Anda di halaman 1dari 36

Makalah Biologi Sel

Hubungan Kelainan Kogenital dengan Proses Differensiensi Sel dan


Komunikasi Sel

Oleh Kelompok ll :
Radhiyatan Mardhiyah 2120332014
Auwilla Marta Tasman 2120332015
Azkiyaunnisa' 2120332016
Yuni Surya Putri 2120332017
Syarifah 2120332018
Asti Marian Sari 2120332019
Ikke kristiya 2120332021
Kiran Nandini Fijri 2120332022
Nurhalimah Juneldi 2120332023
Siti Aisyah 2120332025
Ester 2120332026

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Hasmiwati, M.Kes

PROGRAM STUDI PASCASARJANA ILMU KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
yang berjudul “Hubungan Kelainan Kogenital dengan Proses Differensiensi Sel dan
Komunikasi Sel”. Makalah ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Biologi
Sel.
Makalah ini disusun sedemikian rupa agar mudah dibaca dan dipahami
oleh mahasiswa. Dalam penyelesaian makalah ini banyak pihak yang telah
membantu, dengan ini kami mengucapkan terima kasih.
Kami mengetahui adanya kekurangan baik dalam isi ataupun penjelasan
dalam makalah ini. Dengan demikian, kritik dan saran diharapkan agar
kesempurnaan makalah ini dapat terwujud.
Terima kasih kepada dosen dan mahasiswa yang telah membaca dan
mempelajari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Padang, 26 Oktober 2021

Kelompok II

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4

A.Atresia Ani......................................................................................................4

B.Hypospadia......................................................................................................5

C.EPISPADIA.....................................................................................................7

D.Talipes Equinovarus (Kaki Pengkor)..............................................................9

E.Omphalocele..................................................................................................14

F.Gastroschizis..................................................................................................16

G.Extremitas Reduction....................................................................................19

H.Conjucted Twin (Kembar Siam)....................................................................24

BAB III REVIEW JURNAL..................................................................................27

BAB IV PENUTUP...............................................................................................30

A.Kesimpulan....................................................................................................30

B.Saran..............................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sel adalah unit struktural dan fungsional terkecil dari tubuh manusia.
Kumpulan sel akan membentuk organ dan jaringan sehingga kerusakan pada
sel dapat berlanjut menjadi kerusakan organ dan jaringan yang berakhir pada
kegagalan sistem tubuh dalam menjalankan fungsinya. Akhirnya akan nampak
gangguan fungsi tubuh manusia tersebut. Diferensiasi sel adalah proses ketika
sel kurang khusus menjadi jenis sel yang semakin khusus. Diferensiasi terjadi
beberapa kali selama perkembangan organisme multiselular ketika organisme
berubah dari zigot sederhana menjadi suatu sistem jaringan dan jenis sel yang
berbelit-belit. Diferensiasi adalah proses yang lazim pada makhluk dewasa: sel
punca dewasa terpisah dan menciptakan sel anak yang terdiferensiasi
sepenuhnya selama perbaikan jaringan dan perputaran sel normal. Diferensiasi
secara dramatis mengubah ukuran, struktur, potensial membran, kegiatan
metabolis, dan ketanggapan sel terhadap sinyal (Fay & PURWATI. Rantam,
Fedik A. Poerwantoro, 2018)
Kelainan kongenital adalah kelainan pada tubuh yang muncul sejak
dari periode konsepsi sel telur. Pada umumnya bayi dengan kelainan
kongenital dilahirkan dengan berat lahir rendah dan dapat meninggal dalam
minggu pertama kehidupannya bila kelainannya berat.Para ahli juga
menjelaskan bahwa kelainan kongenital merupakan kelainan dalam
pertumbuhan struktur bayi. Kelainan kongenital merupakan sering menjadi
penyebab terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir.
Kematian bayi dalam bulan pertama sering diakibatkan oleh kelainan
kongenital yang berat. Penyebab kelainan kongenital sulit diketahui, tetapi
beberapa hal yang mempengaruhinya diketahui dari faktor genetik, faktor
lingkungan atau dari kedua faktor secara bersamaan (Francine et al., 2014)

1
B. Rumusan Masalah
1 Apa yang dimaksud Atresia Ani ?
2 Bagaimana hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel terhadap
Atresia Ani ?
3 Apa yang dimaksud Hipospadia?
4 Bagaimana hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel terhadap
Hipospadia?
5 Apa yang dimaksud Epispadia?
6 Bagaimana hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel terhadap
Epispadia?
7 Apa yang dimaksud Talipes Equinovarus (Kaki Pengkor) ?
8 Bagaimana hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel terhadap
Talipes Equinovarus (Kaki Pengkor)?
9 Apa yang dimaksud Omfalokel?
10 Bagaimana hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel terhadap
Omfalokel?
11 Apa yang dimaksud Gastroschisis?
12 Bagaimana hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel terhadap
Gastroschisis?
13 Apa yang dimaksud Extremitas Reduction?
14 Bagaimana hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel terhadap
Extremitas Reduction?
15 Apa yang dimaksud Conjucted Twin (Kembar Siam)?
16 Bagaimana hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel terhadap
Conjucted Twin (Kembar Siam)?

C. Tujuan Penulisan
1 Untuk mengetahui Atresia Ani ?
2 Untuk mengetahui hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel
terhadap Atresia Ani ?
3 Untuk mengetahui Hipospadia?
4 Untuk mengetahui hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel
terhadap Hipospadia?

2
5 Untuk mengetahui yang dimaksud Epispadia?
6 Untuk mengetahui hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel
terhadap Epispadia?
7 Untuk mengetahui Talipes Equinovarus (Kaki Pengkor) ?
8 Untuk mengetahui hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel
terhadap Talipes Equinovarus (Kaki Pengkor)?
9 Untuk mengetahui Omfalokel?
10 Untuk mengetahui hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel
terhadap Omfalokel?
11 Untuk mengetahui Gastroschisis?
12 Untuk mengetahui hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel
terhadap Gastroschisis?
13 Untuk mengetahui Extremitas Reduction?
14 Untuk mengetahui hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel
terhadap Extremitas Reduction?
15 Untuk mengetahui Conjucted Twin (Kembar Siam)?
16 Untuk mengetahui hubungan difrensiensi sel dan komunikasi sel
terhadap Conjucted Twin (Kembar Siam)?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Atresia Ani
1. Pengertian
Atresia ani atau anus imperforata adalah kelainan kongenital yang
menyebabkan anus tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya, penderita
tidak dapat mengeluarkan tinja secara normal. Kondisi ini biasanya terjadi
akibat gangguan perkembangan saluran cerna janin saat usia kehamilan 5–
7 minggu (Haryono, 2013)

2. Etiologi
Atresia ani merupakan salah satu bentuk kelainan kongenital.
Penyebab terjadinya atresia ani belum diketahui secara pasti. Atresia ani
terjadi secara acak dan bisa dialami oleh siapa saja. Namun, ada dugaan
yang mengaitkan kondisi dengan kelainan genetik (Haryono, 2013)
Atresia ani juga sering muncul bersamaan dengan kondisi

VACTREL, yaitu kelompok kelainan kongenital yang dapat

mempengaruhi berbagai system tubuh. VACTREAL adalah singkatan

dari vertebral defects, anal atresia, cardiac defects, tracheoesophageal

fistula, renal anomalies, dan limb defects (Haryono, 2013)

3. Hubungan dengan komunikasi sel dan difrensiensi sel


Setiap proses yang mengganggu embrio dapat menyebabkan
gangguan bentuk atau kematian. Setiap proses yang menggangu janin
dapat berakibat pertumbuhan organ yang salah misalnya otak, jantung atau
seluruh janin.Kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam proses
embriogenesis dapat menyebabkan terjadinya malformasi pada jaringan
atau organ. Sifat dari kelainan yang timbul tergantung pada jaringan yang
terkena, penyimpangan, mekanisme perkembangan, dan waktu pada saat
terjadinya. Penyimpangan pada tahap implantasi dapat merusak embrio

