Dosen Pengampu:
Rita Hadi W, M. Kep.,Sp.Kep.Kom
Kelompok 6
Oleh:
DAFTAR ISI
1
DAFTAR ISI ............................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A; Latar Belakang ............................................................................... 3
B; Rumusan Masalah ......................................................................... 4
2
BAB I
PENDAHULUAN
A; LATAR BELAKANG
Menua (menjadi tua=ageing) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita
(Constantides 1994 dalam Boedhi-Darmojo, 2009).
Dalam proses menua, seorang lansia umumnya diperhadapkan dengan masalah
kesehatan baik yang mempengaruhi fungsi fisiologis ataupun penyakit kronis.
Stanley dan Beare (2007) menyatakan bahwa seiring dengan bertambahnya usia,
insiden terjadinya penyakit kronis pada lansia juga akan bertambah. Walaupun
demikian, proses menua tidak bisa dinilai sebagai hal negatif yang terjadi pada
seseorang.
Proses menua (aging proses) biasanya akan ditandai dengan adanya perubahan
fisikbiologis, mental ataupun psikososial. Perubahan fisik diantaranya adalah
penurunan sel, penurunan sistem persyarafan, sistem pendengaran, sistem
penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan temperatur tubuh, sistem
respirasi, sistem endokrin, sistem kulit, sistem perkemihan, sistem musculokeletal.
Perubahan perubahan mental pada lansia yaitu terjadi perubahan kepribadian,
memori dan perubahan intelegensi (Nugroho, 2008).
WHO (2012) menerangkan bahwa dunia mengalami penuaan dengan cepat.
Diperkirakan proporsi penduduk usia lanjut yang berusia 60 tahun ke atas menjadi
dua kali lipat dari 11% di tahun 2006 menjadi 22 % pada tahun 2050. Data Badan
Pusat Statistik menunjukkan bahwa penduduk usia lanjut di Indonesia pada tahun
2000 sebanyak 71,8%, selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 9,77% dan
pada tahun 2020 diprediksikan jumlah usia lanjut 11,34%. Di Indonesia lansia paling
banyak tersebar di 5 provinsi. Adapun provinsi di Indonesia yang paling banyak
penduduk usia lanjut adalah: DI Yogyakarta (12,48%), Jawa Timur (9,36%), Jawa
Tengah (9,26%), Bali (8,77%), Jawa Barat(7,09%).
Perubahan komposisi penduduk usia lanjut akan menimbulkan berbagai
kebutuhan baru yang harus dipenuhi, sehingga dapat pula menjadi permasalahan
yang kompleks bagi usia lanjut, baik sebagai individu, keluarga maupun masyarakat.
Berbagai masalah fisik biologik, psikologik dan sosial, muncul seiring dengan
menuanya seseorang (Depsos, 2008).
3
Penuaan pada sistem saraf terutama otak adalah suatu faktor utama dalam
penuaan yang adaptif. Perubahan ukuran otak yang diakibatkan atrofi girus dan
dilatasi sulkus dan ventrikel otak sehingga otak banyak kehilangan neuron, dimana
akan mempengaruhi kerja saraf otonom. Salah satu fungsi dari saraf otonom adalah
mengatur sistem pencernaan dan sistem urinaria. Apabila usia lanjut terjadi
penurunan fungsi saraf otonom, maka akan terjadi ketidakmampuan dalam
mengontrol pengeluaran BAB maupun BAK, sehingga bisa menimbulkan beberapa
masalah, seperti konstipasi, obstipasi, inkontinensia urin, dan lain-lain. Faktor-faktor
pendukung terjadinya perubahan pola eliminasi usia lanjut yaitu adanya dimensia,
gangguan psikologis lain, kelemahan fisik atau mobilisasi, dan hambatan lingkungan
seperti jarak kamar mandi yang jauh (Stanley, Mickey & Patricia, 2007). Selain
inkontinensia, masalah eliminasi yang sering dihadapi para usia lanjut yaitu
konstipasi dan diare. Konstipasi bisa terjadi karena transit yang lebih lama di colon
sigmoid dan rektum. Laporan konstipasi dan peningkatan penggunaan laksatif telah
dicatat pada kelompok usia lanjut yang lemah (Meridien dkk, 2011).
Mengingat permasalahan yang sering dihadapi oleh lansia ini khususnya pada
sistem eliminasi penting juga diketahui tentang asuhan keperawatan pada lansia,
maka kelompok kami akan membahas mengenai gangguan eliminasi pada lansia.
B; TUJUAN
1; Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan lansia
secara nyata dalam pemenuhan kebutuhan Eliminasi pada lansia.
2; Tujuan Khusus
a; Untuk mengetahui teori penuaan pada gangguan eliminasi
b; Untuk mengetahui perubahan akibat proses penuaan pada gangguan
eliminasi.
c; Untuk mengetahui penkajian khusus lansia pada gangguan eliminasi.
d; Untuk mengetahui diagnosa keperawatan dan rencana asuhan keperawatan
lansia pada gangguan eliminasi.
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
A; TEORI PENUAAN
1; Teori Biologis
Teori biologi merupakan teori yang menjelaskan mengenai proses fisik
penuaan yang meliputi perubahan fungsi dan struktur organ, pengembangan,
panjang usia dan kematian (Christofalo dalam Stanley). Perubahan yang terjadi di
dalam tubuh dalam upaya berfungsi secara adekuat untuk dan melawan penyakit
dilakukan mulai dari tingkat molekuler dan seluler dalam sistem organ utama.
Teori biologis mencoba menerangkan menganai proses atau tingkatan perubahan
yang terjadi pada manusia mengenai perbedaan cara dalam proses menua dari
waktu ke waktu serta meliputi faktor yang mempengaruhi usia panjang,
perlawanan terhadap organisme dan kematian atau perubahan seluler.
