Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN MAKALAH KELOMPOK 6

NAMA ANGGOTA KELOMPOK:


1.MASAYU LAELA NUR FITRIA
2.MOH. FATHONI
3.NIA MEDIAWATI
4.YENI SAFITRI
5.RIZAL DILIANTO

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PRODI KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena dengan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kebutuhan Istirahat Tidur,
Aktivitas, Kebersihan Diri, dan Eliminasi Pada Lansia“ Meskipun banyak hambatan yang
kami alami dalam proses pembuatan makalah ini,namun kami mampu menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu.
Jika didalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan,maka kami
memohon maaf atasnya. Kami menyadari bahwa makalah kami jauh dari kesempurnaan.
Lebih dan kurangnya di ucapkan Terima Kasih.

Mataram, 15 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................
1.2 Tujuan..................................................................................................................
1.3 Manfaat................................................................................................................
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Lanjut Usia
2.2 Batasan Umur Lanjut Usia
2.3 Teori Proses Menua
2.4 Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
2.5 Masalah Nutrisi
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Kebutuhan Istirahat Tidur pada Lansia
3.2 Kebutuhan Aktivitas pada Lansia
3.3 Kebutuhan Kebersihan Diri pada Lansia
3.4 Kebutuhan Kebersihan Diri pada Lansia
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu prosesmenghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki
kerusakan yang diderita.
Perubahan umum kemapuan morotik pada lansia yaitu kekuatan motirik: penurunan
kekuatan yang paling nyata adalah pada kelenturan otot-otot tangan bagian depan dan
otot-otot yang menopang tegaknya tubuh. Orang berusia lanjut lebih cepat merasa lebih
dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk memulihkan diri dan keletihan dibanding
yang lebih muda.
Karakteristik lansia yaitu berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 tentang
kesehatan), kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat samapi sakit, dari
kebutuhan biopsikososial – spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaftif,
lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
Berdasarkan hasil sensus penduduk Indonesia tahun 2011 jumlah lansia sekitar 24 juta
jiwa (hampir 10% jumlah penduduk), pada tahun 2012 jumlah penduduk lansia di
Indonesia sebesar 27 juta jiwa, sedangkan tahun 2013 menunjukan lansia di Indonesia
sebesar 28 juta jiwa dari total penduduk Indonesia. Penduduk lansia ini diproyeksikan
menjadi 28,8 juta jiwa (11,34% ) dari total penduduk Indonesia pada tahun 2020, atau
menurut proyeksi Bappenas, jumlah penduduk lansia 60 tahun akan menjadi dua kali lipat
(36 juta) pada tahun 2025. Setiap tahun, jumlah lansia bertambah rata-rata 450.000 orang,
maka pada tahun 2050 diperkirakan berjumlah 60 juta lansia (Depkes RI, 2013).
Berdasarkan data BPS provinsi Sultra, jumlah penduduk Sulawesi tenggara tahun 2009
sebanyak 260.867 jiwa. Jumlah ini meningkat menjadi 289.966 jiwa pada tahun 2010.
Sedangkan tahun 2011 terjadi peningkatan yaitu menjadi 295.737 jiwa. Data lansia pada
Tahun 2015 dari bulan Januari sampai dengan Februari adalah 95 orang yang terdiri dari
49 orang laki - laki dan 46 orang perempuan, dengan rata rata umur lebih dari 60 tahun
keatas, dan latar belakang pendidikan yang hampir sama yaitu pendidikan Sekolah Dasar
(SR).
1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk Mengetahui Kebutuhan Istirahat Tidur Pada Lansia
1.2.2 Untuk Mengetahui Aktivitas pada Lansia
1.2.3 Untuk Mengetahui Kebersihan Diri pada Lansia
1.2.4 Untuk Mengetahui Eliminasi pada Lansi

1.3 Manfaat
1.3.1 Meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang kebutuhan-kebutuhan pada lansia.
1.3.2 Dapat membuat Asuhan Keperawatan pada lansia,
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian lanjut Usia
Proses menua merupakan suatu yang fisiologis, yang akan dialami oleh setiap orang.
Batasan orang dikatakan lanjut usia berdasarkan UU No 13 tahun 1998 adalah 60
tahun. Proses menua (aging process) merupakan suatu proses biologis yang tidak
dapat dihindarkan, yang akan dialami oleh setiap orang.
Menurut Paris Constantinides, 1994 Menua adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan (graduil) kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti dan
mempertahankan struktur dan fungsi secara normal, ketahanan terhadap injury
(termasuk infeksi) tidak seperti pada saat kelahirannya.
Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai dewasa, misalnya
dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan syaraf dan jaraingan lain
sehingga tubuh ‘mati’ sedikit demi sedikit. Sebenarnya tidak ada batas yang tegas,
pada usia berapa penampilan seseotang mulai menurun. Pada setiap orang, fungsi
fisiologis alat tubuhnya sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun
saat menurunnya. Namun umumnya fungsi fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada
umur 20– 30 tahun. Setelah mencapai puncak, fungsi alat tubuh akan berada dalam
kondisi tetap utuh beberapa saat, kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai
bertambahnya umur (Kemenkes RI, 2016).
B. Batasaan umur lanjut usia
Menurut oraganisasi kesehatan dunia (WHO), lanjut usia meliputi:
1. Usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
2. Lanjut usia (elderly) antara 60 – 74 tahun
3. Lanjut usia tua (old) antara 75 – 90 tahun
4. Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun
Depkes, membagi lansia sebagai berikut :
1. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 th) sebagai masa vibrilitas
2. Kelompok usia lanjut (55-64 th) sebagai presenium
3. Kelompok usia lanjut (65 th>) sebagai senium (Kemenkes RI, 2016).
C. Teori tentang Proses menua
1. Teori Biologik
a. Teori Genetik dan Mutasi
Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh
molekul /DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.
b. Pemakaian dan Rusak Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh
lelah
c. Autoimun
Pada proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus. Saat
jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga
jaringan tubuh menjadi lemah dan mati.
d. Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan. Regenerasi
jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal dan stres
menyebabkan sel-sel tubuh lelah dipakai.
e. Teori radikal bebas
Tidak stabilnya redikal bebas mengakibatkan oksidasi-oksidasi bahan bahan
organik seperti karbohidrat dan protein . radikal ini menyebabkan sel-sel tidak
dapat regenerasi (Kemenkes RI, 2016).
2. Teori Sosial
a. Teori aktifitas
Lanjut usuia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam
kegiatan sosial
b. Teori Pembebasan
Dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur angsur mulai
melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan
interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kwalitas maupun kwantitas.
Sehingga terjadi kehilangan ganda yakni :
1) Kehilangan peran
2) Hambatan kontrol sosial
3) Berkurangnya komitmen
c. Teori Kesinambungan
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan
lansia. Dengan demikian pengalaman hidup seseorang pada usatu saat
merupakan gambarannya kelak pada saat ini menjadi lansia. Pokok-pokok dari
teori kesinambungan adalah :
1) Lansia tak disarankan untuk melepaskan peran atau harus aktif dalam
proses penuaan, akan tetapi didasarkan pada pengalamannya di masa lalu,
dipilih peran apa yang harus dipertahankan atau dihilangkan.
2) Peran lansia yang hilang tak perlu diganti.
3) Lansia dimungkinkan untuk memilih berbagai cara adaptasi (Kemenkes
RI, 2016).
3. Teori Psikologi
a. Teori Kebutuhan manusia mneurut Hirarki Maslow Menurut teori ini, setiap
individu memiliki hirarki dari dalam diri, kebutuhan yang memotivasi seluruh
perilaku manusia (Maslow 11111954). Kebutuhan ini memiliki urutan
prioritas yang berbeda. Ketika kebutuhan dasar manusia sidah terpenuhi,
mereka berusaha menemukannya pada tingkat selanjutnya sampai urutan yang
paling tinggi dari kebutuhan tersebut tercapai.
b. Teori individual jung Carl Jung (1960) Menyusun sebuah terori perkembangan
kepribadian dari seluruh fase kehidupan yaitu mulai dari masa kanak-kanak ,
masa muda dan masa dewasa muda, usia pertengahan sampai lansia.
Kepribadian individu terdiri dari Ego, ketidaksadaran sesorang dan
ketidaksadaran bersama. Menurut teori ini kepribadian digambarkan terhadap
dunia luar atau ke arah subyektif. Pengalaman-pengalaman dari dalam diri
(introvert). Keseimbangan antara kekuatan ini dapat dilihat pada setiap
individu, dan merupakan hal yang paling penting bagi kesehatan mental
(Kemenkes RI, 2016).
D. Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lansia
1. Perubahan fisik
a. Sel : jumlahnya lebih sedikit tetapi ukurannya lebih besar, berkurangnya
cairan intra dan extra seluler.
b. Persarafan : cepatnya menurun hubungan persarapan, lambat dalam respon
waktu untuk meraksi, mengecilnya saraf panca indra sistem pendengaran,
presbiakusis, atrofi membran timpani, terjadinya pengumpulan serum karena
meningkatnya keratin.
c. Sistem penglihatan : spnkter pupil timbul sklerosis dan hlangnya respon
terhadap sinaps, kornea lebih berbentuk speris, lensa keruh, meningkatny
ambang pengamatan sinar, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang
pandang.
d. Sistem Kardivaskuler. : katup jantung menebal dan menjadi kaku ,
kemampuan jantung memompa darah menurun 1 % setiap tahun setelah
berumur 20 tahun sehingga menyebabkanmenurunnya kontraksi dan volume,
kehilangan elastisitas pembuluh darah, tekanan darah meninggi.
e. Sistem respirasi : otot-otot pernafasan menjadi kaku sehingga menyebabkan
menurunnya aktifitas silia. Paru kehilangan elastisitasnya sehingga kapasitas
residu meingkat, nafas berat. Kedalaman pernafasan menurun.
f. Sistem gastrointestinal : kehilangan gigi,sehingga menyebkan gizi buruk,
indera pengecap menurun krena adanya iritasi selaput lendir dan atropi indera
pengecap sampai 80 %, kemudian hilangnya sensitifitas saraf pengecap untuk
rasa manis dan asin.
g. Sistem genitourinaria : ginjal mengecil dan nefron menjadi atrofi sehingga
aliran darah ke ginjal menurun sampai 50 %, GFR menurun sampai 50 %.
Nilai ambang ginjal terhadap glukosa menjadi meningkat. Vesika urinaria,
otot-ototnya menjadi melemah, kapasitasnya menurun sampai 200 cc sehingga
vesika urinaria sulit diturunkan pada pria lansia yang akan berakibat retensia
urine. Pembesaran prostat, 75 % doalami oleh pria diatas 55 tahun. Pada vulva
terjadi atropi sedang vagina terjadi selaput lendir kering, elastisitas jaringan
menurun, sekresi berkurang dan menjadi alkali.
h. Sistem endokrin : pada sistem endokrin hampir semua produksi hormon
menurun, sedangkan fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah, aktifitas
tiroid menurun sehingga menurunkan basal metabolisme rate (BMR). Porduksi
sel kelamin menurun seperti : progesteron, estrogen dan testosteron.
i. Sistem integumen : pada kulit menjadi keriput akibat kehilangan jaringan
lemak, kulit kepala dan rambut menuipis menjadi kelabu, sedangkan rambut
dalam telinga dan hidung menebal. Kuku menjadi keras dan rapuh.
j. Sistem muskuloskeletal : tulang kehilangan densitasnya dan makin rapuh
menjadi kiposis, tinggi badan menjadi berkurang yang disebut discusine
vertebralis menipis, tendon mengkerut dan atropi serabut erabit otot , sehingga
lansia menjadi lamban bergerak. otot kam dan tremor (Kemenkes RI, 2016).
2. Perubahan Mental
Pada umumnya usia lanjut mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor.
Perubahan-perubahan mental ini erat sekali kaitannya dengan perubahan fisik,
keadaan kesehatan, tingkat pendidikan atau pengetahuan serta situasi lingkungan.
Intelegensi diduga secara umum makin mundur terutama faktor penolakan abstrak
mulai lupa terhadap kejadian baru, masih terekam baik kejadian masa lalu. Dari
segi mental emosional sering muncul perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak
aman dan cemas, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut
ditelantarkan karena tidak berguna lagi. Munculnya perasaan kurang mampu
untuk mandiri serta cenderung bersifat entrovert. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan mental adalah :
a. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
b. Kesehatan umum
c. Tingkat pendidikan
d. Keturunan
e. Lingkungan
Kenangan (memori) ada 2 :
1) Kenangan jangka panjang, berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu
2) Kenangan jang pendek : 0-10 menit, kenangan buruk.
Intelegentia Question :
1) Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal.
2) Berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor terjadi
perubahan pada daya membayangkan, karena tekanan-tekanan dari faktor
waktu (Kemenkes RI, 2016).
3. Perubahan Perubahan Psikososial
Masalah-masalah ini serta reaksi individu terhadapnya akan sangat beragam,
tergantung pada kepribadian individu yang bersangkutan. Pada saat ini orang yang
telah menjalani kehidupan nya dengan bekerja mendadak diharapkan untuk
menyesuaikan dirinya dengan masa pensiun. Bila ia cukup beruntung dan
bijaksana, mempersiapkan diri untuk masa pensiun dengan menciptakan bagi
dirinya sendiri berbagai bidang minat untuk memanfaatkan waktunya, masa
pensiunnya akan memberikan kesempatan untuk menikmati sisa hidupnya. Tetapi
bagi banyak pekerja pensiun berarti terputus dari lingkungan dan teman-teman
yang akrab dan disingkirkan untuk duduk-duduk dirumah atau bermain domino di
klub pria lanjut usia. Perubahan mendadak dalam kehidupan rutin barang tentu
membuat mereka merasa kurang melakukan kegiatan yang berguna.
a. Minat
Pada umumnya diakui bahwa minat seseorang berubah dalam kuantitas
maupun kualitas pada masa lanjut usia. Lazimnya minat dalam aktifitas fisik
cendrung menurun dengan bertambahnya usia. Kendati perubahan minat pada
usia lanjut jelas berhubungan dengan menurunnya kemampuan fisik, tidak
dapat diragukan bahwa hal hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial.
b. Isolasi dan Kesepian
Banyak faktor bergabung sehingga membuat orang lanjut usia terisolasi dari
yang lain. Secara fisik, mereka kurang mampu mengikuti aktivitas yang
melibatkan usaha. Makin menurunnya kualitas organ indera yang
mengakibatkan ketulian, penglihatan yang makin kabur, dan sebagainya.
Selanjutnya membuat orang lanjut usia merasa terputus dari hubungan dengan
orang-orang lain.
Faktor lain yang membuat isolasi makin menjadi lebih parah lagi adalah
perubahan sosial, terutama mengendornya ikatan kekeluargaan. Bila orang
usia lanjut tinggal bersama sanak saudaranya, mereka mungkin bersikap
toleran terhadapnya, tetapi jarang menghormatinya. Lebih sering terjadi orang
lanjut usia menjadi terisolasi dalam arti kata yang sebenarnya, karena ia hidup
sendiri. Dengan makin lanjutnya usia, kemampuan mengendalikan perasaan
dengan akal melemah dan orang cendrung kurang dapat mengekang dari
dalam prilakunya. Frustasi kecil yang pada tahap usia yang lebih muda tidak
menimbulkan masalah, pada tahap ini membangkitkan luapan emosi dan
mereka mungkin bereaksi dengan ledakan amarah atau sangat tersinggung
terhadap peristiwa-peristiwa. yang menurut kita tampaknya sepele.
c. Peranan Iman
Menurut proses fisik dan mental pada usia lanjut memungkinkan orang yang
sudah tua tidak begitu membenci dan merasa kuatir dalam memandang akhir
kehidupan dibanding orang yang lebih muda. Namun demikian, hampir tidak
dapat disangkal lagi bahwa iman yang teguh adalah senjata yang paling ampuh
untuk melawan rasa takut terhadap kematian. Usia lanjut memang merupakan
masa dimana kesadaran religius dibangkitkan dan diperkuat. Keyakinan iman
bahwa kematian bukanlah akhir tetapi merupakan permulaan yang baru
memungkinkan individu menyongsong akhir kehidupan dengan tenang dan
tentram (Kemenkes RI, 2016).
4. Perubahan Spritual.
a. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan (Maslow,1970)
b. Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal ini terlihat dalam
berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray dan Zentner,1970).
c. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer (1978),
Universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berpikir
dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai keadilan
(Kemenkes RI, 2016).
E. Masalah Nutrisi
1. Pengertian Gizi kurang adalah kekurangan zat gizi baik mikro maupun makro.
2. Penyebab
a. Penurunan ataau kehilangan sensitifitas indra pengecap & penciuman.
b. Penyakit periodental ( terjadi pada 80% lansia) atau kehilangan gigi.
c. Penurunan sekresi asam lambung dan enzim pencernaan d. Penurunan
mobilitas saluran pencernaan makanan..
d. Penggunaan obat-obatan jangka panjang.
e. Gangguan kemampuan motoric.
f. Kurang bersosialisasi, kesepian.
g. Pendapatan yang menurun (pensiun).
h. Penyakit infeksi kronis.
i. Penyakit keganasan (Kemenkes RI, 2016).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kebutuhan Istirahat Tidur pada Lansia
A. Pengertian Istirahat Dan Tidur
1. Istirahat
Istirahat Suatu kondisi yang tenang, rileks tanpa ada stress emosional,
bebas dari kecemasan. Namun tidak berarti tidak melakukan aktivitas apa
pun, duduk santai di kursi empuk atau berbaring di atas tempat tidur juga
merupakan bentuk istirahat. Sebagai pembanding, klien/orang sakit tidak
beraktifitas tapi mereka sulit mendapatkan istirahat begitu pula dengan
mahasiswa yang selesai ujian merasa melakukan istirahat dengan jalan-
jalan. Oleh karena itu perawat dalam hal ini berperan dalam menyiapkan
lingkungan atau suasana yang nyaman untuk beristirahat bagi klien/pasien.
Terdapat enam kondisi seseorang dapat beristirahat:
a. Merasa segala sesuatu berjalan normal
b. Merasa diterima
c. Merasa diri mengerti apa yang sedang berlangsung
d. Bebas dari perlukaan dan ketidaknyamanan
e. Merasa puas telah melakukan aktifitas-aktifitas yang berguna
f. Mengetahui bahwa mereka akan mendapat pertolongan bila
membutuhkannya (Padila, 2016 dalam Ketut Arma Dinata, 2018).
2. Tidur
Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar di mana persepsi dan reaksi
individu terhadap lingkungan menurun atau menghilang, dan dapat
dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup (Ketut
Arma Dinata, 2018).
Tidur juga disebut sebagai kondisi tidak sadar di mana individu dapat
dibangunkan oleh stimulus atau sensoris yang sesuai atau juga dapat
dikatakan sebagai keadaan penuh ketenangan tanpa kegiatan, tetapi lebih
merupakan suatu urutan siklus yang berulang, dengan ciri adanya aktivitas
yang minim, memiliki kesadaran yang bervariasi, terdapat perubahan
proses fisiologis, dan terjadi penurunan respons terhadap rangsangan dari
luar.
Tidur juga bisa didefinisikan sebagai suatu keadaan yang berulang-ulang,
perubahan status keadaan yang terjadi selama periode tertentu (Azizah,
2014 dalam Ketut Arma Dinata, 2018).
Sebagian besar lansia berisiko tinggi mengalami gangguan
tidur akibat beberapa faktor. Selama penuaan, terjadi perubahan fisik dan
mental yang diikuti dengan perubahan pola tidur yang khas yang
membedakan dari orang yang lebih muda. Perubahanperubahan itu
mencakup kelatenan tidur, terbangun pada dini hari, dan peningkatan
jumlah tidur siang (Ketut Arma Dinata, 2018).
Kurang tidur berkepanjangan dan sering terjadi dapat mengganggu
kesehatan fisik maupun psikis. Kebutuhan tidur setiap orang berbeda-beda,
usia lanjut membutuhkan waktu tidur 6-7 jam per hari. Walaupun mereka
menghabiskan lebih banyak waktu di tempat tidur, tetapi usia lanjut sering
mengeluh terbangun pada malam hari, memiliki waktu tidur kurang total,
mengambil lebih lama tidur, dan mengambil tidur siang lebih banyak.
Sebagai contoh seorang lansia yang mengalami artritis mempunyai
kesulitan tidur akibat nyeri sendi. Kecenderungan tidur siang meningkat
secara progresif dengan bertambahnya usia. Peningkatan waktu siang hari
yang dipakai untuk tidur dapat terjadi karena seringnya terbangun pada
malam hari. Dibandingkan dengan jumlah waktu yang dihabiskan ditempat
tidur menurun sejam atau lebih (Ketut Arma Dinata, 2018).
Pada usia lanjut menunjukkan berkurangnya jumlah tidur gelombang
lambat, sejak dimulai tidur secara progresif menurun dan menaik melalui
stadium 1 ke stadium IV, selama 70-100 menit yang diikuti oleh letupan
REM. Periode REM berlangsung kirakira 15 menit dan merupakan 20%
dari waktu tidur total. Umumnya tidur REM merupakan 20-25% dari
jumlah tidur, stadium II sekitar 50% dan stadium III dan IV bervariasi.
Jumlah jam tidur total yang normal berkisar 5-9 jam pada 90% orang
dewasa. Pada usia lanjut efisiensi tidur berkurang, dengan waktu yang
lebih lama di tempat tidur namun singkat dalam keadan tidur (Ketut Arma
Dinata, 2018).
a. Fisiologi Tidur
Fisiologi Secara Umum
Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya
hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk
mengaktifkan dan menekan pusat otak agar agar dapat tidur dan
bangun. Pusat pengaturan tidur terdapat pada medula oblongata.
Berdasarkan gambaran EGG tidur dapat dibagi menjadi dua
fase yaitu non rapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement
(REM). Pada awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari
tiga stadium NREM dan satu REM.
a) Tidur Stadium 1 (N1)
Stadium ini merupakan antara tahap terjaga dan tahap awal
tidur.Saat seseorang mulai mengantuk, perlahan-lahan kesadaran