4
dan menyebabkan abortus spontan. Diperkirakan 15% dari seluruh
konsepsi akan berakhir pada periode ini.
Bila proliferasi sel tidak adekuat dapat mengakibatkan terjadinya
defisiensi struktur, dapat berkisar dari tidak terdapatnya ekstremitas
sampai ukuran daun telinga yang kecil.
Abnormal atau tidak sempurnanya diferensiasi sel menjadi jaringan
yang matang mungkin akan menyebabkan lesi hamartoma lokal seperti
hemangioma atau kelainan yang lebih luas dari suatu organ. Kelainan
induksi sel dapat menyebabkan beberapa kelainan seperti atresia bilier,
sedangkan penyimpangan imigrasi sel dapat menyebabkan kelainan seperti
pigmentasi kulit. Proses “kematian sel” yang tidak adekuat dapat
menyebabkan kelainan, antara lain sindaktili dan atresia ani. Fungsi
jaringan yang tidak sempurna akan menyebabkan celah bibir dan langit-
langit. Beberapa zat teratogen dapat mengganggu perkembangan, tetapi
efeknya sangat dipengaruhi oleh waktu pada saat aktivitas teratogen
berlangsung selama tahap embrio. (Sriyanti, 2016)

B. Hypospadia
1 Definisi
Hipospadia sendiri berasal dari dua kata yaitu “hypo” yang berarti
“di bawah” dan “spadon“ yang berarti keratan yang panjang. Hipospadia
adalah kelainan kongenital dimana muara uretra eksterna (MUE) terletak
di ventral penis dan lebih ke proximal dari tempat normalnya (ujung gland
penis). Pada pasien dengan hipospadia yang berat, kadang tampak seperti
ambiguous genitalia yang mengakibatkan stres emosional dan beban
psikologis bagi orang tua, dan menjadi pertanyaan mengenai jenis kelamin
anak mereka.
Tiga tipe anomali yang terkait dengan hipospadia yaitu :
a. Pembukaan ektopik meatus urethra yang letaknya diantara glans dan
pangkal penis
b. Curvatura ventral (chordee)
c. Preputium yang menutup glans dan kelebihan kulit pada bagian dorsal
dan kekurangan kulit pada bagian ventral penis.

5
Meatus hipospadik juga bisa ditemukan di daerah preputium dan
Chordee sering dikaitkan dengan hipoplasia korpus spongiosum (Rogala et
al., 2014)
2 Etiologi
Penyebab pasti hipospadia tidak diketahui secara pasti. Beberapa
etiologi dari hipospadia telah dikemukakan, termasuk faktor genetik,
endokrin, dan faktor lingkungan. Sekitar 28% penderita ditemukan adanya
hubungan familial. Pembesaran tuberkel genitalia dan perkembangan
lanjut dari phallus dan uretra tergantung dari kadar testosteron selama
proses embriogenesis. Faktor lain yang mempengaruhi adalah produksi
hormone dari maternal selama kehamilan terutama pada trimester pertama.
Jika testis gagal memproduksi sejumlah testosterone atau jika sel-sel
strutur genital kekurangan reseptor androgen atau tidak terbentuknya
androgen converting enzyme ( 5 alpha-reductase ) maka hal-ha inilah yang
diduga menyebabkan terjadinya hipospadia (Rogala et al., 2014)

3 Hubungan dengan komunikasi sel dan difrensiensi sel


Pada embrio yang berumur 2 minggu baru terdapat 2 lapisan yaitu
ektoderm dan endoderm. Baru kemudian terbentuk lekukan di tengah-
tengah yaitu mesoderm yang kemudian bermigrasi ke perifer, memisahkan
ektoderm dan endoderm, sedangkan di bagian kaudalnya tetap bersatu
membentuk membran kloaka. Pada permulaan minggu ke-6, terbentuk
tonjolan antara umbilical cord dan tail yang disebut genital tubercle. Di
bawahnya pada garis tengah terbenuk lekukan dimana di bagian lateralnya
ada 2 lipatan memanjang yang disebut genital fold.
Selama minggu ke-7, genital tubercle akan memanjang dan
membentuk glans. Ini adalah bentuk primordial dari penis bila embrio
adalah laki-laki, bila wanita akan menjadi klitoris. Bila terjadi agenesis
dari mesoderm, maka genital tubercle tak terbentuk, sehingga penis juga
tak terbentuk.
Bagian anterior dari membrana kloaka, yaitu membrana urogenitalia
akan ruptur dan membentuk sinus. Sementara itu genital fold akan
membentuk sisi-sisi dari sinus urogenitalia. Bila genital fold gagal bersatu

6
di atas sinus urogenitalia, maka akan terjadi hipospadia (Krisna & A,
2017)

C. EPISPADIA
1 Definisi
Epispadia merupakan kelainan kongenital berupa tidak adanya
dinding uretra bagian atas. Kelainan ini terjadi pada laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering dialami oleh laki-laki. Ditandai dengan
adanya lubang uretra disuatu tempat pada permukaan dorsum penis
(Sigumonrong et al., 2016)
Epispadia adalah suatu kelainan bawaan pada bayi laki-laki,
dimana lubang uretra terdapat di bagian punggung penis atau uretra tidak
berbentuk tabung, tetapi terbuka. Terdapat 3 jenis epispadia :
a. Lubang uretra terdapat di puncak kepala penis
b. Seluruh uretra terbuka di sepanjang penis
c. Seluruh uretra terbuka dan lubang kandung kemih terdapat pada
dinding perut.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
epispadia adalah suatu anomali kongenital yaitu kelainan letak lubang
uretra ke sisi dorsal penis, tidak meluas ke ujung penis karena tidak
adanya dinding dorsal uretra.

2 Patofisiologi
Pada anak laki-laki yang terkena, penis biasanya luas, dipersingkat
dan melengkung ke arah perut (chordee dorsal). Biasanya, meatus
terletak di ujung penis, namun anak laki-laki dengan epispadias, terletak di
atas penis. Dari posisi yang abnormal ke ujung, penis dibagi dan dibuka,
membentuk selokan. Seolah-olah pisau dimasukkan ke meatus normal dan
kulit dilucuti di bagian atas penis. Klasifikasi epispadias didasarkan pada
lokasi meatus pada penis. Hal ini dapat diposisikan pada kepala penis
(glanular), di sepanjang batang penis (penis) atau dekat tulang kemaluan
(penopubic).
Posisi meatus penting dalam hal itu memprediksi sejauh mana

7
kandung kemih dapat menyimpan urin (kontinensia). Semakin dekat
meatus adalah dasar atas penis, semakin besar kemungkinan kandung
kemih tidak akan menahan kencing.
Dalam kebanyakan kasus epispadias penopubic, tulang panggul
tidak datang bersama-sama di depan. Dalam situasi ini, leher kandung
kemih tidak dapat menutup sepenuhnya dan hasilnya adalah kebocoran
urin. Kebanyakan anak laki-laki dengan epispadias penopubic dan sekitar
dua pertiga dari mereka dengan epispadias penis memiliki kebocoran urin
stres (misalnya, batuk dan usaha yang berat). Pada akhirnya, mereka
mungkin membutuhkan bedah rekonstruksi pada leher kandung kemih.
Hampir semua anak laki-laki dengan epispadias glanular memiliki leher
kandung kemih yang baik. Mereka dapat menahan kencing dan melatih
bak normal. Namun, kelainan penis (membungkuk ke atas dan pembukaan
abnormal) masih memerlukan operasi perbaikan.
Epispadias adalah jauh lebih jarang pada anak perempuan, dengan
hanya satu dari 565.000 terpengaruh. Mereka yang terpengaruh memiliki
tulang kemaluan yang dipisahkan untuk berbagai derajat. Hal ini
menyebabkan klitoris tidak menyatu selama perkembangan, sehingga
kedua bagian klitoris. Selanjutnya, leher kandung kemih hampir selalu
terpengaruh. Akibatnya, anak perempuan dengan epispadias selalu bocor
urin stres (misalnya, batuk dan usaha yang berat). Untungnya, dalam
banyak kasus, perawatan bedah dini dapat menyelesaikan masalah ini
(Sigumonrong et al., 2016)

