PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan penyakit paru yang memburuk seperti asma refrakter (tidak ada perubahan
atau perbaikan yang sangat singkat), bronkitis menahun/kronis, dan emfisema (kondisi
kantung udara di paru-paru mengalami kerusakan yang memburuk). Penyakit ini memiliki
ciri kesulitan bernafas yang tidak dapat dijelaskan serta rasa lelah berlebihan. PPOK bisa
menjadi penyakit yang melemahkan penderitanya dan saat ini PPOK menjadi penyebab
kematian tertinggi ke-4 di Amerika Serikat. Saat ini penderita PPOK di Amerika saja telah
mencapai 24 juta penduduk dimana sebagiannya belum terdiagnosis. Lelaki memiliki
kecenderungan terkena PPOK lebih tinggi dibandingkan wanita.
Penyakit ginjal khronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Gagal ginjal khronik ( Chronic Kidney Disease / CKD ) adalah kerusakan ginjal yang
terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan
ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal
khronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1.73 m2.
Di Amerika Serikat, data tahun 1995 1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus penjta peduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8 % setiap
tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal
ginjal pertahunnya. Dinegara negara berkembang lainnnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40
60 kasus perjuta penduduk per tahun. Secara garis besar penyakit ginjal kronik dapat
dikategorikan infeksi yang berulang dan nefron yang memburuk, obstruksi saluran kemih,
destruksi pembuluh darah akibat diabetes dan hipertensi yang lama, pada jaringan parut dan
trauma langsung pada ginjal.
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg sistolik
dan atau sama atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak sedang
mengkonsumsi obat antihipertensi.Sampai saat ini, prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar
antara 5-10%, sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi
sekitar 14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab
penyakit jantung di Indonesia.
Bila tidak diatasi, tekanan darah tinggi akan mengakibatkan jantung bekerja keras
hingga pada suatu saat akan terjadi kerusakan yang serius. Otot jantung akan menebal
(hipertrofi) dan mengakibatkan fungsinya sebagai pompa menjadi terganggu, selanjutnya
jantung akan berdilatasi dan kemampuan kontraksinya berkurang, yang pada akhirnya akan
terjadi gagal jantung. Gagal jantung adalah keadaan ketidakmampuan jantung sebagai pompa
darah untuk memenuhi secara adekuat kebutuhan metabolisme tubuh.
1.2. Tujuan
a.Tujuan Umum
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk melengkapi syarat kepanitraan klinik
senior (KKS) bagian interne di Rumah Sakit Umum Daerah Solok.
b.Tujuan Khusus
Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan PPOK + CKD stage V e.c hipertensi,
yaitu:
a. Bagi Mahasiswa
Sebagai bahan acuan dalam memahami dan mempelajari mengenai
PPOK + CKD stage V e.c hipertensi.
b. Bagi Institut Pendidikan
Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi
kegiatan yang ada kaitannya dengan pelayanan kesehatan, khususnya
yang berkaitan dengan PPOK + CKD stage V e.c hipertensi.
c. Bagi Masyarakat
Dapat menambah pengetahuan terhadap penyakit ini beserta
pencegahan dan pengobatan. Dengan demikian penderita dapat
mengatahui bagaimana tindakan selanjutnya apabila mengalami gejala-
gejala yang mengarah pada penyakit tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan penyakit paru yang memburuk seperti asma refrakter (tidak ada perubahan
atau perbaikan yang sangat singkat), bronkitis menahun/kronis, dan emfisema (kondisi
kantung udara di paru-paru mengalami kerusakan yang memburuk). Penyakit ini memiliki
ciri kesulitan bernafas yang tidak dapat dijelaskan serta rasa lelah berlebihan. PPOK bisa
menjadi penyakit yang melemahkan penderitanya dan saat ini PPOK menjadi penyebab
kematian tertinggi ke-4 di Amerika Serikat. Saat ini penderita PPOK di Amerika saja telah
mencapai 24 juta penduduk dimana sebagiannya belum terdiagnosis. Lelaki memiliki
kecenderungan terkena PPOK lebih tinggi dibandingkan wanita.