mulai meninggalktan dirinya.Stadium ini juga disebut dengan
downiness, yaitu tahap ketika pikiran kita melayang-layang tak
menentu tetapi masih menyadari kondisi disekeliling sehingga
merasa belum tidur. Stadium ini hanya berlangsung 3-5 menit dan
mudah ekali dibangunkan. Gambaran EKG biasanya terdiri dari
gelombang campuran alfa, beta, dan kadang gelombang teta
dengan amplitude yang rendah. Tidak didapatkan adanya
gelombang sleep spindle dan kompleks K.
b) Tidur Stadium 2 (N2)
Setelah stadium N1, maka akan semakin dalam tertidur dan
masuk ke tidur fase stadium N2. Gelombang otak lambat masih
menjadi latar, tetapi sesekali muncul gelombang khas berupa
gelombang sleep spindle. Pada stadium ini, tidur semakin sulit
bangunpanggilan berulangulang karena merupakan tahap tidur
terbanyak, kira-kira 50 % dari total tidur satu malam.
c) Tidur Stadium 3 (N3)
Setelah kira-kira 10 menit dalam tahap N2, maka akan masuk ke
stadium tidur yang lebih dalam, yaitu tahap stadium 3 (N3) atau
sering disebut tidur slow wave karena gelombang otak semakin
melambat dengan frekuensi yang lebih rendah. Pada gambaran
EEG terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%-
50% serta tampak gelombang sleep spindle. Dalam stadium ini
hormone pertumbuhan (growth hormon) dan prolactin
dikeluarkan oleh tubuh untuk pertumbuhan pada bayi dan
perbaikan untuk mempertahankan keutuhan maupun kemudaan
jaringan tubuh.Sementara prolaktin adalah hormon yang banyak
terdapat pada ibu menyusui maka semakin tinggi pula produksi
prolaktin. Namun fungsi pada saat tidur belum dapat dijelaskan.
d) Tahap Tidur REM
Dari tahap N3 biasanya akan terus meningkat dan kembali pada
tahap N2. EEG akan menunjukkan aktivitas otak yang meningkat
secara drastis, yang pertanda seseorang memasuki tahap tidur R
(REM) atau hanyut dalam mimpi. Tahap ini tubuh tidak bisa
menerima rangsangan apa pun, karena tubuh tidak merespon
aktivitas otak yang menimbulkan lumpuh sesaat.
Pada lansia yang sering terbangun dan kembali tidur, maka tahap
1 akan dimulai kembali. Dalam pola tidur normal, sekitar 70
sampai 90 menit setelah awitan tidur. Konsekuensi dari terbangun
pada malam hari dapat menimbulkan efek buruk pada fisiologis
dan fungsi mental pada usia lanjut (Stanley, 2007 dalam Ketut
Arma Dinata, 2018).
b. Fisiologi Tidur Pada Lansia
Jumlah tidur total tidak berubah sesuai dengan pertambahan usia.
Akan tetapi, kualitas tidur kelihatan menjadi berubah pada
kebanyakan usia lanjut. Episode tidur REM cenderung
memendek.Terdapat penurunan yang progresif pada tahap tidur
NREM 3 dan 4.
Beberapa usia lanjut tidak memiliki tahap 4 atau tidur dalam. Seorang
usia lanjut yang terbangun lebih sering pada malam hari, dan
membutuhkan banyak waktu untuk jatuh tidur. Tetapi pada lansia
yang berhasil beradaptasi terhadap perubahan fisiologis dan psikologis
dalam penuaan lebih mudah mempertahankan tidur REM (Stanley,
2007). Gangguan istirahat tidur pada usia lanjut beberapa sumber yang
mengemukan tentang gangguan tidur pada lansia. Kemudian
didapatkan gangguan tidur pada usia lanjut terdiri dari insomnia,
hipersomnia, enuresis, narkolepsi, dan apnea tidur. (Ketut Arma
Dinata, 2018).
a) Insomnia
Insomnia adalah bukan bagian normal dari penuaan, tapi
gangguan tidur malam hari pada dewasa yang lebih tua, yang
menyebabkan kantuk di siang hari yang berlebihan. Insomnia
dapat berupa kesulitan untuk tetap tidur atau pun seseorang yang
terbangun dari tidur, tetapi merasa belum cukup tidur .Menurut
(Tamher & Noorkasiani. 2011) insomnia dibagi menjadi tiga
jenis yaitu:
1) Insomnia initial, yang merupakan ketidakmampuan untuk
jatuh atau mengawali tidur.
2) Insomnia intermiten yang merupakan ketidakmampuan
mempertahankan tidur atau keadaan sering terjaga dari
tidur.
3) Insomnia terminal, yang merupakan ketidakmampuan untuk
tidur kembali setelah bangun tidur pada malam hari.
Sedangkan menurut Stanley (2007), insomnia dibagi menjadi
1) Jangka pendek
Berakhir beberapa minggu dengan muncul akibat
pengalaman stress yang bersifat sementara seperti
kehilangan orang yang dicintai, tekanan di tempat kerja.
2) Sementara
Biasanya disebabkan oleh perubahan-perubahan lingkungan
seperti konstruksi bangunan yang bising atau pengalaman
yang menimbulkan ansietas.
3) Kronis
Berlangsung selama 3 minggu atau seumur
hidup.Disebabkan kebiasaan tidur yang buruk, masalah
psikologis, penggunaan obat tidur yang berlebihan,
penggunaan alkohol yang berlebihan.Empat puluh persen
insomnia kronis disebabkan oleh masalah fisik seperti apnea
tidur, sindrom kaki gelisah, atau nyeri kronis (Ketut Arma
Dinata, 2018).
b) Hipersomnia
Hipersomnia dicirikan dengan tidur lebih dari 8 atau 9 jam per
periode 24 jam, dengan keluhan tidur berlebihan. Biasanya
disebabkan oleh masalah psikologis, depresi, kecemasan, dan
gaya hidup yang membosankan. Dengan pada ciri mengantuk di
siang hari yang persisten, mengalami serangan tidur (Ketut Arma
Dinata, 2018).
c) Enuresis
Enuresis yaitu kencing yang tidak disengaja atau mengompol,
paling banyak terjadi pada laki-laki. Pada pria lansia dapat terjadi
hipertrofi kelenjar prostat yang menyebabkan tekanan pada leher
kandung kemih sehingga sering berkemih. Selain itu, hipertrofi
prostat dapat mengakibatkan kesulitan memulai dan
mempertahankan aliran urine. Wanita lansia, terutama wanita
yang memiliki anak, dapat mengalami inkontinensia stress, yaitu
terjadi pelepasan urine involunter saat batuk, bersin, atau pun saat
tidur tanpa disadari mereka akan mengompol sehingga
menyebabkan terbangun hal ini disebabkan karena melemahnya
otot kandung kemih pada lansia (Ketut Arma Dinata, 2018).
d) Narkolepsi
Merupakan keinginan yang tidak terkendali untuk tidur atau
serangan mengantuk mendadak, sehingga dapat tertidur pada
setiap saat di mana serangan tidur itu datang. Serangan mendadak
yang dialami pada siang hari tidak bisa dihindari, biasanya
berlangsung 10-20 menit atau kurang dari 1 jam.
Gambaran tidur pada narkolepsi ini menunjukkan penurunan fase
REM 30-70 %. Terdapat empat gejala klasik penderita narkolepsi
yaitu rasa kantuk berlebihan (EDS), melemasnya otot secara
mendadak (katapleksi), dan sleep paralysis (keadaan ketika akan
tidur atau bangun tidur merasa sesak napas seperti tercekik, dada
sesak, sulit berteriak, dan badan sulit bergerak) (Ketut Arma
Dinata, 2018).
e) Apnea Tidur
Apnea tidur merupakan henti napas saat tidur atau mendengkur
(Stanley, 2007). Yang disebabkan oleh rintangan terhadap
pengaliran udara di hidung dan di mulut. Pangkal lidah yang
menyumbat saluran napas sering terjadi pada usia lanjut karena
otot-otot di bagian belakang mengendur lalu bergetar jika
dilewati udara pernapasan. Telah dilaporkan apnea napas terjadi
pada 11% sampai 62% pada usia lanjut. Sebagian besar penderita
apnea tidur ini adalah pria, dengan keluhan sering terbangun di
malam hari, banyak tidur di siang hari, mendengkur,dan nyeri
kepala pada saat bangun (Ketut Arma Dinata, 2018).
B. Pemenuhan Kebutuhan Istirahat Tidur
Jumlah tidur total tidak berubah sesuai pertambahan usia. Akan tetapi kualitas
tidur kelihatan menjadi berubah pada kebanyakan lansia. Episode tidur REM
cenderung memendek. Terdapat penurunan yang progresif pada tahap tidur
NREM 3 dan 4, beberapa lansia hamoir tidak memiliki tahap 4 atau tidur yang
dalam. Seorang lansia terbangun lebih sering dimalam hari dan membutuhkan
banyak waktu untuk jatuh tertidur. Keragaman dalam perilaku tidur lansia
adalah umum. Keluhan tentang kesulitan tidur waktu malam seringkali terjadi
antara lansia. Seringkali akibat keberadaan penyakit kronik yang lain.
Perubahan pola tidur pada lansia disebabkan SSP yang mempengaruhi
pengaturan tidur. Kerusakan sensorik, umum dengan penuaan, dapat
mengurangi sensivitas terhadap waktu yang mempertahankan irama sirkadian.
Kualitas tidur merujuk pada kemampuan seseorang untuk dapat tidur dan
mendapatkan tidur REM dan NREM yang tepat. Kualitas tidur adalah jumlah
total waktu tidur seseorang.
Faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur, yaitu :
1. Lingkungan
Lingkungan dapat mendukung dan menghambat tidur. Temperatur,
ventilasi, penerangan ruangan dan kondisi kebisingan sangat berpengaruh
terhadap tidur seseorang.
2. Kelelahan
Kelelahan akan berpengaruh terhadap pola tidur seseorang semakin lelah
seseorang maka akan semakin pendek tidur REMnya.
3. Penyakit
Sakit menyebabkan nyeri dapat menimbulkan masalah tidur. Seseorang
yang sedang sakit membutuhkan waktu tidur lebih lama dari keadaan
normal. Sering sekali pada orang sakit pola tidurnya juga akan terganggu
karena penyakitnya seperti rasa nyeri yang
ditimbulkan oleh luka.
4. Gaya hidup
Orang yang bekerja shift dan sering berubah shiftnya harus mengatur
kegiatan agar dapat tidur pada waktu yang tepat. Keadaan rileks sebelum
istirahat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap seseorang untuk
dapat tidur.
5. Obat-obatan dan alcohol
Beberapa obat-obatan berpengaruh terhadap kualita tidur. Obatobatan yan
mengandung diuretic menyebabkan insomnia, anti depresan akan
memsupresi REM. Orang yang minum alcohol terlalu banyak sering kali
mengalami gangguan tidur.
6. Merokok
Nicotine mempunyai efek menstimulasi tubuh dan perokok seringkali
mempunyai lebih banyak kesulitan untuk bisa tidur dibandingkan dengan
yang tidak perokok. Dengan menahan tidak merokok setalah makan malam
orang biasanya akan tidur lebih baik. Banyak perokok melaporkan pola
tidurnya menjadi lebih baik ketika mereka berhenti merokok (Syarif, 2016
dalam Ketut Arma Dinata, 2018).
3.2 Kebutuhan Aktivitas pada Lansia
A. Definisi Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik ialah pola gerakan yang dilakukan oleh otot rangka beserta
sistem penunjangnya disertai dengan adanya pegeluaran energi. Banyaknya
pasokan energi yang diperlukan bergantung pada berapa banyak otot yang
bergerak, berapa berat pekerjaan yang dilakukan, dan berapa lama waktu yang
diperlukan. Untuk bergerak otot membutuhkan energi di luar metabolisme,
sedangkan pau-paru dan jantung memerlukan energi untuk mengantarkan
oksigen dan zat-zat gizi ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme dari tubuh (Esty, 2017).
World Healt Organization WHO, Physical Inactivity: A Global Public Health
Problem, (2017) dalam Esty, (2017) mengungkapkan bahwa, aktivitas fisik
sangatlah berbeda dengan exercise. Exercise merupakan kategori aktivitas
fisik yang berulang, terstruktur, dan direncanakan yang bertujuan sebagai
pemeliharaan dan perbaikan komponen kebugaran fisik seperti olahraga.
Sedangkan aktivitas fisik yang tidak terstruktur melibatkan gerakan tubuh dan
dilakukan pada aktivitas sehari-hari seperti bekerja, berkendara aktif,
melakukan pekerjaan rumah dan kegiatan rekreasi.
Riskesdas, 2013 dalam Esty, 2017 mengatakan bahwa aktivitas fisik memiliki
beberapa kriteria, yakni:
1. Aktivitas Fisik Aktif
Aktivitas fisik aktif akan memiliki pengaruh baik bagi tubuh seperti untuk
kebugaran, meningkatkan ketahanan tubuh, tekanan darah stabil,
menghinddari terjadinya penyakit diabetus mellitus, obesitas, membantu
mengatasi gangguan tidur, serta meningkatkan kualitas hidup yang baik.
2. Aktivitas Fisik Kurang Aktif Atau Sedentari
Aktivitas sedentari dapat meningkatkan risiko penyakit seperti penyakit
jantung, diabetus mellitus, hipertensi, stroke, dan bisa mempengaruhi umur
harapan hidup. Kegiatan yang biasanya dilakukan seperti duduk atau
berbaring sehari-hari di tempat kerja (membaca, kerja di depan komputer),
di rumah (menonton tv, mengobrol, beramain game), di perjalanan atau
transportasi (kereta, pesawat, bis, mobil), tetapi kecuali waktu tidur.
B. Jenis Aktivitas Fisik
Aktivitas atau kegiatan dalam kategori baik harus memenuhi kriteria FITT
yang terdiri dari (frequency, intensity, time, type). Frekuensi merupakan
kegiatan yang dilakukan seberapa sering (hari dalam seminggu). Intensitas
merupakan seberapa keras kegiatan dilakukan. Waktu merupakan kegiatan
yang sekali dilakukan dalam (durasi). Jenis merupakan kegiatan yang
dilakukan.
Jenis-jenis aktivitas fisik pada lansia dilakukan tergantung daritujuannya,
apakah untuk kesehatan, kebugaran, perbaikan kinerja, dan kemandirian
menurut Kathy, (2012) dalam Esty, (2017), yakni:
1. Latihan Aerobik
Latihan yang dilakukan untuk membuat kerja paru dan jantung meningkat
dengan kebutuhan oksigen maksimum seperti berjalan,bersepeda, berlari,
dan naik turun tangga.
Lansia yang memiliki rentan usia>65 tahun disarankan melakukan latihan
yang dimulai dari intensitas rendah dan peningkatan dilakukan berdasarkan
toleransi masing-masing individual. Latihan fisik pada lansia bisa
dilakukan dengan durasi waktu 30 menit untuk intensitas sedang,
dilakukan dengan durasi waktu 20 menit dan frekuensi 5 kali dalam satu
minggu. Untuk intensitas tinggi, dilakukan dengan durasi waktu 20 menit
dan frekuensi 3 kali dalam satu minggu dengan cara kombinasi selama 2
hari dengan intensitas tinggi dan dengan intensitas sedang dalam
seminggu.
2. Latihan Fleksibilitas dan Keseimbangan
Latihan fleksibilitas diberikan dengan tujuan untuk membantu menjaga
lingkup gerak sendi. biasanya dapat diilakukan 2-3 hari per minggu,
sedngkan yang melibatkan peregangan otot dan sendi 3-4 kali, dengan
sekali penariakn dipertahankan 10-30 detik.
Latihan keseimbangan diberikan dengan tujuan untuk membantu
mencegah lansia agar tidak mudah jatuh. Latihan ini dilakukan 3 hari
dalam seminggu, dengan intensitas rendah seperti berjalan, senam tai chi,
chair based exercise.
3. Latihan Kekuatan Otot
Latihan kekuatan otot merupakan latihan yang bertujuan untuk
memperkuat dan menyokong otot serta jaringan ikat seperti duduk dikursi
kemudian kaki dililit dengan alat pembebanan handuk yang panjang
kemudian ditahan beberapa detik dengan kemampuan tergantung pada
individu. Latihan dilakukan sebanyak seminggu 2x dengan pemberian jeda
untuk istirahat.
Untuk membentuk kekuatan otot yang maksimal bisa menggunakan
tahanan atau beban dengan 10- 12 repitisi setiap latihan. Pemberian
intensitas latihan akan meningkat seiring dengan meningkatnya
kemampuan lansia dengan jumlah repitisi juga ditingkatkan bebannya, 10-
25 repitisi dalam satu set latihan.,
C. Klasifikasi Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik memiliki 3 klasifikasi dalam beberapa tingkatan, yakni:
1. Aktivitas Ringan
Kegiatan atau aktivitas yang dilakukan menggunakan sedikit tenaga
sehingga tidak menghasilkan perubahan pada tubuh seperti berkendaraan,
menonton tv, duduk, beribadah.
2. Aktivitas Sedang
Kegiatan atau aktivitas yang dilakukan dengan intensitas tenaga sedang
minimal 150 menit yang menggunakan kekuatan otot secara fleksibilitas
seperti berjalan kaki dengan cepat, joging atau berlari-lari kecil, menyapu
dan mengepel lantai dan bersepeda.
3. Aktivitas Berat
Kegiatakan atau aktivitas yang dilakukan secara terus menerus
menggunakan otot dengan intensitas minimal 10 menit dan dilakukan
minimal 3 hari dalam seminggu sampai meningkatnya denyut nadi dan
nafas lebih cepat dari biasanya sehingga mengelurkan keringat yang
dihassilkan dari dalam tubu seperti bermain tenis meja, bola voly, bola
basket, bela diri, menimba air mencangkul, lari cepat (WHO, 2017 dalam
Esty, 2017).
D. Manfaat Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik secara teratur banyak memiliki manfaat untuk tubuh, seperti:
1. Meningkatnya metabolisme tubuh.
2. Meningkatnya kemampuan kerja otot.
3. Menurunkan tekanan darah dan meningkatkan kerja otot jantung.
4. Meningkatkan ketahanan tubuh dalam melakukan kegiatan fisik.
5. Menghindari terjadinya obesitas.
E. Pengukuran Aktivitas Fisik
Penilaian untuk aktivitas fisik seseorang dalam penelitian bisa dilakukan
secara objektif atau subjektif. Penilaian objektif adalah penilaian dengan
beban yang rendah, sedangkan penilaian subjektif adalah penilaian dengan
beban yang tinggi. Beban adalah besarnya usaha pada responden yang akan
diberikan intervensi. Alat ukur yang bisa digunakan untuk aktivitas fisik yang
objektif antara lain adalah monitor detak jantung, alat sensor gerakan, dan
kalorimetri tidak langsung. Sedangkan alat ukur yang bisa digunakan untuk
aktivitas fisik yang subjektif antara lain observasi langsung dan kuesioner.
Kelompok beban rendah yang dimaksud adalah kelompok yang tidak
memerlukan usaha yang besar pada saat diberikan intervensi. Sedangkan
kelompok beban tinggi yang dimaksud adalah kelompok yang memerlukan
usaha terus menerus (Purwanto, 2010 dalam Esty, 2017).
Aktivitas fisik mempunyai penilaian dalam melakukan sebuah penelitian salah
satu kuesioner yang secara umum banyak digunakan adalah kuesioner
International Physical Activity Questionaire (IPAQ). International Physical
Activity Questionaire (IPAQ) adalah instrumen yang telah diadaptasikan ke
dalam Bahasa Indonesia dan dikembangkan oleh WHO di negara berkembang.
Penggunaan instrumen IPAQ dalam mengukur aktivitas fisik terdiri dari 7
pertanyaan yakni mengukur aktivitas fisik berat (vigorous activity), aktivitas
fisik sedang (moderate activity), aktivitas berjalan (walking activity), dan
aktivitas sedentary atau duduk (sitting activity) pada seseorang yang dilakukan
berapa lama dalam hitungan waktu (jam/menit) serta berapa kali melakukan
kegiatasan tersebut dalam satu minggu terakhir. Kuesioner ini dapat dilakukan
mulai dari usia 16-84 tahun.
Kelebihan instrumen IPAQ yanki mempunyai beberapa pertanyaan yang
mudah dalam mengisi kuesioner tersebut, kegiatan yang dapat dihitung
berdasaran pada jumlah energy yang dihasilkan dan dikeluarkan oleh tubuh
(Tando, 2012 dalam Nia, 2018).
Pengukuran aktivitas fisik akan di klasifikasikan berdasarkan MET(Metabolic
Equivalent). MET merupakan rasio laju metabolisme saat bekerja yang
kemudian dibandingkan saat sedang beristirahat. Nilai 1 MET setara dengan 1
kkal/kg/jam dan didefinisikan sebagai energi ketika duduk dengan tenang.