3 Hubungan dengan komunikasi sel dan difrensiensi sel


Secara embriologis hipospadia disebabkan oleh sebuah kondisi
dimana bagian ventral lekuk uretra gagal untuk menutup dengan
sempurna.Diferensiasi uretra bergantung pada hormone androgen
Dihidrotestosteron (DHT) dengan kata lain hipospadia dapat disebabkan
oleh defisiensi produk testosterone, konversi testosterone menjadi DHT
yang tidak adequate, atau defisiensi local pada hormone
androgen.Pembentukan lempeng uretra dimulai pada minggu embrionik
ke-4 dan ke-5 dari lapisan mesoderm sel germinal. Pada minggu ke-4,

8
terbentuk membrane kloaka yang memisahkan kloaka dengan ruang
amnion. Kloaka terbagi kedalam dua bagian yang dipisahkan oleh septum
urorektal menjadi sinus urogenital dan usus belakang. Septum ini
terbentuk dari lipatan mesodermal dinding lateral kloaka yang mengalami
proliferasi dan migrasi dari arah dorsal ke kaudal (Matthew et al., 2021)
Defek migrasi sel primordial pada proses tubularisasi lempeng
uretra dan pembentukan tuberkulus genitalis pada bagian dorsum di
minggu embrionik ke-5 akan menyebabkan epispadia. Defek pada dinding
uretra dapat terjadi pada sepanjang lempeng uretra, sehingga menghasilkan
jenis epispadia yang berbeda mulai dari glandular (paling distal), penis
(medial), hingga penopubik (proksimal). Semakin proksimal lokasi defek,
maka kelainan yang terjadi akan semakin berat.Epispadia penopubik
umumnya juga terjadi bersamaan dengan inkompetensi leher kandung
kemih ataupun ekstrofi.Abnormalitas dalam pembentukan kloaka juga
diperkirakan dapat menyebabkan epispadia (Matthew et al., 2021)

D. Talipes Equinovarus (Kaki Pengkor)


1 Definisi
Talipes equinovarus (clubfoot) berasal dari kata Latin yaitu talus
berarti pergelangan kaki (ankle), pes berarti kaki, equinus berarti fleksi
plantaris (horse-like), dan varus berarti terbalik dan adduksi. Literatur
medis untuk talipes equinovarus diperkenalkan pertama kali oleh
Hippocrates pada 400 SM, yang menyadari bahwa clubfoot dapat terjadi
kongenital dan bermanifestasi defek yang terisolasi saat lahir tanpa adanya
malformasi pada organ lain (80% kasus) sehingga mencetuskan konsep
istilah congenital talipes equino-varus (CTEV) idiopatik (Nurrahmani et
al., 2018)
Terdapat beberapa faktor yang telah disepakati sebagai penyebab
terjadinya CTEV, yaitu faktor mekanik intrauterin, defek neuromuskular,
defek plasma primer, perkembangan fetus yang terhambat, dan pola
pewarisan poligenik. Berdasarkan teori Hippocrates, CTEV disebabkan
oleh adanya kompresi dalam uterus (faktor mekanik) sehingga posisi kaki
menjadi equinovarus. Parker dan Browne menjelaskan bahwa adanya

9
kondisi lain dalam uterus seperti oligohidramnion dapat menyebabkan
keterbatasan pergerakan fetus. Terdapat dua dasar pengaruh
perkembangan fetus yaitu lingkungan intrauterin dan pengatuh
lingkungan. Pada tahun 1863, Heuter dan Von Volkman mengusulkan
teori bahwa kehidupan embrionik awal yang terhambat ialah penyebab
abnormalitas perkembangan fetus dan menyebabkan CTEV (Gelfer et al.,
2019)

2. Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang telah disepakati sebagai penyebab
terjadinya CTEV, yaitu faktor mekanik intrauterin, defek neuromuskular,
defek plasma primer, perkembangan fetus yang terhambat, dan pola
pewarisan poligenik. Berdasarkan teori Hippocrates, CTEV disebabkan
oleh adanya kompresi dalam uterus (faktor mekanik) sehingga posisi kaki
menjadi equinovarus. Parker dan Browne menjelaskan bahwa adanya
kondisi lain dalam uterus seperti oligohidramnion dapat menyebabkan
keterbatasan pergerakan fetus. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
CTEV merupakan hasil defek neuromuskular, namun penelitian lain
menunjukkan tidak adanya gambaran abnormalitas pada penemuan
histologik neuromuskular. Irani dan Sherman melakukan diseksi 11 kaki
pasien equinovarus dan 14 kaki normal dan menyatakan tidak terdapat
abnormalitas primer pada saraf, pembuluh darah, tendon, dan tempat
insersi otot-otot namun secara konstan abnormalitas ditemukan pada
bagian anterior talus. Talus yang undersized dan bagian anteriornya
berotasi ke arah medial.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa deformitas mungkin
berasal dari defek germ plasma primer. Terdapat dua dasar pengaruh
perkembangan fetus yaitu lingkungan intrauterin dan pengatuh
lingkungan. Pada tahun 1863, Heuter dan Von Volkman mengusulkan
teori bahwa kehidupan embrionik awal yang terhambat ialah penyebab
abnormalitas perkembangan fetus dan menyebabkan CTEV. Pengaruh
lingkungan dalam hal ini pengaruh buruk akibat agen-agen teratogenik
pada lingkungan fetus dan selama perkembangan fetus telah dijelaskan

10
memiliki efek yang buruk seperti rubela dan thalidomide. Banyak peneliti
percaya bahwa CTEV dan keterhambatan perkembangan terjadi akibat
berbagai faktor-faktor lingkungan. Honein et al melaporkan bahwa
paparan rokok berhubungan dengan faktor kausa penyebab CTEV terlebih
khusus pada periode antenatal. Pada pola pewarisan poligenik, CTEV
cenderung bersifat familial. Penelitian oleh Davis mendukung teori
poligenik ini dan menunjukkan adanya pola pewarisan dari satu keturunan
ke keturunan selanjutnya. Sekitar 2,9% saudara kandung per 1-2 juta
penduduk memiliki deformitas yang sama, dan memiliki risiko 25 kali
untuk dialami oleh saudara kandung selanjutnya juga

3. Hubungan dengan komunikasi sel dan difrensiensi sel


Inisiasi limb bud embrio dimulai dengan terjadinya ekspresi gen
homeobox (Hox) pada sel-sel mesoderm paraksial primitif yang dikontrol
dari sinyaling factor pertumbuhan fibroblas (fibroblast growth
factor/FGF). Adanya ekspresi T-box transcription factor (Tbx4) nantinya
akan menentukan pembentukan ekstremitas bagian bawah dari lateral plate
mesoderm yaitu jaringan-jaringan ikat ekstremitas, seperti kartilago,
tulang, tendon, dan otot-otot jaringan ikat. Ekspresi Tbx4 dalam
membentuk area kaki diatur oleh homeodomain containing transcription
factor Pitx1 yang bekerja bersama dengan faktor transkrpsi Pitx2. Pitx1
diekspresikan pada lateral plate mesoderm di regio posterior tubuh dan
merupakan penentu utama identitas kaki belakang (hindlimb). Ekspresi
limb-homeodomain containning transcription factor, Islet1, pada region
yang sama di lateral plate mesoderm juga memiliki peranan penting untuk
Tbx4 melakukan ekspresi dan formasi hindlimb bud. Gen-gen tersebut
secara khusus diekspresikan untuk membentuk kaki. Bila terdapat defek
genetik pada komponen apapun dalam gen-gen serta jalurnya maka akan
menghasilkan defek pada ekstremitas. Mutasi gen T-box terutama TBX3
dan TBX4, bekerja menekan faktor transkripsi yang berperan penting
selama embriogenesis dan morfogenesis. Seperti halnya dengan gen yang
telah disebutkan, gen ini juga termasuk kandidat kemungkinan

