Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Biofarmasetika dapat didefinisikan sebagai studi tentang bagaimana sifat fisika kimia obat,
bentuk sediaan dan rute pemberian mempengaruhi tingkat penyerapan obat. Hubungan antara
obat, bentuk sediaannya dan rute yang digunakannya mengatur berapa banyak obat dan seberapa
cepat ia memasuki sirkulasi sistemik. Agar obat menjadi efektif, cukup untuk mencapai tempat
kerjanya dan tinggal di sana cukup lama untuk bisa mengetahui efek farmakologisnya. Hal ini
tergantung pada rute administrasi, bentuk di mana ia dikelola dan tingkat di mana ia disampaikan
(Aulton, 2002)
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat kedalam tubuh
atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik. Agar suatu obat dapat
mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran
sel. Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan serta
cepat-lambatnya melarut menentukan banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per
oral, cairan biologis utama adalah cairan gastrointestinal, dari sini melalui membran biologis
obat masuk ke peredaran sistemik ( Mentari, 2014).
Usus halus mempunyai karakteristik anatomi dan fisiologi yang lebih menguntungkan untuk
penyerapan obat. Pentingnya permukaan penyerapan pada usus halus terutama karena banyaknya
lipatan-lipatan mukosa yang terutama banyak terdapat di daerah duodenum dan jejunum. Metode
in vitro pada usus halus mempunyai kekurangan yang disebabkan oleh ketidakmampuan usus
halus untuk mempertahankan strukturnya dalam jangka waktu yang lama ( Mentari, 2014).
Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya perlintasan membran dengan
intensitas yang besar, dan lebih banyak terjadi difusi pasif. Difusi pasif terutama terjadi pada
bagian pertama usus halus, karena konsentrasi obat-obat yang tinggi dalam liang usus sebelah
bawah dan pada penyerapan ( Yeni, 2013).
Ada beberapa cara terjadinya absorbsi dalam menembus membran yaitu transpor pasif,
transpor aktif, difusi sederhana, pinositosis dan transpor oleh pasangan ion. Transpor pasif
menyangkut senyawa yang dapat larut dalam komponen penyusun membran, penembusan terjadi
karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga
mencapai keseimbangan di kedua sisi membrane ( Yeni, 2013).

1
Metode kantung terbalik merupakan teknik in vitro yang mudah dan cepat dilaksanakan serta
dapat ditemukan seluruh tipe sel dan lapisan mukosa sehingga mencerminkan proses/lingkungan
sebenarnya saat obat mengalami proses absorpsi di usus. Metode ini baik digunakan untuk
menentukan absorpsi pada tempat yang berbeda pada usus halus. Hal ini sangat berguna untuk
mengestimasi first-pass metabolism dari obat dalam sel epithelial intestinal ( Mentari, 2014).
Spektrofotometri adalah ilmu yang mempelajari tentang penggunaan spektrofotometer.
Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrofotometer dan fotometer. Spektofotometer
adalah alat yang digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut
ditransmisikan, direfleksikan, atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang.
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu, dan
fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi
( Neldawati, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


-

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Absorbsi
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat kedalam tubuh
atau menuju ke peredaran darah setelah melewati sawar biologik. Absorpsi obat adalah peran
yang terpenting untuk akhirnya menentukan efektivitas obat. Agar suatu obat dapat mencapai
tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Pada
umumnya, membran sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid
semipermeabel. Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis.
Kelarutan (serta cepat-lambatnya melarut) menentukan banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal
pemberian obat per oral, cairan biologis utama adalah cairan gastrointestinal; dari sini melalui
membran biologis obat masuk ke peredaran sistemik. Disolusi obat didahului oleh pembebasan
obat dari bentuk sediaannya (Yeni, 2013).