Perbandingan nilai MET dalam aktivitas dengan kategori sedang yaitu 4 kali
lebih besar, sehingga dalam penilaiannya bisa dikalikan 4 MET. Sedangkan
pada kategori aktivitas berat memiliki perbandingan 8 kali lebih besar,
sehingga perhitungannya akan dikali 8 MET (Purohit, 2011 dalam Esty, 2017).
World Health Organization, (2005) dalam Nia, (2018) penilaian aktivitas fisik
di bagi dalam 3 klasifikasi, antara lain:
1. Aktivitas Tinggi
a. Aktivitas fisik berat minimal >3 hari dengan intensitas minimal >1500
METs-menit/minggu.
b. Kombinasi aktivitas fisik berat, sedang, dan berjalan dalam >7 hari
dengan intensitas minimal >300 MET-menit/minggu.
2. Aktivitas Sedang
a. Intensitas aktivasi berat minimal >20 menit/hari selama >3 hari.
b. Intensitas aktivitas sedang selama >5 hari atau berjalan minimal >30
menit/hari.
c. Kombinasi aktivitas fisik berat, sedang, dan berjalan dalam >7 hari
dengan intensitas minimal >600 MET-menit/minggu.
d. Aktivitas Rendah
Aktivitas dengan intensitas ringan yang tidak memenuhi ke dalam
kriteria aktivitas berat atau aktivitas sedang dengan nilai <10
menit/hari atau <600 METs-min/minggu.
3.3 Kebutuhan Kebersihan Diri pada Lansia
A. Pengertian Personal Hygiene (Kebersihan Diri)
Kata personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya
perorangan dan hygiene berarti sehat. Jadi, personal hygiene (kebersihan
seseorang) adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan
untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Riyadi dan Harmoko, 2012). Personal
hygiene merupakan upaya individu dalam memelihara kebersihan diri
meliputi kebersihan kulit / mandi, kebersihan kuku, kebersihan rambut,
kebersihan gigi dan mulut, dan kebersihan genetalia.
Personal hygiene (kebersihan diri / perseorangan) merupakan usaha dari
individu atau kelompok dalam menjaga kesehatan melalui kebersihan
individu dengan cara mengendalikan kondisi lingkungan (Depkes RI, 2006).
Personal hygiene (perawatan diri atau kebersihan diri) merupakan perawatan
diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik secara
fisik maupun psikologis. Pemenuhan perawatan diri dipengaruhi berbagai
faktor di antaranya; budaya, nilai sosial pada individu atau keluarga,
pengetahuan terhadap perawatan diri, serta persepsi terhadap perawatan diri
(Hidayat, 2006 dalam Lasatu, 2016).
B. Jenis-Jenis Personal Hygiene
Menurut Hidayat (2006:116), bahwa personal hygiene dibagi atas dua jenis
yaitu personal hygiene berdasarkan waktu dan personal hygiene berdasarkan
tempat, untuk lebih jelasnya jenis personal hygiene diuraikan sebagai berikut:
1. Personal hygiene berdasarkan waktu, terdiri dari:
a. Perawatan dini hari
Perawatan dini hari merupakan perawatan diri yang dilakukan pada
waktu bangun tidur, untuk melakukan tindakan seperti perapian dalam
pengambilan bahan pemeriksaan (urine atau feces), memberikan
pertolongan, mempersiapkan pasien dalam melakukan makan pagi
dengan melakukan tindakan keperawatan diri, seperti mencuci muka,
tangan, dan menjaga kebersihan mulut.
b. Perawatan pagi hari
Perawatan yang dilakukan setelah melakukan makan pagi dengan
melakukan perawatan diri seperti melakukan pertolongan dalam
pemenuhan kebutuhan eliminasi (buang air besar dan buang air kecil),
mandi atau mencuci rambut, melakukan perawatan kulit, melakukan
pijatan pada punggung, membersihkan mulut, kuku, dan rambut, serta
merapikan tempat tidur pasien.
c. Perawatan siang hari
Perawatan diri yang dilakukan setelah melakukan berbagai tindakan
pengobatan atau pemeriksaan dan setelah makan siang. Berbagai
tindakan perawatan diri yang dapat dilakukan, antara lain mencuci
muka dan tangan, membersihkan mulut, merapikan tempat tidur, dan
melakukan pemeliharaan kebersihan lingkungan kesehatan pasien.
d. Perawatan menjelang tidur
Perawatan diri yang dilakukan pada saat menjelang tidur agar pasien
dapat tidur atau beristirahat dengan tenang. Berbagai kegiatan yang
dapat dilakukan, antara lain pemenuhan kebutuhan eliminasi (buang
air besar dan kecil), mencuci tangan dan muka, membersihkan mulut,
dan memijat daerah punggung.
2. Personal hygiene berdasarkan tempat, terdiri dari:
a. Perawatan diri kulit
1) Definisi
Kulit merupakan salah satu bagian penting dari tubuh yang dapat
melindungi tubuh dari berbagi kuman atau trauma, sehingga
diperlukan perawatan yang adekuat (cukup) dalam
mempertahankan fungsinya. Sebagai bagian dari organ pelindung,
kulit secara otomatis terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan
epidermis aau dikenal dengan nama kutikula dan lapisan dermis
atau disebut dengan korium.
Lapisan epidermis terdiri atas bagian-bagian seperti stratum,
korneum, stratum lucidum, dan stratum granulosum.Lapisan kedua
atau lapisan dermis yang terdiri atas ujung syaraf sensorik,
kelenjar keringat, dan kelenjar sebaseus (Lasatu, 2016).
2) Fungsi perawatan kulit
Kulit secara umum memiliki berbagai fungsi, diantaranya :
a) Melindungi kulit dari masuknya berbagai kuman atau trauma
jaringan bagian dalam yang juga dapat menjaga keutuhan kulit.
b) Mengatur keseimbangan suhu tubuh dan membantu produksi
keringat serta penguapan.
c) Sebagai alat peraba yang dapat membantu tubuh menerima
rangsangan dari luar melalui rasa sakit, sentuhan, tekanan, aau
suhu.
d) Sebagai alat ekskresi keringat melalui pengeluaran air, garam,
dan nitrogen.
e) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit yang bertugas
mencegah pengeluaran cairan tubuh secara berlebihan.
f) Memproduksi dan menyerap vitamin B sebagai penghubung
atau pemberi vitamin D dari sinar ultraviolet matahari (Lasatu,
2016).
3) Perubahan dan keutuhan pada kulit dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, diantaranya :
a) Umur, perubahan kulit dapat ditentukan oleh umur seseorang,
hal ini dapat terlihat pada bayi yang berumur relative masih
muda, kondisi kulitnya sarngat terawat terhadap berbagai
trauma atau masuknya kuman. Sebaliknya, pada orang dewasa,
keutuhan kulit sudah memiliki kematangan sehingga fungsinya
sebagai pelindung sudah baik. ii. Jaringan kulit, perubahan dan
keutuhan kulit dapat dipengaruhi oleh struktur jaringan kulit.
Apabila jaringan kulit rusak, maka terjadi perbuahan pada
struktur kulit.
b) Kondisi/keadaan lingkungan, beberapa keadaan lingkungan
atau kondisi yang dapat mempengaruhi keadaan kulit secara
utuh antara lain keadaan panas, adanya nyeri akibat sentuhan
dan tekanan, dan sebagainya. Setiap individu memiliki sikap
berbeda dalam hal memandikan dirinya.
Terdapat perbedaan budaya dan sosial dan pasien perlu
mendapatkan hak mereka untuk memberi izin pada setiap
tindakan yang penting.Perawat harus memiliki pengkajian
lengkap mengenai status kesehatan terbaru yang terdiri dari
tingkat kemandirian ditambah kebutuhan khusus lainnya,
seperti praktik mandi secara budaya. Selain itu, perawat harus
bertindak sebagai seorang anggota tim asuhan dan harus yakin
bahwa pilihan yang ditawarkannya kepada pasien adalah
pilihan yang beralasan, aman, efektif, dan terpeutik.
Pilihan hygienes yaitu membersihkan diri dan berpakaian,
dapat meningkatkan kualitas asuhan yang dialami oleh pasien
dan dimasukkan ke dalam pelaksanaan keperawatan menurut
spiller (1992:501), diantaranya:
(1) Pilihan pasien mengenai sabun, emolin, dan krim kulit
(2) Penggunaan deodoran, antiperspirasi, dan bedak
(3) Penggunaan krim penghilang rambut, alat mencukur,
sabun, atau sarana penghalus kulit
(4) Penggunaan terapi rambut spesial, dan pilihan sampo
(5) Penggunaan tampon dan handuk kesehatan
(6) Penggunaan tatarias, wajah, pembersih kulit, dan toner
(7) Gaun malam atau, pakaian siang hari
(8) Rutinitas mandi yang normal (mandi pancuran atau mandi
biasa) (Lasatu, 2016).
Berikut ini diuraikan pedoman untuk mandi yang sehat secara
bertahap menurut Spiller (1992:501) yaitu:
(1) Kaji kondisi mental dan fisik pasien
(2) Ingat bahwa pasien memiliki hak-hak untuk diberitahu
tentang terapi, individualitas, keamanan, dan formasi.
(3) Pasien memiliki pilihan hygienes dalam melaksanakan
rutinitas mandi.
(4) Peran perawat meliputi pendidikan pasien, dan setiap
kesempatan untuk memberikan informasi kesehatan harus
digunakan.
(5) Pasien Harus diberi informasi tentang tujuan mandi,
misalnya untuk membersihkan kulit, untuk mengurangi
risiko infeksi, untuk meningkatkan kesejahteraan umum,
atau sebagai suatu terapi kulit.
(6) Persiapan pasien dan lingkungan mengurangi waktu yang
terbuang dan meningkatkan efisiensi.
(7) Bantuan dalam memandikan diberikan jika pasien tidak
mampu merawat dirinya sendiri.
(8) Perawat harus memprioritaskan tindakannya di ruang
rawat. Menurut Nigthtingale (1859), bahwa membiarkan
pasien tetap tidak dimandikan merupakan bahaya yang
mengganggu proses kesehatan alami yang sama efektifnya
seperti memberikan racun pada pasien (Lasatu, 2016).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memelihara kebersihan