11
menyebabkan CTEV. Gen-gen tersebut ditemukan memiliki
ketidakseimbangan transmisi pada pasien CTEV (Nurrahmani et al., 2018)
4. Patogenesis
Patogenesis CTEV meliputi faktor genetik, gen homebox (HOX),
jalur PITX1- TBX4, jalur gen caspases, jalur gen kolagen, gen GL13, dan
gen T-box. Faktor genetik memiliki peranan penting pada perkembangan
CTEV namun belum memiliki identifikasi pasti mengenai kandidat gen
mayor yang berperan. Banyak penelitian menunjukkan terdapatnya bukti
riwayat dalam keluarga pada 24-50% kasus CTEV. Terdapat juga
pelaporan kasus unik CTEV bilateral pada bayi triplets preterm, yang
memberikan dukungan lebih lanjut akan etiologi dan patogenesis dasar
genetic. Gen homeobox mewakili patogenesis melalui faktor transkripsi
yang berperan utama pada proses morfogenesis perkembangan fetus
embrionik. Secara khusus, gen ini berfungsi untuk menentukan genesis
yang benar untuk berkembang menjadi tulang dan ekstremitas. Hal ini
mendasari para peneliti yang mengusulkan gen ini sebagai kandidat
patogenesis CTEV idiopatik.
Penelitian skala besar yang dilakukan pada tahun 2016
menunjukkan bahwa CTEV berhubungan dengan alterasi pada domain
regulator gen, yaitu HoxA dan HoxD. Berdasarkan data tersebut dapat
diasumsikan bahwa gangguan pada klaster gen tersebut mungkin
merupakan etiologi dan patogenesis CTEV. Protein TBX4 merupakan
penentu faktor transkripsi yang diekspresikan pada hind-limb; oleh karena
itu diduga protein ini memiliki hubungan dengan patogensis CTEV.
Adanya mikrodelesi dan mikroduplikasi protein TBX4 banyak ditemukan
pada pasien familial isolated clubfoot. Selanjutnya didapatkan bahwa gen
PITX1, yaitu penentu faktor transkripsi lainnya, ternyata memiliki jalur
yang sama dengan protein TBX4. Oleh karena jalur PITX1- TBX4 secara
langsung berpengaruh pada perkembangan awal ekstremitas, maka hal ini
dihubungkan dengan CTEV.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa mutasi pada gen-gen yang
mengkode faktor transkripsi PITX1 dan TBX4 menyebabkan anomali

12
muskulatur ekstremitas bawah dan berhubungan dengan kejadian CTEV.
Penelitian tahun 2017 melaporkan bahwa jalur PITX1- TBX4 dapat
dihubungkan dengan alterasi HOXC pada talus vertikal. Pada penelitian
tersebut diidentifikasi adanya delesi gen HOXC13 yang ditemukan pada 3
generasi keluarga dengan CTEV. Mutasi jalur PITX1-TBX4-HOXC masih
sangat jarang pada pasien CTEV; oleh karena itu mekanisme genetik lain
perlu untuk diteliti. Cysteine-dependent aspartate-directed proteases
(caspases) merupakan bagian dari sistein protease yang memainkan
peranan esensial dalam proses apoptosis, nekrosis, dan proses inflamasi.
Gen ini mulai diteliti sejak diketahui bahwa aktivitas caspases ternyata
berhubungan dengan perkembangan ektremitas dan merupakan gen
pertama diteliti yang memiliki hubungan dengan CTEV. Gen CASP10
ialah jenis lain dari gen caspases yang ditemukan berhubungan dengan
CTEV.

Gen kolagen juga sering dihubungkan dengan CTEV. Fokus utama


pada penelitian genetik telah mendapatkan bahwa terdapat hubungan
dengan COL9A1 dan 214 e-CliniC, Volume 8, Nomor 2, Juli-Desember
2020, hlm. 211-221 COL1A1. COL9A1 mengkode satu dari tiga rantai
kolagen tipe IX, yaitu komponen kartilago hialin, sedangkan COL1A1
mengkode rantai pro-alfa 1 kolagen tipe 1, yaitu sebuah komponen yang
terdapat di hampir semua jaringan ikat yang banyak pada tulang dan
tendon. Pada tahun 2008, telah dilaporkan bahwa terdapat ekspresi yang
tinggi COL1A1 pada pasien dengan CTEV dibandingkan dengan pasien
normal. Penelitian Wang et al melaporkan mengenai gen yang mengatur
ekspresi COL91A1 (SOX9), yaitu varian dari COL1A1, dan ternyata
ditemukan tidak ada mutase gen namun terdapat ekspresi gen SOX9 yang
tinggi pada sel-sel otot pasien CTEV.7 Gen GLI3 ialah gen yang
mengkode protein zinc tipe C2H2. Suatu penelitian pada tahun 2005
menunjukkan adanya mutase gen yang berhubungan dengan kejadian
CTEV. Pada tahun 2009, penelitian lain melaporkan adanya interaksi
langsung antara rendahnya ekspresi gen HoxD13 dapat menyebabkan
peningkatan kadar gen GLI3 selama pembentukan ekstremitas yang

13
dipikirkan merupakan kunci penyebab pada patogenesis CTEV. Mutasi
gen T-box terutama TBX3 dan TBX4, bekerja menekan faktor transkripsi
yang berperan penting selama embriogenesis dan morfogenesis. Seperti
halnya dengan gen yang telah disebutkan, gen ini juga termasuk kandidat
kemungkinan menyebabkan CTEV. Gen-gen tersebut ditemukan memiliki
ketidakseimbangan transmisi pada pasien CTEV (Gelfer et al., 2019)

E. Omphalocele
1 Definisi
Omfalokel adalah defek dinding abdomen bagian ventral disertai
herniasi organ dalam abdomen ke dalam sebuah kantung yang dilapisi oleh
sebuah membran yang terdiri dari lapisan peritoneum pada bagian dalam
dan lapisan amnion pada bagian luar. Omfalokel adalah kegagalan usus
untuk kembali ke rongga abdomen melalui umbilikus yang terjadi pada
usia kehamilan sekitar 12 minggu (Jwa et al., 2014)
Omfalokel menjadi penyulit sekitar 1 per 5.000 kelahiran. Kelainan
ini terjadi akibat kegagalan lipatan ektodermal lateral bertemu di garis
tengah dan tali pusat tersambung ke apeks kantong. Tidak seperti
gastroskisis, omfalokel dilaporkan berkaitan dengan anomali mayor lain
pada 50 hingaa 70 persen kasus dan aneuploidi pada 35 hingga 60 persen.
Penemuan omfalokel merupakan keharusan pelaksanaan evaluasi janin
lengkap termasuk penentuan kariotope (Roux et al., 2018)

2 Etiologi
Etiologi omfalokel adalah defek pada dinding abdomen. Menurut
sebuah penelitian pada hewan, diduga defek tersebut disebabkan oleh
kekurangan asam folat, kekurangan salisilat, dan kondisi hipoksia. Selain
itu, omfalokel selalu erat kaitannya dengan beberapa sindrom, seperti
sindrom Beckwith-Wiedemann, trisomi 13, trisomi 18, trisomi 21,
pentalogy of Cantrell, sindrom Shprintzen-Goldberg, sindrom Charge,
sindrom Cloacal Exstrophy, sindrom Carpenter, sindrom Marshall-Smith,
dan sindrom Meckel-Gruber (Roux et al., 2018)

14
3 Patofisiologi
Patofisiologi omfalokel adalah kegagalan organ intraabdomen
untuk masuk kembali ke dalam rongga abdominal, sehingga herniasi
fisiologis terjadi berkepanjangan. Herniasi fisiologis seharusnya terjadi
pada minggu ke-6 hingga minggu ke-10 pertumbuhan fetal. Organ
intraabdomen yang mengalami herniasi tersebut dilapisi oleh kantung yang
tersusun dari lapisan peritoneum dan lapisan luar amnion, dan tali pusat
masih dalam kondisi melekat pada kantung tersebut. Organ intraabdominal
tersebut bukan hanya usus saja, tetapi dapat juga hepar, kandung kemih,
lambung, ovarium, hingga testis (Jwa et al., 2014)

