Anda di halaman 1dari 79

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI PUSKESMAS SEDAYU II

ANGKATAN 31

DISUSUN OLEH:

Fajar Handayani 17811207


Rosmalina 17811208
Muhammad Sahindrawan Firmansyah 17811209
Femy Orshidina G 17811210

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


YOGYAKARTA

JANUARI 2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI PUSKESMAS SEDAYU II

TANGGAL 25 JANUARI

Disetujui Oleh:

Pembimbing

Program Studi Profesi Apoteker Penanggung Jawab

(Dian Medisa, MPH.,Apt) (E.Lenni Liestiono, S.Farm,


Apt)

Mengetahui

Ketua Program Studi Kepala Puskesmas


Profesi Apoteker

(Dimas Adhi Pradana, M.Sc.,Apt) (drg.Elmi Yudhihapsari,MPH)


Bab I

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kesehatan menurut definisi diartikan sebagai suatu keadaan sehat, baik secara fisik,
mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis(1). Dalam mengupayakan peningkatan kesehatan, perlu adanya fasilitas
kesehatan yang berguna untuk penyelenggaraan upaya kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan ataupun masyarakat.
Salah satu fasilitas kesehatan yang dimaksud adalah Puskesmas(2).
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas menurut Peraturan
Menteri Kesehatan RI No 74 Tahun 2016 merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan di
suatu wilayah kerja(3). Puskesmas juga didefinisikan sebagai salah satu jenis fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dalam upaya
peningkatan kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif dalam pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di
wilayah kerja(2). Pelayanan di Puskesmas diantaranya yakni pelayanan klinis dan pelayanan
kesehatan masyarakat. Didalam pelayanan klinis terdapat pelayan obat atau kefarmasian.
Pelayanan kefarmasian merupakan sutatu pelayan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud untuk mencapai hasil yang pasti dalam
peningkatan mutu kehidupan pasien. Dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian di Puskesmas
maka dibutuhkan apoteker yang memiliki kompetensi mampu menyediakan dan memberikan
pelayanan kefarmasian yang bermutu, mampu mengambil keputusan secara professional, mampu
berkomunikasi dengan baik dengan pasien maupun profesi kesehatan lain menggunakan bahasa
verbal, non verbal maupun bahasa lokal serta selalu belajar sepanjang karir baik formal maupun
informal, sehingga ilmu dan ketrampilan yang dimiliki selalu baru(4).
Sebagaimana upaya dalam peningkatan wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuan bekerja sama dengan profesi kesehatan lainnya, maka dilakukan Praktek Kerja Profesi
Apoteker (PKPA) bagi calon apoteker yang diikuti oleh mahasiswa Program Pendidikan Profesi
Apoteker dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada tanggal 15 Januari 2018 sampai
dengan tanggal 25 Januari 2018 di Puskesmas Sedayu 2 Bantul, sehingga diharapkan dengan
PKPA ini calon apoteker memiliki bekal pengetahuan dan pengalaman yang dapat diterapkan
dalam berbagai kegiatan dalam rangka mengabdikan diri untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat.

B. Tujuan dan Manfaat PKPA


Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Puskesmas memiliki beberapa tujuan
yaitu:
1. Memberikan pemahaman kepada calon Apoteker tentang kebijakan pengelolaan obat di
Puskesmas.
2. Meningkatkan pemahaman calon Apoteker tentang peran, fungsi dan tanggung jawab
apoteker dalam pengelolaan obat dan praktek kefarmasian pelayanan kefarmasian di
Puskesmas.
3. Membekali calon Apoteker agar memiliki pengetahuan, keterampilan sikap perilaku
(Profesionalism), serta wawasan dan pengalaman nyata (Reality) untuk melakukan praktek
profesi dan pekerjaan kefarmasian di Puskesmas.
4. Memberikan kesempatan kepada calon Apoteker untuk melihat, mempelajari dan
mempraktekkan pelayanan kefarmasian di Puskesmas.
5. Memberikan kesempatan kepada calon Apoteker untuk belajar berinteraksi, bekerjasama,
dan berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lain di Puskesmas sesuai dengan etika profesi
Apoteker yang benar.
6. Memberikan kesempatan kepada calon Apoteker untuk belajar pengalaman praktek profesi
Apoteker di Puskesmas dalam kaitan dengan peran, tugas, dan fungsi Apoteker dalam
bidang kesehatan masyarakat.
Manfaat yang diperoleh mahasiswa setelah melakukan PKPA adalah
1. Memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang peran, fungsi dan tanggung jawab
Apoteker dalam pengelolaan obat dan praktek pelayanan kefarmasian di Puskesmas.
2. Mendapatkan pengalaman praktis dan realisasi tentang cara pengelolaan obat dan
pelayanan kefarmasian di Puskesmas.
3. Memperoleh pengalaman langsung tentang tata cara berkomunikasi dan berinteraksi yang
baik dengan tenaga kesehatan lain di Puskesmas.
4. Membentuk sikap perilaku dan jiwa profesionalisme untuk memasuki dunia kerja dibidang
kefarmasian.
Bab II
KEGIATAN PRAKTEK KERJA DAN PEMBAHASAN
MEMBANDINGKAN ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

1. Aspek Umum
Puskesmas Sedayu II berdiri pertama kali pada tahun 1981 dengan nama Puskesmas Sedayu.
Pada saat itu kecamatan sedayu hanya memiliki 1 puskesmas yang berada dibagian utara balai
Desa Argorejo, dan pada tahun 1985 Puskesmas Sedayu dirubah namanya menjadi Puskemas
Sedayu II.
a. Aspek Legal
Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Puskesmas
juga dapat berfungsi sebagai:
a. Unit Pelaksana Teknis: Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
(UPTD), puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak
pembangunan kesehatan di Indonesia.
b. Pembangunan Kesehatan: Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan
oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
c. Penanggungjawab Penyelenggaraan: Penanggungjawab utama penyelenggaraan seluruh upaya
pembangunan kesehatan diwilayah kabupaten/kota adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
sedangkan puskesmas bertanggungjawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan yang
dibebankan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan kemampuannya.
d. Wilayah Kerja: Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi
apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari dari satu puskesmas, maka tanggungjawab wilayah
kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan
atau RW). Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggungjawab langsung
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota(5).
b. Struktur Organisasi dan SDM (Sumber Daya Manusia) di Puskesmas Sedayu 2
Struktur organisasi puskesmas tergantung dari kegiatan dan beban tugas masing-masing
puskesmas. Penyusunan struktur organisasi puskesmas di satu kabupaten/kota dilakukan oleh
dinas kesehatan kabupaten/kota, sedangkan penetapannya dilakukan dengan Peraturan Daerah (5).
Pola struktur organisasi puskesmas sedayu 2 dapat dilihat pada bagan struktur organisasi dibawah
ini:

Kepala Puskesmas
drg. Elmi Yudhapsari, MPH

KA.SUB.BAG.TATA USAHA
Joko Waluyo, SKM

KEPEGAWAIAN
Parjono

KEUANGAN
Bendahara BLUD : Joko W, SKM
Bendahara Penerimaan : D.A. Endang, Amd
Bendahara Pengeluaran : Sumilah, Amd

SISTEM INFORMASI PUSKESMAS


Prasinto R, Amd.Kep

RUMAH TANGGA
Nanik Tejowati, Amd.Gz

UKM & Keperawatan Kesehatan Masyarakat UKP Kefarmasian dan Laboratorium Jaringan Yan Pusk & Jejaring Fasyankes
Nanik Tejowati, Amd.Gz dr. Kriessita Andiyanti drg. Ferika Ardiyawati

PEM UMUM PUSTU


ESENSIAL PENGEMBANGAN Nurfarida
dr. Sri Rahayu

PROMKES LANSIA KES GILUT PUSLING


Yoyok P. SKM Maryani, Amd.Keb drg. Maryati Yoyok P. SKM

KESLING UKK KIA-KB


Eni S, Amd.KL Nurfarida Sri Endar S, Amd.Keb BEDAH DESA
Argorejo:
Natya P, Amd.Keb
KIA-KB KESEHATAN JIWA GIZI Argodadi:
Sri Endar S, Amd.Keb Jawad, Amd.Kep Nanik Tejowati, Amd.Gz Mangesti, Amd.Keb

GIZI KEFARMASIAN
Nanik Tejowati, Amd.Gz E Lenni l, S.Farm,Apt JEJARING FASYANKES
Rohani, Amd.Keb

P2 LABORATORIUM
dr. Kriessita Andiyanti Anisah K, Amd.Ak

PERKESMAS FISIOTERAPI
Sartinah, Amd.Kep Anton Ferry, Amd.Fis
Kepala Puskemas sedayu II membawahi empat sub bagian tata usaha, Bidang UKM dan
Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Bidang UKP Kefarmasian dan Laboratorium, serta Bidang Jaringan
Yan Pusk dan Jejaring Fasyankes.
Kepala sub bagian tata usaha dibantu oleh bagian kepegawaian, keuangan, sistem informasi
puskemas dan keuangan. Pada Bidang UKM dan Keperawatan Kesehatan Masyarakat membawahi bidang
Perkesmas, bidang Esensial (Promkes, Kesling, KIA-KB, Gizi, P2) dan bidang pengembangan (Lansia,
UKK, Kesehatan Jiwa). Pada Bidang UKP Kefarmasian dan Laboratorium membawahi Pem Umum, Kes
Gilut, KIA-KB, Kefarmasian, Laboratorium, dan Fisioterapi. Pada Bidang Jaringan Pusk dan Jejaring
Fasyankes membawahi Pustu, Pusling, Bedah Desa (Argorejo, Argodadi), dan jejaring Fasyankes.
Jenis Pelayanan yang ada di Puskesmas Sedayu II antara lain :
a. Rekam Medis
Pada Rekam Medis sistem pencatatan menggunakan sistem pencatatan manual, selain itu data rekam
medis juga disimpan dalam Sistem Informasi Puskemas (SIMPUS), sehingga rekam medis pasien dapat
di akses dengan cepat jika dibutuhkan.
b. Badan Pelayanan Umum (BPU) pelayanan rawat jalan
Pada bidang ini terdapat dokter dan perawat, dimana dokter melakukan pemeriksaan fisik, memberikan
tindakan dan pengobatan melalui penulisan resep, selanjutnya dokter menulis rekam medic secara
manual, sedangkan perawat membantu dokter dan melakukan pengisian rekam medik.
c. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Pada bidang ini dilakukan pelayanan seperti konsultasi kehamilan, pemberian vitamin dan tambahan
mineral bagi ibu hamil, pemantauan kesehatan janin dan ibu hamil, pemberian imunisasi pada bayi,
penyuluhan kesehatan ibu hamil dan bayi, penggunaan alat KB, dan lain-lain yang dilakukan oleh
bidan.
d. Pelayanan Konseling
e. Unit Gawat Darurat (UGD)
Pada bidang ini dilakukan pelayanan pada kasus emergency (darurat).
f. Pelayanan gigi
Pada bidang ini dilakukan pelayanan berupa pemeriksaan kelainan rongga mulut dan gigi, yang
dilakukan oleh dokter dan didampingi oleh perawat.
g. Pelayanan Laboratorium
Pada bidang ini dilakukan pelayanan berupa pemeriksaan dasar (kimia darah, hematologi, urin rutin,
feses rutin, imunoserologi, tes kehamilan, tes BTA, dan malaria).
h. Pelayanan Farmasi
Pada bidang ini dilakukan pelayanan berupa pelayan obat dan informasi tentang obat kepada pasien,
dokter ataupun tenaga kesehatan lain. Pada bidang ini juga dilakukan pengelolaan obat dan bahan medis
habis pakai serta pelayanan kefarmasian.
i. Pelayanan Gizi
Pada bidang ini dilakukan pelayanan berupa pemantauan status gizi masyarakat, terutama untuk balita
dan lansia.

c. Peran dan Fungsi Apoteker di Puskesmas


Sumber daya manusia untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di Puskesmas adalah
Apoteker, menurut Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP 51
tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, telah mengatur bahwa yang berhak melaksanakan
pekerjaan kefarmasian itu adalah Tenaga Kefarmasian yaitu Apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian(6).
Kompetensi apoteker di Puskesmas sebagai berikut (6):
a. Mampu menyediakan dan memberikan pelayanan kefarmasian yang bermutu
b. Mampu mengambil keputusan secara profesional
c. Mampu berkomunikasi yang baik dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya dengan
menggunakan bahasa verbal, nonverbal maupun bahasa lokal.
d. Selalu belajar sepanjang karier baik pada jalur formal maupun informal, sehingga ilmu dan
keterampilan yang dimiliki selalu baru (up to date).
Sedangkan asisten apoteker hendaknya dapat membantu pekerjaan apoteker dalam
melaksanakan pelayanan kefarmasian tersebut(6).
Tugas Apoteker dalam pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas Sedayu
II meliputi perencanaan kebutuhan Obat untuk satu tahun, melakukan pengadaan kebutuhan
Obat untuk 2 bulan sekali ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, melakukan penyimpanan obat
di gudang Obat Puskesmas, melakukan pendistribusian Obat ke Sub Unit pelayanan, Pustu,
Pusling, dan juga laboratorium, melakukan pencatatan dan pelaporan pengeluaran dan sisa stok
Obat serta melakukan evaluasi bulanan dalam bentuk LPLPO. Apoteker sedayu II juga
melakukan pelayanan kefarmasian berupa pengkajian resep, penyerahan Obat, pemberian
informasi Obat, Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, oemantauan dan pelaporan efek
samping obat, pemantauan terapi Obat, evaluasi penggunaan Obat. Selain itu Apoteker berperan
dalam promosi kesehatan melalui penyuluhan dan penyebaran leaflet/brosur. Apoteker sedayu
II juga menjadi coordinator dan penanggung jawab ruang farmasi.
Jumlan Apoteker di Puskemas Sedayu II sebanyak 1 orang dengan dibantu oleh 2 staf
pegawai Puskesmas. Rata-rata pelayanan resep Obat sebanyak 80 resep per hari. Jika melihat
Permenkes Nomor 74 tahun 2016 yang mengatur jumlah kebutuhan Apoteker di Puskesmas
dihitung berdasarkan rasio kunjungan pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan serta
memperhatikan pengembangan Puskesmas (dengan rasio perbandingan 1:50). maka dapat
dikatakan bahwa terdapatnya ketidak sesuaian antara peraturan dengan kondisi yang ada di
Puskemas Sedayu II. Seharusnya, untuk jumlah pelayanan resep perhari (rata-rata 80 resep per
hari) dibutuhkan setidaknya 2 orang Apoteker.
d. Korelasi 10 Penyakit dan Penggunaan Obat Terbanyak Di Puskesmas Sedayu 2 Periode
2017
Tabel 1. Laporan diagnosis 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Sedayu 2 Periode Tahun 2017
Kode
No. Nama Penyakit Kunjungan
Diagnosis
1 J00 Nasofaringitis akut (common cold) 1819
2 I10 Hipertensi essensial (primer) 1226
3 F20 Schizophrenia 534
4 K30 Dispepsia 373
5 R50 Demam Tanpa Sebab 328
6 E11 Diabetes Mellitus 273
7 R51 Cephalgia 230
8 A09 Diare dan gastroenteritis yang tidak spesifik 188
9 K00.6 Distrubance in tooth eruption 186
10 M79.1 Myalgia 170
Dapat dilihat pada Tabel 1 bahwa penyakit yang paling sering terjadi di Puskesmas Sedayu
2 adalah Nasofaringitis akut ataupun common cold dan untuk urutan kedua yaitu ada hipertensi
primer. Sedangkan untuk urutan 10 yaitu ada Myalgia
Tabel 2. Daftar Obat Yang Sering Diresepkan Dokter di Puskesmas Sedayu 2 Periode Tahun 2017.
No. Nama Obat Bentuk sediaan Jumlah Obat
1 Parasetamol 500 mg Tablet 81.400
2 Captopril 25 mg Tablet 52.200
3 Amlodipin Tablet 39.600
4 Amoksisilin 500 mg Tablet 39.600
5 Metformin 500 mg Tablet 36.200
6 Vitamin C 50 mg Tablet 32.300
7 Natrium Diklofenak 50 mg Tablet 31.150
8 Vitamin B Complex Tablet 29.800
9 Ranitidin Tablet 29.600
10 Asam Mefenamat 500 mg Tablet 25.800

Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa obat yang paling banyak diresepkan adalah
parasetamol 500 mg. dan apabila dihubungkan dengan penyakit terbanak di urutan pertama adalah
common cold yang kemungkinan diobat dengan paracetamol 500 mg. Selain digunakan untuk common
cold, paracetamol 500 mg juga bisa menjadi obat untuk penyakit demam tanpa sebab, cephlagia ataupun
myalgia dimana penyakit tersebut masuk dalah 10 besar penyakit. Hal ini menyebabkan tingginya
penggunaan paracetamol 500 mg. Urutan kedua, captopril 25 mg yang indikasinya adalah obat
hipertensi dimana hipertensi masuk dalam 10 penyakit terbanyak dan ada pada urutan ke dua. Urutan
ketiga penggunaan obat terbanyak yaitu amlodipine yaitu obat untuk pasien hipertensi juga. Alasan
penggunaan captopril 25 mg penggunaannya lebih banyak dari amlodipine karena dosis captopril 25
mg yang diminum 2 kali sehari sedangkan amlodipine diminum 1 kali sehari. Sehingga peresepan untuk
2 minggu terapi yaitu captopril diresepkan 30 tablet dan amlodipine 15 tablet. Urutan keempat
penggunaan obat terbanyak yaitu amoksisilin 500 mg yang merupakan antibiotic yang biasa digunakan
untuk mengobati infeksi bakteri. Pada 10 besar penyakit , amoksisilin bisa digunakan untuk common
cold yang mengalami infeksi atau disturbance in tooth eruption ataupun penyakit lain yg mengalami
infeksi. Urutan kelima adalah metformin 500 mg yang merupakan obat diabetes mellitus. Jika dilihat
di 10 besar penyakit diabetes mellitus menempati urutan ke 6 dan metformin merupan pilihan pertama
obat diabetes mellitus hal ini yang menyebabkan penggunaan metformin 500 mg tinggi. Urutan keenam
yaitu vitamin C 50 mg pada penggunaan obat terbanyak. Alasannya karena vitamin C 50 mg juga
diresepkan bersama obat yang lain untuk kasus seperti common cold dimana merupakan penyakit
paling banyak dialami pasien dan demam tanpa sebab yang terjadi pada dewasa maupun anak-anak.
Urutan ketujuh adalah natrium diklofenak 50 mg yang bisa diindikasikan untuk kasus seperti common
cold, cephalgia, disturbance in tooth eruption, myalgia dan penyakit lainnya yang tidak masuk pada 10
penyakit terbanyak. Maka dari itu penggunaannya banyak. Urutan ke delapan yaitu vitamin b complex
yang biasa digunakan untuk terapi penyerta dalam pengobatan penyakit hipertensi primer, diabetes
mellitus, cephalgia, myalgia, dan penyakit lainnya selain 10 besar penyakit. Urutan terbanyak
selanjutnya yaitu ranitidine yang merupakan obat untuk kasus dyspepsia, dimana dyspepsia merupakan
kasus pada urutan keempat dalam 10 penyakit terbanyak. Dan urutan terakhir pada 10 penggunaan obat
terbanyak adalah asam mefenamat yang fungsinya sama juga denga natrium diklofenak digunakan
untuk meredakan nyeri ataupun pegal-pegal.
2. Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di Puskesmas
a. Perencanaan dan Permintaan
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai untuk menentukan jenis dan jumlah Sediaan Farmasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan
Puskesmas(3).
Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan:
1. Perkiraan jenis dan jumlah Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang
mendekati kebutuhan;
2. Meningkatkan penggunaan Obat secara rasional; dan
3. Meningkatkan efisiensi penggunaan Obat(3).
Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan kebutuhan obat adalah (7).
 Tahap Pemilihan
Pemilihan obat dan perbekalan kesehatan berfungsi untuk menentukan bahwa obat dengan
perbekalan kesehatan benar-benar diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit
di daerah. Pengadaan obat yang baik diawali dengan dasar-dasar seleksi kebutuhan obat,
diantaranya adalah :
a) Obat dan perbekalan kesehatan yang dipilih harus memiliki izin edar dari pemerintah
Republik Indonesia.
b) Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik, dan statistik yang memberikan efek
terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek samping yang akan ditimbulkan.
c) Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin menghindari duplikasi dan kesamaan jenis.
d) Ada bukti yang spesifik dari obat baru untuk terapi yang lebih efektif.
e) Hindari penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek
yang lebih baik dibanding obat yang tunggal.
f) Apabila jenis obat banyak, obat dipilih berdasarkan obat pilihan (drug of choice) dari
penyakit yang prevalensinya tinggi.
1) Tahap Kompilasi Pemakaian Obat
Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan
masing-masing dari jenis obat di unit pelayanan kesehatan/Puskesmas selama setahun
dan sebagai data pembanding bagi stok optimum. Informasi yang didapat dari kompilasi
pemakaian obat adalah:
a) Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing unit pelayanan
kesehatan/Puskesmas.
b) Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh unit
pelayanan kesehatan/Puskesmas.
c) Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat Kabupaten/Kota.
 Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat
Perhitungan kebutuhan obat yang membutuhkan perhatian khusus oleh tenaga farmasi
yang bekerja di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota maupun unit Pelayanan Kesehatan Dasar
(PKD). Masalah kekosongan obat atau kelebihan obat dapat terjadi jika dasar perhitungan
kebutuhan obat hanya berdasarkan informasi yang teoritis. Koordinasi dan proses perencanaan
dibutuhkan untuk pengadaan obat secara terpadu serta melalui tahapan seperti diatas, maka
diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat jenis, tepat jumlah, dan tepat waktu serta tersedia
pada saat yang dibutuhkan.
Metode yang dilakukan untuk merencanakan kebutuhan dapat obat diantaranya adalah sebagai
berikut :
a. Metode Konsumsi
Metode ini didasarkan pada data konsumsi obat tahun sebelumnya. Perhitungan
jumlah obat yang dibutuhkan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal di bawah ini :
1. Pengumpulan dan pengolahan data.
2. Analisa data untuk informasi dan evaluasi.
3. Perhitungan perkiraan kebutuhan obat.
4. Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana.
b. Metode Morbiditas
Metode morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit,
perkiraan kenaikan kunjungan, dan waktu tunggu (lead time). Proses yang dilakukan
pada metode morbiditas adalah sebagai berikut :
1) Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani.
2) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit.
3) Menyediakan standar/pedoman pengobatan yang digunakan.
4) Menghitung perkiraan kebutuhan obat.
5) Penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia.
Perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas
Sedayu 2 ada dua yaitu perencanaan bulanan dan tahunan. Untuk perencanaan bulanan puskesmas
Sedayu 2 dilakukan setiap 2 bulan sekali yang dilakukan oleh apoteker di Puskesmas. Untuk
perencanaan tahunan di Puskesmas Sedayu 2 dilakukan di awal tahun berdasarkan penggunaan
obat pada tahun sebelumnya. Pertimbangan dalam melakukan perencanaan di Puskesmas Sedayu
2 yaitu berdasarkan pola penyakit dan pola konsumsi. Proses seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai juga harus mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan
Formularium Nasional. Proses seleksi ini harus melibatkan tenaga kesehatan yang ada di
Puskesmas seperti dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat, serta pengelola program yang berkaitan
dengan pengobatan(3).
Perencanaan kebutuhan tahunan sediaan Farmasi di Puskesmas Sedayu 2 dilakukan
bersama dengan pembuatan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) yang selanjutnya dikirim ke
DINKES Kabupaten/Kota. Perencanaan tahunan dilakukan berdasarkan pola konsumsi dengan
memperhitungkan Buffer stock dengan rumus yaitu 18 bulan dikalikan dengan rata-rata
penggunaan sediaan farmasi per bulan. Perencanaan sediaan farmasi bulanan untuk periode
berikutnya, apoteker diminta untuk membuat Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO) yang selanjutnya dikirim ke DINKES Kabupaten/Kota. Puskesmas diminta
menyediakan data pemakaian obat dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar
Permintaan Obat (LPLPO) yang selanjutnya diberikan ke Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota untuk
kemudian dilakukan analisa terhadap kebutuhan Sediaan Farmasi Puskesmas di wilayah kerjanya.
Kebutuhan sediaan Farmasi juga disesuaikan dengan anggaran yang tersedia, memperhitungkan
waktu kekosongan Obat, buffer stock, serta menghindari stok berlebih. (3).
Permintaan obat untuk mendukung pelayanan obat di masing-masing Puskesmas diajukan
oleh Kepala Puskesmas kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan
format LPLPO, sedangkan permintaan dari sub unit ke kepala Puskesmas dilakukan secara
periodik menggunakan LPLPO sub unit. Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan ketepatan waktu
penyerahan obat kepada Puskesmas, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat menyusun
petunjuk lebih lanjut mengenai alur permintaan dan penyerahan obat secara langsung dari Instalasi
Farmasi Kabupaten/Kota ke Puskesmas (8).
Tujuan permintaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah memenuhi
kebutuhan Sediaan Farmasi dan BahanMedis Habis Pakai di Puskesmas, sesuai dengan
perencanaankebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan kepada DinasKesehatan
Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan
pemerintah daerah setempat(3).
Permintaan obat yang dilakukan di Puskesmas Sedayu II berdasarkan dari FORNAS
(Formularium Nasional), namun ada beberapa obat yang tidak terdapat didalam FORNAS seperti
Valved dan GG, hal ini terjadi karena permintaan dokter yang sangat tinggi serta banyaknya pasien
yang mengalami batuk dan flu. Valved mengandung pseudoefedrin Hcl dan tripolidine Hcl yang
berkhasiat menghilangkan gejala-gejala gangguan saluran nafas atas seperti rinitis vasomotor
alergika, selesma/pilek, dan flu dan GG yang berkhasiat sebagai ekspektoran dengan cara
meningkatkan volume dan mengurangi viskositas sekresi dalam trakea dan bronkus. Dengan
demikian, dapat meningkatkan efisiensi refleks batuk dan memperlancar pembuangan sekresi(24).
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam permintaan obat adalah :
a. Menentukan jenis permintaan obat,
1) Permintaan Rutin : Dilakukan sesuai dengan jadwal yang disusun oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota untuk masing-masing Puskesmas. Jadwal rutin permintaan obat di
Puskesmas Sedayu 2 adalah setiap 2 bulan sekali menggunakan LPLPO. Setiap melakukan
permintaan harus mempertimbangkan waktu tunggu sampai obat datang ke Puskesmas
sehingga mencegah terjadinya kekosongan obat.
2) Permintaan Khusus : Dilakukan di luar jadwal distribusi rutin apabila : ¾ kebutuhan
meningkat; ¾ terjadi kekosongan ; ¾ ada kejadian luar biasa (KLB/Bencana).
b. Menentukan jumlah permintaan obat
Data yang diperlukan antara lain :
1) Data pemakaian obat periode sebelumnya.
2) Jumlah kunjungan resep.
3) Jadwal distribusi obat dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota.
4) Sisa stok.
c. Menghitung kebutuhan obat dengan cara :
Jumlah untuk periode yang akan datang diperkirakan sama dengan pemakaian pada periode
sebelumnya.
SO = SK + SWK + SWT + SP
Sedangkan untuk menghitung permintaan obat dapat dilakukan dengan rumus :
Permintaan = SO – SS
Keterangan :
SO = Stok optimum
SK = Stok Kerja (Stok pada periode berjalan)
SWK = Jumlah yang dibutuhkan pada waktu kekosongan obat
SWT = Jumlah yang dibutuhkan pada waktu tunggu (lead time)
SP = Stok penyangga
SS = Sisa stok

Stok kerja Pemakaian rata–rata per periode distribusi.


Waktu Lamanya kekosongan obat dihitung dalam
kekosongan hari.
Waktu tunggu Waktu tunggu, dihitung mulai dari
permintaan obat oleh Puskesmas sampai
dengan penerimaan obat di Puskesmas.
Stok penyangga Adalah persediaan obat untuk
mengantisipasi terjadinya peningkatan
kunjungan, keterlambatan kedatangan
obat. Besarnya ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara Puskesmas dan
Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota.
Sisa stok Adalah sisa obat yang masih tersedia di
Puskesmas pada akhir periode distribusi.
Stok optimum Adalah stok ideal yang harus tersedia
dalam waktu periode tertentu(8).