2.1.2 Etiologi
Penyakit paru obstruktif kronis terutama dapat dikenali dari ciri-ciri kesulitan bernafas.
Hal ini diakibatkan oleh menurunnya aliran udara yang masuk dan keluar dari saluran
bronkus di paru-paru. Saluran bronkial yang lebih tipis dan kecil biasa disebut bronkiolus.
Bronkiolus mengandung kantung udara (alveoli), yang didalamnya terjadi pertukaran udara
(oksigen dan sisa karbondioksida) dengan pembuluh darah. Ketika seseorang menderita
PPOK, kantung udara tidak dapat menampung aliran udara yang cukup untuk masuk dan
keluar dari paru-paru, mengurangi kebutuhan tubuh akan oksigen. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh beberapa hal:
Kantung udara dan jalur nafas (bronkiolus) kehilangan kelenturan untuk menampung
udara
Dinding antara kantung udara rusak atau hancur
Dinding dari jalur nafas menjadi radang
Terdapat sangat banyak lendir/mukus yang menutupi jalur nafas
Ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam timbulnya PPOK. Walaupun merokok bisa
menyebabkan PPOK, namun orang yang bukan perokok juga dapat terkena penyakit ini. Tiga
faktor resiko tertinggi pada perkembangan PPOK adalah:
Merokok: PPOK paling sering terjadi pada orang yang berumur 40 atau lebih dan
yang memiliki riwayat merokok, baik sebagai kebiasaan lama ataupun masih hingga
sekarang. Sekitar 90% kasus PPOK berhubungan dengan merokok.
Faktor lingkungan: PPOK juga dapat timbul pada orang yang memiliki hubungan
dengan perokok (perokok pasif) atau polutan berbahaya meliputi zat kimia, bahan
bakar, uap atau debu.
2.1.3 Klasifikasi
1. PPOK ringan
Gejala klinis:
- Dengan atau tanpa batuk
- Dengan atau tanpa produksi sputum
- sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
2. PPOK sedang
Gejala klinis :
- Dengan atau tanpa batuk
- Dengan atau tanpa produksi sputum
- sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas)
3. PPOK berat
Gejala klinis:
- sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal naps kronik
- eksaserbasi lebih sering terjadi
- disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
2.1.4 Patofisiologi
Di sebelah kiri adalah diagram paru-paru dan saluran udara dengan inset yang
menunjukkan tampang-lintang yang mendetail dari bronkiole dan alveoliyang normal. Di
sebelah kanan adalah paru-paru yang rusak karena PPOK dengan inset yang menunjukkan
tampang-lintang dari bronkiole dan alveoli yang rusak
PPOK adalah sejenis penyakit paru obstruktif yang terjadi saat terdapat aliran udara
yang buruk yang tak dapat diperbaiki secara menyeluruh dan kronis serta terjadi
ketidakmampuan untuk menghembuskan napas secara penuh (memerangkap udara). Aliran
air yang buruk merupakan akibat dari rusaknya jaringan paru (dikenal sebagai emfisema) dan
penyakit saluran udara kecil yang dikenal sebagai bronkiolitis obstruktif. Kontribusi relatif
dari dua faktor ini bervariasi dari orang ke orang. Kerusakan saluran udara kecil yang parah
dapat mengakibatkan terbentuknya kantung-kantung udara yang besar-besar yang disebut
sebagai bula-bula yang menggantikan jaringan paru. Jenis penyakit ini disebut sebagai
emfisema bula.
Mikrografis menggambarkan emfisema (kiri - ruang kosong yang luas) dan jaringan paru dengan sisa-
Penyempitan saluran udara terjadi karena inflamasi dan parut di dalamnya. Hal ini
menyebabkan kesulitan saat menghembuskan napas dengan sepenuhnya. Pengurangan aliran
udara terbesar terjadi saat menghembuskan napas, karena tekanan di dada menekan saluran
udara pada saat itu. Hal ini berakibat udara dari tarikan napas sebelumnya tetap berada di
dalam paru-paru sementara tarikan napas berikutnya telah dimulai. Hasilnya adalah
peningkatan volume total udara di dalam paru-paru yang dapat terjadi kapan saja, sebuah
proses yang disebut sebagai hiperinflasi atau terperangkapnya udara. Hiperinflasi karena olah
raga terkait dengan sesak napas di PPOK, karena menghirup napas saat paru-paru terisi
setengah penuh terasa kurang nyaman.