4 Hubungan dengan komunikasi sel dan difrensiensi sel


Traktus gastrointestinal berkembang dari tuba digestif primitif
yang merupakan derivat dari yolk sac. Pada masa awal gestasi, sebagian
dari usus (midgut) bertumbuh ke arah tengah bagian depan dari yolk sac.
Pada minggu ketiga, usus akan menjadi terpisah dari yolk sac. Diskus
embrionik akan berlipat-lipat hingga menjadi empat lipatan embriologik
yang terpisah yakni sefalik, kaudal, kanan dan kiri dan lipatan lateral,
dimana masing-masing lipatan akan bergabung di area umbilikus untuk
menghilangkan rongga kolemik, yang nantinya akan bertumbuh menjadi
rongga peritoneal. Selain itu, keempat lipatan tersebut akan bergabung
untuk membentuk sebuah cincin umbilikal yang besar dan mengelilingi
arteri umbilikal, vena, yolk sac, atau duktus omdalomesenterik. Struktur-
struktur ini diselubungi oleh lapisan luas amnion dan seluruh struktur
tersebut nantinya akan menyusun komponen tali pusat. Tali pusat yang
terinfeksi disebut dengan omfalitis (Rogdo & Mack, 2016)
Pada minggu ke-6 perkembangan fetus, dinding abdomen dan
traktus intestinal akan terus bertumbuh lebih cepat dari tubuh embrionik
itu sendiri. Sehingga pertumbuhan traktus intestinal akan mengalami
protrusi keluar dari dinding abdomen atau disebut sebagai proses herniasi
yang fisiologis. Pada minggu ke-10, dinding abdomen sudah terbentuk
dengan baik dan seluruh saluran pencernaan akan masuk kembali ke

15
rongga abdomen. Kontraksi dari cincin umbilikal akan menutup formasi
dinding abdomen (Rogdo & Mack, 2016)

F. Gastroschizis
1 Definisi
Gastroschisis adalah penonjolan dari isi abdomen biasanya
melibatkan usus dan lambung melalui lubang atau defek pada dinding
abdomen disebelah kanan tali pusar. Omphalocele defek pada dinding
abdomen terletak ditengah, isi abdomen yang keluar ditutupi oleh lapisan.
Omphalocele biasanya berhubungan dengan kelainan kromosom atau
kelainan jantung sedangkan bayi dengan gastroschisis jarang ditemukan
dengan kelainan tersebut kecuali adanya atresia usus. Nama lain adalah
Paraomphalocele, Laparoschisis, atau abdominoschisis (Effendi &
Rubiyanto, 2019)

2 Epidemiologi
Dalam suatu penelitian di California menunjukan bahwa adanya
kelainan ini berhubungan dengan kehamilan pada wanita muda, status
sosial ekonomi rendah dan kehidupan sosial yang tidak stabil. Penggunaan
aspirin, ibuprofen, dan pseudoephedrine pada kehamilan trimester pertama
dihubungkan dengan peningkatan resiko gastroschisis mendukung teori
kerusakan pembuluh darah sebagai penyebabnya. Rokok, alkohol, dan
obat-obat penenang memberikan kenaikan resiko malformasi. Penelitian
epidemologi di eropa juga menunjukan peningkatan resiko terjadinya
gastroschisis sampai 11 kali pada ibu dibawah umur 20 tahun. Kelainan
kromosom dan anomali lain sangat jarang ditemukan pada gastroschisis,
kecuali adanya atresia intestinal. Bayi dengan gastroschisis biasanya kecil
untuk masa kehamilannya (Effendi & Rubiyanto, 2019)

3 Diagnosis
Sekitar minggu ke 16 dari kehamilan, bisa dilakukan pemeriksaan
protein yang disebut alphafetoprotein (AFP). Bila mana hasilnya tidak
normal atau tinggi maka dokter spesialis kandungan biasanya akan
melakukan pemeriksaan ultrasonografi USG. USG akan menunjukan

16
adanya kelainan dibagian luar perut bayi. Biasanya dokter akan melihat
adanya usus diluar perut bayi, melayang di cairan amnion. AFP sendiri
bermanfaat pada trimester kedua kehamilan. Ini berguna untuk kelainan
omphalocele maupun gastroschisis yang secara statistik kadar AFP
gastroschisis lebih besar daripada omphalocele. Serum kehamilan yang
lain seperti estriol dan Human Chorionic Gonadotropin, tidak terbukti
berguna secara klinik Pada masa kehamilan awal ibu tidak akan merasakan
kelainan atau kejanggalan dalam kehamilannya saat mereka mengandung
bayi dengan gastroschisis (Effendi & Rubiyanto, 2019)

4 Hubungan dengan komunikasi sel dan difrensiensi sel


Pertumbuhan janin dan pembentukannya diatur oleh proses
spesifik pada waktu dan tempat yang tepat. Percepatan pertumbuhan yang
sering diikuti oleh perlambatan. Diferensiasi seluler, proliferasi, migrasi,
dan deposisi terlibat dalam pembentukan jaringan baru. Permulaannya,
embrio sejajar rata dengan cincin umbilicus, yang ditandai secara
histology dengan hubungan epitel silinder dari epiblast (ektoderm) dan
epitel kubus epitel dari amnion. Embrio terdiri dari dua lapis, epiblast
(ektoderm) yang akan menjadi salah satu neuroektoderm atau epitel
permukaan, dan hipoblast, yang menjadi epitel dalam dari organ dalam
perut. Pembentukan dari lapisan germinal yang ketiga (mesoblast)
muncul seiring dengan perubahan bentuk dari embrio. Pemanjangan dari
disk embrio dan pelengkungan longitudinal dan lateral terbentuk silinder
sehingga calon bentuk tubuh dapat dikenali.
Singkatnya embrio manusia berbentuk disk yang terdiri dari dua
lapisan. Ini membutuhkan lapisan sel yang ketiga yang tumbuh diatas
cincin umbilicus dan menjadi silinder dengan memanjang dan melekuk ke
dalam. Lipatan dari tubuh (cephalic, caudal, lateral) bertemu ditengah
embrio dimana amnion tertanam dalam yolk sak.Kecacatan perkembangan
pada titik ini menyebabkan berbagai macam kelainan dinding abdomen.
Pada minggu keenam, pertumbuhan yang cepat dari midgut menyebabkan
hernia fisiologis dari usus melalui cincin umblilikus. Usus akan kembali
kedalam kavum abdomen pada minggu kesepuluh, dan rotasi dan fiksasi

17
dari usus timbul. Proses ini tidak terjadi pada bayi dengan gastroschisis
atau omphalocele, menyebabkan peningkatan resiko volvulus midgut.
Kemungkinan penjelasan secara embriologi dari kelainan dinding
abdomen pada gastroschisis yaitu kecacatan perkembangan jaringan
mesenkimal pada tubuh yang terletak pada pertemuan dinding abdomen
yang mungkin pecah dengan meningkatnya tekanan abdomen. Involusi
yang abnormal dari vena umbilikalis kanan atau kecelakaan pembuluh
darah melibatkan arteri omphalomesenteric menyebabkan kelemahan
dinding abdomen lokal yang kemudian pecah. Pecahnya omphalocele
kecil yang kantongnya diserap dan tumbuhya jembatan kulit antara defek
dinding abdomen dan tali pusar telah ditemukan dalam USG prenatal
secara berurutan (Yunafri, 2019)

5 Patofisiologi
Patofisiologi gastroschisis masih kontroversi. Diketahui bahwa
traktus gastrointestinal berkembang dari tuba digestif primitif yang berasal
dari kantung kuning telur (yolk sac). Tuba digestif mulai terbentuk pada
awal minggu ketiga. Pada waktu ini terjadi proses gastrulasi yang akan
membentuk tiga lapisan germinal pada sistem gastrointestinal, yaitu:
a. Mesoderm merupakan lapisan yang membentuk jaringan penyambung,
termasuk dinding usus dan juga otot polos
b. Endoderm merupakan lapisan yang membentuk epitel saluran
pencernaan, hepar, kantung empedu dan pancreas
c. Ektoderm dibagi menjadi tiga, yaitu permukaan ektoderm (prekursor
epidermis, lensa mata, kuku, dan rambut); tuba neural (berdiferensiasi
menjadi otak dan korda spinalis); serta krista neural (prekursor sistem
saraf perifer termasuk saraf traktus gastrointestinal)
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan bagaimana gastroschisis
dapat terjadi, antara lain:
a. Gangguan vaskular
Teori ini merupakan teori yang paling banyak digunakan. Pada
teori ini dijelaskan bahwa pada mulanya embrio memiliki dua vena
umbilikalis dan dua arteri omphalomesenterika. Vena umbilikalis

