Anda di halaman 1dari 27

BAB II.

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kanker Kolorektal

2.1.1. Definisi

Kanker Kolorektal (KKR) adalah keganasan yang berasal dari lapisan

mukosa jaringan epitel usus besar, terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus

besar) dan rektum (bagian terakhir dari usus besar sebelum anus) yang dapat

menyebar luas menembus lapisan usus atau ketempat lain (Basir, et al., 2017;

Hamilton, et al., 2010). Usus besar berfungsi menyerap air dan garam dari sisa

bahan makanan setelah melewati usus kecil (usus halus). Sisa makanan yang

tertinggal setelah melewati usus besar masuk ke rektum, yang memiliki panjang 6

inci dan merupakan bagian terakhir dari sistem pencernaan (Reedy, 2017; Basir, et

al., 2017)

Dinding kolon dan rektum terdiri dari beberapa lapisan. Kanker kolorektal

dimulai di lapisan paling dalam (mukosa) dan bisa tumbuh keluar melalui

beberapa atau semua lapisan lainnya. Saat sel kanker berada di dinding, mereka

kemudian bisa tumbuh menjadi pembuluh darah atau pembuluh getah bening

(saluran kecil yang membawa limbah dan cairan). Dari sana, mereka bisa

melakukan perjalanan ke kelenjar getah bening terdekat atau ke bagian tubuh yang

jauh. Oleh karena terdapat beberapa persamaan maka kedua organ tersebut sering

disebut Kanker Kolorektal (Reedy, 2017; Basir, et al., 2014).

7
8

Sebagian besar KKR dimulai dari benjolan yang disebut polip pada lapisan

dalam usus besar atau rektum. Beberapa jenis polip dapat berubah menjadi kanker

selama beberapa tahun, namun tidak semua polip menjadi kanker.Berdasarkan

data WHO lebih dari 90% dari KKR adalah Adenocarcinoma. (Reedy, 2017;

Basir, et al., 2014; Hamilton, et al., 2010)

2.1.2. Epidemiologi

Diseluruh dunia KKR merupakan urutan ketiga terbanyak setelah kanker

paru dan kanker payudara (1360 dari 100.000 penduduk [9,7%]) dan menduduki

peringkat keempat sebagai penyebab kematian (694 dari 100.000 penduduk

[8,5%]) (Basir, et al., 2014). Berdasarkan WHO jenis Histopatologi KKR

terbanyak adalah jenis Adenocarcinoma lebih dari 90% kasus. Kanker Kolorektal

berdasarkan basis data GLOBOCAN 2012 adalah kanker kedua setelah kanker

payudara (9,2% dari 614.000 kasus) pada wanita, dan ketiga pada pria setelah

kanker paru dan kanker prostat (10% dari 746.000 kasus). Hampir 55% kasus

muncul di Negara berkembang (Ferlay, et al., 2012; Navarro, et al., 2017;

Hamilton, et al., 2010)

Kanker Kolorektal merupakan penyebab kematian terbanyak di Amerika

Serikat pada akhir tahun 1940 dan awal tahun 1950. Pada Saat ini, KKR

menempati urutan ketiga penyebab kematian terbesar di Amerika Serikat.Secara

keseluruhan risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal adalah 1 dari 20 orang

(5%). (Siegel, et al., 2014; Benson, et al., 2017; Miller D, et al., 2016).
9

Awalnya angka kejadian tertinggi banyak di Negara maju atau Negara

industry seperti Eropa, Asutralia, New Zealand, America Utara dan Jepang (40-60

kasus per 100.000 penduduk). Berdasarkan data dari WHO Negara di ASIA

menunjukkan kenaikkan angka bermakna terhadap kejadian KKR terutama

didaerah China, Jepan, Korea dan Singapura. Tetapi tidak untuk beberapa Negara

seperti Indonesia, Thailand, Vietnam dan India diakarenakan registrasi yang

belum memadai. Dalam Studi multinasional perbedaan tersebut dapat juga

disebabkan oleh perbedaan kultur etnik yang ada. Seperti insiden di Negera

Malaysia dan India lebih tinggi dibandingkan Negara China dan

Singapura.Kenaikkan angka tersebut ditengarai karena perubahan pola hidup

kebarat-baratan (Westernised). (Young, et al., 2014; Goh, et al., 2005)

Pada tahun 2005 dikatakan KKR di Negara ASIA diperkirakan lebih

jarang terjadi pada orang Asia dibandingkan dengan ras Kaukasia. Walau

demikian, studi terkini dari Jepang dan Korea telah menunjukkan bukan hanya

laju insiden yang tinggi tetapi juga peningkatan tren dalam populasi (Goh, et al.,

2005) (Young, et al., 2014). Pada tahun 2014, tidak banyak perbedaan antara Ras

Asia dan Ras Kukasia. Hanya saja terdapat perbedaan dalam lokasi tumor, dimana

pada Ras Asia 30% pada proximal, 57% distal dan 13% adalah sinkronis. Pada

Ras Kukasia (Barat) 49% proximal, 49% distal dan 2% sinkronis. (Goh, et al.,

2005; Young, et al., 2014)

Prevalensi penyakit KKR di Indonesia, secara keseluruhan memiliki

besaran 1,4 per seribu penduduk atau mencapai 330.000 orang. Mengacu pada

hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, posisi tertinggi terdapat di


10

Yogyakarta sebesar 4,1%, diikuti Jawa Tengah 2,1%, Bali 2%, dan DKI Jakarta

serta Bengkulu masing-masing 1,9%. (Adnam, 2012; Basir, et al., 2017; Djuwita,

et al., 2015)

Dari data Globocan 2012, insiden KKR di Indonesia sendiri adalah 12,8

per 100.000 penduduk usia dewasa, dengan mortalitas 9,5% dari seluruh kasus

kanker. Secara keseluruhan KKR menempati urutan ke 3 setelah kanker paru dan

payudara. Sedangkan pada laki-laki urutan ketiga setelah kanker paru dan prostat,

sedangkan pada perempuan urutan ke 2 setelah kanker payudara (Basir, et al.,

2017; Abdullah, et al., 2012).

Berdasarkan perkiraan jumlah penderita kanker, Provinsi Jawa Tengah dan

Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan penderita kanker terbanyak yaitu

sekitar 68.638 orang dan 61.230 orang. Prevalensi kanker di Provinsi Bali sekitar

2.0% dengan perkiraan jumlah penduduk sekitar 8.279 orang. Kanker kolorektal

termasuk 5 besar dari jenis kanker dengan insiden dan penyebab kematian

tertinggi (Djuwita, et al., 2015; Ferlay, et al., 2012)

Angka kejadian KKR meningkat seiring pertambahan usia. Carcinoma

seharusnya jarang pada usia dibawah 40 tahun, kecuali individu memiliki faktor

predisposisi seperti keturunan dan seringnya mengalami infeksi pencernaan.

Tingkat kanker rektum sekitar 50% lebih tinggi dan tingkat kanker kolon sekitar

20% lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita. Rasio kanker kolon ke

rektum lebih tinggi pada populasi dengan tingkat insidensi tinggi dibandingkan

pada populasi dengan insidensi rendah (Hamilton, et al., 2010).


11

Pada tahun 2016, dilakukan penelitian deskriptif KKR di RSUP Sanglah,

Denpasar dan didapatkan 456 kasus kanker kolorektal mulai tahun 2011-2015.

Pada laki-laki prevalensi kanker kolorektal lebih sering terjadi (57%) dari pada

perempuan (42%). Kelompok usia dengan frekuensi paling tinggi adalah di atas

60 tahun (34%) dengan keluhan yang paling sering ditemui, yakni pada 180 kasus

(40%) adalah perubahan pola defekasi. Lokasi tumor paling sering adalah rektum

(56%) dengan frekuensi tertinggi tipe histopatolgi adalah Adenokarsinoma NOS

(89%). (Djuwita, et al., 2015; Hamilton, et al., 2010; Qanita & Sriwidyani, 2016)

2.2. Sejarah Platelet dan Hubungannya dengan Kanker

Pertama diketahui hubungan antara tumor dan perubahan darah adalah

sekitar 1000 SM oleh ahli bedah India, Sushrut. Dalam teks Sanskerta tentang

operasi, Sushruta Samhita. Teks ini menggambarkan enam tipe utama tumor.

Dalam salah satu bagian "Raktaja arbuda" digambarkan sebagai tumor yang

memasuki darah, menempel dan menyempitkan pembuluh darah. Baru setelah

Armand Trousseau pada tahun 1865, seorang Spesialis Penyakit Dalam dari

Perancis, dalam penelitiannya "Phlegmasia alba dolens", yaitu Latin untuk

"radang kaki putih" atau "kaki susu – White Milk" karena kekurangan darah di

ekstremitas disebabkan oleh Trombus Vena Dalam (DVT - deep vein thrombosis),

bahwa kondisi ini dikaitkan dengan kanker. (David G, et al., 2014)

Penemuan Trousseau menjelaskan pertama tentang penyebaran DVT dan

faktot pembekuan sebagai indikator prognosis dari "kanker tersembunyi

dikedalaman - Deep seated concealed cancer" yang terkait berhubungan dengan


12

kanker ganas pada waktu itu kenker lambung. Hal tersebut didasarkan pada

serangkaian subyek penelitian termasuk salah satu rekannya. Ironisnya, pada

1Januari 1867, Trousseau terserang sindrom flebitis yang sekarang menyandang

namanya di ekstremitas kiri atas dan dikenal sebagai Sindrom Trousseau.

Mengatakan kepada muridnya, Peter "Saya tersesat, Penyakit flebitis yang muncul

bagiku tidak diragukan lagi tentang sifat penyakitku"(“I am lost, the phlebitis that

has just appeared leaves me no doubt about the nature of my illness”) dengan

demikian Armand meramalkan dirinya sendiri tentang penyakit kanker lambung

dan menyebabkan kematiannya beberapa bulan kemudian. Sehingga waktu itu,

Armand belum dapat berspekulasi secara pasti mengenai mekanisme yang

mendasari pembekuan darah pada kanker ganas (David G, et al., 2014; Mitrugno,

et al., 2015)

Pada tahun 1882, Bizzozero pertama kali menunjukkan bahwa platelet

darah atau trombosit, menempel pada pembuluh darah yang rusak dan

berhipotesis bahwa komponen darah ini memainkan peranan dalam haemostasis

dan kejadian trombosis. Selanjutnya, Riess melaporkan hubungan antara

trombositosis (didefinisikan sebagai jumlah trombosit> 400x109 / L dari seluruh

darah) dan kematian sel kanker. (Mitrugno, et al., 2015)

Kemudian pada tahun 1900, Osler dan McCrae, melaporkan adanya

hubungan antara idiopatik flebitis dengan kanker lambung. Sindrom Trousseau

diterima secara luas pada tahun 1938 setelah sebuah penelitian oleh Sproul, di

mana dia melakukan 4.258 otopsi pada pasien dengan karsinoma. Dia menemukan
13

beberapa trombosis terkait dengan 31,3% kasus karsinoma pada pancreas bagian

badan dan ekor, dan 9,7% di bagian kepala pankreas dibandingkan bagian kanker

lainnya. Selama beberapa dekade berikutnya, pelaporan dengan thrombophlebitis

ditemukan berhubungan dengan kanker lainnya dalam pelaporan kohort kasus

kanker lainnya. Beberapa penelitian awal terkait dengan tromboflebitis dengan

karsinoma penghasil muksin. (David G, et al., 2014)

Kemudian pada tahun 1973, percobaan dari adenokarsinoma mucinous

menyebabkan koagulasi intravaskular dan kematian pada kelinci. Thromboflebitis

terkait dengan kanker sering menyebardan timbul dikumudian hari. Kemudian,

vena yang terpengaruh tidak secara konsisten menunjukkan penyebaran tumor

atau emboli tumor yang mengindikasikan bahwa keberadaan sel tidak diperlukan

untuk pembentukan trombus. Koagulasi darah dan fibrinolisis mempengaruhi

perkembangan karsinoma paru dan tumor lainnya. Pada tikus, sifat tromboplastik

dan fibrinolitik diamati dalam model tumor tikus yang di transplantasi. Penyebab

dari hiperkoagulabilitas dianggap oleh beberapa orang yang mengakibatkan

peningkatan kelengketan platelet. Analisis lain dari 14.000 pemeriksaan darah dari

pasien yang memiliki tumor yang berbeda jenis menunjukkan peningkatan yang

signifikan di atas 400.000 trombosit /mililiter. (David G, et al., 2014)

Pembentukan sel emboli-platelet tumor dan kontribusinya terhadap

pembentukan metastasis diakui pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Efek dari

trombosis pada metastasis juga dilaporkan berdasarkan pada model awal tumor di

kelinci yang ditransplantasi dari kanker model Brown-Pearce Carcinoma dan


14

model karsinoma V2. Pentingnya emboli yang mengandung sel tumor untuk

pembentukan metastasis adalah pertama dikuantifikasi menggunakan tumor

transplantasi pada tikus. Agregasi platelet yang diinduksi sel tumor (TCIPA -

Tumor cell-induced platelet aggregation) penemuan yang sangat penting untuk

pembentukan agregat heterotipik, namun dapat dihambatoleh prostaglandin yang

mencegah agregasi antiplatelet. Kemudian, peran perkembangan kelompok sel

tumor yang sekarang dikenal sebagai exosom, pada agregasi platelet ditemukan

dipengaruhi oleh protease cathepsin B. (David G, et al., 2014)

Mikroskop cahaya mengungkapkan aspek-aspek tertentu interaksi sel

tumor dan platelet, tetapi detail tertentu masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Penemuan berikutnya seiring dengan adanya mikroskop elektron pemindaian dan

transmisi tertentu membantu memperjelas banyak rincian struktur bangunan

megakariosit dan platelet serta interaksi sel tumor trombosit. (David G, et al.,

2014)

Secara historis, mikroskop cahaya mengungkapkan aspek interaksi sel

tumor dan platelet. Namun, tidak sampai tahap penemuan scanning dan transmisi

mikroskop electron yang mejabarkan secara detail struktur megakariosit dan

platelet serta interaksi sel tumor dan trombosit. Tidak seperti sel kanker,

megakaryocytes secara genetik merupakan struktur yang stabil dan memiliki

fungsi dalam molekuler dan struktur biomassa untuk pembentukan trombosit

(Gambar 1). Trombosit tidak memiliki nucleus dan kapasitas untuk adaptasi

genetik. Pada dasarnya, untuk memahami system molekuler, seluler, dan system

sistemik dari megakariosit dan platelet penting memahami peran mereka dalam
15

lingkungan mikro tumor.(TME - Tumor Micro Environment) (David G, et al.,

2014)

Beberapa tahun kemudian, pengamatan awal ini ditinjau kembali dan

dikembangkan, dalam peranan potensial trombosit dalam proses metastasis, invasi

dan angiogenesiskanker. Perkembangan dan bukti-bukti yang dikumpulkan

menunjukkan pengaruh yang lebih luas terhadap trombosit pada TME daripada

hemostasis dan trombosis sederhana. Data yang menunjukkan bahwa platelet

memfasilitasi sirkulasi sel kanker untuk melintasi rintangan fisiologis dan

imunologi dan metastasis sebagai tumor padat di tempat-tempat yang lain, dimana

mereka memungkinkan suplai darah pada angiogenesis (Mitrugno, et al., 2015;

David G, et al., 2014).

2.3. Etiologi dan faktor resiko Kanker Kolorektal

Penyebab KKR masih belum diketahui pasti. Namun, sejumlah faktor

risiko genetik (tidak dapat dikontrol) dan faktor lingkungan (dapat dikontrol)

dinilai berhubungan erat dengan perkembangan KKR. Dari data skrining dan

sudut padandang klinis, telah membantu mengelompokkan individu menjadi tiga

kategori risiko, yaitu: individu dengan risiko rata-rata, individu dengan

peningkatan risiko, individu dengan risiko tinggi. Pembagian ini berbasis pada

penelitian genetik pada pasien KKR sebagaimana tercermin dalam sejarah

individu dan faktor keturunan keluarga mereka. Risiko tinggi dan kelompok risiko

meningkat terdiri dari pasien dengan sindrom herediter yang diketahui atau
16

penyakit usus atau pasien dengan riwayat keluarga / keluarga polip dengan

kanker. (Kaiser, et al., 2013; Amersi, et al., 2005).

2.4. Prognosis Kanker Kolorektal

2.4.1. Faktor pasien pada prognosis Kanker Kolorektal

Berbagai tanda, intervensi klinis dan patologis diketahui mempengaruhi

prognosis pada pasien KKR stadium metastasis. Di antaranya adalah usia pasien,

jenis kelamin, performa status dan tingkat penyebaran penyakitnya, misalnya,

jumlah lokasi metastasis setelah diidentifikasi sebagai prognosis penting yang

berkorelasi dengan kelangsungan hidup (Ahmed, et al., 2017).

Pasien KKR memiliki berbagai ciri khas yang berhubungan dengan

prognosisnya. Selain usia dan jenis kelamin, dari beberapa penelitian

menunjukkan posisi tumor mempengaruhi prognosis walau masih kontroversi.

Dimana pada colon pars spelic menujukkan gejala obstruksi yang paling tinggi

dan mengurangi angka harapan hidup lima tahun (5 year survival). (Sjo, 2012)

Penelitian lainnya, menunjukkan lokasi tumor primer pada pasien KKR metastasis

menyebutkan beberapa perbedaan dimana tumor lokasi di bagian kanan lebih

berprognosis buruk dibandingkan yang kiri (Ahmed, et al., 2017)

Segmen proksimal dan distal dari usus besar memiliki asal embriologis

yang berbeda. Segmennya tersebut dimulai dari sekum kedua pertiga proksimal

dari kolon transversum berasal dari midgut. Segmen selanjutnya terdiri dari

sepertiga distal kolon transversum sampai anal berasal dari hindgut. Jika kita
17

menganggap kolon transversal distal sebagai batas antara kolon kanan dan kolon

kiri,kolon kanan meliputi sekum, kolon asenden, fleksura hati, dan kolon

transversum, dan kolon kiri termasuk fleksura limpa, kolon desendens dan

sigmoid. Perbedaan dalam asal embriologis epitelium kolon dari segmen

proksimal dan distal dapat menentukan perbedaan dalam kerentanan terhadap

karsinogen lingkungan dan berpengaruh terhadap prognosis. Karena berbagai

perbedaan ini, beberapa peneliti bahkan mengklaim bahwa mereka dapat dianggap

sebagai sekelompok penyakit yang berbeda dari organ yang sama. (Mik, et al.,

2017)

Pada usia dan jenis kelamin, walau masih dalam perdebadan, seiring

pertambahan usia terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien KKR.

Dan pada jenis kelamin tidak banyak perbedaan pada prognosisnya. Tetapi masih

kontoversi untuk perbedaannya. Hanya alasan umum tentang respon pengobatan,

reaksi imunologi dan pola umum lainnya yang membedakan antara laki dan

perempuan. Pada umumnya lebih banyak terjadi pada laki-laki. (Sjo, 2012)

Sedangkan berdasarkan beberapa penelitian lainnya menyatakan bahwa

pada lansia dan pada wanita tumor lebih sering berada di kolon kanan dan

berdiameter lebih besar di lokasi ini daripada di kolon kiri. Ada juga perbedaan

dalam patologi dan fitur molekuler dari tumor. Berbagai presentasi dan

karakteristik klinis metastasis jauh telah dilaporkan dan menunjukkan bahwa

metastasis tumor sisi kanan terlokalisasi terutama di lobus kanan hati tetapi ketika

tumor terletak di kolon kiri maka metastasis hati sering menempati kedua lobus

hati. Alasan perbedaan ini tidak sepenuhnya dipahami (Mik, et al., 2017).
18

Berdasarkan lamanya gejala yang dialami pasien KKR (McDermott dkk,

1981) pernah melaporkan bahwa pasien dengan durasi gejala yang kurang dari 3

bulan memiliki angka harapan hidup terhadap kanker CSS (Cancer Specific

Survival) lebih rendah terutama pada stadium lanjut. Sedangkan dalam dua decade

terakhir tidak banyak penelitian yang membahas hal tesebut. (Sjo, 2012)

2.4.2. Faktor tumor pada prognosis Kanker Kolorektal

Prognosis Kanker Kolorektal berbeda antara pasien bergantung pada

sejumlah faktor. Saat ini, standar emas prognostic adalah stadium klinik

berdasarkan stadium TNM system (AJCC – American Joint Committee on Cancer

7th edition) (lampiran 1) (Lampiran2). Namun, prognosis juga berbeda antara

pasien walau dalam stadium TNM yang sama. Banyak klinis, histopatologis dan

penanda biomolekuler memiliki dampak pada prognosis atau outcome pasien.

(Sjo, 2012)

Faktor histopatologis berupa kedalaman pertumbuhan tumor (pT), status

kelenjar getah bening (pN) dan adanya metastasis jauh adalah faktor prognostik

independen. Ada juga korelasi kuat antara ketiga faktor tersebut. Stadium lanjut

atau metastasis pada T dikaitkan dengan penurunan hasil jangka panjang (Long

Term Outcome). Pasien dengan Tumor stadium II (pT3-4, pN0, pM0) mengalami

kekambuhan sekitar 20-30% kasus.

Pada Metastasis kelenjar getah bening pN (limfe) dikaitkan dengan

penurunan kelangsungan hidup dan prognosis memburuk dengan meningkatnya


19

jumlah KGB (Kelenjar Getah Bening). Untuk mengetahui penyebaran pada KGB

perlu ditafsirkan node yang diketahui dari total node yang diambil selama operasi

dan tergantung pengalaman serta pemeriksaan saat itu. Sedangkan tumor yang

disertai dengan metastasis jauh memiliki prognosis paling buruk (M). (Sjo, 2012)

Subtipe histologis selalu dilaporkan dengan prognosis paling baik adalah

adenokarsinoma sedangkan terburuk adalah karsinoma sel kecil (Small Cell

Carcinomas). Pada adenokarsinoma, tumor dengan musin ekstraselular lebih dari

50% volume tumor diklasifikasikan sebagai mucinous. Jenis ini adalah paling

umum pada pria dan di usus besar bagian kanan. Berdasarkan data WHO pada

tahun 2010 Adenokarsinoma merupakan jenis histopatologi KKR mencapai 90%,

sedangkan di Bali sendiri mencapai 89% pada tahun 2015 (Sjo, 2012; Hamilton,

et al., 2010; Qanita & Sriwidyani, 2016).

Berdasarkan data WHO 2010, KKR dengan Histopatology

Adenocarcinomasaja yang sebaiknya dibedakan secara Derajat Diferensiasi. Dan

dikelompokkan menjadi tinggi, sedang dan rendah, dimana jika derajat rendah

dihubungkan dengan prognosis yang buruk. Adenokarsinoma KKR biasa dinilai

secara tradisional dengan baik, sedang, buruk, dan tidak berdiferensiasi

berdasarkan persentase pembentukan kelenjar. "Undenfer-entiated

adenocarcinoma" adalah sebuah oxymoron dan "Carsinoma undifferentiated"

(grade 4) sekarang menjadi istilah eksklusi yang diperuntukkan bagi tumor epitel

maligna yang tidak menunjukkan pembentukan kelenjar, produksi musin, atau

diferensiasi neuroendokrin, squamous atau sarcomatoid. Istilah "low-grade" dan

"high-grade" sekarang disukai untuk penggunaan klinis karena perilaku yang


20

sama dari karsinoma Well Differentiated dan Moderately Differentiateddan

reproduktifitas yang lebih besar (Lmpiran 1). Penilaian morfologis tumor hanya

berlaku untuk "Adenocarcinoma, NOS". Variasi morfologis lainnya membawa

makna prognostik dan gradasi mereka sendiri. Adenokarsinoma dan karsinoma

tak terdiferensiasi yang memiliki MSI-H berperilaku sebagai kelas rendah.

(Hamilton, et al., 2010)

Sedangkan pada sistem klasifikasi residu tumor (R-classification)

mendefinisikan tingkat jaringan tumor sisapada pasien yang mengikuti reseksi,

dan didasarkan pada histopatologi, eksplorasi intraoperatif danpemeriksaan

radiologis sebelum operasi. R-stage sangat terkait dengan outcome dan

kekambuhannya (DFS Disease Free Survival). R0 mengacu padasituasi tidak

adanya jaringan tumor residu makroskopis maupun mikroskopik.R1 mengacu

pada adanya jaringan tumor mikroskopik pada margin reseksi, namun tanpa tumor

makroskopik yang tertinggal pada pasien. R2 mengacu pada tumor sisa

makroskopik setelah operasi, lokal atau jauh, ditemukan pada laparotomi atau

oleh pemeriksaan radiologis. Reseksi yang baik biasanya didefinisikan sebagai

reseksi R0, namun dalam beberapa penelitianreseksi R1 juga diperbolehkan. (Sjo,

2012)

Dari faktor biomolekuler telah banyak perkembangan penelitian intensif

mengenai efek prognostik dari keragaman penanda bio-molekuler sejak 15-20

tahun terakhir. Berbagai istilah untuk marker tersebut digunakan dalam literatur.

Sebuah perkembangan besar dalam metode laboratorium, termasuk analisis

ekspresi protein yang menggunakan mikroba jaringan, metode baru


21

untuksekuensing DNA dan RNA, dan banyak metode lainnya. Studi tentang

genom, transkrisi dan tingkat protein banyak dilakukan dengan memperoleh

bahan dari jaringan tumor primer atau Metastasis, darah, kotoran dan urin yang

dapat dianalisis (Sjo, 2012)

2.5. Peranan Lingkungan Mikro Tumor pada Kanker Kolorektal

Dalam KKR, proses replikasi multistep dari epitel kolon normal dan

akhirnya menjadi Karsinoma kolon kemudian invasif berhubungan dengan

berbagai faktor diantaranya proses inflamasi pada lingkungan mikro tumor (TME

– Tumor Micro Environment) dan biomolekuler itu sendiri. Interaksi antara sel

epitel kanker, biomolekul dan lingkungan mikro jaringan merupakan kontributor

untuk bermetastasis. Oleh karena itu penelitian terbaru mulai memusatkan

perhatian pada sifat lingkungan mikro tumor dan mekanisme dimana sel

metastasis mengeksploitasi lingkungan mikronya untuk bertahan hidup, untuk

menghindari proses kekebalan tubuh dan pertumbuhan tumur. (Bahrami, et al.,

2017; Cammarota, et al., 2010)

Lingkungan mikro tumor pada dasarnya terdiri dari sel-sel infiltrasi tumor,

pembuluh darah, matriks ekstraselular (ECM), dan matriks molukel lainnya.

Transformasi sel epitel memodulasi fungsi sel stroma dengan tujuan untuk

memfasilitasi pertumbuhan sendiri, kelangsungan hidup, invasi, dan metastasis.

(Peddareddigari, et al., 2010; David G, et al., 2014)


22

Penelitian dua dekade terakhir telah mengungkapkan bahwa komponen

dari TME termasuk sel stroma lokal, seperti fibroblas dan makrofag, serta sel

yang direkrut dari jauh seperti sel endotel, sel imun termasuk myeloid dan sel

limfoid, sel prekursor yang berasal dari sumsum tulang, dan trombosit. Sel

myeloid terkait tumor (Tumor-associated myeloid cells-TAMCs) terdiri dari lima

populasi myeloid berbeda: tumor associated makrophage (TAMs), monosit yang

mengekspresikan reseptor angiopoietin-2-Tie2 (Tie2-Ekspresi monosit ~TEMs-

Tie2-Expressing Monocytes), sel supresor myeloid yang diturunkan (MDSCs-

Myeloid-Derived Suppressor Cells), tumor associated neutrophils (TAN), dan

tumor yang berhubungan dendritik sel (Kim & Bae, 2016; Peddareddigari, et al.,

2010)

Selain TAMCs pada TME diatas, KKR memiliki kemiripan dengan

kebanyakan tumor padat lainnya, disusupi oleh sel yang seperti sel supresor

myeloid (MDSCs – myeloid derived suppressor cells), sel mast, Kanker terkait

fibroblast (CAFs –Cancer Associated Fibroblast), monosit, neutrofil, set T CD8

(Cluster of Differentiation) dan sel T CD4, sel dendritik (DC), alami sel

pembunuh (NK – Natural Killer), sel endothelial, sel endotel progenitor (EPCs –

Endothelial Progenitor Cells), trombosit, dan sel induk mesenkim (MSCs –

Mesenchymal Stem Cells) (Gambar. 1). Dua faktor penting untuk ini infiltrasi

adalah peradangan dan interaksi media yang dapat larut dan disekresikan oleh sel

tumor dan sel stroma. Setelah interaksi interaksi timbal balik antara sel epitel dan

stroma yang terjadi dapat mengalihkan lingkungan mikro dari yang normal ke
23

yang mendukung pertumbuhan tumor dan penyebaran. (Peddareddigari, et al.,

2010; Kim & Bae, 2016)

Gambar 1.Interaksi antara sel epitel dan sel stroma dalam perkembangan kanker.
(Peddareddigari, et al., 2010)

2.6. Peran Platelet pada Prognosis Kanker Kolorektal

Secara biologis platelet sangat diperlukan untuk hemostasis, integritas

vaskular, angiogenesis, inflamasi, imunitas dapatan, penyembuhan luka dan

biologi kanker. Hal yang paling utama dari platelet adalah berperan sebagai “first

responder” saat terjadinya luka” paparan dari matriks ekstraselular dan komponen

intraselular terjadi setelah perlukaan, sejumlah reseptor platelet akan mengenali

matriks protein dan akan memicu aktivasi platelet, adhesi, agregasi, dan stabilisasi

(David G, et al., 2014; Galon, et al., 2007).

Sekali aktif platelet akan berubah bentuk dan berdegranulasi untuk

melepaskan growth factor dan bioaktif lipid ke dalam aliran darah. Proses siklik
24

ini akan membawa dan mengagregasi pletelet dan mengakibatkan terjadinya

trombogenesis. Proses ini akan mengakibatkan penutupan luka atau bahkan bisa

mengenali benda pathologi yang beredar. Pada saat sel kanker masuk ke dalam

aliran darah, hal ini akan memicu pengenalan oleh mediasi platelet dan ini

diperkuat oleh reseptor permukaan sel, produk selular, faktor ekstraselular dan sel

imun, pada beberapa kasus akan menekan pengenalan imun dan mengeliminasi sel

kanker, atau bahkan mendukung terjadinya fase istirahat pada endotelium, atau

terjebak dalam mikrovaskuature dan bertahan (David G, et al., 2014;

Peddareddigari, et al., 2010).

Trombosit biasanya berhubungan dengan hemostasis. Namun, Mereka

juga memainkan peran penting dalam perbaikan jaringan dan perawatannya fungsi

endotel.Studi telah menyarankan bahwa peningkatan jumlah trombosit mungkin

terkait dengan perkembangan tumor. Pada pasien kanker, Trombosit umumnya

diaktifkan oleh trombin, dan dapat merangsang pertumbuhan sel tumor. Selain itu

mereka bisa diaktifkan oleh ADP atau dengan kontak langsung dengan molekul

permukaan membran sel tumor. Trombosit hasil aktivasi generasi thromboxane

A2 and pelepasan dari butira alfa dan butiran padat yang meliputi faktor

proangiogenik diantaranya seperti VEGF (Vascular Endhothelial Growth Factor),

PDGF (Platelet Derived Growth Factor) dan CXCL12 [(C-X-C motif chemokine

12 or stromal cell-derived factor 1 (SDF1)]. Trombosit juga berkontribusi

terhadap penyebaran kanker kolon metastasis dengan mengakumulasi dan

menyelubungi sel tumor, sehingga melindungi mereka dari clearance oleh sistem
25

kekebalan dan dengan memfasilitasi penangkapan sel tumor yang bersirkulasi dan

adhesi ke endothelium (Peddareddigari, et al., 2010; Kim & Bae, 2016).

Selain proses diatas, Sel Tumor KKR dengan hubungannya dengan

platelet akan melewati berbagai variasi dari reseptor, interaksi antara tumor sel

dan platelet dapat melibatkan type dari sel dan matriks, protein Ekstraselular

Matriks (ECM – Ecxta Cellular Matrix) yang berbeda beda yang berfungsi

sebagai perantara. Invasi sel tumor ke dalam aliran darah dapat memaparkan

matriks ekstraselular atau memicu dari ekspresi Ultralarge Von Willebrand

Factor (ULVWF) dan memicu platelet tersebut akan bergulir melalui ikatan ke

kolagen dan ikatan protein ECM lainnya atau sel endotelial lainnya. Kompleks

platelet GPIb (Glycoprotein Ib) akan mengenali ikatan vWF(Von Willebrand

Factor), disepanjang trombospodin, trombin αMβ2integrin (Integrin

αMβ2 or Macrophage Integrin or MAC-1), kininogen, faktor pembekuan XI atau

XII. Kompleks GPIb yang terdiri dari dua bagian GPIX(Glycoprotein IX),

GPIbβ(Glycoprotein Ibβ), dan GPIbα (Glycoprotein Ibα) sepanjang letak sentral

protein GPV(Glycoprotein V) (Gambar. 2) (David G, et al., 2014).

(Peddareddigari, et al., 2010)

Selanjutnya stabilisasi dari kontak adhesive dengan paparan kolagen oleh

sel tumor akan dimediasi oleh sel GPVI(Glycoprotein VI), interaksi tumor sel

dengan fibrinogen dapat juga terjadi melalui molekul adhesi intraselular-1 (ICAM-

1 –Intra Cellular Adhesion Molecule 1). Integrin heterodimer akan bertindak

sebagai perantara dengan beberapa interaksi dengan variasi protein ECM. Integrin

αIIβ3 adalah yang paling mudah berikatan dengan fibrinogen, fibrin, fibronectin,
26

fitronectin, trombospondin, dan vWF. Interaksi dengan variasi molekul kolagen

dimediasi oleh α2β1. Interaksi antara sel tumor dan permukaan sel yang

mengandung karbohidrat dapat melibatkan selektin. P selectin berikatan ke Sialyl

Lewisx atau Sialyl LewisxA. Interaksi ini juga melibatkan beberapa ikatan atau

beberapa reaksi. Terdapat Interaksi karbohidrat yang melibatkan C-type LEC

tinreceptor-2 (CLEC-2) pada platelet dan podoplanin pada sel tumor. Faktor

Ekspresi tumor dapat berikatan dengan faktor koagulasi VII atau X dan memicu

regenerasi trombin dan akan mengaktivasi PAR 1 atau 4 (Gambar. 2) (David G, et

al., 2014; Peddareddigari, et al., 2010).

Gambar.2. Sel Tumor berinteraksi dengan Platelet melalui berbagai reseptor.


(David G, et al., 2014)
27

Interaksi sel tumor dengan platelet dan faktor sirkulasi lainnya dalam

aliran cairan tubuh sangatlah kompleks. Saat pergesaran cairan meningkat dari

pusat pembuluh darah menuju dinding pembuluh darah. Prostacyclin (PGI2 –

Prostaglandin I2) yang diproduksi oleh sel endotelial akan menghambat aktivasi

platelet. Beberapa molekul yang diproduksi oleh sel tumor atau sumber lainnya

dapat mengaktifkan platelet sebagai bagian dari siklus yang ada. Stimulasi yang

terus menerus dari TxA2-12(S)-HETE-ADP-5HT (Tromboxane A2-12-

Hydoxyeicosatetraenoic Acid-Adenosin DiPhosphat-5-Hydroxytryptamine)dan

pelepasan kalsium adalah kejadian yang terjadi dalam kaskade molekul kecil.

Formasi dari ikatan vWF-GpIb akan mendukung gulungan sel atau Molekul

Ultralarge vWF, yang akan menarik platelet dan akan meningkatkan ikatannya.

(David G, et al., 2014; Peddareddigari, et al., 2010)

Di sepanjang kaskade yang sama, GPIb-GPVI mulai menstabilkan

perlekatan dan memicu αIIbβ3 dan α2β1 bersamaan dengan aktivasi lain yang

diikuti penyebaran, agregasi, dan invasi. Dalam kaskade yang sama, regenerasi

trombin meningkatkan pelapisan formasi platelet dan formasi embolus yang akan

memungkinkan sel tumor menolak cell-mediated imunity. Produk dari sel tumor

termasuk exosomes, PGE2, Tissue factor, dan faktor koagulasi sebagai pemicu

aktivasi platelet, dalam hal ini juga terjadi retraksi dari endotel pembuluh darah

berhubungan dengan invasi sel tumor (Gambar. 3) (David G, et al., 2014;

Peddareddigari, et al., 2010)


28

Gambar. 3. Komplesitas interaksi Sel Tumor dengan Platelet dan faktor sirkulasi
lainnya didalam peredaran darah (David G, et al., 2014)

Selain interaksi diatas, terdapat juga Growth Factor diantaranya PDGF,

BFGF (Basic Fibroblast Growth Factor), EGF (Epidermal Growth Factor), HGF

(Human Hepatocyte Growth Factor), IGF1 (Insulin-Like Growth Factor-1), TGFβ

(Transforming Growth Factor Beta), VEGF-A (Vascular Endhothelial Growth

Factor-A) dan VEGF-C (Vascular Endhothelial Growth Factor-C) di ekspresikan

dan di sekresi oleh α-granules selama pembentukan dari sel platelet emboli tumor

yang menstimulasi pertumbuhan sel tumor dan angiogenesis. (David G, et al.,

2014; Peddareddigari, et al., 2010)


29

2.7. Peran Limfosit pada Prognosis Kanker Kolorektal

Limfosit yang rendah dikaitkan dengan outcome yang buruk Pentingnya

limfosit telah diteliti pada beberapa penelitian. Limfosit dikaitkan dengan fungsi

sitotoksiknya. Respon yang baik bila banyak limfosit yang infiltrasi ke sel tumor

(Templeton, et al., 2014; Gu, et al., 2016). Limfosit adalah sejenis sel darah putih

yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. Ada dua jenis utama

limfosit: sel B dan sel T. Sel B menghasilkan antibodi yang digunakan untuk

menyerang bakteri, virus, dan racun yang menyerang. Sel T menghancurkan sel

tubuh sendiri yang telah diambil alih oleh virus atau menjadi kanker. (De Crecy-

Lagard, 2015)

Sistem imunitas mempengaruhi surveillance pada pasien. Antibody untuk

tumor spesifik antigen atau host antigen yang diekspresikan adalah basis dari

vaksin terhadap tumor. Mediator seperti TNF3, IFN-ıy, lymphotoxin,dan sitokin

lainnya berpotensi sebagai antitumor. Seluruh compartment limfosit pada sel

mediasi sitotoksik melawan sel tumor masih banyak diteliti.CD 8 Tsel dari sistem

imunitas hewan merupakan sistem imunitas dalam melawan tumor. Selain itu

CD8 dan CD4 T sel dikloning dan digandakan secara in vitro dan digunakan

sebagai identifikasi tumor dengan peptide spesifik.Saat ini sudah jelas bahwa CD4

Tsel dapat menjadi sitolitik. Selain itu Natural Killer (NK) juga berperan dalam

penghambatan tumor. Sel NK mampu melisikan target tanpa sensitisasi

sebelumnya. Limfosit membunuh target sel (termasuk sel tumor) dengan

memprogram apoptosis (Martinez-lostao, et al., 2018)


30

Suatu studi tentang pengukuran serum perifer CD8 yang tinggi memiliki

survival yang lebih baik dan pada penghitungan limfosit, didapatkan hasil

outcome yang lebih baik pada limfosit yang tinggi (Rana, et al., 2015; Koch, et

al., 2006). Selanjutnya, limfosit memberikan peran yang sangat diperlukan dalam

aktivitas antitumor dengan menginduksi sel tumor apoptosis dan dengan

menghambat metastasis tumor. Apalagi mereka bisa mengenali tumor antigen dan

memiliki efek respons anti tumor melalui mediasi antibodi-citotoksisitas. (Gu, et

al., 2016; Cammarota, et al., 2010)

2.8. Perbandingan Platelet dan limfosit berpengaruh pada prognosis KKR

Penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa peningkatan jumlah

trombosit berkorelasi dengan prognosis buruk pada kanker kolorektal.Bukti saat

ini juga menunjukkan bahwa limfosit rendah secara signifikan terkait dengan

tingkat OS (Overall Survival) dan DFS (Desease Free Survival) yang lebih rendah

pada KKR. Berdasarkan rasionalitas biologis, kombinasi trombosit dan limfosit

bisa terjadi lebih banyak diubah pada pasien KKR daripada masing-masing dari

mereka. (Gu, et al., 2016; Tan, et al., 2016; Lin, et al., 2017; Guo, et al., 2017)

Selanjutnya, saat trombosit meningkat dan / atau jumlah limfosit menurun,

rasionya berubah lebih signifikan. Selain itu nilai PLR merupakan penggabungan

angka trombosit dan angka limfosit, maka dapat sebagai indikator lebih stabil

status antitumor penderita kanker. Selain itu, PLR tidak sulit untuk diuji dan

melibatkan biaya tambahan, sehingga sesuai untuk diterapkan dalam pengaturan


31

klinis rutin.Oleh karena itu, PLR adalah indeks prognostik yang berguna dan

bermanfaat (Gu, et al., 2016; Tan, et al., 2016; Lin, et al., 2017; Guo, et al., 2017)

Walaupun perbandingan platelet limfosit (PLR – Platelet Lymphocyte

Ratio) masih kontroeversi, sudah banyak dilakukan meta analisis, dan pada

peneliti berpendapat biomarker PLR yang meningkat berhubungan dengan OS

(Overall Survival), DFS (Disease Free Survival) dan RFS (Reccurence Free

Survival) yang buruk juga untuk KKR. (Gu, et al., 2016) Selain itu nilai PLR yang

tinggi juga mencerminkan derajat differensisi yang buruk (poor tumor

differentiation), Stadium TNM yang metastasis (Advanced), penyebaran kelenjar

getah bening dan penyebaran kesekitar organ primer (perinural). (Gu, et al., 2016;

Tan, et al., 2016; Lin, et al., 2017; Guo, et al., 2017)

2.9. Stadium dan Derajat Diferensiasi KKR

KKR dapat dibagi menjadi 4 stage menurut system TNM (Tumor-Node-

Metastasis), yang sudah diperbaharui oleh American Joint Committee on Cancer

(AJCC) (Lampiran 2). Parameter independen meliputi kedalaman invasi tumor ke

lapisan dinding usus dengan atau tanpa penetrasi ke organ yang berlekatan atau

disekitarnya yang dilambangkan sebagai Primary Tumor (T). Tumor pimernya

kemudian dikekompokkan menjadi subtipe lagi. Bebebrapa modifikasi digunakan

untuk mengetahui metode staging (P untuk patologi, c untuk clinical, u untuk

ultrasound) dan y untuk mengindikasikan status setelah terapi neoadjuvant


32

Sedangkan untuk jumlah kelenjar nodul limfe atau kelenjar getah bening

regionalnya dilambangkan sebagai “N”. Kelenjar Getah Bening regional juga

memiliki subtipe lagi untuk menjelaskan jumlah dan seberapa jauh penyebaran

terhadap pembuluh limfe. Kemudian untuk ada atau tidaknya metastasis jauh

diberikan lambing “M” yang ada beberapa subtipe juga. (Kaiser, et al., 2013; Hari,

et al., 2012)

Sistem klasifikasi seperti system Dukes dan Astler-Coller masih banyak

digunakan tapi kebanyakan dan sudah seharusnya tidak digunakan lagi. Karena

luasnya reseksi tumor (komplit atau tidak komplit) sangat berhubungan dengan

prognosis, AJCC membuat protap tambahan untuk merefleksikan tumor residual

setelah reseksi pembedahan dengan symbol “R” (Lampiran 3). (Kaiser, et al.,

2013; Campton, et al., 2009; Hari, et al., 2012)

Grading atau Derajat Diferensiasi karsinoma kolorektal, secara

keseluruhan dinilai bedasarkan arsitektur dan sitologi (contoh pleomerfism,

hiperkromatisme dan produksi musin) tetapi derajat bentuk kelenjar secara luas

adalah paling penting dalam grading, sebagian besar sistem stratifikasi tumor

dibagi 4 dan hampir semua penelitian mendokumentasikan kekuatan prognosis

tingkat tumor menjadi 4 (Lampiran 3). (Kaiser, et al., 2013; Campton, et al., 2009;

Hari, et al., 2012).


33

Pada RSUP Sanglah sendiri mebagi menjadi tiga kemlompok, yaitu :

Derajat Diferensiai Baik (Well Differentiated) diberi angka numerik 1; Derajat

Diferensiasi Sedang (Moderately Differentiated) diberi angka numerik 2; Derajat

Diferensiasi Buruk (Poorly Differentiated) diberi angka numerik 3. Sehingga pada

penelitian ini, kami membagi Derajat Diferensiasi Kanker Kolorektal menajadi

dua, High grade untuk poorly differentiated dan Low grade untuk

Well/Moderately differentiated (Bosman, et al., 2010).

Anda mungkin juga menyukai