Obat yang terbebaskan dari bentuk sediaannya belum tentu diabsorpsi, jikalau obat tersebut
terikat pada kulit atau mukosa disebut adsorpsi. Kalau obat sampai tembus ke dalam kulit, tetapi
belum masuk ke kapiler disebut penetrasi. Hanya kalau obat meresap/menembus dinding kapiler
dan masuk ke dalam saluran darah baru itu disebut absorpsi. Berarti suksesnya perpindahan obat
dari suatu bentuk sediaan dosis oral kedalam sirkulasi umum bisa dicapai dengan empat langkah
proses yaitu : 1. Penghantaran obat pada tempat absorpsinya 2. Keberadaan obat dalam bentuk
larutan 3. Pergerakan dari obat larut melalui membran saluran cerna 4. Pergerakan obat dari
tempat absorpsi ke dalam sirkulasi umum (Yeni, 2013).
Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat dalam tubuh dari sistem LADME
(Liberasi-Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi). Bila pembebasan obat dari bentuk
sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka disolusi dan absorpsinya juga lama, sehingga dapat
mempengaruhi efektivitas obat secara keseluruhan (Yeni, 2013).
Mekanisme absorpsi melewati membran biologis dibedakan menjadi beberapa macam :
1. Difusi pasif. Mekanisme ini senyawa yang dapat larut dalam komposisi penyusun membran.
Penembusan yang terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia dan tidak
memerlukan energi.
2. Filtrasi merupakan suatu jalan nafas melalui pori-pori suatu membran. Semua senyawa
yang cukup kecil dan larut dalam udara dapat melewati kanal membran.
3
3. Transport aktif adalah mekanisme perlintasan membran dengan melībatkan pembawa
pembawa. Pembawa ini merupakan bagian dari membran, berupa enzim atau senyawa
protein dengan molekul yang dapat membentuk komplek pada permukaan membran.
Transportasi ini membutuhkan energi dan tidak tergantung pada gradien konsentrasi.
4. Difusi sederhana merupakan cara perlintasan membran dengan pembawa pembawa.
Perlintasan terjadi akibat gradien konsentrasi dan tanpa energi.
5. Pinositosis merupakan proses perlintasan membran oleh molekul-molekul besar terutama
oleh molekul tidak larut. Perlintasan terjadi dengan pemesanan vesikula yang melewati
membran.
6. Mengangkut pasangan. Mekanisme ini merupakan suatu cara perlintasan membran dari
senyawa yang sangat mudah terionkan pada pH fisiologis. Perlintasan terjadi dengan
pesanan komplek yang netral (pasangan ion) dengan senyawa endogen, dengan demikian
memungkinkan terjadinya difusi pasif komplek tersebut melalui membran (Arsyto, 2000).
2.2 Uji Difusi Pasif in situ
Studi disolusi obat in vitro paling berguna untuk memantau stabilitas produk obat dan kontrol
proses pembuatan. Dengan demikian, pengujian disolusi bernilai sangat tinggi sebagai alat untuk
kontrol kualitas.Tes disolusi membedakan faktor formula yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitas obat.Dalam beberapa kasus, uji disolusi untuk produk obat oral padat yang
langsung dikeluarkan sangat diskriminatif dan produk yang dapat diterima secara klinis mungkin
berkinerja buruk dalam tes disolusi.Ketika metode disolusi yang tepat dipilih, laju disolusi
produk dapat dikorelasikan dengan laju penyerapan obat ke dalam tubuh.Korelasi in vitro-in vivo
yang terdefinisi dengan baik telah dilaporkan untuk produk obat pelepasan yang dimodifikasi
tetapi lebih sulit untuk diprediksi untuk persiapan pelepasan segera (Shargel, 1999).
Penelitian mengenai absorpsi obat secara difusi pasif dapat dilakukan dengan menggunakan
membran alami maupun sintetik. Penelitian dengan membran alami pada umumnya dilakukan
secara in situ atau in vitro. Penelitian mengenai obat secara in situ atau in vitro mempunyai
prinsip yang sama yaitu untuk melihat banyaknya obat yang melewati membran usus
(terabsorpsi) pada keadaan tertentu. Baik penyelidikan in situ maupun in vitro mengasumsikan
bahwa obat yang digunakan tidak mengalami metabolisme dalam usus (Arsyto, 2000).