18
kanan mengalami involusi pada saat 28–32 hari setelah konsepsi.
Involusi prematur dapat menyebabkan iskemia, dinding melemah, dan
ruptur sehingga terjadi herniasi viseral. Arteri omphalomesenterika kiri
mengalami involusi, dan bagian kanan berkembang menjadi arteri
mesenterika superior. Gangguan pada arteri omphalomesenterika
kanan dapat menyebabkan infark dan nekrosis pada bagian dasar korda
sehingga menyebabkan kerusakan dinding abdomen. Adanya
gangguan pada kedua perkembangan vena atau arteri tersebut dapat
menyebabkan gastroschisis.
b. Fetal thrombophilia induced by estrogen-surge.
Estrogen yang tinggi pada masa kehamilan awal dapat
menyebabkan trombosis pada pembuluh darah janin, sehingga dapat
mencegah penyatuan lipatan dinding tubuh
c. Lipatan ventral kanan lateral gagal menyatu dengan lipatan dinding
tubuh lainnya pada umbilikus
d. Gagalnya mesenkim embrionik untuk membentuk dinding abdomen
akibat paparan zat teratogenik
e. Kegagalan yolk sac dan struktur vitelin menyatu dengan umbilical
stalk. Kondisi ini akan menyebabkan duktus vitelin tetap ada dan yolk
sac diluar body stalk dan dinding abdomen (Yunafri, 2019)

G. Extremitas Reduction

1 Sindaktili
Sindaktili adalah salah satu anomali tangan bawaan yang paling
umum. Ini hasil dari kegagalan dalam proses pemisahan jari dan
pembentukan ruang membran yang biasanya terjadi dengan apoptosis pada
akhir kehidupan embrionik. Sindaktili yang dapat melibatkan jaringan
lunak saja dikenal dengan sindaktili membranous (juga disebut sindaktili
sederhana), atau juga dapat melibatkan jaringan lunak dan struktur tulang
yang termasuk dalam sindaktili (juga disebut sindaktili kompleks).

19
Sindaktili diklasifikasikan berdasarkan pada keterlibatan jari-jari
dan karakter dari jaringan yang bergabung :
a. Sindaktili Simpel Inkomplit
Perlekatan terbatas pada jaringan lunak dan kulit diantara dua jari
tangan yang berdekatan (simple atau kutaneus sindaktili).
b. Sindaktili Simple Komplit
Sindaktili yang memanjang kearah ujung dari seluruh panjang jari-jari
tangan disebut sindaktili komplit.
c. Sindaktili Komplek
Sindaktili atau perlekatan yang melibatkan tulang, jaringan lunak, dan
struktur neurovaskuler
d. Complicated Sindaktili
Tulang yang abnormal diantara jari-jari.
(Muktadira, 2019)

Gambar 1. Klasifikasi Sindaktili

2 Polidaktili
Jari tambahan paling sering didapatkan pada sisi ulnar (polidaktili
postaxial), lebih jarang pada sisi radial (polidaktili preaxial), dan sangat
jarang pada jari telunjuk, tengah, dan jari manis (polidaktili sentral).
Polidaktili campuran artinya polidaktili ulnar dan radial yang terjadi
bersamaan, sedangkan crossed polidactili melibatkan tangan dan juga
kaki.

20
a. Polidaktili preaxial
Polidaktili preaxial berhubungan dengan duplikasi ibu jari dan/
atau jari telunjuk. Polidaktili diklasifikasikan menjadi tujuh jenis
menurut klasifikasi Wassel tergantung pada tingkat percabangan.

Gambar 2. Klasifikasi Wassel


b. Polidaktili postaxial
Duplikasi jari-jari berdasarkan stelling diklasifikasikan menjadi 3
tipe, yaitu:
1) Polidaktili tipe I, terdiri dari jaringan lunak yang terhubung
dengan tulang. Sering kali tidak terdapat tulang, kartilago dan
tendon pada tipe ini. Penatalaksanaannya adalah pengangkatan
sederhana dari jaringan lunak.
2) Pada tipe II, sebagian atau seluruh jari terduplikasi dengan tulang
normal, kartilago atau komponen otot, hal itu berhubungan
dengan pembesaran atau terpecah menjadi dua metakarpal atau
phalanx.
3) Pada tipe III, seluruh jari dengan metakarpal dan seluruh
komponen soft – tissue terduplikasi, tetapi tipe ini jarang terjadi.

21
Gambar 3. Klasifikasi Stelling
c. Polidaktili sentral
Duplikasi dari jari telunjuk, jari tengah dan jari manis
dihubungkan pada polidaktili sentral atau axial.
Sindaktili artinya jari-jari yang menyatu karena tidak terjadi
pemisahan jari di bagian distal sendi metacarpophalangeal. Penyatuan
dapat terjadi hanya pada dua jari atau lebih. Hubungan antarjari dapat
hanya berupa kulit dan jaringan lunak saja, tetapi dapat pula berupa
hubungan tulang dengan tulang. Sindaktili adalah kelainan kongenital
pada tangan yang paling sering ditemukan. Sindaktili timbul pada minggu
ke-5 hingga minggu ke-6 gestasi yang disebabkan oleh gagalnya apoptosis
yang memungkinkan terbentuknya komisura dan gagalnya proses
pemisahan jari pada saat proses pembentukan tangan.
Polidaktili merupakan kelainan kongenital kedua tersering pada
tangan setelah sindaktili. Polidaktili adalah kelainan pada jari sehingga
jumlah jari lebih dari lima. Penderita polidaktili memiliki jari tambahan
yang kadang tidak berfungsi karena tidak memiliki tendon. Polidaktili
dikategorikan menjadi tiga tipe yaitu: preaksial (radial), central, dan
postaksial (ulnar) (Muktadira, 2019)

22
3 Hubungan dengan komunikasi sel dan difrensiensi sel
Polidaktili dan sindaktili merupakan beberapa bagian dari anomali
kongenital ekstremitas. Cacat ini berasal dari prenatal hasil dari
embriogenesis yang rusak atau kelainan intrinsik dalam proses
pengembangan. Embriogenesis adalah proses pembentukan organ dari
tahap embrio sampai menjadi organ yang dapat berfungsi. Embriogenesis
normal merupakan proses yang sangat kompleks. Perkembangan pranatal
terdiri dari 3 tahap yaitu:
a. Tahap implantasi (implantation stage), dimulai pada saat
fertilisasi/pembuahan sampai akhir minggu ketiga kehamilan.
b. Tahap embrio (embryonic stage), awal minggu keempat sampai
minggu ketujuh kehamilan:
1) Terjadi diferensiasi jaringan dan pembentukan organ definitif.
2) Jaringan saraf berproliferasi sangat cepat dengan menutupnya
tabung saraf (neural tube) dan fleksi dari segmen anterior
membentuk bagian-bagian otak.
3) Jantung mulai berdenyut, sehingga darah dapat bersirkulasi
melalui sistem vaskular yang baru terbentuk meskipun struktur
jantung belum terbentuk sempurna.
4) Terlihat primordial dari struktur wajah dan ekstremitas.
c. Tahap fetus (fetal stage), dimulai minggu kedelapan sampai lahir.
Pada tahap ini diferensiasi seluruh organ telah sempurna, bertambah
dalam ukuran, pertumbuhan progresif struktur skeletal dan muskulus
dan terutama otak.
Perkembangan embrio awal meliputi beberapa fenomena yang berbeda :
a. Sel-sel membentuk berbagai jaringan, organ dan struktur tubuh.
b. Proliferasi sel sederhana terjadi dengan kecepatan yang berbeda pada
berbagai bagian tubuh, baik sebelum maupun sesudah diferensiasi
menjadi jaringan spesifik.
c. Beberapa tipe sel seperti melanosit mengalami migrasi ke sekitarnya
sampai akhirnya sampai ke lokasi yang jauh dari tempatnya semula.

