Anda di halaman 1dari 19

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG....................................................................................................................3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI............................................................................................................................................4

2. JENIS-JENIS MOOD STABILIZERS.........................................................................................4

3. INTERAKSI MOOD STABILIZERS DAN KONTRAINDIKASI....................................12

BAB III. KESIMPULAN........................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Mood Stabilizers adalah salah satu bagian dari golongan obat psikotropik. Psikotropik

sendiri merupakan obat yang mempengaruhi fungsi perilaku, emosi dan pikiran yang

biasa digunakan dalam bidang ilmu psikiatri atau ilmu kedokteran jiwa.

Berdasarkan penggunaan klinik, psikotropik dapat dibedakan menjadi 4 golongan

yaitu :

1. Antipsikosis (major tranquilizer, neuroleptik), bermanfaat pada terapi akut

maupun kronik, suatu gangguan jiwa yang berat.

2. Antiansietas (minor tranquilizer), terutama berguna untuk pengobatan simtomatik

penyakit psikoneurosis (neurosis, kelhan subjektif tanpa gangguan somatik yang

nyata dengan fungsi mental kognitif tidak terganggu) dan berguna untuk terapi

tambahan penyakit soamtis dengan ciri ansietas dan ketengangan mental.

3. Antidepresi adalah obat untuk mengatasi atau mencegah depresi mental.

4. Antimania (mood stabilizer) adalah obat yang terutama mencegah naik turunnya

mood pada pasien gangguan bipolar.

Mood stabilizers ini terkadang efektif dalam pengobatan mania. Kata antimania sering

digunakan untuk mendeskripsikannya. Akan tetapi, karena efektif dalam mencegah

perubahan mood pada gangguan bipolar, istilah yang lebih baik adalah agen penstabil

mood atau agen profilaksis. Agen penstabil mood yang paling umum digunakan adalah

litium, valproat, karbamazepin dan lamotrigin, meskipun ada beberapa mood stabilizer

lainnya seperti oxacarbazepine.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Mood stabilizers adalah obat mampu mengobati dan menstabilkan mood pasien

dari atas sehingga bisa mencegah mania sedangkan pada keadaan depresi, mood

stabilizers mampu menstabilisasi mood dari bawah keatas atau dengan kata lain

mencegah mood yang depresi (Gambar 1).

Gambar 1. Mekanisme kerja mood stabilizers (Stahl, 2013).


2. Jenis-Jenis Mood Stabilizers

Adapun jenis-jenis mood stabilizers yang sering digunakan adalah :

A. Litium, sebagai mood stabilizer klasik

Lithium adalah ion yang mekanisme kerjanya belum dimengerti. Barangkali

lithium bekerja melalui penghambatan dari enzim second messenger seperti Inositol

Monophosfatase (gambar bagian kanan), dengan memodulasi Protein G (gambar bagian

tengah), atau dengan penurunan signal tranduksi kaskade, yang melibatkan penghambatan

dari Glycogen Syntase Kinase 3 (GSK-3) dan protein C kinase (gambar bagian kiri).

Semua aktifitas dari lithium ini akan mempengaruhi terbentuknya proteksi pada saraf dan

plastisitas jangka panjang dari sel saraf yang mampu mengurangi toksisitas dari

hiperglutamat pada skizofrenia (Gabbard, 2015 & Stahl, 2013).

Gambar 2. Mekanisme kerja lithium (Stahl, 2013).

Guideline terbaru mengatakan lithium dipakai sebagai obat lini pertama pada pasien

dengan episode akut bipolar dengan depresi, yang bisa bekerja sebagai mencegah bunuh

diri (Leishouth, 2010). Beberapa orang dengan skizofrenia yang tidak bisa mendapat

antipsikotik mungkin bisa efektif dengan pengobatan lithium tersendiri .Begitu juga

pasien yang agresif, lithium disini berfungsi sebagai antiagresif yang bisa digunakan

untuk menangani agresifitas pada skizofrenia (Sadock& Sadock, 2013).