kulit menurut (Potter dan Perri, 2005) yaitu;
(1) Menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik
sendiri.
(2) Mandi minimal 2 kali sehari, yaitu pagi dan sore hari.
(3) Mandi memakai sabun.
(4) Menjaga kebersihan pakaian setiap selesai mandi.
(5) Makan yang bergizi terutama sayur dan buah. f) Menjaga
kebersihan lingkungan.
(6) Frekuensi ganti pakaian detiap sesudah mandi (Lasatu,
2016).

Di samping itu dijelaskan pelaksanaan mandi di tempat tidur


Secara Professional (Spiller, 1992:501), yaitu: Ketrampilan
melaksanakan mandi di tempat tidur yang aman, efektif dan
teraputik dibutuhkan bagi semua perawat.
Tugas penting ini menurut pengetahuan, ketrampilan, dan
sikap perawat. Fokus utama keperawatan adalah merawat dan
melaksanakan tindakan untuk individu-individu yang tidak
dapat melaksanakan tindakan tersebut. Meski demikian,
perawat harus berhati-hati untuk menghindari ritual mandi
yang rutin. Mandi di tempat tidur biasanya dilakukan pada
pasien jika perawatan diri tidak memungkinkan, misalnya bagi
mereka yang tidak sadar, suhu badan tinggi, pascaoperasi, atau
memakai gips.
Sekali lagi, pengkajian kekuatan dan kelemahan pasien serta
pilihan hygienis pasien adalah hal yang penting. Selain itu
penting bagi perawat untuk memastikan bahwa pasien yang
baru saja menjalani operasi diberi analgesik sebelum prosedur
dilaksanakan. Perawat perlu memastikan bahwa ia memahami
kebutuhan keamanan bagi pasien dalam hal mobilitas sendi,
kesejajaran tubuh dan setiap instruksi khusus.
Pasien yang berada dalam unit perawatan intensif juga
memerlukan penjelasan penuh tentang prosedur sebelum
pelaksanaan dan peringatan harus diberikan bahwa pernapasan
mereka dapat terganggu saat mereka diposisikan miring untuk
membersihkan punggung mereka.
Pemikiran dan asuhan yang sangat baik diperlukan untuk
menyelesaikan mandi di tempat tidur dengan sukses yang
membuat pasien merasa segar dan nyaman. Perawat
kompetenakan memilih cara perawatan yang unik bagi setiap
pasien secara individual.
b. Perawatan kuku
Menjaga kebersihan kuku merupakan salah satu aspek penting dalam
mempertahankan perawatan diri karena berbagai kuman dapat masuk
ke dalam tubuh melalui kuku. Oleh sebab itu, kuku seharusnya tetap
dalam keadaan sehat dan bersih. Frekuensi memotong kuku yaitu satu
kali seminggu. Beberapa pasien mungkin memerlukan bantuan dalam
membersihkan atau memotong kuku jari tangan dan kaki.
Cara perawatan kuku yaitu dengan menggunakan pemotong kuku atau
gunting kuku yang tajam, potong kuku lurus menyilang dan kemudian
gunakan kikir kuku (jika ada), untuk menghaluskan tepi guntingan
kuku. Bila anda telah memotong semua kuku, dengan perlahan
bersihkan bagian bawahnya. Apabila kuku jari kaki pasien keras dan
tebal, kuku kaki pasien mungkin perlu direndam di dalam baskom
sebelum memotong kukunya. Periksa baik jari kaki maupun tangan
apakah ada tanda inflamasi atau tidak (WHO, 2005:35 dalam Lasatu,
2016).
Menurut Murwani (2008:20), bahwa perawatan kuku memerlukan
perhatian khusus, hal ini dilakukan untuk mencegah infeksi, bau dan
perlukaan jaringan. Namun, biasanya orang tidak memperdulikannya
sampai terjadi nyeri atau ketidaknyamanan. Perawatan tersebut bisa
dilakukan bersamaan dengan saat mandi atau mengambil waktu
khusus (Lasatu, 2016).
Adapun cara perawatan kuku menurut Murwani (2008 : 22), yaitu:
1) Mencuci tangan.
2) Mengatur posisi pasien.
3) Pasang perlak dan alas di bawah kom berisi air hangat.
4) Rendam dalam air hangat (jari tangan 1-2 menit dan jari kaki 2-3
menit).
5) Jika kuku kotor bersihkan dengan sabun dan sikat kuku.
6) Angkat jari tangan/kaki, lalu keringkan dengan handuk.
7) Letakkan jari tangan/kaki di atas bengkok berisi lisol 2%.
8) Kuku dipotong menurut lengkung kuku.
9) Rapikan pasien dan bersihkan alat.
10) Cuci tangan.
Masalah atau gangguan pada kuku :
1) Ingrown nail, kuku tangan yang tidak tumbuh-tumbuh dan
dirasakan sakit pada daerah tersebut.
2) Paronychia, radang di sekitar jaringan kuku.
3) Ram’s horn nail, gangguan kuku yang ditandai pertumbuhan yang
lambat disertai kerusakan dasar kuku atau infeksi.
4) Bau tidak sedap, reaksi mikro organisme yang menyebabkan bau
tidak sedap.
c. Perawatan mulut dan gigi
Gigi dan mulut adalah bagian penting yang harus dipertahankan
kebersihannya sebab melalui organ ini berbagai kuman dapat masuk,
banyak organ yang berada dalam mulut, seperti orofaring, kelenjar
parotid, tonsil, ufula, kelenjar sublingual, kelenjar submaksilaris, dan
lidah. Perawatan mulut dan gigi yang baik dilakukan dua kali sikat
gigi sehari, mesase gusi dan pembilasan mulut.Pada pasien di rumah
sakit yang mampu duduk di tempat tidur, perawat perlu membawa
sikat gigi dan sebaskom air untuk membantu pasien melakukan
perawatan mulut dan gigi.
Namun terkadang pasien terlalu lemah untuk melakukan perawatan
mulut dan gigi sehingga mulut menjadi kering atau teriritasi dan
menimbulkan bau tidak enak. Masalah ini dapat meningkat akibat
penyakit atau medikasi yang digunakan oleh pasien. Perawat perlu
melakukan periksaan mulut pasien setiap hari dan membantu pasien
untuk merawat mulut dan gigi pasien. Perawatan mulut dan gigi
penting untuk dilakukan oleh pasien khususnya untuk pasien yang
puasa. Saat melakukan perawatan mulut dan gigi, perhatikan adanya
perdarahan atau ulserasi dan tanyakan pasien tentang adanya nyeri.
Frekuensi menyikat gigi 2 x sehari.
Cara melakukan perawatan mulut dan gigi menurut WHO (2005:31),
yaitu posisikan pasien miring dan mendekati tepi tempat tidur, cuci
tangan sebelum melakukan tindakan, tempatkan baskom kecil
dibawah dagu pasien dengan handuk di bawah baskom untuk
menyerap tetesan air, buka mulut pasien secara perlahan dengan spatel
lidah atau alat lain seperti sendok, bersihkan gigi kemudian bilas
mulut dengan menyemprotkan sedikit air ke dalam mulut dengan spuit
dan gunakan bantalan kasa atau kain yang dilembabkan untuk
membilas mulut, bila menyemprotkan air ke dalam mulut pasien
yakinkan bahwa air tersebut mengalir keluar dari samping mulut atau
isap mulut untuk mengeluarkan air tersebut. Cairan yang tertinggal di
mulut dapat menyebabkan pasien tersendak.Cuci tangan setelah
membersihkan mulut dan gigi pasien.
Masalah yang terjadi pada kebersihan gigi dan mulut, antara lain:
1) Halitosis, bau napas tidak sedap yang dapat disebabkan oleh
kuman atau lainnya.
2) Ginggivitas, radang pada daerah gusi.
3) Karies, radang pada gigi.
4) Stomatitis, radang pada daerah mukosa atau daerah mulut.
5) Periodontal desease, (gusi yang mudah berdarah dan bengkak).
6) Glostits, radang pada lidah.
7) Chilosis, bibir yang pecah-pecah (Lasatu, 2016).