b. Penerimaan, Penyimpanan, Distribusi


Penerimaan
Penerimaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu kegiatan dalam
menerima Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
atau hasil pengadaan Puskesmas secara mandiri sesuai dengan permintaan yang telah diajukan.
Tujuannya adalah agar Sediaan Farmasi yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan
permintaan yang diajukan oleh Puskesmas, dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan
mutu.
Tenaga Kefarmasian wajib melakukan pengecekan terhadap Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai yang diserahkan, mencakup jumlah kemasan/peti, jenis dan jumlah Sediaan
Farmasi, bentuk Sediaan Farmasi sesuai dengan isi dokumen LPLPO, ditandatangani oleh Tenaga
Kefarmasian, dan diketahui oleh Kepala Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat, maka Tenaga
Kefarmasian dapat mengajukan keberatan. Masa kedaluwarsa minimal dari Sediaan Farmasi yang
diterima disesuaikan dengan periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan(3).
Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengamanan terhadap obat-obatan yang diterima agar
aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin.
Tujuan dari penyimpanan adalah agar obat yang tersedia di unit pelayanan kesehatan terjamin
mutu dan keamanannya(2).
Tujuan penyimpanan adalah agar mutu Sediaan Farmasi yang tersedia di puskesmas dapat
dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Penyimpanan Sediaan Farmasi dan
Bahan Medis Habis Pakai dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. bentuk dan jenis sediaan;
2. kondisi yang dipersyaratkan dalam penandaan di kemasan Sediaan Farmasi, seperti
suhu penyimpanan, cahaya, dan kelembaban;
3. mudah atau tidaknya meledak/terbakar;
4. narkotika dan psikotropika disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
5. tempat penyimpanan Sediaan Farmasi tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang
lainnya yang menyebabkan kontaminasi.
Kegiatan penyimpanan obat meliputi (9):
1) Pengaturan tata ruang
Pengaturan tata ruang dilakukan untuk memudahkan dalam penyimpanan,
penyusunan, pencarian dan pengawasan obat-obatan. Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam merancang gudang adalah sebagai berikut:
a) Kemudahan bergerak. Untuk kemudahan bergerak, maka gudang perlu ditata
sebagai berikut :
- Gudang menggunakan sistem satu lantai jangan menggunakan sekat.
- Berdasarkan arah arus penerimaan, dan pengeluaran obat, ruang gudang dapat
ditata berdasarkan sistem Arus garis lurus, Arus U, atau Arus L.
b) Sirkulasi udara yang baik. Sirkulasi yang baik akan memaksimalkan umur hidup
dari obat sekaligus bermanfaat dalam memperpanjang dan memperbaiki kondisi
kerja.
c) Rak dan pallet. Penempatan rak yang tepat dan penggunaan pallet akan dapat
meningkatkan sirkulasi udara dan perputaran stok obat. Penggunaan pallet
memberikan keuntungan, antara lain: Sirkulasi udara dari bawah dan perlindungan
terhadap banjir, Peningkatan efisiensi penanganan stok, Dapat menampung obat
lebih banyak, dan penggunaan pallet lebih murah dari pada rak.
Kondisi penyimpanan khusus untuk jenis obat dan bahan tertentu:
- Vaksin memerlukan “Cold Chain” khusus dan harus dilindungi dari
kemungkinan putusnya aliran listrik.
- Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus dan selalu
terkunci, menggunakan kunci ganda.
- Bahan-bahan mudah terbakar seperti alkohol dan eter harus disimpan dalam
ruangan khusus.
d) Pencegahan kebakaran. Alat pemadam kebakaran harus dipasang pada tempat
yang mudah dijangkau dan dalam jumlah yang cukup. Tabung pemadam
kebakaran agar diperiksa secara berkala, untuk memastikan masih berfungsi
dengan baik atau tidak.
2) Untuk penyimpanan narkotika meliputi (10) :
a) Tempat penyimpanan narkotika harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain
yang kuat.
b) Harus mempunyai kunci yang kuat.
c) Lemari memiliki dua bagian dengan . kunci yang berbeda.
d) Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 x 80x
100 cm, rnaka lemari tersebut harus dibuat pada tembok atau lantai.
e) Lemari penyimpanan tidak boleh menyimpan bahan lain kecuali ditentukan oleh
mentri
f) Anak kunci lemari khusus dikuasai oleh pegawai penanggung jawab atau pegawai
lain yang dikuasakan.
g) Lemari khusus harus di simpan di tempat khusus dan tidak terlihat oleh umum.
3) Penyusunan stok obat
Obat disusun dan disimpan berdasarkan beberapa kategori, seperti kategori
farmakoterapi, alphabet, bentuk sediaan, sistem acak (menggunakan kode yang
berbeda seperti B-B1,B2), kode komoditas (penyimpanan secara acak menggunakan
sistem kode abstrak sesuai kebijakan Puskesmas tersebut) (9).
Obat disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis, dengan prinsip First
Expired First Out (FEFO ), dan First In First Out (FIFO ) dalam penyusunan obat
yaitu obat yang masa kadaluwarsanya lebih awal atau yang diterima lebih awal harus
digunakan lebih awal sebab umumnya obat yang datang lebih awal biasanya juga
diproduksi lebih awal dan umurnya relatif lebih tua dan masa kadaluwarsanya
mungkin lebih awal (9). Untuk mencegah terjadinya terjadinya kesalahan akibat obat
tergolong LASA dapat menggunakan beberapa cara: system penulisan nama obat
dengan cara Tallman lettering dengan menggunakan huruf besar yang berbeda
sebagai penekanan dapat diterapkan pada kemasan, wadah obat, ataupun etiket,
kedua dengan pemisahan lokasi obat-obatan dengan nama dan pelafalan yang mirip
pada rak terpisah, ketiga menggunakan system pengkodean dalam pemesanan,
penerimaan, restock, dispensing, dan administrasi obat, keempat dengan memberi
stiker LASA pada tempat penyimpanan namun jikas 1 obat memliki 3 kekuatan
sediaan maka untuk obat yang kekuatan sediaan besar diberi stiker berwarna biru
untuk kekuatan sediaan sedang diberi stiker LASA warna kuning dan kekuatan
sediaan kecil diberi stiker LASA berwarna hijau, kelima melakukan pengecekan
ulang obat LASA sebelum diberikan ke pasien, keenam menghindari pemesanan
melalui verbal atau telepon, ketujuh menghimbau pada dokter untuk menuliskan
resep dengan tulisan yang jelas terbaca, menghindari singkatan(11)
4) Pencatatan stok obat
Mutasi obat (penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau kadaluwarsa)
sebaiknya segera dicatat pada kartu stok obat. Fungsi kartu stok yaitu (12) :
a) Kartu stok induk digunakan untuk mencatat mutasi obat
b) Tiap lembar kartu stok induk hanya diperuntukkan mencatat data mutasi satu jenis
obat yang berasal dari semua sumber anggaran
c) Tiap baris data hanya diper untukan mencatat satu kejadian mutasi obat
d) Data pada kartu stok induk digunakan sebagai alat kendali bagi Kepala Instalasi
Farmasi Kabupaten atau Kota terhadap keadaan fisik obat dalam tempat
penyimpanan, dan alat bantu untuk penyusunan laporan, perencanaan pengadaan
dan distribusi serta pengendalian persediaan
5) Pengamatan mutu obat
Mutu obat yang disimpan di gudang dapat mengalami perubahan baik karena
faktor fisik maupun kimiawi. Perubahan mutu obat dapat diamati secara visual dan
jika dari pengamatan visual diduga ada kerusakan yang tidak dapat ditetapkan dengan
cara organoleptik, harus dilakukan sampling untuk pengujian laboratorium(9).
Di Puskesmas Sedayu II obat dan alat kesehatan yang telah diterima disimpan
di gudang obat Puskesmas, jenis dan jumlah obat kembali disesuaikan dengan jumlah
yang tertulis dalam LPLPO. Jumlah obat datang di Puskesmas dituliskan pada kartu
stok masing-masing obat sebagai stok masuk dengan keterangan asal barang dari
UPT farmasi dan alat kesehatan. Pencatatan kartu stok dilakukan setelah obat
diterima ataupun obat dikeluarkan. Pencatatan kartu stok meliputi tanggal, nomor,
dari/kepada, jumlah obat masuk, jumlah obat keluar, jumlah obat yang tersisa,
tanggal kadaluarsa, keterangan dan paraf petugas.Setelah menulis kartu stok obat-
obat dan alat kesehatan disimpan dalam lemari obat dengan sistem alfabetis, FEFO
dan FIFO (obat yang datang lebih awal dan cepat kadaluarsa diletakan pada posisi
mudah terjangkau untuk dikeluarkan terlebih dahulu). Penyimpanan obat-obat sirup,
vitamin dan salep dipisahkan dari obat-obat tablet. Penyimpanan obat psikotropika
di Puskesmas Sedayu II belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, karena tempat
penyimpanan obat-obat psikotropika di Puskesmas Sedayu II masih dalam bentuk
lemari coklat yang terbuat dari kayu yang tidak memiliki kunci ganda dan tidak di
simpan di tempat khusus dan terlihat oleh umum.
Distribusi
Pendistribusian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan
kegiatan pengeluaran dan penyerahan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi Puskesmas
dan jaringannya. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi sub unit
pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan
waktu yang tepat.
Sub-sub unit di Puskesmas Sedayu 2 dan jaringannya antara lain:
1. Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas;
2. Puskesmas Pembantu;
3. Puskesmas Keliling;
Pendistribusian ke sub unit di Puskesmas Sedayu 2 (UGD, Poli Gigi, KIA,
Laboratorium, dan lain-lain) dilakukan dengan cara pemberian Obat sesuai resep yang
diterima (floor stock), pemberian Obat per sekali minum (dispensing dosis unit) atau
kombinasi, sedangkan pendistribusian ke jaringan Puskesmas dilakukan dengan cara
penyerahan Obat sesuai dengan kebutuhan (floor stock).
Tujuan tahap distribusi ini adalah untuk memenuhi kebutuhan obat sub unit
pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, jumlah dan waktu
yang tepat serta mutu terjamin. Kegiatan yang dilakukan pada tahap distribusi adalah
sebagai berikut (13):
1) Menentukan frekuensi distribusi yang perlu dipertimbangkan yaitu meliputi jarak
sub unit pelayanan, dan biaya distribusi yang tersedia.
2) Menentukan jumlah dan jenis obat yang diberikan yaitu pemakaian rata-rata per
periode untuk setiap jenis obat, sisa stok, pola penyakit, dan jumlah kunjungan di
masing-masing sub unit pelayanan kesehatan.
3) Melaksanakan penyerahan obat dan menerima sisa obat dari sub-sub unit.
a) Penyerahan obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (7):
- Puskesmas menyerahkan atau mengirimkan obat dan diterima di sub unit
pelayanan.
- Obat diambil sendiri oleh sub-sub unit pelayanan. Obat diserahkan bersama-
sama dengan formulir LPLPO sub unit yang ditandatangani oleh penanggung
jawab sub unit pelayanan Puskesmasdan Kepala Puskesmas sebagai
penanggung jawab pemberi obat dan lembar pertama disimpan sebagai tanda
bukti penerimaan obat.
b) Tata cara distribusi obat meliputi :
- Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota melaksanakan distribusi obat ke
Puskesmas di wilayah kerjanya sesuai dengan kebutuhan masing-masing unit
pelayanan kesehatan.
- Puskesmas induk mendistribusikan kebutuhan obat-obatan untuk Puskesmas
pembantu, Puskesmas keliling dan unit pelayanan kesehatan lainnya yang ada
di wilayah binaan sekitar.
- Distribusi obat-obatan dapat dilaksanakan secara langsung dari Instalasi
Farmasi Kabupaten/Kota ke Puskesmas Pembantu sesuai dengan situasi dan
kondisi wilayah atas persetujuan Kepala Puskesmas yang membawahinya.
- Tata cara distribusi obat ke UPK dapat dilakukan dengan cara dikirim oleh
Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota atau diambil oleh Unit Pelayan Kesehatan
(UPK).
- Obat yang akan dikirim ke Puskesmas harus disertai dengan LPLPO.
Sebelum dilakukan pengepakan atas obat-obatan yang akan dikirim, maka
perlu dilakukan pemeriksaan terhadap jenis dan jumlah obat, kualitas/kondisi
obat, isi kemasan dan kekuatan sediaan, kelengkapan dan kebenaran
dokumen pengiriman obat, nomor batch, tanggal kadaluwarsa dan nama
pabrik.
- Setiap pengeluaran obat dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota harus segera
dicatat pada kartu stok obat dan kartu stok induk obat serta buku harian
pengeluaran obat.
c. Pengendalian, Pencatatan, Pelaporan
Pengendalian
Pengendalian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu kegiatan
untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program
yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan Obat
di unit pelayanan kesehatan dasar. Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan dan
kekosongan Obat di unit pelayanan kesehatan dasar.
Pengendalian Sediaan Farmasi terdiri dari:
 Pengendalian persediaan;
 Pengendalian penggunaan; dan
 Penanganan Sediaan Farmasi hilang, rusak, dan kadaluwarsa(3).
Pengendalian obat di Puskesmas Sedayu II terdiri dari :
a. Pengendalian persediaan
b. Pengendaliaan penggunaan, dan
c. Penanganan obat hilang, rusak dan kadaluarsa. Untuk obat yang kadaluarsa dan
rusak di Puskesmas Sedayu II akan disisihkan kemudian akan dikembalikan ke dinas
kesehatan untuk dilakukan pemusnahan.
Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan data di Puskesmas merupakan rangkaian kegiatan dalam
rangka penatalaksanaan obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang diterima,
disimpan, didistribusikan dan digunakan di Puskesmas dan atau unit pelayanan lainnya.
Puskesmas bertanggung jawab atas terlaksananya pencatatan dan pelaporan obat yang
tertib dan lengkap serta tepat waktu untuk mendukung pelaksanaan seluruh pengelolaan
obat (13).
Tujuan pencatatan dan pelaporan adalah:
 Bukti bahwa pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai telah
dilakukan;
 Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan
 Sumber data untuk pembuatan laporan.
Sarana yang digunakan untuk pencatatan dan pelaporan obat di Puskesmas adalah
Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) dan kartu stok. Adapun hal-
hal yang harus diperhatikan terkait LPLPO sebagai berikut (7):
a. LPLPO yang dibuat oleh petugas Puskesmas harus tepat data, tepat isi dan dikirim tepat
waktu serta disimpan dan diarsipkan dengan baik.
b. LPLPO juga dimanfaatkan untuk analisis penggunaan, perencanaan kebutuhan obat,
pengendalian persediaan dan pembuatan laporan pengelolaan obat.
Sarana pencatatan dapat dilakukan dengan (7) :
1) Gudang menggunakankartu stok obat dan LPLPO
2) Ruang obat melakukan catatan penggunaan obat LPLPO subunit
3) Ruang suntik terdapat LPLPO sub unit dan catatan penggunaan obat suntik
4) Puskesmas keliling melakukan pembuatan laporan pemakaian obat dan sisa stok
5) Posyandu terdapat laporan penggunaan obat dan sisa stok.
Penyelenggaraan pencatatan penggunaan obat dan alat kesehatan di Puskesmas
yaitu (7):
a. Gudang Puskesmas
1) Setiap obat yang diterima dan dikeluarkan dari gudang dicatat di dalam buku
penerimaan dan kartu stok.
2) Laporan penggunaan dan lembar permintaan obat dibuat berdasarkan kartu stok obat
dan catatan harian penggunaan obat.
3) Data yang ada pada LPLPO merupakan laporan Puskesmas ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
b. Ruang obat
1) Setiap hari jumlah obat yang dikeluarkan kepada pasien dicatat pada buku catatan
pemakaian obat harian.
2) Laporan pemakaian dan permintaan obat ke gudang obat dibuat berdasarkan catatan
pemakaian harian dan sisa stok.
c. Ruang suntik
Obat yang akan digunakan dimintakan ke gudang obat. Pemakaian obat dicatat pada
buku penggunaan obat suntik dan menjadi sumber data untuk permintaan obat.
d. Di Puskesmas keliling, Puskesmas pembantu dan Poskesdes
Pencatatan diselenggarakan seperti pada ruang obat.
e. Klinik rumah tahanan
Pencatatan menggunakan LPLPO sub unit
Alur pelaporan yang dilakukan di Puskesmas diperolerh dari data LPLPO yang
merupakan kompilasi dari data LPLPO sub unit. LPLPO dibuat tiga rangkap, diberikan
ke Dinkes Kabupaten/Kota melalui Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota, untuk diisi
jumlah yang diserahkan. Setelah ditanda tangani oleh kepala Dinas Kesehatan
Kab/Kota, satu rangkap untuk Kepala Dinas Kesehatan, satu rangkap untuk Instalasi
Farmasi Kabupaten/Kota dan satu rangkap dikembalikan ke Puskesmas. Periode
pelaporan LPLPO sudah harus diterima oleh Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota paling
lambat tanggal 10 setiap bulannya (14).
d. Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Obat
Supervisi atau monitoring adalah proses pengamatan secara terencana oleh petugas
pengelola obat dari unit yang lebih tinggi (Instalasi Farmasi Provinsi/Kabupaten/Kota)
terhadap pelaksanaan pengelolaan obat oleh petugas ke unit yang lebih rendah (Instalasi
Farmasi Kabupaten/Kota/Puskesmas/Puskesmas Pembantu/UPT lainnya).
Evaluasi adalah serangkaian prosedur untuk menilai suatu program dan
memperoleh informasi tentang keberhasilan pencapaian tujuan, kegiatan, hasil dan dapak
serta biayanya. Fokus utama dari evaluasi adalah mencapai perkiraan yang sistematis dari
dampak program(15).
Tujuan dari monitoring dan evaluasi penggunaan obat adalah:
 mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan Sediaan
Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai sehingga dapat menjaga kualitas maupun
pemerataan pelayanan;
 memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai; dan
 memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan.
a. Indikator pengelolaan obat(3)
Indikator adalah alat ukur yang dapat membandingkan kinerja yang sesungguhnya.
Indikator dapat digunakan untuk mengukur sampai sejauhmana tujuan dan sasaran telah
dicapai. Beberapa batasan tentang indikator pengelolaan obat, yakni(11)
1) Indikator merupakan jenis data berdasar sifat/gejala/keadaan yang dapat diukur dan
diolah secara mudah dan cepat dengan tidak memerlukan data lain dalam
pengukurannya,
2) Indikator merupakan ukuran untuk mengukur perubahan.
Beberapa kriteria umum indikator dapat disingkat dengan istilah SMART yang
meliputi (15):
1. Sustainable (berkesinambungan).
Dapat dipergunakan secara berkesinambungan.
2. Measurable (keterukuran).
Dapat diukur meskipun waktu yang tersedia singkat, kualitas yang berubah-ubah dan
keterbatasan dana.
3. Accesibility (kemudahan).
Mudah diakses atau didapat.
4. Realibility (kehandalan).
Kehandalan setiap indikator harus dapat dipercaya.
5. Timely (waktu).
Dapat digunakan untuk waktu yang berbeda.
Indikator pengelolaan obatdi Puskesmas sendiri meliputi (11):
a. Kesesuaian item obat dengan DOEN.
b. Kesesuaian ketersediaan obat dengan pola penyakit.
c. Tingkat ketersediaan obat.
d. Ketepatan permintaan obat.
e. Prosentase dan nilai obat rusak/kadaluarsa.
f. Ketepatan distribusi obat.
g. Prosentase rata-rata bobot dari variasi persediaan.
h. Prosentase rata-rata waktu kekosongan obat.
i. Prosentase obat yang tidak diresepkan.
j. Prosentase penulisan resep obat generic
Pelaporan penggunaan obat Rasional di Puskesmas Sedayu II dilakukan
untuk memulai penggunaan obat secara rasional, biasanya pada beberapa kasus yang
ada di Puskesmas Sedayu II yaitu, penggunaan antibiotik untuk penanganan common
cold, antibiotik pada penanganan diare non spesifik dan injeksi pada penanganan
myalgia. Pencatatan laporan Penggunaan Obat Rasional (POR) dilakukan setiap bulan.
Hasil monitoring POR di Puskesmas Sedayu II sudah sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan yaitu kurang dari 10 %.
b. Pelayanan Farmasi Klinis Di Puskesmas

Puskesmas Sendayu 2 memusatkan pelayanan obat di ruang farmasi. Jumlah


kebutuhan Apoteker di Puskesmas dihitung berdasarkan rasio kunjungan rawat jalan
maupun rawat inap serta mempertimbangkan pembangunan puskesmas itu sendiri. Rasio
untuk menentukan jumlah apoteker adalah 1 apoteker untuk untuk 50 pasien per hari(1).
Apotek melayani permintaan perbekalan farmasi, baik itu dari pasien yang menggunakan
BPJS, Jamkesmas, askes maupun tanpa menggunakan jaminan apapun. Pelayanan
kefarmasian di Puskesmas Sendayu 2 dimulai dari pukul 07.30-14.30 pada hari senin
sampai kamis, 07.30-11.30 pada hari jumat dan 07.30-13.00 pada hari sabtu.
a. Pelayanan Farmasi Rawat Jalan dan Rawat Inap

