Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. World Health Organization (WHO)

sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak

dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara

umum dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi

akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau

relatif dan gangguan fungsi insulin (PAPDI, 2015).

Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2,

yang ditandai adanya gangguan sekresi insulin ataupun gangguan kerja

insulin (resisten insulin) pada organ target terutama hati dan otot (PAPDI,

2015).

Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh faktor resiko yang tidak dapat

berubah misalnya jenis kelamin,umur,dan faktor genetik yang kedua adalah

faktor resiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok, tingkat

pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, konsumsi alkohol, indeks masa tubuh,

lingkar pinggang dan umur (Restiana, 2015).

.
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi alur

diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas

DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuri, polidipsi, polifagia dan berat badan

menurun tanpa sebab yang jelas (PAPDI, 2015).

Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan

onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis

ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang

terdeteksi dini.

Internasional Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa

prevalensi diabetes melitus di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM

sebagai penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia sedangkan tahun 2012

angka kejadian diabetes melitus didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa

dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi

dunia yang menderita diabetes melitus. Hampir 80% orang diabetes ada di

negara berpenghasilan rendah dan menengah. Pada tahun 2015 di Asia

Tenggara, 415 juta orang dewasa dengan diabetes, kenaikan 4 kali lipat dari

108 juta di tahun 1980an (WHO, 2015).

Pada tahun 2040 diperkirakan jumlahnya akan menjadi 642 juta. Pada

tahun 2015, Indonesia menempati peringkat ke tujuh dunia di dunia untuk

prevalensi penderita diabetes tertinggi di dunia bersama dengan China, India,

Amerika Serikat, Brazil, Rusia dan Meksiko dengan jumlah estimasi orang

dengan diabetes sebesar 10 juta. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun

2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%

(WHO, 2015)
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulisan tertarik untuk

meneliti gambaran karakteristik diabetes melitus.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran karakteristik pasien rawat jalan diabetes melitus

tipe 2 di Puskesmas Koya Barat pada tahun 2016?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien rawat jalan

diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat pada tahun 2016.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien rawat jalan

diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat berdasarkan

umur.

2. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien rawat jalan

diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat berdasarkan jenis

kelamin,

3. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien rawat jalan

diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat berdasarkan gula

darah puasa.

4. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien rawat jalan

diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat berdasarkan

indeks masa tubuh.


1.4. Manfaat penelitian

a. Peneliti

Sebagai salah satu syarat kelulusan di Fakultas Kedokteran Universitas

Cenderawasih dan agar dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan.

b. Bagi institusi

Sebagai tambahan referensi mengenai gambaran karakteristik pasien

rawat jalan diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat pada tahun

2016.

c. Bagi masyarakat

Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai diabetes melitus tipe

2, sehingga masyarakat menjadi lebih tau tentang penyakit diabetes

melitus tipe 2 dan dapat melakukan tindakan pencegahan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Diabetes melitus adalah sindroma kronik gangguan metabolisme

karbohidrat, protein, dan lemak akibat insufisiensi sekresi insulin atau

resistensi insulin pada jaringan yang dituju. Terdapat dalam dua bentuk utama

yaitu diabetes melitus tipe satu dan tipe dua, yang berbeda etiologi, patologi,

gnetik, usia, onset, dan terapinya (Dorland, 2014).

Diabetes melitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh

berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap

insulin. Diabetes melitus tipe II disebabkan oleh penurunan sensitivitas

jaringan target terhadap efek metabolik insulin. Penurunan sensitivitas

terhadap insulin ini sering kali disebut sebagai resistansi insulin (Guyton,

2012).

Diabetes melitus disebabkan oleh kekurangan insulin yang bersifat absolut

atau relatif, dan diantara beberapa akibatnya menyebabkan peningkatan

konsentrasi glukosa plasma (Patofisiologi Stefan Sibernagl, 2012).

2.2 Etiologi
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan

klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi

karbohidrat (Price&Wilson, 2012).

Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-

macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya

mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya

memengang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus.

Diabtes melitus tipe 2 ditandai dengan puncak onset usia antara usia 50

dan 60 tahun, onset yang bertahap dengan beberapa geajala gangguan

metabolik (glukosuria dan kinsekuesinya (Dorland, 2014).

2.3 Klasifikasi

Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) 2017

membagi DM menjadi 4 tipe, yaitu:

a. DM Tipe 1

DM Tipe 1 adalah keadaan dimana pankreas penderita DM tidak

mampu memproduksi insulin sehingga penderita membutuhkan suntik

insulin atau terapi insulin secara berkesinambungan. DM tipe 1

merupakan penyakit autoimun yang disebabkan oleh gangguan sistem

imun yang mengakibatkan kerusakan sel pankreas.

b. DM Tipe 2

DM tipe 2 adalah diabetes yang penyebabnya bisa karena resistensi

insulin atau defek fungsi sekresi sel beta pankreas yang menyebabkan

defisiensi insulin.
c. DM Tipe Lain

Merupakan hasil dari sindrom genetik, pembedahan, obat-obatan,

malnutrisi, infeksi, atau akibat penyakit lainnya, bentuk dari DM tipe lain

adalah defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit

eksokrin pankreas, gangguan endokrin karena obat atau zat kimia, infeksi,

sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan

DM.

d. DM Gestasional

Merupakan intoleransi glukosa yang terjadi pertama kali pada orang

hamil diakibatkan kombinasi resistensi insulin dengan defek sekresi

insulin.

2.4 Faktor Resiko Diabetes Melitus

Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi dari pada laki-laki. Wanita

lebih berisiko mengidap DM karena secara fisik wanita memiliki peluang

peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar

pada tahun 2008, menunjukkan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai

57%, pada tahun 2012 angka kejadian DM didunia adalah sebanyak 371 juta

jiwa, dimana proporsi kejadian DM tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia

yang menderita DM dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita DM tipe 1.

Menurut International Diabetes Federation (IDF) 2015, faktor risiko yang

berhubungan dengan DM tipe 2 sebagai berikut :

1. Riwayat keluarga diabetes.


DM tipe 2 dapat diturunkan dari keluarga yang juga mengalami

diabetes, karena kelainan gen yang menyebabkan tubuhnya tidak dapat

menghasilkan insulin dengan baik. Faktor pola makan orang tua juga

dapat beresiko terhadap keturunannya karena akan selalu diikuti oleh

keturunannya selama masih tinggal serumah.

2. Obesitas.

Stres kronik yang cenderung membuat seseorang mencari makanan

yang manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar

serotonin otak. Serotonin memiliki efek penenang sementara untuk

menurunkan stress, tetapi gula dan lemak yang berlebih yang dikonsumsi

berakibat fatal dan beresiko tinggi terjadinya DM tipe 2.

3. Faktor Usia.

DM sering muncul pada usia lanjut terutama setelah usia 45 tahun

terutama dengan berat badan lebih karena umumnya manusia mengaami

perubahan fisiologis yang menurun dengan cepat setelah usia lebih dari

40 tahun.

4. Riwayat diabetes karena kehamilan

5. Kekurangan nutrisi saat kehamilan

6. Waktu tidur

Waktu tidur <6 jam beresiko tinggi terkena DM tipe 2 karena

mengganggu keseimbangan hormon yang mengatur asupan makanan dan

keseimbangan energi.
2.5 Patofisiologis DM

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan kerusakan fungsi sel beta pankreas

dan resistensi insulin, atau oleh menurunnya pengambilan glukosa oleh

jaringan sebagai respon terhadap insulin. Kadar insulin dapat normal, turun

atau meningkat tapi sekresi insulin terganggu dengan tingkat hiperglikemi

(PABDI, 2015).

Sebagian besar pasien diabetes melitus tipe II memiliki berat badan

berlebih. Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan yang

terlalu banyak, dan aktivitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan

antara suplai dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi asam lemak

dalam darah. Hal ini selanjutnya akan menurunkan penggunaan glukosa di

otot dan jaringan lemak. Akibatnya terjadi resistensi insulin yang memaksa

untuk meningkatkan pelepasan insulin. Akibatnya regulasi menurun pada

reseptor, resistensi insulin semakin meningkat (PABDI, 2015).

2.6 Gejala Klinis

Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan

menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya

lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur (PABDI, 2015).

2.7 Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi gula darah.

Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang

diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan

yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan

bahan darah plasma vena (PABDI, 2015).

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji

diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM,

sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka

yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM (PABDI, 2015). Berikut ini

kriteria diagnosis DM :

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl. Glukosa

plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari

tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa >126 mg/dl. Puasa diartikan

pasien tidak mednapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dl. TTGO dilakukan

dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan

75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

Cara pelaksanaan TTGO menurut WHO (1994) adalah sebagai berikut :

a) Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulia malam hari) sebelum pemeriksaan,

minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

b) Diperiksa konsentrasi gula darah puasa

c) Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-

anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.
d) Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk

pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai

e) Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

f) Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan

tidak merokok.

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi

menjadi 3 yaitu :

a. <140mg/dl = normal

b. 140-<120mg/dl = toleransi glukosa terganggu

c. >200mg/dl = diabetes

Tabel 2 1. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes

HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma


puasa (mg/dL) 2 jam setelah
TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal < 5,7 < 100 < 140
Sumber : PERKENI (2015)

2.8 Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup

penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi (PERKENI, 2015) :

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki

kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.

2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas

penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.


3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa

darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan

pasien secara komprehensif. Sebagai berikut:

2.8.1 langkah-langkah Penatalaksanaan Umum

1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:

a. Riwayat Penyakit

1) Gejala yang dialami oleh pasien.

2) Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap

glukosa darah.

3) Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit

jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga

(termasuk penyakit DM dan endokrin lain).

4) Riwayat penyakit dan pengobatan.

5) Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status

ekonomi.

b. Pemeriksaan Fisik

1) Pengukuran tinggi dan berat badan.

2) Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar

tiroid, paru dan jantung

3) Pemeriksaan kaki secara komprehensif

c. Evaluasi Laboratorium

HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada

pasien yang mencapai sasaran terapi dan yang memiliki


kendali glikemik stabil. dan 4 kali dalam 1 tahun pada pasien

dengan perubahan terapi atau yang tidak mencapai sasaran

terapi. Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.

d. Penapisan Komplikasi

Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap

penderita yang baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan:

1) Profil lipid dan kreatinin serum.

2) Urinalisis dan albumin urin kuantitatif.

3) Foto sinar-X dada

4) Funduskopi dilatasi dan pemeriksaan mata secara

komprehensif oleh dokter spesialis mata atau optometris.

5) Pemeriksaan kaki secara komprehensif setiap tahun untuk

mengenali faktor risiko prediksi ulkus dan amputasi:

inspeksi, denyut pembuluh darah kaki, tes monofilamen 10

g, dan Ankle Brachial Index (ABI).

2.8.2 Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus

Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, dan bila

perlu dilakukan intervensi farmakologis dengan obat

antihiperglikemia secara oral atau suntikan.

1. Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu

dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan

bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik.


2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai

pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,

terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa

darah atau insulin.

3. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur

(3-5 hari seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150

menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari

berturut-turut. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan

jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70%

denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai,

jogging, dan berenang.

4. Intervensi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan

makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi

farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

a. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi

menjadi 5 golongan:

1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea

dan Glinid
a) Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi

insulin oleh sel beta pankreas.

b) Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan

sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi

insulin fase pertama. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia

post prandial. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin:

Metformin dan Tiazolidindion (TZD)

2) Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi

glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan

glukosa perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada

sebagian besar kasus DMT2.

3) Tiazolidindion (TZD)

merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated

Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti termasuk di sel

otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek

menurunkan resistensi insulin dengan jumlah protein

pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa

di perifer. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan

gagal jantung (NYHA FC IIIIV) karena dapat memperberat

edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan


bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat

yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

4) Penghambat Absorpsi Glukosa

Penghambat Glukosidase Alfa Obat ini bekerja dengan

memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga

mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah

makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan bila

GFR ≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat,

irritable bowel syndrome.

5) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja

enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap

dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas

GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan

sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose

dependent).

6) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat

antidiabetes oral jenis baru yang menghambat reabsorpsi

glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat

transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini

antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,

Ipragliflozin.
Tabel 1. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

Efek Samping Penurunan


Golongan Obat Cara Kerja Utama Utama A HbA1c
BB naik
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi insulin hipoglikemia 1,0-2,0%

BB naik
Glinid Meningkatkan sekresi insulin hipoglikemia 0,5-1,5%

Menekan produksi glukosa hati & Dispepsia, diare,


Metformin menambah sensitifitas terhadap insulin asidosis laktat 1,0-2,0%

Penghambat Flatulen, tinja


Alfa-Glukosidase Menghambat absorpsi glukosa lembek 0,5-0,8%

Tiazolidindion Menambah sensitifitas terhadap insulin Edema 0,5-1,4%


Penghambat Meningkatkan sekresi insulin,
DPP-IV menghambat sekresi glukagon Sebah, muntah 0,5-0,8%

Penghambat Nenghambat reabsorpsi glukosa di tubuli


SGLT-2 distal ginjal ISK 0,5-0,9%

b. Obat Antihiperglikemia Suntik

1) Insulin

Tabel 2. Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja

Puncak Lama
Efek Kemasan
Jenis Insulin Awitan (onset)
Kerja

Kerja Cepat (Rapid-Acting) (Insulin Analog)


Insulin Lispro
(Humalog®) Pen/cartridge
Insulin Aspart
5-15 menit 1- 2 jam 4-6 jam Pen, vial
(Novorapid®)
Insulin Glulisin Pen
(Apidra®)
Kerja Pendek (Short-Acting) (Insulin Manusia, Insulin Reguler )
Humulin® R Vial,
Actrapid® 6-8 jam
30-60 menit 2-4 jam
Sansulin® pen/cartridge

Kerja Menengah (Intermediate-Acting) (Insulin Manusia, NPH)


Humulin N® Vial,
Insulatard® 8-12 jam
1,5–4 jam 4-10 jam
Insuman Basal® pen/cartridge

Kerja Panjang (Long-Acting) (Insulin Analog)


Insulin Glargine
(Lantus®) Hampir tanpa 12-24 jam Pen
1–3jam
Insulin Detemir puncak
(Levemir®)
Kerja Ultra Panjang (Ultra Long-Acting) (Insulin Analog)
Sampai 48
Hampir tanpa
Degludec (Tresiba®)* 30-60 menit
puncak jam

Campuran (Premixed) (Insulin Manusia)


70/30 Humulin® (70%
NPH, 30% reguler) 30-60 menit
70/30 Mixtard® (70% 3–12jam
NPH, 30% reguler)
Campuran (Premixed, Insulin Analog)
75/25 Humalogmix®
(75% protamin lispro, 12-30 menit 1-4 jam
25% lispro)
70/30 Novomix® (70%
protamine aspart, 30%
aspart)

NPH:neutral protamine Hagedorn; NPL:neutral protamine lispro.

Nama obat disesuaikan dengan yang tersedia di Indonesia.

(Dimodifikasi dari Mooradian et al. Ann Intern Med.

2006;145:125-34).

2) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan

pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat


bekerja sebagai perangsang pengelepasan insulin yang tidak

menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan

yang biasanya terjadi pada pengobatan insulin ataupun

sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat

badan. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini

antara lain rasa sebah dan muntah.

c. Terapi Kombinasi

Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik

secara terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet

tunggal, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme

kerja yang berbeda.

Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa darah

yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat

antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda atau kombinasi

obat antihiperglikemia oral dengan insulin. Pada pasien yang

disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan

untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat antihiperglikemia

oral dapat menjadi pilihan.

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak

dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan

insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang),

yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Pendekatan terapi

tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah

yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.


Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang

diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis

tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan

harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari

masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal,

maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial,

serta pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan.

2.3. Kerangka Konsep

GULA
UMUR JENIS KELAMIN DARAH IMT
PUASA

DIABETES
MELITUS TIPE
II
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian yang bersifat

kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Desain penelitian ini

digunakan dengan alasan mudah dilaksanakan, ekonomis dari segi waktu dan

hasil yang diperoleh cepat (Bolly, 2014).

3.2. Identifikasi Variable Penelitian

Pengertian variabel penelitian menurut sugiono (1999) adalah sesuatu hal

yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari

sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Wiratna, 2014). Variabel yang di pergunakan dalam

penelitian ini adalah jenis kelamin, umur dan gula darah puasa.

3.3. Definisi Operasional Variable Penelitian

1. Jenis kelamin adalah identitas penderita secara biologis dan fisik yang

terbagi menjadi laki-laki dan perempuan.

a. Laki-laki

b. Perempuan

2. Umur adalah usia penderita yang terhitung dari hari lahir sampai dengan

usia saat ini. Parameter :


a. 21-30 tahun

b. 31-40 tahun

c. 41-50 tahun

d. >50 tahun

3. Kadar Gula Darah

Kadar gula darah yang menjadi patokan pada peneliti ini adalah kadar

gula darah Puasa. Kadar gula darah puasa adalah glukosa yang beredar

dalam aliran darah (puasa minimal 8 jam), berfungsi sebagai penyedia

energi bagi seluruh sel dalam jaringan tubuh. Pengukuran dilaksanakan

dengan metode enzimatik. Klasifikasi glukosa darah puasa (Perkeni,

2017).

1) Baik : 80 – 109 mg/dl

2) Sedang : 110 – 125 mg/dl

3) Buruk : ≥ 126 mg/dl

3.4. Populasi dan Sampel Penderita

3.4.1. Populasi

Menurut Wiratna (2014) populasi adalah keseluruhan jumlah

yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai karakteristik

dan kualitas tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk diteliti dan

kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh Pasien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Koya

Barat pada tahun 2016.


3.4.2. Sampel

Menurut Wiratna (2014) Sampel adalah bagian dari sejumlah

karakteristik yang dimiliki oleh populasi yang digunakan untuk

penelitian. Sampel dalam penelitian ini adalah Pasien diabetes

mellitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat pada tahun 2016.

3.5. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah total

sampling. Menurut Sugiyono (2014) total sampling adalah teknik penetuan

sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Pada

penelitian ini semua Pasien diabetes melitus tipe 2 yang tercatat di buku

register Puskesmas Koya Barat pada tahun 2016 diambil menjadi sampel.

3.6. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder.

Menurut sugiyono (2014) data sekunder adalah penelitian yang diperoleh

peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat

oleh pihak lain). Pada penelitian ini data diambil dari buku register

Puskesmas Koya Barat pada tahun 2016.

3.7. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat.

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2010). Analisis data


dilakukan dengan memasukan data dalam tabel sesuai dengan variable yang

diteliti dan dihitung presentasenya dengan rumus berikut:

𝐹
𝑃= × 100%
𝑁

Dimana :

P : Persentase yang dicari

F : Frekuensi

N : Jumlah sampel

3.8. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian harus mendapatkan izin dari pihak Fakultas

Kedokteran Universitas Cenderawasih dan pihak Puskesmas Koya Barat.

Prinsip etika yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Tanpa nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasian, nama yang tercantumkan di Puskesma

Koya Barat tidak di tampilkan oleh peneliti.

2. Kerahasiaan (Confidentiality)

Data yang telah dikumpulkan di Puskesmas Koya Barat hendaknya

bersifat rahasia dan data kelompok tertentu saja yang akan disajikan

atau dilaporkan sebagai hasil penelitian.


3.9. Alur Penelitian

Penetapan judul Survei data awal Pembuatan proposal

Pengolahan data Pengambilan Perizinan


data

Pembahasan Penyajian hasil


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan di Puskesmas Koya Barat. Waktu pengambilan data.

4.2. Hasil Penelitian

Populasi pada penelitian ini berjumlah 38 orang yang diagnosis sebagai

pasien Diabetes Melitus tipe II di Puskesmas Koya Barat Periode Januari –

Desember 2017.

4.2.1 Berdasarkan Umur

Berdasarkan umur pasien diabetes melitus tipe II didapatkan distribusi

pasien diabetes melitus tipe II seperti pada tabel 4.1.

Tabel 4.1.1 Distribusi Pasien Diabetes Melitus Berdasarkan Usia

No Umur Frekuensi Presentase (%)


1 21-30 1 2.63
2 31-40 0 0
3 41-50 5 13.15
4 >50 32 84.21
TOTAL 38 100

Dari tabel 4.1. menunjukan pengelompokan sampel penelitian berdasarkan usia,

dimana pasien DM tipe II yang paling tinggi pada usia >50 tahun yaitu sebanyak

32 orang (84.21%). Sedangkan pada pasien DM tipe II yang paling rendah pada

usia 21-30 tahun yaitu sebanyak 1 orang (2.63%).


4.2.2. Bedasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin pasien, didapatkan distribusi pasien DM tipe II

seperti pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Distribusi Pasien DM tipe II Berdasarkan Jenis Kelamin.

No Jenis Kelamin Frekuensi Presentase (%)


1 Laki-laki 11 28.94
2 Perempuan 27 71.05
TOTAL 38 100

Dari tabel 4.2. menunjukan pengelompokan sampel penelitian berdasarkan jenis

kelamin, dimana pasien DM tipe II yang paling tinggi adalah perempuan yaitu

sebanyak 27 orang (71.05%). Sedangkan pasien DM tipe II yang paling rendah

adalah laki-laki yaitu sebanyak 11 orang (28.94%).

4.2.3. Berdasarkan Gula Daarah Puasa

Berdasarkan gula darah puasa pasien, didapatkan distribusi pasien DM tipe

II seperti pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Distribusi Pasien DM Tipe II Berdasarkan Gula Darah Puasa.

No Gula Darah Puasa Frekuensi Presentase (%)


1 Baik 7 18.42
2 Sedang 3 7.89
3 Buruk 28 73.68
TOTAL 38 100

Dari tabel 4.3. menunjukan pengelompokan sampel penelitian berdasarkan gula

darah puasa, dimana pasien dengan gula darah puasa yang paling buruk adalah 28
orang (73.68%). Sedangkan pasien dengan gula darah puasa yang paling baik

adalah sebanyak 7 orang (18.42%).

4.2.4. Berdasarkan Indeks Masa Tubuh

Berdasarkan faktor IMT pasien didapatkan distribusi pasien DM tipe II

seperti pada tabel 4.4.

No IMT Frekuensi Presentase (%)


1 Berat badan kurang 1 2.63
2 Normal 10 26.31
3 Berat badan lebih 5 13.15
4 Obesitas I 15 39.47
5 Obesitas II 7 18.42
TOTAL 38 100

Dari tabel 4.4. menunjukan pengelompokan sampel penelitian berdasarkan IMT,

dimana pasien DM tipe II yang paling tinggi adalah obesitas I sebanyak 15 orang

(39.47%). Sedangkan pasien dengan DM tipe II terendah adalah berat badan

kurang, sebanyak 1 orang (2.63%).

4.3 Pembahasan

Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data

rekam medik pasien yang telah diagnosis DM tipe II di Pukesmas Koya Barat

Periode Januari-Desember 2017.

4.3.1. Berdasarkan Umur

Berdasarkan hasil data (tabel 4.1) pasien DM tipe II lebih banyak

ditemukan pada umur >50 tahun 32 orang (84.21%). Sedangkan pada pasien DM

tipe II yang paling rendah pada usia 21-30 tahun yaitu sebanyak 1 orang (2.63%).
Penelitian ini sesuai dengan Trisnawati dalam Desy. L (2016). Usia >40 tahun

adalah usia yang berisiko terkena DM tipe II dikarenakan adanya intoleransi

glukosa dan proses penuaan yang menyebabkan kurangnya sel beta pankreas

dalam memproduksi insulin.

Anda mungkin juga menyukai