Anda di halaman 1dari 144

KEPERAWATAN GERONTIK

NAMA ANGGOTA KELOMPOK 7:


1.MU’UMINAH
2.NIA MEDIAWATI
3.RURI FARHATUN
4.SELLY KRIMAWATI

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PRODI KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena dengan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Mata Kuliah Keperawatan Gerontik.
Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses pembuatan makalah ini,namun
kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Jika didalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan,maka kami
memohon maaf atasnya. Kami menyadari bahwa makalah kami jauh dari kesempurnaan.
Lebih dan kurangnya di ucapkan Terima Kasih.

Mataram, 19 November 2021

Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................
1.2 Tujuan..................................................................................................................
1.3 Manfaat................................................................................................................
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Lanjut Usia
2.2 Teori Proses Menua
2.3 Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
2.4 Hukum Legal dan Etik Keperawatan Lansia
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Kehidupan Seksual, pembatasan fisik, dan gangguan obat pada lansia
3.2 Asuhan Keperawatan Individu, Keluarga, dan Masyarakat dengan Lansia
3.3 Masalah Yyang Dapat Timbul Pada Keluarga Dengan Lansia
3.4 Asuhan Keperawatan Gangguan Konsep Diri, Gangguan Alam Perasaan, dan
Gangguan Kognitif Pada Lansia
3.5 Asuhan Keperawatann Lansia Menjelang Ajal
3.6 Asuhan Keperawatan Masalah Biologis, Psikososial dan Sosial Kultural
3.7 Peran Keluarga, Tugas Keluarga, Langkah-Langkah Dalam Perawatan
Keluarga Dengan Lansia
3.8 Asuhan Keperawatan Osteoporosis, Osteoatritis, dan Fraktur Pada Lansia
3.9 Hukum dan Etika Dalam Geriatrik
3.10 Asuhan Keperawatan DM dan Tiroid pada Lansia
3.11 Pelayanan Kesehatan Nasional Lansia
3.12 Asuhan Keperawatan TBC dan PPOM Pada Lansia
3.13 Promosi Kesehatan dan Kesejahteraan pada Lansia
3.14 Asuhan Keperawatan Kritikal pada Lansia
BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Asuhan Keperawatan
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu prosesmenghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki
kerusakan yang diderita.
Perubahan umum kemapuan morotik pada lansia yaitu kekuatan motirik: penurunan
kekuatan yang paling nyata adalah pada kelenturan otot-otot tangan bagian depan dan
otot-otot yang menopang tegaknya tubuh. Orang berusia lanjut lebih cepat merasa
lebih dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk memulihkan diri dan keletihan
dibanding yang lebih muda.
Karakteristik lansia yaitu berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat 2
tentang kesehatan), kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat samapi
sakit, dari kebutuhan biopsikososial – spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga
kondisi maladaftif, lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
Berdasarkan hasil sensus penduduk Indonesia tahun 2011 jumlah lansia sekitar 24 juta
jiwa (hampir 10% jumlah penduduk), pada tahun 2012 jumlah penduduk lansia di
Indonesia sebesar 27 juta jiwa, sedangkan tahun 2013 menunjukan lansia di Indonesia
sebesar 28 juta jiwa dari total penduduk Indonesia. Penduduk lansia ini diproyeksikan
menjadi 28,8 juta jiwa (11,34% ) dari total penduduk Indonesia pada tahun 2020, atau
menurut proyeksi Bappenas, jumlah penduduk lansia 60 tahun akan menjadi dua kali
lipat (36 juta) pada tahun 2025. Setiap tahun, jumlah lansia bertambah rata-rata
450.000 orang, maka pada tahun 2050 diperkirakan berjumlah 60 juta lansia (Depkes
RI, 2013). Berdasarkan data BPS provinsi Sultra, jumlah penduduk Sulawesi tenggara
tahun 2009 sebanyak 260.867 jiwa. Jumlah ini meningkat menjadi 289.966 jiwa pada
tahun 2010. Sedangkan tahun 2011 terjadi peningkatan yaitu menjadi 295.737 jiwa.
Data lansia pada Tahun 2015 dari bulan Januari sampai dengan Februari adalah 95
orang yang terdiri dari 49 orang laki - laki dan 46 orang perempuan, dengan rata rata
umur lebih dari 60 tahun keatas, dan latar belakang pendidikan yang hampir sama
yaitu pendidikan Sekolah Dasar (SR).
1.2 Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik
2. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Lansia
1.3 Manfaat
1. Agar mahasiswa mengetahui Asuhan Keperawatan pada lansia
2. Mahasiswa dapat memahami proses keperawatan dari pengkajian, diagnosis
keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Lansia
Menurut pasal 1 ayat (2), (3),(4) UU no. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan
lanjut usia dikatakan lansia jika usia mencapai lebih darii 60 tahun. Dimana terjadi
perubahan secara anatomis dan fisiologis sehingga berdampak pada fungsi dan
kemampuan tubuh (Depkes, RI, 2008)
Menurut Sri, dkk (2019) asal mula penetapan usia kronologis tidak diketahui,
namun berasal dari Jerman sejak satu abad yang lalu, usia kronologis yang
ditetapkan untuk lansia adalah 65 tahun atau lebih.
2.2 Teori Proses Menua

Sampai saat ini, banyak definisi dan teori yang menjelaskan tentang proses menua
yang tidak seragam. Proses menua bersifat individual: dimana proses menua pada
setiap orang terjadi dengan usia yang berbeda, setiap lanjut usia mempunyai
kebiasaan atau life style yang berbeda, dan tidak ada satu faktor pun yang
ditemukan dapat mencegah proses menua. Adakalanya seseorang belum tergolong
tua (masih muda) tetapi telah menuujukan kekurangan mencolok. Ada pula orang
yang bergolong lanjut usia penampilannya masih sehat, bugar, badan tegap, akan
tetapi meskipun demikian, harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering
dialami oleh lanjut usia. Misalnya hipertensi, diabetes melitus, rematik, asam urat,
dimensia senilis, sakit ginjal. Dll.
Teori-teori tentang penuaan sudah banyak yang dikemukakan, namun tidak
semuanya bisa diterima. Teori- teori itu terdapat digolongkan dalam dua kelompok,
yaitu yang termasuk kelompok teori biologis dan teori psikososial.
1. Teori biologis :
Teori yang merupakan teori biologis adalah sebagai berikut:
a. Teori jam genetik
Menurut hay ick (1965), secara genetik sudah berprogram didalam
inti sel dikatakan dibagaikan memiliki jam genetis terkait dengan
frekuensi mitosis. Teori ini didasarkan pada kenyataan bahwa
spesies- spesies tertentu memiliki harapan hidup (litespan) yang
tertentu pula. Manusia yang memiliki rentang kehidupan maksimal
sekitar 110 tahun, sel-selnya diperkirakan hanya mampu membelah
sekitar 50 kali, sesuadah itu akan mengalami deteriorasi.
1) Teori cross-linkage (rantai silang)
Kolagen yang merupakan unsur penyusun tulang diantara
susunan molecular, lama kelamaan akan meningkat kekakuanya
(tidak elastis). Hal ini disebabkan oleh karena sel-sel yang sudah
tua dan reaksi kimianya menyebabkan jaringan yang sangat
kuat.
2) Teori radikal bebas
Radikal bebas merusak membrane sel yang menyebabkan
kerusakan dan kemunduran secara fisik.
3) Teori genetic
Menurut teori ini,menua telah terprogram secara genetic untuk
spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari
perubahan biokimia yang deprogram oleh molekul- molekul/
DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi(Padila
2013)
4) Teori immunologi
a) Didalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi
suatu zat khusus.Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak dpt
tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi
lemah.
b) System immune menjadi kurang efektif dalam
mempertahankan diri, regulasi dan responsibilitas.
5) Teori stress-adaptasi
Menua terjadi akibat hilangnya sel sel yang biasa digunakan
tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat memepertahankan
kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stress
menyebabkan sel sel tubuh lelah terpakai.
6) Teori wear and tear (pemakaian dan rusak)
Kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel sel tubuh lelah
(terpakai)(Setiyorini, Erni, W. Arti 2018).
2. Teori psikososial
Teori yang merupakan teori psikososial adalah sebagai berikut:
a. Teori integritas ego
Teori perkembangan ini mengidentifikasi tugas tugas yang harus dicapai
dalam tiap tahap perkembamgan. Tugas perkembangan terakhir
merefleksikan kehidupan seseorang dan pencapaiannya. Hasil akhir dari
penyelesaian konflik antara integrasi ego dan keputusan adalah kebebasan.
b. Teori stabilitas personil
Kepribadian seseorang terbentuk pada masa kanak kanak dan tetap
bertahan secara stabil. Perubahan yang radikal pada usia tua bisa jadi
mengindikasikan penyakit otak.
c. Perasaan Kesepian
Lansia cenderung merasa hidup sendiri, walaupun terlihat sangat bahagia,
tetapi dirinya merasa terasingkan karena tidak sesuai dengan pemikiran
orang lain dan merasa sukar untuk menyukainya. Jika kondisi ini berlarut-
larut merekan akan jatuh pada kondisi gangguan kejiwaannya.
d. Merasa tidak diperlukan lagi
Dengan penurunan kondisi fisik tubuh lansia, anak cucu akan melarangnya
mengerjakan apapun sehingga justru lansia menganggap dirinya tidak
diperlukan lagi.
e. Tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaan
Lansia cenderung tidak mau menerima perubahan baru yang ada dalam
kehidupannya. Sehingga orang-orang yang ada disekitarnya juga merasa
terganggu dengan keberadaannya.
f. Meninggalkan banyak aktivitas
Karena berbagai alasan yang relative bersumber dari pandangannya sendiri
sehingga mereka menarik diri. Lansia merasa diatur, merasa ditolak,
dihalangi sehingga merasa lebih nyaman sendiri.
g. Kehilangan teman hidup
Kematian pasangan merupakan stressor yang paling berat bagi lansia.
Mereka merasakan kehilangan segala-galanya. Terutama pada lansia laki-
laki yang ditinggalkan istrinya karena terasa berat untuk mengurus dirinya
(Setiyorini, Erni, W. Arti 2018).
3. Teori sosiokultural
Teori yang merupakan teori sosiokultural adalah sebagai berikut:
a. Teori pembebasan (disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahmya usia, seseorang
berangsur angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya, atau
menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Hal ini mengakibatkan interksi
social lanjut usia menurun, sehingga sering terjadi kehilangan ganda
meliputi :
1) Kehilangan peran
2) Hambatan kontak social
3) Berkurangnya komitmen(Setiyorini, Erni, W. Arti 2018)
b. Teori aktifitas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses tergantung dadi
bagaimana seorang usia lanjut merasakan kepuasan dalam beraktifitas
dan mempertahankan aktifitas tersebut selama mungkin. Adapun
kualitas aktifitas yang dilakukan.
c. Teori menarik diri
Dalam teori ini lansia cenderung menarik diri karena merasa tudak
percaya diri dengan semua perubahan yang ada dalam dirinya, namun
ada yang memang sengaja tidak mau berinteraksi dengan orang lain dan
kegiatan yang dijalani sebelumnya karena ingin memusatkan diri pada
persoalan pribadi dan mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian.
Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian masyarakat dala
berinteraksi dengan lansia.
d. Teori kesinambungan
Dalam teori ini seorang lansia dapat menentukan sikap dala menghadapi
masalahnya. Lansia dihadapkan untuk memilih peran mana yang harus
dilepaskan atau dipertahankan.
e. Teori Perkembangan
Dalam teori ini lansia menekankan pentingnya mengetahui apa yang
telah dialami seorang lansia pada saat muda sampai dengan dewasa.
Menurut Havighurst dan Duvali menyatakan bahwa ada tujuh tugas
lansia yang harus dilakukan dala kehdupannnya antara lain:
1) Penyesuaian terhadap penurunan kemampuan fisik dan psikis.
2) Penyesuaian terhadap pension dan penurunan pendapatan.
3) Menemukan makna kehidupan.
4) Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan,
5) Menemukan kepuasan hidup dalam berkeluarga.
6) Menyesuaikan diri dala kenyataan akan meninggal dunia.
7) Menerima dirinya sebagai seorang lansia.
f. Teori stratifikasi usia
Dua elemen penting yang ada dalam teori ini antara lain struktur dan
proses. Struktur yang dimaksud adalah peran dan harapan menurut
penggolongan usia, posisi kelompok usia dalam masyarakat. Sedangkan
proses merupakan suatu kedudukan peran dan bagaimana cara mengatur
transisi peran.
g. Teori Spiritual
Teori ini lebih merujuk pada hubungan individu dengan alam semesta
dan persepsi individu tentang proses kehidupan. Teori ini dapat
menuntun lansia mempersiapkan diri terhadap kematian yang akan
dialami dengan medekatkan diri kepada Tuhan(Padila 2013).
4. Teori konsekuensi fungsional
Teori yang merupakan teori fungsional adalah sebagai berikut
a. Teori ini mengatakan tentang konsekuensi fungsional usia lanjut yang
berhubungan dengan perubahan-perubahan karena usia dan faktor risiko
tambahan.
b. Tanpa intervensi maka beberapa konsekuensi fungsional akan negatif,
dengan intervensi menjadi positif(Padila 2013).
2.3 Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
A. Perubahan Fisiologis Yang Terjadi Pada Lansia
Menjadi tua atau menua membawa pengaruh serta perubahan menyeluruh baik
fisik, sosial, mental, dan mental spiritual, yang keseluruhannya saling kait
mengait antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Dan perlu kita ingat
bahwa tiap-tiap perubahan memerlukan penyesuaian diri, pada hal dalam
kenyataan semakin menua usia kita kebanyakan semakin kurang fleksible
untuk untuk menyesuaikan terhadap berbagai gejolak yang harus dihadapi oleh
setiap kita yang mulai menjadi manula. Gejolak-gejolak itu anara lain
perubahan fisik dan perubahan sosial.
Menurut badan kesehatan dunia atau WHO, 2000 penggolongan dewasa lanjut
atau lansia dibagi menjadi tiga kelompok yakni usia pertengahan (middle age)
ialah kelompok usia 45 samapai 59 tahun, lanjut usia (elderly)antara 60 sampai
74 tahun, lanjut usia tua (old) antara 75 samapai 90 tahun, dan usia sangat tua
(very old) di atas 90 tahun, perubahan-perubahan yang terjadi meliputi dari
sistem endocrine, sistem cardiovascular, sistem imunitas, sistem pernapasan,
sistem pencernaan, sistem perkemihan, sistem reproduksi wanita dan pria.
Secara umum, menjadi tua di tandai oleh kemunduran biologis yang terlibat
sebagai gejala-gejala kemunduran fisik, antara lain:
1. Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriputserta garis-garis yang
menetap
2. Rambut kepala mulai memutih atauberuban
3. Gigi mulai lepas (ompong)
4. Penglihatan dan pendengaran berkurang
5. Meudah lelah dan mudah jatuh
6. Mudah terserang penyakit
7. Nafsu makan menurun
8. Penciuman mulai berkurang
9. Gerakan menjadi lambing dan kurang lincah
10. Pola tidur berkurang(Padila 2013).
a. Perubahan dan kosekuensi fisiologis usia lanjut pada sistem
kardiovaskuler:
1) Elastic dinding aorta menurun
2) Perubahan miokara; atrofi menurun
3) Lemak sub endoicard menurun; fibrosis, menebal, sclerosis
4) Katup-katup jantung mudah fibrosis dan klasifikasi (kaku)
5) Peningkatan jaringan ikat psds Sa Node
6) Penurunan denyut jantung maksimal pada latihan
7) Cardiac output menurun
8) Perubahan jumlah sel pada pace maker
9) Jaringan kolagen bertambah dan jaringan elastic berkurang
10) Pada otot jantung
11) Penurunan elastis pada dinding vena
12) Respon baru perseptor menurun (Setiyorini, Erni, W. Arti 2018).
b. Perubahan dan kosekuensi fisiologis usia lanjut system gastrointestinal:
1) Terjadi artropi mukosa
2) Artropi dari sel kelenjar, sel parietal dan sel chief akan menyebabkan
sekresi asam lambung, pepsin dan factor intrinsic berkurang
3) Ukuran lambung pada lansia menjadi lebih kecil, sehingga daya
tamping makanan menjadi lebih berkurang.
4) Proses perubahan protein menjadi pepton tergantung karena sekresi
asam lambung berkurang dan rasa laper juga berkurang(Setiyorini,
Erni, W. Arti 2018).
c. Perubahan dan kosekuensi disologis usia lanjut system respirotori
1) Perubahan seperti hilangnya silia dan menurunnya reflex batuk dan
muntah mengubah keterbatasan fisiologis dan kemampuan
perlindungan pada sistem pulmonal
2) Perubahan anatomi seperti penurunan komplians paru dan dinding
dada turut berperan dalam peningkatan kerja pernapasan sekitar 20%
pada usia 60 tahun
3) Atrofi otot-otot pernapasan dan penurunan kekuatan otot-otot
pernapasan dapat meningkatkan risiko berkembangnya keletihan otot-
otot pernapasan pada lansia
4) Perubahan fisiologis yang di temkan pada lansia yaitu alveoli menjadi
kurang elastik dan lebih berserabut serta berisi kapiler-kapiler yang
kurang berfungsi sehingga kapasitas penggunaan menurun karena
kapasitas difusi paru-paru untuk oksigen tidak dapat memenuhi
permintaan tubuh (Setiyorini, Erni, W. Arti 2018).
d. Perubahan dan kosekuensi fisiologis usia lanjut system musculoskeletal:
1) Penururnan kekuatan otot yang disebabkan oleh penurunan massa otot
(atropi otot)
2) Ukuran otot mengecil dan penurunan massa otot lebih banyak terjadi
pada ekstrimitas bawah
3) Sel otot yang mati digantikan oleh jaringan ikat dan lemak
4) Kekuatan atau jumlah daya yang di hasilkan oleh otot menurun dengan
bertambahnya usia
5) Kekuatan otot ekstremitas bawah berkurang sebesar 40% antara usia
30 samapai 80 tahun (Setiyorini, Erni, W. Arti 2018).
e. Perubahan dan kosekuensi fisiologis usia lanjut system endokrin:
Sistem endocrine mempunyai fungsi yaitu sebagai sistem yang utama
dalam mengkontrol seluruh sistem tubuh. Melalui hormon, sistem
endocrine menstimulus seperti proses yang berkesinambungan dalam
tubuh sebagai pertumbuhan dan perkembangan, metabolism dalam tubuh,
reproduksi, dan pertahanan tubuh terhadap berbagai serangan-serangan
penyakit atau virus.
Hormon-hormon yang terdapat pada sistem endocrine yaitu kelenjar
pituitary, kelenjar thyroid, kelenjar parathyroid, kelenjar adrenal,
pancreatic islet, kelenjar pineal, kelenjar thymus, dan gonad. Hormone-
hormone tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda di setiap tubuh
manusia.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem endocrine yang di alami
oleh dewasa lanjut atau lanjut usia yaitu produksi hormone hampir semua
menurun, fungsi paratiroid dan sekesinya tak berubah, pertumbuhan
hormone pituitary ada tetapi lebih rendah dan hanya ada di pembuluh
darah dan berkurangnya produksi dari ACTH,TSH,FSH, dan LH, gonads,
progesterone, estrogen, dan testosterone, dan defisiensi hormonal dapat
menyebabkan hiptirodism.(Setiyorini, Erni, W. Arti 2018).
f. Perubahan dan kosekuensi fisiologis usia lanjut sistem integument :
Perubahan pada sistem integumentary yang terjadi pada dewasa lanjut
yaitu kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan
kurang kelastisannya karena menurunnya cairan dan hilangnya jaringan
adipose, kelenjar-kelenjar keringat mulai tak bekerja dengan baik,
sehingga tidak begitu tahan terhadap panas dengan temperature yang
tinggi, kulit pucat dan terdapat bintik-bintij hitam akibat menurunnya
aliran darah dan menurunnya sel-sel yang memproduksi pigmen,
menurunnya aliran darah dalam kulit juga menyebabkan penyembuhan
luka- luka kurang baik, kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal dan
rapuh dan temperature tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang
menurun(Setiyorini, Erni, W. Arti 2018)
g. Perubahan dan kosekuensi fisiologis usia lanjut system neurology:
Perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem saraf pada dewasa lanjut
atau lansia yaitu berat otak menurun, hubungan persyarafan cepet
menurun: lambat dalam respond an waktu untuk brpikir. Berkurangnya
penglihatan, hilangnya penglihatan, mengecilnya syaraf pencium dan
perasa lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan
terhadap dingin, kurang sensitif terhadap sentuhan, cepatnya menurunkan
hubungan persyarafan, reflek tubuh akan semakin berkurang serta terjadi
kurang koordinasi tubuh, dan membuat dewasa lanjut menjadi cepat pikun
dalam mengingat sesuatu(Setiyorini, Erni, W. Arti 2018).
h. Perubahan dan kosekuensi fisiologis dan usia lanjut system genetourinari
Dengan bertambahnya usia, ginjal akan kurang efisien dalam
memindahkan kotoran dari saluran darah. Kondisi kronik, seperti diabetes
atau tekanan darah tinggi, dan beberapa pengobatan dapat merusak ginjal.
Dewasa lanjut yang berusia 65 tahun akan mengalami kelemahan dalam
kontrol kandung kemih (urinary incontinence). Incontinence dapat di
sebebkan oleh beragam masalah kesehatan, seperti obesitas, konstipasi dan
batuk kronik
Perubahan yang terjadi pada system perkrmihan pada dewasa lanjut yaitu
otot-otot pengatur fungsi saluran kincing menjadi lemah, frekuensi buang
air kecil meningkat, terkadang terjadi ngompol, dan aliran ginjal menurun
sampai 50% fungsi tubulus berkurang akibatnya kurang kemempuan
mengkosentrasi urine(Setiyorini, Erni, W. Arti 2018).
i. Perubahan dan kosekuensi fisiologis usia lanjut system sensori (panca
indra)
Perubadan pada panca indra. Pada hakekatnya panca indra merupakan
suatu organ yang tersusun dari jaringan, sedangkan jaringan sendiri
merupakan kumpulan sel yang mempunyai fungsi atau sama. Karena
mengalami proses penuaan (aging) sel telah mengalami perubahan bentuk
maupun komposisi sel tidak normal. Maka secara otomatis fungsi indra
pun akan mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat pada orang tua yang
secara berangsur-angsur mengalami penurunan kemampuan
pendengarannya dan mata kurang kesanggupan melihat secara focus objek
yang dekat bahkan ada yang menjadi rabun, demikian juga indra
penngecap, perasa, penciuman berkurang sensitivitasnya (Setiyorini, Erni,
W. Arti 2018).
B. Perubahan Patologis pada Lansia
1. Perubahan patologis sistem kardiovaskular dan penyakit kardiovaskular pada
lansia
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik sama atau
lebih tinggi dari 140mmHg dan tekanan diastolic lebih tinggi dari 90
mmHg, yang tterjadi karena menurunnya elastisitas arteri pada proses
menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat memicu terjadinya stroke,
kerusakan pembuluh darah (arteriosclerosis), serangan/gagal jantung, dan
gagal ginjal(Padila 2013).
b. Penyakit jantung coroner
Penyempitan pembuluh darah jantung sehingga aliran darah menuju
jantung terganggu. Gejala umum yang terjadi adalah nyeri dada, sesak
napas, pingsan, hingga kebingungan(Padila 2013).
c. Disritmia
Insidensi disritmia atrial dan ventikuler meningkat pada lansia karena
perubahan struktural dan fungsional pada penuaan. Masalah dipicu oleh
disritmia dan tidak terkordinasinya jantung sering dimanifestasikan sebagai
perubahan perilaku, palpitasi, sesak napas, keletihan, dan jatuh (Padila
2013).
d. Penyakit vascular perifer
Gejala yang paling sering adalah rasa terbakar, kram, atau nyeri yang
terjadi saat melakukan aktivitas fisik dan menghilang pada saat istirahat.
Ketika penyakit semakin berkembang, nyeri tidak akan hilang pada saat
beristirahat. Jika lansia mempertahankan gaya hidup yang kurang gerak,
penyakit ini mungkin telah berlanjut ketika nyeri pertama muncul. Tanda
dan gejala lain yaitu ekstremitas dingin, perubahan trofik (misalnya
kehilangan rambut yang tidak seimbang, deformitas kuku, atrofi jari-jari
dan anggota gerak yang terkena), tidak terabanya denyut nadi, dan mati
rasa (Padila 2013).
e. Penyakit katup jantung
1) Manifestasi klinis dari penyakit katup jantung bervariasi dari fase
kompensasi sampai pada fase pascakompensasi. Selama fase
kompensasi tubuh menyesuaikan perubahan pada struktur dan fungsi
katup, menghasilkan sedikit tanda dan gejala yang muncul. Lansia
dapat turut berperan dalam fase ini melalui peningkatan gaya hidup
yang sebagian besar waktunya dengan kurang gerak yang
menempatkan tuntutan kebutuhan yang lebih kecil pada jantung untuk
curah jantungnya (Padila 2013).
2) Bila fase pascakompensasi dicapai, biasanya mengindikasikan
disfungsi yang berat pada katup yang terpangaruh. Gejalanya bervariasi
tergantung pada katup yang terlibat tetapi secara umum terdiri atas
dyspnea pada saat beraktivitas, nyeri dada tipe angina, dan gejala-
gejala jantung kanan atau kiri bahkan keduanya. Murmur secara khas
terdengar pada saat auskultasi(Padila 2013).
2. Perubahan pada sistem respiratori
a. Gerakan pernapasan
Pada lansia biasanya dangkal, sesak napas, dan otot yang lemah.
b. Distribusi gas
Adanya penumpukan udara dalam alveolus.
c. Volume dan kapasitas paru menurun.
d. Gangguan transportasi gas
e. Imobilisasi
Adanya efusi pleura, pneumothorak, dan tumor paru.
f. Penyakit yang sering terjadi
Pneumonia, TBC, PPOM,Ca paru (Padila 2013).