Penelitian absorpsi obat secara in situ dikenal juga dengan teknik perfusi karena usus
dilubangi untuk masuknya kanula, satu kanula di bagian ujung atas untuk masuknya sampel
4
cairan dan satu lagi di bagian bawah untuk keluar dari cairan tersebut. Metode Through and
Through merupakan salah satu cara penelitian absorpsi obat secara in situ. Cara ini dilakukan
dengan menentukan fraksi obat terabsorpsi, setelah larutan obat dialirkan melalui lumen usus
yang parjangnya tertentu dan kecepatannya tertentu pula. Metode ini dapat dignakan untuk
mempelajari berbagai faktor yang dapat berpengaruh pada permeabilitas Akhir usus dari
berbagai macam obat (Arsyto, 2000).
2.3 Uji Difusi Pasif in vitro dengan metode usus terbalik
Penelitian mengenai absorpsi obat secara in sltu dilakukan dengan menggunakan usus tanpa
mengmbil organ tersebut dari tempatnya. Untuk memasukkan cairan yang digunakan obat yang
dimasukkan pada usus yang terletak 15 cm dari lambung dan diikat dengan benang. Pemasangan
ini sedemikian rupa schingga ujung kanula mengarah ke bagian anal. Dari ujung kanula pertama
yang diukur sepanjang 20 cm ke arah anal dan di tempat tersebut dipasang kanula kedua untuk
keluarnya obat yang ujungnya mengarah ke bagian oral. Pemilihan usus 20 cm yang diukur dari
15 cm setelah lambung bertujuan untuk menghindari pengaruh pH usus (Arsyto, 2000).
Kecepatan aliran cairan ditentukan dengan menjalankan pompa peristaltik yang terpasang
pada kanula pertama. Pompa peristaltik juga digunakan untuk membersihkan kotoran dari
kotoran dengan mengalirkan cairan fisiologis. Lama pengaliran cairan obat ditentukan selama
30 menit. Setelah 30 menit kadar obat dalam cairan ditentukan, schingga diperoleh kadar
sebelum dan sesudah dialirkan melalui usus, Data lain yang perlu diketahui adalah panjang dan
diameter usus (Arsyto, 2000).
Penelitian absorpsi obat secara in vitro agak berbeda dengan penelitian in situ. Pada in vitro,
usus dengan letak dan panjang yang sama dengan penelitian secara in situ diambil dan dipasang
pada kanula dan wadah yang berisi cairan fisiologis dengan suhu fisiologis. Tabung yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tabung Crane-Wilson (Arsyto, 2000).
Usus yang telah dipotong dibagi dua sama panjang dan dibersihkan lumennya dengan
menyemprotkan cairan fisiologis. Usus bagian anal digunakan untuk mengontrol. Masing-
masing ujung potongan anal potongan usus diikat degan benang dan dibalik dengan
menggunakan batang gelas halus yang berdiameter 2 mm, schingga bagian mukosa terletak di
luar. Kanula masukan pada ujung lisan potongan usus yang belum diikat. Usus diukur degan
panjang efektif 7 cm (Asyto, 2000).

5
Kantong usus yang telah diisi dengan cairan scrosa yang berupa larutan klorida 0,9% b / v
sebanyak 1,4 ml dan dimasukkan ke dalam tabung yang sudah terisi cairan mukosa yang
mengandung obat dengan suhu 37 ° C. Adapun kantong usus yang digunakan untuk kontrol,
tetapi dengan cairan mukosa tanpa obat. Selama percobaan berlangsung, seluruh bagian usus
harus terendam dalam cairan mukosa dan selalu oksigen dialiri gas pada kecepatan kurang lebih
100 gelembung per menit (Arsyto, 2000).