5
a; Teori Genetika
Teori genetika merupakan teori yang menjelaskan bahwa penuaan
merupakan suatu proses yang alami di mana hal ini telah diwariskan secara
turun-temurun (genetik) dan tanpa disadari untuk mengubah sel dan struktur
jaringan. Teori genetika terdiri dari teori DNA, teori ketepatan dan kesalahan,
mutasi somatik, dan teori glikogen. DNA merupakan asam nukleat yang
berisi pengkodean mengenai infornasi aktivitas sel, DNA berada pada tingkat
molekuler dan bereplikasi sebelum pembelahan sel dimulai, sehingga apabila
terjadi kesalahan dalam pengkodean DNA maka akan berdampak pada
kesalahan tingkat seluler dan mengakibatkan malfungsi organ.
Pada manusia, berlaku program genetik jam biologi di mana program
maksimal yang diturunkan adalah selama 110 tahun. Sel manusia normal
akan membelah 50 kali dalam beberapa tahun. Sel secara genetik diprogram
untuk berhenti membelah setelah mencapai 50 divisi sel, pada saat itu sel
akan mulai kehilangan fungsinya.
Teori genetika dengan kata lain mengartikan bahwa proses menua
merupakan hal yang tidak dapat dihindari dan akan semakin terlihat bila usia
semakin bertambah. Teori ini juga bergantung dari dampak lingkungan pada
tubuh yang dapat mempengaruhi susunan molekular.
b; Teori Wear And Tear (Dipakai dan Rusak)
Teori Wear And Tear mengajukan akumulasi sampah metabolik atau zat
nutrisi dapat merusak sintesis DNA. August Weissmann berpendapat bahwa
sel somatik nomal memiliki kemampuan yang terbatas dalam bereplikasi dan
menjalankan fungsinya. Kematian sel terjadi karena jaringan yang sudah tua
tidak beregenerasi. Teori wear and tear mengungkapkan bahwa organisme
memiliki energi tetap yang terseddia dan akan habis sesuai dengan waktu
yang diprogramkan.
c; Teori Rantai Silang
Teori rantai silang mengatakan bahwa struktur molekular normal yang
dipisahkan mungkin terikat bersama-sama melalui reaksi kimia. Agen rantai
silang yang menghubungkan menempel pada rantai tunggal. dengan
bertambahnya usia, mekanisme pertahanan tubuh akan semakin melemah,
dan proses cross-link terus berlanjut sampai terjadi kerusakan. Hasil akhirnya
adalah akumulasi silang senyawa yang menyebabkan mutasi pada sel,
ketidakmampuan untuk menghilangkan sampah metabolik.
d; Riwayat Lingkungan
6
Menurut teori ini, faktor yang ada dalam lingkungan dapat membawa
perubahan dalam proses penuaan. Faktor-faktor tersebut merupakan
karsinogen dari industri, cahaya matahari, trauma dan infeksi.
e; Teori Imunitas
Teori imunitas berhubungan langsung dengan proses penuaan. Selama
proses penuaan, sistem imun juga akan mengalami kemunduran dalam
pertahanan terhadap organisme asing yang masuk ke dalam tubuh sehingga
pada lamsia akan sangat mudah mengalami infeksi dan kanker. Perubahan
sistem imun ini diakibatkan perubahan pada jaringan limfoid sehingga tidak
adanya keseimbangan dalam sel T intuk memproduksi antibodi dan kekebalan
tubuh menurun.
Pada sistem imun akan terbentuk autoimun tubuh. Perubahan yang
terjadi merupakan pengalihan integritas sistem tubuh untuk melawan sistem
imun itu sendiri.
f; Teori Lipofusin dan Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan contoh produk sampah metabolisme yang
dapat menyebabkan kerusakan apabila terjadi akumulasi. Normalnya radikal
bebas akan dihancurkan oleh enzim pelindung, namun beberapa berhasil lolos
dan berakumulasi di dalam organ tubuh. Radikal bebas yang terdapat di
lingkungan seperti kendaraan bermotor, radiasi, sinar ultraviolet,
mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan.
Radikal bebas tidak mengandung DNA. Oleh karena itu, radikal bebas
dapat menyebabkan gangguan genetik dan menghasilkan produk-produk
limbah yang menumpuk di dalam inti dan sitoplasma. Ketika radikal bebas
menyerang molekul, akan terjadi kerusakan membran sel; penuaan
diperkirakan karena kerusakan sel akumulatif yang pada akhirnya
mengganggu fungsi.
Dukungan untuk teori radikal bebas ditemukan dalam lipofusin, bahan
limbah berpigmen yang kaya lemak dan protein. Peran lipofusin pada
penuaan mungkin kemampuannya untuk mengganggu transportasi sel dan
replikasi DNA. Lipofusin, yang menyebabkan bintik-bintik penuaan, adalah
dengan produk oksidasi dan oleh karena itu tampaknya terkait dengan radikal
bebas.
g; Teori Neuroendokrin
Teori neuroendokrin merupakan teori yang mencoba menjelaskan
tentang terjadinya proses penuaan melalui hormon. Penuaan terjadi karena
7
adanya keterlambatan dalam sekresi hormon tertentu sehingga berakibat pada
sistem saraf.
Hormon dalam tubuh berperan dalam mengorganisasi organ-organ tubuh
melaksanakan tugasnya dam menyeimbangkan fungsi tubuh apabila terjadi
gangguan dalam tubuh.
Pengeluaran hormon diatur oleh hipotalamus dan hipotalamus juga
merespon tingkat hormon tubuh sebagai panduan untuk aktivitas hormonal.
Pada lansia, hipotalamus kehilangan kemampuan dalam pengaturan dan
sebagai reseptor yang mendeteksi hormon individu menjadi kurang sensitif.
Oleh karena itu, pada lansia banyak hormon yang tidak dapat dapat disekresi
dan mengalami penurunan keefektivitasan.
Penerunan kemampuan hipotalamus dikaitkan dengan hormon kortisol.