Tingkat oksigen rendah dan, akhirnya, tingginya tingkat karbon dioksisa di darah
dapat terjadi karena pertukaran udara yang buruk akibat berkurangnya ventilasi karena
obstruksi saluran udara, hiperinflasi, dan berkurangnya keinginan untuk bernapas. Selama
eksaserbasi, inflamasi saluran udara akan meningkat, sehingga hiperinflasi meningkat, aliran
udara pernapasan berkurang, dan transfer gas semakin buruk. Hal ini juga akan
mengakibatkan tidak cukupnya ventilasi, dan akhirnya, tingkat oksigen dalam darah yang
rendah. Tingkat oksigen rendah, jika dialami dalam jangka waktu lama, dapat menyebabkan
penyempitan arteri di paru-paru, sementara emfisema mengakibatkan rusaknya kapilari di
paru-paru. Kedua perubahan ini berakibat meningkatnya tekanan darah di arteri pulmonari,
yang dapat menyebabkan kor pulmonale.
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada siapa pun yang berusia lebih dari 35
hingga 40 tahun yang mengalami sesak napas, batuk kronis, produksi sputum, atau batuk
pilek musim dingin yang sering, serta memiliki sejarah terpapar faktor-faktor risiko dari
penyekit tersebut. Spirometri kemudian dapat digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis.
Spirometri
Spirometri mengukur jumlah obstruksi aliran udara yang terjadi dan umumnya
digunakan setelah penggunaan bronkodilator, pengobatan yang membuka saluran udara. Dua
komponen utama diukur untuk membuat diagnosis: volume pernapasan paksa dalam dua
detik (FEV1), yaitu volume terbesar udara yang dihembuskan ke luar dalam detik pertama
hembusan napas, dan kapasital vital paksa (KVP/FVC), yaitu volume udara terbesar yang
dapat dihembuskan dalam satu hembusan napas besar. Normalnya, 75-80% FVC ke luar
dalam satu detik pertama dan FEV1/rasio KVP yang kurang dari 70% pada seseorang yang
memiliki gejala-gejala PPOK menandakan bahwa orang tersebut menderita PPOK.
Berdasarkan pengukuran ini, spirometri akan menyebabkan diagnosis-berlebih akan PPOK di
kalangan manula. Kriteria dariNational Institute of Clinical Excellence menambah satu
diagnosa lagi berupa FEV1 yang kurang dari 80% dari yang diperkirakan.
Bukti dengan menggunakan spirometri untuk mereka yang tidak memiliki gejala
sebagai upaya diagnosa kondisi secara dini tidak memiliki efek yang jelas dan karena itu
tidak direkomendasikan pada saat ini. Aliran ekspiratori puncak (kecepatan maksimum
ekspirasi), yang biasa digunakan untuk asma, tidak cukup untuk mendiagnosis PPOK.
Keparahan
Skala sesak nafas MRC
2 Jalan cepat
3 Dengan jalan biasa
GOLD grade
Ringan (EMAS 1) 80
Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a.Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan
b.Perkembangan gejala bersifat progresif lambat
c.Riwayat pajanan, seperti merokok,polusi udara(didalam ruangan,luar ruangan
dan tempat kerja)
d. Sesak pada saat melakukan aktivitas
e. Hambatan aliran udara umumnya irreversibel (tidak bisa kembali normal).
Diagnosis PPOK klinis ditegakkan apabila:
1. Anamnesis:
a. ada faktor resiko
usia (pertengahan)
riwayat pajanan
asap rokok
polusi udara
polusi tempat kerja
b. gejala:
gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus
diperiksa dengan teliti karena sering kali dianggap sebagai gejala yang biasa
terjadi pada proses penuaan.
Batuk kronik : batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang
dengan pengobatan yang diberikan
Berdahak kronik
Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus
menerus tanpa disertakan batuk.
Sesak napas, terutama pada saat melakukan aktivitas.
Sering kali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas ynag bersifat
progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus
dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak.
2. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik sering kali tidak ditemukan kelaianan yang jelas
terutama aukultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi
alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat sering kali
terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi thorax.
Inspeksi
Bentuk dada : barrel chest(dada seperti tong)
Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup)
Terlihat pengguan dan hipertrofi (pembesaran ) otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Perkusi
Hipersonor
Auskultasi
Fremitus melemah
Suara napas vesikuler melemah atau normal
Ekspirasi memanjang
Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi
2.1.6 Penatalaksanaan
Secara umum tatalaksana PPOK adalah sebagai berikut:
1. Pemberian obat-obatan
a. Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada
eksaserbasi digunakan oral atau sistemik
b. anti inflamasi
pilihan utama untuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada
eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik.
c. Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi.
Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat.
d. Mukolitik
Tidak di berikan secara rutin hanya digunakan sebagai pengobatan simtomatik
bila terdapat dahak yang lengket dan kental.
e. Antitusif
Diberikan apabila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan
secara rutin merupakan kontraindikasi.
2. Pengobatan penunjang
a. Rehabilitasi
b. Edukasi
c. Berhenti merokok
d. Latihan fisik dan respirasi
e. Nutrisi
3. Terapi oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang atau
pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati-hati dapat menyebabkan
hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada PPOK
stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup.
4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi
mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan
lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat.
5. Operasi paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bula ynag besar atau transplantasi paru (masih
dalam proses penelitian di negara maju)
6. Vaksinasi influenza
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi influenza
diberikan pada :
a. Usia di atas 60 tahun
b. PPOK sedang dan berat.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan
LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria
penyakit ginjal kronik.
2.2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara-negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta
penduduk per tahun.
2.2.3 Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu Negara
dengan Negara lain. Tabel 4 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit
ginjal kronik di Amerika Serikat.Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis di Indonesia seperti pada Tabel 5.
Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya, nefritis lupus, nefropati urat,
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak
diketahui.
Tabel 3. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialis di Indonesia Tahun 2000
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes Melitus 18,65%
Obstruksi dan Infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%
2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockeroft-Gault sebagai berikut :
2.2.5 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
structural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis rennin-agiotensin-aldosteron-intravenal, ikut memeberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.Aktivasi
jangka panjang aksis rennin-agiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti transforming growth factor (TGF- ).Beberapa hal yang
juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik
adalah albuminaria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan,
tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30% mulai terjadi keluhan pada pasien seperti : nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah
30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya.Pasien juga mudah terkena infeksi seperti
infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga
akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15%
akan terjadi gejala dan komplikasi yang serius, dan pasien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
Parut tubulointerstisial
Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih
berkorelasi dengan fungsi ginjal dibangdingkan dengan
glomerulosklerosis. Proses ini termasuk inflamasi, proliferasi
fibroblas interstisial dan deposisi ECM yang berlebih. Sel tubular
yang mengalami kerusakan berperan sebagai antigen presenting
cell yang mengekspresikan cell adhesion molecules dan
melepaskan sel mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, dan
growth factor, serta meningkatkan produksi ECM dan menginvasi
ruang periglomerular dan peritubular. Resolusi deposisi ECM
tergantung pada dua jalur yaitu aktivasi matriks metalloproteinase
dan aktivasi enzim proteolitik plasmin oleh aktivator
plasminogen.Parut ginjal terjadi akibat gangguan kedua jalur
kolagenolitik tersebut, sehingga teradi gangguan keseimbangan
produksi ECM dan pemecahan ECM yang mengakibatkan fibrosis
yang irreversibel.
Sklerosis vaskular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular
oleh berbagai sebab (misalnya diabetes, hipertensi,
glomerulonefritis kronis) akan menimbulkan terjadinya eksaserbasi
iskemi interstisial dan fibrosis. Iskemi serta hipoksia akan
menyebabkan sel tubulus dan fibroblas untuk memproduksi ECM
dan mengurangi aktivitas kolagenolitik. Kapiler peritubular yang
rusak akan menurunkan produksi proangiogenic vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan ginjal yang mengalami
parut akan mengekspresikan thrombospondin yang bersifat
antiangiogenic sehingga terjadi delesi mikrovaskular dan iskemi.
2.2.6 Diagnosis
1. Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,hiperurikemi, Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) dan lain sebagainya
Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihanvolume cairan (volume overload), neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampaikoma.
Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistorfi renal,
payah jantung, asidosismetabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida)
2. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
Sesuai dengan penyakit yang mendasari
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunanLFG yang dihitung menggunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat,hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,hipokalsemia, asidosis
metabolik.
Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
Foto Polos Abdomen, bisa tampak batu radio-opak
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yangsudah mengalami
kerusakan.
Pielografi antegrad dan retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi
Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanyahidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi
Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi
2.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Terapi pengganti fungsi ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Kompensasi
Netropati hiperfiltrasi dan
hipertrofi
Berkurangnya
jumlah netron
Terapi farmakologis
Pemakaian obat antihipertensi disamping bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus
dan hipertropi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian
tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan
asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Dsamping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terakait dengan
derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria
merupakan factor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain
derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat enzim Konverting
Angiostenin, melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburuan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihpertensi dan antiproteinuria.
Tabel 7. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LFG Fosfat
Asupan Protein g/kg/hari
ml/menit g/kg/hari
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik.Anemia
pada penyakit ginja kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropotin.Hal-hal lain yang ikut berperan dalam trjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah, masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap
anemia dimualai saat kadar hemoglobin 10g% atau hematokrit 30%,
meliputi evaluasi terhadap status besi(kadar besi, serum,kapasitas ikat besi
total), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan lain sebagainya.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya,
disamping penyebab lain bila ditemukan pemberian eritropotein merupakan
hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, statur besi harus selalu
mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya
karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian
transfuse pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati0hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfuse darah
yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan
tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin
menurut berbagai studi klinik adalah 11-12g/dl.
b. Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang
sering terjadi.Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar.
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone kalsitriol (1.25(OH)2D3).
Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorsi fosfat di saluran
cerna.dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut
berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
Penurunan Fungsi Ginjal
Peningkatan PTH
Hiperplasi
kelenjer paratiroid
1. Mengatasi Hiperfosfatemia
- Pembatasanan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet
pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu tinggi kalori, rendah
protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam
daging dan produk hean seperti susu dan telur. Asupan fosfat yang terlalu
ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.
- Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam
kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini
diberikan secara oral, untuk menghambat absorsi fosfat yang berasal dari
makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan kalsium acetate.
- Pemberian bahan kalsium memetik. Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis
obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kalenjer paratiroid,dengan
nama sevelamer hidrokhlotida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent,
dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping
yang minimal.
2.3 Hipertensi
2.3.1 Definisi
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg sistolik
dan atau sama atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak sedang
mengkonsumsi obat antihipertensi.Sampai saat ini, prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar
antara 5-10%, sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi
sekitar 14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab
penyakit jantung di Indonesia.
2.3.2 Epidemiologi
Hipertensi ditemukan pada semua populasi dengan angka kejadian yang berbeda-beda,
sebab ada faktor-faktor genetik,ras,regional,sosiobudaya yang juga menyangkut gaya hidup
yang berbeda. Hipertensi akan makin meningkat bersama dengan bertambahnya umur.
Hasil analisa The Third Nasional Health and Nutrition Examination survey (NHANES
III) blood pressure data, hipertensi dapat dibagi menjadi dua kategori. 26% pada populasi
muda (umur <50 tahun), terutama pada laki0laki (63%) yang biasanya didapatkan lebih
banyak IDH dibanding ISH. 74% pada populasi tua (umur >50 tahun), utamanya pada wanita
(58%) yang biasanya didapat lebih banyak ISH dibanding IDH.
Hipertensi mengambil porsi sekitar 60% dari seluruh kematian seluruh dunia. Pada
anak-anak yang tumbuh kembang hipertensi meningkat mengikuti dengan pertumbuhan
badan.