Pada interval waktu tertentu kadar obat dalam cairan serosa ditentukan secara sampling dan
cairan tersebut diganti untuk setiap kali pengambilan. Untuk penentuan kadar ini digunakan
seluruh cairan serosa yang diambil melalui kanula. Evaluasi data penelitian ini meliputi grafik
hubungan jumlah obat yang ditranspor sebagai fungsi dari waktu, permeabilitas membran
terhadap obat yang diuji (Pm) dan tetapan kecepatan absorpsi (Ka) (Arsyto, 2000).
2.4 Membran Absorpsi
Membran adalah struktur utama dalam sel, mengelilingi seluruh sel (membran plasma)
dan bertindak sebagai batas antara sel dan cairan interstisial. Selain itu, sebagian besar membran
menutupi organel sel (misalnya, membran mitokondria). Secara fungsional, membran sel
merupakan partisi semipermeabel yang berfungsi sebagai pembatas selektif bagian molekul. Air,
sebagian kecil dipilih molekul, dan molekul yang larut dalam lemak melewatinya membran
seperti itu, sedangkan molekul bermuatan tinggi dan molekul besar, seperti protein dan obat yang
terikat protein, tidak (Sharger dan Yu,2016).
Membran adalah suatu jaringan yang mempunyai fungsi umum melapisi organ dan sel-sel
tubuh. Membran struktur yang bersifat sangat berongga tetapi plastis. Membran sel membentuk
ruang tertutup di sekeliling protoplasma untuk mengecap sel yang satu dengan sel yang lain.
Membran yang mempunyai permcabilitas yang selektif dan berfungsi sebagai barrier schingga
dapat mengatur komposisi antara bagian dalam dan luar sel. Permeabilitas selektif tersebut
dihasilkan oleh saluran dan pompa ion, substrat, dan oleh spesifik reseptor (Arsyto, 2000).
Membran yang mempunyai ukuran tebal 75 sampai 100 Angstrom. Analisis kimia
menunjukan bahwa sel membran terdiri dari 60% protein dan 40% lipid. Protein dalam
membran terutama adalah stromatin, yaitu jenis protein yang bersifat elastis dan tidak dapat
larut. Adapun lipid yang membentuk membran sel terdiri dari 65% fosfolipid, 25% kolesterol
dan 10% lipid yang lain (Poedjiadi, 1994). Pada tumbuhan sterol yang ada berupa ergosterol.

6
Susunan kimia membran ini tidak sama, tetapi berbeda untuk sel-sel yang berbeda jenisnya
(Arsyto, 2000).
Model membran yang pernah dikemukakan adalah model mosaik yang dikemukakan oleh
Singer dan Nicolson pada tahun 1972 (Granner, 1995). Model yang dikemukakan pernah
menyatakan bahwa membran terdiri dari lapisan ganda lipid dengan protein yang tersisip di
dalamnya atau terikat pada permukaan sitoplasma (Arsyto, 2000).
2.5 Struktur Membran Sel
Struktur membran sel Penelitian Dawson dan Danielli (1936-1943) serta Stein dan Danielli
(1956), mengemukakan suatu lembaran lipida protein sebagai model membran. Model membran
tersebut terdiri dari dua basal lipida monomolekular (yang terdiri dari fosfolipida, tetapi juga
kolesterol) yang kutub hidrofobnya menghadap ke bagian dalam, dan kutub hidrofilnya
merupakan basal protein berada di fasa berair (Syukri, 2002).
Dua kutub hidrofil mengandung protein dan ujung fosfolipid yang polar (salah satu
diantaranya yang berada pada permukaan luar mempunyai lapisan protein globular) mengelilingi
daerah pusat hidrofob. Tetapi tampaknya susunan statis tersebut bukan merupakan protein dan
lipida dalam membran seluler yang hidup. Struktur membran sel dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Dalam konsep mosaik cair, matrik membran terdiri atas dua lapisan lipida protein globular yang
tidak berkesinambungan dan saling menyesuaikan menurut susunan yang teratur atau tidak
teratur. Gugusan polarnya terletak pada permukaan membran yang kontak dengan cairan intra
atau ekstraseluler, sedangkan gugus non polar menghadap ke arah dalam. 9 Pori-pori yang
tampak pada sumbu utama protein globuler tebalnya ± 85 Angstrom. Model ‘Mosaik Cair’
konsisten tentang eksistensi dari chanel-chanel ion khusus dan reseptor-reseptor di dalam dan di
sepanjang permukaan membran (Syukri, 2002).