23
d. Kematian sel yang terprogram, merupakan faktor penting dalam
pembentukan beberapa struktur, seperti pada pemisahan jari tangan.

e. Penyatuan (fusi) antara jaringan yang berdekatan juga merupakan


mekanisme penting dalam pembentukan beberapa struktur seperti
bibir dan jantung.

Seluruh proses perkembangan normal terjadi dengan urutan yang


spesifik, khas untuk setiap jaringan atau struktur dan waktunya mungkin
sangat singkat. Oleh sebab itu meskipun terjadinya perlambatan proses
diferensiasi sangat singkat, dapat menyebabkan pembentukan yang abnormal
tidak hanya pada struktur tertentu, tetapi juga pada berbagai jaringan di
sekitarnya. Sekali sebuah struktur sudah selesai terbentuk pada titik tertentu,
maka proses itu tidak dapat mundur kembali meskipun struktur tersebut dapat
saja mengalami penyimpangan, dirusak atau dihancurkan oleh tekanan
mekanik atau infeksi (Sitorus, 2013)

H. Conjucted Twin (Kembar Siam)


1 Definisi
Kembar siam adalah kelainan di mana bayi kembar dengan salah satu
atau beberapa bagian tubuh saling menempel atau terhubung satu sama lain.
Kembar siam tergolong kondisi langka. Pada kondisi kembar siam, tubuh
kedua bayi dapat menyatu atau terhubung pada salah satu atau beberapa
bagian tubuh. Bagian tubuh yang paling sering menyatu adalah kepala,
dada, perut, punggung, dan panggul. Kondisi ini terjadi akibat tidak
sempurnanya proses pembelahan pada kehamilan kembar monozigot (satu
sel telur). Bayi kembar siam berpotensi meninggal saat masih berada
dalam kandungan atau meninggal sesaat setelah dilahirkan. Namun, ada
juga yang bisa bertahan hidup (Yusrawati & Effendy, 2014)

2 Etiologi
Kembar siam terjadi ketika pembelahan janin kembar monozigot
(satu sel telur) terlambat dan akhirnya tidak selesai secara sempurna.
Proses pembelahan ini  biasanya terjadi pada 8 hingga 12 hari setelah sel
telur bertemu sperma. Jika terlambat dan melebihi jangka waktu ini,

24
pembelahan cenderung terhenti sebelum proses selesai dengan sempurna.
Akibatnya bayi kembar akan  terlahir menempel satu sama lain. Teori
lain menyebutkan bahwa kembar siam terjadi karena dua sel telur yang
awalnya terpisah, kembali menempel dan menyatu selama masa
kehamilan. Namun, sejauh ini belum diketahui secara pasti penyebab dan
faktor risiko dari kedua dugaan tersebut. Penelitian masih terus dilakukan
untuk membuktikannya.
Obat penyubur yang dikonsumsi dengan tujuan agar sel telur
matang secara sempurna, juga diduga ikut memicu terjadinya bayi kembar.
Alasannya, jika indung telur bisa memproduksi sel telur dan diberi obat
penyubur, maka sel telur yang matang pada saat bersamaan bisa banyak,
bahkan sampai lima dan enam. selain itu juga penyebab lahirnya bayi
kembar siam adalah karena adanya proses pembelahan sel telur yang tidak
sempurna (Yusrawati & Effendy, 2014)

3 Hubungan dengan komunikasi sel dan difrensiensi sel


Secara garis besar, kembar dibagi menjadi dua. Monozigot, kembar
yang berasal dari satu telur dan dizigot kembar yang berasal dari dua telur.
Dari seluruh jumlah kelahiran kembar, sepertiganya adalah monozigot.
Kembar dizigot berarti dua telur matang dalam waktu bersamaan, lalu
dibuahi oleh sperma. Akibatnya, kedua sel telur itu mengalami pembuahan
dalam waktu bersamaan. Sedangkan kembar monozigot berarti satu telur
yang dibuahi sperma, lalu membelah dua. Masa pembelahan inilah yang
akan berpengaruh pada kondisi bayi kelak.

Masa pembelahan sel telur terbagi dalam empat waktu, yaitu 0 - 72


jam, 4 - 8 hari, 9-12 dan 13 hari atau lebih. Pada pembelahan pertama,
akan terjadi diamniotik yaitu rahim punya dua selaput ketuban,
dan dikorionik atau rahim punya dua plasenta. Sedangkan pada
pembelahan kedua, selaput ketuban tetap dua, tapi rahim hanya punya satu
plasenta. Pada kondisi ini, bisa saja terjadi salah satu bayi mendapat
banyak makanan, sementara bayi satunya tidak. Akibatnya, perkembangan
bayi bisa terhambat. Lalu, pada pembelahan ketiga, selaput ketuban dan

25
plasenta masing-masing hanya sebuah, tapi bayi masih membelah dengan
baik (Nora, 2013)
Pada pembelahan keempat, rahim hanya punya satu plasenta dan
satu selaput ketuban, sehingga kemungkinan terjadinya kembar siam
cukup besar. Pasalnya waktu pembelahannya kelamaan, sehingga sel telur
keburu berdempet. Jadi kembar siam biasanya terjadi pada monozigot
yang pembelahannya lebih dari 13 hari. Dari keempat pembelahan
tersebut, tentu saja yang terbaik adalah pembelahan pertama, karena bayi
bisa membelah dengan sempurna. Namun, keempat pembelahan ini tidak
bisa diatur waktunya. Faktor yang memengaruhi waktu pembelahan, dan
kenapa bisa membelah tidak sempurna sehingga mengakibatkan dempet,
biasanya dikaitkan dengan infeksi, kurang gizi, dan masalah lingkungan
(Nora, 2013)

26
BAB III
REVIEW JURNAL

A. Judul Jurnal : Gambaran Umum Persinyalan dan Komunikasi Sel


B. Jurnal : Biologi Farmasi
C. Vol & hal : Vol 5 (2), 2015, 104-107
D. Tahun : 2015
E. Penulis :Jineetkumar Gawad, Bhakti Chavan, Pradeep Bawane,
Amol Mhaske dan Savita Tauro
F. Reviewer : Kelompok 2
G. Tanggal : 24 November 2021
H. Kata kunci : Sel, Sinyal, Reseptor, Integrin.

Salah satu aspek penting dalam kehidupan biologis adalah


komunikasi sel. Komunikasi sel akan merangsang adanya perkembangan,
pertumbuhan dan kekebalan tubuh. Jika komunikasi antar sel terjadi secara
abnormal maka akan berdampak gangguan perkembangan, pertumbuhan
dan kekebalan. Komunikasi sel terjadi jika sinyal dari satu sel dibawa oleh
molekul dan reseptor sel lain mengikat molekul sinyal tersebut. Dari
komunikasi sel tersebut terbentuk banyak jalur yang kemudian akan
merangsang terjadinya respons seluler.
Protein dari sel penginduksi berinteraksi dengan protein reseptor
sel terdekat yang merespon dikenal dengan persinyalan juxtacrine. Ada
beberapa jenis interaksi juxtacrine, yaitu :
1 Protein pada satu sel berikatan dengan reseptornya pada sel yang
berdekatan
2 Reseptor pada satu sel mengikat ligan pada matriks ekstraseluler
yang disekresikan oleh sel lain
3 Sinyal ditransmisikan langsung dari sitoplasma satu sel melalui
saluran kecil ke sitoplasma sel yang berdekatan
Komunikasi sel pada manusia terdiri atas :
1 Persinyalan autokrin yaitu sel dapat berkomunikasi dengan dirinya
sendiri. Pada jenis ini, sel mempengaruhi fungsinya sendiri dengan
mengeluarkan zat yang dapat bekerja pada reseptor seluler.