Ada beberapa penyakit paru yang menyertai usia lanjut, yang penting ada 4
macam yaitu pneumonia, TBC paru, Penyakit Paru Obstruktif Menahun
(PPOPM), dan karsinoma paru.
a. Pneumonia
Kejadian pneumonia pada lansia tergantung pada tiga hal yaitu:
1) Kondisi fisik penderita
2) Lingkungan dimana mereka berada
3) Kuman penyebabnya atau virulensinya.
Penyebab pneumonia pada lansia bermacam-macam, penyebab yang paling
sering muncul adalah kombinasi dari berbagai macam kuman. Pada lansia,
pneumoni kiomunitas yang disebabkan oleh bakteri gram positif, sebagian
besar adalah kuman streptococuc pneumonia.
Manifestasi klinis penderita pneumoni pada lansia sering tidak
menunjukkan tanda dan gejala. Terdapat penurunan kesadaran pada 20%
kasus, distensi abdomen pada 5% kasus dan tanda dehidrasi pada 50%
kasus (Setiyorini, Erni, W. Arti 2018).
b. Tuberkulosis paru
Tuberculosis pada lansia sering terlupakan, karena beberapa hal antara lain
manifestasi klinisnya tidak khas. Seperti pada umumnya penyebabnya
adalah kuman tahan asam yaitu M. Tuberkulosis.
Gejala yang sering terjadi yang dikeluhkan oleh para penderita TBC pada
lansia adalah sesak napas, penurunan berat badan, dan gangguan mental.
Bila tuberculosis reaktivitas dari focus infeksi sebelumnya, daerah paru
yang sering terserang adalah bagian daerah apeks paru dengan atau
penyebaran kedaerah-daerah lain (Setiyorini, Erni, W. Arti 2018).
c. Penyakit Paru Obstruksi Menahun (PPOM)
PPOM adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan fungsi paru
berupa memanjangnya peiode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya
penyempitan saluran pernapasan dan tidak banyak mengalami perubahan
dalam masa observasi beberapa waktu. Yang termasuk PPOM adalah
bronchitis kronis, emfisema paru, dan penyakit saluran napas perifer.
Timbulnya penyakit ini dikaitkan dengan fakor-faktor risiko yang terdapat
pada penderita, antara lain merokok sigaret yang berlangsung lama, polusi
udara, infeksi paru berulang, umur, jenis kelamin, ras, difiensi alfa-1,
antitrypsin, defiensi antioksidan. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan
adalah gabaran penyakit paru yang mendasari ditambah dengan tanda dan
gejala akibat terjadinya obstruksi bronkus (Setiyorini, Erni, W. Arti 2018).
d. Karsinoma paru
Beberapa faktor yang telah diketahui berpengaruh terhadap timbulnya
karsinoma paru antara lain merokok, polusi udara, dan bahan industry yang
bersifat karsinogenik. Perkiraan penyebabnya adalah iritasi bahan-bahan
yang bersifat karsinogenik dan berlangsung lama.
Biasanya karsinoma paru tidak memberikan keluhan-keluhan, dan penyakit
ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan mum (general checkup).
Karsinoma paru akan memberikan tanda gelaja seperi biasa jika sudah
lanjut, menimbulkan komplikasi, misalnya memberikan tekanan pada organ
di sekitarnya, metastasis jauh dan sebagainya, sehingga mengganggu fungsi
organ lain. Kadang-kadang gejala yang mencolok yaitu munculnya rasa
nyeri pada daerah dada, sesak napas, hemotitis, dan timbul benjolan di dada
(Setiyorini, Erni, W. Arti 2018).
3. Perubahan pada sistem gastrointestinal
a. Produksi saliva menurun
Proses perubahan kompleks karbohidrat menjadi disakarida.
b. Fungsi ludah sebagai pelican berkurang
Proses menelan menjadi lebih susah.
c. Penurunan fungsi kelenjar pencernaan
Keluhan kembung, perasaan tidak nyaman pada abdomen.
d. Intoleransi terhadap makanan terutama lemak
e. Kadar selulosa menurun
Menyebabkan konstipasi.
f. Gangguan motilitas otot polos esophagus atau refluks disease (refluks isi
lambung ke esophagus) pada usia 60-70 tahun.
g. Penyakit yang sering diderita
Gastritis, ulkus peptikum.
h. Gejala yang biasa dialami
Biasanya tidak spesifik seperti penurunan berat badan, mual-mual dan
perasaan tidak nyaman pada abdomen.
i. Tingkat komplikasi (perforasi) cukup tinggi ± 50% pada lansia di atas70
tahun (Padila 2013).
4. Perubahan pada sistem muskuloskletal
a. Penyakit sendi degenerative (PSD)
1) Dengan penyebab yang tidak diketahui, sendi cenderung mengalami
deteriorasi seiring dengan pertambahan usia. Kondisi ini dikenal
sebagai penyakit sendi degenerative atau osteoarthritis. Peroses
penuaan sendiri tidak menyebabkan deteriorasi, tetapi mengkomplikasi
proses tersebut.
2) Pada tahap awal, terlihat tulang rawan dari sendi mengalami kerusakan
dan timbul usaha untuk memperbaiki proses tersebut. Pada beberapa
keadaan tertentu, proses perbaikan berjalan mulus, tetapi karena proses
degenerasi berjalan lebih cepat.
3) Melebihi proses perbaikan maka tulang rawan akan kehilangan
kandungan proteoglikan dan kondrosit sehingga timbul pitting serta
fissure disertai erosi. Untuk mengkompensasi perubahan struktur
tersebut, tulang yang berada di bawah tulang rawan akan mengalami
sclerosis dan tulang yang berada di tepi persendian akan membentuk
osteofit (spurs).
4) Proses degenerasi pada persendian dapat dijumpai pada hampir semua
manusia dengan usia lanjut. Namun, kenyataannya tidak sedikit dari
mereka yang berusia 30 tahun atau lebih muda juga mengalami proses
tersebut pada beberapa sendi. Fenomena wear dan tear merupakan
salah satu faktor yang berkontribusi terhadap proses degenerasi
tersebut, terutama pada sendi yang abnormal. Faktor-faktor lain seperti
predisposisi genetic, riwayat trauma pada persendian, obesitas, nutrisi,
dan overuse dapat berinteraksi.
5) Secara kompleks dalam proses degenerasi sendi. Proses degenerasi
sendi cenderung mengenai sendi tertentu dan nyeri sendi tidak selalu
timbul. Hingga saat ini, sulit mencari penjelasan mengapa individu
tertentu yang jelas terlihat kerusakan sendi sedemikian parah secara
radiologis hanya mengeluh sedikit nyeri dan bahkan dan sama sekali
tidak ada keluhan. Sementara itu pada individu lain, dengan sedikit saja
perubahan patologis pada sendi menyebabkan keluhan yang berat,
bahkan menyebabkan inkapasitasi (ketidakberdayaan).
6) Terapi pada PSD bersifat multimodalitas. Menangani nyeri dengann
analgesic ataupun NSAIDs merupakan tindakan dasar. NSAID dapat
membantu mengendalikan proses inflamasi pada sendi yang terlibat
dan dalam beberapa kasus tertentu mungkin diperlukan.
7) Injeksi steroid intraartikular. Jika digunakan secara berlebihan bahkan
mempercepat proses kerusakan sendi. Injeksi steroid intraartikular
sebaiknya tidak dilakukan terlalu sering dan penyuntikan setiap 3 bulan
atau 2 bulan sekali sangat tidak dianjurkan.
8) Pemberian obat analgesic sebaiknya saat nyeri saja, tetapi pada
beberapa individu kadang memerlukan terapi jangka panjang. Dalam
hal ini, efek samping obat merupakan salah satu pertimbangan. Dalam
pengobatan jangka panjang, alternative lain harus dipikirkan seperti
aplikasi panas/dingin pada sendi untuk meringankan keluhan,
pemakaian splint untuk menyokong sendi, dan teknik konservasi
energy untuk mencegah flareup. Sebagai tambahan, latihan/olahraga
ringan juga diperlukan untuk mencegah kontraktur dan deconditioning.
Latihan rutin berupa weight-bearing exercise diselingi dengan istirahat
yang sesuai akan merangsang nutrisi pada tulang rawan serta
memperkuat otot-otot periatrikuler. Latihan dan olahraga tersebut harus
dihindari pada saat inflamasi akut.
9) Pada kasus PSD parah dengan nyeri yang refrakter dengan terapi atau
sendi yang sudah kehilangan fungsinya, tindakan seperti arthrodesis
sendi, osteotomy, ataupun arthoplasty dapat menjadi pertimbangan.
Penggantian sendi (joint replacement) dapat ditolerir dengan baik oleh
kelompok lansia (Anies 2018).
2.4 Hukum Legal dan Etik Keperawatan Lansi
A. Landasan penanganan lanjut usia :
1. Filsafa negara /p4
2. UUD 1945, pasal 27 ayat 2 dan pasal 34.
3. UU No.9 tahun 1960, tentang pokok-pokok Kesehatan bab1 pasat 1 ayat
1.
4. UU No.4 tahun 1965, tentang pemberian bantuan penghidupan orangtua.
5. UU No.5 tahun 1974, tentang pokok-pokok memerintah didaerah.
6. UU No. 6 tahun 1974, tentang tententuan-kententuan pokok kesejahteraan
sosisal.
7. Keputusan presiden RI No.44 tahun 1947.
8. Program PBB tentang lanjut usia, anjuran kongresinternasional WINA
1983.
9. GBHN 1983/ repelitas IV.
10. Keputusan mentri sosial RI No.44 tahun 1947, tentang oraganisasi dari
data kerja dapartemen sosial propinsi.
Isu-isu legal yang mempengaruhi lansia telah mengalami poeningkatan
angka kejadian di pengadilan-pengadilan pada masa sekarang ini. Dengan
meningkatnya jumlah lansia yang berusia 65 tahun ke atas, isu-isu legal
mulai terangkat ke permukaan dalam area-area kompetensi, kelalaian,
hak-hak lansia, dan pemberian perawatan kepada lansia (Padila 2013).
B. Malpraktis keperawatan dan kedokteran
Tindakan lega adalah kedalalaian dalam pemberian pelayanan kepada pasien
lansia. Banyak pasien lansia mininggal atau mengalami cedera akibat
kegagalan tim perawatan Kesehatan untuk memberikan palayanan yang tepat.
Klaim malpaktis kedokteran banyak sekali terjadi dalam perawatan lansia.
Malpaktik adalah kesalahan melakukan suatu tugas, kelalaian perawatan atau
Tindakan, atau kegagalah untuk memenuhi standar perawatan sehingga dapat
membahayakan seseorang.
Dalam Tindakan malpraktis pengacara atau para ahli akan melakuakan
peninjauan rekam medic untuk menentukan apakah empat elemen kelalaian
terdapat pada substansi klaim malpraktik:
1. Kewajiban: Suatu kewajiban harus diberikan kepada seseorang atau
kelompok setelah perawat menerima orang tersebut sebagai pasien.
Perawat perlu memberikan perawatan dan penanganan yang penting
berdasarkan standar perawatan nasional.
2. Pelanggaran kewajiban atau standar perawatan : contoh penyimpangan
atau pelanggaran tugas adalah perawat memberikan suntikan pada kuadran
kiri bawah bagian tubuh pasien dan menyebabkan cedera saraf pada
bagian pangkal paha.
3. Penyebab yang mungkin atau hubungan kausal : pengadilan harus
menemukan hubungan kausal antara pelanggaran dengan kerusakan yang
terjadi, jika ada dapat memperkuat klaim. Dalam contoh sebelumnya,
pelanggaran yang dilakukan adalah penyuntikan ke kuadran kiri bawah
bagia dalam.
4. Kerusakan : kerusakan dalam contoh terdahulu adalah cedera pada nervus
iskiadius pasien. Penggugat diberikan ganti-rugi untuk kerusakan atau
cedera yang terjadi dengan kompensasi keuangan. Kompensasi berupa
uang adalah suatu usaha untuk membuat pasien “utuh” kembali dengan
cara mengganti biaya penggobatan yang lalu dan yang akan datang.
Dibeberapa Negara bagian, hukuman akibat kerusakan yang terjadi
diberikan kepada terdakwa yang jelas melakukan kelalaian atau kesalahan.
Ganti rugi keuangan untuk hukuman akibat kerusakan yang terjadi dapat
sangal tinggi dan diberikan untuk mencegah terjadinya perilaku dimasa
depan yang dapat menyebabkan kerusakan seperti itu (Padila 2013).
C. Respondent superior (Biarkan Tuan Rumah yang menjawab)
Rumah sakit, panti jompo, dan fasilitas perawatan jangaka panjang
mempunyai tanggung jawab secara hukum berdasarkan pada doktrin hukum
Respondeat superior atau “Biarkan Tuan Rumah yang menjawab”. Dalam teori
in, fasilitas pelayanan harus berlanggung jawab terhadap karyawannya vang
melakukan kelalaian atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya,
walaupun fasilitas pelayanan itu sendiri tidak melakukan kelalaian. Menurut
caruso, 1991 dalam Pine Manor Nursing Center, suatu tempat yang dibangun
untuk tempat tinggal pasien yang menderita kekurangan gizi dan dehidrasi
pada saat berada di panti jompo. Panti jompo memegang tanggung jawab
hukum atas pelanggaran standar perawatan yang dilakukan oleh karyawannya :
kegagalan staf untuk memberikan makanan yang cukup kepada pasien,
kegagalan staf untuk memberitahu dokter tentang kondisi pasien yang
memburuk, dan kegagalan staf untuk memberikan obat pada pasien secara
tepat (Padila 2013).
D. Res IPSA Loquitur (Berbicara atas namanya sendiri)
Jika doktrin res ipsa loquitur, atau berbicara tas nama diri sendiri”, telah
dizinkan oleh pengadilan, terdapat kesimpula Secara otomatis bahwa telah
terjadi kelalaian. Beban untuk membuktikan apa yang terjadi bergeser kepada
terdakwa yang harus membuktikan bahwa kelalaian itu tidak terjadi. Contoh
bagaimana hal ini digunakan dapat dilihat pada kasus luka bakar sebagal
akibat penggunaan bantalan atau lampu pemanas, dan terjadinya kasus-kasus
cedera/kerugian akibat adanya instrumen alau spons yang tertinggal di tubuh
pasien selama operasi.
DI Keyes v. Tallahassee Memorial Regional Medical Center, 1991 : seorang
wanita berusia 77 tahun jatuh dari tempat tidur dan mengalami patah tulang
panggul. La dinyatakan sedang binggung dani disorientasi. Pengadifan Distrik
Florida di Appeal menyatakan bahwa penggugat berhak atas pengguna teori
Res IPSA Loquitur sebab unsur-unsur berikut diperlukan dalam suatu kasus
res ipsa loquitur yaitu :
a. Pasien tidak berkontribusi terhadap cedera/kerugiannya,
b. Peralatan, Objek, prosedur, atau perawatan berada dibawah pengawasan
eksklusif dai pemberi layanan kesehatan.
c. Cedera atau kerusakan tidak biasanya terjadi kecuali jika terdapat
kelalaian.
Dari ketiga unsur diatas menyatakan bahwa penggugat berhak atas
penggunaan teori Res IPSA Loquitur dan dari kesaksian yang telah
diberikan menunjukkan bahwa penggugat tidak akan lepas dengan
sedirinya jika restrein terikat dengan baik (Padila 2013).
E. Kesalahan yang disengaja dan yang tidak disengaja
Kesalahan yang tidak disengaja adalah tindakan yang secara sadar dilakukan
oleh seseorang yang menyebabkan kerugian pada seseorang Contoh : fitnah,
invasi pada privasi orang lain dan pelanggaran atas kerahasian.
Fitnah adalah komunikasi lisan atau tertulis yang tidak benar kepada pihak
ketiga. Informasi cenderung untuk merugikan reputasi atau karekter seseorang.
Menurunkan harga diri, seseorang atau rasa hormat, kepercayaan, atau niat
baik dari orang yang di fitnah.
Invasi pada privasi orang lain adalah suatu kesalahan yann berhubungan
dengan kedamaian pikiran seseorang dan hak untuk dibiarkan sendiri tanpa
menjadi subjek terhadap publisitas yang tidak beralasan dan tidak diinginkan.
Pelanggaran atas kerahasian dihubungkan dengan invasi privasi seseorang.
Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, perhatian utama diberikan pada
kerahasiaan informasi pasien dan penyalahgunaan informasi tersebut oleh
pemberi layanan kesehatan. Kode etik keperawatan menyatakan bahwa tidak
ada informasi rahasia yang boleh diumumkan.
Kesalahan disengaja adalah tindakan sipil yang dilakukan secara sengaja untuk
menyebabkan kerugian atau bertentangan dengan ak-hak seseorang. Contoh
kesalahan disengaja : hukuman seperti penjara, dan intervensi medis yang
mengancam begi seseorang.
Hukuman seperti penjara palsu adalah suatu pembatasan yang tidak sah
dengan menggunakan restrein baik dengan menggunakan bahan kimia, fisik,
atau pengekangan emosional sehingga akan menyadar pembatasan atau
terkena bahaya akibat hal tersebut.
Serangan adalah ancaman dari singgungan atau kontak dengan seseorang yang
tidak diizinkan oleh orang yang bersangkutan. Pemukulan adalah tindakan
menyinggung yang sengaja dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain tanpa
adanya suatu persetujuan (Padila 2013).
F. Dokumentasi
Dokumentasi mempunyai barıyak kegunaan dalam perawatan lansia. Ini
adalah salah satu metode pertahanan diri terbaik dalam mengahadapi suatu
tuntulan malpraktik jika dilakukan dengan akurat, seksama, dan tepal waktu.
Selain untuk pertahanan diri dari tuntutan malpraktik, dokumentasi
mempunyai kegunaan yang lain,
1. Mencatat perawatan pasien yang berkelanjutan
2. Memberikan catatan untuk penukaran pembayaran Medicare dan
Medicaid
3. Mencatat peristiwa-peristiwa yang tidak di harafkan, seperti adanya klien
yang jatuh
4. Memudahkan penagihan untuk pasien yang di rawat dirumah sakit
5. Memungkinkan penatalaksanaan risiko
6. Menurunkan area potensial terkena tuntutan hukum
7. jaminan kualitas pelayanan Untuk mengikuti alur perubahan dalam asuhan
keperawatan (Misalnya, perubahan susunan pegawai, perubahankebijakan
dan prosedur)
8. Menggambarkan pendidikan kesehalan pada pasien dan pengarahan pada
saat pasien akan pulang
9. Menghubungkan percakapan dokter, komentar keluarga, dan perasaan
serta perhatian pasien
10. Mencatat kondisi pasien ketika masuk atau teman-teman
11. Memberikan catatan hukum tentang kerugian pribadi atau klaim ganti rugi
untuk pekerja
12. Mencatat tentang berbagai keinginan pasien untuk tindakan dan perawatan
yang berkelanjutan, termasuk informasi tentang advance directives.
13. Memberikan data untuk kelanjutan riset dan pendidikan
14. Memberikan suatu catatan asuhan keperawatan, yang akan menjadi dasar
evaluasi bagi joint commission on accreditation for healthcare
organizations (JCAHO)(Padila 2013).
G. Komputer
Penggunaan komputerdidalam fasilitas pelayanankesehatan dapat juga
menimbulkan permasalahan tambahan dalam mempertahankan kerahasian.
Kebijakan dan prosedur harus dikembangkan untuk membatasi akses,
membatasi penggunaan kode pengama atau kata sandi, dan membantu
informasi disetiap individu. Formuli mengungkapkan yang sesuai yang
ditandatangani oleh psien harusdiporoleh sebelum catatan perawat Kesehatan
dicetak. Pengamanan masuk dikomputer harus dipelihara untuk melindungi
data dari menggunakan tidak sah, perubahan, atau kehilangan (Padila 2013).
H. Area liabititas keperawatan umum dan keterlibatan hukum
Berikut ini adalah pelanggaran standar perawatan yang sering terjadi di dalam
klaim malpraktik medis yang melibatkan lansia.
1. Kegagalan untuk menyesuaikan seatu rencana keperawatan untuk
kebutuhan khusus lansia.
2. Kegagalan untuk mengkaji dan melaksanakan asuhan keperawatan yang
memadai
3. Kegagalan untuk mengevaluasi kondisi pasien dan memodifikasi asuhan
keperawatan untuk mencegah kerusakan dan memelihara Kesehatan
pasien.
4. Kegagalan untuk memberikan pengobatan sesuai waktu dan cara yang
tepat.
5. Kegagalan untuk mengamati dan mendeteksi berbagai interaksi obat
(Polifarmasi) pada pasien.
6. Kegagalan untuk mendokumentasikan kondisi pasiendengan cara dan
waktu yang tepal, perawatan dan pengobatan vang diberikan kepada
pasien dan respons pasien terhadap perawatan tersebut.
7. Kegagalan untuk mengikuli prosedur dan kebijakan.
8. Kegagalan untuk mendokumentasikan Pendidikan Kesehatan yang Sesuai,
termasuk respons pasien dan bukti-bukti tentang pemahaman pasien, apa
yang harus dilakukan dalam keadaan darurat dan pamflet atau alat bantu
audiovisual yang digunakan dalam Pendidikan Kesehatan pada pasien.
9. Kegagalan untuk memberikan perawatan kulit yang tepat waktu dan benar
untuk mencegah terjadinya luka dekubitus, yang dapat membawa ke arah
amputasi, sepsis, atau kematian.
10. Kegagalan untuk melakukan pengkajian, pemantauan, dan melakukan
tindakan-tindakan keamanan yang tepat untuk mencegah terjadinya jatuh
dan cedera pada pasien.
11. Kegagalan untuk melindungi pasien dari luka bakar.
12. Kegagalan untuk melewati tahapan perawatan yang tepat waktu dan sesuai
yang diperlukan oleh pasien.
13. Mengabaikan Pasien (Padila 2013).
I. Masalah Persetujuan Tindakan (Informed Consent)
Lansia mempunyai hak untuk membuat keputusan setelah mendapatkan
informasi yang jelas tentang perawatan dan pengobatannya kecuali jika
mereka telah ditentukan oleh pengadilan sebagai orang yang tidak mampu atau
tidak kompeten untuk membuat keputusan seperti itu. Untuk memperoleh
persetujuan tindakan, penyedia layanan kesehatan harus mendiskusikan unsur-
unsur berikut dengan pasien:
1. Jenis prosedur yang akan dilakukan
2. Risiko material dan bahaya yang terkandung dalam prosedur
3. Hasil yang dapat diharafkan
4. Alternatil yang tersedia bila ada
5. Konsekuernsi bila tidak dilakukan tindakan (Padila 2013).
J. Advance directives
Ada dua jenis advances directives yaitu surat wasiat dan surat kuasa, dari
pengacara untuk pelayanan kesehatan, atau wakil pelayanan kesehatan. Surat
wasiat adalah suatu deklarasi tertulis tentang jenis perawatan dan tindakan
dimasa depan yang akan diterima atau ditolak oleh pasien. Surat kuasa medis
dari pengacara untuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada Seseorang
(tidak perlu keluarga terdekat atau pasangan) untuk membuat keputusan
perawatan kesehatan jika pasien menjadi tidak mampu untuk melakukannya.
Pada tahun 1990, Mahkamah Agung Amerika Serikat memberikan suatu
pendapat dalam kasus Nancy Cruzan. Isu sebelum pengadilan adalah apakah
seorang wali dapat memberikan keputusan bagi pasien yang tidak kompeten
(Nancy Cruzan) atau apakah dia ingin mengunakan haknya untuk meninggal.
Pengadilan menemukan bukti yang jelas dan meyakinkan bahwa apa yang
akan diputuskan oleh pasien dilaksanakan kecuali jika ada suatu advance
directive seperti pernyataan Living will (wasiat).
Prosedur mempertahankan kehidupan adalah beberapa intervensi atau prosedur
medis yang menurut. Penilaian medis yang beralasan, hanya akan
memperpanjang proses menjelang kematian untuk seseorang yang didiagnosis
dengan suatu kondisi terminal dan kondisi yang tidak dapat pulih (Padila
2013).
K. Program pasien Medicare dan Medicaid
Undang-undang penentuan diri oleh pasien yang diterapkan pada tanggal 1
desember 1991, memerlukan fasilitas pelayanan kesehatan yang menerima
dana medicare dan medicaid untuk menyediakan surat wasiat untuk pasien
pada saat akan masuk.
1. Pasien yang tidak kompeten dan hak pasien untuk menolak perawatan
2. Perintah jangan lakukan Resusitasi
3. Lansia dan perawatan kesehatan di rumah
4. Dokumentasi
5. Mesin Fax
6. Perawatan penderita AIDS (Acquired Immunodeliency Syndrome) di
rumah (Padila 2013).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kehidupan Seksual, Pembatasan Fisik, Dan Penggunaan Obat Pada Lansia
A. Kehidupan Seksual Pada Lansia
1. Definisi Masa Usia Lanjut
Masa usia lanjut merupakan periode penutup daam rentang hidup seorang,
yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode
terdahulu lebih menyenangkan atau berjak dari waktu yang penuh dengan
manfaat.
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam
mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut badan koordinasi
keluarga berencana nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan
yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek social BKKBN 1998).
Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami
proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya
daya tahan fisik yaitu semakin rentangnya terhadap serangan penyakit yang
dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan
dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta system organ.
Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari
pada sebagai sumber daya. Banyak organ bertanggapan bahwa kehiduoan
masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai
beranggapan bahwa kehidupan masa tua. Seringkali dipersepsikan secara
negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat dari aspek soaial, penduduk
lanjut usia merupakan satu kelompok social sendiri.
2. Perubahan-Perubahan Fisik Dan Spisikis Yang Terjadi Pada Masa Lanjut
Usia
Perubahan-perubahan yang umum terlihat pada masa usia lanjut adalah
ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu, baik pria maupun
wanita, pada masa usia lanjut mereka akan melakukan penyusuaian diri
agar mereka tampak siap dan sesuai dengan masa tua lanjut tersebut secara
tidak baik ataupun tidak baik. Akan tetapi hasil yang diproleh dari
penyusuaian tersebut cenderung menuju dan membawa penyusuaian diri
yang tidak baik dari pada yang baik, terutama adalah terjadinya
kemunduran fisik dan mental yang berlangsung secara perlahan dan
bertahap.
a. Perubahan fisik pada masa usia lanjut
1) Perubahan pada kulit: kulot wajah leher, lengan, dan tangan menjadi
lebih kering dan keriput, kulit dibagian bawah mata membetuk
seperti kantung dan lingkaran hitam dibagian ini menjadi lebih
permanen dan jelas, warna merah kebiruan sering muncul disekitar
lutut dan ditengah kengkuk.
2) Perubahan otot: pada umumnya otot orang berusia madya menjadi
lembek dan mengendur disekitar dagu, lengan bagian atas, dan
perut.
3) Perubahan pada persendian : maalah pada persendia terutama pada
bagian tungkai dan lengan yang membuat mereka menjadi agak
sulit berjalan.
4) Perubahan pada gigi : gigi menjadi kering, patah tanggal sehingga
kadang-kadang memakai gig palsu.
5) Perubahan pada mata : mata terlihat kurang bersinar dan cenderung
mengeluarkan kotoran yang menumpuk disundur mata, kebanyakan
menderita presbiop atau kesulitan melihat jarak jauh, menurunnya
akomondasi karena menurunya elastisitas mata.
6) Perubahan pada telinga : fungsi pendengaran sudah mulai menurun,
sehingga tidak sedikit yang mempergunakan alat bantu
pendengaran.
7) Perubahan pada sistem pernafasan : nafas menjadi lebih pendek dan
sering bersengal-sengal, hal ini akibat terjadinya penurunan
kapasitas total paru-paru, residu volume paru dan konsumsi oksigen
basal, ini akan menurunkan fleksibilitas dan elastisitas dari paru
(Sayem 2018).
b. Masalah seksual pada lanjut usia
Sejalan dengan bertambahnya usia, masalah seksual merupakan
masalah yang tidak kalah pentingnya bagi pasangan usia lanjut, masalah
ini meliputi ketakutan akan berkurangnya atau bahkan tidak
berfungsingnya organ sex secara normal sampai ketakutan dan
berkurangnya atau bahkan tidak berfungsingnya organ sex secara
normal sampai ketakutan akan kemampuan secara psikis untuk bisa
berhubungan sex.
Perubahan fisiologik aktivitas seksual akibat proses penuaan bila ditijau
dari pembagian tahapan seksual menurut Kaplan adalah berikut ini :
1) Fase desire
2) Fase arousal
3) Fase orgasmic
4) Fase pasca orgasme (Sayem 2018).

Difungsi seksual pada lansia tidak hanya disebabkan oleh perubahan


fisiologik saja, terdapat banyak penyebab lainnya seperti:
1) Penyebab iatrogenic
2) Penyebab biologic dan kasus medis (Sayem 2018).

Beberapa masalah umum yang sering timbul dalam gangguan seksual


pada lansia adalah sebagai berikut:
1) Gangguan hasrat
2) Tahap pemanasan
3) Orgasme
4) Rasa nyeri
5) Sakit fisik
6) Obat dan alcohol
7) Gangguan yang tidak khusus(Sayem 2018).

Beberapa hal yang dapat menyebabkan masalah kehidupan seksual


antara lain
1) Infark
2) Pasca stoke
3) Kanker
4) Diabetes mellitus
5) Arthritis
6) Rokok dan alcohol
7) Penyakit paru obstruktif kronik
8) Obat-obatan (Sayem 2018).
3. Perubahan Seksualitas Pada Pria Lansia
Beberapa perubahan masalah seksualitas yang terjadi pada pria lansia
adalah :
a. Produksi testoteron menurun secara bertahap. Penurunan ini mungkin
juga akan menurunkan hasrat dan kesejahteraan .
b. Kelenjar prostat biasanya membesar, dimana hipertrofi prostate jinak
terjadi pada 50% pria diatas usia 40 tahun dan 90% pria diatas usia 80
tahun. Dan hipertofi prostat jinak ini memerlukan terapi. Namun hal ini
dibahas lebih lanjut dalam pembahasan sistem traktus urinarius
c. Respon seksual terutama fase penggairahan, menjadi lambat dan ereksi
yang sempurna mungkin juga tertunda.
d. Fase orgasme, lebih singkat dengan ejakulasi yang tanpa disadari
e. Penurunan tonus otot menyebabkan spasme pada organ genital ekserna
yang tidak biasa.
f. Kemampuan ereksi kembali setelah ejakulasi semakin panjang, pada
umumnya 12 sampai 48 jam setelah ejakulasi.
g. Ereksi pagi hari (morning erection) juga semakin jarang terjadi (Sayem
2018).
4. Upaya Mengatasi Permasalahan Seksual Pada Lansia
Manajemen yang dilakukan tenaga kesehatan untuk mengatasi gangguan
seksual pada lansia adalah sebagai berikut:
a. Anamnesa riwayat seks
b. Pengobatan yang diberikan mencakup:
1) Konseling psikoseksual
2) Therapi hormon
3) Penyebuhan dengan obat-obatan
4) Peralatan meknis
5) Bedah pembuluh
6) Bimbingan psikososial
7) Penyembuhan hormone
8) Penyembuhan dengan obat(Sayem 2018).
B. Pembatasan Fisik Pada Lansia
Jenis-jenis latihan fisik yang dapat dilakukan oleh lansia untuk meningkatkan
status kesehtan, antara lain:
1. Latihan aerobic
2. Latihan penguatan otot
3. Latihan fleksibilitas dan keseimbangan (Ambardini 2019).
C. Gangguan Obat Pada Lansia
Iatrogenic (penyakit karena pemakaian obat-obatan). Lansia sering menderita
penyakit lebih dari satu jenis sehingga membutuhkan obat yang lebih banyak,
apalagi sebagian lansia sering menggunakan obat dalam jangka waktu yang
lama tanpa pengawasan dokter sehingga dapat menimbulkan penyakit. Akibat
yang ditimbulkan antara lain efek samping dan efek dari interaksi obat-obat
tersebut yang dapat mengancam jiwa(Kizior n.d.).
3.2 Asuhan Keperawatan individu, keluarga, dan masyarakat dengan lansia

PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Identitas klien, meliputi : Nama pasien, tanggal lahir,umur, agama, jenis
kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, No rekam medis.
Tuberkulosis menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama selama
masa revolusi industri di Eropa

b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama yang biasanya dirasakan oleh klien Tuberkulosis
yaitu badan terasa lemah, batuk terus menerus
2) Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan sekarang demam dan batuk
3) Riwayat penyakit dahulu
Klien mengatakan tidak ada riwayat penyakit dahulu
4) Klien Riwayat penyakit keluarga
Klien mengatakan tidak ada penyakit keluarga.
1. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : cukup
b. Tingkat kesehatan kesadaran
Kesadaran composmentis, latergi, stupor, koma, apatis tergantung kadar
gula yang tidak stabil dan kondisi fisiologi untuk melakukan konpensasi
kelebihan gula darah(Sonya Kristinia. 2019).
c. Tanda-Tanda Vital
1) Frekuensi nadi dan tekanan darah
Takikardi dan hipertensi dapat terjadi pada penderita Diabetes Mellitus
karena glukosa dalam darah yang meningkat dapat menyebabkan darah
menjadi kental.
2) Frekuensi pernafasan: Takipnea (pada kondisi ketoasidosis)
3) Suhu tubuh
Hipertemi ditemukan pada klien Diabetes Mellitus yang mengalami
komplikasi infeksi pada luka atau pada jaringan lain. Sedangkan
hipotermi terjadi pada penderita yang tidak mengalami infeksi atau
penurunan metabolik akibat penurunan masukan nutrisi secara
drastic(Sonya Kristinia. 2019).
d. Ukuran antropometri
1) TB dan BB untukmenetukan status nutrisi
2) Lingkar kepala
3) Lingkar dada
4) Lingkar lengan atas (MAC):
Nilai normal Wanitausiasubur: 23,5 cm
5) Lipatan kulit pada otot trisep (TSF)
Nilai normal:
a) Wanita : 16,5-18 cm
b) Pria : 12,5-16,5 cm
e. Data penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
1) Albumin (N: 4 – 5,5mg/100ml)
2) Transferi (N: 170 -25 mg/100ml)
3) Hemoglobin (N: 12mg%)
4) BUN (N: 10 – 20 mg/100ml)
5) Pemeriksaan gula darah puasa
Nilai normal :
a) Wholeblood :60 – 100 mg / dl
b) Dewasa :70 – 100 mg/ dl
c) Bayi baru lahir :30 – 80 mg / dl
d) Anak :60 – 100 mg / dl
6) Pemeriksaan gula darah 2 jam setelah makan
Nilai normal :
a) Dewasa : < 120 mg / dl / 2 jam
b) Wholeblood : < 120 mg / dl / 2 jam
7) Pemeriksaan gula darah sewaktu
Nilai normal : 200 mg / dl
8) Pemeriksaan HB AIC (Hemoglobin Glikosilasi)
Pemeriksaan dengan menggunakan bahan darah, untuk memperoleh
informasi kadar gula darah yang sesungguhnya, karena pasien tidak
dapat mengontrol hasil tes dalam kurun waktu 2 – 3 bulan. Tes ini
berguna untuk mengukur tingkat ikatan gula pada hemoglobin A (AIC)
sepanjang umur sel darah merah (120 hari).
9) Pemeriksaan fruktosamin
Pemeriksaan fruktosamin menggunakan metoda enzymatic seperti
pada pemeriksaan glukosa (Shinta Herlina. 2018).