Pelayanan kefarmasian rawat jalan di Puskesmas Sendayu 2 dilakukan oleh 1


Apoteker beserta dengan 2 Staff. Pelayanan dilakukan sejak jam operasi puskesmas
dimulai. Sebelum melakukan pelayanan, dipastikan bahwa semua alat untuk meracik
sudah bersih, serta mengecek obat-obatan di ruang farmasi tersedia.Apabila obat di
ruang farmasi kosong, dapat diambil stok obat yang ada di gudang. Saat semuanya sudah
siap, pelayanan kefarmasian dapat dilakukan. Pelayanan kefarmasian di puskesmas
meliputi beberapa hal mulai dari pengkajian resep, penyerahan obat, pemberian
Informasi Obat (PIO), Konseling, Pemantauan Efek Samping Obat (ESO), Pemantauan
Terapi Obat (PTO), dan Evaluasi Penggunaan Obat(2).
Pada pasien rawat inap dilakukan kegiatan kunjungan ke pasien (visite) yang
dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter,
apoteker, perawat dan ahli gizi. Tujuan dilakukannya visite oleh Apoteker adalah untuk
memeriksa obat pasien, memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan obat
dengan mempertimbangkan diagnosis dan kondisi pasien (klinis dan ekonomi),
memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan obat, serta ikut
berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam terapi pasien.
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat visite:
1. Memahami cara berkomunikasi yang efektif
2. Memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan pasien dan tim
3. Memahami teknik edukasi
4. Mencatat perkembangan pasien
Pasien rawat inap yang telah pulang ke rumah ada kemungkinan terputusnya
kelanjutan terapi dan kurangnya kepatuhan penggunaan obat. Peran pelayanan
kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) sangat dibutuhkan agar terwujud
komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dalam penggunaan obat sehingga
keberhasilan terapi obat dapat tercapai maksimal(2).
Puskesmas Sedayu 2 merupakan puskesmas induk yang hanya memiliki rawat jalan
saja dengan 2 puskesmas pembantu yaitu Selogedong dan Bakal. Pelayanan kefarmasian
rawat jalan puskesmas Sendayu 2 antara lain, pengkajian resep, penyerahan obat,
konseling, dan evaluasi penggunaan obat.
b. Pengkajian dan Pelayanan Resep

Pasien yang baru berobat dan mendapatkan resep biasanya akan mengantarkan
resep ke apotek dan meletakannya di boks resep. Resep yang diterima dari pasien
diskrining oleh petugas mulai dari kelengkapan administratif, kelengkapan farmasetis
maupun kelengkapan persyaratan klinis. Kelengkapan administratif mencakup nama
dokter, nama pasien, alamat pasien, umur pasien, berat badan pasien, tanggal resep serta
unit asal resep. Sedangkan kesesuaian farmasetis meliputi seperti bentuk dan kekuatan
sediaan, dosis, aturan pakai serta jumlah obat. Kelengkapan resep terakhir yang harus
di skrining adalah persyaratan klinis yang bertujuan untuk memastikan bahwa obat yang
diresepkan oleh dokter tepat untuk pasien, baik dari kesesuaian obat dengan diagnosa
pasien, dosis, rute, ada atau tidaknya interaksi obat yang signifikan bermakna klinis,
maupun kontraindikasi pada pasien.
Setelah Dilakukan Skrining resep, maka dilakukan kegiatan penyerahan
(Dispensing) meliputi menyiapkan/ meracik obat, memberikan etiket obat, dan
menyerahkan obat oleh apoteker kepada pasien disertai pemberian informasi obat dan
konseling obat kepada pasien mengenai cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat,
jangka waktu pemakaian obat, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus
dihindari selama terapi(2). Setelah obat diserahkan kepada pasien, apoteker harus
melakukan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien kronis seperti pasien
kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya(3).
Kegiatan pelayanan resep di puskesmas di Sendayu 2 dimulai dengan penerimaan
resep lalu dilakukan pengkajian administrasi resep. Resep dokter yang ada di
puskesmas sendayu 2 dari segi administratif meliputi nama dokter, usia pasien, dan paraf
dokter. Resep dokter tidak mencantumkan informasi berat badan pasien sehingga ketika
kita hendak menentukan dosis untuk anak, maka perlu ditanyakan terlebih dahulu ke
pasien bersangkutan terkait berat badan pasien. Pengkajian selanjutnya adalah
pengkajian farmasetis. Pengkajian farmasetis pada resep telah sesuai yaitu
mencantumkan bentuk sediaan obat, jumlah obat,kekuatan sediaan obat, dan aturan
pakai. Lalu untuk pengkajian terakhir yaitu pengkajian klinis. Pengkajian klinis pada
resep, dokter selalu mencantumkan informasi apabila pasien memiliki alergi obat.
Pengkajian klinis lainnya sudah sesuai. Pengkajian resep di Puskesmas Sendayu 2 tidak
memakai checklist khusus dikarenakan terbatasnya jumlah dokter di Puskesmas
Sendayu 2 sehingga apabila ada ketidaksesuaian informasi bisa langsung ditanyakan
dengan dokter bersangkutan.
Kegiatan selanjutnya setelah dilakukan pengkajian resep adalah dispensing, yaitu
meliputi :
1. Pengambilan obat dari rak penyimpanan obat kemudian dicek nama obat,
kekuatan sediaan, keadaan fisik obat, dan tanggal kadaluarsa obat.
2. Penyiapan obat di Puskesmas Sendayu 2 terdiri dari 2 macam yaitu obat
racikan (Salep dan Puyer) dan obat non racikan.
3. Pemberian etiket Puskesmas Sendayu 2 sudah sesuai yaitu etiket putih untuk
obat minum dan etiket biru untuk obat luar. Hanya saja untuk penulisan
etiket di Puskesmas Sendayu 2 tidak mencantumkan nama obat dan
kekuatan sediaan obat dikarenakan langsung ditempel pada kemasan obat.
4. Obat dimasukkan dalam plastik klip berbeda dengan etiket yang diklip pada
masing-masing obat. Hal ini untuk menghindari penggunaan obat yang
salah dan menjaga mutu obat.
5. Pengecekan kembali meliputi penulisan nama pasien pada etiket, cara
penggunaan, jenis dan jumlah obat.
6. Memastikan bahwasannya yang menerima obat adalah pasien itu sendiri
atau diwakilkan oleh keluarga pasien.
7. Penyerahan obat kepada pasien dilakukan dengan cara sopan, menggunakan
bahasa yang dapat dimengerti orang awam, suara terdengar jelas, baik,
terperinci agar informasi yang disampaikan dapat dipahami oleh pasien.
8. Memberikan informasi obat meliputi nama obat, manfaat obat, jumlah obat,
bentuk sediaan obat, terapi non-farmakologi, kemungkinan efek samping,
dan cara penyimpanan obat.
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan


oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada
dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Tujuan dilakukannya
pelayanan informasi obat yaitu(2):
1) Menyediakan informasi mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan
Puskesmas, pasien dan masyarakat.
2) Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat.
Informasi obat yang diperlukan pasien adalah:
1) Waktu penggunaan obat, seorang apoteker sebaiknya membuat jadwal minum obat
pasien misalnya pada jam berapa obat digunakan, berapa kali digunakan dalam
sehari dan diminum sebelum, sesudah atau saat makan atau diiringi dengan
makanan.
2) Lama penggunaan, jumlah dan lama pemakaian antibiotika harus sesuai dengan
standar penggunaan, untuk mencegah dan mengurangi resistensi.
3) Cara penggunaan obat yang benar, misalnya untuk obat-obatan yang membutuhkan
cara pengunaan khusus seperti insulin, suppositoria, MDI, dll. (4) .
4) Efek yang akan ditimbulkan dari penggunaan obat, misalnya untuk obat yang dapat
menyebabkan rasa kantuk, rasa pahit ditenggorokan atau rasa kering dibagian
mulut, seorang apoteker harus memberikan informasi dan solusi terhadap hal
tersebut.
5) Interaksi obat dengan obat lain atau makanan tertentu
6) Kontraindikasi obat tertentu dengan kondisi yang telah diderita pasien seperti
kehamilan, menyusui, gangguan fungsi hati dan ginjal(16,11).
7) Cara penyimpanan obat, obat biasanya disimpan di dalam kotak obat atau almari
yang terlindung dari cahaya matahari langsung, kecuali untuk obat dengan
penggunaan khusus misalnya suppositoria, insulin dan lainnya.
Kegiatan PIO yang dapat dilakukan berupa:
1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro aktif dan
pasif.
2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat
atau tatap muka.
3) Membuat buletin, leaflet, poster, majalah dinding, video dan banner.
4) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap, serta
masyarakat.
5) Melakukan pendidikan atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya terkait dengan obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP).
6) Mengkoordinasikan penelitian terkait obat dan kegiatan Pelayanan Kefarmasian(2).
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan
oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada
dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Tujuan dilakukannya
pelayanan informasi obat yaitu(2):
1) Menyediakan informasi mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan
Puskesmas, pasien dan masyarakat.
2) Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat.
Informasi obat yang diperlukan pasien adalah:
1) Waktu penggunaan obat, seorang apoteker sebaiknya membuat jadwal minum obat pasien
misalnya pada jam berapa obat digunakan, berapa kali digunakan dalam sehari dan
diminum sebelum, sesudah atau saat makan atau diiringi dengan makanan.
2) Lama penggunaan, jumlah dan lama pemakaian antibiotika harus sesuai dengan standar
penggunaan, untuk mencegah dan mengurangi resistensi.
3) Cara penggunaan obat yang benar, misalnya untuk obat-obatan yang membutuhkan cara
pengunaan khusus seperti insulin, suppositoria, MDI, dll. (4) .
4) Efek yang akan ditimbulkan dari penggunaan obat, misalnya untuk obat yang dapat
menyebabkan rasa kantuk, rasa pahit ditenggorokan atau rasa kering dibagian mulut,
seorang apoteker harus memberikan informasi dan solusi terhadap hal tersebut.
5) Interaksi obat dengan obat lain atau makanan tertentu
6) Kontraindikasi obat tertentu dengan kondisi yang telah diderita pasien seperti kehamilan,
menyusui, gangguan fungsi hati dan ginjal(2,5).
7) Cara penyimpanan obat, obat biasanya disimpan di dalam kotak obat atau almari yang
terlindung dari cahaya matahari langsung, kecuali untuk obat dengan penggunaan khusus
misalnya suppositoria, insulin dan lainnya.
Kegiatan PIO yang dapat dilakukan berupa:
1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro aktif dan pasif.
2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau
tatap muka.
3) Membuat buletin, leaflet, poster, majalah dinding, video dan banner.
4) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap, serta masyarakat.
5) Melakukan pendidikan atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan
lainnya terkait dengan obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP).
6) Mengkoordinasikan penelitian terkait obat dan kegiatan Pelayanan Kefarmasian(2).
Kegiatan PIO yang dilakukan di Puskesmas Sedayu 2 masih sebatas pemberian
informasi pasif berupa memberikan informasi obat sebagai jawaban atas pertanyaan
yang diterima. Sedangkan untuk kegiatan PIO lainnya seperti pembuatan leaflet, poster,
dan buletin serta pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya terkait
obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) masih sangat jarang dilakukan dipuskesmas
Sedayu 2. Daftar pasien yang diberikan pelayanan informasi obat dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :
Tabel 1. Daftar Pasien yang Diberikan Pelayanan Informasi Obat
No Nama Usia Diagnosa Terapi yang diberikan

1 Ny. Sarjiyem 51 tahun DM dengan Glimepirid, Metformin, Captopril,


Hipertensi Amlodipin, dan Natrium
Diklofenak
2 Ny. Panti Ani 58 tahun Hipertensi Captopril, Attapulgit, Oralit, dan
Ibuprofren
3 Ny. Sri 63 tahun Hipertensi Amlodipin, Asam Mefenamat, dan
Rahayuningsih Vitamin B12
4 Bp. Dadang 60 tahun Hipertensi Captopril, Amlodipin,
Omeprazole, Vitamin B12,
Parasetamol, Allopurinol, dan
Simvastatin

Sumber acuan Puskesmas Sedayu 2 dalam memberikan pelayanan informasi obat


bersumber dari buku Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), Farmakope Indonesia,
Informasi Obat Nasional (IONI), Farmakologi dan terapi ,dll. Pelayanan Informasi obat
Puskesmas Sedayu 2 meliputi waktu penggunaan obat, lama penggunaan obat dan cara
penggunaan obat yang benar.
Pelayanan konseling di Puskesmas Sedayu II sudah berjalan namun masih kurang
dalam hal sarana yaitu tidak adanya ruangan konseling. Ruang konseling sementara
masih memakai ruang laktasi. Pasien-pasien yang diberikan konseling biasanya adalah
pasien-pasien dengan penyakit kronis seperti hipertensi, DM , TBC dan pasien-pasien
yang mendapat obat-obat dengan penggunaan khusus.
Pelayanan Home Care di Puskesmas Sedayu II sudah berjalan namun apoteker tidak
ditugaskan di dalamnya. Hal ini dikarenakan keterbatasan jumlah apoteker yang ada di
puskesmas Sedayu II.
d. Pelayanan Konseling dan/atau Home care
Pasien yang datang dan melakukan penebusan obat di Puskesmas Sedayu 2 dan
beresiko tinggi mengalami ESO akan diberikan pertanyaan terkait dengan manifestasi
efek samping yang dirasakan, waktu terjadinya efek samping hingga kesudahan ESO
(sembuh, sembuh dengan gejala sisa, belum sembuh dan lain-lain). Apabila terdapat
pasien mengalami efek samping yang signifikan maka dibuat dokumentasi dengan cara
mengisi formulir Pelaporan ESO. Selama kami PKPA, kami tidak menemukan adanya
efek samping obat yang potensial, selain itu pelaporan terkait ESO sangat jarang
ditemukan di kawasan kerja Puskemas Sedayu 2. Kegiatan yang seharusnya dilakukan
pada saat ESO , yaitu:
a. Menganalisis laporan efek samping Obat.
b. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami
efek samping Obat.
c. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
d. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
e. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat (ESO)
Pemantauan Terapi Obat di Puskesmas Sendayu 2 dilakukan kepada pasien dengan
penyakit kronis yang memerlukan pengobatan secara berkesinambungan, terutama untuk pasien
dengan penyakit tuberkulosis (TB). Pasien TB selalu dipantau kepatuhannya dalam
mengkonsumsi obat-obatan mengingat pengobatan untuk penyakit ini memerlukan jangka waktu
yang panjang dan kedisiplinan yang tinggi. Bagian farmasi terlibat dalam penyediaan obat untuk
pasien TB disertai dengan pemberian informasi saat penyerahan obat ke pasien dan dokumentasi.
pemantauan untuk penyakit selain TB belum dapat didokumentasikan mengingat keterbatasan
jumlah tenaga dibandingkan dengan jumlah pasien dengan penyakit kronis di Puskesmas Sendayu
2. Namun, pada pasien prolanis dengan penyakit kronis sudah ada lembar pemantauan obat yang
diberikan. Pasien dengan riwayat DM tipe 2 dan Hipertensi, apoteker biasanya selalu menanyakan
kadar gula atau tensi pada saat penyerahan obat, dan kemudian selalu mengingatkan untuk selalu
kontrol.

g. Evaluasi Penggunaan Obat Rasional

Menilai penggunaan obat di suatu fasilitas kesehatan sangat penting dilakukan khususnya
dalam mempromosikan penggunaan obat rasional di negara-negara berkembang dan
menggunakan indikator penggunaan obat (19). Sejak tahun 1985 World Healt Organization (WHO)
terus berupaya untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, salah satunya adalah
pengembangan indikator penggunaan obat (20).

Penggunaan obat dikatakan tepat atau rasional bila pasien diberikan obat sesuai dengan
kebutuhan klinisnya. Tujuan dari penggunaan obat yang rasional adalah meminimalisasi masalah
yang timbul akibat penggunaan obat yang tidak tepat dan agar pasien mendapatkan obat yang
sesuai dengan penyakit yang dideritanya, aman dan efektif. WHO mengembangkan tiga faktor
utama dari indikator penggunaan obat yaitu pola peresepan, pelayanan yang diberikan bagi pasien,
dan tersedianya fasilitas untuk merasionalkan penggunaan obat(20). Ketiga faktor tersebut berperan
penting pada tercapainya kerasionalan penggunaan obat.