27
2 Persinyalan parakrin, dimana suatu sel berkomunikasi dengan sel di
lingkungan terdekatnya. Sinyal ini sangat diperlukan dalam respon
imun lokal. Sinyal ini sangat cepat mempengaruhi sel-sel
didekatnya. Agen dari persinyalan parakrin ini adalah faktor
pertumbuhan dan faktor pembekuan. Aksi lokal dari faktor
pertumbuhan sangat berperan penting dalam perkembangan
jaringan.
3 Persinyalan endokrin, persinyalan ini terjadi karena adanya hormon.
Hormon berpindah melalui sirkulasi untuk mencapai sel target yang
terletak jauh dari sel endokrin sehingga membutuhkan waktu yang
relatif lama.
Transkripsi gen biasanya dipengaruhi oleh molekul pemberi sinyal
sehingga dapat mengubah struktur dan fungsi protein suatu sel. Contohnya
pada proses meningkatnya respon imun. Reseptor nuklir dapat berdifusi
melintasi lipid bilayer dari membran sel dan membran nukleus. Molekul
penting dalam menghasilkan respon imunosupresif.
Protein adalah sebagian besar molekul persinyalan sel yang harus
berikatan dengan reseptor khusus pada permukaan membran sel. Bentuk
reseptor ini tergantung pada molekul sinyal hilir. Dalam sistem imun,
reseptor protein G sangat penting sebagai kemoreseptor. Reseptor protein
G ini juga tersebar banyak pada tubuh manusia seperti pada reseptor
penciuman dan pengelihatan.
Integrin adalah reseptor khusus untuk terjadinya komunikasi antara
lingkungan dalam dan luar sel yang menghasilakan ikatan fisik antara
matriks esktraseluler dengan sitoskleton sel. integrin bekerja dua arah
dengan mengikat ligan ektraseluler sehingga memicu kaskade sinyal
intraseluler atau mereka diaktifkan oleh faktor-faktor dari dalam sel yang
mempengaruhi hubungan sel dengan lingkungannya. Integrin tidak
tersebar pada permukaan sel tapi integrin bermigrasi di dalam membran
sel dan melakukan proses aktivasi. Aktivasi intergin melalui faktor internal
dapat memicu terjadinya persinyalan luar-dalam. Persinyalan dari luar ke

28
dalam ini dapat mengakibatkan modifikasi sitoskleton yang menyebabkan
proliferasi atau migrasi sel dan menentukan kelangsungan hidup sel.

29
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Salah satu aspek penting dalam kehidupan biologis adalah komunikasi
sel. Komunikasi sel akan merangsang adanya perkembangan, pertumbuhan
dan kekebalan tubuh. Jika komunikasi antar sel terjadi secara abnormal maka
akan berdampak gangguan perkembangan, pertumbuhan dan kekebalan.
Komunikasi sel terjadi jika sinyal dari satu sel dibawa oleh molekul dan
reseptor sel lain mengikat molekul sinyal tersebut. Dari komunikasi sel
tersebut terbentuk banyak jalur yang kemudian akan merangsang terjadinya
respons seluler. Sehingga mahasiswa bisa mengaitkan dengan kelainan
kogenital terhadap proses penyimpangan dari diffrensiansi sel dan komunikasi
sel. Agar bisa menjadi tahapan pembelajaran yang bia digunakan kepada
masyarakat dalam hal edukasi mendalam.

B. Saran

Semoga makalah ini menjadi bahan penelitian terhadap pencegahan


penyakit akibat kelainan kogenital tehadap penyimpangan difrensiensi sel dan
komunikasi sel.

30
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, S. H., & Rubiyanto, T. (2019). Gastroschisis (Vol. 1).


Fay, D. L., & PURWATI. Rantam, Fedik A. Poerwantoro, P. D. (2018). Modul 1
BASIC SCIENCE STEM CELL DAN METABOLIT. PURWATI.
Rantam,Fedik A. Poerwantoro, Poengky D., 1, 1–30.
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKE
wiisO68wvfzAhWFYysKHTRZDUUQFnoECCAQAQ&url=http%3A%2F
%2Frepository.unair.ac.id%2F95049%2F1%2F2.%2520SERTIFIKAT
%2520%2526%2520MODUL%2520BASIC%2520SCIENCE%2520STEM
%2520CELL%2520DAN
%2520METABOLIT.pdf&usg=AOvVaw1H5U1VJOWSYV3wpj5NhmoX
Francine, R., Pascale, S., & Aline, H. (2014). Congenital Anomalies: Prevalence
and Risk Factors. Universal Journal of Public Health, 2(2), 58–63.
https://doi.org/10.13189/ujph.2014.020204
Gelfer, Y., Wientroub, S., Hughes, K., Fontalis, A., & Eastwood, D. M. (2019).
Congenital talipes equinovarus. Bone and Joint Journal, 101 B(6), 639–645.
https://doi.org/10.1302/0301-620X.101B6.BJJ-2018-1421.R1
Haryono, R. (2013). Penangan Kejadian AtresiaAni pada Anak. Jurnal
Keperawatan Notokusumo, 1(1), 55–61. http://jurnal.stikes-
notokusumo.ac.id/index.php/jkn/issue/view/1
Jwa, E., Kim, S. C., Kim, D. Y., Hwang, J.-H., Namgoong, J.-M., & Kim, I.-K.
(2014). The Prognosis of Gastroschisis and Omphalocele. Journal of the
Korean Association of Pediatric Surgeons, 20(2), 38.
https://doi.org/10.13029/jkaps.2014.20.2.38
Krisna, D. M., & A, M. (2017). Hipospadia : Bagaimana Karakteristiknya Di
Indonesia? Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, 2(2), 325.
https://doi.org/10.21460/bikdw.v2i2.52
Matthew, F., Wilar, R., & Umboh, A. (2021). Faktor Risiko yang Berhubungan
dengan Kejadian Kelainan Bawaan pada Neonatus. E-CliniC, 9(1).
https://doi.org/10.35790/ecl.v9i1.32306

31
Muktadira, U. (2019). Polydactyly dan syndactyly. Universitas Halu Oleo.
Nora, H. (2013). Twin – Twin Transfusion Syndrome. Kedokteran Syiah Kuala,
13 No.2, 125–128.
Nurrahmani, D. P., Meidian, A. C., & Anggita, M. Y. (2018). Penambahan
Tightrope Walker Terhadap French Functional Methode Untuk
Meningkatkan Kemampuan Berjalan Pada Anak Congenintal Talipes Equino
Varus (CTEV) Usia 2 - 5 Tahun Di Rsud Cengkareng. Jurnal Fisioterapi,
18(2), 46–52.
Rogala, E. J., Wynne Davies, R., & Littlejohn, A. J. (2014). Congenital limb
anomalies: frequency and aetiological factors. Data from the Edinburgh
Register of the Newborn. Journal of Medical Genetics, 11(3), 221–233.
https://doi.org/10.1136/jmg.11.3.221
Rogdo, B., & Mack, A. J. (2016). Giant omphalocele: current perspectives.
Research and Reports in Neonatology, Volume 6, 33–39.
https://doi.org/10.2147/rrn.s82528
Roux, N., Jakubowicz, D., Salomon, L., Grangé, G., Giuseppi, A., Rousseau, V.,
Khen-Dunlop, N., & Beaudoin, S. (2018). Early surgical management for
giant omphalocele: Results and prognostic factors. Journal of Pediatric
Surgery, 53(10), 1908–1913. https://doi.org/10.1016/j.jpedsurg.2018.04.036
Sigumonrong, Y., Santosa, A., Rodjani, A., Tarmono, & Wahyudi, I. (2016).
Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) Urologi Anak (Pediatric Urology)
di Indonesia 2016 ( dr. F. Rahman, dr. R. Andika, & dr. E. Respati (eds.);
Ikatan Ahl). Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
Sitorus, R. (2013). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status
Fungsional Paska Open Reduction Internal Fixation ( Orif ). Jurnal
Keperawatan Medikal Bedah, 1(2), 81–90.
Sriyanti, C. (2016). Patologi. Kementerian Kesehatan Indonesia.
Yunafri, A. (2019). Anestesi Pada Gastroschisis. Jurnal Ilmiah Maksitek, 4(2), 5.
https://makarioz.sciencemakarioz.org/index.php/JIM/article/view/83/80
Yusrawati, & Effendy, R. (2014). Laporan Kasus Twin to Twin Transfusion
Syndrom. Jurnal Kesehatan Andalas, 3(2), 278–282.
https://doi.org/https://doi.org/10.25077/jka.v3i2.105

32
33

Anda mungkin juga menyukai