Diagnosa keperawatan
Berdasarkan masalah kesehatan dan skala prioritas yang ada pada keluarga Tn S maka
diagnosa keperawatan keluarga yang dapat dirumuskan / ditegakkan adalah sebagai
berikut :
a. Kurang pengetahuan berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga mengenal masalah
kesehatan b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit
c. Resiko tinggi penyebaran infeksi pada orang lain berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga memelihara / memodifikasi lingkungan
intervensi
No Dx Tujuan dan criteria hasil Intervensi
1 1 Setelah dilakukan tindakan a. Beri penjelasan dan diskusikan pada
keperawatan sebanyak 1x kunjungan keluarga mengenai pengertian
rumah selama30 menit, keluarga penyakit TB Paru, tanda dan gejala,
dapat mengenal masalah kesehatan, pengobatan serta motivasi keluarga
dengan menyebutkan pengertian dalam memberikan perawatan dan
tanda dan gejala, pengobatan pendampingan minum obat pada klien
penyakit TB paru dengan TB paru
b. Jelaskan pada keluarga akibat bila
klien tidak mendapat perawatan dan
pengobatan maksimal
2 1 Setelah dilakukan tindakan a. Jelaskan pada keluarga mengenai
keperawatan sebanyak 1x kunjungan pentingnya nutrisi sehat bagi klien
rumah selama30 menit, keluarga yang menderita penyakit TB paru
dapat menyebutkan manfaat nutrisi b. Anjurkan keluarga untuk
bagi penderita TB paru, dan menyajikan makanan hangat sehat
pentingnya gizi yang tinggi kalori bergizi dan dalam porsi kecil tapi
tinggi protein bagi klien dengan TB sering
paru
3 1 Setelah dilakukan tindakan a. Jelaskan pada keluarga proses
keperawatan sebanyak 1x kunjungan
penularan penyakit TB paru
rumah selama30 menit, keluarga
dapat menyebutkan bagaimana cara b. Anjurkan keluarga untuk
pencegahan agar tidak terjadi resiko
menerapkan PHBS dan cuci
penularan infeksi pada orang lain
tangan pakai sabun dirumah
c. Anjurkan agar klien menutup
mulut saat batuk /
menggunakan masker, dan
tidak membuang dahak
sembarangan
d. Anjurkan keluarga untuk
membuka jendela rumah
Implementasi
Hari/tangga Dx implementasi
l
Memberi penjelasan dan mendiskusikan pada keluarga
mengenai pengertian penyakit TB Paru, tanda dan gejala,
serta motivasi keluarga dalam memberikan perawatan dan
pengobatan rutin pada klien dengan TB paru
Menjelaskan dan mendiskusikan kembali bersama keluarga
mengenai penyakit TB paru yang telah dijelaskan oleh
petugas pada saat kunjungan I dan terus memotivasi keluarga
dalam pendampingan minum obat pada klien
Memotivasi keluarga dalam memberikan semangat pada
klien untuk meningkatkan porsi makannya agar kesehatan
cepat pulih kembali
Evaluasi
dx Hari/tanggal evaluasi
S : Setelah dilakukan 1x kunjungan rumah selama 30 menit, Ny
N mengatakan mengerti sebagian mengenai penyakit TB paru,
tanda dan gejala tetapi belum mengerti mengenai perawatan dan
pendampingan minum obat pada adiknya yang menderita TB
paru
O : Keluarga Pasien (Ny N) tampak masih bingung mengenai
bagaimana merawat adiknya yang sakit TB paru
A : Tujuan tercapai sebagian, masalah teratasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan
S : Setelah dilakukan 2x kunjungan rumah selama 30 menit, Ny
N menjelaskan cara merawat adiknya yang sakit TB paru dan
akan mengingatkan adiknya untuk minum obat teratur
O : Keluarga Pasien (Ny N) tampak antusias menceritakan
perkembangan kesehatan adiknya
A : Tujuan tercapai , masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
S : Setelah dilakukan 3x kunjungan rumah selama 30 menit,
kakak Tn C yaitu Ny N mengatakan porsi makan masih ¾ porsi
tapi berat badan adiknya masih tetap
O : Ny N tampak masih bingung dan bertanya kembali berapa
lama berat badan adiknya bisa kembali
A : Tujuan tercapai sebagian, masalah teratasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan

3.3 Masalah yang dapat muncul pada keluarga dengan lansia


Lansia dalam perawatan di rumah terkadang memerlukan bantuan keluarga sebagai
caregiver. Pengalaman keluarga dalam merawat membutuhkan perhatian dan
waktu yang lebih seperti kebutuhan pemenuhan makan, mandi, berganti pakaian.
Keluarga mengungkapkan lansia kadang sikapnya seperti anak kecil sehingga tidak
jarang keluarga bertengkar dengan lansia karena salah paham. Hal inilah yang
membuat keluarga sering salah dalam merespon keadaan karena perubahan pada
lansia.(Prabasari, Juwita, and Maryuti 2017).

3.4 Asuhan keperawatan konsep diri, gangguan alam perasaan, dan gangguan kognitif
pada lansia

Pengkajian
a. Identitas
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa/latar
belakang kebudayaan, status sipil, pendidikan, pekerjaan dan alamat. Pada
pengkajian umur didapatkan data umur pasien memasuki usia lanjut
b. Keluhan utama
Pada saat dikaji klien mengatakan tidak mengeluhkan sakit apa- apa, tetapi ketika
di lihat kulit tampak kering dan bersisik.
c. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU
1. Penyakit yang pernah dialami
Klien mengatakan tidak pernag mengalami penyakit yang
serius, hanya sakit ringan saja seperti, pusing, demam dan batuk.
2. Pengobatan/tindakan yang dilakukan
Klien mengatakan ketika sakit biasanya pergi ke puskesmas
untuk melakukan pemeriksaan.
3. Pernah dirawat/dioprasi
Klien mengatakan tidak pernah masuk di rumah sakit apalagi
operasi.
4. Alergi
Klien mengatakan tidak pernah ada alergi yang di miliki.
d. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
1. Orang Tua
Kedua orang tua klien sudah meninggal.
2. Kandung
Klien mempunyai enam saudara kandung tiga perempuan dan
tiga laki-laki, klien anak ke tiga dari enam bersaudara.Saudara-saudara klien
tidak memiliki riwayat penyakit yang serius.
3. Penyakit keturunan yang ada
Keluarga klien tidak memiliki penyakit ketururunan.

e. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Masalah Keperawatan : Resiko kerusakan integritas kulit b/d
ketidakmampuan klien untuk melakukan perawatan kulit seluruh tubuh d/d klien
mengatakan risih dengan kulitnya yang bersisik dan kering, klien mengatakan
jarang mengkonsumsi buah-buahan, klien mengatakan hanya mandi 1x sehari.
2. Masalah Keperawatan : Defisit perawatan diri (mandi) b/d ketidakmampuan
klien untuk menjaga kebersihan rambut dan kepala d/d klien mengatakan
jarang keramasan, kulit rambut sering gatal, dan rambut sering mengalami
kerontokan.
f. Intervensi

Hari, tanggal d Intervensi Rasional


x
1 Tujuan dan Kriteria Hasil: a. Memberikan
Setelah dilakukan tindakan rasa nyaman
keperawatan selama 1x6 jam pada klien.
personal hygiene perawatan b. Menghindari
kulit resiko infeksi
seluruh tubuh dapat terpenuhi. danmemberikan
Rencana Tindakan: kenyamanan
1. Kaji pola kebutuhan bagi klien.
personal hygiene c. Melembabkan
2. Klien mampu dalam kulit klien.
menjaga kebersihan d. Meningkatkan
badannya dengan cara pengetahuan
menganjurkan klien dan membuat
mandi 2x dalam sehari. klien lebih
3. Berikan pendidikan kooperatif
kesehatan tentang
kebersihan diri pada klien.
4. Menganjurkan klien untuk
menggunakan lotion
untuk kulit.
5. Klien mampu mengganti
baju 2x sehari
2 Tujuan dan Kriteria Hasil: a. Gigi klien
Setelah dilakukan tindakan menjadi bersih.
keperawatan selama 1x6 jam b. Mengurangi
personal hygiene dengan resiko luka pada
perawatan kulit kepala dapat gusi.
terpenuhi.
Rencana Tindakan:
1. Klien mampu mencuci
rambut menggunakan
shampho selama 1x2 hari.
2. Klien mampu menyisir
rambut.
g. Imlementasi

Hari/tanggal dx implementasi
1 a. Mengkaji pola kebutuhan personal hygiene
b. Membantu klien untuk
mandi dan perawatan
kulit
2 a. Membantu cara mencuci
rambut yang benar.
b. b. Membantu cara menyisir
rambut yang benar.
h. Evaluasi

Hari/tanggal dx Evaluasi
1 S :Klien mengatakan merasa segar dan nyaman
setelah melakukan perawatan kulit seluruh
tubuh.
O :Kulit menjadi lebih bersih dan badan
kelihatan semakin segar.
A : Masalah sebagian teratasi
P : Dalam 1x6jam klien mampu melakukan
perawatan seluruh tubuh
2 S: Klien mengatakan rambutnya lebih rapi dan
bersih.
O :Rambut tampak lebih bersih dan rapi.
A :Masalah sebagian teratasi.
P : Dalam 1x6 jam klien dapat melakukan
perawatan rambut.
3.5 Asuhan keperawatan lansia menjelang ajal
A. Konsep Teori
1. Definisi
Hospice adalah perawatan pasien terminal (stadium akhir) dimana
pengobatan terhadap penyakitnya tidak diperlukan lagi. Perawatan ini
bertujuan meringankan penderitaan dan rasa tidak nyaman dari pasien,
berlandaskan pada aspek bio-psiko-sosial-spiritual. Perawatan akhir
hayat/perawatan terminal adalah suatu proses perawatan medis lanjutan
yang terencana melalui diskusi yang terstuktur dan didokumentasikan
dengan baik, dan proses ini terjalin sejak awal dalam proses perawatan
yang umum/biasa.
Dalam perawatan ini, keluarga ikut dilibatkan sehingga dengan demikian
diharapkan semua kebingungan dan konflik dikemudian hari dapat
dihindari. Proses ini perlu senantiasa dinilai kembali dan di-up date secara
reguler karena dalam perjalanannya tujuan perawatan dan prioritasnya
sering kali berubah-ubah tergantung pada situasi/kondisi yang dihadapi saat
itu. Bila pada awalnya tujuan kuratif dan menghindari kematian merupakan
prioritas utama, pada stadium terminal tujuan perawatan beralih ke usaha
mempertahankan fungsi, meniadakan penderitaan dan mengoptimalkan
kualitas hidup penderita. Dengan demikian diharapkan penderita dapat
menghadapi akhir hayatnya secara damai, tenang dan bermartabat (with
dignity).
Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian
berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan
spiritual bagi individu. Perawatan terminal dapat dimulai pada minggu-
minggu, hari-hari dan jaminan terakhir kehidupan dimana bertujuan:
Mempertahankan hidup, Menurunkan stress, Meringankan dan
mempertahankan kenyamanan selama mungkin (Weisman). Secara umum
kematian adalah sebagian proses dari kehidupan yang dialami oleh siapa
saja meskipun demikian, hal tersebut tetap saja menimbulkan perasaan
nyeri dan takut, tidak hanya pasien akan juga keluarganya bahkan pada
mereka yang merawat dan mengurusnya. Penderita yang akan meninggal
tidak akan kembali lagi ke tengah keluarga, kenyataan ini sangat berat bagi
keluarga yang akan ditinggalkannya Untuk menghindari hal diatas bukan
hanya keluarganya saja yang berduka bahkan klien lebih tertekan dengan
penyakit yang dideritanya.
Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif untuk meringankan beban
penderita, terutama terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Yang
dimaksud tindakan aktif antara lain mengurangi/menghilangkan rasa nyeri
dan keluhan lain serta memperbaiki aspek psikologis, sosial, dan spiritual.
Tujuan perawatan paliatif adalah mencapai kualitas hidup maksimal bagi si
sakit (lanjut usia) dan keluarganya. Perawatan paliatif tidak hanya diberikan
kepada lanjut usia yang menjelang akhir hayatnya, tetapi juga diberikan
segera setelah didiagnosisoleh dokter bahwa lanjut usia tersebut menderita
penyakit yang tidak ada harapan untuk sembuh (mis., menderita kanker).
Sebagian pasien lanjut usia, pada suatu waktu akan menghadapi keadaan
yang disebut “stadium paliatif”, yaitu kondisi ketika pengobatan sudah
tidak dapat menghasilkan kesembuhan. Biasanya dokter memvonis pasien
lanjut usia yang menderita penyakit yang mematikan (misal, kanker, stroke,
AIDS) juga mengalami penderitaan fisik, psikologis, sosial, kultural dan
spiritual(Sayem 2018).
2. Dying (Sekarat/Menjelang Ajal)
Sekarat adalah bagian dari kehidupan yang merupakan proses menuju
kematian. Dengan makin meningkatnya jumlah populasi usia lanjut,
meningkat pula jumlah penderita penyakit kronis, yang pada suatu saat
mengalami keadaan dimana tidak ada sesuatu yang dapat dikerjakan untuk
memperbaiki kemampuan melakukan aktivitas sehari – hari(Sayem 2018).
3. Teori-teori Dying (Sekarat/Menjelang Ajal)
Penulis yang paling dikenal dalam bidang kematian dan menjelang ajal
adalah Elizabeth KublerRoss. Hasil kerjanya membuat peka perawat ,
professional layanan kesehatan dan konsumen terhadap proses menjelang
ajal dan kebutuhan-kebutuhan yang melekat pada orang yang menjelang
ajal. Teorinya mengatakan bahwa orang yang menjelang ajal mengalami
lima tahap, dimulai dengan penyingkapan awal terminalitas dan berakhir
dengan momeng akhir kehidupan. Tahap l, penyangkalan dan isolasi,
biasanya mewakili pertahanan temporer yang digantikan dengan
penerimaan parsial.
Penyangkalan ini tidak boleh diinterpretasikansebagai adaptasi yang
negative atau merendahkan. Sebagai pertahanan awal, penyangkalan
membantu seseorang dengan melindunginya dari ansietas dan ketakutan.
Pada Tahap II, kemarahan dan penyangkalan digantikan dengan perasaan
marah , gusar , iri , kebencian,. Hal ini dianggap sebagai salah satu tahap
yang paling sulit bagi keluarga dan pemberi perawatan karena perasaan ini
sering diarahkan pada mereka. Selama Tahap III, tawar menawar, orang
sering berupa negosiasi dengan Tuhan untuk mendapatkan tambahan
waktu. Tahap IV, depresi , meliputi 2 jenis kehilangan : kehilangan yang
terjadi di masalalu dan kehilangan hidup yang akan terjadi. Yang disebut
sebagai persiapan berduka oleh Kubler Ross. Tahap V , penerimaan ,
merupakan fase akhir dari proses menjelang ajal(Sayem 2018).
4. Death (kematian)
Kematian adalah kondisi berhentinya fungsi organ tubuh secara menetap
atau terhentinya kerja otak secara menetap. Meninggal dunia adalah
keadaan insane yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa
fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung seseorang telah terhenti .
Kematian adalah satu fase kehidupan yang terakhir bagi manusia. Persepsi
seseorang tentang kematian berbeda-beda. Dalam merawat lansia yang
tidak ada harapan untuk sembuh, seorang perawat profesional harus
mempunyai ketrampilan yang multikompleks. Sesuai dengan peran yang
dimiliki, perawat harus mampu memberi pelayanan keperawatan dalam
memenuhi kebutuhan fisik, mental, sosial dan spiritual. Perawat juga
dituntut untuk membantu anggota keluarganya dalam memenuhi kebutuhan
klien lanjut usia dan harus menyelami perasaan hidup dan mati(Sayem
2018).
5. Fase-Fase Kehilangan
Masuknya klien ke dalam ancaman peran sakit pada rentang hidup-mati
mengamcam dan mengubah hemostatis. Lebih dari rasa takut yang nyata
tentang kematian dan pengaruh terhadap anggota keluarga yang dirawat
dirasakan oleh keluarga. Banyak faktor yang mempengaruhi klien dalam
perawatan penyakit terminal, apabila seseorang sudah divonis/prognosa
jelek, ia tiak akan bisa menerima begitu saja tentang apa yang ia hadapi
sekarang(Sayem 2018)
Elizabeth Kubbler Ross menggambarkan 5 tahap yang akan dilalui klien
dalam menghadapi bayangan akan kematian/kehilangan yang sangat
bermanfaat untuk memahami kondisi klien pada saat ini, yaitu:
a. Tahap peningkatan atau denial Adalah ketidakmampuan menerima,
kehilangan untuk membatasi atau mengontrol nyeri dan dystress dalam
menghadapinya. Gambaran pada tahap denial yaitu:
1) Tidak percaya diri
2) Shock
3) Mengingkari kenyataan akan kehilangan
4) Selalu membantah dengan perkataan baik
5) Diam terpaku
6) Binggung, gelisah
b. Tahap anger atau marah Adalah kekesalan terhadap kehilangan.
Gambaran pada tahap anger yaitu:
1) Klien marah-marah
2) Nada bicara kasar
3) Suara tinggi(Sayem 2018).
B. Konsep Asuhan Keperawatan Lansia Menjelang Ajal
1. Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan penyakit terminal, menggunakan pendekatan
holistik yaitu suatu pendekatan yang menyeluruh terhadap klien bukan
hanya pada penyakit dan aspek pengobatan dan penyembuhan saja akan
tetapi juga aspek psikososial lainnya. Salah satu metode untuk membantu
perawat dalam mengkaji data psikososial pada klien terminal yaitu dengan
menggunakan metode “PERSON”.
P: Personal Strenght
Yaitu: kekuatan seseorang ditunjukkan melalui gaya hidup kegiatannya
atau pekerjaan.
Contoh yang positif: Bekerja ditempat yang menyenangkan bertanggung
jawab penuh dan nyaman: Bekerja dengan siapa saja dalam kegiatan sehari-
hari.
Contoh yang negatif: Kecewa dalam pengalaman hidup.
E: Emotional Reaction
Yaitu reaksi emosional yang ditunjukkan dengan klien.
Contoh yang positif: Binggung tetapi mampu memfokuskan keadaan.
Contoh yang negatif: Tidak berespon (menarik diri)
R: Respon to Stress
Yaitu respon klien terhadap situasi saat ini atau dimasa lalu.
Contoh yang positif:
a. Memahami masalah secara langsung dan mencari informasi.
b. Menggunakan perasaannya dengan sehat misalnya: latihan dan olah
raga.
Contoh yang negatif:
a. Menyangkal masalah.
b. Pemakaian alkohol.
c. Pengkajian yang perlu diperhatikan klien dengan penyakit terminal
menggunakan pendekatan meliputi.
1) Faktor predisposisi Yaitu faktor yang mempengaruhi respon
psikologis klien pada penyakit terminal, sistem pendekatan bagi
klien. Klas Kerud telah mengklasifikasikan pengkajian yang
dilakukan yaitu:
a) Fokus Sosiokultural
Klien mengekpresikannya sesuai dengan tahap perkembangan,
pola kultur atau latar belakang budaya terhadap kesehatan,
penyakit, penderitaan dan kematian yang dikomunikasikan baik
secara verbal maupun non verbal.
b) Faktor presipitasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya reaksi klien
terminal, yaitu:
(1) Prognosa akhir penyakit yang menyebabkan kematian.
(2) Faktor transisi dari arti kehidupan menuju kematian.
(3) Support dari keluarga dan orang terdekat.
(4) Hilangnya harga diri, karena kebutuhan tidak terpenuhi
sehingga klien menarik diri, cepat tersinggung dan tidak ada
semangat hidup.
c) Faktor perilaku
(1) Respon terhadap klien
Bila klien terdiagnosa penyakit terminal maka klien akan
mengalami krisis dan keadaan ini mengakibatkan keadaan
mental klien tersinggung sehingga secara langsung dapat
menganggu fungsi fisik/penurunan daya tahan tubuh.
(2) Respon terhadap diagnosa
Biasanya terjadi pada klien yang terdiagnosa penyakit
terminal adalah shock atau tidak percaya perubahan konsep
diri klien terancam, ekspresi klien dapat berupa emosi
kesedihan dan kemarahan.
(3) Isolasi social
Pada klien terminal merupakan pengalaman yang sering
dialami, klien kehilangan kontak dengan orang lain dan
tidak tahu dengan pasti bagaimana pendapat orang terhadap
dirinya.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial
berhubungan dengan kondisi sakit terminal.
b. Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan
fungsi
c. Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan
terminal
d. Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti,
ditandai dengan klien selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah
perubahan atau tidak (fisik), raut muka klien yang cemas
e. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima
akan kematian, ditandai dengan klien yang selalu mengeluh tentang
keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas penyakit[ CITATION Doe16 \l
1033 ].
3. Intervensi
Rencana Keperawatan
a. Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial
berhubungan dengan kondisi sakit terminal
Tujuan : Klien merasa tenang menghadapi sakaratul maut sehubungan
dengan sakit terminal
Intervensi :
1) Dengarkan dengan penuh empati setiap pertanyaan dan berikan
respon jika dIbutuhkan klien dan gali perasaan klien.
2) Berikan klien harapan untuk dapat bertahan hidup.
3) Bantu klien menerima keadaannya sehubungan dengan ajal yang
akan menjelang.
4) Usahakan klien untuk dapat berkomunikasi dan selalu ada teman di
dekatnya.
5) Perhatikan kenyamanan fisik klien[ CITATION Doe16 \l 1033 ].
b. Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan
fungsi
Tujuan : Mempertahankan rasa aman, tenteram, percaya diri, harga diri
dan martabat klien
Intervensi :
1) Gali perasaan klien sehubungan dengan kehilangan.
2) Perhatikan penampilan klien saat bertemu dengan orang lain.
3) Bantu dan penuhi kebutuhan dasar klien antara lain hygiene,
eliminasi.
4) Anjurkan keluarga dan teman dekat untuk saling berkunjung dan
melakukan hal – hal yang disenangi klien.
5) Beri klien support dan biarkan klien memutuskan sesuatu untuk
dirinya, misalnya dalam hal perawatan[ CITATION Doe16 \l 1033 ].
3.6 Asuhan keperawatan lansia dengan masalah biologis, psikososial, dan sosial
kultural

Pengkajian
a. Identitas
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa/latar belakang
kebudayaan, status sipil, pendidikan, pekerjaan dan alamat. Pada pengkajian umur
didapatkan data umur pasien memasuki usia lanjut
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama:
Pasien mengatakan sakit 1 bulan yang lalu mengalami batuk mual muntah tidak
enak makan atau minum
2. Riwayat penyakit sekarang
-pasien dating ke puskesmas dengan anaknya dengan mengalami kag.7.+RII pasien
mengeluh sakit sering mual muntah saat memasuki makanan atau minuman lalu
menimbulkan mual (+), muntah (+), BAB (-), kentut (-) danpasien di sarankan
untuk di rawat inap dengan pengobatan infuse rl:05% 2:1 tpm,injeksi rsnitidin
2x1A, dan domperidone 3x1.
-lalu pasien mengecek tanda-tanda vital: N:87x/m, TD:120/80 mmhg, S: 36,3C,
RR:36x/m..
3. riwayat penyakit dahulu
Pasien mengatakan pernah melakukan operasi mium pada tahun 2008.
4. Penyakit keluarga
Pasien mengatakan tidak ada penyakit keturunan
c. Pemeriksaan Fisik
1. Tingkat kesehatan:
2. TTV: S: 37,4C
N:84x/m
TD:110/70 mmhg
RR:27x/m
3. Kepala: simetris dan tidak ada lesi
4. Mata: normal
Hidung:normal tidak ada secret
Telinga:normal
Mulut: mukosa mulut normal, gigi bersih dan tidak terdapat karang gigi
5. Leher: normal tidak ada terdapat masa
6. Dada/torakx: inspeksi: simetris
Palpasi: tidak ada nyeri tekan
Perkusi: simetris
7. Abdomen: inspeksi: distal (-)
Palpasi: detak muscular (-)
Auskultasi: normal
Perkusi: normal
8. Genetalia: tidak terpasang apa-apa
9. Ekstremitas: tidak bias melakukan aktifitas apa pun
d. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


1. Dara Keluhan: Kurangnya memonitor kondisi pasien
subjektif:- Pasien tidak dapat
pasien berjalan ke kamar
mengatakan mandi atau toilet
sering
mengalami
lemas muka
tampak lesu
-pasien
mengatakan
terasa tidak
enak badan.

Data
objektif:
-pasien
tampak
pucat
-Pasien
tmapak
lemes
-Rambut
pasien
tampak
kotor

e. Diangnosa Keperawatan
Defisit gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan anoreksia dilidai dengan
05 setelah mual muntah+ dengan TTV: TD120/80 mmhg. S:36,3 C, N:86x/m, RR:
36x/m
f. Intervensi Keperawatan

Hr/tgl/jm Dx Tujuan dan criteria hasil Intervensi Rasionaln


Sabtu/24;7;2 1 Setelah di lakukan tindakan Ajarkan Agar
021/17:15 kperawatan selama 1x 24 jam pasien dan pasien
WITA melakuan makan dan minum keluarga dapat
untuk melakukan
melakukan nya dengan
pembeikan mandiri
mkanan
yang
sedikit
demi
sedikit dan
berikan
minuman
yang
hangat
g. Implementasi

Hr/tgl/jm Dx Implementasi Rasional hasil Ttd


Sabtu/24-07- 1 - Mengukur skala Agar pasien bias
2021/17:15 nyeri pasien mengerti cara
WITA dengan cara mengurasi rasa
menanyakan nyeri
pada pasien -menyecek tanda
seberapa besar tanda vital:
kualitas nyeri TD1:
yang dirasakan 20/80
- Melakukan mmhg.
anamneses nyeri S:36,3 C,
pada pasien N:86x/m,
RR:
36x/m

h. Evaluasi keperawatan

Hr/ tgl/jm Dx Evaluasi


Sabtu/24-7- 1 S:mengeluh baruk (+), mual (+), muntah (+)
2021/17:15 WITA BAB/BAK (+/+)
O: TD:120/80 mmhg
N:87x/m
A: masalah belum teratasi
P: intervensi dilanjutkan

3.7 Peran keluarga, tugas keluarga, dan langkah-langkah dalam perawatan keluarga
dengan lansia
A. Konsep Dasar Keluarga
1. Definisi Keluarga
Menurut Dep Kes R.I (1988) dalam Komang (2012) mengungkapkan
bahwa keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas
kepala keluarga dan beberapaorang yang berkumpul dan tinggal di suatu
tempat di bawh satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Stuart
(1991) dalam Komang (2012) menerangkan keluarga meliputi 5 sifat,
yaitu:
a. Keluarga merupakan unit suatu sistem
b. Setiap anggota keluargadapat atau tidak dapat salingberhubungan atau
dapat dan tidak selalu tinggal dalam satu atap.
c. Keluarga dapat mempunyai anak ataupn tidak mempunyai anak.
d. Terdapat komitmen dan saling melengkapi antar anggota keluarga.
e. Keluarga mempertahankan fungsinya secara konsisten terhadap
perlindungan, kebutuhan hidup dan sosialisasi antar anggota keluarga.

Sedangkan menurut Friedman (1998) dalam Komang (2012),


mendefinisikan keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan
oleh perkawinan, adopsi dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan
mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik,
mental, emosional dan sosial dari individu-individu yang ada di dalamnya
terlihat dari pola interaksi yang saling ketergantungan untuk mencapai
tujuan bersama(Sayem 2018).
2. Tipe Keluarga
Keluarga yang memerlukan pelayanan kesehatan berasal dari berbagai
macam pola kehidupan. Sesuai dengan perkembangan sosial maka tipe
keluarga berkembang mengikutinya. Agar dapat mengupayakan peran
serta keluarga dalam meningkatkan derajat esehatan maka perawat perlu
mengetahui berbagai tipe keluarga.
Tipe-tipe keluarga menurut Maclin (1988) dalam Komang (2012) :
a. Keluarga Tradisional
b. Keluarga non Tradisional(Sayem 2018).
3. Struktur Keluarga
Suprajitno (2012), menyatakan tentang struktur keluarga, gambaran
keluarga melaksanakan fungsi keluarga di masyarakat sekitarnya, dan
empat elemen struktur keluarga, yaitu :
a. Struktur peran keluarga, menggambarkan peran masing-masing anggota
keluarga dalam keluarga sendiri dan perannya dilingkungan masyarakat
atau peran formal dan informal.
b. Nilai atau norma keluarga, menggambarkan nilai dan norma yang
dipelajari dan diyakini oleh keluarga, khususnya yang berhubungan
dengan kesehatan.
c. Pola komunikasi keluarga, menggambarkan bagaimana cara dan pola
komunikasi ayah-ibu (orang tua), orang tua dengan anak, anak dengan
anak, dan anggota keluarga lain (pada keluarga besar) dengan kelurga
inti.

4. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) Setiawati& Dermawan (2005)
dalam Komang (2012) merupakan hasil atau konsekuensi dari struktur
keluarga atau sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh keluarga. Ada
beberapa fungsi keluarga yang diungkapkan oleh, yaitu :
a. Fungsi afektif adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan
segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan
dengan orang lain.
b. Fungsi sosialisasi adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih
anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk
berhubungan dengan orang lain diluar rumah.
c. Fungsi biologis adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan
menjaga kelangsungan keluarga.
3.8 Asuhan keperawatan osteoporosis, osteosrthritis, dan fraktur
A. Osteoporosis
1. Definisi
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan
porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah
tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa
massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur
tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan
kerapuhan tulang (Soke, Judha, and Amestiasih 2016).
Osteoporosis adalah penyakit tulang sisitemik yang ditandai oleh
penurunan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan
mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of Health (NIH)
mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik
yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah
patah
Persoalan osteoporosis pada lansia erat sekali hubungannya dengan
kemunduran produksi beberapa hormone pengendali remodeling tulang,
seperti Kalsitonim dan hormone seks. Dengan bertambahnya usia, produksi
beberapa hormone tersebut akan merosot, hanya saja penurunan produksi
beberapa osteoblast, sehingga memungkinkan terjadinya pembentukan
tulang, akan mengendur aktivitasnya setelah seseorang menginjak usia ke
50 disusul tahun terakhir adalah testosterone pada kurun waktu usia 48 –
52.
Persoalan besar akan muncul juga jika terjadi gangguan dalam
keseimbangan kedua proses itu, seperti yang terjadi pada osteoporosis.
Dalam osteoporosis proses demineralisasi lebih cepat dan lebih tinggi
dibandingkan dengan proses meneralisasi. Resikonya terjadilah
pengeroposan tulang. Tulang akan kehilangan masa dalam jumlah besar
sehingga kekuatannya pun merosot drastis. Kondisi ini tentu tidak bisa
diabaikan begitu saja penurunan sepersepuluh kepadatan tulang saja
menimbulkan resiko patah tulang 2 – 3 kali lebih sering, jika kondisi ini
dibiarkan resiko terjadi patah tulang sulit dihindari. Proses tidak seimbang
bisa muncul secara alamiah seperti akibat pengaruh usia lanjut, menopause,
gangguan hormonal, dan ketidak aktifan tubuh.
2. Etiologi
a. Determinan massa tulang
1) Faktor genetic
Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap derajat kepadatan
tulang. Beberapa orang mempunyai tulang yang cukup besar dan
yang lain kecil. Sebagai contoh, orang kulit hitam pada umumnya
mempunyai struktur tulang lebih kuat/berat dari pacia bangsa
Kaukasia. Jacii seseorang yang mempunyai tulang kuat (terutama
kulit Hitam Amerika), relatif imun terhadap fraktur karena
osteoporosis.
2) Faktor mekanis
Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping
faktor genetk. Bertambahnya beban akan menambah massa tulang
dan berkurangnya beban akan mengakibatkan berkurangnya massa
tulang. Kedua hal tersebut menunjukkan respons terhadap kerja
mekanik Beban mekanik yang berat akan mengakibatkan massa otot
besar dan juga massa tulang yang besar. Sebagai contoh adalah
pemain tenis atau pengayuh becak, akan dijumpai adanya hipertrofi
baik pada otot maupun tulangnya terutama pada lengan atau
tungkainya, sebaliknya atrofi baik pada otot maupun tulangnya akan
dijumpai pada pasien yang harus istrahat di tempat tidur dalam
waktu yang lama, poliomielitis atau pada penerbangan luar angkasa.
Walaupun demikian belum diketahui dengan pasti berapa besar
beban mekanis yang diperlukan dan berapa lama untuk
meningkatkan massa tulang di sampihg faktor genetic.
3) Faktor makanan dan hormone
Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang
cukup (protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai
maksimal sesuai dengan pengaruh genetik yang bersangkutan.
Pemberian makanan yang berlebih (misainya kalsium) di atas
kebutuhan maksimal selama masa pertumbuhan, disangsikan dapat
menghasilkan massa tulang yang melebihi kemampuan
pertumbuhan tulang yang bersangkutan sesuai dengan kemampuan
genetiknya.(Soke, Judha, and Amestiasih 2016).
b. Determinan penurunan Massa Tulang
1) Faktor genetik
Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah
mendapat risiko fraktur dari pada seseorang dengan tulang yang
besar. Sampai saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai
sebagai ukuran tulang normal. Setiap individu mempunyai
ketentuan normal sesuai dengan sitat genetiknya serta beban
mekanis den besar badannya. Apabila individu dengan tulang yang
besar, kemudian terjadi proses penurunan massa tulang
(osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia, maka individu
tersebut relatif masih mempunyai tulang lebih banyak dari pada
individu yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama.
2) Faktor mekanis
Faktor mekanis mungkin merupakan yang terpenting dalarn proses
penurunan massa tulang schubungan dengan lanjutnya usia.
Walaupun demikian telah terbukti bahwa ada interaksi panting
antara faktor mekanis dengan faktor nutrisi hormonal. Pada
umumnya aktivitas fisis akan menurun dengan bertambahnya usia;
dan karena massa tulang merupakan fungsi beban mekanis, massa
tulang tersebut pasti akan menurun dengan bertambahnya usia.
3) Kalsium
Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam proses
penurunan massa tulang sehubungan dengan bertambahnya usia,
terutama pada wanita post menopause. Kalsium, merupakan nutrisi
yang sangat penting. Wanita- wanita pada masa peri menopause,
dengan masukan kalsiumnya rendah dan absorbsinya tidak bak,
akan mengakibatkan keseimbangan kalsiumnya menjadi negatif,
sedang mereka yang masukan kalsiumnya baik dan absorbsinya
juga baik, menunjukkan keseimbangan kalsium positif. Dari
keadaan ini jelas, bahwa pada wanita masa menopause ada
hubungan yang erat antara masukan kalsium dengan keseimbangan
kalsium dalam tubuhnya. Pada wanita dalam masa menopause
keseimbangan kalsiumnya akan terganggu akibat masukan serta
absorbsinya kurang serta eksresi melalui urin yang bertambah.
Hasil akhir kekurangan/kehilangan estrogen pada masa menopause
adalah pergeseran keseimbangan kalsium yang negatif, sejumiah 25
mg kalsium sehari.
4) Protein
Protein juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi
penurunan massa tulang. Makanan yang kaya protein akan
mengakibatkan ekskresi asam amino yang mengandung sulfat
melalui urin, hal ini akan meningkatkan ekskresi kalsium. Pada
umumnya protein tidak dimakan secara tersendiri, tetapi bersama
makanan lain. Apabila makanan tersebut mengandung fosfor, maka
fosfor tersebut akan mengurangi ekskresi kalsium melalui urin.
Sayangnya fosfor tersebut akan mengubah pengeluaran kalsium
melalui tinja. Hasil akhir dari makanan yang mengandung protein
berlebihan akan mengakibatkan kecenderungan untuk terjadi
keseimbangan kalsium yang negative.
5) Estrogen
Berkurangnya/hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan
mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan kalsium. Hal ini
disebabkan oleh karena menurunnya eflsiensi absorbsi kalsium dari
makanan dan juga menurunnya konservasi kalsium di ginjal.
6) Rokok dan kopi
Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan
mengakibatkan penurunan massa tulang, lebih-lebih bila disertai
masukan kalsium yang rendah. Mekanisme pengaruh merokok
terhadap penurunan massa tulang tidak diketahui, akan tetapi kafein
dapat memperbanyak ekskresi kalsium melalui urin maupun tinja.

7) Alkohol
Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah yang sering
ditemukan. Individu dengan alkoholisme mempunyai
kecenderungan masukan kalsium rendah, disertai dengan ekskresi
lewat urin yang meningkat. Mekanisme yang jelas belum diketahui
dengan pasti(Armandani 2018).
3. Klasifikasi
Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu :
a. Osteoporosis primer yang terjadi bukan sebagai akibat penyakit yang
lain,yang dibedakan lagi atas :
1) Osteoporosis tipe I (pasca menopouse), yang kehilangan tulang
terutama dibagian trabekula.
2) Osteoporosis tipe II (senilis), terutama kehilangan Massa tulang
daerah Korteks.
3) Osteoporosis idiopatik yang terjadi pada usia muda dengan
penyebab yang tidak diketahui
b. Osteoporosis sekunder, yang terjadi pada/akibat penyakit lain, antara
lain hiperparatiroid, gagal jantung kronis, arthritis rematoid dan lain-
lain(Armandani 2018).
4. Manifestasi Klinis
Osteoporosis dimanifestasikan dengan :
a. Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata.
b. Nyeri timbul mendadak.
c. Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang.
d. Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur.
e. Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah jika
melakukan aktivitas.
f. Deformitas vertebra thorakalis(Soke, Judha, and Amestiasih 2016).

5. Patofisiologi
Setelah menopause, kadar hormon estrogen semakin menipis dan kemudian
tidak diproduksi lagi. Akibatnya, osteoblas pun makin sedikit diproduksi.
Terjadilah ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan kerusakan
tulang. Osteoklas menjadi lebih dominan, kerusakan tulang tidak lagi bisa
diimbangi dengan pembentukan tulang. Untuk diketahui, osteoklas merusak
tulang selama 3 minggu, sedangkan pembentukan tulang membutuhkan
waktu 3 bulan. Dengan demikian, seiring bertambahnya usia, tulang-tulang
semakin keropos (dimulai saat memasuki menopause) dan mudah diserang
penyakit osteoporosis.
Proses Osteoporosis sendiri di akibatkan faktor faktor berikut yaitu
Genetik, gaya hidup, alcohol, penurunan produksi hormon akibatnya
produksi osteoblas semakin sedikit maka terjadi ketidakseimbangan antara
pembentukan tulang dan kerusakan tulang hal ini menyebabkan osteoklas
menjadi lebih dominan dan tidak lagi bisa diimbangi dengan kerusakan
tulang mengakibatkan penurunan masa tulang Apabila kerusakan tulang
sendi lebih cepat dari kemampuannya untuk memperbaiki diri, maka terjadi
penipisan dan kehilangan pelumas sehingga kedua tulang akan bersentuhan.
Inilah yang menyebabkan rasa nyeri pada sendi. Setelah terjadi kerusakan
sendi maka tulang juga ikut berubah(Armandani 2018).
6. Komplikasi
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas, rapuh
dan mudah patah. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur. Bisa terjadi
fraktur kompresi vertebra torakalis dan lumbalis, fraktur daerah kolum
femoris dan daerah trokhanter, dan frakturcolles pada pergelangan
tangan(Armandani 2018).
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologik
Dilakukan untuk menilai densitas massa tulang sangat tidak sensitif.
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan
korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen.Hal ini akan tampak
pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame
vertebra.

b. Pemeriksaan densitas massa tulang (Densitometri)


Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan untuk
menilai densitas massa tulang, seseorang dikatakan menderita
osteoporosis apabila nilai BMD ( Bone Mineral Density ) berada
dibawah -2,5 dan dikatakan mengalami osteopenia (mulai menurunnya
kepadatan tulang) bila nilai BMD berada antara -2,5 dan -1 dan normal
apabila nilai BMD berada diatas nilai -1. Beberapa metode yang
digunakan untuk menilai densitas massa tulang:
1) Single-Photon Absortiometry (SPA)
Pada SPA digunakan unsur radioisotop I yang mempunyai energi
photon rendah guna menghasilkan berkas radiasi kolimasi tinggi.
SPA digunakan hanya untuk bagian tulang yang mempunyai
jaringan lunak yang tidak tebal seperti distal radius dan kalkaneus.
2) Dual-Photon Absorptiometry (DPA)
Metode ini mempunyai cara yang sama dengan SPA. Perbedaannya
berupa sumber energi yang mempunyai photon dengan 2 tingkat
energi yang berbeda guna mengatasi tulang dan jaringan lunak yang
cukup tebal sehingga dapat dipakai untuk evaluasi bagian-bagian
tubuh dan tulang yang mempunyai struktur geometri komplek
seperti pada daerah leher femur dan vetrebrata. 3) Quantitative
Computer Tomography (QCT) Merupakan densitometri yang paling
ideal karena mengukur densitas tulang secara volimetrik.
c. Sonodensitometri
Sebuah metode yang digunakan untuk menilai densitas perifer dengan
menggunakan gelombang suara dan tanpa adanya resiko radiasi.
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dalam menilai densitas tulang trabekula melalui dua langkah yaitu
pertama T2 sumsum tulang dapat digunakan untuk menilai densitas
serta kualitas jaringan tulang trabekula dan yang kedua untuk menilai
arsitektur trabekula.
e. Biopsi tulang dan Histomorfometri
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk memeriksa kelainan
metabolisme tulang.

f. Radiologis
Gejala radiologis yang khas adalah densitas atau masa tulang yang
menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat
korpus vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisa
korteks dan hilangnya trabekula transfersal merupakan kelainan yang
sering ditemukan. Lemahnya korpus vertebra menyebabkan penonjolan
yang menggelembung dari nukleus pulposus ke dalam ruang
intervertebral dan menyebabkan deformitas bikonkaf.
g. CT-Scan
CT-Scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang
mempunyai nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up.
Mineral vertebra diatas 110 mg/cm3baisanya tidak menimbulkan
fraktur vetebra atau penonjolan, sedangkan mineral vertebra dibawah
65 mg/cm3 ada pada hampir semua klien yang mengalami
fraktur(Armandani 2018).
h. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kadar Ca, P, Fosfatase alkali tidak menunjukkan kelainan yang
nyata.
2) Kadar HPT (pada pascamenoupouse kadar HPT meningkat) dan Ct
(terapi ekstrogen merangsang pembentukkan Ct)
3) Kadar 1,25-(OH)2-D3 absorbsi Ca menurun.
4) Eksresi fosfat dan hidroksipolin terganggu sehingga meningkat
kadarnya(Armandani 2018).
8. Penatalaksanaan
a. Pengobatan:
1) Meningkatkan pembentukan tulang, obat-obatan yg dapat
meningkatkan pembentukan tulang adalah Na-fluorida dan steroid
anabolic.
2) Menghambat resobsi tulang, obat-obatan yang dapat mengahambat
resorbsi tulang adalah kalsium, kalsitonin, estrogen dan difosfonat.
Penatalaksanaan keperawatan:
a) Membantu klien mengatasi nyeri.
b) Membantu klien dalam mobilitas.
c) Memberikan informasi tentang penyakit yang diderita kepada
klien.
d) Memfasilitasikan klien dalam beraktivitas agar tidak terjadi
cedera(Armandani 2018).
b. Pencegahan
Pencegahan sebaiknya dilakukan pada usia pertumbuhan/dewasa muda,
hal ini bertujuan:
1) Mencapai massa tulang dewasa Proses konsolidasi) yang optimal
2) Mengatur makanan dan life style yg menjadi seseorang tetap bugar
seperti:
3) Diet mengandung tinggi kalsium (1000 mg/hari)
4) Latihan teratur setiap hari
5) Hindari :  Makanan tinggi protein  Minum alkohol  Merokok 
Minum kopi  Minum antasida yang mengandung
aluminium(Armandani 2018).

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


PENGKAJIAN
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali
masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien (Istianah, 2017).
2.4.1.1 Pengumpulan data
1) Biodata Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, pendidikan, alamat.
2) Riwayat keperawatan Adanya perasaan tidak nyaman, antara lain nyeri, kekakuan pada
tangan atau kaki dalam beberapa periode / waktu sebelum klien mengetahui dan
merasakan adanya perubahan sendi.
3) Pemeriksaan Fisik
Inspeksi persendian untuk masing-masing sisi, amati adanya kemerahan, pembengkakan,
teraba hangat, dan perubahan bentuk (deformitas).
1) Lakukan pengukuran rentang gerak pasif pada sendi. Catat jika terjadi keterbatasan
gerak sendi, krepitasi dan jika terjadinyeri saat sendi digerakkan.
2) Ukur kekuatan otot
3) Kaji skala nyeri dan kapan nyeri terjadi.
4) Riwayat psikososial
Penderita mungkin merasa khawatir mengalami deformitas pada sendi- sendinya. Ia juga
merasakan adanya kelemahan-kelemahan pada fungsi tubuh dan perubahan pada kegiatan
sehari-hari.
5) Aktivitas/ Istirahat
Nyeri sendi karena pergerakkan, nyeri tekan, kekakuan sendi pada pagi hari. Keterbatasan
fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, aktivitas istirahat, dan pekerjaan. Gejala
lain adalah keletihan dan kelelahan yang hebat.
6) Kardiovaskuler
Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat intermitten, sianosis, kemudian
kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal).
7) Integritas Ego
Faktor stres akut/kronis, misalnya finansial, pekerjaan, ketidakmampuan,keputusasaan dan
ketidakberdayaan. Ancaman konsep diri, citra diri, perubahan bentuk badan
8) Makanan / cairan
Ketidakmampuan untuk mengonsumsi makan/cairan yang adekuat. Dan menganjurkan
makanan yang mengandung vit K,E dan C.
9) Higiene
Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi secara mandiri.
Ketergantungan pada orang lain.
10) Neurosensori
Kebas/ kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan,
pembengkakan sendi simetris.
11) Nyeri /kenyamanan
Fase akut dari nyeri (disertai / tidak disertai pembekakan jaringan lunak pada sendi. Rasa
nyeri akut dan kekakuan pada pagi hari.
12) Keamanan
Kulit mengilat, tegang. Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah
tangga,kekeringan pada mata dan membran mukosa.
13) Interaksi sosial
Kerusakan interaksi dengan keluarga/orang lain ,perubahan peran (Armandani 2018).
ANALISA DATA
Analisa data merupakan kemampuan kognitif dalam pengembangan daya berfikir dan
penalaran yang dipengaruhi oleh latar belakang ilmu dan pengetahuan, pengalaman, dan
pengertian keperawatan. Dalam melakukan analisis data, diperlukan kemampuan
mengaitkan data dan menghubungkan data tersebut dengan konsep, teori dan prinsip yang
relevan untuk membuat kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan
keperawatan klien.

DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Menurut SDKI (2017) diagnosa keperawatan yang muncul pada klien Osteoporosis
adalah:
1) Nyeri akut berhubungan dengan Agen Pencedera fisiologi
Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat dan konstan, yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
a. Gejala dan tanda mayor :
1) Subjektif :
a) Mengeluh nyeri
2) Objektif :
a) Tampak meringis
b) Gelisah
c) Sulit tidur.
b. Gejala dan tanda minor :
1) Subjektif : (tidak tersedia)
2) Objektif :
a) Pola Napas berubah
b) Nafsu makan berubah
c) Berfokus pada diri sendiri
INTERVENSI
NO. DX Keperawatan NOC NIC
1 D.0077 Luaran utama : Intervensi utama :
Tingkat nyeri Manajemen nyeri
Setelah dilakukan 1. Identifikasi lokasi,
3x24 jam tindakan karakteristik, durasi,
asuhan keperawatan frekuensi, kualitas,
diharapkan klien dan intensitas nyeri
dapat : 2. Identifikasi skala
1.frekuensi nyeri nyeri
berkurang 3. Identifikasi respon
2.kesulitan tidur nyeri non-verbal
cukup menurun 4. Identifikasi
3.ekpresi wajah saat pengetahuan dan
nyeri menurun keyakinan tentang
Luaran tambahan : nyeri

Kontrol nyeri 5. Ajarkan teknik


Setelah dilakukan non-farmakologis
3x24 jam tindakan (mis, terapi pijat,
asuhan keperawatan kompres
diharapkan klien dingin/hangat) untuk
dapat : mengurangi nyeri
1.keluhan nyeri pada 6. Jelaskan
klien menurun penyebab, periode ,
2.klien melaporkan dan pemicu nyeri
nyeri terkontrol 7. Kolaborasi
meningkat pemberian analgetik,
3.kemampuan jika perlu
menggunakan teknik
non-farmakologis
menurun

IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan pelaksanaan tindakan yang sudah direncanakan dengan tujuan
kebutuhan pasien terpenuhi secara optimal dalam rencana keperawatan. Tindakan
keperawatan mencakup tindakan mandiri (independent), saling ketergantungan/kolaborasi,
dan tindakan rujukan/ ketergantungan (dependent) (Tartowo & Wartonah , 2015).
EVALUASI
Proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak dan perbandingan yang sistematis dan terencana tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, keluarga dan tenaga kesehatan
lainnya. Tujuan evaluasi untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan yang
disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan.Untuk mempermudah
mengevaluasi atau memantau perkembangan pasien digunakan komponen SOAP adalah
sebagai berikut:
S : Data subjektif
Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih dirasakan setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
O : Data objektif
Data berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat secara langsung kepada pasien
dan yang dirasakan pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
A : Analisa
Merupakan suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi, atau juga dapat
dituliskan suatu masalah/ diagnosis baru yang terjadi akibat perubahan status kesehatan
pasien yang telah teridentifikasi datanya dalam data subjektif dan objektif.
P : Planning
Perencanaan keperawatan yang dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi atau ditambahkan
dari rencana tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya, tindakan yang telah
menunjukkan hasil yang memuaskan data tidak memerlukan tindakan ulang pada
umumnya dihentikan.
3.9 Hukum dan etika dalam geriatrik
A. Definisi perlindungan hukum
Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah “zoon politicon”, makhluk
sosial atau makhluk bermasyarakat, oleh karena tiap anggota masyarakat
mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Sebagai makhluk sosial
maka sadar atau tidak sadar manusia selalu melakukan perbuatan hukum dan
hubungan hukum.
Perbuatan hukum diartikan sebagai setiap perbuatan manusia yang dilakukan
dengan sengaja/atas kehendaknya untuk menimbulkan hak dan kewajiban yang
akibatnya diatur oleh hukum. Perbuatan hukum terdiri dari perbuatan hukum
sepihak seperti pembuatan surat wasiat atau hibah, dan perbuatan hukum dua
pihak seperti jual-beli, perjanjian kerja dan lain-lain.Hubungan hukum
diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih subyek hukum, hubungan
mana terdiri atas ikatan antara individu dengan individu, antara individu
dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang
lain. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu
berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.
Bebagai hal yang sangat perlu diperhatikan adalah, antara lain, keputusan
tentang mati hidup penderita. Apakah pengobatan atau dihentikan. Apakah
perlu tindakan resusitasi. Apakah makanan tambahan per infus tetap diberikan
pada penderita kondisi yang sudah jelas akan meninggal? Dalam aspek
geriatrik ini erat dengan aspek hokum, sehingga pembicaraan mengenai kedua
aspek ini sering bertemu dalam satu pembicaraan. Aspek hokum penderita
denagn kemampuan kognitif yang sudah rendah seperti pada penderita
demensia sangat dekat dengan segi etik.
Antara lain berbagai hal mengenai pengunusan harta benda enderita lansia yang
tidak memiliki anak dan lain sebagainya.
Beberapa hal tersebut perlu mendapatkan perhatian di Indonesia, Dimana
giriatri merupakan bidang ilmu yang baru saja mulai berkembang. Oleh karena
itu, beberapa dari prinsip etika yang dikemukakan berikut ini sering tidak
terdapat / dilaksanakan di Indonesia. Pengertian dan pengetahuan mengenai
hal ini akan memberi gambaran bagaimana seharusnya masalah etika dan
hukum pada perumatan penderita lanjut usi diberlakukan [ CITATION Iin19 \l
1033 ][ CITATION Sun16 \l 1033 ][ CITATION Mub17 \l 1033 ]
B. Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan Pada Lansia
Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita
usia lanjut adalah:
1. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : “simpati atas dasar
pengertian yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan
geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian,
kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita
tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak
berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective dan belas-
kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses
fisiologis dan patologik dari penderita lansia.

2. Yang harus dan yang “jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai
non-maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan
pada keharusan untuk melakukan yang baik untuk pnderita dan harus
menghindari tindakan yang menambah penderita (ham) bagi penderita.
Terdapat adagium primum non nocere (“yang penting jangan membuat
seseorang menderita”). Dalam pengertian ini, upaya mempersembahkan
posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik
(perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan
merupakan berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk
dikerjakan.
3. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak
untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan Keinginannya sendiri.
Tentu saja tetapi hak-hak tersebut terbatas, akan membuat keputusan secara
mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau
menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki,
prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional
masih kapabel (sedanagkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat
melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai aspek etik ini
seolah-olah prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil dari
orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis. Seorang ayah membuat
keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).

4. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan


yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk menangani seorang
penderita secara wajar dan tidak melakukan pembedaan atas karakteristik
yang tidak relevan.
5. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji
yang diberikan pada seorang penderita.
Mengenai keharusan untuk berbuat baik dan otonomi, Meier dan Cassel
menulis sebagai berikut: “Walaupun komunitas medis telah diserang karena
sikapnya terhadap pasien, biasanya diakui bahwa paternalisme dapat
dibenarkan jika kriteria tertentu terpenuhi; jika bahaya dapat dihindari. Atau
manfaat yang diperoleh seseorang lebih besar daripada hilangnya otonomi
akibat intervensi; jika orang tersebut terlalu sakit untuk memilih intervensi
yang sama.
Dengan melihat prinsip di atas tersebut, asek etika pada pelayanan geriatric
berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal
sebagai berikut :

1. Penderita harus ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan secara


sukarela dan pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan
harus sukarela.

2. Keputusan harus mendapat penjelasan tentang tindakan atau keputusan


yang akan diambil secara lengkap dan jelas.
3. keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental
dianggap kapabel.
Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian ituangkan
dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik) atau
informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita menolak tindakan
medik yang disarankan oleh dokter, tetapi tidak boleh memilih tindakan, jika
berdasarkan pertimbangan pertimbangan tindakan yang dipilih tersebut tidak
berguan (tidak berguna) atau bahkan berbahaya (berbahaya).

Kapasitas untuk mengambil keputusan, menupakan aspek etik dan hokum yang
sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita
tersebut harus dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label
iagnosis, antara lain terlihat dari :

1. Apakah penderita bisa membuat/tunjukan keinginan secara benar ?


2. Dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat ?
3. Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita
mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar) ?
4. Apakah penderita terkejut bagi dirinya ? (misalnya tentang keuntungan dan
kerugian dari tindakan tersebut ? dan memahami pula berbagai pilihan yang
ada) ?

Pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih


terdapat fungsi yagn baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak baik,
sehingga perlu mempertimbangkan beberapa faktor. Pada usia lanjut serinkali
sudah terdapat gangguan komunikasi akibat menurunnya pendengaran,
sehingga perlu waktu, upaya dan kesabaran yang lebih guna mengetahui
kemampuan fungsional penderita.

1. Realitas adanya gangguan proses pengambilan keputusan (misalnya pada


keadaan depresi berat, tidak sadar atau demensia). Bila gangguan tersebut
berat, sedangakan keputusan harus segera diambil, maka keputusan dapat
dialihkan kepada wakil hukum atau walimkeluarga (istri/suami/anak atau
pengacara). Dalam istilah asing keadaan ini disebut sebagai surrogate
decission maker.
2. Jika keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek
medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta benda dll)
maka sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi
kepentingan yang disebut badan perlindungan hokum (guardianship board).
[ CITATION Mub17 \l 1033 ].

C. Arahan keinganan penderita (ADVANCE DIRECTIVES).


Dalam hal menghargai hak otonomi penderita, dikenal apa yang disebut
sebagai Arah keinginan penderita, yaitu ucapan atau keinginan penderita yang
Diucapkan saat penderita masih dalam keadaan kapasitas fungsional yagn baik.
Arahan keinginan yang diucapkan sebaiknya dicatat/direkam untuk kemudian
digunakan sebagai bilamana diperlukan untuk pengam,bilamana keputusan
pada saat kapasitas fungsional penderita terganggu atau menurun. Bahkan
apabila Arahan tersebut tidak dicatat/direkam, tetap memiliki kekuatan hukum,
asalkan terdapat saksi-saksi yang cukup pada saat Arahan tersebut diucapkan.
Yang lebih kuat dari Arah keinginan pendeita adalah yang disebut sebagai
wasiat kematian (living will), yaitu pernyataan dari penderita saat masih
berfungsi di depan seorang petugas hukum (pengacara/notaris). Perjanjian
kematian ini bisa memberi kekuatan hokum atas tindakan dokter unruk
memberikan, menghentikan atau melepas segala tindakan mempersembahkan
alat Bantu penambahan hidup.

Dalam kenyatannya pengambila keputusan ini sering dilakukan berdasarkan


keadaan de-facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dinbanding keadaan
de-jure oleh pengacara, karena hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu
lama, dan sering melelahkan baik secara fisik maupun emosional. Oleh
Karen suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah pengertian,
kepercayaan penderita atau latar belakang budaya dapat menyebabkan
penderita mengambil keputusan yang salah (antara lain menolak tramfusi /
tindakan bedah yagn live saving). Dalam hal ini, dokter diihadapkan pada
keadaan yang sulit, dimana atas otonomi penderita tetap harus dihargai.

Yang penting adalah bahwa dokter mau mendengar semua keluhan atau
sayangnya seorang penderita dan jika mungkin memperbaiki keputusan
penderita tersebut denagn mempersembahkan edukasi. Kadang-kadang perlu
diambil tindakan “kompromi” antara apa yang baik menurut pertimbangan
dokter dan apa yang diinginkan oleh penderita
D. Pemberian peralatan perpajang (Life Sustaining Device)
Salah satu aspek etika yang penting dan kontroversial dalam pelayanan
geriatrik adalah penggunaan perpanjangan hidup, antara lain ventilator dan
upaya perpanjangan hidup yang lai (resusitasi kardio-pulmoner dll). Pada
penderita dewasa muda hal ini sering klai tidak menjadi masalah, karena sering
diharapkan hidup penderita masihj akan berlangsung lama bila jiwanya bisa
ditolong. Pada lanjut apalagi kalau penyakitnya sudah meluas (advanced)
pemberian sering kali diperdebatkan merupakan tindakan yang “kejam”
(pengobatan sia-sia).
Dikatakan sebagai “kekejaman fisiologisk” bila terapi/tindakan yang diberikan
tidaka akan memberikan perbaikan (efek yang masuk akal) sama sekali pada
keschatan penderita. “kekejaman kuantitatif” bila tindakan atau terapi Anda
tidak ada gunanya. “Kekejaman kualitatif” bila tindakan atau terapi
perpanjangn hidup tidak menunjukan perbaiakan atau justru mengurangi
kualitas hidup penderita.
Walaupun sering memberikan tanggapan emosional dari keluarga, penghentian
peralatan penpanjangan hidup (ventilator dsb) pertimbangan yang sama dengan
pertimbangan apakah alat tersebut perlu dipasang atau tidak.Pemasangan alat
ini tidak dengan sendirinya menahan untuk suatu saat dihentikannya bila
dianggap tidak ada gunannya lagi.
Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga penderita dan memberi
penjelasan bahwa evaluasi pemberian peralatan tersebut perlu
dihentikan[ CITATION Iin19 \l 1033 ].

E. Tinjauan Umum Tenaga Keperawatan


Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan, adanya berbagai macam tenaga kesehatan, yang mempunyai
bentangan yang sangat luas, baik dari segi latar belakang pendidikannya
maupun jenis pelayanan atau upaya kesehatan yang dilakukan. Jenis tenaga
kesehatan berdasarkan Undang-Undang ini meliputi:
1. Tenaga medis, mencakup:
a. Dokter
b. Dokter gigi
2. Tenaga keperawatan
a. Perawat
b. Kewenangan Tenaga Keperawatan.

Berdasarkan hasil Lokakarya Keperawatan Nasional tahun 1983, keperawatan


adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral
dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan,
berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio- spiritual yang komprehensif, ditujukan
kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik yang sakit maupun yang sehat
mencakup seluruh siklus hidup manusia.
Berdasarkan defenisi tersebut, dapat diketahui bahwa keperawatan merupakan
bentuk pelayanan yang diberikan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan.
Ruang lingkup asuhan keperawatan meliputi bidang yang amat luas, mencakup
aspek fisik dan psikis, dalam kapasitas individu, hubungannya dengan
keluarga, dan social. Sasaran keperawatan tidak hanya individu (pasien), tetapi
juga keluarga dan masyarakat; tidak hanya terhadap seseorang yang sakit,
tetapi juga yang sehat, sejak masih dalam kandungan hingga meninggal dunia.
Pelayanan keperawatan mencakup seluruh siklus hidup manusia, artinya
asuhan keperawatan diberikan sejak dalam kandungan sampai saat seseorang
meninggal dunia. Oleh karena itu, dalam keperawatan dikenal keperawatan
kebidanan, keperawatan anak, keperawatan usia lanjut, dan lain-lain.
1. Pengertian Perawat
Pengertian perawat berdasarkan Permenkes RI No. 1239 Tahun 2001
tentang Registrasi dan Praktik Perawat yaitu:
“Seseorang yang telah lulus pendidikan keperawatan, baik di dalam
maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”
2. Kewenangan Tenaga Keperawatan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan, tenaga keperawatan terdiri atas perawat dan bidan. Berikut
kewenangan perawat dan bidan berdasarkan peraturan pemerintah:
Kewenangan Perawat Berdasarkan Permenkes RI No.
1239/Menkes/Per/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat,
kewenangan perawat yaitu
Pasal 15
Perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berwenang untuk:

a. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi:


intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan
konseling kesehatan.

b. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dimaskud


huruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang
ditetapkan oleh organisasi profesi.
c. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan
permintaan tertulis dari dokter.
Pasal 20
a. Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang/pasien,
perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

b. Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa[ CITATION Iin19 \l 1033 ].
2. Standar Asuhan Keperawatan
Praktik keperawatan adalah tindakan mandiri perawat professional
melalui kerjasama berbentuk kolaborasi dengan klien dan tenaga
kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan atau sesuai
dengan lingkup wewenang dan tanggung jawab.
Dalam menjalankan tugas profesi, perawat berpatokan kepada standar
asuhan keperawatan. Standar keperawatan deskripsi kualitas yang
diinginkan terhadap pelayanan yang diberikan pada pasien. Standar
keperawatan bertujuan:
a. Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan
Perawat berusaha mencapai standar yang telah ditetapkan perawat
termotivasi untuk berusaha karena jelas arah yang dituju.
b. Menurunkan biaya perawatan
Perawat melakukan kegiatan yang telah ditetapkan dalam standar
sehingga berkurang kegiatan-kegiatan yang tidak perlu dan yang
tidak bertujuan.

c. Melindungi perawat dari kelalaian melakukan tugas dan melindungi


pasien dari tindakan yang tidak terapeutik.
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009
disebutkan bahwa :
“Tenaga Kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, hak
penggunaan pelayanan kesehatan, standar pelayanan dan standar
prosedur operasional”.
3. Dasar Hukum Tenaga Keperawatan
a. Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
c. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
d. Permenkes RI No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan[ CITATION
Iin19 \l 1033 ].
F. Aspek Hukum dan Etika
Poduk hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara
merupakan gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para
Lanjut Usianya. Baru sejak tahun 1965 di indonesia meletakkan landasan
hukum, yaitu Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi
Orang Jompo. Bila dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara
berkembang perhatian terhadap Lanjut Usia belum begitu besar.
Di Australia, misalnya, telah diundangkan Aged Person Home Act (1954),
Home Nursing Subsidy Act (1956), The Home and Community Care Program
(1985), Bureau for the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care
(1992), Charter for Resident’s Right (1992), Community Option Program
(1994), dan Aged Care Reform Strategy (1996).
Di Amerika Serikat di undangkan Social Security Act yang meliputi Old
American Act (Title III), Medicaid (Title VII), Medicare (Title XIX, 1965),
Social Service block Plan (Title XX) dan Supplemental Security Income (Title
XVI). Selanjutnya diterbitkan Tax Equity and Fiscal Responsibility Act
(1982), Omnibus Budget Reconcilliation Act (OBRA, 1987), The Continuun
of Long-term Care (1987) dan Program of All Care of the Elderly (PACE,
1990).
Di Inggris di undangkan National Assistence Act, Section 47 (1948) dan telah
ditetapkan standardisasi pelaytanan di rumah sakit serta di masyarakat. Juga
telah ditentukan rasio tempat tidur per lanjut usia dan perawatan berkelanjutan.
Di Singapura dibentuk Advisory Council on the Age, Singapore Action Group
of Elders (SAGE) dan The Elders’ Village[ CITATION Ind17 \l 1033 ].

G. Landasan Hukum di Indonesia


Berbagai nproduk hokum dan undang-undang yang langsung mengenai Lanjut
Usia atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah
diterbitkan sejak 1965. Beberapa di antaranya adalah :
1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi
Orang Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor
32 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747).
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja.
3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial.
4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.
6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja.
8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman.
9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan
Perkembangan Kependudukan.
14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
(Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang-
undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang
jompo.
Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :
a. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat
dan kelembagaan.
b. Upaya pemberdayaan.
c. Uaya peningkatan kesejahteraan sosial usia potensial dan tidak
potensial.
d. Pelayanan terhadap Lanjut Usia.
e. Perlindungan sosial.
f. Bantuan sosial.
g. Koordinasi.
h. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.
i. Ketentuan lagu[ CITATION Ind17 \l 1033 ].
H. Permasalahan
Masalah yang masih terdapat pada Lanjut Usia, bila ditinjau dari aspek hokum
dan etika, dapat disebabkan oleh ole factor, seperti berikut :
1. Produk Hukum
Meskipun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk
hokum dan undang-undang memiliki Peraturan Pelakisanaan. Begitu pula,
belum diterbirkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk
Teknisnya, schingga penerapannya di lapangan sering menimbulkan
permasalahan. Undang-undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-
undang Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan sosial Lanjut
Usia, sehingga perlu diundangkan undang-undang lainnya yang dapat
mengatasi masalah Lanjut Usia secara spesifik.
2. Keterbatasan prasarana Prasarana
Pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat masyarakat,
pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II, sering
menimbulkan masalah bagi para Lanjut Usia. Demikian pula, lembaga
sosial masyarakat dan ortganisasi sosial dan kemsyarakatan lainnya yang
minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan
para Lanjut Usia tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga
persoalanya menjadi berat pada saat pelayanan.
3. Keterbatasan sumberdaya manusia terbatas kuantitas dan kualitas tenaga
yang dapat memberikan pelayanan serta perawatan kepada Lanjut Usia
secara berkelanjutan dan keterlambatan keterlambatan dalam mengetahui
tanda-tanda dini adanya suatu permasalahan hukum dan etika yang sedang
terjadi. Dengan demikian, upaya mengatasinya secara benar oleh tenaga
yang berkompeten sering dilakukan terlambat dan permasalahan sudah
berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari berbagai disiplin ilmu, antara
lain :
a. Tenaga ahli gerontologi
b. Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatri, psikogeriatri, neurogeriatri,
dokter spesialis dan dokter umum, fisioterapis, terapis wicara, perawat
perawatan.
c. Tebaga sosisal : sosiolog, petuga syang mengorganisasi kegiatan,
petugas sosial masyarakat, konselor.
d. Ahli hukum: sarjana hokum kemakmuran dalam gerontologi,
pengacara meningkat, jaksa penunutut umum, hakim kekayaan.
e. Ahli psikologi : psikologi pemikiran dalam gerontologi, konselor.
4. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga
Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993), berbagai isu hokum dan etika
yang sering terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah :
a. Pelecehan dan ditentarkan (penyalahgunaan dan pengabaian)
b. Tindak kejahatan (kejahatan)
c. Pelayanan perlindungan
d. Persetujuan tertulis
e. Kualitas kehidupan dan isu etika (kualitas hidup dan isu-isu etika
terkait).
a. Pelecehan dan ditentarkan (penyalahgunaan dan pengabaian)
Pelecehan dan ditelantarkan merupakan keadaan atau tindakan yang
menempatkan seseorang dalam situasi kacau, baik mencakup status
kesehatan, pelayanan kesehatan, hak memutuskan, kepemilikan maupun
pendapatannya. Pelaku dapat dari pasangan hidup, anak lelaki atau
perempuan bila pasangan hidupnya telah meninggal dunia atau orang lain.
Pelecehan atau ditelantarkan dapat berlangsung lama ata8u dapat terjadi
reaksi akut, bila suasana sudah tidak tertanggungkan lagi.
Penyebab pelecehan menurut International Institute on Agening (INIA,
United Ntions-Malta, 1996) adalah:
1) Beban orang yang merawat lanjut usia tersebut sudah terlalu berat.
2) Lanjut Usia yang diasingkan oleh keluarganya.
3) Penyalahgunaan narkoba, alkohol dan zat adiktif lainnya.
4) Faktor lainnya yang terdapat di keluarga seperti :
a) Perlakuan salah terhadap Lanjut Usia.
b) Ketidaksiapan dari orang yang akan merawat Lanjut Usia.
c) Konflik lama di antara Lanjut Usia dengan keluarganya.
d) Perilaku psikopat dari Lanjut Usia dan keluarganya.
e) Tidak adannya dukungan masyarakat.
f) Keluarga hubungan kehilangan pekerjaan/pemutusan.
g) Adanya riwayat kekerasan dalam keluarga.

Gejala yanag terlihat pada pandangan atau ditelantarkan antara lain :


1) Gejala fisik berupa memar, patah tulang yang tidak jelas penyebabnya,
higiena jelek, malnutrisi dan adanya bukti melakukan pengobatan yang
tidak benar.
2) Kelainan berupa rasa ketakutan yang berlebihan menjadi penurut atau
tergantung, menyalahkan diri sendiri, menolak bila disentuh orang
yang melecehkan, tanda-tanda bahwa miliknya akan diambil orang lain
dan adanya kekurangan biaya transportasi, biaya berobat atau biaya
memperbaiki rumahnya.

Jenis pembatasan dan ditelantarkan adalah :


1) Pelecehan fisik atau menelantarkan fisik.
2) Pelecehan psikis atau melalui tutur kata.
3) Pelanggaran hak.
4) Pengusiran.
5) Pelecehan di bidang materi atau keuangan.
6) Pelecehan seksual.

Upaya pencegahan terhadap terjadinya kelantaran (pengabaian pasif) dan


keterlantaran aktif (pengabaian aktif) pada usia lanjut dapat dekelompokan
sebagai berikut :

1) Terhadap keterlantaran pasif atau tak disegaja:


2) memperoleh orang yang berbeda untuk melakukan tindakan hukum atau
melakukan transaksi keuangan.
3) Mengusahakan bantuan hukum dari seorang pengacara. Terhadap
keterlantaran aktif atau tindak tindak lanjut:
4) Mengusahakan agar Lanjut Usia tidak terisolir.
5) Anggota keluarga tetap dekat dan memperhatikan Lanjut Usia selalu
mendapatkan informasi baik tentang keadaan fisi, emosi, maupiun
keadaan keuangan Lanjut Usia tersebut.
6) Orang yang merawat menyadari keterbatasannya tidak ragu-ragu
mencari pertolongan atau melimpahkan tanggungan kepada jawaabnya
fasilitas yang lebih mampu, manakala mereka tidak mampu lagi
merawatnya.
7) Masyarakat mengemban sistem pengamatan terhadap tindak lanjut
kepada Lanjut Usia (neighbourhood watch). Pelaksanaan program
pelatihan tentang perawatan Usia jompo di rumah, pengenalan tanda-
tanda Lanjut, Pemberian bantuan kepada Usia, cara melakukan
intervensi dan melakukan rujuakn kepada fasilitas yang lebih mampu.

Tindak intervensi bila telah terjadi tindak tindak lanjut terhadap Lanjut Usia
adalah sebagai berikut :
1) Memberikan dukungan kepada korbannya.
2) Lanjut usia di rumah dan panti Tresna Wredha berhak menolak
tindakan intervensi tertentu.
3) Melatih keluarga untuk melaksanakan tindakan pelayanan tertentu.
4) Memberikan pertolongan dan pengobatan kepada orang yang
melecehakan Lanjut Usia tersebut.
5) Mengajukan Lanjutan hukum kepada orang yagn melecehakan Usia
tersebut[ CITATION Has19 \l 1033 ].
c. Tindak kejahatan (kejahatan)
Lanjut usia pada umumnya lebih takut terhadap kejahatan bila dibandingkan
dengan ketakutan terhadap penyalit dan pendapatan yang berkurang. Kerugian
yang diderita oleh mereka tidak melebihi penderitaan yang dialami oleh kaum
muda. Hanya akibat yang ditimbulkan pada Lanjut Usia lebih parah, berupa rasa
ketakutan, kesepian, merasa tidak berdaya dan tidak berdaya.
Faktor yang mempengaruhi tindak kejahatan berupa faktor fisik, keuangan dan
lingkungan di sckitar Lanjut Usia tersebut.
Jenis tindak kejahatan adalah:
1) Pendongan.
2) Pencurian dan perampokan.
3) Penipuan dalam pengobatan penyakit.
4) Penipuan oleh orang tak dapat dipercaya, pemborong, sales, dll.
d. Pelayanan perlindungan (protective services)
Pelayanan perlindungan adalah pelayanan yang diberikan kepada para Lanjut Usia
yang tidak melindungi dirinya terhadap kerugian yang terjadi akibat mereka tidak
dapat merawat diri mereka sendiri atau dalam melakukan kiegiatan sehari-hari.
Jenis pelayanan yang diberikan dapat berupa pelayanan medik, sosial atau hukum.
1) Pelayanan medik:
a) Pelayanan gawat darurat.
b) Pelayanan perorangan.
c) Pelayanan berupadukungan guna meningkatkan ADL (aktivitas kehidupan
sehari-hari).
2) Pelayanan Sosial:
a) Dukungan sosial.
b) Bantuan perumahan.
c) Bantuan keuangan/sembako.
3) Pelayanan hukum:
a) Bantuan pengacara.
b) Penunjukan (konservatori).
c) Perlindungan (perwalian informal).
e. Perlindungan hukum
Perlindungan hokum uang dapat diberikan kepada Lanjut Usia dapat berupa:
1) Bantuan pengacara (surat kuasa).
Usia Lanjut harus cukup kompeten untuk mengambil inisitif dalam
menyerahkan urusannya kepada orang lain.
2) Sewa bersama.
Joint tenancy merupakan suatu produk hokum yang memungkinkan Lanjut
usia atau seorang pengacara untuk mengurus urusan seorang Lanjut Usia.
3) Kepercayaan Intervivos.
Pada keadaan ini seorang lanjut usia menunjuk orang lain sebagai pewaris.
4) Konservatori.
Perorangan atau sebuah badan yang ditunjuk oleh pengadilan untuk
melindungi milik seorang lanjut usia yang dianggap ta sanggup atau tidak,
pada umumnya bila usia tersebut berusia lebih dari 75 tahun.
Pemohonan suatu Conservatorship biasanya diajukan oleh keluarga atau
instansi. Dengan adanya Conservatorship ini, seorang lanjut usia tak lagi
dapat bersuara dan megurus keuangannya serta menentukan tempat tinggalnya
atau mengambil keputusan penting lainnya.
5) Perwalian tidak resmi
Pengaturan jenis ini berdasakan suatu hokum, akan tetapi meruakan suatu
kesepakatan kesepakatan bahwa bagi lanjut usia tersebut adalah tetangganya,
panti atau perusahaan[ CITATION Has19 \l 1033 ].
f. Persetujuan tertulis (Informed consent).
Persetujuan tertulis merupakan persetujuan yang diberikan sebelum prosedur atau
pengobatan diberikan kepada seorang lanjut usia atau penghuni panti. Syarat yang
diperlukan bila seorang lanjut usia memberikan persetujuan ia masih kompeten dan
telah mendapatkan infomasi tentang manfaat dan risiko dari suatu prosedur atau
pengobatan tertentu yang diberikan kepadanya. Bila seoang lanjut usia
inkompeten, persetujuan diberikan oleh pelindung atau seorang walui. [ CITATION
Has19 \l 1033 ].
g. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethics issue).
Berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yang mempengaruhi
kualitas kehidupan usia awal adalah:
1) Kemajuan ilmu kedoktean di bidang diagnostik seperti CT-scan dan katerisasi
jantung, MRI, dsb.
2) Kemajuan dibidang pengobatan seperti transplatasi organ, raidasi.
3) Bertambahnya risiko pengobatan.
4) Biaya pengobatan yang meningkat.
5) Manfaat pengobatan yang masih diragukan.
6) Database yang diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Isu etika muncul bila suatu hal terjadi antara pendapat ilmiah atau ilmu kedokteran
dengan pandangan atau perikemanusiaan, misalnya :
1) Untuk memulai atau melanjutkan pengobatan terhadap lanjut usia yang sakit
berat.
2) Mempertahankan atau melepaskan infus atau tube feeding.
3) Melakukan tindakan yang biayanya mahal.
4) Eutanasia.

Isu euthanasia isu yang hangat dipertentangan di luar negeri, tetapi belum
merupakan hal yang penting di Indonesia, mengingat hal ini bertentangan denagn
hokum dan undang-undang serta kode etik kedokteran di Indonesia. Di luar negeri
keputusan yang diambil berupa :
1) Keinginan lanjut usia dan keluarganya.
2) Derajat penderitaan dan derajat gangguan kognitif lanjut usia tersebut,
Prognosa penyakit yang diderita.
3) Kualitas kehidupan dari lanjut usia
4) Perawatan yang sedang diberikan.

Jenis euthanasia yang diberikan adalah euthanasia aktif (orang-orang yang


diharapkan mengakhiri hidupnya) dan euthanasia pasif (orang lain atau petugas
kesehatan menolak pertolongan pertolongan dari penderita terminal).

3.10 Asuhan keperawatan DM dan Tiroid


3.10.1 Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Diabetes Mellitus
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah(hiperglikemia) akibat kerusakan pada
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (smelzel dan Bare,2015). Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit atau gangguan metabolik dengan
karakteristik hipeglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi urin, kerja
insulin, atau kedua – duanya (ADA,2017).
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas
tidak cukup dalam memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak efisien
menggunakan insulin itu sendiri. Insulin adalah hormon yang mengatur kadar
gula darah.
Hiperglikemia atau kenaikan kadar gula darah, adalah efek yang tidak terkontrol
dari diabetes dan dalam waktu panjang dapat terjadi kerusakan yang serius pada
beberapa sistem tubuh, khususnya pada pembuluh darah jantung (penyakit
jantung koroner), mata (dapat terjadi kebutaan), ginjal (dapat terjadi gagal
ginjal) (WHO, 2011)
Diabetes Mellitus (kencing manis) adalah suatu penyakit dengan peningkatan
glukosa darah diatas normal. Dimana kadar diatur tingkatannya oleh hormon
insulin yang diproduksi oleh pancreas.
c. Etiologi
Menurut Smeltzer 2015 Diabetes Melitus dapat diklasifikasikan kedalam 2
kategori klinis yaitu:
a. Diabetes Melitus tergantung insulin (DM TIPE 1)
1) Genetik
Umunya penderita diabetes tidak mewarisi diabetes type 1 namun
mewarisi sebuah predisposisis atau sebuah kecendurungan genetik
kearah terjadinya diabetes type 1. Kecendurungan genetik ini
ditentukan pada individu yang memiliki type antigen HLA (Human
Leucocyte Antigen) tertentu. HLA ialah kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen tranplantasi & proses imunnya.
(Smeltzer 2015 dan bare,2015).
2) Imunologi
Pada diabetes type 1 terdapat fakta adanya sebuah respon autoimum.
Ini adalah respon abdomal dimana antibodi terarah pada jaringan
normal tubuh secara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggapnya sebagai jaringan asing. (Smeltzer 2015 dan bare,2015)
3) Lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan destruksi selbeta. (Smeltzer 2015 dan bare,2015)
b. Diabetes melitus tidak tergantung insulin (DM TIPE II)
Menurut Smeltzel 2015 Mekanisme yang tepat yang menyebabkan
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih
belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses
terjadinya resistensi insulin. Faktor-faktor resiko :
1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
2) Obesitas
3) Riwayat keluarga(Wulandari, Nora 2016).
d. Manifestasi klinis
Menurut PERKENI (2015) , penyakit diabetes melitus ini pada awalnya
seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari penderita. Tanda awal yang
dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau kencing manis yaitu
dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana peningkatan
kadar gula dalam darah mencapai nilai 160-180 mg/dL dan air seni (urine)
penderita kencing manis yang mengandung gula (glucose),sehingga urine
sering dilebung atau dikerubuti semut.
Menurut PERKENI gejala dan tanda tanda DM dapat digolongkan menjadi 2
yaitu:
a. Gejala akut penyakit DM
Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap, bahkan mungkin tidak
menunjukan gejala apapun sampai saat tertentu. Pemulaan gejala yang
ditunjukan meliputi:
1) Lapar yang berlebihan atau makan banyak(poliphagi)
Pada diabetes,karena insulin bermasalah pemaasukan gula kedalam
sel sel tubuh kurang sehingga energi yang dibentuk pun kurang itun
sebabnya orang menjadi lemas. Oleh karena itu, tubuh berusaha
meningkatkan asupan makanan dengan menimbulkan rasa lapar
sehingga timbulah perasaan selalu ingin makan.
2) Sering merasa haus(polidipsi)
Dengan banyaknya urin keluar, tubuh akan kekurangan air atau
dehidrasi.untu mengatasi hal tersebut timbulah rasa haus sehingga
orang ingin selalu minum dan ingin minum manis, minuman manis
akan sangat merugikan karena membuat kadar gula semakin tinggi.
3) Jumlah urin yang dikeluarkan banyak(poliuri)
Jika kadar gula melebihi nilai normal , maka gula darah akan keluar
bersama urin,untu menjaga agar urin yang keluar, yang mengandung
gula,tak terlalu pekat, tubuh akan menarik air sebanyak mungkin ke
dalam urin sehingga volume urin yang keluar banyak dan kencing
pun sering.Jika tidak diobati maka akan timbul gejala banyak minum,
banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang atau berat badan turun
dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah
dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual (PERKENI, 2015)
b. Gejala kronik penyakit DM
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM (PERKENI, 2015)
adalah:
1) Kesemutan
2) Kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum
3) Rasa tebal dikulit
4) Kram
5) Mudah mengantuk
6) Mata kabur
7) Biasanya sering ganti kaca mata
8) Gatal disekitar kemaluan terutama pada wanita
9) Gigi mudah goyah dan mudah lepas
10) Kemampuan seksual menurun
11) Dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin
dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.

e. Patofisiologi
Menurut Smeltzer:
a. Diabetes tipe I
Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan
insulin karena sel sel beta prankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun.Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak
terukur oleh hati. Disamping glukosa yang berasal dari makanan tidak
dapat disimpan dihati meskipun tetap berada dalam darah menimbulkan
hiperglikemia prospandial.jika kosentrasi glukosa daram darah cukup
tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali glukosa yang tersaring
keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urine(glikosuria).
Ketika glukosa yang berlebihan dieksresikan kedalam urine,ekresi ini
akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan
ini dinamakan diuresis ostomik,sebagai akibat dari kehilangan cairan
berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dal
berkemih(poliurea),dan rasa haus (polidipsi). (Smeltzer 2015 dan
Bare,2015).
Difisiensi insulin juga akan menganggu metabilisme protein dalam lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunan simpanan kalori.
Gejala lainya kelelahan dan kelemahan . dalam keadaan normal insulin
mengendalikan glikogenolisis(pemecahan glikosa yang tersimpan) dan
glukoneogenesis(pembentukan glukosa baru dari asam asam amino dan
subtansi lain). Namun pada penderita difisiensi insulin,proses ini akan
terjadi tampa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan
hipergikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang
mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan
produk smping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
menganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebih.
Ketoasidosis yang disebabkan dapat menyebabkan tanda tanda gejala
seperti nyeri abdomen mual, muntah, hiperventilasi, mafas berbaun
aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan penurunan
kesadaran,koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan
elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan
metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis.
Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering
merupakan komponen terapi yang penting. (Smeltzer 2015 dan
Bare,2015).
b. DM tipe II
Diabetes tipe II merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik
utama adalah terjadinya hiperglikemia kronik. Meskipun pula
pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan
yang sangat penting dalam munculnya DM tipe II. Faktor genetik ini
akan berinterksi dengan faktor faktor lingkungan seperti gaya hidup,
obesitas,rendah aktivitas fisik,diet, dan tingginya kadar asam lemak
bebas(Smeltzer 2015 dan Bare,2015).
Mekanisme terjadinya DM tipe II umunya disebabkan karena resistensi
insulin dan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terkait dengan
reseptor khusus pada permukaan sel.sebagai akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut,terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin DM tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intra sel. Dengan demikian insulin menjadi
tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa
dalam darah,harus terjadi peningkatan jumlah insulin yang disekresikan.
(Smeltzer 2015 dan Bare,2015).
Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat
sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan
pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika
sel sel B tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan insulin,
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadinya DM tipe II. Meskipun
terjadi gangguan sekresi insulin yang berupakan ciri khas DM tipe II,
namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk
mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya, karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe
II, meskipun demikian, DM tipe II yang tidak terkontrol akan
menimbulkan masalah akut lainya seperti sindrom Hiperglikemik
Hiporosmolar Non-Ketotik(HHNK). (Smeltzer 2015 dan Bare,2015)
Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat(selama bertahun
tahun) dan progesif, maka DM tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi.
Jika gejalannya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan,
seperti: kelelahan, iritabilitas, poliuria,polidipsia, luka pada kulit yang
lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar
glukosanya sangat tinggi.). (Smeltzer 2015 dan Bare,2015).
WOC

f. Pemeriksaan Diagnostic

Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :


a. Pemeriksaan gula darah

No Pemeriksaan Normal
1. Gula darah sewaktu >200 mg/dl
2. Gula darah puasa >140 mg/dl
3. Gula darah 2 jam setelah makan >200 mg/dl

b. Pemeriksaan fungsi tiroid


peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah
dan kebutuhan akan insulin.
c. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui
perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ),
dan merah bata ( ++++ ).
d. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang
sesuai dengan jenis kuman.
g. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Keperawatan Menurut PERKENI 2015 komponen
dalam penatalaksan DM yaitu:
1) Diet
Syarat diet hendaknya dapat:
a) Memperbaiki kesehatan umum penderita
b) Mengarahkan pada berat badan normal
c) Menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati diabetic
d) Memberikan modifikasi diit sesuai dengan keadaan penderita

Prinsip diet DM,adalah:


a) Jumlah sesuai kebutuhan
b) Jadwal diet ketat
c) Jenis: boleh dimakan/ tidak
Dalam melaksanakan diet diabetes sehari hari hendaknya diikuti
pedoman 3 J yaitu:
a) Jumlah kalori yang diberikan harus habis,jangan dikurangi atau
ditambah
b) Jadwal diet harus sesuai dengan intervalnya
c) Jenis makanan yang manis harus dihindari.

Penentuan jumlah kalori diet DM harus disesuaikan oleh status gizi


penderita,penetuan gizi dilaksankan dengan menghitung percentage of
relative body weight( BPR=berat badan normal) dengan rumus:
BPR= BB(kg) X 100% TB(cm) -100
Keterangan :
a) Kurus (underweight) :BPR110%
b) Normal (ideal) :BPR 90% -110%
c) Gemuk (overweight) :BPR >110%
d) Obesitas apabila :BPR> 120%
1. Obesitas ringan :BPR 120% -130%
2. Obesitas sedang :BPR 130% - 140%
3. Obesitas berat :BPR 140 – 200%
4. Morbid :BPR > 200%
2) Olahraga
Beberapa kegunaan olahraga teratur setiap hari bagi penderita DM
adalah:
a. Meningkatkan kepekaan insulin, apabila dikerjakan setiap 11/2
jam sesudah makan, berarti pula mengurangi insulin resisten
pada penderita dengan kegemukan atau menambah jumlah
reseptor insulin dan meningkatkan sensivitas insulin dengan
reseptornya.
b. Mencegah kegemukan bila ditambah olahraga pagi dan sore
c. Memperbaiki aliran perifer dan menanbah suplai oksigen
d. Meningkatkan kadar kolestrol – high density lipoprotein
e. Kadar glukosa otot dan hati menjadi berkurang, maka olahraga
akan dirangsang pembentukan glikogen baru
f. Menurunkan kolesterol(total) dan trigliserida dalam darah karena
pembakaran asam lemak menjadi lebih baik
3) Edukasi/penyuluhan
Harus rajin mencari banyak informasi mengenai diabetes dan
pencegahannya. Misalnya mendengarkan pesan dokter, bertanya pada
dokter, mencari artikel mengenai diabetes.
4) Pemberian obat-obatan
Pemberian obat obatan dilakukan apabila pengcegahan dengan cara
(edukasi,pengaturan makan,aktivitas fisik) belum berhasil, bearti
harus diberikan obat obatan.
5) Pemantauan gula darah
Pemantauan gula darah harus dilakukan secara rutin ,bertujuan untuk
mengevaluasi pemberian obat pada diabetes. Jika dengan melakukan
lima pilar diatas mencapai target,tidak akan terjadi komplikasi.
6) Melakukan perawatan luka
a) Pengertian
Melakukan tindakan perawatan menganti balutan, membersihkan
luka pada luka kotor
b) Tujuan
(1) Mencegah infeksi
(2) Membantu penyembuhan luka
c) Peralatan
(1) Bak Instrumen yang berisi
i. Pinset Anatomis
ii. Pinset Chirurgis
iii. Gunting Debridemand
iv. Kasa Steril
v. Kom: 3 buah
(2) Peralatan lain terdiri dari:
(a) Sarung tangan
(b) Gunting Plester
(c) Plester atau perekat
(d) Alkohol 70%/ wash bensin
(e) Desinfektant o NaCl 0,9%
(f) Bengkok: 2 buah,1 buah berisi larutan desinfektan
(g) Verband
(h) Obat luka sesuai kebutuhan
d) Prosedur Pelaksanaan
(1) Tahap pra interaksi
(a) Melakukan Verifikasi program terapi
(b) Mencuci tangan
(c) Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar
(2) Tahap orientasi
(a) Memberikan salam dan menyapa nama pasien
(b) Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada
keluarga/klien
(c) Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan.
(3) Tahap kerja
(a) Menjaga Privacy
(b) Mengatur posisi pasien sehingga luka dapat terlihat jelas
(c) Membuka peralatan
(d) Memakai sarung tangan
(e) Membasahi plaster dengan alkohol/wash bensin dan buka
dengan menggunakan pinset
(f) Membuka balutan lapis terluar
(g) Membersihkan sekitar luka dan bekas plester
(h) Membuka balutan lapis dalam
(i) Menekan tepi luka (sepanjang luka) untuk mengeluarkan
pus
(j) Melakukan debridement
(k) Membersihkan luka dengan menggunakan cairan NaCl
(l) Melakukan kompres desinfektant dan tutup dengan kassa
(m)
(n) Memasang plester atau verband
(o) Merapikan pasien
(4) Tahap Terminasi
(a) Melakukan evaluasi tindakan yang dilakukan
(b) Berpamitan dengan klien
(c) Membereskan alat-alat
(d) Mencuci tangan
(e) Mencatat kegiatan dalam lembar/ catatan keperawatan
(f) Melakukan observasi tingkat kesadaran dan tanda tanda
vital
(g) Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai
terjadi hiperhidrasi
(h) Mengelola pemberian obat sesuai program
(4) Penatalaksanaan Medis
1. Terapi dengan Insulin
Terapi farmakologi untuk pasien diabetes melitus geriatri tidak
berbeda dengan pasien dewasa sesuai dengan algoritma, dimulai dari
monoterapi untuk terapi kombinasi yang digunakan dalam
mempertahankan kontrol glikemik. Apabila terapi kombinasi oral
gagal dalam mengontrol glikemik maka pengobatan diganti menjadi
insulin setiap harinya. Meskipun aturan pengobatan insulin pada
pasien lanjut usia tidak berbeda dengan pasien dewasa, prevalensi
lebih tinggi dari faktor-faktor yang meningkatkan risiko hipoglikemia
yang dapat menjadi masalah bagi penderita diabetes pasien lanjut
usia. Alat yang digunakan untuk menentukan dosis insulin yang tepat
yaitu dengan menggunakan jarum suntik insulin premixed atau
predrawn yang dapat digunakan dalam terapi insulin. 16 Lama kerja
insulin beragam antar individu sehingga diperlukan penyesuaian dosis
pada tiap pasien. Oleh karena itu, jenis insulin dan frekuensi
penyuntikannya ditentukan secara individual. Umumnya pasien
diabetes melitus memerlukan insulin kerja sedang pada awalnya,
kemudian ditambahkan insulin kerja singkat untuk mengatasi
hiperglikemia setelah makan. Namun, karena tidak mudah bagi pasien
untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia campuran tetap dari
kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja sedang ,Idealnya
insulin digunakan sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi
insulin diberikan sekali untuk kebutuhan basal dan tiga kali dengan
insulin prandial untuk kebutuhan setelah makan. Namun demikian,
terapi insulin yang diberikan dapat divariasikan sesuai dengan
kenyamanan penderita selama terapi insulin mendekati kebutuhan
fisiologis.
2. Obat Antidiabetik Oral
a. Sulfonilurea
Pada pasien lanjut usia lebih dianjurkan menggunakan OAD
generasi kedua yaitu glipizid dan gliburid sebab resorbsi lebih
cepat, karena adanya non ionic-binding dengan albumin sehingga
resiko interaksi obat berkurang demikian juga resiko hiponatremi
dan hipoglikemia lebih rendah. Dosis dimulai dengan dosis
rendah. Glipizid lebih dianjurkan karena metabolitnya tidak aktif
sedangkan 18 metabolit gliburid bersifat aktif.Glipizide dan
gliklazid memiliki sistem kerja metabolit yang lebih pendek atau
metabolit tidak aktif yang lebih sesuai digunakan pada pasien
diabetes geriatri. Generasi terbaru sulfoniluera ini selain
merangsang pelepasan insulin dari fungsi sel beta pankreas juga
memiliki tambahan efek ekstrapankreatik.
b. Golongan Biguanid Metformi
Pada pasien lanjut usia tidak menyebabkan hipoglekimia jika
digunakan tanpa obat lain, namun harus digunakan secara hati-
hati pada pasien lanjut usia karena dapat menyebabkan anorexia
dan kehilangan berat badan. Pasien lanjut usia harus
memeriksakan kreatinin terlebih dahulu. Serum kretinin yang
rendah disebakan karena massa otot yang rendah pada orangtua.
c. Penghambat Alfa Glukosidase/Acarbose
Obat ini merupakan obat oral yang menghambat alfaglukosidase,
suatu enzim pada lapisan sel usus, yang mempengaruhi digesti
sukrosa dan karbohidrat kompleks. Sehingga mengurangi absorb
karbohidrat dan menghasilkan penurunan peningkatan glukosa
postprandial.Walaupun kurang efektif dibandingkan golongan
obat yang lain, obat tersebut dapat dipertimbangkan pada pasien
lanjut usia yang mengalami diabetes 19 ringan. Efek samping
gastrointestinal dapat membatasi terapi tetapi juga bermanfaat
bagi mereka yang menderita sembelit. Fungsi hati akan terganggu
pada dosis tinggi, tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah klinis.
d. Thiazolidinediones
Thiazolidinediones memiliki tingkat kepekaan insulin yang baik
dan dapat meningkatkan efek insulin dengan mengaktifkan PPAR
alpha reseptor. Rosiglitazone telah terbukti aman dan efektif
untuk pasien lanjut usia dan tidak menyebabkan hipoglekimia.
Namun, harus dihindari pada pasien dengan gagal jantung.
Thiazolidinediones adalah obat yang relatif.
7. Komplikasi
Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada penderita DM tipe II akan
menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe II terbagi menjadi
dua berdasarkan lama terjadinya yaitu komplikasi akut dan komplikasi
kronik (Smeltzel dan Bare, 2015; PERKENI , 2015)
a. Komplikasi Akut
1) Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD merupakan komplikasi akut DM yang di tandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl),
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+)
kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/Ml) dan terjadi
peningkatan anion gap (PERKENI,2015).
2) Hipoglikemi
Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah
hingga mencapai <60 mg/dL. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala
adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala
neuroglikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma)
(PERKENI, 2015).
3) Hiperosmolar Non Ketonik (HNK)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600- 1200 mg/dl), tanpa tanda dan gejala asidosis,osmolaritas plasma
sangat meningkat (330-380 mOs/ml),plasma keton (+/-), anion gap
normal atau sedikit meningkat (PERKENI, 2015).
b. Komplikasi Kronis (Menahun)
Menurut Smeltzer 2015,kategori umum komplikasi jangka panjang terdiri
dari:
1) Makroangiopati: pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi,
pembuluh darah otak.
2) Mikroangiopati: pembuluh darah kapiler retina mata (retinopati
diabetik) dan Pembuluh darah kapiler ginjal (nefropati diabetik).
3) Neuropatid : suatu kondisi yang mempengaruhi sistem saraf, di mana
serat-serat saraf menjadi rusak sebagai akibat dari cedera atau
penyakit
4) Komplikasi dengan mekanisme gabungan: rentan infeksi, contohnya
tuberkolusis paru, infeksi saluran kemih,infeksi kulit dan infeksi kaki.
dan disfungsi ereksi.
5) Ulkus
a) Konsep Penyakit Ulkus Diabetikum
Pada Diabetes Mellitus Tipe 2
(1) Pengertian
Ulkus diabetikum merupakan kerusakan yang terjadi sebagian
(Partial Thickness) atau keseluruhan (Full Thickness) pada
daerah kulit yang meluas ke jaringan bawah kulit, tendon, otot,
tulang atau persendian yang terjadi pada seseorang yang
menderita penyakit Diabetes Melitus (DM), kondisi ini timbul
akibat dari peningkatan kadar gula darah yang tinggi. Apabila
ulkus kaki berlangsung lama, tidak dilakukan penatalaksanaan
dan tidak sembuh, luka akan menjadi terinfeksi. Ulkus kaki,
infeksi, neuroarthropati dan penyakit arteri perifer merupakan
penyebab terjadinya gangren dan amputasi ekstremitas pada
bagian bawah.
(2) Penyebab ulkus diabetikum
Penyebab dari ulkus kaki diabetik ada beberapa komponen
yaitu meliputi neuropati sensori perifer, trauma, deformitas,
iskemia, pembentukan kalus, infeksi dan edema. faktor
penyebab terjadinya ulkus diabetikum terdiri dari 2 faktor
yaitu faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yaitu
genetik metabolik, angiopati diabetik, neuopati diabetik
sedangkan faktor eksogen yaitu trauma, infeksi, dan obat.