Sediaan obat lithium ini ada yang 150 mg, 300 mg, 600 mg lithium karbonat

(generik), lithium karbonat tablet (lithotabs) 450 mg Controlled-Release (CR) lithium

karbonat capsul (Eskalith CR dan Lithonat), dan 8 mEq/5 mL lithium sitrat sirup.

Dosis awal untuk pemakaian lithium untuk dewasa adalah 300 mg yang diminum 3

kali sehari. Jika mengalami gangguan fungsi ginjal, bisa dimulai dengan 300 mg sekali

atau dua kali sehari. Dosis untuk stabilisasi biasanya 900-1200 mg per hari yang

menghasilkan konsentrasi di plasma darah 0,6-1 mEq/L. Dosis pemeliharaan bisa

diberikan 2-3 kali sehari atau sekali dosis yang CR. Pemberhentian obat lithium harus

secara pelan-pelan untuk mengurangi kekambuhan gejala mania (Sadock & Sadock,

2013).

Efek samping dari lithium berupa gejala intestinal seperti dispepsia, mual, muntah,

dan diare, kenaikan berat badan, rambut rontok, tremor, mengantuk, dan menurunnya

kognitif. Ada juga efek pemakaian jangka panjang berupa gangguan ginjal dan tiroid.

Untuk mengatasi efek samping ini, sebaiknya dilakukan monitor level obatnya dalam

plasma. Lithium ini biasanya dipakai dosis yang paling rendah dan jika hasilnya tidak

memuaskan akan dikombinasi dengan mood stabilizers yang lainnya (Stahl, 2013). Tabel

dibawah ini secara singkat dijelaskan spesifikasi dari obat lithium :

Lithium
Mekanisme kerja ‒ Proteksi dan plastisitas jangka panjang dari sel saraf yang
mampu mengurangi toksisitas NMDA dari hiperglutamat
Sediaan ‒ Lithium carbonat 150 mg, 300 mg, 600 mg
Dosis ‒ Dosis awal untuk dewasa adalah 300 mg 3 kali sehari.
‒ Jika ada gangguan fungsi ginjal, dimulai dengan 300 mg 1-
2 kali sehari.
‒ Dosis untuk stabilisasi biasanya 900-1200 mg per hari
Efek samping ‒ Sering : gangguan intestinal (dispepsia, mual, muntah, dan
diare), kenaikan berat badan, rambut rontok, tremor,
mengantuk, dan menurunnya kognitif.
‒ Efek jangka panjang : gangguan ginjal dan tiroid.
Interaksi Antipsikotik : hati-hati terjadi perburukan dari gejala
ekstrapiramidal dan sindrom neuroleptik maligna
Antidepresan : sindrom serotonin, dengan penghambatan
uptake serotonin
Antikonvulsan : seperti asam valproat dan karbamazepin
saling menguntungkan dan tidak ada efek buruk

B. Asam Valproat

Gambar 3. Bentuk molekul asam valproat (Stahl, 2013).

Asam valproat sudah diciptakan sejak tahun 1800-an. Obat ini disebut asam

valproat karena dengan cepat berubah menjadi bentuk asam saat masuk ke dalam perut.

Asam valproat meningkatkan respon pengobatan terapi dengan antipsikotik pada

penderita skizofrenia khususnya mengatasi gejala agresif dan agitasi. Asam valproat

kurang bermanfaat jika monoterapi untuk mengatasi gejala psikotik pada skizofrenia,

maka dari itu asam valproat biasanya sebagai terapi adjuvan pada skizofrenia (Versayanti,

2010, Sadock, 2013).

Mekanisme kerja dari asam valproat adalah melalui 3 cara yaitu mengurangi aliran

ion kalsium ini dengan langsung menghambat disaluran Voltage Sensitive Sodium

Channels (VSSCs) dan yang kedua dengan menghambat fosforilasi enzim yang mengatur

sensitifitas kanal ion natrium. Penghambatan pada VSSCs menyebabkan menurunnya


influx natrium ke dalam sel neuron sehingga menyebabkan berkurangnya eksitasi sel

neuron terutama glutamat dan transmisi dari excitatory neurotransmitter juga berkurang.