2.6 Cara penembusan obat melalui membran biologis
Pada umumnya obat menembus membran biologis secara difusi. Mekanisme difusi
dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat fisika kimia obat dan sifat membran biologis. Cara
penembusan obat ke dalam membran biologis dibagi atas:
1. Difusi pasif
Proses dimana obat kapiler transversal membran ke dalam jaringan termasuk difusi pasif
dan tekanan hidrostatik. Difusi pasif adalah proses utama sebagian besar obat melintasi sel
membran. Difusi pasif adalah proses dari mana molekul obat bergerak area dengan konsentrasi
7
tinggi hingga area bertekanan rendah yang memungkinkan molekul obat kecil berada disaring di
glomerulus nefron ginjal(Sharger dan Yu,2016).
Penembusan membran biologis secara difusi pasif dibedakan menjadi tiga, yaitu difusi pasif
melalui pori (cara penyaringan), difusi pasif dengan cara melarut dalam lemak penyusun
membran dan difusi pasif dengan fasilitas.
a. Difusi Pasif Melalui Pori
Penembusan air terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik atau osmotik; semua
senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat melewati kanal membrane.
Sebagian besar membran (membran seluler, epitel usus halus dan lain-lain) berukuran kecil (4 -
7o A) dan hanya dapat dilalui oleh molekul dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil
dari 150 untuk senyawa yang 10 bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas
rantai panjang (Aiache, et al., 1993). Untuk lebih jelasnya difusi pasif melalui pori dapat dilihat
pada Gambar 2.3. Gambar 2.3 Difusi pasif melalui pori
b. Difusi Pasif dengan Cara Melarut pada Lemak Penyusun
Membran Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia
tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan di kedua sisi membran. Bila
molekul semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi transmembran
terjadi lebih mudah. Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam
keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk tak
terionkan. Hanya fraksi zat aktif yang terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui
membran dengan cara difusi pasif. Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam
kuat atau basa kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya
untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang sedikit
terionisasi, maka difusi melintasi membran tergantung kelarutan bentuk tak terionkan di dalam
lemak, jumlah bentuk yang tak terionkan (satu-satunya yang bergantung pada konsentrasi), serta
derajat ionisasi molekul.
c. Difusi Pasif dengan Fasilitas
Beberapa bahan obat dapat melewati membran sel karena ada tekanan osmosa, yang
disebabkan adanya perbedaan kadar antar membran, pengangkutan ini berlangsung dari daerah
dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar yang lebih rendah dan berhenti setelah mencapai
kesetimbangan, gerakan ini tidak memiliki energi dan terjadi secara spontan. Diduga molekul
8
obat membentuk kompleks dengan suatu molekul pembawa dalam membran, yang bersifat
mudah larut dalam lemak, sehingga dengan mudah bergerak menembus membran. Pada sisi
membran yang lain kompleks akan terurai melepas molekul obat dan molekul pembawa bebas
kembali ke tempat semula. Pembawa dapat berupa enzim atau ion yang muatannya berlawanan
dengan muatan molekul obat. Penembusan obat ke dalam membran biologis dapat berjalan
dengan cepat bila ada katalisator enzim dan ukuran bentuk kompleks cukup kecil. Penyerapan
pasif terjadi hingga tercapainya keseimbangan dan proses akan berhenti bila aliran darah tidak
lagi mengangkut zat aktif dalam jumlah yang setara dengan jumlah yang diserap (Aiache, et al.,
1993).