Indikator Parameter Penilaian


Rata-rata jumlah item obat tiap lembar resep
Peresepan
Persentase peresepan obat generik
Persentase peresepan antibiotik
Persentase peresepan injeksi
Persentase peresepan obat dari formularium
Rata-rata waktu untuk konsultasi
Pelayanan Pasien
Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk penyerahan obat
Persentase obat yang diserahkan pada pasien
Persentase obat yang pelabelannya mencukupi
Pengetahuan pasien tentang pengobatan yang benar
Ketersediaan formularium atau daftar obat-obat esensial
Fasilitas
Ketersediaan obat-obat esensial

Indikator tambahan penilaian rasionalitas penggunaan obat (20):

Parameter Penilaian

a. Persentase pasien yang diterapi tanpa obat


b. Rerata biaya obat tiap peresepan
c. Persentase biaya untuk antibiotik
d. Persentase biaya untuk injeksi
e. Peresepan yang sesuai dengan pedoman pengobatan
f. Persentase pasien yang puas dengan pelayanan yang diberikan
g. Persentase fasilitas kesehatan yang mempunyai akses kepada informasi yang
obyektif
Indikator tersebut terutama digunakan di Negara-negara berkembang.Indikator penggunaan
obat ini digunakan untuk melihat pola penggunaan obat dan dapat menggambarkan secara
langsung tentang penggunaan obat yang tidak sesuai. Indikator penggunaan obat seperti yang telah
didefinisikan oleh WHO telah memberikan langkah-langkah mudah dan nyaman dalam menilai
penggunaan obat yang optimal di fasilitas kesehatan(20).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia belum memiliki standar dalam penggunaan
obat sesuai di puskesmas, tetapi hanya memiliki target berdasarkan indikator peresepan WHO,
yaitu(21):
a) Rerata jumlah obat perlembar resep: 2,6
b) Persentase obat generik yang diresepkan: 100%
c) Persentase peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia: 20%
d) Persentase peresepan antibiotik pada diare non spesifik: 8%
e) Persentase injeksi pada myalgia: 1%
f) Persentase obat yang diresepkan dari DOEN/Formularium Nasional: 100%
Pada indikator peresepan, terdapat lima parameter yang harus dinilai. Parameter tersebut
dibuat berdasarkan masalah penggunaan obat yang umum terjadi yaitu polifarmasi, pemilihan obat
yang mahal, penggunaan antibiotik dan injeksi yang berlebihan serta pemilihan obat yang tidak
sesuai dengan standar terapi yang ada(20).
Evaluasi penggunaan obat rasional yang kami lakukan di Puskesmas Sedayu 2 yaitu
penggunaan obat antibiotik pada common cold, antibiotik pada diare dan pemberian injeksi
pada myalgia.
Persentase peresepan antibiotik untuk mengukur tingkat penggunaan antibiotik yang
umumnya digunakan secara berlebihan dan banyak menghabiskan biaya, dimana antibiotik
merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Penggunaan antibiotika yang tidak rasional dan berlebihan dapat mendorong terjadinya
resistensi terhadap bakteri tertentu(22). Peningkatan resistensi telah menyebabkan terjadinya
peningkatan morbiditas dan mortilitas, sehingga turut pula meningkatkan biaya perawatan
pasien. Masalah yang sering terjadi dalam penggunaan antibiotik yang tidak tepat adalah(23):
(1) Penggunaan untuk infeksi gastrointestinal dan saluran nafas yang disebabkan oleh virus
atau penyebab lain yang tidak membutuhkan antibiotik.
(2) Pemilihan antibiotik yang memiliki spektrum luas padahal hanya dibutuhkan antibiotik
yang berspektrum sempit.
(3) Pemberian dosis yang tidak cukup akibat salah dosis, kurangnya durasi pemberian, atau
pasien yang tidak sanggup membeli obat.
(4) Kecenderungan untuk memilih antibiotik generasi terbaru tanpa klinis yang cukup untuk
keefektifannya.
Oleh sebab itu, diperlukan evaluasi, standar terapi untuk penggunaan antibiotik, dan
peningkatan sarana untuk penegakan diagnosis infeksi pada fasilitas pelayanan kesehatan.
Rata-rata jumlah obat tiap lembar resep atau polifarmasi merupakan penggunaan obat
dalam jumlah yang banyak dan tidak sesuai dengan kondisi kesehatan pasien. Meskipun istilah
polifarmasi telah mengalami perubahan, tetapi arti dasar dari polifarmasi itu sendiri adalah
obat dalam jumlah yang banyak dalam suatu resep (dan atau tanpa resep) untuk efek klinik
yang tidak sesuai. Jumlah yang spesifik dari suatu obat yang diambil tidak selalu menjadi
indikasi utama akan adanya polifarmasi akan tetapi juga dihubungkan dengan adanya efek
klinis yang sesuai atau tidak sesuai pada pasien(24). Polifarmasi dapat menyebabkan efek
negatif misalnya adanya efek samping obat yang tidak dikehendaki, berkurangnya kepatuhan
pasien dalam menggunakan obat, serta dapat meningkatkan resiko pengobatan yang tidak
tepat (interaksi obat dan duplikasi terapi)(25,26).
Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya polifarmasi adalah, tekanan dari
pasien yang menginginkan gejala penyakit cepat hilang, pengetahuan dan kebiasaan dokter,
tidak tersedianya standar terapi dan informasi komersial yang berlebihan dari pabrik obat.
Tingginya tingkat polifarmasi dapat mengakibatkan penurunan kualitas terapi obat,
pemborosan, peningkatan biaya terapi, peningkatan efek psikososial yang mengakibatkan
pasien bergantung pada obat(27).
Persentase peresepan injeksi bertujuan untuk mengukur tingkat penggunaan injeksi yang
umumnya digunakan secara berlebihan dan banyak menghabiskan biaya
Di Indonesia, penggunaan injeksi yang berlebihan umumnya terjadi pada sektor pelayanan
kesehatan publik(28). Obat yang umunya diberikan dalam sediaan injeksi adalah antibiotik,
vitamin, analgesik dan antihistamin.Sekitar lebih dari 80% pasien dengan diagnosis diare dan
ISPA diberikan terapi injeksi antibiotik. Faktor-faktor penyebab penggunaan injeksi
berlebihan di Indonesia adalah(29):
(1) Injeksi dipercaya lebih efektif dibandingkan dengan sediaan lainnya. Selain itu, tingkat
kepatuhan pasien lebih dapat dijamin dibandingkan dengan pemberian obat secara oral.
(2) Tenaga kesehatan mendapatkan kekuatan status mereka di puskesmas. Obat oral dapat
diperoleh pada toko obat atau apotek, sedangkan injeksi hanya dapat diberikan di
puskesmas.
(3) Adanya keyakinan bahwa pasien menginginkan injeksi. Oleh sebab itu, para dokter atau
perawat tidak ragu memberikan injeksi pada pasiennya.
(4) Keyakinan pasien bahwa injeksi lebih cepat mengobati dibandingkan sediaan oral.
Selain itu, pasien tidak perlu mengingat-ingat jadwal minum obat sehingga mereka
merasa lebih praktis.
Menurut WHO Persentase peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia adalah 20%, di
Puskesmas Sedayu 2 peresepan antibiotik pada common cold dilakukan oleh dua mahasiswa
dengan mengambil sampel 30 resep setiap mahasiswa dan diperoleh hasil :
Sampel 1 Sampel 2
Persentase Antibiotik untuk 3,33 % 3,33 %
common cold
Polifarmasi 3,16 3,16
Menurut literatur yang ada, persentase peresepan antibiotik pada commond cold rasional.
Karena hasil dari dua sampel tersebut < 20%. Tetapi ada polifarmasi, karena manurut literatur
rerata jumlah obat perlembar resep adalah 2,6. Sedangkan hasil dari dua sampel peresepan
antibiotik pada common cold adalah 3,16 yang berarti > 2,6.

Persentase peresepan antibiotik pada diare non spesifik adalah 8% menurut WHO, sampel
diambil sebanyak 30 resep dan diperoleh hasil:

Persentase Antibiotik untuk 3,57 %


diare
Polifarmasi 2,6
Hasil dari perhitungan sampel resep persentase antibiotik untuk diare rasional, karena hasilnya
< 8% menurut literatur. Dan tidak ada polifarmasi karena hasil dari perhitungan sampel resep
adalah 2,6. Dimana menurut literatur rerata jumlah obat perlembar resep adalah 2,6.

Persentase injeksi pada myalgia: 1% menurut WHO, sampel diambil sebanyak 30 resep dan
diperoleh hasil:
Persentase injeksi pada 0 %
myalgia
Polifarmasi 2
Hasil dari Hasil dari perhitungan sampel resep persentase injeksi pada myalgia adalah 0%,
yang berarti adalah rasional. Karena meurut literatur adalah pemberian injeksi pada myalgia adalah
1%. Dan tidak ada polifarmasi karena manurut rerata jumlah obat perlembar resep adalah 2,6
sedangkan hasil yang diperoleh dari pengambilan sampel adalah 2.

4. Program Promosi Kesehatan


Promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong diri
sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai dengan
kondisi sosial budaya setempat dan didukung kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.
1. Tugas

Kasus I
Oleh :
Muhammad Sahindrawan Firmansyah
Leptospirosis

1. Definisi
Leptospirosis merupakan penyakit demam akut dengan manifestasi klinis bervariasi,
disebabkan oleh mikroorganisme leptospira. Leptospira adalah mikroorganisme yang dapat
menyebabkan penyakit dengan manifestasi gejala klinis yang sangat luas(1). Leptospirosis
memiliki penyebaran yang merata hampir di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik pada
negara dengan iklim tropis. Leptospirosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang paling
sering terjadi. Penyakit ini menyebar melalui kontak, baik langsung ataupun tidak langsung, antara
mukosa atau kulit manusia yang mengalami luka dengan hewan yang terinfeksi seperti tikus,
anjing, kucing, dan hewan rumahan lain(2). Penyakit Weil’s, muncul sebagai bentuk stadium ikterik
dari leptospirosis. Penyakit Weil’s merupakan suatu bentuk leptospirosis berat yang melibatkan
kegagalan beberapa organ seperti hati dan ginjal(3). Data dari Pusat Pengendalian Krisis
Departemen Kesehatan, pasien leptospirosis di seluruh Jakarta, Tangerang, Bogor, Depok, dan
Bekasi mencapai 193 orang dengan 14 pasien meninggal selama Februari 2007(1).
Penyakit leptospirosis pada umumnya ringan namun akan menjadi berat ketika bacteremia
mampu mempengaruhi pembuluh darah kecil. Perbubahan transien pada fungsi ginjal serin
dijumpai. Pada umumnya akan membaik dalam 3 sampai 6 minggu. Pada kasus leptospirosis
pemeriksaan laboratorium penting dilakukan untuk melihat gambaran klinis.
2. Etiologi
Leptospira termasuk kedalam ordo Spirochaetales, family Leptospiracea dan genus spiroketa
berukuran 6–20 μm dengan karakteristik berpilin seperti spiral, tipis, lentur dengan panjang 10-20
mikron dan tebal 0,1 mikron serta memiliki 2 lapis membran dengan ujung yang berbentuk kait.
dengan motilitas yang tinggi. Genus Leptospira terdiri dari dua puluh jenis spesies, lima
diantaranya termasuk spesies yang menyebabkan penyakit misalnya L. interrogans yang memiliki
kurang lebih 250 serovar. Leptospira dideskripsikan dengan serovar untuk kepentingan klinis dan
epidemiologi(2,4,5).
Organisme Leptospira tidak dapat terlihat dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa,
namun dapat dilihat dalam kultur dan spesimen klinis dengan menggunakan mikroskop lapangan
gelap. Kebutuhan nutrisi Leptospira yang khas menyebabkan Leptospira tidak dapat tumbuh pada
medium yang digunakan dalam proses kultur biasa. Leptospira secara khusus dapat dikultur pada
media EMJH (Ellinghausen–McCullough–Johnson–Harris) yang ditambahkan 0,1% agar. Kultur
dapat diperiksa dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap dalam interval mingguan(6).

3. Tanda dan Gejala Klinis


Gambaran klinis infeksi Leptospira bervariasi dari gejala klinis ringan yang menyerupai
penyakit lain seperti influenza, hingga bentuk klinis yang parah yakni penyakit Weil’s. Pada fase
leptospiremia, organisme Leptospira dapat dikultur dari darah dan memberikan gejala sistemik
seperti demam, sakit kepala, mialgia. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya injeksi
konjungtiva (dilatasi pembuluh darah konjungtiva tanpa adanya sekret), eritema faring, nyeri otot
terutama nyeri pada otot gastrocnemius, ditemukannya rhonchi atau pekak pada pemeriksaan
toraks apabila terjadi perdarahan pada paru-paru, jaundice, maupun hiporefleksia terutama pada
kaki(6).
Penyakit Weil’s ditandai dengan adanya kombinasi dari jaundice, gagal ginjal akut (acute
kidney injury), hipotensi dan perdarahan (pada umumnya pada paru). Keterlibatan organ lain
seperti adanya aseptic meningitis, uveitis, kolesistitis, pankreatitis, dan akut abdomen juga dapat
terjadi meskipun jarang. Pada jantung, dapat ditemukan perubahan segmen ST maupun gelombang
T serta right-bundle-branchblock (RBBB) yang menggambarkan terjadinya miokarditis. Kelainan
kulit pada pasien Leptospira umumnya menggambarkan adanya kelainan di darah, seperti
petechiae dan ekimosis. Pemeriksaan fisis pada abdomen dapat ditemukan adanya hepatomegaly
dan nyeri tekan akibat kolesistitis maupun hepatitis(6).
Gagal ginjal akut ditandai dengan adanya fase oliguria dengan gangguan kadar elektrolit darah
yang menggambarkan disfungsi tubulus renal proksimal. Hipotensi berhubungan dengan nekrosis
tubulus akut yang membutuhkan resusitasi cairan segera serta hemodialisa(6).
4. Jalur Penularan

Gambar 1. Siklus Penularan Leptospirosis(7)

Sebagaimana gambar diatas dapat dilihat bahwasanya manusia dapat terinfeksi Leptospira
melalui kontak langsung dengan urin, darah atau jaringan dari hewan karier leptospirosis . Kuman
Leptospira dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa mulut,
hidung atau mata ketika berenang di dalarn air yang terkontaminasi Leptospira, karena bakteri
tersebut dapat bertahan hidup di dalam air bersifat basa sampai 6 bulan . Selain itu, penularan juga
terjadi jika kontak Iangsung dengan tanah basah atau tanaman yang terkontaminasi urin hewan
penderita leptospirosis(8).
5. Patofisiologi
Leptospira dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui kontak langsung ataupun tidak
langsung antara kulit yang terluka atau mukosa tubuh seperti mukosa konjungtiva ataupun mukosa
oral dengan binatang ataupun ekskreta binatang yang terinfeksi Leptospira. Leptospira dapat
berproliferasi dan menyebar dalam aliran darah ke seluruh tubuh kemudian berproliferasi dalam
organ-organ. Masa inkubasi bervariasi antara dua hingga tiga puluh hari dengan rata-rata lima
hingga empat belas hari. Setelah antibody terhadap Leptospira terbentuk, Leptopspira mulai
menghilang dari darah namun tetap bertahan hidup pada berbagai organ seperti otak, hati, paru-
paru, jantung, dan ginjal. Siklus hidup Leptospira telah lengkap ketika Leptospira mempenetrasi
membran basalis dari tubulus ginjal proksimal dan berikatan dengan sel-sel tubulus dan kemudian
diekskresikan bersama dengan urin(6). L. interrogans dengan serovar icterohaemorrhagie adalah
salah satu serovar Leptospira yang berhubungan erat dengan kejadian penyakit Weil’s, yaitu suatu
kondisi leptospirosis berat yang melibatkan kegagalan beberapa organ seperti hati dan ginjal yang
ditandai dengan jaundice, gagal ginjal, syok dan perdarahan(3). Pada ginjal, kerusakan yang
disebabkan oleh Leptospira dapat mengakibatkan kerusakan tubulus distal dan tubulus konvulus
hingga menyebabkan gagal ginjal akut yang digambarkan dengan peningkatan kreatinin darah (9).
Pada hati, Leptospira menyebabkan kerusakan ikatan antar sel hepatosit, penyumbatan pada
kanalikuli hingga nekrosis fokal pada sel-sel periportal. Kerusakan intrahepatic ini dapat
memberikan gambaran jaundice pada penderita. Pada paru, dapat terjadi perdarahan pulmonal
yang diakibatkan lesi-lesi kapiler karena terjadinya aktivasi endotel yang diikuti dengan deposisi
imunoglobulin dan deposisi komplemen serta adhesi platelet(6).
6. Terapi
Terapi suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan dehidrasi,
hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Keseimbangan cairtan
akibat diare dan muntah-muntah memerlukan infus, anemia berat diperbaiki dengan transfusis
darah.Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya
kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer.
Selama perlu dilakukan pemantauan tekanan darah, suhu, denyut nadi, dan respirasi secara berkala
tiap jam atau 4 jam serta pemantauan jumlah urin.
Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari
setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotik pilihan dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut:
Gambar 2. Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis(5)

Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intravena penicillin G, amoxicillin, ampicillin


atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasuskasus ringan dapat diberikan antibiotika
oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau amoksisilin maupun sefalosporin.
Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotik pilihan utama, namun diingat bahwa
antibiotika bermanfaat apabila leptosipra masih terdapat dalam darah (fase leptospiremia). Sebagai
terapi alternatif dapat digunakan sefalosporin generasi ketiga dan fluorokuinolon (ciprofloxacin)
2 x 200-400mg dimana penetrasi ke jaringan baik. Penelitian di thailand tentang pemberian
ceftriaxon dibandingkan peniccilin G pada leptospirosis berat menunjukkan tidak adanya
perbedaan.
Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang
timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan
gagal ginjal secara umum. Bila terjadi uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis.
Penanganan pada kondisi khusus seperti hiperkalemia, asidosis metabolik, hipertensi,
gagal jantung, kejang dan perdarahan. Hiperkalemia dapat menyebabkan cardiac arrest, dapat
diberikan kalsium glukonas 1 gram atau glukosa-insulin (10-20 unit regular insulin dalam dektrosa
40 %). Asidosis metabolik diatasi dengan pemberian natrium bikarbonat. Pada hipertensi dapat
diberikan obat hipertensi. Kejang dapat timbul karena hiponatremia, hipokalsemia atau hipertensi
ensefalopati dan karena uremia, hal terpenting adalah mengatasi penyebab dasar serta diberikan
obat anti konvulsi. Perdarahan dapat timbul karena trombopati.11
Pada terapi prognosis, leptospirosis ringan dapat sembuh sempurna. Mortalitas penderita
pada kondisi yang berat berkisar antara 15-40% dan prognosis bergantung dari keganasan kuman,
daya tahan dan keadaan umum penderita, usia, gagal multiorgan serta pemberian antibiotik dengan
dosis kuat pada fase dini. Faktorfaktor sebagai indikator prognosis mortalitas, yaitu usia > 60
tahun, produksi urin < 600 mL/hari, kadar kreatinin > 10 mg/Dl, kadar ureum > 200 mg/dL,
albumin < 3 g/dL, kadar bilirubin > 25 mg/dL, trombositopenia < 100.000/mm3, anemia <
12mg/Dl, adanya komplikasi, sesak nafas, abnormalitas EKG serta adanya infiltrat alveolar pada
pencitraan paru(10,11).
Mortalitas penderita pada penelitian yang dilakukan di Jakarta sebanyak 3%, meninggal
karena syok septik dan gagal nafas(10).
Pada terapi pencegahan, Doksisiklin 200 mg setiap minggu dapat digunakan untuk
pencegahan leptospirosis dengan efektivitas hingga 95% dan direkomendasikan pada orang yang
diperkirakan terpajan dalam jangka waktu tertentu. Hindari paparan dari air seni dan jaringan
hewan terinfeksi, vaksinasi hewan peliharaan dan hewan ternak, eradikasi hewan liar reservoar.
Terapi Non Farmakologi
1. Penerapan pola hidup sehat
2. Menjaga kebersihan
3. Konsultasikan kepada dokter terkait penyakit leptospirosis yang diderita.
Terapi pada kondisi ikterus(12)
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi yang dilakukan pada pasien yang mengalami icterus yang disebabkan oleh
suspek leptospirosis meliputi infus RL 20 tetes/menit, penicillin G dosis dewasa 4 x 1,5 juta unit
intramskular, sucralfat sirup 3x1c, paracetamol tablet 3x500 mg, ranitidine tablet 2x150 mg.
Terapi Non-Farmakologi
Terapi non farmakologi yang dilakukan pada pasien yang mengalami icterus yang disebabkan oleh
suspek leptospirosis meliputi tirah baring dan pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Kalori
dianjurkan sekitar 2000-3000 kalori. Protein diberikan 0,2-0,5 gram/kgBB/hari yang cukup
mengandung asam amino essensial.
Daftar Pustaka
1. Wijaya K, 2008, Penegakan Diagnosis Leptospirosis, Dexa Media, No.1, Vol.21
2. Shieh W-J, Edwards C, Levett PN, Zaki SR. Leptospirosis. In: Guerrant RL, Walker DH,
Weller PF, editors. Tropical Infectious Disease: Principles, Pathogens, and Practice. 2 ed.
Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 511-6.
3. McPhee SJ, Papadakis MA. Spirochetal Infection. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors.
Current Medical Diagnosis and Treatment. 48 ed. San Fransisco: McGraw Hill; 2009.
4. Levett Paul N. Leptospirosis. Clin. Microbial. Reviews 2001; University of the West
Indies, School of Clinical Medicine & Research, and Leptospira Laboratory, Ministry of
Health, Barbados. Vol. 14(2):296-326
5. Speelman P. Leptospirosis. In : Braunwauld E, Kasper D, Fauci A, etc. Harrison’s
Principles of Internal Medicine,16th ed. New York : McGraw-Hill, 2005 : 988-991
6. Vinetz JM. Leptospirosis. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
Loscalzo J, editors. Harrison's Principle of Internal Medicine. 1. 18 ed. New York:
McGraw Hill; 2012. p. 1392 - 6.
7. Kusmiyati, 2005, Leptospirosis pada hewan dan manusia di Indonesia, Balai Penelitian
Vteriner, Wartazoa, Vol 12. No.4.
8. FAINE, S ., B. ADLER, C. BOLIN and P . PEROLAT. 1999 . Leptospira and leptospirosis,
2" d Ed. Med. Sci . Melbourne, Australia.
9. Amin I, Rusli B, Hardjoeno. Kadar Kreatinin dan bersihan Kreatinin Penderita
Leptospirosis. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory.
2007;13(2):53-5.
10. Pohan H. Kasus Leptospirosis di Jakarta. Dalam : Current Diagnosis and Treatment in
Internal Medicine 2003. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, 2003: 68-75.
11. Soetanto T, Soeroso S, Ningsih S. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan
Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI. 2004
12. Sucipto, M.P., Nababan, R.M., Falamy, R., 2017, Ikterus yang disebabkan oleh suspek
leptospirosis.
Kasus II
Nama : Fajar Handayani
Scabies

A. Pengertian
Scabies atau kudis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitifitas terhadap Sarcoptes scabiei varian homonis dan telurnya. Scabies terjadi baik
pada laki-laki maupun perempuan, di semua daerah, semua kelompok usia, ras dan kelas
sosial. Penyakit scabies banyak diderita di masyarakat, maka tidak heran banyak penamaan
untuk penyakit ini sperti gudik, kudis, gatal agogo, dan budukan.\

B. Etiologi

Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Scabies atau kudis adalah penyakit kulit
yang disebabkan oleh infestasi dan sensitifitas terhadap Sarcoptes scabiei varian homonis dan
telurnya. Siklus hidup tungau ini adalah: setelah kopulasi (perkawinan) di atas kulit, tungau jantan
akan mati, kadang-kadang masih dapat gidup
beberapa hari dalam terowongan yang digali
oleh tungau betina. Tungau betina dapat
bertahan hidup selama 1-2 bulan. Tungau
betina yang telah dibuahi menggali
terowongan dalam stratum korneum, dengan
kecepatan 2-3 milimeter sehari, sambil
meletakkan telurnya 2-4 butir sehari sampai
mencapai 40-50 telur. Selama itu tungau
betina tidak meninggalkan terowongan.
Setelah 3-4 hari, larva berkaki enam akan
muncul dari telur dan keluar dari terowongan dengan memotong atapnya. Larva kemudian
menggali terowongan pendek (moulting pockets) tempat mereka berubah menjadi nimfa. Setelah
itu nimfa berkembang menjadi tungau jantan dan betina dewasa. Seluruh siklus hidup mulai dari
telur sampai bentuk dewasa antara 8-12 hari.

Tungau scabies lebih memilih area tertentu untuk membuat terowongan dan
menghindari area yang memiliki banyak folikel pilosebaceus. Biasanya, pada satu individu
terdapat 5-15 tungau, kecuali Norwegian scabies- individu bisa didiami lebih dari sejuta
tungau ini.
C. Tanda dan gejala
Gejala yang paling umum ketika seseorang terkena scabies adalah gatal intens
terutama pada malam hari, ruam seperti jerawat, lecet/luka yang disebabkan garukan.
Lubang tungau tampak sebagai garis bergelombang dengan panjang sampai 2,5 cm, kadang
pada ujungnya terdapat beruntusan kecil. Lubang/terowongan tungau dan gatal-gatal
paling sering ditemukan dan dirasakan di sela-sela jari tangan, pada pergelangan tangan,
sikut, ketiak, di sekitar puting payudara wanita, alat kelamin pria (penis dan kantung
zakar), di sepanjang garis ikat pinggang dan bokong bagian bawah. Infeksi jarang
mengenai wajah, kecuali pada anak-anak dimana lesinya muncul sebagai lepuhan berisi
air. Lama-lama terowongan ini sulit untuk dilihat karena tertutup oleh peradangan yang
terjadi akibat penggarukan.
D. Jalur penularan
Tungau parasit ditularkan terutama dengan kontak langsung antara kulit dengan
kulit. Kemudian juga dapat melalui tempat tidur atau fasilitas lainnya. Masa inkubasi
terjadi sekitar 1-2 bulan (terkadang beberapa bulan pada orang tua), gejala klisnis biasanya
akan muncul letusan pada benjolan. Pada kasus scabies/kudis crusted, lapisan kulitnya
sebagian besar mengandung S. scabiei. Dalam kasus tersebut tungau parasit dapat
ditularkan tidak hanya melalui kontak langsung dengan kulit, tetapi juga melalui
penyebaran tungau bersamaan dengan lapisan kulit yang mengering dan terkelupas. Hal
tersebut yang menyebabkan wabah besar infeksi S. scabiei di rumah sakit, pesantren atau
rumah. Masa inkubasi pada kasus tersebut kadang lebih pendek (4-5 hari) karena infeksi
dengan jumlah tungau parasit S. scabiei yang banyak.
E. Patofisiologi
Reaksi alergi yang sensitif terhadap tungau dan produknya memperlihatkan peran
yang penting dalam perkembangan lesi dan terhadap timbulnya gatal. S. Scabiei
melepaskan substansi sebagai respon hubungan antara tungau dengan keratinosit dan sel-
sel Langerhans ketika melakukan penetrasi ke dalam kulit.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV dan
tipe I. Pada reaksi tipe I, pertemuan antigen tungau dengan Imunoglobulin-E pada sel mast
yang berlangsung di epidermis menyebabkan degranulasi sel-sel mast. Sehingga terjadi
peningkatan antibodi IgE. Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV akan
memperlihatkan gejala sekitar 10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan akan memproduksi
papul-papul dan nodul inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan jumlah
sel limfosit T banyak pada infiltrat kutaneus. Kelainan kulit yang menyerupai dermatitis
tersebut sering terjadi lebih luas dibandingkan lokasi tungau dengan efloresensi dapat
berupa papul, nodul, vesikel, urtika dan lainnya. Akibat garukan yang dilakukan oleh
pasien dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta hingga terjadinya infeksi sekunder.
F. Terapi farmakologi
Terdapat beberapa terapi untuk scabies yang memiliki tingkat efektifitas yang
bervariasi. Faktor yang mempengaruhi dalam keberhasilan yang antara lain umur pasien,
biaya pengobatan, berat derajat erupsi, dan faktor kegagalan terapi yang pernah diberikan
sebelumnya.
Terapi lini pertama pasien dewasa adalah skabisid topikal, dapat digunakan
permethrin krim 5%. Dioleskan di seluruh permukaan tubuh, kecuali area wajah dan kulit
kepala (daerah banyak terdapat kelenjar pilosebaceus), dan lebih difokuskan di selasela
jari, inguinal, genital, area lipatan kulit sekitar kuku, dan area belakang telinga. Pada pasien
anak dan skabies berkrusta, area wajah dan kulit kepala juga harus diolesi. Pasien harus
diberitahu bahwa walaupun telah diberi terapi skabisidal yang adekuat, ruam dan rasa gatal
di kulit dapat tetap menetap hingga 4 minggu. Steroid topikal, anti-histamin, ataupun
steroid sistemik jangka pendek dapat diberikan untuk menghilangkan ruam dan gatal pada
pasien yang tidak membaik setelah pemberian terapi skabisid.
Presipitat sulfur 4-20%. Preparat sulfur tersedia dalam bentuk krim dan salep. Tidak
efektif untuk stadium telur. Pengobatan selama tiga hari berturut-turut, dapat dipakai untuk
bayi/anak kurang dari 2 tahun.
Benzil benzoat. Benzil benzoat bersifat neurotoksik pada tungau scabies.
Digunakan dalam bentuk emulsi 25% dengan periode kontak 24 jam, diberikan setiap
malam selama 3 hari. Terapi dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui, bayi
dan anak-anak.
Gamma benzene heksaklorida (Gammexana). Merupaka insektisida yang bekerja
pada sistem syaraf pusat (SSP) tungau. Tersedia dalam bentuk 1% krim, lotion, gel, tidak
berbau dan tidak berwarna. Pemakaian secara tunggal dioleskan ke seluruh tubuh dari leher
ke bawah selama 12-24 jam. Setelah pemakaian, cuci bersih dan dapat diaplikasikan
kembali setelah 1 minggu. Hal ini untuk memusnahkan larva-larva yang menetas dan tidak
musnah oleh pengobatan sebelumnya. Tidak dianjurkan mengulang pengobatan dalam 7
hari, serta menggunakan konsentrasi selain 1% karena efek samping neurotoksik SSP
(ataksia, tremor dan kejang) akibat pemakaian berlebihan.
Crotamiton krim (crornyl-N-Ethyl-O-Toluidine). Sebagai krim 10% atau lotion.
Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50%-70%. Hasil terbaik diperoleh jika diaplikasikan
dua kali sehari setelah mandi selama lima hari berturut-turut. Tidak dapat digunakan untuk
wajah, disarankan mengganti semua pakaian dan sprei serta dicuci dengan air panas setelah
penggunaan critamiton untuk mencegah kembai tungau. Efek samping iritasi bila
digunakan jangka panjang; obat ini tidak mempunyai efek sistemik.
Ivermectin. Ivermectin adalah bahan semisintetik yang dihasilkan oleh
Streptomyces avermitilis, anti-parasit yang strukturnya mirip antibiotik makrolida, namun
tidak mempunyai aktivitas antibiotik, diketahui aktif melawan ekto dan endo parasit.
Diberikan oral dosis tunggal 200ug/kgBB untuk pasien umur lebih dari 5 tahun. Formulasi
Ivermectin topikal dilaporkan efektif. Efek samping yang sering ditimbulkan adalah adalah
dermatitis kontak, dapat juga terjadi hipotensi, edema laring dan ensefalopati.
Jenis Obat Dosis Keterangan
Permethrin 5% krim Dioleskan selama 8-14 jam, diulangi Terapi lini pertama di AS dan
7 hari kemudian. Pemberian kehamilan kategori B
sebanyak 3 kali.
Lindane 1% lotion Dioleskan selama 8 jam setelah itu Tidak dapat diberikan pada anak
(gammexane) dibersihkan, oleskan kedua 1 minggu umur 2 tahun ke bawah, wanita
kemudian. hamil, dan laktasi.
Crotamiton 10% krim Dioleskan selama 2 kali sehari, Memiliki efek anti-pruiritus,
selama 5 hari berturut-turut. tetapi efektivitasnya tidak sebaik
topikal lainnya.
Precipitatum Sulfur 5-10% Dioleskan selama 3 hari lalu Aman untuk anak kurang dari2
dibersihkan. bulan dan wanita hamil dan
laktasi, tetapi tampak kotor dan
data efisiensi masih kurang.
Benzyl Benzoat 10% lotion Dioleskan selama 24 jam lalu Efektif, namun dapat
dibersihkan. menyebabkan dermatitis pada
wajah.
Ivermectin 200ug/kg Dosis tunggal oral, dapat diulang Efektivitasnya tinggi dan aman.
setelah 10-14 hari Dapat digunakan pada kasus-
kasus skabies berkrusta dan
skabies resistensi.

- Pengobatan komplikasi
Pada infeksi bakteri sekunder dapat digunakan antibiotik oral.
- Pengobatan simptomatik
Obat anti-histamin dapat mengurangi gatal yang menetap selama beberapa
minggu setelah terapi anti-scabies yag adekuat. Untk bayi, dapat diberikan
hidrokortison 1% pada lesi kulit yang sangat aktif dan aplikasi pelumas atau emolient
pada lesi yang kurang aktif, pada orang dewasa dapat digunakan triamsinolon 0,1%.
G. Terapi non-farmakologi
Memberikan edukasi pada pasien scabies:
- Mandi air hangat dan keringkan badan.
- Mengoleskan salep/obat topikal pada kulit dan sebaiknya dilakukan pada
malam hari sebelum tidur.
- Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.
- Ganti pakaian, handuk, sprei yang digunakan, selalu mencuci dengan teratur
dan bila perlu direndam/direbus menggunakan air panas.
- Jangan ulangi penggunaan skabidid yang berlebihan dalam seminggu
walaupun rasanya gatal yang mungkin masih timbul selama beberapa hari.
- Setiap anggota keluarga sebaiknya mendapatkan pengobatan yang sama dan
ikut menjaga kebersihan.