Kortisol dihasilkan dari kelenjar adrenal (terletak di ginjal) dan kortisol
bertanggung jawab untuk stres.
Hal ini dikenal sebagai salah satu dari beberapa hormon yang meningkat
dengan usia. Jika kerusakan kortisol hipotalamus, maka seiring waktu
hipotalamus akan mengalami kerusakan. Kerusakan ini kemudian dapat
menyebabkan ketidakseimbangan hormon sebagai hipotalamus kehilangan
kemampuan untuk mengendalikan sistem.
h; Teori Organ Tubuh (Single Organ Theory)
Teori penuaan organ tunggal dilihat sebagai kegagalan penyakit yang
berhubungan dengan suatu organ tubuh vital. orang meninggal karena
penyakit atau keausan, menyebabkan bagian penting dari tubuh berhenti
fungsi sedangkan sisanya tubuh masih mampu hidup. Teori ini berasumsi
bahwa jika tidak ada penyakit dan tidak ada kecelakaan, kematian tidak akan
terjadi.
i; Teori Umur Panjang dan Penuaan (Longevity and Senescence Theories)
Palmore (1987) mengemukakan dari beberapa hasil studi, terdapat
faktor-faktor tambahan berikut yang dianggap berkontribusi untuk umur
panjang: tertawa; ambisi rendah, rutin setiap hari, percaya pada Tuhan;
hubungan keluarga baik, kebebasan dan kemerdekaan; terorganisir, perilaku
yang memiliki tujuan, dan pandangan hidup positif.
Wacana yang timbul dari teori ini adalah sindrom penuaan merupakan
sesuatu yang universal, progresif, dan berakhir dengan kematian.
j; Teori Harapan Hidup Aktif dan Kesehatan Fungsional
Penyedia layanan kesehatan juga tertarik dalam masalah ini karena
kualitas hidup tergantung secara signifikan berkaitan dengan tingkat fungsi.
8
pendekatan fungsional perawatan pada lansia menekankan pada hubungan
yang kompleks antara biologis, sosial, dan psikologis yang mempengaruhi
kemampuan fungsional seseorang dan kesejahteraannya.
k; Teori Medis (Medical Theories)
Teori medis geriatri mencoba menjelaskan bagaimana perubahan
biologis yang berhubungan dengan proses penuaan mempengaruhi fungsi
fisiologis tubuh manusia. Biogerontologi merupakan subspesialisasi terbaru
yang bertujuan menentukan hubungan antara penyakit tertentu dan proses
penuaan. Metode penelitian yang lebih canggih telah digunakan dan banyak
data telah dikumpulkan dari subjek sehat dalam studi longitudinal, beberapa
kesimpulan menarik dari penelitian tiap bagian berbeda.
2; Teori Sosiologi
Teori sosiologi merupakan teori yang berhubungan dengan status hubungan
sosial. Teori ini cenderung dipengaruhi oleh dampak dari luar tubuh.
a; Teori Kepribadian
Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan psikologis
tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia. Teori
pengembangan kepribadian yang dikembangkan oleh Jung menyebutkan
bahwa terdapat dua tipe kepribadian yaitu introvert dan ekstrovert. Lansia
akan cenderung menjadi introvert kerenan penurunan tanggungjawab dan
tuntutan dari keluarga dan ikatan sosial.
b; Teori Tugas Perkembangan
Tugas perkembangan merupakan aktivitas dan tantangan yang harus
dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam hidupnya untuk
mencapai penuaan yang sukses.pada kondisi tidak danya pencapaian perasaan
bahwa ia telah menikmati kehidupan yang baik, maka lansia tersebut berisiko
untuk memiliki rasa penyeselan atau putus asa.
c; Teori Disengagement (Penarikan Diri)
Teori ini menggambarkan penarikan diri oleh lansia dari peran
masyarakat dan tanggung jawabnya. Lansia akan dikatakan bahagia apabila
kontak sosial telah berkurang dan tanggungjawab telah diambil oleh generasi
yang lebih muda. Manfaat dari pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah
agar dapat menyediakan waktu untuk mengrefleksi kembali pencapaian yang
telah dialami dan untuk menghadapi harapan yang belum dicapai.
d; Teori Aktivitas
Teori ini berpendapat apabila seorang lansia menuju penuaan yang
sukses maka ia harus tetap beraktivitas.kesempatan untuk turut berperan
9
dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi
dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia.
Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya fungsi peran lansia secara negatif
mempengaruhi kepuasan hidup, dan aktivitas mental serta fisik yang
berkesinambungan akan memelihara kesehatan sepanjang kehidupan.
e; Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas mencoba menjelaskan mengenai kemungkinan
kelanjutan dari perilaku yang sering dilakukan klien pada usia dewasa.
Perilaku hidup yang membahayakan kesehatan dapat berlangsung hingga usia
lanjut dan akan semakin menurunkan kualitas hidup.
f; Teori Subkultur
Lansia, sebagai suatu kelompok, memiliki norma mereka sendiri,
harapan, keyakinan, dan kebiasaan; karena itu, mereka telah memiliki
subkultur mereka sendiri. Teori ini juga menyatakan bahwa orang tua kurang
terintegrasi secara baik dalam masyarakat yang lebih luas dan berinteraksi
lebih baik di antara lansia lainnya bila dibandingkan dengan orang dari
kelompok usia berbeda. Salah satu hasil dari subkultur usia akan menjadi
pengembangan "kesadaran kelompok umur" yang akan berfungsi untuk
meningkatkan citra diri orang tua dan mengubah definisi budaya negatif dari
penuaan.