Cara kerja ini mampu memperbaiki hiperaktivasi glutamat yang terjadi pada penderita

skizofrenia (Stahl, 2013).

Gambar 4. Mekanisme kerja asam valproat pada kanal voltase natrium (Stahl, 2013).

Gambar 5. Mekanisme kerja asam valproat dengan gaba. (Stahl, 2013).

Teori lain menyatakan asam valproat meningkatkan mekanisme kerja GABA, dengan

meningkatkan keluarannya dan mengurangi reuptake serta memperlambat metabolisme

inaktifasinya (Gambar 13). Dengan efek ini maka akan terjadi aktifitas GABA yang lebih

banyak, dan ini menyebabkan semakin banyaknya inhibisi pada transmisi neurotransmiter,
yang dapat menjelaskan efek antimania pada asam valproat dan mengurangi gejala pada

skizofrenia.

Saat mulai terapi dengan asam valproat, harus terlebih dahulu dilakukan tes fungsi hati,

darah lengkap dan tes kehamilan pada wanita. Pemberian untuk kasus mania akut, dimulai

dengan pemberian oral 20-30-mg/kgBB per hari. Jika pasien sangat gelisah maka bisa

dimasukkan kedalam infus intravena. Untuk pemberian obat pertama kalinya, dosis yang

dianjurkan mulai dosis kecil, yaitu 250 mg setelah makan dan bisa dilanjutkan sampai 3 kali

sehari setelah melewati 3-6 hari. Sebagian besar orang mendapat dosis 1200 mg dan 1500 mg

sehari dengan dosis terbagi dengan dosis maksimalnya adalah 2000 mg perhari. Jika

diminum, akan mulai diserap dalam waktu 2 jam dan waktu paruh plasmanya 6-16 jam

(Semple, 2010). Sediaan yang tersedia di Indonesia yaitu asam valproat yang 125 mg, 250

mg, dan 500 mg. Jika gejala sudah teratasi maka bisa diminum sekali sebelum tidur. (Sadock

& Sadock, 2013).

Gambar 6. Mekanisme kerja asam valproat (Stahl, 2013).

Efek samping dari asam valproat ini yang paling sering adalah gangguan pencernaan

seperti mual muntah dan mengantuk. Efek samping lainnya dapat berupa peningkatan berat
badan, dan rambut rontok. Masalah efek samping yang serius dapat dicegah dengan

menurunkan dosis obat, dan bila perlu setelah diturunkan dikombinasi juga dengan mood

stabilizers lainnya.

Obat ini juga menyebabkan terganggunya fungsi hati dan pankreas, menimbulkan

toksik bagi janin (defek pada saraf), gangguan metabolisme tubuh serta kemungkinan

terjadinya amenorea dan kista ovarium jika diberikan pada anak wanita. Pada wanita juga

sering didapatkan efek gangguan pada menstruasi, hiperandrogenism, obesitas dan resisten

hormon insulin pada pemberian asam valproat ini.

Metabolisme dari asam valproat ini terjadi pada sitokrom P-450 di sel hati. Asam

valproat memiliki kemampuan untuk menghambat pemecahan obat yang dimetabolisme di

hati sehingga asam valproat sebaiknya tidak diberikan pada orang dengan gangguan hati

(Murray, 2008).