C. Tujuan Dilakukan Personal Hygiene


Menurut Riyadi dan Harmoko (2012), bahwa tujuan dilakukan personal
hygiene yaitu:
1. Meningkatkan derajat kesehatan seseorang.
2. Memelihara kebersihan diri seseorang.
3. Memperbaiki personal hygiene yang kurang.
4. Mencegah penyakit.
5. Menciptakan keindahan.
6. Meningkatkan rasa percaya diri (Lasatu, 2016).
D. Dampak Yang Sering Timbul Pada Masalah Personal Hygiene
1. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan fisik yang
sering terjadi adalah gangguan integritas kulit, gangguan mukosa mulut,
infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku. Berdasarkan
hasil penelitian Nur dan Setyowati (2011), bahwa hubungan pelaksanaan
personal hygiene dengan kejadian skabies pada balita di tempat
pembuangan akhir kota Semarang, diperoleh data tentang bailta yang
menderita skabies sebanyak 18 balita (60%) dari 30 sampel dan ada
hubungan pelaksanaan personal hygiene dengan kejadian skabies pada
balita.
2. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah
gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai
kebutuhan harga diri, aktualisasi diri, dan gangguan interaksi sosial
(Lasatu, 2016).

3.4 Kebutuhan Eliminasi pada Lansia


A. Pengertian Perawatan Diri Eliminasi
Defisit Perawatan Diri Eliminasi adalah suatu hambatan kemampuan
untuk melakukan, menyelesaikan atau melengkapi kegiatan/aktivitas
eliminasi sendiri (NANDA, 2016). Batasan karateristiknya adalah defisit
perawatan diri: eliminasi adalah ketidakmampuan melakukan hygiene
eliminasi yang tepat penyiram toilet, naik ketoilet, melepas atau
menggunakan pakaian untuk eliminasi, turun dari toilet atau untuk
duduk/bangun dari toilet, membersihkan diri sehabis eliminasi (Sudarsih &
Sandika, 2016).
B. Karakteristik Defisit Perawatan Diri
(Keliat dan Akemat, 2010 dalam Sudarsih & Sandika, 2016)
Karateristik defisit perawatan diri yang dapat di temukan :
Ketidakmampuan eliminasi secara mandiri, ditandai dengan buang air kecil
atau buang air besar tidak pada tempatnya, dan tidak dibersihkan diri dengan
baik setelalah BAK dan BAB.
C. Klasifikasi Perawatan Diri Eliminasi
Menurut Nanda (2016), perawatan diri:
1. Defisit Perawatan diri Eliminasi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas BAK atau BAB sendiri.
D. Faktor-Faktor Yang Memperngaruhi Eliminasi Pada Usia Lanjut
1. Eliminasi BAB Menurut Perry dan Potter (2005) yaitu:
a. Umur.
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga
pengontrolannya. Orang dewasa juga mengalami perubahan
pengalaman yang dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung.
Diantaranya adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari
otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya
peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus
dari otot-otot perut yang juga menurunkan tekanan selama proses
pengosongan lambung.
b. Diet.
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi
feses. Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk
memperbesar volume feses. Makanan tertentu pada beberapa orang
sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada
gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses.
Makan yang teratur mempengaruhi defekasi.
c. Psikologi.
Penyakit-penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus
pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui
juga bahwa beberapa orang yang cemas atau marah dapat
meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare.
Ditambah lagi orang yagn depresi bisa memperlambat
motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi.
d. Gaya Hidup.
Gaya hidup mempengaruhi eliminasi feses pada beberapa cara.
Pelatihan buang air besar pada waktu dini dapat memupuk kebiasaan
defekasi pada waktu yang teratur, seperti setiap hari setelah sarapan,
atau bisa juga digunakan pada pola defekasi yang ireguler.
Ketersediaan dari fasilitas toilet, kegelisahan tentang bau, dan
kebutuhan akan privasi juga mempengaruhi pola eliminasi feses.
e. Obat-obatan.
Obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap
eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare yang lain seperti
dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur
pemberian morfin dan kodein, menyebabkan konstipasi.Beberapa obat
secara langsung mempengaruhi eliminasi. Laksatif adalah obat yang
merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses. Obat-
obatan ini melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat-obatan
tertentu seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas
peristaltik dan kadang-kadang digunakan untuk mengobati diare.
f. Tonus Otot.
Tonus perut, otot pelvik dan diafragma yang baik penting
untuk defekasi. Aktivitasnya juga merangsang peristaltik yang
memfasilitasi pergerakan chyme sepanjang kolon. Otot-otot yang
lemah sering tidak efektif pada peningkatan tekanan intraabdominal
selama proses defekasi atau pada pengontrolan defekasi. Otot-otot
yang lemah merupakan akibat dari berkurangnya latihan (exercise),
imobilitas atau gangguan fungsi syaraf (Sudarsih & Sandika, 2016).
2. Eliminasi BAK
a. Jumlah Air Yang Diminum.
Semakin banyak air yang diminum jumlah urin semakin
banyak. Apabila banyak air yang diminum, akibatnya penyerapan air
ke dalam darah sedikit, sehingga pembuangan air jumlahnya lebih
banyak dan air kencing akan terlihat bening dan encer. Sebaliknya
apabila sedikit air yang diminum, akibatnya penyerapan air ke dalam
darah akan banyak sehingga pembuangan air sedikit dan air kencing
berwarna lebih kuning.
b. Jumlah Garam.
Jumlah garam yang dikeluarkan dari darah Supaya tekanan
osmotik semakin banyak konsumsi garam maka pengeluaran urin
semakin banyak.
c. Konsentrasi Hormon Insulin.
Jika konsentrasi insulin rendah, orang akan sering
mengeluarkan urin terjadi pada orang yang menderita kencing manis.
d. Hormon Antidiuretik (ADH).
Hormon ini dihasilkan oleh kelenjar hipofisis bagian belakang.
Jika darah sedikit mengandung air, maka ADH akan banyak
disekresikan ke dalam ginjal, akibatnya penyerapan air meningkat
sehingga urin yang terjadi pekat dan jumlahnya sedikit.
e. Suhu Lingkungan.
Ketika suhu sekitar dingin, maka tubuh akan berusaha untuk
menjaga suhunya dengan mengurangi jumlah darah yang mengalir ke
kulit sehingga darah akan lebih banyak yang menuju organ tubuh, di
antaranya ginjal.
f. Minum Alkohol dan Kafein
Alkohol dapat menghambat pembentukan hormon
antidiuretika. Seseorang yang banyak minum alkohol dan kafein,
maka jumlah air kencingnya akan meningkat (Sudarsih & Sandika,
2016).
E. Tanda Dan Gejala Perawatan Diri Eliminasi
Adapaun tanda gejala defisit perawatan diri Eliminasi menurut Fitria
(2010) antara lain:

BAK atau BAB (Toileting)


1. Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan
dalam mendapatkan jamban atau kamar kecil.
2. Ketidakmampuan duduk atau bangkit dari jamban.
3. Ketidakmampuanmembersihkan diri setelah BAK/BAB dengan tepat dan
menyiram toilet atau kamar kecil (Sudarsih & Sandika, 2016).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu prosesmenghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi
serta memperbaiki kerusakan yang diderita.
Pada lansia ada beberapa kebutuhan yang perlu dipenuhi diantaranya kebutuhan
istirahat tidur, ektivitas, kebersihan diri, dan eliminasi. Di mana kebutuhan ini
sangat diperlukan untuk meningkatkan rasa kepercayaan diri, rasa aman nyaman
dan meningkatkan kualitas hidup lanjut usia.
DAFTAR PUSTAKA

Ketut Arma Dinata. 2018. Gambaran Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dalam Pemenuhan
Kebutuhan Istirahat dan Tidur di Wisma Segar Panti Sosial Tresna Werdha Minaula
Kendari. Jawa Timur : Politeknik Kesehatan Kendari.
Padila. (2016). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sandika, S. &. (2016). Perawatan Diri Pada Lansia. Ponorogo.

Lasatu. (2016). Identifikasi Upaya Pemeliharaan Personal Hygiene Pada Lansia Di Pantai
Sosial Tresna Werdha Minaulakota Kendari. [Karya Tulis Ilmiah]. Kendari : Program
Srudi Ilmu Keperawatan Politeknik Kesehatan Kendari.
Almatsier, S. (2002). Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
WHO. (2017). Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2013.[Diakses 15 November 2021].
Purwanto. (2010). Tes Evaluasi Pendidikan Jasmani dan Olahraga. [Skripsi].Semarang :
Program Studi Pendidikan Olahraga Universitas Negeri Semarang.

Anda mungkin juga menyukai