3; Teori Psikologis
Teori psikologis merupakan teori yang luas dalam berbagai lingkup karena
penuaan psikologis dipengaruhi oleh faktor biologis dan sosial, dan juga
melibatkan penggunaan kapasitas adaptif untuk melaksanakan kontrol perilaku
atau regulasi diri.
a; Teori Kebutuhan Manusia
Banyak teori psikologis yang memberi konsep motivasi dan kebutuhan
manusia. Teori Maslow merupakan salah satu contoh yang diberikan pada
lansia. Setiap manusia yang berada pada level pertama akan mengambil
prioritas untuk mencapai level yang lebih tinggi; aktualisasi diri akan terjadi
apabila seseorang dengan yang lebih rendah tingkat kebutuhannya terpenuhi
untuk beberapa derajat, maka ia akan terus bergerak di antara tingkat, dan
mereka selalu berusaha menuju tingkat yang lebih tinggi.
b; Teori Keberlangsungan Hidup dan Perkembangan Kepribadian
Teori keberlangsungan hidup menjelaskan beberapa perkembangan
melalui berbagai tahapan dan menyarankan bahwa progresi sukses terkait
dengan cara meraih kesuksesan di tahap sebelumnya. ada empat pola dasar
10
kepribadian lansia: terpadu, keras-membela, pasif-dependen, dan tidak
terintegrasi (Neugarten et al.).
Teori yang dikemukakan Erik Erikson tentang delapan tahap hidup telah
digunakan secara luas dalam kaitannya dengan lansia. Ia mendefinisikan
tahap-tahap kehidupan sebagai kepercayaan vs ketidakpercayaan, otonomi vs
rasa malu dan keraguan, inisiatif vs rasa bersalah, industri vs rendah diri,
identitas vs difusi mengidentifikasi, keintiman vs penyerapan diri,
generativitas vs stagnasi, dan integritas ego vs putus asa. Masing-masing pada
tahap ini menyajikan orang dengan kecenderungan yang saling bertentangan
dan harus seimbang sebelum dapat berhasil dari tahap itu. Seperti dalam teori
keberlangsungan hidup lain, satu tahapan menentukan langkah menuju
tahapan selanjutnya.
c; Recent and Evolving Theories
Teori kepribadian genetik berupaya menjelaskan mengapa beberapa
lansia lebih baik dibandingkan lainnya.; hal ini tidak berfokus pada perbedaan
dari kedua kelompok tersebut.
Meskipun didasarkan pada bukti empiris yang terbatas, teori ini
merupakan upaya yang menjanjikan untuk mengintegrasikan dan
mengembangkan lebih lanjut beberapa teori psikologi tradisional dan baru
bagi lansia. Tema dasar dari teori ini adalah perilaku bifurkasi atau
percabangan dari seseorang di berbagai aspek seperti biologis, sosial, atau
tingkat fungsi psikososial. Menurut teori ini, penuaan didefinisikan sebagai
rangkaian transformasi terhadap meningkatnya gangguan dan ketertiban
dalam bentuk, pola, atau struktur.
11
tahun hanya menjadi sekitar 300 ml/menit. Pengurangan dari aliran darah
ginjal terutama berasal dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal mungkin
sebagai hasil dari kombinasi pengurangan curah jantung dan perubahan dari
hilus besar, arcus aorta dan arteri interlobaris yang berhubungan dengan usia.
Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi
glomerulus (GFR). Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat
12
disebabkan karena total aliran darah ginjal dan pengurangan dari ukuran dan
jumlah glomerulus. Pada beberapa penelitian yang menggunakan bermacam-
macam metode, menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah usia remaja
hingga usia 30-35 tahun, kemudian menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73
m2/dekade.
Penurunan bersihan kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan
peningkatan konsentrasi kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari
pengeluaran kreatinin di urin) menurun sejalan dengan penurunan bersihan
kreatinin.
Untuk menilai GFR/creatinine clearance rumus di bawah ini cukup
akurat bila digunakan pada usia lanjut.
Cretinine Clearance (pria) = (140 umur) x BB (kg) ml/menit
72 x serum cretinine (mg/dl)
Cratinine Clearance (wanita) = 0,85 x cc pria
13
Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada
peningkatan usia maka pengaturan metabolisme air menjadi terganggu yang
sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah total air dalam tubuh menurun sejalan
dengan peningkatan usia. Penurunan ini lebih berarti pada perempuan
daripada laki-laki, prinsipnya adalah penurunan indeks massa tubuh karena
terjadi peningkatan jumlah lemak dalam tubuh. Pada lanjut usia, untuk
mensekresi sejumlah urin atau kehilangan air dapat meningkatkan osmolaritas
cairan ekstraseluler dan menyebabkan penurunan volume yang
mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang mengatur
perasaan haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di
hypothalamus.
Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang bila
dibandingkan dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga
berkurang, Kemampuan ginjal pada kelompok lanjut usia untuk mencairkan
dan mengeluarkan kelebihan air tidak dievaluasi secara intensif. Orang
dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih dari air yang diminum (20
ml/kgBB) dalam 5 jam.
2; Perubahan Pada Sistem Gastrointestinal Pada Lansia
a; Mulut
Bagian rongga mulut yang lazim terpengaruh adalah gigi, gusi, dan lidah.
Kehilangan gigi penyebab utama adanya Periodontal disease yang biasa
terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang
buruk dan gizi yang buruk. Indera pengecap menurun disebabkan adanya
iritasi kronis dari selaput lendir, atropi indera pengecap ( 80 %), hilangnya
sensitivitas dari syaraf pengecap di lidah terutama rasa manis dan asin,
hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap tentang rasa asin, asam, dan pahit
(Nugroho, 2008).
b; Esofagus
Esophagus mengalami penurunan motilitas, sedikit dilatasi atau
pelebaran seiring penuaan. Sfingter esophagus bagian bawah (kardiak)
kehilangan tonus. Refleks muntah pada lansia akan melemah, kombinasi dari
faktor-faktor ini meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pada lansia
(Luecknotte, 2000).