Asam valproat
Mekanisme kerja ‒ Merubah sensitifitas ion kanal natrium dengan menghambat
kerja enzim yang mengatur masuknya ion natrium, dan
blockade langsung pada kanal natrium, sehingga ion natrium
berkurang masuk kedalam sel yang menyebabkan
berkurangnya eksitasi glutamat (efek antimania)
‒ Meningkatkan pengeluaran GABA dengan menghambat
reuptake GABA, dan memperlambat inaktifasi GABA pada
sel GABAnergik
Sediaan ‒ 125mg, 250 mg, 500 mg (depakote), ikalep 300 mg
Dosis ‒ Pemberian pertama kali dianjurkan mulai dosis kecil, yaitu
250 mg setelah makan dan dilanjutkan sampai 250 mg 3 kali
sehari setelah 3-6 hari.
‒ Sebagain besar orang mendapat dosis 1200 mg dan 1500 mg
sehari dengan dosis terbagi.
‒ Jika gejala sudah teratasi maka bisa diminum sekali sebelum
tidur
Efek samping ‒ Sering : gangguan pencernaan (mual, muntah dan
mengantuk), penambahan berat badan, dan rontok.
‒ terganggunya fungsi hati dan pankreas, toksik bagi janin
(defek pada saraf), kemungkinan terjadinya amenorea dan
kistik ovarium jika diberikan pada anak wanita.
‒ Pada wanita juga sering didapatkan efek gangguan pada
menstruasi, hiperandrogenism, obesitas dan resisten hormon
insulin
Interaksi Antipsikotik : Meningkatkan sedasi, ekstrapiramidal
sindrom, delirium dan stupor (pada
beberapa kasus)
Antidepresan : Meningkatkan konsentrasi dalam plasma
(amitriptilin dan fluoxetin)
Antikonvulsan : Menurunkan serum asam vaproat
(carbamazepine)

C. Carbamazepin

Gambar 7. Bentuk molekul carbamazepin (Stahl, 2013).

Carbamazepin adalah antikonvulsan yang pertama kali terbukti efektif untuk mengatasi gejala

mania. Carbamazepin diperkirakan bekerja dengan memblok Voltage Sensitive Sodium

Channels VSSCs, langsung pada sisi yang membuka kanal ion dari VSSCs sub unit α. (Stahl,
2013). Efek tambahan dari carbamazepin dapat mengurangi arus melalui NMDA glutamate-

receptor channels sehingga terjadi efek perbaikan pada gejala skizofrenia.

Carbamazepin dimetabolisme pada enzim sitokrom P-450 dan meningkatkan

mekanisme kerja dari enzim hati CYP tipe 3A4. Peningkatan dosis boleh diberikan setelah

pengobatan dilakukan beberapa bulan. Metabolism dari carbamazepin mungkin dipengaruhi

oleh gangguan fungsi hati. Dosis terapi pada darah untuk pengobatan akut mania atau episode

campuran diperlukan sekitar 4-12 ug.ml. Konsentasi dalam plasma tercapai setelah 4-8 jam

dan waktu paruh di dalam plasma 18-55 jam (Semple, 2010).

Gambar 8. Mekanisme kerja dari carbamazepin (Stahl, 2013).

Target dosis untuk mengatasi mania dari carbamazepin ini adalah 1200 mg per hari,

walaupun ada variasinya di setiap Negara. Carbamazepin biasa diperlukan dosis 3-4 kali

sehari dan obat yang Extended-Release (XR) lebih di utamakan karena cukup diminum 1-2

kali sehari. Salah satu sediaan carbamazepin generik adalah 100 mg, 200 mg, 400 mg,

tegretol 100 mg dan 200 mg dan bentuk carbamazepin lepas lambat adalah Extended-Release

(XR) carbatrol yang tersedia dalam kemasan 100, 200, 300 mg tablet.

Carbamazepin memiliki efek samping yang paling sering adalah ganguan gastrointestinal

yang ringan seperti mual, muntah, konstipasi, diare, dan tidak ingin makan dan gangguan

pada saraf pusat (diplopia, lemas, pusing, tremor, ataxia, penglihatan kabur). Efek yang berat
bisa saja terjadi, seperti kelainan darah seperti anemia aplastik dan agranulositosis, hepatitis

dan reaksi kulit yang serius. (Sadock & Sadock, 2013).

Berlawanan dengan lithium dan asam valproat, carbamazepin tidak menyebabkan

kenaikan berat badan. Kebanyakan efek samping penggunaan carbamazepin ini terjadi jika

plasma level diatas 9 ug/mL. Efek yang sangat berat sering juga terjadi seperti

agranulositosis, anemia aplastik, gangguan fungsi hepar, hipersensitifitas sistemik, gangguan

ginjal, gangguan konduksi jantung, psikosis, Steven-Johnson syndrome, trombositopenia dan

pankreatitis. Efek samping ini diatasi dengan pemeriksaan test fungsi hepar, ginjal dan

elektrolit (Semple 2010 & Murray, 2008).

