriksaan genetalia didapatkan bahwa kepala penis
berbentuk lebih datar, penis melengkung kebawah, lubang penis tidak terdapat di
ujung penis, tetapi berada di glandular (letak meatus ekterna hanya turun sedikit
pada bagian ventral gland penis), dan penis tampak seperti berkerudung karena
adanya kelainan pada kulit dengan penis. Hasil pengkajian data subjektif dan
objektif yang diperoleh menunjukkan diagnosis bahwa By. Ny. M mengalami
hipospadia derajat pertama.

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa hipospadia adalah
malformasi yang umum terjadi di saluran genital laki-laki yang ditunjukan dengan
muara uretra yang abnormal dimana lokasi muara uretra/ostium uretra eksternum
(OUE) dapat berada di bagian anterior (glandular, coronal, dan distal penile),
bagian pertengahan, atau bagian posterior (penoscrotal, scrotal, perineal) dengan
60

derajat kurvatura penis yang berbeda. Hipospadia merupakan keadaan dimana


muara eksterna uretra terletak di sisi ventral penis yang proksimal dari ujung
glans, dari sulkus balanopreputial hingga ke area perineal (Sharma, 2013).
Kelainan ini diklasifikasikan menjadi ringan (glans atau penis) atau berat
(skrotum atau perineal) tergantung lokasi anatomi dari meatus uretra (Krisna,
2017). Kelainan ini terjadi akibat terlambatnya perkembangan fusi uretra pada
trimester 1 kehamilan (Sharma, 2013).

Faktor risiko penyebab hipospadia pada kasus diatas adalah ibu yang bekerja
di perusahaan pupuk dan peptisida. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa, riwayat pekerjaan di bidang agrikultural dan penggunaan obat nyamuk
meningkatkan paparan pestisida yang selanjutnya akan meningkatkan risiko
terjadinya hipospadia. Zat kimia yang banyak terdapat di lingkungan tersebut
telah dipelajari mengandung bahan yang dapat mengganggu endokrin (endocrine
disruptors). Endocrin disruptors merupakan bahan kimia yang dapat
menginterverensi hormonal. Menurut bukti studi pada hewan menunjukkan bahwa
endocrine disruptors tertentu dapat menyebabkan terjadinya hipospadia melalui
interferensi jalur sinyal androgen dan estrogen selama diferensiasi seksual. Selain
pestisida, fitoestrogen juga merupakan zat yang termasuk endocrine disruptors
yang dapat meningkatkan risiko terjadinya hipospadia (Carmichael, 2013). Studi
lainnya menyatakan bahwa peningkatan kerusakan sitogenik berhubungan dengan
peningkatan usia perempuan dengan paparan pekerjaan yang terkena pestisida.

Perkembangan saluran kemih pada minggu ke-7 sampai minggu ke-16 usia
kehamilan dipengaruhi oleh kadar hormon androgen dan esterogen. Faktor resiko
terjadinya hipospadia masih belum diketahui secara pasti, namun peranan genetik,
endokrin, dan lingkungan luar dapat mempengaruhi esterogen (Rittler, 2002
dalam Supangat, 2018).

Namun penelitian ini tidak didukung oleh penelitan yang dilakukan oleh
Tangkudung, dkk (2016), yang menyatakan bahwa tidak didapatkan hubungan
antara kejadian hipospadia dengan paparan pestisida terhadap lingkungan sekitar
yang dikatakan sebagai faktor risiko meningkatnya kejadian hipospadia.
Kelemahan dari penelitian yang dilakukan adalah terdapat keterbatasan dalam
61

menilai berapa lama paparan pestisida telah berlangsung. Selain itu, peneliti tidak
meneliti jenis pestisida yang digunakan. Beberapa jenis pestisida, antara lain
insektisida, fungisida, dan herbisida, diketahui dapat memberikan pengaruh pada
perkembangan hormon endokrin. Hal tersebut diakibatkan oleh sifat pestisida
yang anti androgenik. Meyer (2006), menyatakan hanya jenis tertentu dari
pestisida yang dapat meningkatkan risiko terjadinya hipospadia, yaitu diclofop-
methyl yang termasuk dalam pestisida jenis herbisida.

Komplikasi yang ditimbulkan dari hipospadia adalah Pseudohermatriditisme


(alat kelamin dalam 1 jenis kelamin tetapi dengan beberapa ciri seksual tertentu),
Infertilitas, Risiko hernia inguinalis, Gangguan psikologi dan psikososial, dan
Kesukaran dalam berhubungan seksual jika tidak dilakukan pembedahan pada
bayi.

Setelah dilakukan perawatan pada bayi baru lahir, seperti: pencegahan infeksi
membersihkan jalan nafas, penilaian apgar score, bayi normal akan menangis
spontan segera setelah lahir, memotong dan merawat tali pusat, mempertahankan
suhu tubuh bayi, inisiasi menyusu dini, pemberian vitamin K, pencegahan infeksi
mata, pemberian imunisasi, mulai pemberian ASI, pemeriksaan fisik bayi baru
lahir, pemantauan tanda bahaya dan pencegahan kehilangan panas melalui tunda
mandi selama 6 jam (Kemenkes RI, 2013), kemudian bayi dirujuk ke fasilitas
kesehatan yang lebih lengkap untuk dilakukan kolaborasi dengan dokter spesialis
anak untuk mendiagnosis pasti keadaan bayi. Ibu dan keluarga diberikan motivasi
dan dukungan mental untuk dapat menerima keadaan bayinya. Kemudian
diberikan penjelasan bahwa keadaan hipospadia dapat disembuhkan dengan
melakukan pembedahan. Namun harus tetap menerima risiko yang terjadi setelah
dilakukan pembedahan, karna tidak semua pembedahan dapat berjalan dengan
baik.

Penatalaksanaan satu-satunya untuk kondisi hipospadia adalah dengan


operasi, yang bertujuan untuk memperbaiki secara fungsional dan kosmetik.
Teknik operasi yang paling banyak digunakan saat ini adalah yang diperkenalkan
oleh Snodgrass tahun 1994, yaitu teknik tubularized incised plate (TIP)
(Andersson, 2015). Secara umum tekniknya adalah dengan melakukan insisi
62

midline sampai ke urethral plate melebarkannya sampai mencukupi untuk


dibentuk menjadi neo urethra. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa teknik ini
memberikan angka komplikasi yang cukup rendah dan angka keberhasilan yang
cukup tinggi (Subramaniam, 2011 dalam Saksono, 2017).

Tujuan terapi adalah untuk mengkoreksi kurvatura penis, untuk membentuk


neo-uretra dan untuk menempatkan muara neo-uretra ke ujung glans penis jika
memungkinkan. Untuk mencapai hasil yang memuaskan diperlukan kaca
pembesar dan benang jahit khusus, pengetahuan mengenai berbagai teknik operasi
plastik (rotational skin flaps, free tissue transfer), penggunaan dermatom,
perawatan luka, dan terapi pasca operasi. Operasi dapat mulai dikerjakan saat usia
anak 6 bulan dan diharapkan operasi selesai sebelum usia sekolah. Terapi pre-
operasi dengan testosteron dapat membantu untuk memperbesar penis sehingga
dapat memudahkan operasi. Terdapat beberapa pilihan teknik operasi untuk
hipospadia distal yaitu Mathieu, MAGPI, King, Duplay, Snodgrass, dan Onlay.
63

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
Hipospadia adalah malformasi yang umum terjadi di saluran genital laki-
laki yang ditunjukan dengan muara uretra yang abnormal dimana lokasi
muara uretra/ostium uretra eksternum (OUE) dapat berada di bagian anterior
(glandular, coronal, dan distal penile), bagian pertengahan, atau bagian
posterior (penoscrotal, scrotal, perineal) dengan derajat kurvatura penis yang
berbeda. Hipospadia merupakan keadaan dimana muara eksterna uretra
terletak di sisi ventral penis yang proksimal dari ujung glans, dari sulkus
balanopreputial hingga ke area perineal (Sharma, 2013). Kelainan ini
diklasifikasikan menjadi ringan (glans atau penis) atau berat (skrotum atau
perineal) tergantung lokasi anatomi dari meatus uretra (Krisna, 2017).
Kelainan ini terjadi akibat terlambatnya perkembangan fusi uretra pada
trimester 1 kehamilan (Sharma, 2013).
Penatalaksanaan satu-satunya untuk kondisi hipospadia adalah dengan
operasi, yang bertujuan untuk memperbaiki secara fungsional dan kosmetik.
Teknik operasi yang paling banyak digunakan saat ini adalah yang
diperkenalkan oleh Snodgrass tahun 1994, yaitu teknik tubularized incised
plate (TIP) (Andersson, 2015). Secara umum tekniknya adalah dengan
melakukan insisi midline sampai ke urethral plate melebarkannya sampai
mencukupi untuk dibentuk menjadi neo urethra. Sejumlah penelitian
menyebutkan bahwa teknik ini memberikan angka komplikasi yang cukup
rendah dan angka keberhasilan yang cukup tinggi (Subramaniam, 2011 dalam
Saksono, 2017).
Tujuan terapi adalah untuk mengkoreksi kurvatura penis, untuk
membentuk neo-uretra dan untuk menempatkan muara neo-uretra ke ujung
glans penis jika memungkinkan. Untuk mencapai hasil yang memuaskan
diperlukan kaca pembesar dan benang jahit khusus, pengetahuan mengenai
berbagai teknik operasi plastik (rotational skin flaps, free tissue transfer),
64

penggunaan dermatom, perawatan luka, dan terapi pasca operasi. Operasi


dapat mulai dikerjakan saat usia anak 6 bulan dan diharapkan operasi selesai
sebelum usia sekolah. Terapi pre-operasi dengan testosteron dapat membantu
untuk memperbesar penis sehingga dapat memudahkan operasi. Terdapat
beberapa pilihan teknik operasi untuk hipospadia distal yaitu Mathieu,
MAGPI, King, Duplay, Snodgrass, dan Onlay.

B. Saran
1. Bagi Fasilitas Kesehatan
Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi lahan peraktek dalam
rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan pelaksanan
Asuhan kebidanan patologi pada bayi baru lahir dengan hipospadia sesuai
standar pelayanan.
2. Bagi Ibu
Diharapkan ibu mengerti mengenai pentingnya perawatan bayi baru
lahir agar bayi mendapatkan perawatan yang sesuai dan diberikan asuhan
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan ibu dan bayi.
65

DAFTAR PUSTAKA

Andersson M, Doroszkiewicz M, Arfwidsson C, Abrahamsson K, Sillen U dan


Holmdahl G. 2015. Normalized Urinary Flow at Puberty after Tubularized
Incised Plate Urethroplasty for Hypospadias in Childhood. J Urol 194(5):
1407-13. Sahlgrenska Academy at the University of Gothenburg.
https://www.auajournals.org/doi/pdf/10.1016/j.juro.2015.06.072, diakses
tanggal 11 Juli 2020
Armini. 2017. Asuhan Kebidanan neonatus, Bayi, balita & Anak Prasekolah.
Yogyakarta: ANDI
Ballard JK. 1991. New Ballard Score, Expanded to include extremely premature
infants. Journal Pediatrics 119(3): 417-423. University of Cincinnati
College of Medicine.
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S002234760582056,
diakses 11 Juli 2020
Carmichael SL, Witte JS, Ma C, Lammer EJ, Shaw GM. 2014. Hypospadias and
variants in genes related to sex hormone biosynthesis and metabolism.
Andrology 2(1):130–137. Stanford University School of Medicine.
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.2047-2927.2013.00165.x,
diakses tanggal 11 Juli 2020
Depkes RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta
Dewi V. 2014. Resusitasi Neonatus. Jakarta: Salemba Medika
Dwienda. 2014. Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi/Balita dan Anak Prasekolah
Untuk Para Bidan. Yogyakarta: Deepublish
Erin MS, John MGJB. 2014. Review of genetic and environmental factors leading
to hypospadias. Eur J Med Genet 57(8):453-463.
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1769721214000445?
via%3Dihub, diakses tanggal 11 Juli 2020
European Association of Urology. 2011. Guidelines of Pediatric Urology.
http://www.uroweb.org/gls/pdf/23%20Paediatric%20Urology_LR
%20March%20%2025th.pdf, diakses tanggal 09 Juli 2020
Fraser DM & Cooper MA. 2012. Buku Saku Praktik Klinik Kebidanan. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC
Holmes LB. 2012. Common malformations. Oxford Medicine. Oxford University
Press: 139-144.
https://oxfordmedicine.com/view/10.1093/med/9780195136029.001.0001/
med-9780195136029, diakses tanggal 11 Juli 2020
Indrayani dan Djami. 2013. Asuhan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Jakarta:
TIM
66

Kemenkes RI. 2016. Profil Data Kesehatan Indonesia tahun 2016. Pusat Data dan
Informasi Kemenkes RI. Jakarta
Lissauer dan Fanaroff. 2013. Selayang Neonatologi. Jakarta: PT Indeks
Li Y, Mao M, Dai L, Li K, Li X, Zhou , Wang Y, Li Q, He C, Liang J dan Zhu J.
2012. Time trends and geographic variations in the prevalence of
hypospadias in China. Birth Defects Res A Clin Mol Teratol 94(1): 36–41.
Changjiang Scholars and Innovative Research Team in University.
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/bdra.22854, diakses tanggal
11 Juli 2020
Jin L, Ye R, Zheng J, Hong S dan Ren A. 2010. Secular trends of hypospadias
prevalence and factors associated with it in southeast China during 1993–
2005. Clinical and Moecularl Teratology 88(6): 458–465. Peking
University Health Science Center.
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/bdra.20673, diakses tanggal
11 Juli 2020
Krisna DM dan Maulana A. 2017. Hipospadia: Bagaimana Karakteristiknya di
Indonesia. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana 2(2): 325-333.
Universitas Mataram.
https://bikdw.ukdw.ac.id/index.php/bikdw/article/download/52/42, diakses
tanggal 11 Juli 2020
Maritska Z. 2015. Peranan CAG Repeat Gen Androgen Receptor Pada
Hipospadia. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan 2(1): 151-156. Universitas
Sriwijaya Palembang. https://media.neliti.com/media/publications/181676-
ID-peranan-cag-repeat-gen-androgen-receptor.pdf, diakses tanggal 11 Juli
2020
Marmi dan Rahardjo. 2014. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Meyer KJ, Eif JS, Nuckols JR. 2006. Pesticide use and hypospadias in eastern
Arkansas. Environ Health Perspect 114(10): 1589-1595. Colorado State
University. https://ehp.niehs.nih.gov/doi/pdf/10.1289/ehp.9146, diakses
tanggal 11 Juli 2020
Mouriquand P, Gearhart, John, dan Rink. 2010. Pediatric Urology 2nd Edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier
. 2009. Dokumentasi Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya
Muslihatun WN. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta: Fitramaya
Nissen KB, Udesen A, Garne E. 2015. Hypospadias: Prevalence, birthweight and
associated major congenital anomalies. Congenialt Anomalies 55(1): 37–41.
Odense University Hospital.
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/cga.12071, diakses tanggal
11 Juli 2020
67

Prawirohardjo S. 2016. Ilmu Kebidanan.Cetakan ke-8. Jakarta: Yayasan Bina


Pustaka
Rukiyah dan Yulianti. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta:
Trans Info Media
Saifuddin. 2014. Buku Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Saksono YWS dan Suryadhi NT. 2017. Tipe Hipospadia Proksimal Merupakan
Faktor Risiko Pancaran Urin Yang Lemah Pada Pasien Hipospadia Pasca
Uretroplasti Teknik Tubularized Incised Plate. Ejournals Medicinaudayana
48(3): 220-223. Universitas Udayana
http://save.ejournals.ca/www/medicinaudayana.org/index.php/medicina/
article/viewFile/163/116, diakses tanggal 09 Juli 2020
Saleha S. 2012. Asuhan Kebidanan Neonates, Bayi Dan Balita. Makassar:
Alauddin University Press.
Samtani R, Ghosh PK, Saraswathy KN. 2015. A49T, R227Q and TA repeat
polymorphism of steroid 5 alpha-reductase type II gene and Hypospadias
risk in North Indian children. Meta Gene 3: 1-7. Amity University Noida.
https://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S2214540014000772?
token=75ED49B1178900BBB7D4F0D614A04F374A219056BA5C0DB55
219A86CAA1C8880F7A7FF7B5BC8796B996D3031163EF434, diakses
tanggal 11 Juni 2020
Sari dan Rimandini. 2014. Asuhan Kebidanan Persalinan (INC). Jakarta: Trans
Info Media
Sharma N, Bajpai M, Panda S, Singh A, Pandey R dan Ali A. 2013. Family based
genetic study in proximal penile hypospadias with undescended testis. 42-
45. https://www.semanticscholar.org/paper/Family-based-genetic-study-in-
proximal-penile-with-Sharma-Bajpai/
3f86fd69900d25eb03042bad6ceac9fac38d09db, diakses tanggal 11 Juli
2020
Singhal R, Jain S, Chawla D dan Guglani V. 2017. Accuracy of New Ballard
Score in Small for Gestation Age Neunates. Journal Of Tropical Pediatrics
63(6): 489-494. Department of Pediatrics.
https://academic.oup.com/tropej/article/63/6/489/4049584, diakses tanggal
11 Juli 2020
Stein R. 2012. Hypospadias. Europan Association of Urology 11(2): 33-45
https://doi.org/10.1016/j.eursup.2012.01.002, diakses tanggal 11 Juli 2020
Subramaniam R, Spinoit AF, Hoebeke P. 2011. Hypospadias Repair: An
Overview of the Actual Techniques. Semin Plast Surg 25(3): 206-212.
Department of Paediatric Urology.
https://www.thieme-connect.de/products/ejournals/abstract/10.1055/s-0031-
1281490, diakses tanggal 11 Juli 2020
68

Sujiyatini. 2009. Asuhan Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Pustaka Nuha Medika


Supangat, Sakti SWTP dan Wahyudi SS. 2018. The Association Between
Hypospadias Occurrence With Exposure Of Pesticides In Agroindustry
Enviroment. Jurnal Unej 3(2): 60-64. Universitas Jember.
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/NLJ/article/view/6615, diakses tanggal 09
Juli 2020
Tangkudung FJ, Patria SY dan Arguni E. 2016. Faktor Risiko Hipospadia pada
Anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Sari Pediatri 17(5): 396-400.
Universitas Gadjah Mada.
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/28, diakses
tanggal 10 Juli 2020
Tarmono dan Sigumonrong Y. 2016. Panduan Penatalaksanaan (Guidelines)
Urologi Anak (Pediatric Urology) di Indonesia. Indonesian Urological
Association. https://www.urologi-rscmfkui.com/?page_id=61, diakses
tanggal 09 Juli 2020
Van der Z, Van Rooji LFIA, Feitz WF, Franke B, Knoers NV dan Roeleveld N.
2012. Aetiology of hypospadias: a systematic review of genes and
environment. Human Reproductive Update 18(3): 260-283. University
Nijmegen Medical Centre. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22371315/,
diakses tanggal 11 Juli 2020
Varney H. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC
Wahidiyat dan Sastroasmoro. 2014. Pemeriksaan Klinis pada Bayi dan Anak.
Jakarta: CV Sagung Seto
Yiee JH dan Baskin LS. 2010. Penile embriology and anatomy. The Scientific
World Journal: 1174-1179
Yildiz T, Tahtali IN, Ates DC, Keles I, Ilce Z. 2013. Age of patient is a risk factor
for urethrocutaneous fistula in hypospadias surgery. Journal of Pediatric
Urology 9(6): 900-903. Sakarya University School Medicine.
https://www.jpurol.com/action/showPdf?pii=S1477-5131%2812%2900313-
0, diakses tanggal 11 Juli 2020
Yinon Y, Kingdom JC, Proctor LK, Kelly EN, Salle JL, Wherrett D. 2010.
Hypospadias in males with intrauterine growth restriction due to placental
insufficiency: the placental role in the embryogenesis of male external
genitalia. Am J M ed Genet Part 152A(1): 75-83. University of Toronto
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/ajmg.a.33140, diakses
tanggal 11 Juli 2020
69

JURNAL BIMBINGAN

NAMA : RIZKY PUTRI ANDRIANTI

NIM : 15901191012

RUANGAN :-

TEMPAT PRAKTIK :-

No Hari/Tanggal Masukan Nama/ TTD


Pemimbing
1. 18 Juli 2020 ACC

Anda mungkin juga menyukai