Daftar Pustaka

1. Anonim, 2008, Guidline for the diagnosis and treatment of scabies in Japan (second
edition), Executive Committee of Guidline for the Diagnosis and Treatment of Scabies,
The Japanese Dermatological Association, Tokyo, Japan.
2. Tansil S.T., Angelina J., Krisnataligan, 2017, Scabies: Terapi Berdasarkan Siklus Hidup,
Continuing Medical Education, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara, Jakarta.
3. https://www.webmd.com/skin-problems-and-treatments/ss/slideshow-scabies-overview
4. https://www.medicalnewstoday.com/articles/16961.php
5. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact
=8&ved=0ahUKEwiYw_WYn-7YAhVDsJQKHWxzB-
IQFghPMAY&url=http%3A%2F%2Fdokterpost.com%2Fterapi-skabies-permetrin-vs-
salep-2-4%2F&usg=AOvVaw1eHC1hhRuxHmm8hdNCHTTG – Terapi scabies:
permetrin vs salep 2-4
Subjektif - Nama : An. HA
- Keluhan : kaki kiri terasa gatal sejak 1 minggu yang lalu. Sudah
diberi salep salep gentamisin namun belum membaik.
- Tinggal di pesantren.
Objektif - Umur : 12 tahun
- BB : 40,6 kg
- UKK (ujud kelainan kulit): Ada papula berukuran kecil, t. Pedies
at manus (infeksi jamur dermatofit pada kaki), dextra et sinistra
(ukurannya normal, permukaannya rata, tidak tampak masa)
Assessment - Pasien terdiagnosa scabies
- Pasien mendapatkan terapi salep 2-4 sebanyak 1 tube dioleskan 3
kali sehari tipis-tipis dan terapi cetirizine syrup sebanyak 1 botol
diminum 1 kali sehari 2 sendok takar.
- Tidak ada DRP
- Tidak ada ADR
- Tidak terdeteksi adanya bakteri sekunder
Plan
Kasus III

Nama : Rosmalina

NIM : 17811208

GONOCOCCAL INFECTION

A. Definisi
Infeksi Gonore adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae yang
dapat menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum dan tenggorokan atau bagian putih
mata (konjungtiva) dan bagian tubuh yang lain.
B. Etiologi
Bakteri penyebab gonore adalah N gonorrhoeae. Bakteri N gonorrhoeae adalah bakteri gram
negatif, intraselular, aerobic diplococcus, dan lebih dikenal sebagai Gonokokus.
C. Jalur Penularan
Penularan infeksi gonore dapat melalui hubungan seksual, menyentuh bagian yang terinfeksi
dengan tangan secara langsung (tanpa sarung tangan) dan pada neonatus,infeksi gonore dapat
ditularkan pada saat neonatus berada pada jalan kelahiran disaat ibu si neonatus sedang menderita
infeksi gonore.
D. Patofisiologi
Infeksi dimulai dengan adhesi pada sel mukosa ( urethra, vagina, rectum,
tenggorokan)kemudian penetrasi ke submukosa dan menyebar baik secara langsung maupun
hematogen.
1. Langsung pada pria menyebabkan prostatitis dan epididymitis, sedangkan pada
wanita langsung menyebar ke kelenjar Bartholin, paraserviks, tuba falopii, dst.
2. Hematogen
Hanya 1% kasus, kebanyakan dari asymptomatic infection pada wanita. Inidisebabkan
adanya kelainan pertahanan tubuh, misalnya. Defisiensi C6-9 atau bakteri yang kebal
terhadap antibodi dan komplemen, bakteri dengan protein porin A pada dinding sel
kemudian menginaktivasi C3b. Manifestasi berupa arthritis, lesi kulit, dan
tenosynovitis.
E. Terapi Farmakologi
No. Usia Infeksi Rekomendasi
1. Pasien Infeksi gonokokus  Ceftriaxone (Rocephin), 250 mg IM
Dewasa uretra, serviks, atau dalam dosis tunggal ditambah
rektum yang tidak Azitromisin (Zithromax), 1 g secara
rumit. oral dalam dosis tunggal, atau
doksisiklin, 100 mg per oral dua kali
sehari selama 7 hari *;
 Jika ceftriaxone tidak tersedia, gunakan
cefixime (Suprax), 400 mg secara oral
dalam dosis tunggal ditambah
Azitromisin, 1 g secara oral dalam dosis
tunggal, atau doksisiklin, 100 mg per
oral dua kali sehari selama 7 hari lalu di
kesembuhan dalam satu minggu.
Infeksi Gonokokus  Untuk pasien dengan alergi sefalosporin
yang sudah berat, gunakan azitromisin, 2 g secara
menyebar oral dalam dosis tunggal ditambah
(disarankan rawat Uji kesembuhan dalam satu minggu
inap)  Ceftriaxone, 1 g IM atau IV setiap 24
jam sampai 24 sampai 48 jam setelah
perbaikan dimulai
atau
 Cefotaxime (Claforan), 1 g IV setiap 8
jam sampai 24 sampai 48 jam setelah
perbaikan dimulai

atau
 Ceftizoxime (Cefizox), 1 g IV setiap 8
jam sampai 24 sampai 48 jam setelah
perbaikan dimulai 24 sampai 48 jam
setelah perbaikan dimulai, beralih ke
sefiksim, 400 mg per oral dua kali per
hari, untuk setidaknya satu minggu
pengobatan antimikroba total.
Konjuktivitis  Ceftriaxone, 1 g IM dalam dosis tunggal
Gonokokus
Menginitis  Ceftriaxone, 1 sampai 2 g IV setiap 12
Gonokokus dan jam selama 10 sampai 14 hari untuk
endokarditis meningitis dan setidaknya 4 minggu
untuk endokarditis
Infeksi Faring  Ceftriaxone, 250 mg IM dalam dosis
Gonokokus tunggal ditambah Azitromisin, 1 g
secara oral dalam dosis tunggal, atau
doksisiklin, 100 mg per oral dua kali
sehari selama 7 hari *
2. Pasien Hamil  Ceftriaxone, 250 mg IM dalam dosis
tunggal
 Untuk pasien dengan alergi penisilin,
gunakan azitromisin, 2 g secara oral
dalam dosis tunggal
3. Pasien Anak- Infeksi gonokokus  Anak-anak dengan berat> 45 kg (100 lb):
Anak pankreas, serviks, sama seperti rekomendasi orang dewasa
rektum, atau  Anak dengan berat ≤ 45 kg: ceftriaxone,
faringeal 125 mg IM dalam dosis tunggal
Bakteremia atau artritis
 Anak-anak dengan berat> 45 kg:
ceftriaxone, 50 mg per kg IV atau IM per
hari selama 7 hari
 Anak dengan berat ≤ 45 kg: ceftriaxone,
50 mg per kg IV atau IM per hari (tidak
melebihi 1 g per hari) selama 7 hari
4. Pasien Bayi yang lahir dari  Bayi yang lahir dari ibu dengan gonore
Neonatus ibu dengan infeksi tidak diobati tanpa tanda-tanda infeksi
gonore yang tidak dapat diberikan Ceftriaxone, 25 sampai
diobati dan tanpa 50 mg per kg IV atau IM dalam dosis
tanda-tanda infeksi tunggal, tidak melebihi 125 mg
 Infeksi gonokokus yang disebarluaskan
neonatus atau abses kulit kepala
dapat diberikan Ceftriaxone, 25 sampai
50 mg per kg IV atau IM per hari selama
7 hari
Infeksi Gonokokus  Ceftriaxone, 25 sampai 50 mg per kg IV
yang sudah atau IM per hari selama 7 hari atau
menyebar atau  Cefotaxime, 25 mg per kg IV atau IM
abses pada kulit setiap 12 jam selama 7 hari
kepala Meningitis neonatal diberikan
Ceftriaxone, 25 sampai 50 mg per kg IV
atau IM per hari selama 10 sampai 14
hari atau
 Cefotaxime, 25 mg per kg IV atau IM
setiap 12 jam selama 10 sampai 14 hari
Ophthalmia neonatorum diberikan
Ceftriaxone, 25 sampai 50 mg per kg IV
atau IM dalam dosis tunggal, tidak
melebihi 125 mg

F. Terapi Non-Farmakologi
1. Hindari melakukan hubungan seksual dengan penderita infeksi gonore.
2. Menggunakan pengaman seperti kondom untuk mencegah penularan.

Daftar Pustaka
Subjektif Nama : Sulis Lestari
Keluhan : Keputihan (cair, ada gumpalan putih), gatal (-)
Alergi : Tidak ada
Objektif Diagnosis : Gonococcal infection, unspesicified
Umur : 22 tahun 2 bulan
BB : -
Tinggi : -
Alamat : Dingkikan RT.07
Jenis kelamin : Perempuan
Assesment 1. Pasien diberikan Nistin Vaginal Suppo untuk mengatasi
keputihannya.
2. Pasien diberikan doksisiklin untuk mengatasi jerawatnya
Planning 1. Lanjutkan penggunaan Nistin Vaginal Suppo
2. Monitoring keputihan pasien apakah masih berlanjut atau tidak
setelah menggunakan Nistin Vaginal Suppo
Kasus IV
Oleh :
Femmy Orshidina G
Scabies
1. Definisi
Skabies adalah penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit, yang umumnya terabaikan
sehingga menjadi masalah kesehatan yang umum di seluruh dunia (Heukelbach et al. 2006),
dapat menjangkiti semua orang pada semua umur, ras dan level sosial ekonomi (Raza et al.
2009). Ektoparasit adalah organisme parasit yang hidup pada permukaan tubuh inang,
menghisap darah atau mencari makan pada rambut, bulu, kulit dan menghisap cairan tubuh
inang (Triplehorn dan Johnson, 2005). Tungau ektoparasit penyebab skabies adalah Sarcoptes
scabiei var hominis.
2. Etiologi
Tungau jantan dan betina berkopulasi pada terowongan yang dangkal pada kulit,9 setelah
melakukan kopulasi S.scabei jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa
hari dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi
menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari terutama
pada malam hari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari. Telur akan menetas,
biasanya dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang setelah 2-3 hari akan menjadi nimfa.
Terowongan pada kulit dapat sampai ke perbatasan stratum korneum dan stratum
granulosum.10 Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan
waktu antara 8-12 hari. 2,4,5,6,8
Telur yang dihasilkan skabies betina ditularkan melalui kontak fisik yang erat, misalnya
melalui pakaian dalam, handuk, sprei, dan tempat tidur. Skabies dapat hidup di luar kulit hanya
2 -3 hari dan pada suhu kamar 21°C dengan kelembaban relative 40-80% (Harahap M., 2000).
Penyebaran terjadi dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung atau dua orang yang
menggunakan tempat tidur yang sama. Penyebaran biasa terjadi di tempat-tempat yang padat
populasi atau di rumah -rumah yang dihuni oleh banyak orang (Sembel, 2009).
Faktor yang menyebabkan scabies adalah keterkaitan antara faktor sosio demografi dengan
lingkungan (Baur et al. 2013). Penyakit scabies berasosiasi secara kuat dengan kemiskinan dan
kepadatan penduduk (Heukelbach et al. 2006). Faktor yang mengakibatkan tinggginya prevalensi
scabies antara lain kelembaban yang tinggi, rendahnya sanitasi, kepadatan, malnutrisi (Onayemi 2005),
personal higiene yang buruk, pengetahuan, sikap dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat
(Ma’rufi 2005). Baur (2013) juga melaporkan faktor personal higiene, ketersediaan air bersih, status
sosial ekonomi berpengaruh terhadap prevalensi skabies di India. Rendahnya status gizi mempengaruhi
sistem imun, sehingga menurunkan sistem kekebalan tubuh juga menyebabkan tingginya prevalensi
skabies (Melton 1978). Kebiasaan tidur, berbagi baju, handuk, praktek hygiene yang tidak benar, sering
berpergian ke tempat yang beresiko dan berpotensi sebagai sumber penularan scabies merupakan faktor
ganda yang menyebabkan scabies (Raza et al. 2009). Sanitasi lingkungan yang buruk di merupakan
faktor dominan yang berperan dalam penularan dan tingginya angka prevalensi penyakit Scabies
(Ma’rufi et al. 2005).

3. Tanda dan Gejala


Gatal merupakan gejala utama sebelum gejala klinis lainnya muncul. Rasa gatal biasanya
hanya pada lesi tetapi pada skabies kronis gatal dapat dirasakan pada seluruh tubuh. Pada orang
dewasa, gejala yang timbul antara lain ada rasa gatal yang hebat pada malam hari ruam kulit
yang terjadi terutama di bagian sela-sela jari tangan, bawah ketiak, pinggang, sekeliling siku,
areola mammae, permukaan depan pergelangan tangan, skrotum, dan penis (Johnston G dan
Sladden M, 2005).
Pada bayi dan anak-anak, lesi biasanya mengenai wajah, kepala, leher, kulit kepala, dan
telapak kaki. Pada bayi paling umum lesi yang nampak adalah papul-papul dan vesikopustul.
Vesikopustul sering nampak di kulit kepala dan telapak kaki (Johnston G. dan Sladden M .,
2005).
Ada 4 tanda kardinal gejala skabies:
a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari oleh karena aktivitas tungau ini lebih tinggi
pada suhu yang lebih lembab dan panas.
b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga
biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan
yang padat penduduknya , sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau
tersebut. Dikenal juga keadaan hiposensitisasi, yaitu seluruh anggota keluarganya terkena,
tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih keabu-
abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu
ditemukan papul, atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf
(pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan
stratum korneum yang tipis, yaitu : sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku
bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia
eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak
kaki.
d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. D apat ditemukan satu atau lebih
stadium hidup tungau ini. Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal
tersebut (Handoko, 2009).
4. Jalur Penularan
Cara penularan yaitu melalui kontak langsung (kontak kulit dengan kulit) misalnya berjabat
tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Penularan juga dapat secara tidak langsung
(melalui benda) misalnya pakaian, handuk, seprei, bantal,dan lain-lain. Penularannya biasanya
oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah dibuahi atau kadang-kadang oleh bentuk larva.
Dikenal pula Sarcoptes scabiei var,animalis yang kadang-kadang dapat menulari manusia,
terutama pada mereka yang banyak memelihara binatang peliharaan misalnya anjing.1,2,4,6,8
5. Patofisiologi
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita
sendiri akibat garuk an. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan
ekskret tungau yang memerlukan waktu kira –kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu
dijumpai kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urticaria,
dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder
(Handoko, 2009).
Tungau dapat hidup di dalam terowongan di tempat predileksi, yaitu jari tangan,
pergelangan tangan bagian ventral, siku bagian luar, lipatan ketiak depan, umbilicus, gluteus,
ekstremitas, genitalia eksterna pada laki-laki, dan areola mammae pada perempuan. Pada bayi
, skabies dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki (Harahap M., 2000).
Pada tempat predileksi dapat ditemukan terowongan berwarna putih abuabu dengan
panjang yang bervariasi, rata -rata 1 mm, berbentuk lurus atau berkelok-kelok. Terowongan
ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder. Di ujung terowongan dapat ditemukan vesikel
atau papul kecil (Sutanto I. et al, 2009). Terowongan lebih banyak terdapat di daerah yang
berkulit tipis dan tidak banyak mengandung folikel pilosebasea (Harahap M., 2000).
Adanya periode asimptomatis bermanfaat sekali bagi parasit ini, karena dengan demikian
mereka mempunyai waktu untuk membangun dirinya sebelum hospes membuat respons
imunitas. Setelahnya, hidup mereka menjadi penuh bahaya karena terowongannya akan
digaruk dan tungau -tungau serta telur mereka akan hancur. Dengan cara ini hospes
mengendalikan populasi tungau dan pada kebanyakan penderita skabies, rata-rata jumlah
tungau betina dewasa pada kulitnya tidak lebih dari selusin (Graham -Brown dan Burns, 2005).
6. Terapi Farmakologi
Pengobatan Terapi
Sistemik Antihistamin sedative ringan, misal : CTM
0,34 mg/kg BB 3x sehari
Antibiotic bila ditemukan infeksi sekunder,
missal : ampisilin, amoksisilin, eritromisin
Topical Salep 2 – 4, penggunaan harus lebih dari 3
hari berturut-turut
Emulsi benzyl-benzoas 20 – 25%, diberikan
setiap malam selama 3 hari berturut-turut.
Gamexan 1 % termasuk obat pilihan, namun
tidak dianjurkan untuk wanita hamil maupun
anak dibawah 6 tahun. Penggunaannya 1
kali dioleskan ke seluruh tubuh dan dapat
diulang 1 minggu kemudian bila belum
sembuh.
Krotamiton 105 termasuk obat pilihan
Permetrin HCL 5%, efektifitas sama dengan
Gamexan namun tidak terlalu toksik dan
penggunaannya cukup sekali
7. Terapi Non Farmakologi

