Anda di halaman 1dari 3

VII.

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, dilakukan pengujian absorpsi asetosal secara in vitro dengan
menggunakan metode usus terbalik. Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pH terhadap
absorpsi obat melalui saluran pencernaan secara in vitro. Asetosal merupakan turunan salisilat
yang sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri minor),
antipiretik (terhadap demam), dan anti inflamasi (peradangan) dan juga memiliki efek
antikoagulan untuk mencegah serangan jantung

Pada percobaan ini hewan percobaan yang digunakan adalah sapi yaitu usus halus karena
usus merupakan tempat absorbs obat dalam tubuh. Cairan yang digunakan adalah cairan serosal
yang terdiri dari larutan natrium klorida 0,9% b/v serta cairan mucosal yang digunakan adalah
cairan lambung buatan tanpa pepsin pH 1,2 , cairan usus buatan tanpa pencreatin pH 7,5 dan
bahan obat yang digunakan adalah asam salisilat.

Pada percobaan ini menggunakan usus halus sapi. Usus sapi yang sudah dicuci bersih
dimasukkan asam salisilat 500 mg dan di tali ujung ujungnya. Usus sapi di masukkan kedalam
media disolusi larutan dapar 500ml. Setiap 15 menit diambil larutan uji 10 ml kemudian
dimasukkan dalam labu takar 50 ml dan diencerkan dengan dapar ad tanda batas. Lalu dibaca
absorbansinya pada λ= 265nm.

Pada percobaan kali ini, senyawa obat yang digunakan adalah asetosal (asam asetil salisilat),
dimana senyawa obat ini bersifat asam, sehingga obat ini akan terabsorpsi optimum di pH
asam.Asam salisilat merupakan obat yang bersifat asam lemah dimana absorbsinya lebih baik
pada pH lambung yaitu pH 1,2. Pada obat asam lemah jika diletakkan pada membrane medium
rendah maka bentuk tak terionnya lebih banyak dari pada bentuk terionnya. Sehingga lebih
banyak di absorbsi pada medium ini. Sebaliknya ,pada medium dengan pH yang lebih besar
maka bentuk terion yang lebih banyak terabsorbsi ,sehingga obat yang terabsorbsi pada medium
ini hanya sedikit.
Pada hasil percobaan data hasil absorbansi dimasukkan kedalam perhitungan untuk
mencari konsentrasinya. Nilai absorbansinya dimasukkan kedalam persamaan regresi linier dari
kurva baku asetosal. Dari data pengamatan terlihat bahwa data yang didapatkan tersebut
menyimpang dari yang seharusnya. Nilai absorbansinya menurun pada pertambahan waktu.
Seharusnya semakin lama, maka absorbansinya semakin tinggi, karena seharusnya semakin
banyak obat yang terabsorpsi.

Namun data nilai absorbansi yang dihasilkan pada pH 1,2 lebih tinggi dibandingkan
dengan pada pH 7,4 pada hasil praktikum didapatkan hasil nilai AUC total pada lambung
sebesar 3054,3 %menit dan pada usus sebesar 2.876,85 % menit yang berarti jumlah obat yang
diabsorbsi di dalam lambung lebih banyak dibandingkan di usus. Sesuai dengan teori, yaitu
bahwa suatu obat yang bersifat asam akan terabsorpsi optimum di pH asam (lambung) dan obat
yang bersifat basa terabsorpsi optimum di pH basa(usus). Pada percobaan kali ini, senyawa obat
yang digunakan adalah asetosal (asam asetil salisilat), dimana senyawa obat ini bersifat asam,
sehingga obat ini akan terabsorpsi optimum di pH asam. Setelah dilakukan perhitungan
konsentrasi berdasarkan persamaan regresi linier dari kurva baku asetosal, maka data-data
absorbansi dan konsentrasi di plotkan kedalam grafik. Di mana sumbu-x nya adalah waktu dan
sumbu –y nya adalah konsentrasi. Jadi grafik yang terbentuk adalah grafik konsentrasi terhadap
waktu. Dari grafik terlihat bahwa, pada pH 1,2 konsentrasi paling tinggi adalah pada waktu ke-
30 menit, sedangkan pada pH 7,5 konsentrasi paling tinggi pada waktu ke -15 menit.

Nilai lag time merupakan nilai dari perpotongan garis dengan sumbu t. Nilai lag time
yang didapatkan pada lambung sebesar -239,038 menit dan pada usus sebesar -133,91 menit.
Hasil minus menunjukkan bahwa obat telah terabsorbsi sebelum obat masuk ke dalam saluran
gastrointestinal dan kemungkinan karena waktu yang tidak cukup bagi obat asetosal untuk
terabsorpsi.
Hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan adanya kesalahan praktikan sewaktu pembacaan
absorbansi atau pada saat membersihkan usus terjadi kebocoran pada usus yang digunakan dan
pencucian yang kurang bersih sehingga mempengaruhi hasil pembacaan absorbansinya.
VIII. KESIMPULAN

1. Pada praktikum ini digunakan asam salisilat dimana asam salisilat bersifat asam lemah
sehingga obat banyak terabsorbsi pada pH lambung (pH1,2) daripada pH usus (pH 7,5)
karena di lambung bentuk tak terionnya lebih banyak dari bentuk terionnya.
2. Terdapat perbedaan variasi pH 1,2 dan pH 7,4 pada absorpsi obat melalui saluran
pencernaan secara in vitro dengan interval waktu yang berbeda-beda menunjukkan
perbedaan konsentrasi yang berbeda-beda dengan konsentrasi tertinggi pada pH 1,2
terdapat pada interval waktu ke-30 menit sedangkan konsentrasi tertinggi pH 7,4 terdapat
pada interval waktu ke-15.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anne Collins Abrams, RN, MSN. 2005. Clinical Drug Therapy. US. Wolters Kluwer
Health, Lippincott Williams Wilkins
2. Syukri, S. 2002. KIMIA DASAR 1. Bandung. Penerbit ITB
3. Buku Petunjuk Praktikum Biofarmasetika Universitas Setia Budi Surakarta
4. Shargel, L and yu, A. B. C. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.
Surabaya. Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai