TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1 Progresi dari epitel bronkus yang normal menjadi epitel maligna (Kern dan
McLennan, 2008)
Gambaran klinik
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis.
Pada pasien yang menunjukkan gejala dan tanda, gambaran kliniknya tidak banyak
berbeda dari penyakit paru lainnya. Gambaran klinik penyakit kanker paru biasanya
dijumpai pada subyek dengan risiko tinggi (laki-laki, usia lebih dari 40 tahun, perokok,
dan terpapar industri tertentu), dapat berupa batuk-batuk dengan/tanpa dahak, batuk
darah, sesak napas, suara serak, sakit dada, sulit/sakit menelan, benjolan di pangkalan
leher, sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri
yang hebat. (Jusuf et al, 2011) Dapat juga terlihat gejala atau keluhan di luar paru
29
Jenis histologis
Kanker paru dapat dibagi menjadi dua jenis utama yaitu: Kanker Paru jenis
Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) dan Kanker Paru jenis Karsinoma Sel Kecil
(KPKSK). (Jusuf et al, 2011; Youlden, Cramb, dan Baade, 2008; Pass et al, 2010)
Kanker Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) merupakan jenis kanker paru
yang terbanyak dan terdiri dari beberapa sub tipe antara lain: karsinoma sel skuamosa
(epidermoid carcinoma), adenokarsinoma (adenocarcinoma), dan karsinoma sel besar
(large cell carcinoma). (Jusuf et al, 2011; Youlden, Cramb, dan Baade, 2008; Pass et al,
2010)
30
32
33
Ultrasonografi toraks dapat dikuasai dengan mudah jika interpretasi dan akuisisi
gambar serta istilah-istilah teknis telah dipahami dengan baik. Kelebihan lainnya adalah
34
Diteruskan (transmitted)
35
Reflection (dipantulkan)
Perubahan ini terjadi pada pertemuan antar jaringan dengan impedans yang
berbeda. Impedans yang tinggi pada permukaan jaringan lunak dan udara (soft tissue-air
interface) dan permukaan jaringan lunak dan udara (soft tissue-bone interface)
menyebabkan refleksi yang hampir lengkap (dan menjelaskan ketidakmampuan untuk
menggambarkan paru yang mengandung udara dan bayangan akustik di belakang iga).
Inilah juga alasan kenapa perlu menggunakan gel saat pemeriksaan USG toraks.
Refleksi parsial dibutuhkan untuk menghasilkan sinyal balik ke probe USG dan
menghasilkan gambar di layar mesin USG. (Anantham dan Ernst, 2010)
Pemrosesan sinyal yang dipantulkan menentukan jenis gambar yang telihat pada
layar. Pada A-mode (atau mode ampitudo), amplitudo energi yang diterima dari
transduser ditampilkan sebagai puncak atau gelombang yang terlihat pada jarak yang
ditentukan oleh kedalaman gambar. Mode ini tidak digunakan pada ultrasonografi
toraks. Pada B-mode (mode brightness/kecerahan), amplitudo energi ditampilkan
sebagai titik-titik dengan kecerahan yang berbeda, sehingga sebuah rangkaian gambaran
B-mode dapat digunakan untuk menghasilkan gambaran ultrasonografi dua dimensi
konvensional. Pada M-mode (atau mode motion/gerak), gambar dari objek tertentu di
layar dengan menangkap gambar B-mode ketika melewati layar melawan aksis waktu.
36
37
Transduser adalah komponen USG yang ditempelkan pada bagian tubuh yang
akan diperiksa seperti dinding dada untuk pemeriksaan paru atau dinding perut untuk
pemeriksaan kehamilan. Di dalam transduser terdapat kristal yang digunakan untuk
menangkap gelombang yang disalurkan oleh transduser. Gelombang diterima dalam
bentuk akuistik (gelombang pantul) sehingga fungsi kristal di sini adalah untuk
mengubah gelombang tersebut menjadi gelombang elektronik yang dapat dibaca oleh
komputer sehingga dapat diterjemahkan dalam bentuk gambar. (Lyanda, Antariksa, dan
Syahruddin, 2011)
Bentuk-bentuk transduser dan arah gelombang dapat dilihat pada gambar 2.3
Ada tiga jenis transduser yang digunakan dalam pemeriksaan USG toraks, yaitu:
(Lyanda, Antariksa, dan Syahruddin, 2011)
1. Linear array transducer, bentuk gelombang lurus dengan frekuensi tinggi 7,5-10Mhz
untuk pemeriksaan organ yang lebih dangkal terutama struktur dari leher, empiema,
efusi pleura, massa pleura atau subpleura.
3. Phased array transducer, bentuk gelombang paling sempit dan dalam dengan
frekuensi 2-5MHz. Transduser ini paling baik digunakan pemeriksaan atelektasis paru,
komplikasi efusi pleura dan jantung dari sela-sela iga.
Gambar 2.3. Beberapa jenis probe (Lyanda, Antariksa, dan Syahruddin, 2011)
38
Pada rongga pleura yang bebas tanpa septa-septa, cairan efusi akan berkumpul di
bagian paling bawah (dependent parts) dari toraks sementara udara bebas akan
berkumpul di bagian superior (nondependent locations). Oleh karena itu, posisi pasien
dan posisi probe USG sangat menentukan dalam mengevaluasi kelainan-kelainan
tersebut. Pada kebanyakan pemeriksaan USG toraks, pasien berada pada posisi duduk
(sitting upright). Pasien yang tidak dapat duduk dapat diperiksa pada posisi telentang
atau lateral dekubitus, namun demikian, jika posisi telentang yang dilakukan, maka saat
interpretasi gambar harus memasukkan pertimbangan posisi saat USG toraks dilakukan.
Untuk evaluasi yang sistematis, hemitoraks dapat dibagi menjadi tiga zona: anterior,
lateral, dan posterior. Zona-zona ini ditandai dengan linea aksilaris anterior dan
posterior. Zona anterior terbentang dari linea aksilaris anterior sampai ke sternum, zona
posterior terbentang dari linea aksilaris posterior ke kolumna vertebralis, dan zona
lateral terletak di antaranya. Untuk akses yang lebih baik, pada pasien yang tidak dapat
duduk dapat diposisikan di tepi lateral tempat tidur.Gambar 2.4 (Anantham dan Ernst,
2010; Liao et al, 2013)
Gambar 2.4 Posisi pasien pada pemeriksaan USG toraks (Liao et al, 2013)
Orientasi probe
Probe pada posisi longitudinal berarti memeriksa melalui ruang sela iga (yang
berarti paralel dengan aksis tubuh) lebih disukai dibandingkan dengan posisi transversal
karena gambar longitudinal akan sekaligus memperlihatkan diafragma sebagai petunjuk.
Untuk mempertahankan orientasi probe dan menghasilkan gambar, probe dari
transduser tersebut memiliki galur atau bubungan. Dengan menempatkan galur tersebut
39
Gambar 2.5 Gambar B-mode dari sebuah efusi pleura anekoik yang dibatasi oleh
diafragma yang hiperekoik dan atelektasis paru yang isoekoik. (Anantham dan Ernst,
2010)
b. Akuisisi gambar
Karena udara tidak dapat divisualisasikan oleh USG, secara teori parenkim paru
yang normal tidak dapat dideteksi. Gambaran USG toraks melalui dinding dada meliputi
otot, fasia, tulang, dan pleura. Ekogenisitas jaringan lunak dengan lapisan yang multipel
menunjukkan otot dan fasia. Iga yang normal memperlihatkan gambaran permukaan
hiperekoik dengan bayangan akustik yang prominen diantara iga. Sekitar 0,5 cm di
bawah bayangan iga, tampak pleura parietal dan viseral berupa garis terang ekogenik.
Pada saat gerakan pernapasan, kedua garis pleura bergerak glide satu sama lain yang
disebut sebagai “gliding sign”. Oleh karena itu, adanya “gliding sign” menunjukkan
bahwa pleura parietal dan viseral dalam keadaan normal. Sementara jika “gliding sign”
tidak ditemukan, dapat terjadi pada pneumotoraks atau penebalan pleura. (Liao et al,
2013)
Gambaran yang ditampilkan ultrasonografi (USG) toraks ada dua, yaitu struktur
anatomi dan artefak (Tabel 2.3). Struktur anatomi diidentifikasi dengan lokasinya dan
ekogenisitasnya. Ekogenisitas dari struktur tubuh dapat direferensikan kepada organ
solid seperti hepar yang dapat ditampilkan sebagai abu-abu atau isoekoik pada layar.
Kumpulan cairan yang tidak berkomplikasi tampak lebih gelap dari pada organ-organ
padat tersebut dan disebut hipoekoik; jika tampak hitam maka disebut anekoik. Udara
tampak putih dan disebut hiperekoik. Homogenitas dan heterogenitas dari eko juga
membantu pengenalan jaringan-jaringa yang berbeda. (Anantham dan Ernst, 2010)
41
Artefak adalah gambar yang tidak berkaitan dengan struktur anatomi tertentu
tetapi dapat memberikan informasi berharga jika dikenali dengan tepat. Contoh dari
artefak adalah acoustic shadows, acoustic enhancement, dan reverberation echoes.
Tidak seperti struktur anatomi, artefak cenderung bergerak seiring dengan gerakan
probe dan konvergen menuju lapangan dekat puncak layar. Acoustic shadow merupakan
daerah anekoik yang terletak di belakang struktur tulang seperti iga. Karena acoustic
shadow tidak memberikan informasi gelombang suara, maka probe transduser harus
memiliki celah kecil yang tepat untuk mentransmisikan gelombang USG diantara
struktur tulang untuk menghindarinya. Acoustic enhancement adalah daerah hiperekoik
(abu-abu yang lebih terang dibanding hepar) yang berlokasi distal dari kumpulan cairan
berbentuk kista; wilayah distal dari cairan tersebut haruslah tidak salah interpretasi
dengan struktur anatomi lainnya. Reverberation echoes adalah garis hitam dan putih
yang dihasilkan ketika gelombang suara direfleksikan dan melalui dua permukaan,
seringkali pada permukaan udara dan jaringan lunak. (Anantham dan Ernst, 2010)
42
43
a. Paru normal
Gambaran dinding dada normal terdiri dari lapisan jaringan lunak, otot, dan
fascia adalah ekogenik. Tulang rusuk digambarkan seperti garis ekogenik di atas
jaringan lunak, otot, dan fascia. (Anantham dan Ernst, 2010)
Lung sliding merupakan tanda kunci untuk menandai paru normal. Untuk
mengidentifikasi lung sliding, yang pertama dicari adalah garis pleura yang tampak
sebagai garis hiperekoik horizontal yang terletak sekitar 0,5 cm di bawah permukaan
kulit yang menggambarkan permukaan antara paru dan dinding dada. Garis pleura
dibatasi oleh bayangan anekoik di bagian sefalik dan kaudal akibat adanya tulang iga.
Garis A merupakan garis horizontal yang lebih dalam yang merupakan reverberasi
artefak eko dari garis pleura. (Gambar 2.6) (Anantham dan Ernst, 2010) Jika garis
pleura ini telah diidentifikasi maka lung sliding akan terlihat sebagai gerakan bolak-
balik (“to and fro twinkling”) dari paru yang menempel ke garis pleura seirama dengan
inspirasi dan ekspirasi. Gambar di atas garis pleura pada layar tidak bergerak. Oleh
karena itu, lung sliding mengidentifikasi pleura viseral yang meluncur di permukaan
pleura parietalis. Lung sliding merupakan tanda yang penting untuk mengenali paru
yang normal, namun hal tersebut tergantung pada hal-hal teknis dan interpretasi.
Sebagai contoh, tanda tersebut mungkin tidak terdeteksi dengan probe frekuensi rendah
di bawah 2,5 MHz. “Lung sliding” juga mungkin tidak dijumpai pada keadaan-keadaan
patologis di mana gerakan paru terganggu seperti pleurisi, pleurodesis, pneumotoraks,
emfisema subkutis, bronkospasme ekstrim, pneumonia ekstensif, dan Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS). (Anantham dan Ernst, 2010)
44
Gambar 2.6 Pada B-mode dari paru normal dengan garis Gambar
Gambar 2.72.7 Tampak
Tampak dari
dari ruang interkostal. Dinding
ruang interkostal. Dinding dada
dada
pleura dan garis A. garis A adalah eko dari garis pleura dan terlihat sebagai lapisan berbagai tingkat eko yang
terlihat sebagai lapisan berbagai tingkat eko yang
menandakan adanya permukaan udara dan jaringan lunak, menggambarkan
menggambarkan otot
otot dan
dan fasia
fasia (A).
(A). Pada
Pada potongan
potongan
sementara udara ada di dalam paru yang teraerasi atau longitudinal
longitudinal melewati iga, tulang iga yang normal tampak
melewati iga, tulang iga yang normal tampak
bebas di rongga pleura. sebagai
sebagai ruang
ruang hiperekoik
hiperekoik dengan
dengan acoustic
acoustic shadow
shadow di
di
belakangnya. (B)
belakangnya. (B)
b. Efusi pleura
Ultrasonografi lebih sensitif dari pada foto toraks dalam mendiagnosis efusi
pleura minimal dan sangat efektif dalam membedakan efusi pleura dari atelektasis paru.
Efusi pleura dapat dikenali dengan menggunakan tanda statis dan dinamis. Tanda statis
untuk mengenali efusi pleura adalah wilayah yang dibatasi oleh diafragma di kaudal,
dinding dada di superior, dan paru yang mengalami atelektasis di dasar (gambar 2.8).
(Anantham dan Ernst, 2010)
Gambar 2.8 Gambar B-mode dari efusi pleura dengan komplikasi disertai adanya adesi
diantara pleura viseral hiperekogenik di sefalik dan diafragma di kaudal
Untuk tujuan investigasi, maka efusi pleura dapat dibagi menjadi tiga kategori
berdasarkan etiologi yaitu: infeksi, malignansi, dan miselanos. Pada efusi pleura akibat
infeksi menimbulkan efusi para pneumonik atau empiema. Efusi maligna disebabkan
oleh keganasan primer atau sekunder di dada. Sementara efusi pleura yang dikaitkan
dengan kelainan miselanos antara lain: efusi steril benigna, hemotoraks, dan kilotoraks.
46
Gambar 2.9 Tampilan USG toraks dari efusi pleura. Efusi pleura dapat
diklasifikasikan sebagai anekoik (A), non septa kompleks (B), bersepta
kompleks (B), dan ekogenik homogen (D). (Liao et al, 2013)
47
Gambar 2.10 Ultrasonografi toraks dapat mendeteksi adanya cairan pleura dan
septa pada efusi pleura (Shaw dan Sebastian, 2008)
c. Pneumotoraks
Foto toraks ekspirasi pada posisi erek merupakan pemeriksaan awal pada pasien
dengan dugaan penumotoraks, tetapi sensitivitasnya bervariasi antara 50% sampai
dengan 90%. Penegakan diagnosis pneumotoraks pada foto toraks frontal seringkali
sulit dilakukan pada pasien-pasien dalam kondisi kritis di mana pasien berada pada
posisi semi-recumbent dan tidak dapat melakukan koordinasi untuk menahan napas
pada posisi ekspirasi. USG toraks dapat membantu menegakkan diagnosis
pneumotoraks. Pleura parietal dan viseral dalam keadaan normal bergerak slide satu
sama lain selama proses respirasi dan pneumotoraks disangkakan jika tidak dijumpai
“gliding sign”. (Gambar 2.11) (Liao et al, 2013)
48
Pneumotoraks ditandai dengan; tidak adanya tanda paru yang teraerasi. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, paru yang teraerasi ditandai dengan adanya tanda lung
sliding; paru juga ditandai dengan artefak yang disebut comet tails, termasuk garis B
dan garis Z, yang tampak sebagai garis vertikal hiperekoik yang muncul dari garis
pleura dan bergerak sinkron dengan lung sliding. Garis B adalah artefak comet tail yang
tersebar dari garis pleura sampai ke tepi layar dan tidak mengabur. (Gambar 2.11) Garis
Z hampir sama, namun mengalami pengaburan dengan cepat dan tidak mencapai tepi
layar. Pada pneumotoraks, garis A yang menggambarkan eko reverberasi dari garis
pleura masih terlihat, tetapi tidak akan ada gerakan di garis pleura dan tidak terlihat lung
sliding atau artefak comet-tail. Tidak adanya lung sliding dan artefak comet-tail
mengindikasikan adanya pneumotoraks dengan sensitifitas 100% dan spesifitas 96,5%.
Sebaliknya, adanya lung sliding menyingkirkan adanya pneumotoraks dengan nilai
prediksi negatif 100%. Pada pneumotoraks, garis A teraksentuasi multipel mungkin
49
Gambar 2.13 Gambaran USG toraks B-mode Gambar 2.14 Pada M-mode, pneumotoraks
memperlihatkan artefak comet-tail yang memperlihatkan gambaran tanda
memancar dari garis pleura. (Anantham dan stratosphere (A), ditandai dengan garis
. 2010)
Ernst, horisontal multipel tanpa granularitas yang
terlihat pada paru normal. (Anantham dan
Ernst, 2010)
d. Atelektasis paru/konsolidasi
Konsolidasi alveolus dapat diidentifikasi dengan ultrasonografi toraks jika
konsolidasi meluas ke pleura viseral; jika tidak, paru teraerasi yang mengalami
konsolidasi akan memunculkan artefak yang menyulitkan diagnosis. Pada konsolidasi
alveolus, lung sliding akan terhapus dan gambaran jaringan yang mirip dengan hepar
akan terlihat akibat konsolidasi tersebut dan hepatisasi paru. Batas superfisial dari paru
yang mengalami konsolidasi biasanya reguler dan batas inferiornya biasanya ireguler
tergantung perluasan konsolidasinya. Air bronchograms mungkin terlihat sebagai
bayangan linier atau lentiform yang hiperekoik yang dapat bervariasi sesuai proses
respirasi. Gambar 2.14
50
Paru normal yang teraerasi dengan baik sangat sulit untuk digambarkan karena
perubahan dramatis akustik impedans antara dinding dada dengan paru menghasilkan
refleksi spekular dari gelombang ultrasound pada pleura. Namun demikian, paru yang
mengalami konsolidasi memiliki densitas jaringan dan tekstur eko yang sama dengan
hati, dan keadaan ini analog dengan keadaan patologis berupa hepatisasi. Keadaan ini
menghilangkan perubahan akustik impedans pada interfase pleura, dan gelombang USG
berjalan secara langsung menuju paru yang mengalami konsolidasi. Ketika pasien
dengan pneumonia lobar atau segmental , dan lesinya dekat dengan pleura atau di dalam
efusi pleura, maka pneumonia tersebut dapat dideteksi melalui USG toraks. (Liao et al,
2013)
Atelektasis digambarkan oleh ultrasonografi toraks dengan cara yang hampir
sama dengan konsolidasi. Sebagai tambahan, ruang inter kostal mungkin telah
menyempit dan terjadi peninggian hemidiafragma. Jika pada bronkus distal dari
pneumonia obstruktif atau atelektasis terisi cairan, maka fluid bronchograms mungkin
terlihat sebagai bayangan lentiform anekoik di dalam area konsolidation. (Liao et al,
2013)
51
Pada edema paru dapat dijumpai septa interlobular yang mengalami edema dan
menebal. Jika pada paru normal dijumpai garis B tunggal, maka pada edema paru
dijumpai artefak comet-tail garis B yang multipel, dijumpai difus, dan bilateral.
Diagnosisnya dapat dikonfirmasi dengan hilangnya temuan-temuan ini dengan terapi
yang tepat. Adanya garis B yang difus dan multipel memiliki sensitivitas dan
spesifisitas 93% ketika dibandingkan dengan foto toraks pada penegakan diagnosis
edema paru. (Liao et al, 2013)
f. Penebalan pleura
Penebalan pleura sering didefinisikan sebagai lesi fokal yang muncul dari pleura
parietal atau pleura viseral yang lebarnya lebih besar dari 3 mm dengan atau tanpa tepi
yang ireguler. Membedakan penebalan pleura dengan efusi pleura small adalah tidak
mudah karena keduanya dapat memberikan gambaran hipoekoik pada USG toraks.
(Koegelenberg, Bidlingmajer, dan Bolliger, 2012)
52
Gambar 2.16 Algoritma evaluasi dispnea akut (Anantham dan Ernst, 2010)
53
USG toraks sangat baik digunakan sebagai tuntunan pada berbagai tindakan
invasif transtorakal. Dengan bantuan USG toraks dapat meningkatkan keberhasilan dan
sekaligus menurunkan risiko yang mungkin terjadi. Beberapa tindakan yang dapat
dituntun dengan USG toraks antara lain: aspirasi cairan efusi pleura, drainase tube
interkostal tertutup, biopsi pleura tertutup, TTNA dan TTNAB. (Anantham dan Ernst,
2010)
Tuntunan USG toraks bermanfaat meningkatkan keberhasilan dan keamanan
torakosintesis. Torakosintesis dengan tuntunan USG toraksberhasil mendapatkan cairan
pada 88% kasus yang gagal diaspirasi dengan blind. Pada mayoritas aspirasi cairan
pleura secara blind yang gagal, pemeriksaan lanjutan dengan USG toraks telah
menunjukkan bahwa jarum telah diinsersikan di subdiafragma. Oleh karena itu, dengan
menggunakan USG toraks sebagai tuntunan, operator dapat menghindari tertusuknya
organ-organ seperti paru, hepar, limpa, dan jantung. Tuntunan USG toraks dapat
mengurangi insidens pneumotoraks dari 39% pada pada torakosintesis secara blind
menjadi kurang dari 5,4%. Dengan torakosintesis menggunakan tuntunan USG toraks,
angka kejadian pneumotoraks dapat dipertahankan sebesar 1,3% bahkan pada pasien
dengan ventilasi tekanan positif. (Liao et al, 2013; Anantham dan Ernst, 2010)
Pada torakosentesis yang dipandu dengan USG toraks, yang pertama kali
dilakukan adalah mengidentifikasi dan memberi tanda pada lokasi torakosentesis. Untuk
mengurangi risiko komplikasi, operator sebaiknya meletakkan probe transduser
sehingga bagian paling tebal dari koleksi cairan target berada di tengah layar. Adanya
jarak sebesar 10-15 mm antara pleura viseralis dan pleura parietalis merupakan tanda
dapat dilakukan aspirasi dengan aman. (Anantham dan Ernst, 2010)
Kedalaman insersi jarum dapat diperkirakan pada layar USG toraks, karena
probe menekan ditepi jaringan lunak, jarak ini mungkin salah perhitungan. Pada
prosedur sebenarnya, jarum biasanya diinsersikan ke arah bawah dengan sudut 450
dengan aksis panjang dari probe terhadap iga; operator berupaya untuk menjaga seluruh
panjang jarum terpantau di sepanjang lintasannya. Jika tanda yang telah dibuat untuk
54
USG toraks dapat digunakan untuk menuntun aspirasi/biopsi lesi perifer paru,
massa pleura, dan tumor mediastinum anterior. USG toraks memampukan dilakukannya
identifikasi sudut yang tepat dan kedalaman aspirasi/biopsi karena USG toraks dapat
membedakan komponen padat dari cair pada lesi paru. Namun demikian, aspirasi/biopsi
jarum perkutan sebaiknya dilakukan oleh ahli yang menguasai USG toraks dan teknik
aspirasi/biopsi jarum. (Anantham dan Ernst, 2010)
55
Gambar 2.17 Lokasi lesi yang Gambar 2.18 Pilihan teknik pengambilan
sering dilakukan TTNA jaringan sesuai dengan lokasi lesi
(Koegelenberg, Bidlingmajer, ((Koegelenberg, Bidlingmajer, dan Bolliger,
dan Bolliger, 2012) 2012)
56
Bula multipel
Pneumonektomi
Hipertensi pulmonal
Penyakit Hidatid
57
58
Teknik
Kedalaman, sudut, dan lokasi penetrasi jarum harus diperhitungkan dengan tepat.
Setelah tindakan anestesi lokal, jarum atau trokar diinsersikan dengan cara steril dengan
tuntunan fluoroskopi, CT scan, atau USG toraks. Spesimen yang diperoleh kemudian
disemprotkan ke slides atau ke dalam cairan untuk diproses menggunakan teknik
pemeriksaan sitologi yang standar. (ERS/ATS, 2002)
Prosedur tindakan TTNA dengan tuntunan USG Toraks dilakukan dengan cara sebagai
berikut: (Shet et al, 1999)
1. Lokasi dan kedalaman insersi jarum pada tindakan TTNA ditentukan dari
pemeriksaan USG toraks
2. Lokasi tindakan TTNA dibersihkan dengan cairan anti septik, kemudian
dilakukan infiltrasi lidokain pada jaringan kutis dan sub kutis
3. Dilakukan insersi jarum (dalam penelitian ini dengan spinocaine 25
gauge dengan panjang 8,8 cm)
4. Ketika jarum ada di dalam massa, maka sylet sentralnya dikeluarkan dan
disambungkan dengan spuit 10cc.
5. Dilakukan suction (memberikan tekanan negatif pada spuit 10cc) dan
dilanjutkan dengan melakukan gerakan naik-turun (to and fro) dari jarum
tersebut, dengan masih berada di dalam massa, untuk mendapatkan
sampel sitologi.
6. Dibuat preparasi slide dari sampel sitologi tersebut dan dikeringkan
kemudian dimasukkan ke dalam alkohol 96%
7. Preparat diperiksa oleh ahli patologi anatomi
8. Dilakukan evaluasi ada tidaknya pneumotoraks segera setelah tindakan
TTNA dengan USG toraks dan diobservasi di ruangan selama 24 jam
59
Komplikasi
Insidens pneumotoraks adalah ~ 20-40%, dan 50% diantaranya membutuhkan
pemasangan selang dada. Perdarahan dan hemoptysis jarang terjadi dan umumnya
sembuh tanpa pengobatan. (ERS/ATS, 2002)
Kebutuhan pelatihan
Tindakan TTNA seharusnya dilakukan atau dibawah supervisi seorang spesialis paru
atau spesialis radiologi yang berpengalaman. Yang sedang mengikuti pelatihan harus
terlebih dahulu berlatih pada objek latihan, dan harus telah melakukan lebih dari atau
sama dengan sepuluh tindakan TTNA yang disupervisi sebelum melakukannya sendiri.
Untuk mempertahankan kompetensi, 5-10 tindakan TTNA dalam setahun harus
dilakukan. Terapi untuk pneumotoraks harus disediakan. (ERS/ATS, 2002)
60
61
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis
Non-diagnostik Diagnostik
Biopsi bedah /
diagnosis histopatologi
Gambar. 2.19 Kerangka konsep akurasi diagnsotik TTNA dengan tuntunan USG toraks
62