Lampiran

1. Lampiran Evaluasi Penggunaan obat

Diare

OLEH : Rosmalina

Jumlah
Injeksi Dosis Lama
Tgl No Nama Umur Item Nama Obat
(Ya/Tidak) Obat Pemakaian
Obat
44 Parasetamol
1. Tien Syofiah 4 Tidak 3x500mg 3 hari
tahun 500mg
Attapulgit 2 tab/
2 hari
02- 600mg diare
12- Domperidone
3x5mg 3 hari
2017 5mg
Oralit suc
Parasetamol
3x500mg 3 hari
500mg
05- 2
42 Attapulgit 2 hari
12- 2. Yatini 3 Tidak tab/diare
tahun
2017 Ranitidine
2x150mg 5 hari
150mg

06- 3. Bayu Bintoro 14 3 Tidak Attapulgit 2 2 hari


12- tahun tab/diare
2017 Oralit Suc
Parasetamol 3x500mg 3 hari
500mg

09- 4. Felley 7 4 Tidak Attapulgit 1 3 hari


12- Marchianno tahun tab/diare
2017 Andarinsy Zinc 20mg 1x20mg 10 hari
Oralit Suc
Antasid 3x1/2 tab 4 hari
09- 5. Muh.Caesar 2 2 Tidak Zinc 20mg 1x20mg 10 hari
12- Ananta Hito tahun Oralit Suc
2017

11- 6. Viana Dhanty 2 2 Tidak Zinc 20mg 1x20mg 10 hari


12- Kirana tahun Oralit Suc
2017

7. Doni Prasetyo 4 1 Tidak Oralit Suc


bulan
12-
12-
2017
12- 8. Raditya Budi 5 4 Tidak Parasetamol 3x1 ½
12- Sahadi tahun Sirup sendok
2017 teh
Ranitidin 2x1/2 tab 5 hari
150mg
Attapulgit 1
600mg tab/diare
Oralit Suc
12- 9. Rayasasi Okta 5 4 Tidak Zinc 20mg 1x20mg 10 hari
12- Kurnia tahun Oralit Suc
2017 Parasetamol 3x 1
sirup sendok
teh
Attapulgit 1
600mg tab/diare
12- 10. Fajar 24 2 Tidak Attapulgit 2 2 hari
12- Mustaqim tahun 600mg tab/diare
2017 Oralit Suc

12- 11. Felley 7 - Tidak


12- Marchiano tahun
2017 Andarinsy

13- 12. Sudi Harjono 66 3 Tidak Attapulgit 2 2 hari


12- Keman tahun 600mg tab/diare
2017 Antasid 3x1 tab 3 hari
Oralit Suc

13. 2 Tidak Zinc 20mg 1x20mg 10 hari


13- Oralit Suc
Muhammad 3
12-
Alkafilah tahun
2017
14- 14. Zeni 31 4 Tidak Parasetamol 3x500mg 3 hari
12- Ristianingsih tahun 500mg
2017 Attapulgit 2 2 hari
600mg tab/diare
Antasid 3x 1 tab 3 hari
Oralit Suc
15- 15. Irma Kurniati 20 2 Tidak Attapulgit 2tab/diare 2 hari
12- tahun 600mg
2017 Oralit Suc

15- 16. Dwi Febrianti 18 2 Tidak Attapulgit 2tab/diare 2 hari


12- tahun 600mg
2017 Oralit Suc

18- 17. Ardian Aji 2 2 Tidak Zinc 20mg 1x20mg 10 hari


12- Nugroho tahun Oralit Suc
2017

19- 18. Khayla 1 2 Tidak Zinc 20mg 1x20mg 10 hari


12- Arsyfa tahun Oralit Suc
2017 Anindita

19- 19. Anik 26 3 Tidak Attapulgit 2tab/diare 2 hari


12- Setyaningsih tahun 600mg
2017 Oralit Suc
Ciprofloxacin 2x500mg 5 hari
500mg
19- 20. Dewi 24 2 Tidak Attapulgit 2tab/diare 2 hari
12- Setyaningsih tahun 600mg
2017 Oralit Suc

19- 21. Ety Dwi 19 3 Tidak Domperidone 3x5mg 1 hari


12- Lestari tahun 5mg
2017 Attapulgit 2tab/diare
600mg
Oralit Suc

20- 22. Dwi Cahyono 32 3 Tidak Attapulgit 2tab/diare


12- tahun 600mg
2017 Oralit Suc
Ranitidine 2x150mg 5 hari
150mg

20- 23. Uswatun 22 3 Tidak Parasetamol 3x500mg 3 hari


12- Khasanah tahun 500mg
2017 Attapulgit 2tab/diare 2 hari
600mg
Oralit Suc

21- 24. Mikima 22 2 Tidak Attapulgit 2tab/diare 2 hari


12- Septiana tahun 600mg
2017 Oralit Suc

23- 25. Septiasa Nur 8 4 Tidak Attapulgit 1tab/diare


12- Salsatun tahun 600mg
2017 Oralit Suc
Zinc 20mg 1x20mg 10 hari
Parasetamol 3x1/2
sirup sendok
teh
23- 26. Pria Bernama 4 3 Tidak Zinc 20mg 1x20mg 10 hari
12- Arjuna tahun Oralit Suc
2017 Parasetamol Bila perlu
Sirup

23- 27. Suratini 42 4 Tidak Attapulgit 2tab/diare 2 hari


12- tahun 600mg
2017 Oralit Suc
Amlodipin 1x5mg 15 hari
5mg
Parasetamol 3x500mg 3 hari
500mg
27- 28. Maraza 9 5 Tidak Kotrimoksazol 2x1/2cth
12- Isnaini bulan sirup
2017 Ambarwati Zinc 3x1 3 hari
GG bungkus
Valved
Oralit Suc

1. % pemakaian antibiotik = 2/28 x 100% = 7,14%

Kesimpulan: Pemakaian Antibiotik dikatakan rasional karena <8%, yaitu 7,14%

2. Polifarmasi = 78/28 =2,6

Kesimpulan : Tidak ada polifarmasi

3. % obat yang diresepkan dengan nama generik = 0/78 x 100% = 0%

Common Cold

OLEH : Femmy Orshidina G.


Jumlah
Injeksi Dosis Lama
4. Tgl No Nama Umur Item Nama Obat
(Ya/Tidak) Obat Pemakaian
Obat
GG 3x1 4 hari
Paracetamol 3x1
2-12-2017 1 Puji Lestari 29 th 2 Tidak

Paracetamol 3x1 4 hari


Valved tab 3x1
2-12-2017 2 Suparni 25 th 2

2-12-2017 3 Anindya 1 th 4 Ambroxol 3x1 4 hari


inara nafisa Vit B6 3x1
Vit C 3x1
Amoksisilin 3x1
sirup
2-12-2017 4 Ridho rahma 17 th 3 Asetilsistein 2x1 3 hari
danti Vit C 3x1 4 hari
CTM 3x1 4 hari

2-12-2017 5 Alif 6 th 2 Asetilsistein 3x½ 4 hari


syahputra Vit.C 3x1 4 hari

2-12-2017 6 Maytasari 19 th 3 Paracetamol 3x1 4 hari


dwi riswanti GG 3x1 4 hari
ranitidine 2x1 5 hari

4-12-2017 14 Cipto diarjo 68 th 3 Asetilsistein 2x1 3 hari


Ctm 3x1 4 hari
paracetamol 3x1 4 hari

5-12-2017 28 Marni 30 th 2 GG 3x1 4 hari


Loratadine 1x1 5 hari

6-12-2017 30 Retnaningsih 37 th 3 Paracetamol 3x1 4 hari


GG 3x1 4 hari
Vit C 2x1 4 hari

7-12-2017 17 Indah 16 th 3 Paracetamol 3x1 4 hari


astriyana GG 3x1 4 hari
putri Vit.C 2x1 4 hari

7-12-2017 18 Dwi haryati 48 th 3 Paracetamol 3x1 4 hari


Asetilsistein 2x1 3 hari
ctm 3x1 4 hari

9-12-2017 20 Aprilia asyifa 1 th 4 Paracetamol Bila


sirup perlu
Valved 3x1 4 hari
Vit.C 3x1 4 hari
Vit.B6 3x1 4 hari
11-12-2017 25 Abyan naufal 12 th 3 Asetilsistein 2x1 3 hari
faraan Vit.C 2x1 5 hari
Ctm 2x½ 5 hari

12-12-2017 21 Atmaja 12 th 3 Tidak GG 3x1 4 hari


satriya Paracetamol 3x1 4 hari
nugraha Vit.C 2x1 4 hari

13-12-2017 19 Agung dwi 20 th 3 Paracetamol 3x1 4 hari


wicaksono GG 3x1 4 hari
Vit.B Comp 2x1 5 hari

15-12-2017 24 17 th 3 Asetilsistein 2x1 3 hari


Paracetamol 3x1 4 hari
Rahmat
CTM 3x1 4 hari
andianto

15-12-2017 29 Ernawati 47 th 3 Paracetamol 3x1 4 hari


GG 3x1 4 hari
Vit C 2x1 4 hari

16-12-2017 11 Lutfiana nur 2 th 4 Paracetamol Bila


khasanah sirup perlu
Ambroxol 3x1 4 hari
Vit. B6 3x1 4 hari
Vit. B12 3x1 4 hari
18-12-2017 7 Lutfi 8 th 3 Paracetamol 3x½ 4 hari
muhammad GG 3x½ 4 hari
Vit.C 2x½ 5 hari

18-12-2017 10 Heni 36 th 3 Dimenhidrinat Bila


setyowati perlu
Vit. B6 2x1 5 hari
asetilsistein 2x1 3 hari

18-12-2017 23 Tri 50 th 3 Paracetamol 3x1 4 hari


yulianingrum GG 3x1 4 hari
Vit C 2x1 4 hari

19-12-2017 9 Fitri nur 24 th 3 Paracetamol 3x1 4 hari


hayati Asetilsistein 2x1 3 hari
ctm 3x1 4 hari

19-12-2017 27 Nazwa el 6 th 4 Paracetamol 3x½ 4 hari


pratiwi sirup
GG 3x1 4 hari
Ctm 3x1 4 hari
Vit B Comp 3x1 4 hari
19-12-2017 22 Daffa 9 th 3 Paracetamol 3x½ 4 hari
alfarizki GG 3x½ 4 hari
Domperidon 3x½ 5 hari

20-12-2017 8 paiman 53 th 3 Asetilsistein 2x1 3 hari


Ctm 3x1 4 hari
Vit. c 3x1 4 hari

21-12-2017 15 suminarsih 47 th 3 Paracetaol 3x1 4 hari


GG 3x1 4 hari
Vit. B comp 2x1 5 hari

23-12-2017 26 Khayla 1 th 4 Ambroxol 3x1 4 hari


nasyitha Valved 3x1 4 hari
widjanarko Vit B6 3x1 4 hari
Vit B12 3x1 4 hari
27-12-2017 16 Raka devano 5 th 4 Paracetamol 3x1 4 hari
pratama sirup
GG 3x1 4 hari
Ctm 3x1 4 hari
B.Comp 3x1 4 hari
27 -12- 13 Hendro ari 32 th 4 Paracetamol 3x1 4 hari
2017 wibowo Asetilsistein 2x1 3 hari
Ctm 3x1 4 hari
Vit.C 3x1 4 hari
28-12-2017 12 parjinem 49 th 3 Asetilsistein 2x1 3 hari
Ctm 3x1 4 hari
Vit.C 3x1 4 hari

MYALGIA
OLEH : MUHAMMAD SAHINDRAWAN FIRMANSYAH

Jumlah
Injeksi Dosis Lama
Tgl No Nama Umur Item Nama Obat
(Ya/Tidak) Obat Pemakaian
Obat
02- 4 Hadi 52 th 2 Tidak Ibuprofen 2x1
12- Sumargono 400 mg
2017 Vitamin BC 2x1

02- 17 Jumirah 53 th 2 Tidak Asam Jika


12- Mefenamat perlu
2017 500 mg
Vitamin C 2x1
250

02- 21 Clara Canisa 18 th 2 Tidak Ibuprofen 2x1


12- Vitamin BC 2X1
2017

04- 26 Semi 66 th 2 Tidak Ibuprofen Jika


12- Perlu
2017 B6 Tab 2x1

05- 5 Uri Hermawati 51 th 2 Tidak Na 2x1


12- Diklofenak
2017 B6 Tab 2x1

23 Sugianto 54 th 2 Tidak Na 2x1


Diklofenak
05- B Komplek 2x1
12-
2017
06- 7 Martini 33 th 2 Tidak Na 2x1
12- Diklofenak
2017 Vitamin BC 2X1

06- 20 Wakiyem 59 th 2 Tidak Na 2x1


12- Diklofenak
2017 Vitamin B 2x1
Komp

08- 9 Jemirah 57 th 2 Tidak Na 2x1


12- Diklofenak
2017 B1 2X1

08- 19 Rifni 25 th 2 Tidak Asam 3x1


12- Sukmawati mefenamat
2017 B1 Tab 2x1

09- 1 Parinem 70 th 2 Tidak Pamol 3x1


12- B Komplek 2x1
2017

09- 14 Atanti 47 th 2 Tidak Ibuprofen 2x1


12- B Komp 2 x1
2017
09- 15 Daliyem 46 th 2 Tidak Na Jika
12- Diklofenak Perlu
2017 B6 Tab 2x1

09- 16 Rubinem 52 th 2 Tidak Pamol Jika


12- Perlu
2017 B Komp 2x1

12- 27 Masiem 60 th 2 Tidak Antasida 2x1


12- Ibuprofen 2x1
2017

12- 13 Tugiya 53 th 2 Tidak Na 2x1


12- diklofenak
2017 Vitamin BC 2x1

12- 2 Tuginem 45 th 2 Tidak Na 2x1


12- Diklofenak
2017 B1 2X1

13- 12 Putri Aprilia 12 th 2 Tidak paracetamol 3x1


12- Vitamin BC 2X1
2017

13- 28 Basuki 62 th 2 Tidak Na 2x1


12- Diklofenak
2017 Kalk 2x1
15- 6 Sudi Prayitno 59 th 2 Tidak Na 2x1
12- Diklofena
2017 B12 Tab 2x1

19- 10 Mujiyah 50 th 2 Tidak Na 2x1


12- Diklofenak
2017 Ranitidin 2x1

19- 18 Surati 57 th 2 Tidak Asam 3x1


12- Mefenamat
2017 B Komp 2x1

20- 29 Heru Wahyono 31 th 2 Tidak Asam 3x1


12- Mefenamat
2017 Loratadin 1x1

20- 30 Praditya 29 th 2 Tidak Pamol 3x1


12- Vitamin C 3x1
2017

20- 11 Hadi Suratno 74 th 2 Tidak Pamol 3x1


12- B Komp 2x1
2017 Tab

21- 24 Wahyuni 33 th 2 Tidak Na 2x1


12- Diklofenak
2017 Vitamin BC 2X1
22- 3 Maria 51 th 2 Tidak Na Jika
12- diklofenak Perlu
2017 B12 Tab 2x1

27- 25 Sri Lestari 28 th 2 Tidak Pamol 2x1


12- B Komp 2x1
2017

28- 8 Sri Purwati 48 th 2 Tidak Na 2x1


12- Diklofenak
2017 B1 1X1

Persentase injeksi yang dilakukan pada penyakit myaldia =

0/30 resep x 100% = 0%

Polifarmasi = 60/30 = 2 ( tidak terjadi polifarmasi karena kurang dari 2,6.

Daftar Pustaka

1. Anonim, 2009, Undang-undang Republik Indonesia No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,


Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta.
2. Anonim, 2014, Peraturan Menkes RI No 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
3. Anonim, 2016, Peraturan Menkes RI No 74 Tahun 2016 tentang standar pelayanan
kefarmasian di puskesmas, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
4. Departemen Kesehatan RI, 2009, Pusat Promosi Kesehatan, Pedoman Pelaksanaan
Promosi Kesehatan di Daerah, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
5. Anonim, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
128/MENKES/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
6. Anonim, 2006, Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, Direktorat Bina
Kefarmasiaan dan Alat Kesehatan Depkes RI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai