Anda di halaman 1dari 28

IBD dan Hubungannya dengan Kanker Kolorektal: Tinjauan

Pustaka
1. Pendahuluan

Penyakit radang usus (IBD) adalah sekelompok kondisi idiopatik,

termasuk kolitis ulseratif (UC) dan penyakit Crohn (CD), yang disebabkan oleh

interaksi antara faktor lingkungan dan faktor yang terkait dengan pasien yang

menghasilkan respons imun yang tidak teratur pada usus besar dan kecil.

Sementara kerusakan pada UC terbatas pada mukosa kolon, pada CD

kerusakannya transmural serta melibatkan segmen apa pun dari sistem

pencernaan mulai dari mulut hingga area perianal (Hodson, 2016).

Tingkat peradangan yang berulang dan remisi yang persisten pada IBD

bertanggung jawab atas sebagian besar komplikasinya, termasuk di antaranya

kanker kolorektal (CRC), salah satu komplikasi yang paling dikhawatirkan

(Annese et al., 2015). CRC terkait IBD diketahui muncul dari jalur karsinogenik

yang melibatkan peradangan kronis. Secara global, CRC merupakan bentuk

keganasan dengan prevalensi tertinggi ketiga dan yang kedua dalam hal angka

kematian (mortalitas). Insidensi CRC telah meningkat secara stabil di seluruh

dunia selama 40 tahun terakhir [6]. Hal ini memberikan beban serius baik bagi

pasien maupun sistem kesehatan nasional, karena merupakan penyebab utama

disability-adjusted life-years (DALYs) yang disebabkan oleh kanker, dan

bertanggung jawab atas pembengkakan beban biaya langsung dan tidak

langsung di negara-negara maju dan berkembang (GBD, 2022).

Pada pasien yang terkena UC dan CD, risiko kematian yang bekaitan

dengan CRC tampaknya telah menurun dari waktu ke waktu. Strategi monitoring

yang baik, terapi yang efektif, dan indikasi kolektomi yang tepat berpengaruh

terhadap peningkatan ini (Jess et al., 2013). Meskipun demikian, pasien dengan

IBD yang terkena CRC memiliki tingkat kelangsungan hidup 5 tahun (5-year

survival) yang lebih rendah daripada populasi umum (Bray et al., 2018).
Diperlukan strategi pencegahan berbasis bukti yang kuat untuk mengurangi

beban keganasan. Tinjauan Pustaka ini dibuat untuk mengetahui persebaran

prevalensi, pathogenesis, serta pencegahan yang dapat dilakukan untuk

mencegah CRC terkait IBD.

2. Epidemiologi

2.1. Epidemiologi CRC

Insiden CRC telah meningkat seiring waktu. Menurut Statistik Kanker

Global 2020, saat ini CRC merupakan bentuk keganasan yang paling sering

ketiga baik pada pria maupun wanita, dengan 1,9 juta kasus baru, sementara

secara angka kematian, CRC menempati urutan kedua dengan 935.000

kematian. Insiden CRC empat kali lebih tinggi di negara-negara maju

dibandingkan dengan negara-negara berkembang, sementara tingkat kematian

tampaknya sebanding karena tingkat kasus kematian yang lebih buruk di negara-

negara ekonomi berkembang. CRC lebih sering terjadi di Eropa, Oseania, dan

Amerika Utara, sementara insidennya cenderung rendah di sebagian besar

wilayah Afrika dan Asia (Sung et al., 2021). Kejadian CRC bertanggung jawab

atas penurunan signifikan dalam harapan hidup dan kualitas hidup. CRC

menyebabkan 24 juta disability-adjusted life-years (DALYs) secara global pada

tahun 2019, dengan tingkat standar usia DALY sebesar 295,5 (275–316) DALY

per 100.000 orang per tahun, suatu penurunan yang jelas antara tahun 1990 dan

2019 (Bray et al., 2018).

Di Indonesia, Berdasarkan Global Burden of Cancer Study (Globocan)

dari WHO tahun 2020, di Indonesia, kasus baru kanker kolorektal tercatat hingga

34.189 pasien atau 8,6% dari seluruh keganasan. Angka insidensi ini menempati

peringkat ke-4 keganasan pada pria dan perempuan. Pada laki-laki, kasus
kanker kolorektal lebih tinggi (kasus baru 21.764 pasien) daripada perempuan

(kasus baru 12.425 pasien) (WHO, 2020).

2.2. Epidemiologi IBD

Insiden dan prevalensi IBD telah meningkat dalam beberapa dekade

terakhir di seluruh dunia (. Saat ini, lebih dari satu juta individu di Amerika Serikat

dan 2,5 juta di Eropa terkena IBD, dengan prevalensi yang diperkirakan sebesar

0,5% pada populasi umum di dunia Barat (Kaplan et al., 2015). Prevalensi

tertinggi IBD dilaporkan di Eropa, dengan 505 kasus UC per 100.000 penduduk

di Norwegia dan 322 kasus CD per 100.000 penduduk di Jerman, diikuti oleh 286

kasus UC per 100.000 di Amerika Serikat dan 319 kasus CD per 100.000 di

Kanada. Penelitian terbaru telah menunjukkan peningkatan prevalensi IBD di

Amerika Selatan, Eropa Timur, Asia, dan Afrika (Ng et al., 2017).

Data epidemiologi Inflammatory Bowel Disease (IBD) di Indonesia masih

sulit ditemukan, data didapatkan berdasarkan laporan rumah sakit. Secara

umum, kejadian kolitis ulseratif lebih banyak daripada Crohn's disease.

Berdasarkan jumlah kolonoskopi pada beberapa RS Nasional, didapatkan

prevalensi IBD di RSCM dari 1541 kolonoskopi sebesar 8,3%, RSPAD Gatot

Subroto dari 532 kolonoskopi sebesar 10,15%, RS Hasan Sadikin dari 192

kolonoskopi sebesar 9,89%, RSUP Dr Sardjito dari 269 kolonoskopi sebesar

44%, RSZA Banda Aceh dari 113 kolonoskopi sebesar 4,25%, RSAB/ PengCab

PGI dari 325 kolonoskopi sebesar 5,23%, RS Syaiful Anwar dari 364 kolonoskopi

sebesar 17%, RSUD Jambi dari 86 kolonoskopi sebesar 1,16% serta RS Usada

Insani dari 166 kolonoskopi sebesar 26,5% (Konsensus IBD, 2011).


2.3. Epidemiologi CRC pada Pasien dengan IBD

Sekarang sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa pasien dengan

IBD kolon yang berkepanjangan memiliki risiko lebih tinggi untuk

mengembangkan CRC dibandingkan dengan populasi umum (Maaser et al.,

2019). Insidensinya bervariasi tergantung pada distribusi geografis, dengan

tingkat yang lebih tinggi di AS dan Inggris, dan insiden yang lebih rendah di

negara-negara Skandinavia. Tingkat insiden CRC di seluruh dunia pada CD

diperkirakan antara 19,5 dan 344,9/100.000 per tahun, dan antara 54,5 dan

543,5/100.000 per tahun pada pasien dengan UC. Rasio insidens terstandar

(SIRs) untuk mengembangkan CRC di Eropa dan di AS masing-masing adalah

1,9 dan 3,4 kali lebih tinggi pada mereka dengan CD daripada populasi umum,

sementara angka-angka ini adalah 2,4 dan 5,2 kali lebih tinggi pada pasien

dengan UC (Samadder et al., 2020). Di Asia, meskipun data terbatas, prevalensi

CRC terkait IBD lebih rendah daripada di wilayah lain. Peran asal etnis dan lokasi

geografis masih perlu diselidiki, tetapi perlu ditekankan bahwa perkiraan di atas

harus dipertimbangkan dalam konteks perbedaan ketersediaan terapi IBD,

surveilans, akses ke perawatan gastroenterology, dan pola makan. Misalnya,

akses yang lebih rendah ke perawatan medis yang lebih efektif dapat

menentukan tingkat pasien yang menjalani operasi, sehingga mengurangi

kemungkinan kanker (Zhang et al., 2015).

Selain itu, angka kematian yang terkait dengan CRC lebih tinggi pada

mereka yang terkena IBD. Secara khusus, jika dibandingkan dengan populasi

umum, tingkatnya 1,4 kali lebih tinggi baik pada pasien dengan CD maupun UC.

Dalam hal tren waktu, insiden CRC pada pasien dengan UC telah menurun

selama beberapa dekade terakhir, dari 4,29 per 1000 per tahun menjadi 1,21 per

1000 per tahun, sementara pada pasien dengan CD tampaknya stabil dari waktu
ke waktu. CRC memainkan peran dalam natural history penyakit peradangan,

karena merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pasien ini (15%

dari semua kematian pada pasien IBD), sementara CRC terkait IBD hanya

mencakup 1-2% dari semua kasus CRC pada populasi umum (Baars et al.,

2012).

Dalam membandingkan CRC sporadik dan CRC terkait IBD, terdapat

beberapa perbedaan dalam hal usia saat diagnosis, segmen kolon yang terlibat,

dan tingkat kematian. Diagnosis CRC pada mereka dengan IBD terjadi lebih awal

dalam hidup, dengan usia rata-rata saat diagnosis 50-60 tahun dibandingkan

dengan 65-75 tahun pada CRC sporadik (Baars et al., 2012). Lokalisasi IBD

yang mendasari secara langsung memengaruhi risiko perkembangan CRC. Pada

mereka dengan CD kolon, risikonya empat kali lebih tinggi daripada pada mereka

dengan keterlibatan ileum murni. Secara khusus, kolon bagian kanan adalah

segmen yang lebih sering terkena oleh CRC pada pasien ini. Penelitian terbaru

telah menunjukkan bahwa pasien yang terkena CRC terkait IBD memiliki risiko

kematian 1,2 hingga 2 kali lebih tinggi dan tingkat survival keseluruhan yang lebih

pendek dibandingkan dengan mereka yang mengalami kanker sporadik (Hrabe

et al., 2014; Exelrad et al., 2020).

Prognosis juga dipengaruhi oleh usia. Pada pasien dengan IBD yang

berusia di atas 65 tahun, tingkat kelangsungan hidup 5 tahun serupa dengan

mereka yang memiliki CRC sporadik, sedangkan pada mereka yang berusia di

bawah 50 tahun, tingkatnya jauh lebih rendah pada pasien dengan IBD daripada

pada populasi umum [35]. Meskipun begitu, risiko kematian akibat CRC pada

pasien dengan IBD tetap menurun dari waktu ke waktu (Bogach et al., 2019;

Jess et al., 2013).


3. Faktor Risiko

Untuk meningkatkan prognosis dan kualitas hidup pasien, optimalisasi

strategi pencegahan primer sangat penting. Identifikasi faktor risiko yang terlibat

dalam perkembangan CRC pada pasien dengan IBD merupakan langkah penting

dalam proses ini. Faktor risiko dapat dikategorikan menjadi faktor "terkait pasien",

seperti usia muda saat diagnosis IBD (<20 tahun), jenis kelamin pria, dan riwayat

keluarga CRC (terutama pada pasien yang berusia <50 tahun), dan faktor

"terkait penyakit", seperti perluasan kolitis dan durasinya (>10 tahun), riwayat

kolangitis sklerosis primer (PSC) secara bersamaan, dan adanya peradangan

endoskopik dan histologis (termasuk polip pasca-peradangan) (Wijnands et al.,

2021)

Secara khusus, durasi penyakit sangat memengaruhi risiko CRC baik

pada pasien dengan UC (risiko kumulatif 2%, 8%, dan 18% setelah 10, 20, dan

30 tahun durasi penyakit) maupun pada pasien dengan CD (risiko kumulatif 2,9%

pada 10 tahun setelah diagnosis). Di antara semua pasien dengan IBD, risiko

kumulatif mengembangkan CRC mencapai 1%, 2%, dan 5% setelah 10, 20, dan

lebih dari 20 tahun durasi penyakit, secara berturut-turut (Lutgens et al., 2013).

Dalam tinjauan terbaru tentang perkembangan CRC pada pasien dengan UC

displasia derajat rendah (LGD), insidens tahunan progresi menjadi CRC

dilaporkan sebesar 0,8%, dan risiko CRC lebih tinggi saat LGD dikonfirmasi oleh

ahli patologi anatomi (1,5%) (Fumery et al., 2017). Selain itu, aktivitas

peradangan pada IBD yang mendasar memainkan peran sentral dalam

perkembangan CRC, menghasilkan kerusakan DNA yang diinduksi stres

oksidatif yang dapat mengaktifkan gen yang mempromosikan tumor dan

menonaktifkan gen yang menekan tumor (Hodson et al., 2016).


4. Patogenesis

4.1. Inflamasi dan Tumorigenesis pada IBD-CRC

4.1.1. Jalur Molekular

Patogenesis molekuler IBD-CRC sangat berbeda dengan CRC sporadik.

Dengan kemajuan teknologi molekuler dalam beberapa tahun terakhir,

patofisiologi perkembangan IBD-CRC telah banyak diteliti secara ekstensif, dan

telah membawa pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme molekuler dan

identifikasi biomarker baru (Claesen et al., 2010).

Banyak regulator positif dan negatif dalam perkembangan IBD-CRC telah

diketahui yang diilustrasikan dalam Gambar 1. Proses perkembangan IBD-CRC

kemungkinan dipicu oleh instabilitas kromosom melalui jalur Wnt dam CIMP yang

menyebabkan displasia mukosa. Keterlibatan jalur-jalur ini menunjukkan bahwa

peradangan persisten memainkan peran penting dalam karsinogenesis.

Perubahan yang terjadi dalam mikrolingkungan akibat peradangan kronis diyakini

bertanggung jawab atas peningkatan risiko CRC (Claesen et al., 2010).

Proliferasi kronis yang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan lapisan epitel

(akibat peradangan yang konstan) juga meningkatkan risiko displasia (Romano

et al., 2016). Ringkasan mekanisme molekuler yang saat ini diketahui dapat

ditemukan dalam Tabel 2.


Tabel 2 Mekanisme Molekuler yang terlibat pada CRC-IBD (Majumder et al.,

2022)

Sitokin Mekanisme
Memicu inflamasi sistemik dan
merupakan salah satu sitokin yang
membentuk reaksi fase akut pada IBD
TNF-α dan penyakit inflamasi kronis lainnya
TNF-α mengatur MACC1 induksi
melalui subunit NF-κB p65 dan faktor
transkripsi c-Jun dalam sel CRC
Pada fase peradangan kronis, IL-6
mampu mengaktifkan hampir semua
sel tubuh: Peningkatan pembentukan
kompleks IL-6-sIL-6R berinteraksi
dengan gp130 pada membran sel T
CD4+ dan menyebabkan peningkatan
Keluarga Interleukin (IL) – 6 ekspresi dan translokasi nuclear
STAT3, yang menyebabkan induksi
gen anti-apoptosis, misalnya Bcl-xl.
Hal ini menyebabkan resistensi sel T
terhadap apoptosis. Ekspansi sel T
berkontribusi pada peradangan usus
kronis
IL-11 masih satu keluarga dengan
sitokin IL-6. IL-11 memiliki aktivitas
IL-11 pro-tumorigenik seperti proliferasi,
pembaharuan diri, invasi dan
angiogenesis
IL-17 IL-7 adalah sitokin yang membantu
kelangsungan hidup jangka panjang
sel Th17 dan sel limfoid bawaan yang
mengekspresikan faktor transkripsi
RORγt. Diduga penting untuk
mempertahankan populasi sel T yang
menginduksi dan menginduksi
inflamasi mukosa pada IBD. IL-7 juga
memelihara sel NKT yang
menghasilkan IL-17, menggunakan
jalur PI3K/AKT/mTOR
IL-21 memainkan peran ganda:
defisiensi IL-21 sebagai penyebab
baru IBD onset dini pada subjek
manusia yang disertai dengan defek
IL-21 pada perkembangan sel-B serta
Overproduksi IL-21: IL-21 memainkan
peran penting dalam
mempertahankan respons imun yang
merusak jaringan
Pensinyalan IL-23R memengaruhi
kerentanan terhadap penyakit.
Peningkatan produksi IL-23 oleh
IL-23 makrofag, sel dendritik, atau
granulosit telah diamati pada berbagai
model tikus kolitis, kanker terkait
kolitis, dan pasien IBD
Gambar 1 Regulator molekuler perkembangan kanker kolorektal terkait IBD

(Majumder et al., 2022)

4.1.2. Mutasi TP53 dan KRAS

Penelitian sebelumnya telah mengidentifikasi mutasi TP53 dan KRAS

pada IBD-CRC dan CRC sporadis. Namun, jalur molekuler yang mengarah pada

perkembangan karsinogenesis berbeda antara keduanya (Kanaan et al., 2012)

Studi terbaru menunjukkan bahwa mutasi TP53 dapat terdeteksi pada sekitar

70% karsinoma kolorektal sporadic. Kehilangan fungsi TP53 dapat meningkatkan

tingkat keganasan pada tahap akhir karsinogenesis. Dalam IBD-CRC, telah

dilaporkan bahwa mutasi adenomatous polyposis coli (APC) dan KRAS terjadi

dengan frekuensi yang lebih rendah dibandingkan dengan CRC sporadic

(Watanabe et al., 2019).

4.1.3. Jalur STAT3 dan IL-6/p-STAT3

Jalur transduser sinyal dan aktivator transkripsi 3 (STAT3) telah

diidentifikasi sebagai jalur penting dalam perkembangan CRC sporadis maupun

IBD-CRC (Gambar 2A). Meskipun mekanisme pastinya masih belum

sepenuhnya dipahami, dilaporkan bahwa protein pensinyalan dan aktivasi

konstitutif STAT3 yang disregulasi berperan dalam hal ini (Lin et al., 2011). Studi

oleh Corvinus dkk menunjukkan bahwa aktivasi STAT3 konstitutif yang persisten

penting dalam sel-sel CRC pada model mencit yang kemungkinan dipicu oleh IL-

6. Penelitian lain juga melaporkan bahwa aktivasi STAT3 terkait dengan invasi,

kelangsungan hidup, dan pertumbuhan sel-sel CRC pada tikus in vivo. Lin dkk

juga telah menunjukkan bahwa penghambatan IL-6/p-STAT3 (STAT3 yang

terfosforilasi) menggunakan inhibitor dapat menekan pertumbuhan sel tumor

pada model in vitro dan in vivo pada kanker usus besar (Lin et al., 2011;

Corvinus et al., 2005).


Dalam jaringan kolon manusia, sel epitel dengan ekspresi IL-6 dan p-

STAT3 positif lebih banyak terdapat pada pasien dengan kolitis aktif

dibandingkan dengan pasien UC yang tidak aktif ataupun kontrol. Selain itu,

proporsi sel yang menekan pensinyalan sitokin 3 (SOCS3) lebih rendah pada

pasien dengan lesi displastik dan CRC. Penelitian oleh Gui dkk yang

membandingkan ekspresi IL-6, STAT3, dan SOCS3 pada adenoma dari pasien

dengan IBD dan non-IBD menemukan bahwa terdapat penurunan yang

signifikan dalam ekspresi IL-6, IL6R, serta peningkatan ekspresi STAT3 dan

penurunan ekspresi SOCS3 pada lesi displastik terkait IBD (Gui et al., 2020).

Gambar 2. Jalur peradangan yang mengarah pada perkembangan kanker

kolorektal terkait IBD (Gui et al., 2020)


4.1.4. Jalur Wnt

Jalur Wnt kanonik (pensinyalan Wnt yang dimediasi oleh β-katenin)

mengatur proliferasi dan diferensiasi sel punca kolon dalam kondisi normal pada

kolon. Namun, ketika terjadi hilangnya gen APC, terjadi perpindahan β-katenin

dari membran sel ke inti sel. Hal ini menyebabkan peningkatan transkripsi gen

cyclin D1 dan c-myc, yang memicu proses karsinogenesis (Gambar 3B)

(Claessen et al., 2010). Penelitian oleh Claessen dkk melaporkan bahwa jalur

Wnt diaktifkan pada tahap awal CRC yang terkait dengan kolitis, dan ditemukan

di sekitar 50% kasus neoplasia terkait IBD. Temuan penting lainnya adalah

bahwa jalur ini juga diaktifkan di daerah sekitar displasia yang terkait dengan

IBD, yang dikenal sebagai "fileld-cacerization". Hal ini menunjukkan bahwa

estimasi β-katenin dapat digunakan sebagai biomarker untuk karsinogenesis

lapangan pada kolon, yang dapat membantu dalam deteksi dini neoplasia

selama pemeriksaan kolon. Selain itu, penelitian lain telah menunjukkan potensi

penggunaan β-katenin sebagai biomarker untuk kelangsungan hidup dan

prognosis pasien (Nazemalhosseini et al., 2015).

4.1.5. Displasia

CRC terjadi akibat serangkaian mutasi genetik yang mengubah pola

pertumbuhan normal sel, sebagai akibatnya, sel yang terkena memperoleh

keuntungan pertumbuhan dibandingkan dengan sel lain. Perubahan ini

mengakibatkan perubahan morfologi yang disebut sebagai displasia. Sejak tahun

1949, Warren dan Sommers telah menyimpulkan bahwa displasia kolorektal

dapat menjadi lesi pramaligna pada IBD, dan beberapa tahun kemudian pada

tahun 1967, kelompok lain juga melaporkan bahwa displasia berasal dari mukosa

nonpolypoid (Claessen et al., 2010).

Secara historis, lesi yang mengandung displasia disebut sebagai

dysplasia-associated lesion or mass (DALM). Namun, seiring berjalannya waktu,


diagnosis DALM menjadi rumit karena kriteria yang tidak konsisten yang

digunakan dalam menggambarkan displasia terkait IBD. Istilah DALM juga sering

salah dikaitkan dengan kolotomi. Namun, dengan kemajuan teknik visualisasi

endoskopi serat optik dan perbaikan dalam prosedur reseksi bedah lokal, definisi,

klasifikasi, dan pengelolaan displasia menjadi lebih sistematis. Pedoman

SCENIC pada tahun 2015 memberikan rekomendasi penting untuk

memstandardisasi cara menggambarkan lesi selama pengawasan. Disarankan

untuk menghindari penggunaan istilah DALM. Istilah displasia yang didefinisikan

ulang sebagai pertumbuhan abnormal sel, jaringan, atau organ yang

menyebabkan perkembangan struktur histologis atau anatomi yang abnormal,

sekarang menggantikan istilah DALM yang sebelumnya digunakan. Displasia

dikategorikan sebagai displasia derajat rendah (LGD) dan displasia derajat tinggi

(HGD) berdasarkan tingkat kelainan histologis (Gui et al., 2020).

Identifikasi perubahan displasia penting karena ini merupakan tahap

penting dalam perkembangan kanker dan dianggap sebagai prediktor kuat CRC

pada IBD. Radang usus kronis merupakan faktor risiko utama yang

menyebabkan terjadinya LGD, yang kemudian dapat berkembang menjadi HGD

dan akhirnya CRC (Gambar 3). Diketahui bahwa urutan peristiwa ini terjadi lebih

cepat pada IBD-CRC dibandingkan dengan CRC sporadis. Dalam sebuah studi

oleh de Jong dkk mereka menyelidiki risiko jangka panjang HGD dan CRC

setelah terjadinya LGD menggunakan basis data nasional yang mengidentifikasi

kohort pasien IBD yang besar. Faktor risiko untuk kemajuan neoplasia lanjut

adalah usia di atas 55 tahun pada saat deteksi LGD, jenis kelamin pria, dan

tindak lanjut di pusat rujukan IBD. Studi tersebut juga menemukan bahwa tingkat

insidensi kemajuan ke neoplasia lanjut adalah 22% setelah 15 tahun sejak

deteksi IBD (De Jong et al., 2020).


Displasia pada striktur kolon dan displasia epitel adalah faktor risiko yang

terdokumentasi dengan baik dan dianggap sebagai prekursor dari

perkembangan IBD-CRC. Dalam sebuah studi kasus-kontrol pada 53.568 pasien

IBD yang menjalani kolonoskopi, Sonnenberg dan Genta menemukan bahwa

prevalensi displasia adalah 3,22% dan 2,08% pada UC dan CD, dengan

peningkatan kecil dalam prevalensi displasia pada striktur. Prevalensi kanker

lebih tinggi pada pasien IBD dengan striktur dibandingkan yang tidak memiliki

striktur, yaitu 0,78% dan 0,11%. Sebuah analisis selama 36 tahun dari program

pengawasan kolonoskopi menemukan bahwa pada pasien dengan UC yang

menjalani kolotomi karena HGD, 46% dari mereka memiliki pertumbuhan kanker

di kolon, yang menunjukkan bahwa keberadaan HGD berkontribusi pada risiko

tinggi kanker sinkron di kolon (Lamb et al., 2019).

Secara keseluruhan, displasia adalah tahap histologis yang telah

diketahui dalam perkembangan IBD-CRC, dan deteksinya selama kolonoskopi

harus disertau manajemen yang tepat untuk mencegah perkembangan menjadi

CRC. Program pengawasan/surveilans bertujuan untuk mendeteksi dini lesi

displasia dan striktur. Pada pasien berisiko tinggi, pengawasan membantu dalam

memantau perkembangan penyakit pada pasien IBD. British Society of

Gastroenterology (BSG) merekomendasikan program kolonoskopi pengawasan

yang lebih intensif atau kolotomi setelah 5 tahun pertama deteksi LGD (Lamb et

al., 2019; Magro et al., 2017).


Gambar 3. Patofisiologi kanker kolorektal terkait IBD (Giu et al., 2020).

5. Pencegahan

Banyak pendekatan terapeutik digunakan dalam pengobatan UC dan CD.

Beberapa obat ini dapat mencegah perkembangan CRC pada pasien dengan

IBD, tidak hanya mengurangi aktivitas peradangan tetapi juga menargetkan

mekanisme yang terlibat dalam karsinogenesis (Baan et al., 2012).

5.1. Asam 5-Aminosalisilat

Selain efek antiinflamasi yang sudah dikenal, Asam 5-Aminosalisilat (5-

ASA) dapat mencegah CRC dengan berinteraksi dengan mekanisme molekuler

tertentu, misalnya, dengan menghambat aktivasi transkripsi faktor nuklear kB

(NF-kB), menurunkan ekspresi siklooksigenase-2 (COX-2), menghambat

aktivitas fosfolipase D, dan proliferasi. Empat meta-analisis telah menunjukkan

penurunan signifikan dalam kejadian CRC pada pasien dengan UC, tetapi tidak

pada pasien dengan CD. Efek Proteksi 5-ASA terutama terlihat pada dosis >1,2

g/hari (Rubin et al., 2019).

Pedoman Eropa dan Inggris saat ini merekomendasikan penggunaan

senyawa mesalamin pada pasien dengan UC untuk kemoprevensi CRC,


sementara pedoman Amerika tidak menekankan hal ini dan hanya menekankan

pentingnya pencegahan sekunder yang tepat (Torres et al., 2020).

5.2. Thiopurin

Thiopurin, yang terdiri dari azathioprine (AZA) dan mercaptopurine (MP),

digunakan untuk mengobati pasien dengan IBD dalam rangka menjaga respons

jangka panjang tanpa glukokortikoid (Torres et al., 2020). Mekanisme kerjanya

yang spesifik dalam mencegah CRC masih belum diketahui dengan pasti, tetapi

beberapa studi menunjukkan bahwa mereka dapat bekerja dengan memblokir

jalur pensinyalan TcR, yang menyebabkan apoptosis sel T, atau dengan

menghambat sintesis purin. Efek perlindungan mereka tampaknya lebih besar

pada pasien dengan colitis yang berlangsung lama (>8 tahun) dan meluas

(Gordillo et al., 2015). Namun, sebuah meta-analisis oleh Jess et al. gagal

menunjukkan efek kemopreventif baik pada UC maupun CD (Jess et al., 2014).

Sejalan dengan itu, sebuah studi kasus-kontrol tahun 2017 yang terdapat dalam

kohort CESAME menunjukkan penurunan risiko yang signifikan terhadap CRC

pada pasien dengan IBD yang menerima aminosalisilat tetapi tidak pada mereka

yang terpapar thiopurin (Carrat et al., 2017).

Pedoman Eropa saat ini tidak merekomendasikan maupun tidak

merekomendasikan kemoprevensi dengan thiopurin, sementara pedoman Inggris

dan Amerika menyarankan bahwa mereka mungkin memiliki peran dalam

pengobatan UC (Torres et al., 2020). Tidak ada kesimpulan yang pasti mengenai

peran kemopreventif thiopurin dalam CD karena keterbatasan data yang

tersedia.

5.3. Agen Anti-TNFα

Agen Anti-TNF-α secara rutin digunakan untuk menginduksi dan menjaga

remisi pada pasien dengan UC dan CD sedang hingga berat (Torres et al.,

2020). Mereka bekerja dengan mengaktifkan faktor transkripsi NF-kB, yang


menyebabkan respons imun bawaan dan respons apoptosis leukosit di lamina

propria. Dengan memperbaiki peradangan kronis yang berkepanjangan, agen

anti-TNFα dapat mengurangi displasia kolon dan karsinogenesis. Sebuah studi

terbaru oleh Alkhayyat et al. menunjukkan tingkat CRC yang lebih rendah pada

pasien yang diobati dengan anti-TNFα, dengan dan tanpa imunomodulator

(Alkhayyat et al., 2021).

Selain itu, dua studi nasional menemukan peran pelindung yang

signifikan bagi anti-TNFα dalam hal ini. Namun, seperti halnya thiopurin, studi

lain tidak menemukan hubungan antara paparan anti-TNFα dan risiko terkena

CRC pada pasien dengan IBD. Studi prospektif jangka panjang yang lebih lanjut

diperlukan untuk mendukung data ini; oleh karena itu, pedoman internasional

tidak merekomendasikan penggunaan obat anti-TNFα sebagai agen

kemoprevensi. Selain itu, data tentang efek kemoprotektif dari agen biologis

baru, seperti Vedolizumab dan Ustekinumab, masih sangat terbatas (Weimers et

al., 2021)

5.4. Asam Ursodeoxycholic (UDCA)

Data yang tersedia mengenai peran potensial UDCA dalam kemoprevensi

CRC pada pasien dengan IBD kontroversial. UDCA dapat mengurangi risiko

terjadinya CRC pada pasien dengan UC dan PSC dengan mengurangi

konsentrasi asam empedu sekunder di usus besar yang dapat bertindak sebagai

karsinogen (Pardi et al., 2003). Namun, penting untuk diketahui juga, sebuah

studi oleh Eaton dkk menunjukkan bahwa risiko terjadinya CRC lebih tinggi pada

pasien yang menerima dosis tinggi UDCA (28-30 mg/Kg) daripada pada mereka

yang mendapatkan placebo (Eaton et al., 2011).

5.5. Diet dan Perubahan Gaya Hidup

Terdapat faktor risiko yang sudah gambling bagi penyakit CRC sporadis:

merokok, mengkonsumsi alkohol, dan makan daging merah, yang dapat


menyebabkan CRC melalui mekanisme yang berbeda. Daging merah merupakan

sumber pigmen porfirin besi yang bertanggung jawab dalam induksi

karsinogenesis melalui pembentukan senyawa nitrosamin. Selain itu, daging

merah juga dapat menyebabkan aktivasi reseptor insulin dan faktor pertumbuhan

insulin-1, yang dapat menyebabkan peningkatan proliferasi sel dan penurunan

apoptosis. Selain itu, amina heterosiklik yang dihasilkan dari memasak daging

merah pada suhu tinggi juga dapat berkontribusi terhadap karsinogenesis

(Fagunwa et al., 2017).

Tidak ada diet spesifik yang terbukti memiliki peran kemoprevensi pada

pasien IBD, meskipun makanan yang kaya akan antosianin (seperti stroberi dan

black raspberry) telah terbukti memiliki efek kemoprevensi potensial (Chen et al.,

2019).

5.6. Statin

Statin rutin digunakan dalam pengobatan hiperkolesterolemia, dan

mereka bekerja dengan menghambat 3-hidroksi-3-metilglutaril-koenzim A (HMG-

CoA), yang terlibat dalam biosintesis kolesterol endogen. Selain itu, statis

tampaknya memiliki efek pleiotropik lain, seperti mengurangi peradangan dengan

berinteraksi dengan integrin LFA1, menginduksi apoptosis, dan memodulasi

angiogenesis. Potensi efek kemoprevensi mereka terhadap kejadian CRC

sporadis telah banyak dievaluasi dalam beberapa penelitian sebelumnya.

Namun, hasil yang bertentangan telah dilaporkan untuk IBD. Secara khusus,

hubungan terbalik antara kejadian IBD-associated CRC dan penggunaan statin

telah ditemukan dalam sebuah studi kohort besar yang melibatkan 11.001 pasien

dengan IBD dan sebuah studi kasus-kontrol oleh Samadder dkk (2011).

5.7. Vitamin D
Dalam beberapa tahun terakhir, minat terhadap peran potensial Vitamin D

dalam mengurangi peradangan telah semakin meningkat. 1α, 25-

dihidroksivitamin D3 {1,25-(OH) 2D3}, bentuk aktif vitamin D, memainkan peran

penting dalam menjaga homeostasis mineral. Selain efeknya yang sudah dikenal

pada tulang, vitamin D juga memiliki efek antiinflamasi dan menghambat

pertumbuhan. Asupan vitamin D dan kejadian CRC sporadis tampaknya

berhubungan secara terbalik (Davis et al., 2011). Beberapa penelitian juga

mengindikasikan hubungan antara perkembangan IBD dan polimorfisme reseptor

vitamin D (Wang et al., 2014). Studi pada manusia dan hewan menunjukkan

bahwa vitamin D dapat mencegah dan mengurangi peradangan pada kelompok

pasien ini, sehingga berpotensi memiliki peran kemoprevensi dalam IBD-

associated CRC [Meeker et al., 2014).

5.8. Mikrobiota Usus

Terdapat beberapa bakteri yang seringkali terkait dengan CRC sporadis,

seperti Escherichia coli, Streptococcus gallolyticus, Enterotoxigenic Bacteroides

fragilis, Enterococcus faecalis, dan Fusobacterium nucleatum. Karena

mikrobioma usus terkait dengan peradangan kronis pada IBD, bakteri ini dapat

berperan dalam mempertahankan karsinogenesis (Pavel et al., 2021).

Perubahan pada mikrobioma usus yang terlibat dalam patogenesis IBD

dapat memungkinkan terapi yang berbeda dengan profil toksisitas yang lebih

rendah bagi pasien, seperti agen probiotik dan prebiotik, yang dapat bertindak

sebagai imunomodulator (Pavel et al., 2021). Perubahan pada usus juga

tampaknya berperan dalam perkembangan IBD-CRC. Khususnya, E. coli

dianggap berperan dalam induksi peradangan kronis pada IBD dan IBD-

associated CRC. Lipopolisakarida yang dimilikinya meningkatkan ekspresi Toll-

like Receptor 4 (TLR4) - langkah yang diketahui dan diakui dalam tumorigenesis
IBD-CRC. E. coli juga bertanggung jawab atas over-ekspresi NF-kB, yang

merupakan kontributor peradangan dan perkembangan CRC. E. coli yang

agresif, menempel dan invasif (Colibactin equipped), lebih sering ditemukan pada

mukosa kolon pasien dengan CD dan UC. Bakteri lain, seperti Streptococcus

bovis dan Fusobacterium nucleatum, meningkat di lingkungan tumor dan dapat

meningkatkan tingkat peradangan, berkontribusi pada perkembangan IBD-

associated CRC (Pavel et al., 2021).

6. Pencegahan Sekunder

6.1. Surveilans / Pengawasan

Untuk menentukan strategi pengawasan terbaik, penting untuk

memahami waktu yang tepat untuk melakukan kolonoskopi. Waktu awal skrining

endoskopi sangatlah penting. Sebenarnya, diagnosis CRC late-diagnosed terjadi

pada 17% hingga 28% pasien ketika pengawasan dimulai. Selain itu, bahkan

ketika dimulai 8 tahun setelah diagnosis IBD, sejumlah besar kasus CRC

mungkin sudah terlewatkan. Hal ini menekankan pentingnya memulai

pengawasan, yang harus dilakukan 8 tahun setelah munculnya gejala pertama

dan bukan dari tanggal diagnosis, karena kedua momen ini bisa sangat berbeda

jaraknya pada pasien dengan IBD (Cantoro et al., 2017). Oleh karena itu,

sebagian besar pedoman internasional sekarang merekomendasikan bahwa

kolonoskopi skrining dimulai 8 tahun setelah timbulnya gejala. Aspek lain yang

perlu diperhatikan mengenai awal pengawasan adalah kemungkinan adanya

primary sclerosing cholangitis (PSC) bersamaan; jika hal ini terjadi, pengawasan

harus dimulai saat PSC didiagnosis (Shergill et al., 2015).

Interval antara kolonoskopi evaluasi harus ditentukan berdasarkan

beberapa kriteria. Pertama, aktivitas IBD yang mendasari harus diperhatikan,

karena disarankan untuk melakukan endoskopi selama periode remisi, karena


peradangan akut dapat mengganggu interpretasi displasia pada evaluasi

histologis. Setelah skrining endoskopi, penentuan waktu yang tepat untuk

pemeriksaan kontrol berikutnya harus dipandu oleh stratifikasi risiko multimodal

(Maaser et al., 2019). Secara khusus, keberadaan striktur, displasia dalam 5

tahun sebelumnya, PSC bersamaan, kolitis ekstensif dengan peradangan parah,

dan riwayat keluarga CRC pada kerabat dekat <50 tahun menempatkan pasien

dalam profil risiko tertinggi (Zhou et al., 2019). Keberadaan kolitis ekstensif

dengan peradangan ringan/sedang, polip pasca-peradangan, dan riwayat

keluarga CRC pada kerabat dekat >50 tahun merupakan karakteristik risiko

menengah, sementara sisanya masuk ke dalam kategori risiko rendah (Maaser

et al., 2019). Berdasarkan kategori risiko, interval antara kolonoskopi

pengawasan bervariasi antara 1 hingga 5 tahun di antara European scientific

societies dan antara 1 hingga 3 tahun di antara US scientific societies (Magro et

al., 2017).

7. Pencegahan Tersier

Pasien dengan IBD yang telah menjalani kolectomi untuk CRC jarang

mengembangkan lesi ganas baru di kantung ileal (hanya 1,3% setelah 20 tahun).

Karena insidensi yang rendah ini, kebutuhan pengawasan endoskopik terhadap

kantung ileal masih diperdebatkan, dan belum ada konsensus (Abraham et al.,

2016). Namun demikian, keberadaan PSC dan pouchitis kronis merupakan faktor

risiko untuk kekambuhan; oleh karena itu, pasien-pasien ini sebaiknya

dipertimbangkan untuk menjalani pengawasan tahunan terhadap kantung ileal

(Derikx et al., 2014). Belum ada studi yang ada sejauh ini mengenai penggunaan

kromoendoskopi dalam pengawasan terhadap kantung ileal.


Peran kemopreventif dalam pencegahan tersier dari CRC sporadik baru-

baru ini disarankan dalam literatur. Secara khusus, bukti adanya hubungan

antara 5-ASA dosis rendah dan peningkatan kelangsungan hidup dari CRC

semakin meningkat. Selain itu, beberapa peneliti telah memulai merancang uji

klinis acak (RCT) dengan tujuan mengevaluasi peran potensial 5-ASA (Aspirin)

dalam pencegahan tersier (Frouws et al., 2017).

8. Kesimpulan

Kanker kolorektal (CRC) yang terkait dengan IBD adalah komplikasi

serius yang perlu mendapatkan perhatian. Perkembangan strategi dalam

mengurangi risiko ini selama beberapa dekade terakhir sangat dinamis.

Meskipun pengawasan sekarang menjadi pijakan utama dalam deteksi dini

neoplasia, kunci untuk mengurangi risiko ini adalah menjaga pasien dalam

remisi. Penelitian lebih lanjut dalam mengeksplorasi jalur yang terlibat dalam

CRC akan memberikan pemahaman yang lebih baik dan potensi target

pengobatan/pencegahan baru yang dapat dieksplorasi. Perluasan penggunaan

teknik endoskopi canggih kemungkinan akan meningkatkan deteksi neoplasia

dan membantu pasien. Kecerdasan buatan (AI) memiliki potensi untuk membawa

perubahan paradigma dalam endoskopi dan pengawasan, tetapi perlu dilakukan

evaluasi yang ketat sebelum digunakan secara rutin dalam praktek klinis.

Terakhir, modulasi microbiota mungkin menjadi sesuatu yang perlu diawasi di

masa depan sebagai intervensi yang dapat diandalkan dalam proses

pencegahan IBD menjadi CRC (Maaser et al., 2019).


Daftar Pustaka

Alkhayyat, M.; Abureesh, M.; Gill, A.; Khoudari, G.; Abou Saleh, M.; Mansoor, E.;

Regueiro, M. Lower Rates of Colorectal Cancer in Patients With

Inflammatory Bowel Disease Using Anti-TNF Therapy. Inflamm. Bowel

Dis. 2021, 27, 1052–1060

Annese, V.; Beaugerie, L.; Egan, L.; Biancone, L.; Bolling, C.; Brandts, C.;

Dierickx, D.; Dummer, R.; Fiorino, G.; Gornet, J.M.; et al. European

Evidence-based Consensus: Inflammatory Bowel Disease and

Malignancies. J. Crohns Colitis. 2015, 9, 945–965

Baars, J.E.; Kuipers, E.J.; van Haastert, M.; Nicolaï, J.J.; Poen, A.C.; van der

Woude, C.J. Age at diagnosis of inflammatory bowel disease influences

early development of colorectal cancer in inflammatory bowel disease

patients: A nationwide, long-term survey. J. Gastroenterol. 2012, 47,

1308–1322.

Bogach, J.; Pond, G.; Eskicioglu, C.; Seow, H. Age-Related Survival Differences

in Patients with Inflammatory Bowel Disease-Associated Colorectal

Cancer: A Population-Based Cohort Study. Inflamm. Bowel

Dis. 2019, 14, 1957–1965.

Bray, F.; Ferlay, J.; Soerjomataram, I.; Siegel, R.L.; Torre, L.A.; Jemal, A. Global

cancer statistics 2018: Globocan estimates of incidence and mortality

worldwide for 36 cancers in 185 countries. CA Cancer J. Clin. 2018, 68,

394–424.

Claessen MM, Schipper ME, Oldenburg B, Siersema PD, Offerhaus GJ, Vleggaar

FP. WNT-pathway activation in IBD-associated colorectal


carcinogenesis: potential biomarkers for colonic surveillance. Cell

Oncol. 2010;32:303–310

Davis, C.D.; Milner, J.A. Vitamin D and colon cancer. Expert Rev. Gastroenterol.

Hepatol. 2011, 5, 67–81.

Eaton, J.E.; Silveira, M.G.; Pardi, D.S.; Sinakos, E.; Kowdley, K.V.; Luketic, V.A.;

Harrison, M.E.; McCashland, T.; Befeler, A.S.; Harnois, D.; et al. High-

dose ursodeoxycholic acid is associated with the development of

colorectal neoplasia in patients with ulcerative colitis and primary

sclerosing cholangitis. Am. J. Gastroenterol. 2011, 106, 1638–1645.

Fagunwa, I.O.; Loughrey, M.B.; Coleman, H.G. Alcohol, smoking and the risk of

premalignant and malignant colorectal neoplasms. Best Pract. Res. Clin.

Gastroenterol. 2017, 31, 561–568

Fumery, M.; Dulai, P.S.; Gupta, S.; Prokop, L.J.; Ramamoorthy, S.; Sandborn,

W.J.; Singh, S. Incidence, Risk Factors, and Outcomes of Colorectal

Cancer in Patients with Ulcerative Colitis With Low-Grade Dysplasia: A

Systematic Review and Meta-analysis. Clin. Gastroenterol.

Hepatol. 2017, 15, 665–674.

GBD 2019 Colorectal Cancer Collaborators. Global, regional, and national

burden of colorectal cancer and its risk factors, 1990–2019: A systematic

analysis for the Global Burden of Disease Study 2019. Lancet

Gastroenterol. Hepatol. 2022, 7, 627–647.

Hodson, R. Inflammatory bowel disease. Nature 2016, 540, S97

Jess, T.; Horváth-Puhó, E.; Fallingborg, J.; Rasmussen, H.H.; Jacobsen, B.A.

Cancer risk in inflammatory bowel disease according to patient


phenotype and treatment: A Danish population-based cohort study. Am.

J. Gastroenterol. 2013, 108, 1869–1876.

Lamb CA, Kennedy NA, Raine T, Hendy PA, Smith PJ, Limdi JK, Hayee B,

Lomer MCE, Parkes GC, Selinger C, Barrett KJ, Davies RJ, Bennett C,

Gittens S, Dunlop MG, Faiz O, Fraser A, Garrick V, Johnston PD,

Parkes M, Sanderson J, Terry H IBD guidelines eDelphi consensus

group, Gaya DR, Iqbal TH, Taylor SA, Smith M, Brookes M, Hansen R,

Hawthorne AB. British Society of Gastroenterology consensus

guidelines on the management of inflammatory bowel disease in

adults. Gut. 2019;68:s1–s106

Lutgens, M.W.; van Oijen, M.G.; van der Heijden, G.J.; Vleggaar, F.P.; Siersema,

P.D.; Oldenburg, B. Declining risk of colorectal cancer in inflammatory

bowel disease: An updated meta-analysis of population-based cohort

studies. Inflamm. Bowel Dis. 2013, 19, 789–799.

Maaser, C.; Sturm, A.; Vavricka, S.R.; Kucharzik, T.; Fiorino, G.; Annese, V.;

Calabrese, E.; Baumgart, D.C.; Bettenworth, D.; Borralho Nunes, P.; et

al. ECCO-ESGAR Guideline for Diagnostic Assessment in IBD Part 1:

Initial diagnosis, monitoring of known IBD, detection of complications. J.

Crohns Colitis. 2019, 1, 144–164.

Magro F, Gionchetti P, Eliakim R, Ardizzone S, Armuzzi A, Barreiro-de Acosta M,

Burisch J, Gecse KB, Hart AL, Hindryckx P, Langner C, Limdi JK, Pellino

G, Zagórowicz E, Raine T, Harbord M, Rieder F European Crohn’s and

Colitis Organisation [ECCO] Third European Evidence-based

Consensus on Diagnosis and Management of Ulcerative Colitis. Part 1:

Definitions, Diagnosis, Extra-intestinal Manifestations, Pregnancy,


Cancer Surveillance, Surgery, and Ileo-anal Pouch Disorders. J Crohns

Colitis. 2017;11:649–670.

Meeker, S.; Seamons, A.; Paik, J.; Treuting, P.M.; Brabb, T.; Grady, W.M.;

Maggio-Price, L. Increased dietary vitamin D suppresses MAPK

signaling, colitis, and colon cancer. Cancer Res. 2014, 74, 4398–4408

Ng, S.C.; Shi, H.Y.; Hamidi, N.; Underwood, F.E.; Tang, W.; Benchimol, E.I.;

Panaccione, R.; Ghosh, S.; Wu, J.C.Y.; Chan, F.K.L.; et al. Worldwide

incidence and prevalence of inflammatory bowel disease in the 21st

century: A systematic review of population-based

studies. Lancet 2017, 23, 2769–2778

Romano M, DE Francesco F, Zarantonello L, Ruffolo C, Ferraro GA, Zanus G,

Giordano A, Bassi N, Cillo U. From Inflammation to Cancer in

Inflammatory Bowel Disease: Molecular Perspectives. Anticancer

Res. 2016;36:1447–1460

Samadder, N.J.; Valentine, J.F.; Guthery, S.; Singh, H.; Bernstein, C.N.;

Leighton, J.A.; Wan, Y.; Wong, J.; Boucher, K.; Pappas, L.; et al. Family

History Associates with Increased Risk of Colorectal Cancer in Patients

with Inflammatory Bowel Diseases. Clin. Gastroenterol.

Hepatol. 2019, 17, 1807–1813.

Sung, H.; Ferlay, J.; Siegel, R.L.; Laversanne, M.; Soerjomataram, I.; Jemal, A.;

Bray, F. Global Cancer Statistics 2020: Globocan Estimates of Incidence

and Mortality Worldwide for 36 Cancers in 185 Countries. CA Cancer J.

Clin. 2021, 71, 209–249


Wang, L.; Wang, Z.T.; Hu, J.J.; Fan, R.; Zhou, J.; Zhong, J. Polymorphisms of the

vitamin D receptor gene and the risk of inflammatory bowel disease: A

meta-analysis. Genet Mol. Res. 2014, 13, 2598–2610.

Weimers, P.; Ankersen, D.V.; Løkkegaard, E.C.L.; Burisch, J.; Munkholm, P.

Occurrence of Colorectal Cancer and the Influence of Medical Treatment

in Patients with Inflammatory Bowel Disease: A Danish Nationwide

Cohort Study, 1997 to 2015. Inflamm. Bowel Dis. 2021, 27, 1795–1803.

Wijnands, A.M.; de Jong, M.E.; Lutgens, M.W.M.D.; Hoentjen, F.; Elias, S.G.;

Oldenburg, B.; Dutch Initiative on Crohn and Colitis (ICC). Prognostic

Factors for Advanced Colorectal Neoplasia in Inflammatory Bowel

Disease: Systematic Review and Meta-

analysis. Gastroenterology 2021, 160, 1584–1598.

Anda mungkin juga menyukai