c; Lambung
Terjadi atrofi mukosa. Atrofi dari sel kelenjar, sel parietal dan sel chief
akan menyebabkan sekresi asam lambung, pepsin dan faktor intrinsik
berkurang. Ukuran lambung pada lansia menjadi lebih kecil, sehingga daya
14
tampung makanan menjadi berkurang. Proses perubahan protein menjadi
peptone terganggu. Karena sekresi asam lambung berkurang rangsang lapar
juga berkurang (Darmojo & Martono, 2006). Kesulitan dalam mencerna
makanan adalah akibat dari atrofi mukosa lambung dan penurunan motalitas
lambung. Atrofi mukosa lambung merupakan akibat dari penurunan sekresi
asam hidrogen-klorik (hipoklorhidria), dengan pengurangan absorpsi zat besi,
kalsium, dan vitamin B 12. Motilitas gaster biasanya menurun, dan
melambatnya gerakan dari sebagian makanan yang dicerna keluar dari
lambung dan terus melalui usus halus dan usus besar (Stanley, 2007).
d; Usus halus
Mukosa usus halus juga mengalami atrofi, sehingga luas permukaan
berkurang, sehingga jumlah vili berkurang dan sel epithelial berkurang. Di
daerah duodenum enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan empedu juga
menurun, sehingga metabolisme karbohidrat, protein, vitamin B12 dan lemak
menjadi tidak sebaik sewaktu muda (Leueckenotte, 2000).
e; Usus besar dan rektum
Pada lansia terjadi perubahan dalam usus besar termasuk penurunan
sekresi mukus, elastisitas dinding rektum, peristaltic kolon yang melemah
gagal mengosongkan rektum yang dapat menyebabkan konstipasi
(Leueckenotte, 2000).
Pada usus besar kelokan-kelokan pembuluh darah meningkat sehingga
motilitas kolon menjadi berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan absorpsi
air dan elektrolik meningkat (pada kolon sudah tidak terjadi absorpsi
makanan), feses menjadi lebih keras, sehingga keluhan sulit buang air besar
merupakan keluhan yang sering didapat pada lansia. Proses defekasi yang
seharusnya dibantu oleh kontraksi dinding abdomen juga seringkali tidak
efektif karena dinding abdomen sudah melemah . (Darmojo & Martono,
2006).
f; Pankreas
Produksi enzim amilase, tripsin dan lipase akan menurun sehingga
kapasitas metabolisme karbohidrat, protein dan lemak juga akan menurun.
Pada lansia sering terjadi pankreatitis yang dihubungkan dengan batu
empedu. Batu empedu yang menyumbat ampula Vateri akan menyebabkan
oto-digesti parenkim pankreas oleh enzim elastase dan fosfolipase-A yang
diaktifkan oleh tripsin dan/ atau asam empedu (Darmojo & Martono, 2006)
g; Hati
15
Hati berfungsi sangat penting dalam proses metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak. Disamping juga memegang peranan besar dalam proses
detoksikasi, sirkulasi, penyimpanan vitamin, konjugasi billirubin dan lain
sebagainya. Dengan meningkatnya usia, secara histologik dan anatomik akan
terjadi perubahan akibat atrofi sebagiab besar sel, berubah bentuk menjadi
jaringan fibrous. Hal ini akan menyebabkan penurunan fungsi hati (Darmojo
& Martono, 2006).
Proses penuaan telah mengubah proporsi lemak empedu tanpa perubahan
metabolisme asam empedu yang signifikan. Faktor ini memengaruhi
peningkatan sekresi kolesterol. Banyak perubahan-perubahan terkait usia
terjadi dalam sistem empedu yang juga terjadi pada pasien-pasien yang
obesitas (Stanley, 2007).
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat
pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium
teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap
kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya
16
inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten,
seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula
menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan
urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin.
Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya
inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan
insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian
mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam
obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium
Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik,
antikolinergik dan diuretic.
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut
reversible dapat dilihat akronim di bawah ini :
a; Delirium
b; Restriksi mobilitas, retensi urin
c; Infeksi, inflamasi, Impaksi
d; Poliuria, pharmasi
2; Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara,
meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek
klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi
dan intervensi klinis. Kategori klinis meliputi :
a; Inkontinensia urin stress
17
urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar
dapat sedikit atau banyak.
b; Inkontinensia urin urgensi
18
lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi,
dan faktor psikologis.
Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai
gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia
urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua
komponen.
2; Eliminasi Bowel
a; Inkontinesia Alvi
1; Definisi
Inkontinensia alvi adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari,
dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah
gangguan kesehatan dan/atau sosial.
Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan
dan mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat.
Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang
air besar, menyebabkan feses bocor tak terduga dari dubur. Inkonteinensia
alvi juga disebut inkontinensia usus. Inkontinensia alvi berkisar dari terjadi
sesekali saat duduk hingga sampai benar-benar kehilangan kendali.
Inkontinensia alvi adalah keadaan individu yang mengalami
perubahan kebiasaan dari proses defekasi normal mengalami proses
pengeluaran feses tak disadari,atau hilangnya kemampuan otot untuk
mengontrol pengeluaran feses dan gas melalui spingter akibat kerusakan
sfingter.
2; Faktor Faktor yang Mempengaruhi Inkontinensia Alvi
a; Usia
Pada usia lanjut control defekasi menurun
b; Diet
Makanan berserat dapat mempercepat produksi feses,banyaknya
makanan yang masuk ke dalam tubuh juga mempengaruhi proses
defekasi
c; Aktivitas
Tonus oto abdomen,pelvis dan diafragma akan sangat membantu
proses defekasi, gerakan peristaltic akan memudahkan bahan feses
bergerak sepanjang kolon
d; Fisiologis
19
Keadaan cemas, takut, dan marah akan meningkatkan peristaltic
sehingga meningkatkan inkontenensia.
e; Gaya hidup
Kebiasaan untuk melatik buang air besar, fasilitas bab dan kebiasaan
menahan bab mempengaruhi inkontenensia
f; Proses diagnosis
Klien yang akan dilakukan prosedur diagnostic biasanya dipuasakan
atau dilakukan klisma dahulu agar tidak dapat bab kecuali setelah
makan.
g; Kerusakan sensorik dan motorik
Kerusakan spinal kord dan injuri kepala akan menimbulkan kerusaka
stimulus sensori untuk bab.
3; Etiologi
Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah
sembelit, penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti
dimensia dan stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati
diabetik, dan kerusakan sfingter rektum.
Penyebab inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi empat kelompok
(Brock Lehurst dkk, 1987; Kane dkk,1989):
a; intra abdomen dan prolaps dari rektum.
Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya Inkontinensia alvi akibat
konstipasi.
Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan
atau impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Massa feses
yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari
anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal.
Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara
flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes
keluar (broklehurst dkk, 1987).
Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa
rektum dan terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya
melalui sela sela dari feses yang impaksi akan keluar dan terjadi
inkontinensia alvi (kane dkk, 1989).
20
Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan
klinis dari macam macam kelainan patologik yang dapat
menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya
perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol
yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan
gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus
dan feses yang cair (broklehurst dkk, 1987)
Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah
obat obatan, antara lain yang mengandung unsur besi, atau memang
akibat pencahar (broklehurst dkk, 1987: Robert Thomson)
c) Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses
defekasi (inkontinensia neurogenik).
Inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguann fungsi
menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan atau distensi
rektum. Proses normal dari defekasi melalui reflek gastro-kolon.
Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan
menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rekum.
Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti
halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum
pada orang dewasa normal, karena ada inbisi atau hambatan dari pusat
di korteks serebri (broklehurst dkk, 1987).
d) Inkontinensia alvi karena hilangnya reflek anal
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya refleks anal,
disertai kelemahan otot-otot seran lintang.
Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh
broklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit unit yang
berfungsi motorik pada otot otot daerah sfingter dan pubo-rektal,
keadaan ini menyebabkan hilangnya reflek anal, berkurangnya sensasi
pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat
inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan diserahkan pada ahli
progtologi untuk pengobatannya (broklehurst dkk, 1987).
4; Gambaran klinis
a; Klinis inkontinensia alvi tampak dalam 2 keadaan:
21
Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar
merembes
Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali perhari,
dipakaian atau ditempat tidur.
b; Gejalanya antara lain:
Tidak dapat mengendalikan gas atau kotoran, yang mungkin cair
atau padat, dari perut
Tidak sempat ke toilet untuk tidak berak di celana.
Berkuragnya pengontrolan oleh usus
Pengeluaran feses yang tidak dikehendaki
b; Konstipasi
1; Definisi
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air
besar, biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-
kecil dan keras dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat
buang air besar (NIDDK, 2000).
Konstipasi adalah suatu keluhan, bukan penyakit (Holson, 2002;Azer,
2001). Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena
sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu
(Azer,2001). Penggunaan istilah konstipasi secara keliru dan belum adanya
definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini (Hamdy,
1984). Sedangkan batasan dari konstipasi klinik yang sesungguhnya
adalah ditemukannya sejumlah feses pada kolon, rektum atau keduanya
yang tampak pada foto polos perut (Harari, 1999).
Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan
frekuensi buang air besar, kesulitan dalam mengeluarkan feses, atau
perasaan tidak tuntas ketika buang air besar. Studi epidemiologik
menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan dengan usia terutama
berdasarkan keluhan penderita dan bukan karena konstipasi klinik. Banyak
orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar setiap hari.
Sering ada perbedaan pandangan antara dokter dan penderita tentang arti
konstipasi (cheskin dkk, 1990).
2; Etiologi
Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpukan
sensasi saraf, tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam
menanggapi sinyal untuk defekasi. Konstipasi merupakan masalah umum
22
yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan
kekuatan dan tonus otot.
23
meningkatnya frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali sehari, dengan
kandungan air yang berlebihan (>90%) dan melebihi 200 gram/hari.
Diare dapat menjadi lebih parah jika feses yang dikeluarkan pasien
mengandung lendir dan darah, pasien seperti ini telah mengalami fase yang
disebut dengan disentri. Kondisi seperti ini dapat merupakan gejala dari luka,
penyakit, alergi, penyakit dari makanan atau kelebihan vitamin C dan
biasanya disertai sakit perut, dan sering merasa mual dan muntah.
Diare terjadi karena ketika cairan yang tidak mencukupi diserap oleh
usus besar. Sebagai bagian dari proses digestasi, atau karena masuknya cairan
berlebihan, sehingga makanan akan tercampur dengan sejumlah besar air,
oleh karena itu makanan yang dicerna terdiri dari cairan sebelum mencapai
usus besar, dan usus besar hanya menyerap air yang terkandung saja dan
meninggalkan kotoran dalam bentuk setengah padat.
1; Macam-macam Gejala Diare
a; Umum
Selain menimbulkan rasa tidak nyaman, rasa malu karena sering
ketoilet dan terganggunya aktivitas sehari-hari,diare yang berat juga
dapat menyebabkan kehilangan cairan (dehidrasi) dan kehilangan
elektrolit seperti natrium, kalium,magnesium dan klorida. Jika
sejumlah besar cairan dan elektrolit hilang, tekanan darah akan turun
dan dapat menyebabkan pingsan, denyut jantung tidak normal
(aritmia) dan kelainan serius lainnya. Resiko ini terjadi terutama pada
anak-anak, orang tua,orang dengan kondisi lemah dan penderita diare
yang berat. Hilangnya bikarbonat bisa menyebabkan asidosis, suatu
gangguan keseimbangan asam-basa dalam darah.
b; Akut
Infeksi bisa terjadi secara tiba-tiba menyebabkan diare, muntah, tinja
berdarah, demam, penurunan nafsu makan / kelesuhan.
Diare seringkali disertai oleh dehidrasi (kekurangan cairan).
Dehidrasi ringan hanya menyebabkan bibir kering.
Dehidrasi sedang meliputi kulit keriput, mata dan ubun-ubun
menjadi cekung.
Tanda-tanda dehidrasi :
Penurunan berat badan.
Penurunan frekuensi berkemih.
24
Warna air kemih menjadi lebih gelap dan lebih pekat-denyut nadi
cepat.
Diare bisa menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit (misalnya
natrium dan kalium) sehingga bayi menjadi rewel, terjadi gangguan
irama jantung.
c; Kronik
Gejala umum berupa diare yang dapat berlangsung lama berminggu-
minggu atau berbulan-bulan baik secara menetap atau berulang,
kadang-kadang bercampur darah, lender, lemak, dan berbuih.
2; Faktor faktor yang menyebabkan diare pada lanjut usia
d; Salmonella
25
Adalah bakteri yang banyak tersebar di saluran pencernaan burung,
reptil dan mamalia. Salmonella dapat menyebar ke manusia melalui
pelbagai makanan yang merupakan hasil ternak. Penyakit yang
disebabkannya, salmonellosis khususnya termasuk demam, diare dan
nyeri daerah abdomen. Pada orang-orang yang memiliki daya tahan
tubuh yang sangat rendah, bakteri salmonella dapat menginvasi aliran
darah dan menyebabkan infeksi yang mengancam jiwa.
e; E. Coli O157:H7
Adalah bakteri patogen yang bersarang pada ternak dan sejenisnya.
Penyakit yang terjadi pada manusia umumnya terjadi setelah
mengkonsumsi air dan makanan yang telah terkontaminasi tinja sapi.
Gejala yang terjadi umumnya adalah diare parah yang mengandung
darah, serta nyeri pada abdomen tanpa banyak demam. Pada 3%-5%
dari kasus, dapat timbul komplikasi yang disebut hemolyctic uremic
syndrome (HUS) beberapa minggu setelah gejala pertama. Komplikasi
parah ini termasuk anemia sementara, perdarahan hebat dan kegagalan
pada ginjal.
f; Calicivirus atau Norwalk-like virus
Adalah penyebab umum lain dari foodborne illness, walaupun jarang
terdiagnosa akibat tidak tersedianya tes laboratorium secara luas.
Calicivirus menyebabkan nyeri akut pada saluran pencernaan, ditandai
dengan muntah yang lebih utama dari diare, yang biasanya sembuh
dalam dua hari. Berbeda dengan bakteri patogen lain yang berdiam di
tubuh binatang, penyebaran utama Calicivirus adalah melalui manusia
yang terinfeksi. Pekerja dapur yang terinfeksi dapat mencemari salad
ataupun sandwich yang dipersiapkannya jika virus terdapat di tangan
mereka. Nelayan yang terinfeksi mencemari tiram saat mereka
membiakannya.
26
menyebabkan diare adalah tangan yang kotor, makanan dan minuman yang
terkontaminasi virus dan bakteri, kontak langsung dengan feses dan
material yang menyebabkan diare.
D; ASUHAN KEPERAWATAN
1; Eliminasi Urin
a; Pengkajian
1; Riwayat Keperawatan
a; Urine. Warna : Normal kuning jernih. Bau : Normal aromatik amonia.
Pada overhidrasi hampir tidak berwarna
Pada dehidrasi orange-kecoklatan.
b; Jumlah urine bervariasi tergantung intake. Normal 1 x BAK 250-400
ml.
c; Distensi kandung kemih inkontinensia (tidak dapat menahan BAK)
d; Frekuensi BAK, tekanan dan desakan.
e; Kondisi-kondisi tertentu misalnya :
Disuria, keadaan nyeri waktu BAK.
Nokturia, keadaan BAK sering pada malam hari.
Enurisis, keadaan sadar BAK (umumnya pada anak-anak).
Polyurie, peningkatan jumlah BAK baik frekuensi maupun volume.
Oliguri, penurunan jumlah BAK frekuensi/jumlahnya.
Anuri, produksi urine <100 /hari.
Retensio, ketidakmampuan mengosongkan bladder, misalnya :
karena obstruksi saluran urethra.
2; Pemeriksaan Fisik
a; Abdomen
Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi kandungan
kemih, pembesaran ginjal, nyeri tekan, tenderness, bising usus.
27
b; Genetalia wanita
Inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, dan keadaan atrofi
jaringan vagina.
c; Genetalia laki-laki
b; Diagnosa Keperawatan
28
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Inkontinensia stress
Kurangi faktor penyebab seperti :
a; Kehilangan jaringan atau tonus otot,
dengan cara :
Ajarkan untuk mengidentifikasi
29
otot dasar pelviks dan kekuatan
dan kelemahannya saat
melakukan latihan
Untuk otot dasar pelviks anterior
bayangkan anda mencoba
menghentikan aliran urine,
kencangkan otot-otot belakang
dan depan dalam waktu 10 detik,
kemudian lepaskan atau rileks,
ulangi hingga 10 kali dan lakukan
4 kali sehari
b; Meningkatkan tekanan abdomen
dengan cara :
Latih untuk menghindari duduk
lama
Latih untuk sering berkemih
sedikitnya tiap 2 jam
Inkontinensia fungsional
Ajarkan teknik merangsang refleks
berkemih, dengan berkemih seperti :
a; Ketuk supra pubis secara dalam,
tajam dan berulang
b; Anjurkan pasien untuk :
Posisi setengah duduk
Mengetuk kandung kemih secara
langsug denga rata-rata 7 8 kali
setiap detik
Gunakan sarung tangan
Pindahkan sisi rangsangan di atas
kandung kemih untuk menentukan
posisi saling berhasil
Lakukan hingga aliran baik
Tunggu kurang lebih 1 menit dan
ulangi hingga kandung kemih
30
kosong
Apabila rangsangan dua kali lebih
dan tidak ada respon, berarti sudah
tidak ada lagi yang dikeluarkan
c; Apabila belum berhasil, lakukan
hal berikut ini selama 2- 3 menit
dan berikan jeda waktu 1 menit di
antara setiap kegiatan
Tekan gland penis
Pukul perut di atas ligamen
inguinalis
Tekan paha bagian dalam
d; Catat jumlah asupan dan
pengeluaran
e; Jadwalkan program kateterisasi
pada saat tertentu
Diagnosa Keperawatan
Rencana keperawatan
31
b. Distensi kandung kemih ; Tidak ada residu urine - Stimulasi reflek bladder dengan
c. Hipertrofi prostat >100-200 cc kompres dingin pada abdomen.