2. Transpor Aktif
Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini merupakan suatu bagian dari
membran, berupa enzim atau paling tidak senyawa protein dengan molekul yang dapat
membentuk kompleks pada permukaan membran. Kompleks tersebut melintasi membran dan
selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan lainnya, lalu pembawa kembali menuju
permukaan asalnya (transpor selalu terjadi dalam arah tertentu, pada bagian usus perjalanan
terjadi dari mukosa menuju serosa). 12 Sistem transpor aktif bersifat jenuh, artinya jika semua
molekul pembawa telah digunakan maka kapasitas maksimalnya tercapai. Sistem ini
menunjukkan adanya suatu kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh
sebab itu dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas sama pada pembawa
tertentu, dan molekul yang mempunyai afinitas tinggi dapat menghambat kompetisi transpor dari
molekul yang afinitasnya lebih rendah. Transpor dari satu sisi membran ke sisi yang lain dapat
terjadi dengan mekanisme perbedaan konsentrasi. Transpor aktif ini memerlukan energi yang
diperoleh dari hidrolisa adenosintrifosfat (ATP) di bawah pengaruh suatu ATP-ase. (Aiache, et
al., 1993). Mekanisme transpor aktif dapat dilihat pada Gambar 2.4. Gambar 2.4 Sistem
pengangkutan aktif
3. Pinositosis
Pinositosis merupakan tipe khas pengangkutan aktif dari obat yang mempunyai ukuran
molekul besar dan misel-misel seperti lemak, amilum, gliserin, vitamin A, D, E dan K.
Pengangkutan ini digambarkan seperti sistem fagositosis pada bakteri (Siswandono dan
Soekarjo, 2000)). Sistem pengangkutan secara pinositosis Kebanyakan dari obat melewati
membran biologis dengan cara difusi pasif. Senyawa obat yang berbobot molekul kecil dengan
9
bebas melewati mikroporus dari sel. Dengan catatan mungkin obat larut diluar fase membran
plasma menembus membran dan masuk ke dalam sitoplasma sel. Karena bersifat lipid membran
sel mempunyai daya afinitas yang lebih tinggi terhadap bentuk obat yang larut dalam lipid. Obat
asam lemah dan basa lemah mungkin berada dalam keadaan tak terion pada harga pH dari fasa
berair pada bagian eksternal dan internal membran. Selama bentuk tak terion dari obat lebih
mudah larut dalam lipid dari pada bentuk terion, bentuk tak terion larut ke dalam membran dan
seterusnya maka difusi akan lebih cepat dari pada bentuk terion (Wolf, 1994).
2.6 Usus Halus
Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas tiga bagian yaitu; duodenum,
jejunum dan illeum yang bebas bergerak. Diameter usus halus beragam tergantung pada letaknya
yaitu 2 – 3 cm dan panjang keseluruhan antara 5 - 9 m. Panjang tersebut akan berkurang oleh
gerakan regangan otot yang melingkari peritonium (Aiache, et al., 1993).
Duodenum dengan panjang sekitar 25 cm, terikat erat pada dinding dorsal abdomen, dan
sebagian besar terletak retroperitoneal. Jalannya berbentuk –C, mengitari kepala pankreas dan
ujung distalnya menyatu 14 dengan jejenum, yang terikat pada dinding dorsal rongga melalui
mesenterium. Jejenum dapat digerakkan bebas pada mesenteriumnya dan merupakan 2/5 bagian
proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa 3/5 nya. Kelokan-kelokan jejenum
menempati bagian pusat abdomen, sedangkan ileum menempati bagian bawah rongga (Fawcett,
2002). Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian atas duodenum berbentuk lipatan-
lipatan atau disebut juga valvula conniventes. Lipatan-lipatan inilah yang berfungsi sebagai
permukaan penyerapan dan penuh dengan villi yang tingginya 0,75 – 1,00 mm dan selalu
bergerak. Adanya villi ini lebih memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40 – 50 m
(Aiache, et al, 1993).
2.7 Metode Kantung Terbalik (Everted Sac)
Preformulasi melibatkan sejumlah pemeriksaan untuk menghasilkan informasi yang
bermanfaat untuk tahap formulasi selanjutnya meliputi kestabilan fisikokimia dan kecocokan
dosis obat secara biofarmasi. Penelitian awal biofarmasi dari senyawa obat juga dilakukan
selama preformulasi. Uji-uji ini didesain untuk menelusuri karakteristik ketersediaan senyawa
obat secara in vitro. Hasil penelitian ini mengkontribusikan suatu produk sediaan obat yang
efektif, rasional, aman, dan ekonomis. Suatu teknik dengan menggunakan everted intestinal sac
dapat digunakan dalam mengevaluasi karakteristik absorpsi dari zat obat (Ansel, 1989).
10
Pada persiapannya, teknik everted sac menggunakan bagian dari intestin, disayat dari bagian
omentum dan sirkulasi mesenterikum. Intestin ini dibalik sehingga permukaannya berada pada
bagian luar dan ujung dari bagian ini diikat, larutan buffer dimasukkan melalui kateter pada
bagian lainnya, dan bagian luar usus direndam dalam larutan berisis obat dengan suhu 37o C,
dialiri oksigen 95% dan CO2 17 50%. Kedua bagian, baik serosa maupun mukosa dapat
dijadikan sampel untuk analisis. Everted sac merupakan teknik yang sederhana yang
menghadirkan kerumitan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan pengujian konsentrasi obat
secara in vivo. Kondisi dari temperatur, oksigen, ketersediaan makanan sebagai sumber energi
dapat diatur dalam metode ini, namun tidak ada lagi sirkulasi mesenterikum dan kehadiran obat
secara total pada bagian dalam kantung pada difusi melalui serosa (Swarbrick and Boylan,
1992).

11
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Usus Terbalik
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat ke dalam
tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik. Absorpsi obat
adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan efektivitas obat (Aiache, dkk., 1993).
Pada percobaan ini, baik menggunakan medium dapar fosfat pH 5,8 diperoleh persamaan
regresi y = 0 y= 0,1724x + 0,1712 ; r = 0,9907 dan medium dapar fosfat pH 7,4, diperoleh
persamaan regresi y = 0,089390x + 0,151611 ; r = 0,998. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa
nilai r yang memenuhi adalah 9,770 atau mendekati 1 (Tulandi , 2015).
Berdasarkan hasil percobaan, absorbsi paracetamol paling baik pada ph 7,4 dimana sesuai
dengan grafik terjadi penurun konsentrasi dari 300 ppm pada menit ke-0 dan berkurang menjadi
291 ppm pada menit ke-60 dibandingkan dengan ph 5,8 hanya mengalami sedikit penurunan
konsentrasi yaitu 302 pp pada menit ke-0 dan berkurang menjadi 299 ppm pada menit ke-60.Hal
ini dapat terjadi karena paracetamol mudah larut dalam basa dan ph 7,4 dalam situasi basa
(Depkes RI,2014).
Berdasarkan percobaan digunakan metode difusi pasif yang juga berpengaruh pada ph
dan zat aktif yaitu paracetamol, hal ini sesuai dengan literatur yaitu untuk obat yang zat aktifnya
merupakan garam dari suatu asam kuat atau basa kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan
difusi transmembran. Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam
lemah atau basa lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melalui membran tergantung
kelarutan bentuk tak terionkan (satu-satunya yang berpengaruh pada konsentrasi), serta derajat
ionisasi molekul (Syukri, 2002).
Derajat ionisasi tergantung pada dua faktor, (persamaan Henderson Hasselbach) yaitu: a.
Tetapan ionisasi dari suatu senyawa atau pKa b. pH cairan dimana terdapat molekul zat aktif
Untuk asam : konsentrasi bentuk tak terionkan konsentrasi bentuk terionkan pKapH += log
Untuk basa : konsentrasi bentuk terionkan konsentrasi bentuk tak terionkan pKapH += log
Karakteristik fisiko-kimia sebagian besar molekul (polaritas, ukuran molekul, dan sebagainya)
merupakan hambatan penembusan transmembran oleh mekanisme pasif secara filtrasi dan difusi.
Pengikutsertaan proses aktif dapat menjelaskan perjalanan obat yang kadang-kadang melintasi
membran sel dengan sangat cepat (Syukri, 2002)
12
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap proses absorpsi, antara lain
kelarutan obat. Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan sering kali
merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu
kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Tahap yang paling lambat didalam suatu rangkaian
proses kinetik disebut tahap penentu kecepatan (rate-limiting step). Faktor-faktor yang
mempengaruhi laju degradasi antara lain pH, dapar, suhu, media reaksi dan adanya bahan
tambahan seperti surfaktan (Connors et al., 1986).
2.2 Usus Homogen
Pada umumnya produk obat melewati absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses.
Proses singkat (1) disintegrasi: produk obat yang diikuti pelepasan obat; (2) pelarutan obat dalam
media “aqueous”; (3) absorpsi melalui membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses
disintegrasi obat, pelarutan, dan absorpsi, kontrol kecepatan ditentukan oleh putaran yang p
semakin lambat dalam rangkaian di atas(Shargel, 1999).
Umumnya absorpsi obat di saluran cerna terjadi secara difusi pasif.Agar dapat diabsorpsi,
obat harus larut dalam cairan pencernaan.Sebelum absorpsi terjadi, suatu bentuk sediaan tablet
mengalami disintegrasi, deagregasi dan disolusi.Disintegrasi, deagregasi, dan disolusi dapat
berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut
diberikan. Proses disintegrasi belum menggambarkan pelarutan sempurna suatu obat. Partikel-
partikel kecil hasil disintegrasi akan terdisolusi. Disolusi merupakan proses dimana suatu zat
padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Laju pelarutan obat dalam cairan
saluran cerna merupakan salah satu tahapan penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik
obat.Laju pelarutan obat di dalam saluran cerna dipengaruhi oleh kelarutan obat itu sendiri
(Sutriyo, 2005).
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, diperoleh bahwa waktu merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi absorpsi paracetamol. Waktu yang lama menunjukkan absorpsi

yang lebih besar dapat kita lihat dalam grafik pada menit ke-0,75 , 0,019 mmol/L ; pada menit

ke-1 , 0,020 mmol/L ; pada menit ke-2 ; 0,027 mmol/L ; pada menit ke-3 , 0,034 mmol/L ; pada

menit ke-5 , 0,052 mmol/L ; pada menit ke-7 , 0,075 mmol/L ; pada menit ke-10 , 0,096 mmol/L

13
dan pada menit ke-15 , 0,12 mmol/L terjadi kenaikan karena kontak dengan permukaan sel atau

membran sel lebih lama dan sebaliknya.

Berdasarkan percobaan digunakan metode difusi pasif yang juga berpengaruh pada ph
dan zat aktif yaitu paracetamol, hal ini sesuai dengan literatur yaitu untuk obat yang zat aktifnya
merupakan garam dari suatu asam kuat atau basa kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan
difusi transmembran. Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam
lemah atau basa lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melalui membran tergantung
kelarutan bentuk tak terionkan (satu-satunya yang berpengaruh pada konsentrasi), serta derajat
ionisasi molekul (Syukri, 2002).
Derajat ionisasi tergantung pada dua faktor, (persamaan Henderson Hasselbach) yaitu: a.
Tetapan ionisasi dari suatu senyawa atau pKa b. pH cairan dimana terdapat molekul zat aktif
Untuk asam : konsentrasi bentuk tak terionkan konsentrasi bentuk terionkan pKapH += log
Untuk basa : konsentrasi bentuk terionkan konsentrasi bentuk tak terionkan pKapH += log
Karakteristik fisiko-kimia sebagian besar molekul (polaritas, ukuran molekul, dan sebagainya)
merupakan hambatan penembusan transmembran oleh mekanisme pasif secara filtrasi dan difusi.
Pengikutsertaan proses aktif dapat menjelaskan perjalanan obat yang kadang-kadang melintasi
membran sel dengan sangat cepat (Syukri, 2002)

14

Anda mungkin juga menyukai