2.3.4Etiologi
Hipertensi disebut primer bila penyebabnya tidak diketahui (90%), bila ditemukan
sebabnya disebut sekunder (10%). Penyebabnya antara lain:
2.3.4 Patogenesis
Peningkatan tekanan darah yang dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer .
mekanisme hipertensi tidak dapat dijelaskan dendan satu penyebab khusus, melainkan
sebagai akibat interaksi dinamis antara faktor genetik, lingkungan dan faktor lainnya.
Tekanan darah dirumuskan sebagai perkalian antara curah jantung dan atau tekana perifer
yang akan meningkatkan tekanan dara. Retensi sodium, turunya filtrasi ginjal, meningkatnya
rangsangan saraf simpatis, meningkatnya aktifitas renin angiotensin aldosteron, perubahan
membran sel, hiperinsulinemia, disfungsi endotel merupakan beberapa faktor yang terlibat
dalam mekanisme hipertensi.
2.3.6 Diagnosis
Anamnesis
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
Adanya penyakit ginjal, ISK, hematuri, pemakaian obat-obat analgesik dan
obat/bahan lain.
Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor-faktor resiko
Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien
Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarga pasien
Riwayat DM pada pasien atau keluarganya
Kebiasaan merokok
Pola makan
Kegemukan, intensitas olah raga
Kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, defisit
sensoris atau motoris
Janntung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur dengan bantal
tinggi (lebih dari 2 bantal)
Ginjal : mhaus, poliuria, nokturia, hematuria, hipertensi yang disertai kulit
pucat anemis
Arteri perifer: ekstremitas dingin
5. Pengobatan anti-hipertensi sebelumnya
6. Faktor-faktor pribadi,keluarga dan lingkungan
Pemeriksaan fisik
Pengukuran tekanan darah (TD) dilakukan pada penderita yang dalam keadaan
nyaman dan relaks, dan dengan tidak tertutup/tertekan pakaian.
Pemeriksaan penunjang
Terdiri dari: tes darah rutin, glukosa darah (sebaiknya puasa), kolesterol total
serum, kolesterol LDL dan HDL serum, trigliserida serum (puasa), asam urat serum,
kreatinin serum, kalium serum, hemoglobin dan hematokrit, urinalisa, elektrokardiogram.
2.3.7 Penatalaksanaan
Langkah 2
Langkah 3
Penghambatan ACE/ARB+CCB+tiazid
Langkah 4
Langkah 5
2.3.8 Komplikasi
Serebrovaskular : stroke, demensia vaskular
Mata : retinopati hipertensi
Kardiovakular : penyakit jantung hipertensi, disfungsi atau hipertrofi ventrikel kiri,
penyakit jantung koroner
Ginjal : nefropati hipertensif, albuminuria, penyakit ginjal kronis
Arteri perifer : kaludosio intermiten
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Ny. S
Umur : 78 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : Tanah garam
Status perkawinan : Janda
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Tanggal masuk : 12 juli 2017
No MR : 11.81.66
3.2 Anamnesis
Ekstremitas
A. Superior
Inspeksi : edema (-), sianosis (-)
Palpasi : akral hangat, pulsasi A.radialis teraba
B. Inferior
Inspeksi : sianosis (-), tremor (-)
Palpasi : akral hangat, pulsasi A.dorsalis pedis, A.tibialis
posterior, A.poplitea kuat angkat
Pemeriksaan anjuran:
1. Pemeriksaaan urinalisa
3. Pemeriksaan EKG
4. Echocardiography
9. Biopsi ginjal
10. CT Scan
11. MRI
Pemeriksaan endoskopi dan histopatologi
Diagnosa kerja
Chronic Kidney Disease (CKD) stage V e.c Hipertensi
Diagnosa banding
1. Acute kidney Injury (AKI)
2. Glomerulonefritris
3. Sindroma nefrotik
4. Oligouria
5. Retensio urine
6. Urolithiasis
7. Sirosis hepatis
8. Sirosis cardiac
9. ARDS
10. Krisis hipertensi
Penatalaksanaan
- IV
1. IVFD RL 6J/K
2. Inj.ceftriaxone 2x1
3. Inj. Ranitidin 2x1
- Oral
1. Paracetamol 3x1
2. Ambroxol 3x1
3. Sucralfat 3x1
4. Asam folat 2x1
5. Bicnat 3x1
Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad fungtionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
Follow up
Tanggal Subjectif objectif Assement planning
13-07- Sesak KU: PPOK+CKD O2 2L/i
2017 berkurang sedang e.c. Ro.thorax
Demam Kes: hipertensi Ranitidin 2x1
Batuk - CMC
TD:
130/80
mmHg
Nadi:
80
x/menit
P: 20
x/menit
S: 36,7
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Telah dilaporkan seorang pasien wanita berumur 78 tahun dirawat di bangsal penyakit
dalam wanita RSUD solok pada tanggal 12 juli 2017 dengan diagnosa akhir PPOK + CKD
stage V et causa hipertensi. Diagnosa ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan Batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu,
dahak berwarna putih, pasien merasakan sesak napas waktu dibawa ke rumah sakit, pasien
juga megeluhkan demam waktu dibawa ke rumah sakit, pasien juga mengatakan nafsu makan