d. Kanker
; Intake cairan dalam - Kateterisaai jika perlu
e. Infeksi saluran kemih
rentang normal
f. Pembedahan besar - Monitor tanda dan gejala ISK
abdomen ; Bebas dari ISK (panas, hematuria, perubahan bau
dan konsistensi urine)
; Tidak ada spasme
bladder
2; Eliminasi Fekal
a; Pengkajian
1; Frekwensi buang air besar pada bayi sebanyak 4 6 kali sehari ,
sedangkan orang dewasa adalah 2 3 kali per hari dengan jumlah rata-
rata pembuangan per hari adalah 150 gr
2; Status gizi
3; Pemasukan diit
4; Anorexia, tidak dicerna, mual dan muntah.
5; Mengunyah dan menelan.
6; Keadaan gigi, rahang dan rongga mulut
7; Auskultasi bising usus.
8; Palpasi apakah perut kembung, fecal.
9; Konstipasi, sudah berapa hari tidak BAB.
10; Keadaan feses :
warna hitam atau merah
berbau tidak sedap
konsistensi cair
bentuk kecil seperti pensil
terdapat darah
32
b; Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
33
NSAID, opiat, sedatif. waktu yang lama
o Fisiologis: perubahan
pola makan dan jenis
makanan, penurunan
motilitas gastrointestnal,
dehidrasi, intake serat
dan cairan kurang,
perilaku makan yang
buruk
DS:
- Nyeri perut
- Ketegangan perut
- Anoreksia
- Nyeri kepala
- Peningkatan tekanan
abdominal
- Mual
34
- Defekasi dengan nyeri
DO:
- Penurunan frekuensi
BAB
- Distensi abdomen
- Feses keras
- Bising usus
hipo/hiperaktif
- Perkusi tumpul
- Sering flatus
- Muntah
35
Diare NOC: NIC :
36
BAB III
PENUTUP
A; KESIMPULAN
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine
atau bowel (feses). Masalah eliminasi urine yaitu: retensi, inkotinensia urine,
37
eneuresis, urgency, dysuria, polyuria, urinari suppresi sedangkan masalah eliminasi
fekal yaitu: konstipasi, impaction, diare, inkotinensia fekal, flatulens dan hemoroid.
Perubahan pola eliminasi mengakibatkan ketidaknyamanan, malu dan distress
bagi lansia. Langkah penting pertama dalam membantu lansia yang mengalami
masalah eliminasi adalah mengkaji apakah terdapat masalah eliminasi dan
pengkajian terperinci beserta faktor yang dapat menyebabkan masalah eliminasi pada
lansia berfungsi sebagai dasar intervensi. Perawat dapat memberikan anjuran tentang
modifikasi diet, perubahan gaya hidup, dan rutinitas eliminasi yang dapat
memperbaiki eliminasi mereka.
B; SARAN
DAFTAR PUSTAKA
1; Abcarian, 2007. The ASCRS Textbook of Colon and Rectal Surgery. Online
available:
http://eprints.undip.ac.id/37425/1/Bifirda_Ulima,_G2A008038,_LAP.pdf
38
2; Annemarie. Urinary Incontinence Assessment in Older Adults. AJN. February
2009 . Vol. 109, No. 2.
3; Boedhi-Darmojo, 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Edisi 4, Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
4; Constantinides P. 1994. In General Pathobiology, Appleton & Lange.
5; Darmojo dan Martono. (2006). Geriatri. Jakarta : Yudistira.
6; Departemen Sosial 2008. Jangan Sia-siakan Lansia. Arsip Berita:
www.kemsos.go.id. Diakses pada tanggal 5 September 2016.
7; Lueckenotte, A.G. (2000). Gerontologic Nursing. (2nd ed.). Missouri : Mosby.
8; Marti, dkk. Pengaruh Latihan Otot Dasar Panggul pada Perempuan Lanjut Usia
dengan Gangguan Inkontinensia Urin. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume
4, No 2,November 2015, hlm 82- 196.
9; Meridien, L., & Maas. 2011. Asuhan Keperawatan Geriatrik. Jakarta: Buku
Kedokteran. EGC.
10; Momokazu. Quality of Life Assessment for Patients with Urinary Incontinence.
Nagoya J. Med. Sci. 69. 123 -131.
11; Nahon, dkk. Assessing muscle function of the male pelvic floor using real-time
ultrasound. Journal of the Association of Chartered Physiotherapists in Womens
Health, Spring 2012, 110, 1723.
12; NIDDK (National Istitue of Diabetes and Digestive and Kidney Disease). 2000.
Understanding Adult Obesity, [Online]. Dari:
http://win.niddk.nih.gov/publications/understanding.htm. [15 Januari 2008]
13; Nugroho, W. 2000. Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta : EGC
14; Stanley, Mickey & Patricia, 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
15; Suryana, Nandan. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatrik: Diagnosis Nanda,
Kriteria Hasil, NOC, & Intervensi NIC. Alih Bahasa Renata Komalasari, dkk.
Jakarta: EGC
16; Wahyudi nugroho,(2008) Gerontik dan geriatric,EGC,Jakarta.
17; Watson, R. 2003. Perawatan pada Lansia. Jakarta : EGC
18; World Health Organization. 2003. The Health-Care Challenges Posed By
Population Ageing. Bulletin of the World Health Organization:
www.who.int.Diakses pada tanggal 5 september 2016.
39
40