Mekanisme kerja ‒ memblok VSSCs, langsung pada sisi yang membuka kanal
ion dari VSSCs sub unit α.
‒ Memperbaiki fungsi NMDAGlutamate-Receptor
Channels
Sediaan ‒ 100 mg, 200 mg, 300 mg tablet
Dosis ‒ Target dosis untuk mengatasi mania ini adalah 1200 mg
per hari, walaupun ada variasinya di setiap negara.
‒ Pengobatan diperlukan dosis 3-4 kali sehari dan obat yang
lepas lambat (XR) cukup diminum 1-2 kali sehari.
Efek samping ‒ Efek samping yang paling sering adalah ganguan
gastrointestinal yang ringan seperti mual, muntah,
konstipasi, diare, anoreksi dan gangguan pada saraf pusat
(diplopia, lemas, pusing, tremor, ataxia, penglihatan
kabur).
‒ Efek berat bisa saja terjadi, seperti kelainan darah seperti
anemia aplastik dan agranulositosis, hepatitis dan reaksi
kulit yang serius.
‒ Efek sangat berat yang meliputi agranulositosis, anemia
aplastik, gagal hepar, hipersensitifitas sistemik, gangguan
ginjal, gangguan konduksi jantung, psikosis, Sindrom
Steven-Johnson, trombositopenia dan pankreatitis

Interaksi ‒ Carbamazepin menurunkan efek obat dalam plasma


(olanzapin, quetiapin, aripriprazol, clozapin, lamotrigin,
asam valproat, haloperidol, alprazolam, clonazepam,
amitriptilin, fluphenazin)

D. Lamotrigin

Lamotrigin ditetapkan sebagai mood stabilizers dengan mekanisme kerjanya yang


saling melengkapi dengan obat carbamazepin yang sama-sama bekerja pada kanal VSSCs,
dan obat ini yang tidak disarankan untuk gejala mania pada bipolar karena
kemungkinan mekanisme kerjanya tidak kuat untuk memblok kanal natrium, atau perlu
waktu yang panjang untuk memberikan efek dari obat ini untuk mengatasi gejala mania,
sedangkan secara umum diperlukan respon obat yang bekerja dengan cepat.

Gambar 9. Bentuk molekul lamotrigin (Stahl, 2013).

Lamotrigin disimpulkan memiliki efek yang unik, yaitu menurunkan pengeluaran

glutamat, yang mampu memperbaiki hiperaktifitas glutamat pada skizofrenia. Efek ini tidak

jelas, apakah karena pemblokkan pada VSSCs atau beberapa reaksi tambahan dari sinaps sel?

Pengurangan eksitasi glutamat merupakan efek yang unik pada obat lamotrigin ini (Gabard,

2015 & Stahl, 2013).


Pada penelitian klinis, pemberian lamotrigin dianjurkan diatas 200 mg per hari.

Kebanyakan pasien mendapat 100 mg dan 200 mg per hari, namun hasil ini masih belum

konsisten. Jika diminum, konsentrasi puncak diplasma akan terjadi dalam waktu 1-5 jam, dan

waktu paruhnya 24 jam (Semple, 2010). Sediaan obat yang ada dipasaran mulai dari 25 mg,

100 mg, 150 mg dan 200 mg tablet. Obat yang bisa dikunyah juga tersedia dalam dosis 2,5

dan 25 mg. Obat ini tidak dianjurkan pada umur dibawah 16 tahun (Sadock & Sadock, 2013).

Gambar 10. Mekanisme kerja lamotrogin (Stahl, 2013).

Efek samping yang paling sering dari pemberian lamotrigin ini adalah pusing,

ataxia, somnolen, pandangan kabur, mual, namun ringan. Penurunan kognitif dan nyeri sendi

dan punggung dilaporkan sering terjadi. Efek lainnya dari obat ini bisa menyebabkan

Sindrom Steven Johnson, tetapi sangat jarang. Reaksi rash pada kulit bisa terjadi, tetapi bisa

diminimalisasi dengan pemberian obat secara titrasi yang sangat pelan selama fase inisiasi

pemberian obat ini. Tabel dibawah menjelaskan akan spesifikasi dari obat lamotigin untuk

lebih mudah dimengerti :


Mekanisme kerja ‒ Memblok kanal natriun dan beberapa reaksi tambahan dari
sinaps sel menyebabkan pengurangan eksitasi glutamat
Sediaan ‒ 25 mg, 100 mg, 150 mg dan 200 mg tablet
Dosis ‒ 200 mg per hari
Efek samping ‒ Paling sering adalah pusing, ataxia, somnolence,
pandangan kabur, mual, namun ringan, penurunan
kognitif dan nyeri sendi dan punggung
‒ Efek lainnya dari obat ini bisa menyebabkan Sindrom
Steven Johnson, tetapi sangat jarang.
Keunggulan ‒ Tidak menyebabkan mengantuk, penambahan berat
badan dan efek metabolik lainnya
Interaksi ‒ Lamotrigin menurunkan plasma level 25% obat asam
valproat
‒ Lamotrigin jika dikombinasi dengan carbamazepin,
konsentasinya berkurang 40-50%

3. Interaksi Mood Stabilizer dan Kontraindikasi

Pasien yang mendapatkan tambahan mood stabilizers rata-rata berusia muda, karena

kemungkinan pasien muda lebih banyak gejala positif dan meningkatnya agresifitas atau

perilaku impulsif. Pada pasien geriatri, banyak studi menunjukkan adanya efek samping yang

lebih banyak seperti jatuh, infeksi, gangguan gastrointestinal (Horowitz, 2014). Selama

kehamilan, sebagian besar mood stabilizers yang juga bekerja sebagai antikonvulsan (asam

valproat dan carbamazepine) dan lithium memiliki risiko tinggi untuk toxisitas terhadap fetus.

(Stahl, 2013).

Mood stabilizers golongan lithium, asam valproat, carbamazepin, lamotrigin juga

memberikan efek positif terhadap peningkatan prepulse inhibition (PPI) pada mencit, dimana

keadaan ini kemungkinan bisa memperbaiki defisit PPI yang terjadi pada penderita

skizofrenia (Dorothy, 2009). Percobaan pada mencit juga didapatkan mood stabilizers

golongan lithium dan valproat efektif bekerja memperbaiki metabolism sel khususnya
memperbaiki fosforilasi mitokondria, sehingga adanya defek mitokondria pada penderita

skizofrenia bisa diperbaiki dan akhirnya bisa mengurangi gejala skizofrenia itu sendiri

(Corena M et all, 2013).

Penggunaan kombinasi aripiprazol dengan lithium atau asam valproat mampu

mengurangi relaps gangguan mood pada kasus mania bipolar I yang bisa diaplikasikan juga

untuk mengurangi relaps skizofrenia jangka panjang (Marcus, 2011).

Pemberian carbamazepin harus diperhatikan apabila dikombinasi dengan obat

antipsikotik seperti haloperidol, fluphenazin, clozapin, olanzapin, quetiapin dan aripriprazol.

Obat ini jika diberikan bersamaan dengan carbamazepin maka akan terjadi hiperaktivasi oleh

enzim sitokrom P-450 tipe 3A4, yang menyebabkan peningkatkan metabolisme obat

antipsikotik tersebut, sehingga obat tersebut akan menjadi cepat dibuang keluar oleh tubuh.

Pemberian carbamazepin dengan obat-obatan tersebut, baik antipsikotik tipikal dan atipikal

tidak direkomendasi (Amir, 2008, Stahl, 2013 & Sadock, 2013). Interaksi obat carbamazepin

dengan dapat menurunkan kadar haloperidol sebanyak 50-60% (Monaco & Cicolin, 1999).

Gambar 11. Carbamazepin Menginduksi Enzim Sitokrom P-450 tipe 3A4 (Stahl, 2013).

Obat antidepresan golongan SSRI juga tidak disarankan dikombinasi dengan asam

valproat dan carbamazepin karena SSRI ini menghambat sitokrom P-450 yang akan

meningkatkan kadar asam valproat dan carbamazepin dalam plasma (Widyawati, 2011).
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dalam referat ini disimpulkan bahwa mood


stabilizers adalah agen penstabil mood atau agen profilaksis. Agen penstabil mood
yang paling umum digunakan adalah litium, valproat, karbamazepin dan lamotrigin.
lithium dipakai sebagai obat lini pertama pada pasien dengan episode akut bipolar
dengan depresi. Asam valproat meningkatkan respon pengobatan terapi dengan
antipsikotik pada penderita skizofrenia khususnya mengatasi gejala agresif dan
agitasi.
Carbamazepin adalah antikonvulsan yang pertama kali terbukti efektif untuk
mengatasi gejala mania. Carbamazepin diperkirakan bekerja dengan memblok
Voltage Sensitive Sodium Channels VSSCs, langsung pada sisi yang membuka kanal
ion dari VSSCs sub unit α. Lamotrigin ditetapkan sebagai mood stabilizers dengan
mekanisme kerjanya yang saling melengkapi dengan obat carbamazepin yang sama-
sama bekerja pada kanal VSSCs, dan obat ini yang tidak disarankan untuk gejala
mania pada bipolar karena kemungkinan mekanisme kerjanya tidak kuat untuk
memblok kanal natrium, atau perlu waktu yang panjang untuk memberikan efek dari
obat ini untuk mengatasi gejala mania, sedangkan secara umum diperlukan respon
obat yang bekerja dengan cepat. Selama kehamilan, sebagian besar mood stabilizers
yang juga bekerja sebagai antikonvulsan (asam valproat dan carbamazepine) dan
lithium memiliki risiko tinggi untuk toxisitas terhadap fetus.
DAFTAR PUSTAKA

1. Stahl, Stephen M. 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology Neuroscientific


Basis and Practical Application fourth edition. New York. Cambrige Medicine
Press.

2. Sadock, B.J. and Sadock, V.A. 2003. Kaplan and Sadock’s Synopsis of
Psychiatry ninth edition. Philadelphia, USA. Pippincot Williams and Wilikins
p.623-631

3. Murray, R.M. et all, 2008. Essential Psychiatry fourth edition. Cambride


University Press, United States of America, p. 586.

4. Widyawati Ika, 2011, Penatalaksanaan Skizoprenia Masa Anak dan Gangguan


Bipolar Masa Kanak, Pertemuan Nasional Akeswari II, 5-7 Mei 2011, Hotel
Inna Garuda,Yogyakarta.

5. Gabbard G., 2015. Treatment of Psychiatric disorder DSM-5 edition. New York
University. Washington DC. USA

6. Versayanti S., 2010, Berbagai tantangan pada pengobatan skizofrenia.


Kepatuhan dan Rehabilitasi Kognitif sebagai penentu keberhasilan terapi
skizofrenia dalam Majalah Jiwa Psikiatri. Yayasan Kesehatan Jiwa
Dharmawangsa, tahun XLIII no.3 September 2010. Jakarta hal 1-24.

7. Corena M, Walss-Bass C, Oliveros A, Villegas A.G. Ceballos C. Charlesworth


C.M. 20013. New Model of action for mood stabilizers: Phosphoproteome from
rat Pre-Frontal Cortex Synaptoneurosomal Preparations. Plos one Journal.
www.plosone.org.

8. Marcus R., Khan A., Rollin L, Morris B, Timko K, Carson W, et all. 2011,
Efficay of Aripiprazole adjunctive to lithium or valproat in the long term
treatment of patient with bipolar I disorder with an inadequate response to
lithium and valproate monotherapy: multicenter, double-blind, randomize study.
Bipolar disorder journal page 133-144. USA.

9. Semple D. dan Smyth R., 2010. Oxford Handbook of Psychiatry second edition.
Oxford University Press. USA

Anda mungkin juga menyukai