menurun, pasien juga mempunyai riwayat DM , tetapi kurang lebih 1 tahun ini tidak minum
obat DM lagi, pasien juga mengatakan tekanan darah nya selalu tinggi, BAB dan BAK
lancar. Sebelumnya pasien memiliki riwayat hipertensisudah 5 tahun ini, dan pasien juga
mempunyai riwayat DM yang terkontrol. Keluarga pasien juga ada yang menderita hioertensi
yaitu kakak pasien.
Pasien diberikan terapi IVFD RL 6J/K, Inj.ceftriaxone 2x1, Inj. Ranitidin 2x1,
Paracetamol 3x1, Ambroxol 3x1, Sucralfat 3x1, Asam folat 2x1, Bicnat 3x1.Pemeriksaan
anjuran yaitu : Pemeriksaaan urinalisa, Faal ginjal lengkap, Pemeriksaan EKG,
Echocardiography, Foto Rontgen Thorax PA , Foto Polos Abdoment , Pemeriksaan USG
ginjal, Pemeriksaan renal aretriografi, Biopsi ginjal , CT Scan , MRI, Pemeriksaan endoskopi
dan histopatologi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, W.Aru dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 edisi V. Jakarta:
Internal Publishing
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrata M, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Ed ke-4. Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Jakarta.
2007. h. 25-68, 1596-601, 1725-7 , 1842-4.
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karna atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul PPOK+Penyakit
ginjal Kronik e.c Hipertensi dengan baik.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik guna
perbaikan dimasa mendatang.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 1
1.3 Manfaat ................................................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PPOK
2.1.1 Definisi .............................................................................................. 3
2.1.2 Epidemiologi ..................................................................................... 3
2.1.3 Etiologi .............................................................................................. 4
2.1.4 Patogenesis ........................................................................................ 5
2.1.5 Gejala Klinis ..................................................................................... 7
2.1.6 Diagnosis .......................................................................................... 11
2.1.7 Penatalaksanaan ................................................................................ 12
2.1.8 Komplikasi ....................................................................................... 13
2.2 Penyakit Ginjal Kronik (CKD)
2.2.1 Definisi ..............................................................................................
2.2.2 Epidemiologi .....................................................................................
2.2.3 Etiologi ..............................................................................................
2.2.4 Patogenesis ........................................................................................
2.2.5 Gejala Klinis .....................................................................................
2.2.6 Diagnosis ..........................................................................................
2.2.7 Penatalaksanaan ................................................................................
2.2.8 Komplikasi .......................................................................................
2.3 Hipertensi ..................................................................................................
2.3.1 Definisi ..............................................................................................
2.3.2 Epidemiologi .....................................................................................
2.3.3 Etiologi ..............................................................................................
2.3.4 Patogenesis ........................................................................................
2.3.5 Gejala Klinis .....................................................................................
2.3.6 Diagnosis ..........................................................................................
2.3.7 Penatalaksanaan ................................................................................
2.3.8 Komplikasi .......................................................................................
BAB III. Laporan Kasus ............................................................................... 21
BAB IV. Penutup ........................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA
Case report session
Oleh :
Tiya nurhayani
(1310070100013)
Pembimbing :
2017