(3) Klasifikasi ulkus diabetikum


Klasifikasi ulkus diabetik adalah sebagai berikut:
(a) Derajat 0 : Tidak ada lesi yang terbuka, luka masih dalam
keadaan utuh dengan adanya kemungkinan disertai
kelainan bentuk kaki seperti “claw, callus”.
(b) Derajat I : Ulkus superfisial yang terbatas pada kulit.
(c) Derajat II : Ulkus dalam yang menembus tendon dan
tulang.
(d) Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa adanya
osteomielitis.
(e) Derajat IV : Gangren yang terdapat pada jari kaki atau
bagian distal kaki dengan atau tanpa adanya selulitis.
(f) Derajat V : Gangren yang terjadi pada seluruh kaki atau
sebagian pada tungkai
(4) Konsep Perfusi Perifer Tidak Efektif Pada Ulkus Diabetikum
(DM 2)
(a) Pengertian perfusi perifer tidak efektif
Perfusi perifer tidak efektif merupakan penurunan
sirkulasi darah pada level yang dapat mengganggu
metabolisme tubuh (SDKI, 2016).
Sedangkan menurut (Nurarif & Kusuma, 2015) perfusi
perifer tidak efektif merupakan Penurunan darah ke
perifer yang dapat mengganggu kesehatan.
(b) Proses terjadinya perfusi perifer tidak efektif pada ulkus
diabetikum (DM2)
Proses masalah kaki pada penderita diabetes mellitus
terjadi diawali dengan adanya hiperglikemi yang dapat
menyebabkan terjadinya kelainan neuropati dan kelainan
pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati
sensorik maupun motoric dan autonom menyebabkan
berbagai perubahaan pada otot dan 12 kulit yang
selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan
ditribusi tekanan pada telapak kaki dan kemudian akan
mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan
terhadap infeksi mengakibatkan infeksi mudah merebak
menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang
kurang akan lebih lanjut menambah rumitnya
pengelolaan kaki diabetes Ulkus diabetikum terdiri dari
adanya kavitas sentral dan biasanya lebih besar
disbanding pintu masuknya, dikelilingi oleh kalus keras
dan tebal. Awalnya pembentukan ulkus berhubungan
dengan adanya hiperglikemia yang memberikan dampak
terhadap saraf perifer, keratin, kolagen dan suplai
vaskuler. Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk
keratin yang keras pada daerah kaki yang mengalami
beban terbesar. Neuropati sensoris perifer dapat
menyebabkan terjadinya trauma berulang yang
mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan area kalus.
selanjutnya dapat menyebabkan terbentuknya kavitas
yang membesar dan akhirnya ruptur yang melus sampai
ke permukaan kulit dan menimbulkan terjadinya ulkus.
Adanya iskemia dan penyembuha luka abnormal
menghalangi resolusi. Mikroorganisme yang masuk
mengadakan kolonisasi didaerah ini. Drainase yang
inadekuat menimbulkan close space infection. Akhirnya
sebagai konsekuensi system imun yang abnormal,
bakteri sulit dibersihkan, dan infeksi menyebar ke
jaringan sekitarnya (Wijaya, Andra Saferi dan Mariza
Putri, 2013).
Pasien diabetik sering kali mengalami gangguan pada
sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini adalah yang
berhubungan dengan Pheripheral Vascular Disease
(PAD) yang merupakan factor perkembangan ulserasi
kaki sampai 50% kasus. Kondisi ini umumnya
mempengaruhi arteri peroneal pada otot betis dan arteri
tibialis. Disfungsi sel endotelial dan abnormalitas sel
otot polos berkembang pada pembuluh arteri sebagai
konsekuensi status hiperglikemia yang peristen.
Perkembangan selanjutnya mengakibatkan penurunan
kemampuan vasodilator endothelium yang menyebabkan
vasokontriksi pembuluh arteri. Lebih jauh 14
hiperglikemia pada diabetes dihubungkan dengan
peningkatkan thromboxane A2, suatu vasokontriktor dan
agonisagregasi platelet, yang memicu peningkatan
hiperkoagulasi plasma. Selain itu juga terjadi penurunan
fungsi matriks ekstraseluler pembuluh darah yang
memicu terjadinya stenosis lumen arteri. Akumulasi
kondisi diatas memicu terjadinya penyakit obstruksi
arteri yang pada akhirnya mengakibatkan iskemia pada
ekstremitas bawah dan meningkatkan Risiko ulserasi
pada DM. Efek sirkulasi inilah yang menyebabkan
kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan neuropati
yang berdampak pada sistem saraf autonom, yang
mengontrol fungsi otot-otot kalus, kelenjar dan organ
visceral.
(5) Manifestasi klinis perfusi perifer tidak efektif pada ulkus
diabetikum (DM 2)
Adapun manifestasi klinis dari perfusi perifer tidak efektif
menurut (SDKI, 2016) :
(a) Pengisian kapiler < 3 detik
(b) Nadi perifer menurun atau tidak teraba
(c) Akral teraba dingin
(d) Warna kulit pucat 16
(e) ABI<0,90
(f) Prastesia
(g) Turgor kulit menurun
(h) Edema
Edema adalah suatu pembengkakan yang terjadi pada
organ tubuh, tempat yang paling sering pada kaki dan
tangan (peripheral edema), abdomen (asites) dan pada
dada (edema pulmonal). Jadi edema merupakan suatu
kondisi dimana terdapat kelebihan cairan di dalam
rongga interstisial akibat adanya penyumbatan saluran
limfe dan kegagalan mekanisme aliran balik vena.
(i) Penyembuhan luka lambat
Gangguan penyembuhan ulkus kaki diabetik terjadi
karena empat faktor yaitu adanya hiperglikemia yang
berlangsung secara terus menerus, lingkungan pro-
inflamasi, penyakit arteri perifir, dan neuropati perifir,
keempat keadaan di atas secara bersam-sama
menyebabkan gangguan fungsi sel imun, respon
inflamasi menjadi tidak efektif, disfungsi sel endotel,
dan gangguan neovaskularisasi.
(j) Nyeri ekstremitas (klaudikasi intermiten)
Nyeri dan kram pada betis yang timbul saat berjalan dan
hilang saat berhenti berjalan, tanpa harus duduk. Gejala
ini muncul jika Ankle-Brachial Index < 0,75.
(6) Penatalaksanaan Ulkus Diabetikum Dengan Perfusi Perifer
Tidak Efektif
Tujuan utama penatalaksanaan ulkus diabetik adalah mencapai
penutupan luka secepatnya. Mengatasi ulkus kaki diabetik dan
menurunkan kejadian berulang dapat menurunkan
kemungkinan amputasi pada ekstremitas bagian bawah pasien
DM (Tarwoto, 2012: 230). Asosiasi penyembuhan luka
mendefinisikan luka kronik adalah luka yang mengalami
kegagalan dalam proses penyembuhan sesuai dengan yang
seharusnya dalam mencapai integritas anatomi dan fungsinya,
terjadi pemanjangan proses inflamasi dan kegagalan dalam
reepitelisasi dan memungkinkan kerusakan lebih jauh dan
infeksi. area penting dalam manajemen ulkus kaki diabetik
meliputi manajemen komorbiditi, evaluasi status vaskuler dan
tindakan yang tepat pengkajian gaya hidup/faktor psikologi,
pengkajian dan 18 evaluasi ulser, manajemen dasar luka dan
menurunkan tekan. Adapun dapat diuraikan sebagai berikut :
(a) Manajemen komorbiditi
Diabetes Mellitus merupakan penyakit multi organ,
semua komorbiditi yang mempengaruhi penyembuhan
luka harus dikaji dan dimanajemen, multidisplin untuk
mencapai tujuan yang optimal pada ulkus kaki diabetik.
Beberapa komorbiditi yang mempengaruhi
penyembuhan luka meliputi hiperglikemia dan penyakit
vaskuler.
(b) Evaluasi status vaskuler
Perfusi arteri memegang peranan penting dalam
penyembuhan luka dan harus dikaji pada pasien dengan
ulkus, selama sirkulasi terganggu luka akan mengalami
kegagalan penyembuhan dan berisiko amputasi.
Adanya insufisiensi vaskuler dapat berupa edema,
karakteristik kulit yang terganggu (tidak ada rambut,
penyakit kuku, penurunan kelembaban), penyembuhan
lambat, ekstremitas dingin, penurunan pulsasi
perifer.Pemeriksaan khusus pada vaskular dapat
mengidentifikasi komponen-komponen dalam sistem
vaskular proses penyakit, proses patologi spesifik,
tingkatan lesi pada pembuluh darah dan sejauh mana
keparahan kerusakan pembuluh darah. Pemeriksaan
diagnostik untuk mengetahui fungsi pembuluh darah
meliputi pemeriksaan non invasif dan invasif.
Pemeriksaan non invasif meliputi tes sederhana
torniquet, plethysmography, ultrasonography atau
imaging duplex, pemeriksaan dopler, analisis tekanan 19
segmental, perhitungan TcPO2 dan magnetic resononce
angiography (MRA) .
(c) Pengkajian gaya hidup/faktor psikososial
Gaya hidup dan faktor psikologi dapat mempengaruhi
penyembuhan luka. Contoh, merokok, alkohol,
penyalahgunaan obat, kebiasaan makan, obesitas,
malnutrisi dan tingkat mobilisasi dan aktivitas. Selain itu
depresi dan penyakit mental juga dapat mempengaruhi
pencapaian tujuan.
(d) Pengkajian dan evaluasi ulkus
Pentingnya evaluasi secara menyeluruh tidak dapat
dikesampingkan. Penemuan hasil pengkajian yang
spesifik akan mempengaruhi secara langsung tindakan
yang akan dilakukan. Evaluasi awal dan deskripsi yang
detail menjadi penekanan meliputi lokasi, ukuran,
kedalaman, bentuk, 44 inflamasi, edema, eksudat
(kualitas dan kuantitas), tindakan terdahulu, durasi,
kalus, maserasi, eritema dan kualitas dasar luka.
(e) Manajemen jaringan/tindakan dasar ulkus.
Tujuan dari debridemen adalah membuang jaringan mati
atau jaringan yang tidak penti. Debridemen jaringan
nekrotik merupakan komponen integral dalam
penatalaksanaan ulkus kronik agar ulkusmencapai
penyembuhan. Proses debridemen dapat dengan cara
pembedahan, enzimatik, autolitik, mekanik, dan
biological (larva). Kelembaban akan mempercepat
proses reepitelisasi pada ulkus. Keseimbangan
kelembaban ulkus meningkatkan proses autolisis dan
granulasi. Untuk itu diperlukan pemilihan balutan yang
menjaga kelembaban luka. Dalam 20 pemilihan jenis
balutan, sangat penting bahwa tidak ada balutan yang
paling tepat terhadap semua kaki diabetik
(f) Penurunan Tekanan/Off-Loading
Menurunkan tekanan pada ulkus kaki diabetic adalah
tindakan yang penting. Off-loading mencegah trauma
lebih lanjut dan membantu meningkatkan
penyembuhan.menyatakan ulkus kaki diabetic
merupakan luka komplek yang dalam
penatalaksanaannya harus sistematik, dan dengan
pendekatan tim interdisiplin. Perawat memiliki
kesempatan signifikan untuk meningkatkan dan
mempetahankan kesehatan kaki, mengidetifikasi
masalah kegawatan yang muncul menasihati pasien
terhadap factor Risiko, dan mendukung praktik
perawatan diri yang tepat.
3.11 Program kesehatan nasional lansia
A. Definisi Program Nasional Kesehatan Lansia
Program kementerian kesehatan di indonesia dalam upaya untuk
meningkatkan status kesehatan para lansia, diantaranya:
1. Peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan para lansia di pelayanan
kesehatan dasar, khususnya puskesmas dan kelompok lansia melalui
konsep puskesmas santun lanjut usia.
2. Peningkatan upa,ya rujukan kesehatan bagi lansia di rumah sakit,
3. Peningkatan penyuluhan dan penyebarluasan informasi kesehatan dan
gizi bagi lansia,
4. Sosialisasi program kesehatan lansia, serta pemberdayaan masyarakat
melalui pengembangan dan pembinaan kelompok usia lanjut/posyandu
lansia di masyarakat[ CITATION Iin19 \l 1033 ].
B. Kebijakan Terkait Lansia
1. Pembinaan lansia di Indonesia
Dilaksanakan berdasarkan Peraturan Undang-Undang RI No. 13 tahun
1998 tentang kesejahteraan lansia yang menyebutkan bahwa pelayanan
kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
serta kemampuan lansia, upaya penyuluhan, penyembuhan, dan
pengembangan lembaga .
2. Kebijakan kementrian kesehatan dalam pembinaan lansia
Kebijakan kementrian kesehatan dalam pembinaan lansia merupakan
bagian dari pembinaan keluarga. Pembinaan kesehatan keluarga
ditujukan kepada upaya menumbuhkan sikap dan perilaku yang akan
menumbuhkan kemampuan keluarga itu sendiri untuk mengatasi
masalah kesehatan dengan dukungan oleh tenaga professional, menuju
terwujudnya keluarga yang sehat. Dasar hukum dan pengembangan
program pembinaan kesehatan usia lanjut yaitu:
a. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, khusus
Bab VII: kesehatan ibu, bayi, anak, remaja, lanjut usia, dan
penyandang cacat, pasal 138:
1) Ayat 1: usaha kesehatan bagi lanjut usia harus ditunjukan untuk
menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial
maupun eonomis sesuai dengan martabat manusia.
2) Ayat 2: pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia
untuk tetap dapat hidup mandiri dan produktif secara sosial dan
ekonomis.
b. Peraturan Presiden RI No. 72 Tahun 2012 tentang sistem kesehatan
nasional.
c. Keputusan menteri kesehatan nomor 374 tahun2012 tentang
berlakunya sistem kesehatan nasional.
d. Keputusan menteri oordinasi kesejahteraan rakyat nomor 05 tahun
1990 tentang pembentukan kelompok kerja tetap kesejahteraan usia
lanjut.
e. Surat keputusan menteri kesehatan nomor 134 tahun1990 tentang
pembentukan tim kerja geriatrik[ CITATION Iin19 \l 1033 ].
C. Kegiatan-Kegiatan dalam Pembinaan Lansia
Pelayanan usia lanjut ini meliputi kegiatan upaya-upaya, antara lain :
1. Upaya promotif
Upaya promotif yaitu menggairahkan semangat hidup bagi usia lanjut
agar mereka tetap dihargai dan tetap berguna baik bagi dirinya sendiri,
keluarga, maupun masyarakat. Upaya promotif dapat benupa
penyuluhan, di mana penyuluhan masyarakat usia lanjut merupakan hal
yang penting srbagai penunjang program pembinaan kesehatan usia
lanjut yang antara lain adalah :
a. Kesehatan dan pemeliharaan kebersihan diri serta deteksi dini
penurunan kondisi kesehatannya, teratur dan berkesinambungan
memeriksakan kondisi kesehatanya kepuskesmas atau instansi
pelayanan kesehatan lainnya.
b. Latihan fisik yang dilakukan secara teratur dan disesuaikan dengan
kemampuan usia lanjut agar tetap merasa sehat dan segar.
c. Diet seimbang atau makanan dengan menu yang mengandung gizi
seimabng.
d. Pembinaan mental dalam meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan
yang Maha Esa.
e. Membina keterampilan agar dapat mengembangkan kegemaran atau
hobinya secara teratur dan sesuai dengan kemampuannya.
f. Meningkatkan kegiatan sosial dimasyarakat atau mengadakan
kelompok sosial.
g. Hidup menghindarkan kebiasaan yang tidak baik, seperti merokok,
alcohol, kopi, kelehan fisik, dan mental.
h. Penanggulangan masalah kesehatannya sendiri secara benar[ CITATION
Iin19 \l 1033 ].
2. Upaya preventif
Upaya preventif yaitu upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya
penyakit maupun komplikasi penyakit yang disebabkan oleh proses ketuaan.
Upaya preventif dapat berupa kegiatan :
a. Pemeriksaan kesehatan secara berkala dan teratur untuk menemukan
secara dini penyakit-penyakit usia lanjut.
b. Kesegaran jasmani yang dilakukan secara teratur dan disesuaikan dengan
kemampuan usia lanjut serta tetap merasa sehat dan bugar.
c. Penyuluhan tentang penggunaan berbagai alat bantu, misalnya kacamata,
alat pendengaran agar usia lanjut tetap dapat memberikan karya dan tetap
merasa berguna.
d. Penyuluhan untuk pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya
kecelakaan pada usia lanjut.
e. Pembinaan mental dalam meningkatkan ketakwaan kepada tuhan yang
Maha Esa[ CITATION Iin19 \l 1033 ].
3. Upaya kuratif
Upaya kuratif yaitu upaya pengobatan pada usia lanjut. Bertambahnya umur
pada lansia akan menyebabkan banyak gangguan fisik maupun psikologis.
Kegiatan dapat brupa pelayanan keschatan dasar dan pelayanan keschatan
spefikikasi melalui sistem rujukan[ CITATION Has19 \l 1033 ].
4. Upaya rehabilitative
Upaya rehabilitative yaitu upaya mengembalikan fungsi organ tubuh yang telah
menurun. Kegiatan dapat berupa memberikan informai, pengetahuan dan
pelayanan tentang penggunaan alat bantu, misalnya alat pendengaran dan lain-
lain agar usia lanjut dapat memberikan karya dan tetap merasa berguna sesuai
kebutuhan dan kemampuan, mengembalikan kepercayaan padda diri sendiri
dan memperkuat mental penderita, pembinaan usia dalam hal pemenuhan
kebutuhan Pribadi dan aktivitas didalam maupun diluar rumah, nasihat cara
hidup yang sesuai degan penyakit yang diderita, serta perawatan
fisioterapi[ CITATION Iin19 \l 1033 ].
5. Upaya penyuluhan keschatan
Upaya penyuluhan keschatan masyarakat yang merupakan bagian integral dari
setiap program kesehtan. Adapu tujuan khusus program penyuluhan kesehatan
masyarakat usia lanjut ditunjukan kepada usia lanjut itu sendiri, kelompok
keluarga yang memiliki usia lanjut, kelompok masyarakat lingkungan usia
lanjut, penyelenggaraan kesehatan, dan lintas sektoral (pemerintah dan swasta).
Sedangkan penyuluhan kesehatan masyarakat pada usia lanjut terdiri dari :
a. Mengembangkan, memproduksi, menyebarluaskan bahan-buhan
penyuluhan kesehatan masyarakat usia lanjut.
b. Meningkatkan sikap, kemampuan dan motivasi petugas.
c. Puskesmas dan rujukan serta masyarakat dibidang keschatan.
d. Masyarakat usia lanjut.
e. Melengkapi puskesmas dan rujukannya dengan sarana dan penyuluhan.
f. Meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk media massa
agar pesan kesehatan masyarakat usia lanjut menjadi again integral.
g. Meningkat penyuluhan kepada masyarakat umum dan kelompok khusus
seperti daerah terpencil, transmigrasi dan lain-lain.
h. Melakukan pengkajian dan pengembangan serta pelaksanaan teknologi
tepat guna dibidang penyebarluasan informasi.
i. Melaksanakan evaluasi secara berkala untuk mengukur dapampak serta
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyuluhan.
j. Menyebarluaskan informasi secara khusus dalam keadaan darurat seperti
wabah, bencana alam, kecelakaan[ CITATION Iin19 \l 1033 ].
Kedua, komponen pengembangan potensi swadaya masyarakat dibidang
kesehatan dengan kegiatan antara lain:
a. Mengembangkan sikap, kemampuan, dan motivasi petugas puskesmas dan
pengurus LKMD dalam mengembangkan potensi swadaya masyarakat
dibidang keschatan.
b. Melaksanakan kemampuan dan motivasi terhadap kelompok masyarakat,
termasuk swata yang melaksanakan pengembangan potensi swadaya
masyarakat di bidang keschatan usia lanjut secara sistematis dan
berkesinambungan
c. Mengembangkan, memproduksi, dan menyebarluaskan pedoman
penyuluhan keschatan usia lanjut untuk para penyelenggara penyuluhan,
baik pemerntah maupun swasta.
Ketiga, komponen pengembangan penyelenggaraan peyuluhan dengan
kegiatan:

a. Menyempurnakan kurikulum pemyuluhan keschtan usia lanjut disekolah-


sekolah kesehtan
b. Melengkapi masukan penyuluhan pada usia lanjut.
c. Menyusun modul pelatihan khusus usia lanjut untuk aparat di berbagai
tingkat.

Adapun langkah-langkah dari penyuluah yang perlu dipehatikan adalah :

a. Perencanaan sudah dimulai dengan kegiatan tersebut, dimana masalah


keschatan, masyarakat usia lanjut, dan wilayahnya jelas sudah diketahui.
b. Pelaksanaan penyuluhan kesehatan masyarakat usia lanjut harus berdaya
guna serta berhasil guna.
c. Merinci tujuan jangka pendek, jangka menengah danjangka panjang yang
harus jelas, realistis, dan bisa di ukur
d. Jangkauan penyuluhan harus dirinci, pendengkatan di tetapkan, dan
dicapai lebih objektif, rasional hasil sasarannya.
e. Penyusunan pesan-pesan penyuluhan
f. Pengembangan peran serta masyarakat, kemampuan penyelenggaraan
benar- benar tepat guna untuk dipergunakan
g. Memilih media atau saluran untuk mengembangkanperan serta
masyarakat dan kemampuan penyelenggaraan[ CITATION Iin19 \l 1033 ].
D. Program nasional lansia
1. Posyandu Lansia
a. Pengertian
Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat
usia lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang
digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan
pelayanan keschatan. Posyandu lansia merupakan pengembangan
dari kebijakan pemerintah melalui pelayanan kesechatan bagi yang
penyelenggaraannya melalui program Puskesmas dengan
melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan
organisasi sosial dalam penyelenggaraannya.

b. Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia


Berbeda dengan posyandu balita yang terdapat sistem 5 meja,
pelayanan yang diselenggarakan dalam posyandu lansia tergantung
pada mekanisme dan kebijakan pelayanan kesehatan di suatu
wilayah kabupaten maupun kota penyelenggara. Ada yang
menyelenggarakan posyandu lansia sistem 5 meja seperti posyandu
balita, ada juga hanya menggunakan sistem pelayanan 3 meja,
dengan kegiatan sebagai berikut:
1) Meja I : pendaftaran lansia, pengukuran dan penimbangan
berat badan dan atau tinggi badan
2) Meja II : Melakukan pencatatan berat badan, tinggi badan,
indeks massa tubuh (IMT). Pelayanan keschatan seperti
pengobatan sederhana dan rujukan kasus juga dilakukan di
meja II ini.
3) Meja III : melakukan kegiatan penyuluhan atau konseling,
disini juga bisa dilakukan
c. Jenis Pelayanan Posyandu Lansia
1) Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan
dasar dalam kehidupan, seperti makan/minum, berjalan,
mandi, berpakaian, naik turun tempat tidur, buang air
besar/kecil dan sebagainya.
2) Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan
dengan mental emosional dengan menggunakan pedoman
metode 2 (dua ) menit.
3) Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan
pengukuran tinggi badan dan dicatat pada grafik indeks masa
tubuh (IMT).
4) Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan
stetoskop serta penghitungan denyut nadi selama satu menit.
5) Pemeniksaan hemoglobin menggunakan talquist, sahli atau
cuprisulfat
6) Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal
adanya penyakit gula (diabetes mellitus)
7) Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni
sebagai deteksi awal adanya penyakit ginjal.
8) Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan dan
atau ditemukan kelainan pada pemeriksaan butir 1 hingga 7.
9) Penyuluhan Keschatan[ CITATION Iin19 \l 1033 ].
2. Puskesmas Lansia
a. Tujuan pelaksanaan kegiatan dalam program usia lanjut adalah:
1) Melaksanakan penyuluhan secara teratur dan
berksinambungan sesuai kebutuhan melalui berbagai media
mengenai keschatan usia lanjut.Usaha ini dilakukan terhadap
berbagai kelompok sasaran yaitu usia lanjut sendiri, keluarga
dan masyarakat dilingkungan usia lanjut.
2) Melaksanakan penjaringan usia lanjut resiko tinggi,
pemeriksaan berkala usia lanjut dan memberi petunjuk upaya
pencegahan penyakit, gangguan psikososial dan bahaya
kecelakaan yang dapat terjadi pada usia lanjut.
3) Melaksanakan diagnose dini, pengobatan, perawatan dan
pelayanan rehabilitative kepada usia lanjut yang membutuhkan
dan memberi petunjuk mengenai tindakan kuratif atau
rehabilitative yang harus dijalani, baik kepada usia lanjut
maupun keluarganya.
4) Melaksanakan rujukan medic ke fasilitas rumah sakit untuk
pengobatan, perawatan atau rehabilitative bagi usia lanjut yang
membutuhkan termasuk mengusahakan kemudahan-
kemudahannya[ CITATION Iin19 \l 1033 ].
b. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain:
1) Pemeriksaan tekanan darah,
2) Pengobatan secara umum,
3) Penyuluhan terkait dengan penyakit yang diderita (face to
face),
4) Mengirimkan pasien untuk operasi katarak setiap tahun,
5) Senam lansia bila ada program dari dinas keschatan dan
rujukan medic ke Rumah sakit.

3.12 Asuhan keperawatan TBC dan PPOM


3.12.1 TBC
A. Konsep Penyakit
b. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.(Price dan Wilson,
2005).
Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah penyakit infeksius, yang
terutama menyerang parenkim paru. ( Smeltzer, 2001).
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh Mycobakterium Tuberculosa yang merupakan
bakteri batang tahan asam, dapat merupakan organisme patogen atau
saprofit (Sylvia Anderson, 1995).
Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
parenkim paru (Bruner dan Suddart. 2002).
Tuberkulosis adalah contoh lain infeksi saluran nafas bawah.
Penyakit ini disebabkan oleh mikrooganisme Mycobacterium
tuberculosis (Elizabeth J. Corwn, 2001).
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mycobakterium tuberkulosa gejala yang sangat bervariasi (FKUI,
2001).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi pada saluran nafas
bawah yang menular disebabkan mycobakterium tuberkulosa yaitu
bakteri batang tahan asam baik bersifat patogen atau saprofit dan
terutama menyerang parenkim paru(Alfinri 2018).
c. Etiologi
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
basil mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang
yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal
0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid).

Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam
alkkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga
lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat
bertahan hidup pada udara kering maupun dingin (dapat tahan
bertaun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman
bersifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit lagi dan
menjadikan tuberculosis menjadi aktif lagi. Sifat lain kuman ini
adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi
jaringan yang tinggi oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal
paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lainnya, sehingga bagian
apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.
Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan
dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi
karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini
kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif
kembali. Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa
kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih
tinggi dari pada bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini
merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.
Basil mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui
saluran napas (droplet infection) sampai alveoli, maka terjadilah
infeksi primer (ghon) selanjutnya menyebar kekelenjar getah bening
setempat dan terbentuklah primer kompleks (ranke). keduanya
dinamakan tuberkulosis primer, yang dalam perjalanannya sebagian
besar akan mengalami penyembuhan. Tuberkulosis paru primer,
peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik
terhadap basil mikobakterium.
Tuberkulosis yang kebanyakan didapatkan pada usia 1-3 tahun.
Sedangkan yang disebut tuberkulosis post primer (reinfection) adalah
peradangan jaringan paru oleh karena terjadi penularan ulang yang
mana di dalam tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil
tersebut(Alfinri 2018).

Faktor predisposisi penyebab penyakit tuberkulosis antara lain:


d. Mereka yang kontak dekat dengan seorang yang mempunyai TB
aktif
e. Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien kanker,
individu dalam terapi kartikoteroid atau terinfeksi HIV)
f. Pengguna obat-obat IV dan alkoholik
g. Individu tanpa perawatan yang adekuat ).
h. Individu dengan gangguan medis seperti : DM, GGK,
penyimpanan gizi, by pass gatrektomi.
i. Imigran dari negara dengan TB yang tinggi (Asia Tenggara,
Amerika Latin Karibia).
j. Individu yang tinggal di institusi (Institusi psikiatrik, penjara)
k. Individu yang tinggal di daerah kumuh
l. Petugas kesehatan
m. Manifestasi Klinis
Keluhan yang diraskan pasien pasien tuberkulosis dapat bermacam-
macam atau malah banyak ditemukan TB paru tanpa keluhan
sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Kkeluhan yang
terbanyak:
1) Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-
0
kadang pana badan dapat mencapai 40-41 Celsius. Serangan
demam pertama dapat sembuh sebentar ,tetapi kemudian dapat
timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbul demam
influenza ini ,sehingga pasien merasa tidak pernah terbeba dari
serangan demam influenza. Keadaan ini sangat terpengaruh oleh
daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman
tuberkolosis masuk.

2) Batuk/batuk berdarah
Gejala ini bayak ditemukan.batuk terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus.batuk ini diperlukan untuk membuang produk-
produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama.mungkin saja batuk baru ada setelah
penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah
minggu-mimggu atau berbulan-bulan peradangan bermula.sifat
batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian
setelah timbul peradagan menjadi produktif(menghasilkal
sputum). keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena
terdapat pembuuh darah yang pecah.kebanyakan batuk darah
pada tuberkulusis terjadi pada kavitas,tetapi dapat juga terjadi
pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak bernafas
Pada penyakit ringan (baru tumbuh)belum dirasakan sesak
nafas.sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah
lanjut,yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-
paru dan takipneu.
6. Nyeri dad
Gejala ini agak jarang ditemukan.nyeri dada timbul bila
infiltrasinya radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis .terjadi gesekan kedua pleura sewaktu
pasien menarik/melepaskan napasnya.
7. Malaise dan kelelahan
Penyakit tuberculosis bersifat radang menahun, gejala malaise
sering ditemukan berupa anaoreksia tidak ada nafsu
makan,badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala,
keringat malam, dll. Selain itu juga terjadi kselitan tidur pada
malam hari (Price, 2005). Gejala malaise ini makin lama makin
berat dan terjadi ilang timbul secara tidak teratur.
8. Takikardi

B. Klasifikasi
Adapun klasifikasi TB paru berdasarkan petogenesisnya yaitu:
Kelas Tipe Keterangan

0 Tidak ada pejanan TB. Tidak ada riwayat terpajan.

Tidak terinfeksi Reaksi terhadap tes tuberculin


1 Terpajan TB negative.terpajan
Riwayat

2 Ada infeksi TB Reaksi tes kulit tuberculin positif

Tidak timbul penyakit Pemeriksaan bakteri negative (bila


dilakukan)
Tidak ada bukti klinis, bakteriologik
atau radiografik Tb aktif
3 TB, aktif secara klinis Biakan M. tuberkulosis (bila

dilakukan).

Sekarang terdapat bukti klinis,


4 TB, bakteriologik,
Riwayat rsdiografik
episode TB atau penyakit

Tidak aktif secara klinis Ditemukan radiografi yang abnormal


atau tidak berubah;reaksi tes kulit
tuberkulin positif dan tidak ada bukti
klinis atau radiografik penyakit
5 Tersangka TB sekarang ditunda
Diagnosa

C. Patofisiologi
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman
dibersinkan atau dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam
udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-
2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang
buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman
dapat tahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel
infeksi ini terhisap oleh orang sehat akan menempel pada jalan nafas
atau paru- paru.
Partikel dapat masuk ke alveolar bila
ukurannya kurang dari 5 mikromilimeter. Tuberculosis
adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara
sel. Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit (biasanya sel
T ) adalah imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini basanya
lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh
limposit dan limfokinnya. Raspon ini desebut sebagai reaksi
hipersensitifitas (lambat).
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi
sebagai unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil yang besar
cendrung tertahan dihidung dan cabang bronkus dan tidak
menyebabkan penyakit.
Setelah berada diruang alveolus biasanya dibagian bawah lobus atas
paru- paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini
membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear
tampak didaerah tersebut dan memfagosit bakteria namun tidak
membunuh organisme ini. Sesudah hari-hari pertama leukosit akan
digantikan oleh makrofag . Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler
akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa atau proses
akan berjalan terus dan bakteri akan terus difagosit atau
berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui getah
bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh
limposit. Reaksi ini butuh waktu 10-20 hari.
Nekrosis pada bagian sentral menimbulkan gambangan seperti
keju yang biasa disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang terjadi
nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari
sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon yang
berbeda.Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan
parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi
tuberkel.
Lesi primer paru dinamakn fokus ghon dan gabungan terserangnya
kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan
kompleks ghon. Respon lain yang dapat terjadi didaerah nekrosis
adalah pencairan dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan
menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding
kavitas akan masuk kedalan percabangan trakeobronkhial. Proses
ini dapat terulang lagi kebagian paru lain atau terbawa kebagian
laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa
pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila
peradangan mereda lumen brokus dapat menyempit dan tertutup oleh
jaringan parut yang terdapt dekat dengan perbatasan bronkus rongga.
Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir
melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan
perkejuan dan lesi mirip dengan lesi kapsul yang terlepas. Keadaan
ini dapat dengan tanpa gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi
hubungan dengan brokus sehingge menjadi peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.
Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai
aliran darah dalam jumlah kecil, kadang dapat menimbulkan lesi
pada oragan lain. Jenis penyebab ini disebut limfohematogen yang
biasabya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen biasanya
merupakan fenomena akut yang dapat menyebabkan tuberkulosis
milier.Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah
sehingga banyak organisme yang masuk kedalam sistem vaskuler dan
tersebar keorgan-organ lainnya(Alfinri 2018).

D. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan keperawatan diantaranya dapat dilakukan dengan cara:
1) Promotif
a) Penyuluhan kepada masyarakat apa itu TBC
b) Pemberitahuan baik melalui spanduk/iklan tentang bahaya TBC,
cara penularan, cara pencegahan, faktor resiko
c) Mensosialisasiklan BCG di masyarakat
2) Preventif
a) Vaksinasi BCG
b) Menggunakan isoniazid (INH)
c) Membersihkan lingkungan dari tempat yang kotor dan lembab.
d) Bila ada gejala-gejala TBC segera ke Puskesmas/RS, agar
dapat diketahui secara dini.
b. Penatalaksanaan secara medik
Dalam pengobatan TB paru dibagi 2 bagian :
1) Jangka pendek.
a) Dengan tata cara pengobatan : setiap hari dengan jangka waktu 1 –
3 bulan
b) Streptomisin injeksi 750 mg.
c) Pas 10 mg.
d) Ethambutol 1000 m
e) Isoniazid 400
2) Jangka panjang
a) Tata cara pengobatan : setiap 2 x seminggu, selama 13 – 18
bulan, tetapi setelah perkembangan pengobatan ditemukan terapi.
b) Terapi TB paru dapat dilakukan dengan minum obat saja, obat
yang diberikan dengan jenis :
(2) INH.
(3) Rifampicin.
(4) Ethambutol.
(5) Dengan fase selama 2 x seminggu, dengan lama
pengobatan kesembuhan menjadi 6-9 bulan.
3) Dengan menggunakan obat program TB paru kombipack bila
ditemukan dalam pemeriksan sputum BTA ( + ) dengan kombinasi obat:
a) Rifampicin.
b) Isoniazid (INH).
c) Ethambutol.
d) Pyridoxin (B6).

Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga


mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta
memutuskan mata rantai penularan. Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi
2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat
yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama
yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin,
INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedangkan jenis obat tambahan
adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam Klavulanat,
derivat Rifampisin/INH
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu
berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan
bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping
itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai
Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang direkomendasikan
oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
4) Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan
dalam penanggulangan TB.
5) Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik
langsung sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan
radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki
sarana tersebut.
6) Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya
dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.
7) Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.
8) Pencatatan dan pelaporan yang baku.

DEFINISI
2.1.1 Definisi PPOK
PPOK adalah nama yang diberikan untuk gangguan ketika dua penyakit paru terjadi pada
waktu bersamaan yaitu bronkitis kronis dan emfisema. Asma kronis yang dikombinasikan
dengan emfisema atau bronkitis juga dapat menyebabkan PPOK (Hurst, 2016). PPOK
adalah penyakit yang dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yang tidak dapat pulih
sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan di kaitkan dengan
respon inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya, yang
menyebabkan penyempitan jalan nafas, hipersekresi mucus, dan perubahan pada system
pembuluh darah paru. Penyakit lain seperti kistik fibrosis, bronkiektasis, dan asama yang
sebelumnya diklasifikasiakan dalam jenis COPD kini di klasifikasikan paru kronis,
meskipun gejala tupang tindih dengan COPD lain. Merokok singaret, polusi udara, dan
pajanan di tempat kerja (batu bara, katun, biji-bijian padi) merupakan factor penting yang
menyebabkan terjadinya COPD, yang dapat terjadi dalam rentang waktu 20-30 tahun
(Suddarth, 2015).
KOMPONEN PPOK
Adapun penyakit yang membentuk PPOK adalah sebagai berikut:
a. Bronkitis Kronik. Bronkitis Kronis merupakan keadaan yang berkaitan dengan
produksi mukus takeobronkial yang berlebihan, sehingga cukup untuk menimbulkan batuk
dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun dan paling sedikit 2 tahun secara
berturut-turut (Somantri, 2012). Iritan inhalasi menyebabkan proses inflamasi kronik
dengan vasodilatasi, kongesti dan edema mukosa bronkial. Sel goblet meningkat dalam hal
ukuran dan jumlah serta kelenjar mukosa membesar. Mukus yang tebal dan banyak
dihasilkan dalam jumlah yang bertambah banyak. Perubahan pada sel skuamosa bronkial
mengganggu kemampuan untuk membersihkan mukus (Fishman et al., 2008 dalam
LeMone et al., 2016). Penyempitan jalan nafas dan kelebihan sekresi mengobstruksi jalan
nafas. Karena fungsi silier terganggu, mekanisme pertahanan normal tidak mampu
membersihkan mukus dan semua patogen yang diinhalasi. Infeksi berulang umum pada
bronkitis kronik (LeMone et al., 2016).
b. Emfisema Paru. Emfisema adalah gangguan yang berupa dinding alveolus mengalami
kerusakan. Kerusakan tersebut menyebabkan ruang udara terdistensi secara permanen.
Aliran uadara terhambat sebagai hasil dari perubahan tersebut, bukan produksi mucus
seperti yang terjadi pada bronchitis kronis. Seperti pada bronchitis kronik, merokok sangat
berimplikasi sebagai factor penyebab pada sebagian besar kasus emfisema (LeMone et al.,
2016).
c. Asma Bronkial. Asma Bronkial adalah suatu gangguan pada saluran Bronkial yang
mempunyai ciri bronkospasme periodik terutama pada percabangan trakeobronkial yang
dapat diakibatkan oleh berbagai stimulus seperti faktor biokemikal, endokrin, infeksi, dan
psikologi (Somantri, 2012).

ETIOLOGI
Menurut Oemiati (2013) beberapa faktor risiko antara lain:
a. Pajanan dari partikel antara lain :
1) Merokok:
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang.
Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik
(Oemiati, 2013). Sejumlah zat iritan yang ada di dalam rokok menstimulasi produksi
mucus berlebih, batuk, merusak fungsi silia, menyebabkan inflamasi, serta kerusakan
bronkiolus dan dinding alveolus (Elsevier). Perokok pasif juga menyumbang terhadap
symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat
menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan
meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-parunya
(Oemiati, 2013).
2) Polusi indoor: Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek
misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan
memberi kontribusi sampai 35%. Manusia banyak menghabiskan waktunya pada
lingkungan rumah (indoor) seperti rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall,
dan kendaraan. Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang
dihasilkan dari memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap
dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan
serta perokok pasip. WHO melaporkan bahwa polusi indoor bertanggung jawab terhadap
kematian dari 1,6 juta orang setiap tahunya16. Pada studi kasus kontrol yang dilakukan di
Bogota, Columbia, pembakaran kayu yang dihubungkan dengan risiko tinggi PPOK
(Oemiati, 2013).
3) Polusi outdoor: Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang
paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap
pembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan relatif kendaraan sepeda motor
di jalan raya pada dekade terakhir ini, saat ini telah mengkhawatirkan sebagai masalah
polusi udara pada banyak kota metropolitan seluruh dunia. Pada negara dengan income
rendah dimana sebagian besar rumah tangga di masyarakat menggunakan cara masak
tradisional dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi indoor dari bahan sampah
biomassa telah memberi kontribusi untuk PPOK dan penyakit kardio respiratory,
khususnya pada perempuan yang tidak merokok (Oemiati, 2013).
4) Polusi di tempat kerja: Polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu
sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil (debu dari kapas) dan
lingkungan industri (pertambangan, industri besi dan baja, industri kayu, pembangunan
gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta, sebagainya diperkirakan mencapai 19% (Oemiati,
2013).
b. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin):
Faktor risiko dari genetic memberikan kontribusi 1 – 3% pada pasien PPOK (Oemiati,
2013). c. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang : Infeksi virus dan bakteri
berperan dalam patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan
inflamasi jalan napas, berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran
napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala
respirasi padasaatdewasa.Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan
penyebab keadaaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai
penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor risiko pada
PPOK (PDPI, 2011). d. Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik: Studi
pada orang dewasa di Cina14 didapatkan risiko relative pria terhadap wanita adalah 2,80
(95% C I ; 2,64-2,98). Usia tua RR 2,71 (95% CI 2,53-2,89). Konsumsi alkohol RR 1,77
(95% CI : 1,45 – 2,15), dan kurang aktivitas fisik 2,66 (95% CI ; 2,34 – 3,02) (Oemiati,
2013).
PATOFISIOLOGI
PPOK di tandai dengan obstruksi progresif lambat pada jalan nafas. Penyakit ini
merupakan salah satu eksaserbasi periodic, sering kali berkaitan dengan infeksi
pernapasan, dengan peningkatan gejala dyspnea dan produksi sputum. Tidak seperti proses
akut yang memungkinkan jaringan paru pulih, jalan napas dan parenkim paru tidak
kembali ke normal setelah ekserbasi; Bahkan, penyakit ini menunjukkan perubahan
destruktif yang progresif (LeMone et al., 2016). Meskipun salah satu atau lainya dapat
menonjol PPOK biasanya mencakup komponen bronchitis kronik dan emfisema, dua
proses yang jauh berbeda. Penyakit jalan napas kecil, penyempitan bronkiola kecil, juga
merupakan bagian kompleks PPOK. Melalui mekanisme yang berbeda, proses ini
menyebabkan jalan napas menyempit, resistensi terhadap aliran udara untuk meningkat,
dan ekpirasi menjadi lambat dan sulit (LeMone et al., 2016).
PATHWAY

MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi dari tanpa gejala dan dengan gejala dari ringan
sampai berat, yaitu batuk kronis, berdahak, sesak napas bila beraktifitas, sesak tidak hilang
dengan pelega napas, memburuk pada malam/dini hari, dan sesak napas episodic (Tana et
al., 2016). Untuk dapat menghindari kekambuhan PPOK, maka pemahaman tentang
penyakit dan cara mencegah kekambuhan PPOK menjadi dasar yang sangat penting bagi
seseorang khususnya penderita PPOK. Kekambuhan dapat terukur dengan meliputi skala
sesak berdasarkan skala MMRC (Modified Medical Research Counci). Untuk
mengeluarkan dahak dan memperlancar jalan pernapasan pada penderita PPOK dapat
dilakukan dengan cara batuk efektif (Faisal, 2017) Gejala PPOK jarang muncul pada usia
muda umumnya setelah usia 50 tahun ke atas, paling tinggi pada laki-laki usia 55-74
tahun. Hal ini dikarenakan keluhan muncul bila terpapar asap rokok yang terus menerus
dan berlangsung lama (Salawati, 2016).
Tanda dan gejala penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah sebagai berikut Suddarth,
(2015):
a. PPOK dicirikan oleh batuk kronis, produksi sputum, dan dyspnea saat menggerakkan
tenaga kerap memburuk seiring waktu.
b. Penurunan berat badan sering terjadi.
c. Gejala yang spesifik dengan penyakit. Lihat “Manifestasi Klinis” pada “Asma”,
“Bronkiektasis”, “Bronkitis”, dan “ Emfisema”.

DERAJAT PPOK
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2017,
PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat, yaitu:
a. Derajat 0 (berisiko)

Gejala klinis: memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan
dispnea, terdapat paparan terhadap faktor resiko,spirometri:normal.
b. Derajat I (PPOK ringan)

Gejala klinis: dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum, sesak
napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1, spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥
80%. Spirometri merupakan tes fungsi paru yang mengukur persentase dan derajat
beratmya obstruksi aliran udara. Spirometri mengukur volume udara ketika ekspirasi
dari inspirasi maksimal (force vital capacity, FVC) dan volume udara ketika ekspirasi
selama satu detik pertama (forced expiratory volume in one second, FEV1)
(A.Wisman et al., 2015).
c. Derajat II (PPOK sedang)

Gejala klinis: dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum, sesak
napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas). Spirometri: FEV1 < 70%;
50%<FEV170%, FEV1 ≥ 80%. Spirometri merupakan tes fungsi paru yang mengukur
persentase dan derajat beratmya obstruksi aliran udara. Spirometri mengukur volume
udara ketika ekspirasi dari inspirasi maksimal (force vital capacity, FVC) dan volume
udara ketika ekspirasi selama satu detik pertama (forced expiratory volume in one
second, FEV1) (A.Wisman et al., 2015).
d. Derajat III (PPOK berat)

Gejala klinis: sesak napas derajat sesak 3 dan 4, eksaserbasi lebih sering terjadi,
spirometri : FEV1<50%
e. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis: pasien derajat III dengan gagal napas kronik, disertai komplikasi kor
pulmonale atau gagal jantung kanan, spirometri: FEV1/FVC<30%.
Skala sesak berdasarkan GOLD tahun2017:
1) 0=Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat.
2) 1 = Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat.
3) 2 = Berjalan lebih lambat karena merasa sesak.
4) 3 = Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit.
5) 4 = Sesak bila mandi atau berpakaian (Saftarina et al., 2017) .
PENATALAKSANAAN
a. Non Farmakologi
1) Berhenti Merokok Menurut PDPI (2011) Strategi untuk membantu pasien berhenti
merokok adalah 5A :
a) Ask (Tanyakan).
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b) Advise (Nasihati).
Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.
c) Assess (Nilai).
Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari ke depan).
d) Assist (Bimbing).
Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling praktis,
merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e) Arrange (Atur).
Buat jadwal kontak lebih lanjut.
2) Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi keletihan dan memperbaiki
kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program
rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:
simptom pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat, kualitas hidup
yang menurun. Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu: latihan fisik,
psikososial dan latihan pernapasan (PDPI, 2011).
3) Terapi Oksigen.
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan
oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ
lainnya (PDPI, 2011).
4) Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
menambah mortaliti PPOK karena berkorelasi dengan derajat penurunan fungsi paru
dan perubahan analisis gas darah (PDPI, 2011).
b. Farmakologis
1) Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1 atau
mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot polos pada jalan
napas. Bronkodilator dapat diberikan dengan metered-dose inhaler (MDI), dry powder
inhaler (DPI), dengan nebulizer, atau secara oral (LeMone et al., 2016)..
Macam-macam bronkodilator:
a) β2 Agonist (short-acting dan long-acting) Prinsip kerja dari β2 agonis adalah
relaksasi otot polos jalan napas dengan menstimulasi reseptor β2 dengan meningkatkan
C-AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Angios
β2 adalah obat simtimimetik yang bekerja pada adrenoreseptor β2 pada otot polos
saluran napas dan menyebabkan bronkodilasi. Obat ini juga membantu pembersihan
mukus dan memperbaiki kekuatan (endurance) otot pernapasan (Black & Hawks,
2014).
b) Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitroprium dan
tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada reseptor
muskarinik.
2) Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini dilaporkan
berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak direkomendasikan
jika onat lain tersedia.
3) Kortikosteroid
Inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas
hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1<60%
prediksi.
4) Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan
menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini memiliki
efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan
tidur dan sakit kepala (Soeroto & Suryadinata, 2014).
c) Terapi farmakologis lain
1) Vaksin :vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK usia >
65 tahun
2) Alpha-1 Augmentation therapy:
Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin
herediter berat. Terapi ini sangat mahal, dan tidak tersedia di hampir semua negara dan
tidak direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya dengan
defisiensi alpha-1 antitripsin.
3) Antibiotik:
Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan eksaserbasi.
4) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan:
Ambroksol, erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein dapat
mengurangi gejala eksaserbasi.
5) Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)
6) Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan.
7) Vasodilator
8) Narkotik (morfin) (Soeroto & Suryadinata, 2014).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pengukuran Fungsi Paru
1) Kapasitas inspirasi menurun.
2) Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkhial, dan asma.
3) FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif penyakit paru obstruktif kronis.
4) FVC awal normal menurun pada bronkhitis dan asma.
5) TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada emfisema).
b. Analisa Gas Darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada asma. Nilai pH normal,
asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) meningkat pada polisitemia sekunder.
2) Jumlah darah merah meningkat.
3) Pulse oksimetri SaO2 okseigenasi menurun.
4) Elektrolit menurun karena pemakaian obat deuritik.
d. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan gram kuman/kuktur adanya infeksi campuran. Kuman pathogen yang bias
ditemukan adalah Strepcoccus pneumonia, Hemaphylus influenza, dan Moraxella
catarrhalis.
e. Pemeriksaan Radiologi Thoraks foto (AP dan Lateral)
Menunjukkan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan bendungan area
paru. Pada emfisema paru didapatkan diafragma dengan letak yang rendah dan
mendatar ruang udara retrosternal > (foto lateral), jantung tampak bergantung
memanjang dan menyempit.
f. Pemeriksaan Bronkhogram
Menunjukkan dilatasi bronkhus kolap bronkhiale pada ekspirasi kuat.
g. EKG
Menurut Wahid & Suprapto (2013), Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung
tidak mengalami pergeseran. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama
ekspirasi. Kelainan EKG yang paling awal terjadi adalah rotasi clock wise jantung.
Bila sudah terdapat kor pulmonal, terdapat deviasi aksis ke kanan dan Ppulmonal pada
hantaean II,III, dan aVF. Voltase QRS rendah. Di VI rasio R/S lebih dari 1 dan di V6
V1 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet (Muttaqin, 2008).
KOMPLIKASI
a. Hipoksemia Hipoksemia adalah kondisi turunya konsentrasi oksigen dalam darah
arteri. Beberapa kondisi dapat menyebabkan hipoksemia. Hipoksemia dapat terjadi
jika terdapat penurunan oksigen di udara (hipoksia) atau hipoventilasi terjadi karena
daya regang paru menurun atau atelektasis (Corwin, 2009).
b. Asidosus Respiratori
Timbul Akibat dari penoingkatan PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul antara
lain nyeri kepala, fatigue, latergi, dizziness, dan takipnea (Somantri, 2012). Asidosis
respiratorik dapat terjadi akibat depresi pusat pernapasan misalnya (akibat obat,
anestesi, penyakit neurologi) kelainan atau penyakit yang mempengaruhi otot atau
dinding dada, penurunan area pertukaran gas, atau ketidakseimbangan ventilasi
perfusi, dan obstruksi jalan napas (Warsi et al., 2013).
c. Infeksi Respiratori
Infeksi Pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mucus dan
rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan
menyebabkan peningkatan kerja napas dan timbulnya dyspnea.
d. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru, harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat). Komplikasi ini sering kali berhubungan
dengan bronchitis kronis, tetapi dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah
ini.
e. Kardiak disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratori. f.
Status Asmatikus Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma
bronkial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali
tidak berspons terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernapasan dan disertai vena leher sering kali terlihat pada klien dengan asma
(Somantri, 2012).

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


PENGKAJIAN
a. Anamnesis
1) Idenditas
Sebelumnya jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi karena
peningkatan penggunaan tembakau di kalangan perempuan di negara maju dan risiko
yang lebih tinggi dari paparan polusi udara di dalam ruangan (misalnya bahan bakar
yang digunakan untuk memasak dan pemanas) pada negara-negara miskin, penyakit
ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan perempuan hampir sama (Ismail et al., 2017).
Kebanyakan penderita PPOK terjadi pada individu di atas usia 40 tahun (PDPI, 2011).
Hal ini bisa dihubungkan bahwa penurunan fungsi respirasi pada umur 30-40 tahun
(Oemiati, 2013).
2) Keluhan utama
Keluhan yang sering dikeluhkan oleh orang dengan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) adalah Sesak napas yang bertambah berat bila aktivitas, kadangkadang
disertai mengi, batuk kering atau dengan dahak yang produktif, rasa berat di dada
(PDPI, 2011).
3) Riwayat kesehatan sekarang
Menurut Oemiati (2013) Bahwa Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus
dan obstruksi jalan napas kronik. Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom
saluran napas dan dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel
dan gas-gas berbahaya. Kebiasaan memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi
dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar
minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35% dapat memicu terjadinya PPOK.
Produsi mukus berlebihan sehingga cukup menimbulkan batuk dengan ekspetorasi
selama beberapa hari ± 3 bulan dalam setahun dan paling sedikit dalam dua tahun
berturut-turut dapat memicu terjadinya PPOK (Somantri, 2012).
4) Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan, riwayat
terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja (PDPI, 2011). Dan memiliki riwayat
penyakit sebelumnya termasuk asama bronchial, alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi
saluran nafas saat masa kanak-kanak dan penyakit respirasi lainya. Riwayat
eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit respirasi (Soeroto &
Suryadinata, 2014).
5) Riwayat Kesehatan
Keluarga Riwayat penyakit emfisema pada keluarga (PDPI, 2011). Riwayat keluarga
PPOK atau penyakit respirasi lainya. (Soeroto & Suryadinata, 2014). Riwayat alergi
pada keluarga (Mutaqqin, 2008).
6) Pola Fungsi Kesehatan
Pola fungsi kesehatan yang dapat dikaji pada pasien dengan PPOK menurut Wahid &
Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:
a) Pola Nutrisi dan Metabolik.
Gejala: Mual dan muntah, nafsu makan buruk/anoreksia, ketidakmampuan untuk
makan, penurunan atau peningkatan berat badan. Tanda: Turgor kulit buruk, edema
dependen, berkeringat. b) Aktivitas/Istirahat.
Gejala: Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan sehari-hari, ketidakmampuan
untuk tidur, dispnea pada saat aktivitas atau istirahat. Tanda: Keletihan, gelisah,
insomnia, kelemahan umum/kehilangan massa otot.
c) Sirkulasi.
Gejala: pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda: Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/takikardi berat,
distensi vena leher, edema dependent, bunyi jantung redup, warna kulit/membran
mukosa normal/cyanosis, pucat, dapat menunjukkan anemia.
d) Integritas Ego.
Gejala: peningkatan faktor resiko, dan perubahan pola hidup.
Tanda: Ansietas, ketakutan, peka rangsangan.
e) Hygiene.
Gejala: Penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hygiene. Tanda:
Kebersihan buruk, bau badan.
f) Pernapasan.
Gejala: Batuk menetap dengan atau tanpa produksi sputum selama minimum 3 bulan
berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun, episode batuk hilang timbul.
Tanda: pernapasan bisa cepat, penggunaan otot bantu pernapasan, bentuk dada barel
chest atau normo chest, gerakan diafragma minimal, bunyi nafas ronchi, perkusi
hypersonan pada area paru, warna pucat dengan sianosis bibir dan kuku, abu-abu
keseluruhan.
g) Keamanan.
Gejala: riwayat reaksi alergi terhadap zat/faktor lingkungan, adanya / berulangnya
infeksi.
h) Seksualitas.
Gejala: Penurunan libido
i) Interaksi Sosial.
Gejala: hubungan ketergantungan, kegagalan dukungan terhadap pasangan/orang
terdekat, ketidakmampuan membaik karena penyakit lama.
Tanda: ketidakmampuan untuk mempertahankan suara karena disstres pernapasan,
keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK menurut Wahid &
Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:
1) Pernafasan (B1: Breathing).
a) Inspeksi.
Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta penggunaan otot
bantu nafas. Bentuk dada barrel chest (akibat udara yang tertangkap) atau bisa juga
normo chest, penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan.
Pernapasan abnormal tidak fektif dan penggunaan otototot bantu nafas
(sternocleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada
aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif
dengan sputum purulen disertai demam mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi
pernafasan.
b) Palpasi.
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
c) Perkusi.
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor sedangkan diafrgama
menurun.
d) Auskultasi.
Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai tingkat beratnya
obstruktif pada bronkiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang
rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada
tahap lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti
membungkuk untuk mengikat tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan
(dispnea eksersorial). Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat
ekspirasi dan bronkiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang
dihasilkannya. Pasien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan
sekresi ini. Setelah infeksi terjadi, pasien mengalami mengi yang berkepanjangan saat
ekspirasi.
2) Kardiovaskuler (B2:Blood).
Sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Denyut nadi takikardi.
Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak mengalami pergeseran. Vena
jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi. Kepala dan wajah jarang
dilihat adanya sianosis.
3) Persyarafan (B3: Brain). Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada
komplikasi penyakit yang serius.
4) Perkemihan (B4: Bladder). Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak
ada keluhan pada sistem perkemihan. Namun perawat perlu memonitor adanya
oliguria yang merupakan salah satu tanda awal dari syok.
5) Pencernaan (B5: Bowel). Pasien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan
pasien tidak nafsu makan. Kadang disertai penurunan berat badan.
6) Tulang, otot dan integument (B6: Bone).
Kerena penggunaan otot bantu nafas yang lama pasien terlihat keletihan, sering
didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan pemenuhan ADL (Activity Day Living).
7) Psikososial.
Pasien biasanya cemas dengan keadaan sakitnya.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas.
1) Definisi.
Ketidakmampuan untuk membersihkan sekret atau obstruksi saluran nafas guna
mempertahankan jalan nafas yang bersih (Wilkinson, 2017)
2) Batasan Karakteristik. Batasan karakteristik yang dapat ditemukan pada
ketidakefektifan bersihan jalan napas menurut Wilkinson (2017), adalah sebagai
berikut:
a) Subjektif: Dispnea.
b) Objektif:
(1) Suara nafas tambahan (misalnya, crackle, ronki, dan mengi)\
(2) Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan
(3) Sianosis
(4) Kesulitan untuk bicara
(5) Penurunan suara napas
Definisi: Suaranya lembut dengan pitch rendah
Cara mengkaji: Teknik mendeng arkan suara nafas menggunakan stetoskop dikenal
dengan teknikauskultasi. Teknik auskultasi merupakan teknik dasar yang digunakan
oleh dokter untuk mengevaluasi suara nafas. Teknik ini cukup sederhana dan murah,
namun memilikikelemahan yaitu hasil analisisny a yang subjektif (Kiyokawaet al.
2013 dalam Syafria et al., 2014).
(6) Batuk tidak efektif atau tidak ada
(7) Ortopnea
Definisi: Posisi klien duduk diatas tempat tidur dengan badan sedikit menelung-kup di
atas meja disertai bantuan dua buah bantal.Masing-masing posisi diberlakukan selama
15menit, lalu dicatat nilai fungsi ventilasi parunyayang terdiri dari frekuensi nafas dan
arus puncak ekspirasi (Ritianingsih et al., 2011)
(8) Gelisah
(9) Mata terbelalak.
3) Faktor yang Berhubungan:
Faktor yang berhubungan dengan terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan napas
menurut Wilkinson (2017), adalah sebagai berikut:
a) Lingkungan: Merokok, menghirup asap rokok, dan perokok pasif.
b) Obstruksi Jalan Nafas: Spasme jalan nafas, retensi sekret, mukus berlebih, adanya
jalan nafas buatan, terdapat benda asing di jalan napas, sekret di bronki, dan eksudat di
alveoli.
c) Fisiologis: Disfungsi neuromuskular, hiperplasia dinding bronkial, PPOK (Penyakit
Paru Obstruktif Kronis), Infeksi, Asma, Jalan nafas alergik (trauma).
b. Gangguan Pola Tidur Berhubungan Dengan Ketidaknyamanan Fisik
c. Intoleransi Aktivitas Berhubungan Dengan Ketidakseimbangan Antara Suplei dan
Kebutuhan Oksigen

INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien dengan ketidakefektifan
bersihan jalan napas menurut Wilkinson (2017), adalah sebagai berikut:
Hasil NOC:
a) Pencegahan Aspirasi:
Tindakan personal untuk mencegah masuknya cairan dan partikel padat ke dalam paru.
b) Respon Ventilasi Mekanik:
Orang Dewasa: Perubahan alveolar dan perfusi jaringan disokong secara efektif oleh
ventilasi mekanik.
c) Status Pernapasan:
Ventilasi: Kepatenan Jalan Napas: Jalan napas trakeobronkial terbuka dan bersih untuk
pertukaran gas.
d) Status Pernapasan:
Ventilasi: Pergerakkan udara masuk dan keluar paru.
Tujuan/Kriteria Evaluasi:
a) Menunjukkan pembersihan jalan napas yang efektif, yang dibuktikan oleh
Pencegahan Aspirasi; Status Pernapasan; Kepatenan Jalan Napas; dan Status
Pernapasan: Ventilasi tidak terganggu.
b) Menunjukkan Status Pernapasan:
Kepatenan Jalan Napas, yang dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai berikut
(sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak ada gangguan):
(1) Frekuensi dan irama pernapasan
(2) Kedalaman inspirasi
(3) Kemampuan untuk membersihkan sekresi
c) Pasien akan:
(1) Batuk efektif.
(2) Mengeluarkan sekret secara efektif.
(3) Mempunyai jalan napas yang paten.
(4) Pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih.
(5) Mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal.
(6) Mempunyai fungsi paru dalam batas normal.
(7) Mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan di rumah. Intervensi:
a) Manajemen Jalan Napas: Memfasilitasi kepatenan jalan udara.
b) Pengisapan Jalan Napas: Mengeluarkan sekret dari jalan napas dengan memasukkan
sebuah kateter pengisap ke dalam jalan napas oral dan/atau trakea.
c) Kewaspadaan Aspirasi: Mencegah atau meminimalkan faktor resiko pada pasien
yang beresiko mengalami aspirasi.
d) Manajemen Asma: Mengidentifikasi, menangani, dan mencegah reaksi
inflamasi/konstriksi di dalam jalan napas.
e) Peningkatan Batuk:
Meningkatkan inhalasi dalam pada pasien yang memiliki riwayat keturunan
mengalami tekanan intratoraksik dan kompresi parenkim paru yang mendasari untuk
pengerahan tenaga dalam menghembuskan udara.
f) Pengaturan Posisi:
Mengubah posisi pasien atau bagian tubuh pasien secara sengaja untuk memfasilitasi
kesejahteraan fisiologis dan psikologis.
g) Pemantauan Pernapasan:
Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk memastikan kepatenan jalan napas
dan pertukaran gas yang adekuat.
h) Bantuan Ventilasi:
Meningkatkan pola napas spontan yang optimal, yang memaksimalkan pertukaran
oksigen dan karbondioksida dalam paru.
Aktivitas Keperawatan:
a) Pengkajian
(1) Kaji dan dokumentasikan hal-hal berikut ini.
(a) Keefektifan pemberian oksigen dan terapi lain.
(b) Keefektifan obat yang di programkan.
(c) Hasil oksimetri nadi.
(d) Frekuensi, kedalaman, dan upaya pernapasan.
(e) Faktor yang berhubungan, seperti nyeri, batuk tidak efektif, mukus kental, dan
keletihan.
(2) Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui penurunan atau
ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan.
(3) Pengisapan Jalan Napas
(NIC):
(a) Tentukan kebutuhan pengisapan oral atau trakea.
(b) Pantau status oksigen pasien (tingkat SaO2 dan SVO2) dan status hemodinamik
( tingkat MAP [mean anterial pressure] dan irama jantung) segera sebelum, selama,
dan setelah pengisapan.
(c) Catat jenis dan jumlah secret yang di kumpulkan.
b) Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga.
(1) Jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung (misalnya, oksigen, masin
pengisapan, spirometer, inhaler, dan intermitten positive pressure breathing [IPPB]).
(2) Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang larangan merokok di dalam
ruang perawatan; beri penyuluhan tentang pentingnya berhenti merokok.
(3) Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam untuk
memudahkan pengeluaran sekret.
(4) Ajarkan pasien untuk membebat/mengganjal luka insisi pada batuk.
(5) Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada sputum, seperti warna,
karakter, jumlah, dan bau.
(6) Pengisapan Jalan Napas (NIC): Instruksikan kepada pasien dan/atau kelurga
tentang cara pengisapan jalan napas, jika perlu.
c) Aktivitas Kolaboratif:
(1) Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan, jika perlu.
(2) Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau peralatan
pendukung.
(3) Berikan udara/oksigen yang telah dihumidifikasi (dilembabkan) sesuai dengan
kebijakan institusi. (4) Lakukan atau bantu dalam terapi aerosol, nebulizer ultrasonik,
dan perawatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan dan protokol institusi.
(5) Beri tahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal.
d) Aktivitas Lain:
(1) Anjurkan aktivitas fisik untuk memfasilitasi pengeluaran sekret.
(2) Anjurkan penggunaan spirometer insentif.
(3) Jika pasien tidak mampu ambulasi, pindahkan pasien dari satu sisi tempat tidur ke
sisi tempat tidur yang lain sekurangnya setiap dua jam sekali.
(4) Informasikan kepada pasien sebelum memulai prosedur, untuk menurunkan
kecemasan dan meningkatkan kontrol diri.
(5) Berikan pasien dukungan emosi (misalnya, meyakinkan pasien bahwa batuk tidak
akan menyebabkan robekan atau “kerusakan” jahitan)
(6) Atur posisi pasien yang memungkinkan untuk pengembangan maksimal rongga
dada (mis., bagian kepala tempat tidur di tinggikan 45° kecuali ada kontraindikasi.
(7) Pertahankan keadekuatan hidrasi untuk mengencerkan sekret.
(8) Singkirkan atau tangani faktor penyebab, seperti nyeri, keletihan, dan sekret yang
kental.

IMPLEMENTASI
EVALUASI

3.13 Isu-isu strategis dan kegiatan untuk promosi kesehatan dan kesejahteraan
pada lansia
A. Pengertian dan Lingkup Promosi Kesehatan
Dewasa ini promosi kesehatan (health promotion) telah menjadi bidang yang
semakin penting dari tahun ke tahun. Dalam tiga dekade terakhir, telah terjadi
perkembangan yang signifikan dalam hal perhatian dunia mengenai masalah
promosi kesehatan. Pada 21 November 1986, World Health Organization
(WHO) menyelenggarakan Konferensi Internasional Pertama bidang Promosi
Kesehatan yang diadakan di Ottawa, Kanada. Konferensi ini dihadiri oleh para
ahli kesehatan seluruh.

Dalam Piagam Ottawa disebutkan bahwa promosi kesehatan adalah proses


yang memungkinkan orang-orang untuk mengontrol dan meningkatkan
kesehatan mereka (Health promotion is the process of enabling people to
increase control over, and to improve, their health, WHO, 1986). Jadi, tujuan
akhir promosi kesehatan adalah kesadaran di dalam diri orang-orang tentang
pentingnya kesehatan bagi mereka sehingga mereka sendirilah yang akan
melakukan usaha-usaha untuk menychatkan diri mereka.
Lebih lanjut dokumen itu menjelaskan bahwa untuk mencapai derajat
kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, individu atau
kelompok harus mampu mengenal serta mewujudkan aspirasi-aspirasinya
untuk memenuhi kebutuhannya dan agar mampu mengubah atau mengatasi
lingkungannya (lingkungan fisik, sosial budaya, dan sebagainya). Kesehatan
adalah sebuah konsep positif yang menitikberatkan sumber daya pada pribadi
dan masyarakat sebagaimana halnya pada kapasitas fisik. Untuk itu, promosi
kesehatan tidak hanya merupakan tanggung jawab dari sektor kesehatan, akan
tetapi jauh melampaui gaya hidup secara sehat untuk kesejahteraan (WHO,
1986).
Penyelenggaraan promosi kesehatan dilakukan dengan mengombinasikan
berbagai strategi yang tidak hanya melibatkan sektor kesehatan belaka,
melainkan lewat kerjasama dan koordinasi segenap unsur dalam masyarakat.
Hal ini didasari pemikiran bahwa promosi kesehatan adalah suatu filosofi
umum yang menitikberatkan pada gagasan bahwa kesehatan yang baik
merupakan usaha individu sekaligus kolektif (Taylor, 2016).
Bagi individu, promosi kesehatan terkait dengan pengembangan program
kebiasaan kesehatan yang baik sejak muda hingga dewasa dan lanjut usia
(Taylor, 2016). Secara kolektif, berbagai sektor, unsur, dan profesi dalam
masyarakat seperti praktisi medis, psikolog, media massa.

B. Lingkup promosi kesehatan


Oleh karena itu, lingkup promosi kesehatan dapat disimpulkan sebagai berikut
(Iqi, 2017):
1. Pendidikan kesehatan (health education) yang penekanannya pada
perubahan/perbaikan perilaku melalui peningkatan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan.
2. Pemasaran sosial (social marketing), yang penekanannya pada pengenalan
produk/jasa melalui kampanye.
3. Upaya penyuluhan (upaya komunikasi dan informasi) yang tekanannya
pada penyebaran informasi.
4. Upaya peningkatan (promotif) yang penekanannya pada upaya
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.

C. Kegiatan Promosi Kesehatan

Kesehatan memerlukan prasyarat-prasyarat yang terdiri dari berbagai sumber


daya dan kondisi dasar, meliputi perdamaian (peace), perlindungan (shelter),
pendidikan (education), makanan (food), pendapatan (income), ekosistem yang
stabil ( a stable eco-system), sumber daya yang berkesinambungan (a
sustainable resources), serta kesetaraan dan keadilan sosial (social justice and
equity) (WHO, 1986). Upaya-upaya peningkatan promosi kesehatan harus
memerhatikan semua prasyarat tersebut.
WHO, lewat Konferensi Internasional Pertama tentang Promosi Kesehatan di
Ottawa pada tahun 1986, telah merumuskan sejumlah kegiatan yang dapat
dilakukan oleh setiap negara untuk menyelenggarakan promosi kesehatan.
Berikut akan disediakan terjemahan dari Piagam Ottawa pada bagian yang
diberi subjudul Health Promotion Action Means, Menurut Piagam Ottawa,
kegiatan-kegiatan promosi kesehatan berarti:
1. Membangun kebijakan publik berwawasan keschatan (build healthy
public policy)
2. Menciptakan lingkungan yang mendukung (create supportive
environments)
3. Memerkuat kegiatan-kegiatan komunitas (strengthen community actions)
d
4. Mengembangkan keterampilan individu (develop personal skills)
5. Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health services) f. Bergerak ke
masa depan (moving into the future).
D. Strategi Promosi Kesehatan
1. Advokasi
Advokasi (advocacy) adalah kegiatan memberikan bantuan kepada
masyarakat dengan membuat keputusan ( Decision makers ) dan penentu
kebijakan ( Policy makers ) dalam bidang keschatan maupun sektor lain
diluar kesehatan yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat. Dengan
demikian, para pembuat keputusan akan mengadakan atau mengeluarkan
kebijakan-kebijakan dalam bentuk peraturan, undang-undang, instruksi yang
diharapkan menguntungkan bagi kesehatan masyarakat umum. Srategi ini
akan berhasil jika sasarannya tepat dan sasaran advokasi ini adalah para
pejabat cksekutif dan legislatif, para pejabat pemerintah, swasta, pengusaha,
partai politik dan organisasi atau LSM dari tingkat pusat sampai daerah.
Bentuk dari advokasi berupa lobbying melalui pendekatan atau pembicaraan-
pembicaraan formal atau informal terhadap para pembuat keputusan,
penyajian isu-isu atau masalah- masalah kesehatan yang mempengarui
kesehatan masyarakat setempat, dan seminar-seminar kesehatan.
2. Kemitraan
Di Indonesia istilah Kemitraan (partnership) masih relative baru, namun
demikian prakteknya di masyarakat sebenarnya sudah terjadi sejak saman
dahulu. Sejak nenek moyang kita telah mengenal istilah gotong royong yang
sebenarnya esensinya kemitraan. Robert Davies, ketua eksekutif “The Prince
of Wales Bussines Leader Forum” (NS Hasrat jaya Ziliwu, 2007)
merumuskan, “Partnership is a formal cross sector relationship between
individuals, groups or organization who:
a. Work together to fulfil an obligation or undertake a specific task
b. Agree in advance what to commint and what to expect

Dari pemhahasan diatas dapar ditarik kesimpn lan halwa keritran adaleh
satu kerjasanaa forma entara individu- individu, kelampek-kelompok atau
orpanisasi-organisasi antuk mencapai suatu tugas ctaa tajaan tertentu.
Dalam kerjasame tesebut ada kesepakatan tentang komiteen dan harapan
masing-masing, tentang peninjauan kenbali tehadap kesepakatan-
kesepakatan yang telals dibuat dan saling berbagi bak dalarn resiko
maupun keuntungan yang diperolch.

Dari definisi ini terdapat tigu (3) kata kunci calam kemtraan, yakni:

a. Kerjasama antar kelempok, organisasi dan lacividu


b. Bersama-sama meacapai tujuan tertentu ( yang disepakati bersama)
c. Saling menanggung resiko dan keuatungan

Fentinguya kemitraan (partnerskip) ini mulai digencarkan olch WHO pada


konfrensi internasional proraosi kesehatan yang kecm at di Jakarta pada
tahun 1997. Selubangan dengan itu perlu 3) dikembangkan upaya
kerjasama yang saling menborikan manfaat. Hubun gan kerjasama tersebut
akan lebilh efektif daa efisien apabila juga didasari den gan kesetaraan.
Peran Dinas Kesehatan dalam Pengembangan Kemitraan di Bidang
Kesehatan. Chasan. Beberapa alternatif peran yang dapat dilakukan, sesuai
keadaan, masalalh dan postensi setempat adalah:
a. laitiator : memprakarsai kemaitran dalam rangka sasialisasi idn
operasionualisasi Indemesia Sehat.
b. Motor/dinamisator : sebagai penggerak kemsitraan, muelalui periemn,
kegiatan berasama, dll.
c. Peserta kreatif : sebagai peserta kegiatan kemitraan yang kreatif.
d. Pemasok input teknis : memberi masukan teknis (program kesehatan).
e. Dukungan sumber daya : memberi dukungan sumber daya sesuai
keadaan, masalah dan potensi yang ada.

a. Pemberdayaan Masyarakat ( Empowerment)


Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment),
berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide
utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan.
Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat
orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan
minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekannkan bahwa kekuasaan
berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan
bahwa kekuasaan sebagai suatu yang tidak berubah atau tidak dapat
dirubah. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa
hadir dalam konteks relasi sosial antara manusia.

Masyarakat dan kebudayaan barat, utamanya Eropa. Untuk memahami


konsep pemberdayaan secara tepat dan jernih memerlukan upaya
pemahaman latar belakang kontekstual yang melahirkannya. Konsep
tersebut telah begitu meluas diterima dan dipergunakan, mungkin
dengan pengertian presepsi yang berbeda satu dengan yang lain.
Penerimaan dan pemakaian konsep tersebut secara kritikal tentulah
meminta kita mengadakan telaah yang sifatnya mendasar dan jernih.
Konsep pemberdayaan mulia Nampak disekitar decade 70- an, dan
kemudian berkembang terus sepanjang decade 80-an dan sampai decade
90-an atau akhir abad ke-20 ini. Diperkirakan konsep ini muncul
bersamaan dengan aliran-aliran seperti Eksistensialisme, Phenomelogi,
Personalisme, kemudian lebih dekat dengan gelombang New-Marxisme,
freudialisme, aliran-aliran seperti Sturktualisme dan Sosiologi Kritik
Sekolah Frankfurt serta konsep- konsep seperti elit, kekuasaan, anti-
astabilishment, gerakan populasi, anti-struktur, legitimasi, ideology,
pembebasn dan konsep civil society.
E. Promosi Kesehatan dan Strategi Proteksi Kesehatan untuk Komunitas
Lansia
Promosi kesehatan dan proteksi kesehatan adalah dua elemen pencegahan
primer. Promosi kesehatan menekankan pada upaya membantu masyarakat
mengubah gaya hidup mereka dan bergerak menuju kondisi kesehatan yang
optimum sedangkan fokus proteksi kesehatan adalah melindungi individu
dari penyakit dan cedera dengan memberikan imunisasi dan menurunkan
pemajanan terhadap agens karsinogenik toksin dan hal – hal yang
membahayakan kesehatan di lingkungan sekitar. Konsep kesehatan lansia
harus ditinjau kembali dalam upaya merencanakan intervensi promosi
kesehatan.
Filner dan Williams ( 1997 ) mendefinisikan kesehatan lansia sebagai
kemampuan lansia untuk hidup dan berfungsi secara efektif dalam
masyarakat serta untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan otonomi sampai
pada tahap maksimum, tidak hanya terbebas dari penyakit. Apabila
dibandingkan dengan kelompok usia lainnya di Amerika lansia lebih akti
Dalam mencari informasi mengenai kesehatan dan mempunyai kemauan
untuk mempertahankan kesehatan dan kemandirinya. Promosi kesehatan
harus benar – benar berfokus pada perilaku beresiko yang dapat
dimodifikasi yang disesuaikan dengan masalah kesehatan utama menurut
usia ( USDHHS, 1998 ). Secara umum, pelayanan keschatan untuk lansia
memiliki tiga tujuan:
1. Meningkatkan kemampuan fungsional.
2. Memperpanjang usia hidup
3. Meningkatkan dan menurunkan penderita.

Dalam memaksimalkan promosi kesehatan lansia di komunitas dibutuhkan


suatu pendekatan multiaspek. Target intervensi harus mengarah pada
individu dan keluarga serta kelompok dan komunitas.

a. Intervensi Berfokus- Individu atau Kelompok Intervensi promosi


kesehatan / proteksi kesehatan berfokus – individu atau keluarga
dirancang dalam upaya meningkatkan pengetahuan keterampilan dan
kompetensi individu atau keluarga untuk membuat keputusan kesehatan
yang memaksimalkan promosi kesehatan dan perilaku proteksi
kesehatan. Tujuannya adalah mendayagunakan lansia dan keluarganya
dalam membuat keputusan keschatan yang rasional. Beberapa kategori
yang termasuk ke dalam intervensi promosi kesehatan dan proteksi
kesehatan dengan target individu dan / atau keluarga adalah :
1) Skrining kesehatan
2) Modifikasi gaya hidup
3) Pendidikan kesehatan ( individu atau kelompok )
4) Konseling
5) Kelompok pendukung
6) Pelayanan kesehatan primer
7) Imunisasi
8) Manajemen kasus
9) Bantuan pemeliharaan di rumah
b. Intervensi Berfokus Pada Komunitas

Intervensi berfokus komunitas adalah aktivitas dan program yang


diarahkan pada lansia komunitas secara keseluruhan atau sub kelompok
lansia yang beragam di komunitas. Tujuan intervensi berfokus komunitas
adalah meningkatkan kapasitas dan ketersediaan komunitas terhadap
pelayanan gabungan kesehatan dan sosial yang sesuai dan dibutuhkan
dalam upaya mempertahankan kemandirian dan status fungsional lansia
di komunitas. Intervensi di komunitas terutama melibatkan advokasi
tindakan politis dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan yang
memengaruhi lansia di komunitas. Contoh intervensi berfokus komunitas
adalah sebagai berikut :

a) Kampanye pendidikan kesehatan di masyarakat luas yang


menekankan pada masyarakat lansia
b) Mengadakan kampanye pada bulan mei yang telah ditetapkan
sebagai older American Month ( bulan lansia Amerika )
c) Koalisi komunitas untuk menangani isu spesifik lansia seperti
pengembangan pusat informasi lokal, botlines telepon atau situs
internet
d) Keterlibatan politis untuk advokasi kebutuhan lansia seperti
mempertahankan atau memperluas tanggunagan medicare untuk
pelayanan di rumah
b. Kemitraan dengan komunitas lansia terbuka untuk praktik kesehatan baru
dan berespons terhadap bermacam – macam pendekatan yang berpotensi
meningkatkan kesehatan mereka. Dalam merencanakan program
kesehatan yang efektif perawat kesehatan komunitas harus memvalidasi
strategi dan tujuan bersama kelompok lansia yang ditargetkan.
Keterlibatan lansia dalam merencanakan promosi kesehatan dan aktivitas
pencegahan penyakit adalah hal yang esensial karena lansia sensitif
terhadap kehilangan potensi kemandiriannya. Oleh karena itu jika lansia
dilibatkan rasa kemandirian mereka akan menngkat. Tahapan tindakan
yang dilakukan ketika bekerja dengan lansia di komunitas antara lain:
1) Jalankan program ditempat – tempat biasa lansia berkumpul seperti
gereja, senior center, dan tempat perkumpulan pensiunan.
2) Libatkan aktivitas outreach ke dalam seluruh program
3) Siapkan sarana transportasi menuju tempat aktivitas kelompok
4) Antisipasi kebutuhan lansia yang memiliki pandangan dan/atau
penglihatan tidak adekuat ( contoh penggunaan tulisanyang besar,
membatasi penggunaan makalah, penggunaan ruangan yang tenang
dan/atau pengeras suara yang adekuat.
5) Pertahankan aktivitas secara berlahan dan berikan waktu yang cukup
untuk berespons.

F. Peran Perawat dalam Promosi Kesehatan untuk Lansia


Penuaan di dalam masyarakat kita merupakan fenomena yang dominan pada saat
ini. Tiga dari empat penyebab kematian yang sering terjadi di kalangan lansia –
penyakit jantung, kanker dan stroke merupakan akibat dari gaya hidup yang
kurang sehat. Namun gambaran suram tentang penduduk lansia yang kurang
gerak, lansia yang mengalami penyakit kronis secara bertahap telah digantikan
oleh konsep baru seperti masa tua dengan penuh kesuksesan (misalnya
kemampuan individu untuk beradaptasi terhadap proses penuaan) dan penurunan
morbiditas (misalnya penundaan awitan terjadinya penyakit kronis dan
melemahkan sampai pada tahap akhir kehidupan).
Perlindungan kesehatan dan promosi kesehatan merupakan hal yang mendesak
dan juga merupakan kerangka kerja yang tepat untuk merawat lansia. Perawat
profesional untuk lansia mengenal bahwa pencegahan untuk orang yang berusia
65 tahun yang dapat diharapkan hidup 20 tahun lagi merupakan komponen
penting dalam perawatan kesehatan.

3.14 Asuhan keperawatan kritikal pada lansia


A. Definisi Kritis
Kritis : suatu kondisi yang mana pasien dalam keadaan darurat tetapi masih
ada kemungkinan untuk mempertahankan. Kondisi kritis Progresif: Kondisi
kesehatan menjadi lebih buruk atau menjadi lebih parah seiring perjalanan
waktu. Periodenya mungkin mencakup seluruh rentang kehidupan atau
dalam waktu yang lama. Selama kondisi kesehatan kronis, mungkin terdapat
periode diam yang diikuti oleh periode ekserbarsi/bertambah parahnya
penyakit atau memburuk secara perlahan. Contoh kondisi kesehatan kronis
progresif adalah beberapa jenis kanker yang tumbuh perlahan pada
penderitanya dan tidak dapat disembuhkan serta menyebabkan kematian
yang tidak terelakkan. Penyakit paru obstruktif menahun/kronis perlahan
ditandai dengan penurunan kapasitas paru yang progresif secara bertahap.
Periode gagal jantung kronis meliputi periode diam dan kontrol terhadap pola
serangan akut gagal jantung. Diabetes melitus, terutama tipe DM-insulin,
menjadi progresif sehingga lebih sulit ditanggulangi.
Ireversibel: kondisi yang tidak dapat disembuhkan. Kondisi kesehatan
kronis dapat menyebabkan kematian. Muncul kerusakan yang tidak dapat
dikoreksi. Contohnya adalah kanker pankreas, yang menghancurkan
kemampuan klien untuk memproduksi enzim pencernaan, yang
menyebabkan defisit nutrisi. Terdapat beberapa jenis penyakit ginjal yang
pada akhirnya menyebabkan penyakit gagal ginjal total dan akhirnya dapat
merusak sistem utama lainnya seperti sistem saraf pusat dan sistem
kardiovaskular. Penyakit Paru Obstruktif Kronis dapat menyebabkan
penurunan fungsi paru, yang tidak dapat kembali normal/ireversibel.
Skizofrenia dan hipolar tidak dapat disembuhkan, tetapi keduanya dapat
dikontrol; Namun, individu yang pernah menderita ini penyakit dalam waktu
yang lama dapat mengalami gangguan penilaian, keterampilan sosial, dan
aktivitas hidup sehari-hari.
Kompleks: kondisi kronis dapat memengaruhi berbagai sistem. Pengaruh
dari kondisi kesehatan kronis dapat menjangkau wilayah yang lebih luas
dibandingkan saat asal proses. Penderita asma tidak hanya mengalami
manifestasi fisik, tetapi mereka sering kali membatasi aktivitas dalam cara-
cara tertentu yang dapat menyebabkan isolasi, sehingga dapat memengaruhi
kesehatan mental dan rekreasional mereka. Depresi adalah sekuel yang
sering ditimbulkan oleh kondisi kesehatan kronis. Terapi terhadap kondisi
kronis mungkin menimbulkan efek samping, seperti dan defisit yang menjadi
bagian dari kondisinya. Diabetes melitus dapat menyebabkan neuropati;
retinopati menyebabkan kebutaan; masalah sirkulasi menyebabkan amputasi,
umumnya terjadi pada kaki dan tungkai. Hipertensi dapat menyebabkan
penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal (Long Barbara C 2017).
B. Masalah Kondisi Kritis Pada Lansia
1. Mudah jatuh
a. Jatuh suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang
melihat kejadian, Masalah fisik-hari yang sering ditemukan pada lansia
yang membuat seseorang menyembunyikan/terduduk di lantai atau
tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau
luka
b. Jatuh dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya faktor intrinsik:
gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekuatan
sendi dan pusing-pusing; faktor ekstrinsik: lantai yang licin dan tidak
rata, tersandung oleh benda-benda, penglihatan kurang karena cahaya
yang kurang terang dan sebagainya.
2. Mudah lelah, disebabkan oleh :
a. Faktor psikologis: perasaan bosan, keletihan, depresi
b. Gangguan organ : anemia, kurang vitamin, osteomalasia, dll
c. Penganuh obat: sedasi, hipnotik (Barbara, 2017)
C. Penyebab Kondisi KritisPada Lansia
Beberapa penyebab kondisi kritis pada lansia :
1. Kecelakaan (Kecelakaan) Suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai
faktor yang datangnya tidak menimbulkan cedera (fisik, mental, sosial).
2. Cedera Masalah kesehatan yang didapat/dialami sebagai akibat
kecelakaan. Kecelakaan dan cedera dapat diklasifikasikan menurut :
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Kecelakaan di lingkungan rumah tangga
c. Kecelakaan di lingkungan pekerjaan
d. Kecelakaan di sekolah
e. K[ CITATION Ern18 \l 1033 ]ecelakaan di tempat-tempat umum lain
seperti: tepat waktu rekreasi, perkeretaapian, di arena olah raga dan
lain-lain.
a. Mekanisme kejadian Tertumbuk, jatuh, terpotong, tercekik oleh benda
asing. Tersengat, terbakar baik karena efek kimia, fisik maupun listrik
atau radiasi.
b. Waktu kejadian > Waktu perjalanan Waktu bekerja, waktu sekolah, waktu
bermain dan lain-lain(Long Barbara C 2017).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu prosesmenghilangnya
secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak
dapat bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang
diderita.
Perubahan umum kemapuan morotik pada lansia yaitu kekuatan motirik:
penurunan kekuatan yang paling nyata adalah pada kelenturan otot-otot
tangan bagian depan dan otot-otot yang menopang tegaknya tubuh.
Orang berusia lanjut lebih cepat merasa lebih dan memerlukan waktu
yang lebih lama untuk memulihkan diri dan keletihan dibanding yang
lebih muda.
Karakteristik lansia yaitu berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan
Pasal 1 ayat 2 tentang kesehatan), kebutuhan dan masalah yang
bervariasi dari rentang sehat samapi sakit, dari kebutuhan biopsikososial
– spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaftif,
lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M. E. (2016). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: ECG.


Long, B. C. (2017). Perawatan Medis Bedah Suatu Pendekatan Proses Inovasi. Bandung:
Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran.
Nugroho, W. (2016). Keperawatan Gerontik. Jakarta: ECG.
Nursalam, d. (2016). Pendidikan Dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Steanley, M. P. (2017). Buku Ajar Gerontik. Jakarta: ECG.
Taufan, N. (2018). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakkarta: Nuha Medika.
Wahyudi, N. (2018). Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Jakarta: ECG.
Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut),
2017.Balai Penerbit FKUI. Jakarta. SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. Pandaun
Gerontologi, Tinjauan Dari Berbagai Aspek. 2018.
Johan Nasution, Bahder. 2019. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter. Rineka
Cipta: Jakarta.
Hasyim, masruroh dan joko prasetyo. 2017. Etika keperawatan, Cet, 1. Bangkit
:Yogyakarta
Indar. 2017. Etika Profesi Kesehatan. Fakultas Kesehatan Makassar UNHAS:
Makassar.
Kusnanto. 2019. Pengantar Profesi & Praktik Keperawatan Profesional.
Topatimasang, Roem. 2016. Memamusiakan Lanjut Usia “Pemuaan Penduduk &
Pembangunan di Indonesia. Yogyakarta:PUSTAKA NASIONAL
Mubarak, Wahit Iqbal. 2017. Pengantar Keperawatan Komunitas 2. Jakarta: Salemba
Medika
Anderson, Elizabeth T.2016.Keperawata Komunitas Teori dan Praktik.Jakarta: EGC
Djoyodiningrat, Lya. 2017.

lin Cintami Pangabean, d. (2017). Kebijakan dan Program Kesehatan Lansia. Retrieved
April 11, 2019,
Sunaryo, d. (2016). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: ANDI. Utami, D. Y.
(2013). Program Nasional Lansia. Retrieved April 24, 2019

Anda mungkin juga menyukai