Anda di halaman 1dari 32

KESEHATAN REPRODUKSI

KANKER SERVIKS

Dr. Jimmy Yanuar Annas, dr., SpOG(K)

Oleh:
Vina Firmanty Mustofa
NIM. 102114153023

PROGRAM MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker serviks adalah salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di
kalangan wanita. Di seluruh dunia kanker serviks adalah peringkat keempat yang
sering terjadi keganasan pada wanita (Globocan, 2018). Di Indonesia setidaknya ada
15.000 wanita yang terinfeksi kanker serviks setiap tahunnya. 10 dari 10.000 wanita
di Indonesia terkena kanker serviks. Kanker serviks adalah kanker yang muncul dan
berkembang di leher rahim wanita. Dimana leher rahim merupakan bagian organ vital
wanita yang berfungsi sebagai pintu masuk menuju rahim dari vagina. (Kemenkes,
2019).
Menurut International Agency for Research on Cancer (IARC) dalam
Wulandari (2018), 85% dari kasus kanker di dunia, yang berjumlah sekitar 493.000
dengan 273.000 kematian, terjadi di Negara- negara berkembang. Indonesia
merupakan Negara dengan jumlah pengidap kanker serviks kedua terbesar setelah
Cina. World Health Organisation (WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2030
jumlah penderita kanker di Indonesia meningkat 75%. Berdasarkan pravalensi
penyakit kanker serviks di seluruh dunia, diperkirakan 570.000 kasus baru pada tahun
2018 dan mewakili 6,6% dari semua kanker pada wanita (Globocan, 2018). Di
Indonesia kanker serviks menempati urutan kedua setelah kanker payudara dan
didapatkan kasus baru kanker serviks sekitar 20.928 dan kematian akibat kanker
serviks dengan presentase 10,3% (WHO, 2019). Di Indonesia tahun 2015-2018 di
ketahui IVA positif sebanyak 77.969 orang dari 2.747.662 wanita yang diperiksa
(Kemenkes, 2019).
Penyebab utama dari kanker serviks yakni infeksi HPV (Human
Papillomavirus) yang berada di dalam tubuh manusia. Diketahui bahwa DNA HPV
dapat ditemukan pada 99% kasus kanker serviks di seluruh dunia (Pradipta &
Sungkar, 2007). HPV (Human Papilloma Virus) dan Herpes Simpleks Virus tipe 2
dikatakan dapat menjadi faktor penyebab terjadinya karsinoma (kanker) leher rahim.
Demikian juga sperma yang mengandung komplemen histone yang dapat bereaksi
dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel leher rahim. Sperma yang bersifat alkalis
dapat menimbulkan hiperplasia dan neoplasia sel leher rahim. Kanker leher rahim
ditandai dengan adanya pertumbuhan sel-sel pada leher Rahim yang tidak lazim
(abnormal) (Ahmad, 2020).
Kejadian kanker serviks dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor
sosio demografi yang meliputi usia, status sosial ekonomi, dan faktor aktivitas seksual
yang meliputi usia pertama kali 3 melakukan hubungan seksual, pasangan seksual
yang berganti-ganti, pasangan seksual yang tidak disirkumsisi, paritas, kurang
menjaga kebersihan genital, merokok, riwayat penyakit kelamin, riwayat keluarga
penderita kanker serviks, trauma kronis pada serviks, penggunaan pembalut dan
pantyliner, dietilstilbestrol (DES) serta penggunaan kontrasepsi oral. Adapun faktor-
faktor tersebut ada yang bisa dimodifikasi dan faktor yang tidak bisa dimodifikasi
(Kemenkes, 2019). Berdasarkan penelitian Wulandari (2016), wanita yang melakukan
hubungan seksual pertama kali pada usia. Paritas merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya kanker serviks dengan besar risiko 4,55 kali untuk terkena kanker serviks
pada wanita dengan paritas >3 dibandingkan wanita dengan paritas 3. Hal tersebut
berhubungan dengan terjadinya eversi epitel kolumner serviks selama kehamilan yang
menyebabkan dinamika baru epitel metaplastik imatur yang dapat meningkatkan
risiko transformasi sel serta trauma pada serviks sehingga memudahkan terjadi infeksi
HPV.
Apabila seorang wanita telah terinfeksi HPV (Human Papilloma Virus) dan
tidak ditangani segera, maka akan menimbulkan dampak yang cukup serius, salah
satunya dapat menyebabkan pendarahan pervaginam dan komplikasi. Pemerintah
Indonesia telah melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kanker yaitu dengan
melakukan deteksi dini kanker leher rahim pada wanita usia 30-50 tahun dengan
menggunakan metode IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat). Menurut Rasjidi (dalam
Pulungan et al., 2020), menjelaskan bahwa deteksi dini adalah usaha untuk
mengidentifikasi penyakit atau kelainan yang secara klinis belum jelas, dengan
menggunakan tes, pemeriksaan atau prosedur tertentu yang dapat digunakan secara
tepat, untuk membedakan orang yang terlihat sehat, atau benar-benar sehat tapi
sesungguhnya menderita kelainan. Deteksi dini kanker serviks bertujuan untuk
mengetahui adanya pertumbuhan sel-sel yang abnormal pada leher rahim/serviks.
Menurut Surudani & Welembuntu (2017), dalam jurnal artikelnya, mengatakan
sebanyak 80%-90% kanker serviks cenderung terjadi pada wanita yang berusia 30-55
tahun. Oleh karena itu, deteksi dini kanker serviks sangat dianjurkan untuk kelompok
PUS (Pasangan Usia Subur). Kementerian Kesehatan RI juga mengembangkan
program penemuan dini kanker pada anak, pelayanan paliatif kanker, deteksi dini
faktor risiko kanker paru, dan sistem registrasi kanker nasional (Kemenkes, 2019).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK 02.02/MENKES/389/2014 pada 17 Oktober 2014, dibentuk KPKN (Komite
Penanggulangan Kanker Nasional). KPKN (Komite Penanggulangan Kanker
Nasional) ini bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat
kanker di Indonesia dengan mewujudkan penanggulangan kanker yang terintegrasi,
melibatkan semua unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat (Pusat Data dan
Informasi, 2015).

1.2 Tujuan
1. Menjelaskan definisi kanker serviks
2. Menjelaskan epidemiologi kanker serviks
3. Menjelaskan faktor risiko kanker serviks
4. Menjelaskan patofisiologi dan patogenesis kanker serviks
5. Menjelaskan manifestasi klinis kanker serviks
6. Menjelaskan stadium pada kanker serviks
7. Menjelaskan deteksi dini dan diagnosis kanker serviks
8. Menjelaskan penatalaksanaan kanker serviks
9. Menjelaskan pencegahan kanker serviks

1.3 Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui secara teoritis pengetahuan tentang kanker serviks
mulai dari definisi hingga penatalaksanaannya.
2. Mahasiswa mampu memahami teori tentang kanker serviks yang telah dipaparkan.
3. Sebagai bahan acuan untuk menambah informasi tentang kanker serviks.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI KANKER SERVIKS


Kanker serviks (leher rahim) atau karsinoma serviks uteri adalah tumbuhnya sel-
sel abnormal pada jaringan leher rahim (serviks), di mana sel – sel permukaan (epitel)
tersebut mengalami penggandaan dan berubah menjadi sel yang abnormal (American
Cancer Society, 2013).
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks
merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan
berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum (Kemenkes,2019).
Menurut Prawirohardjo (2005) kanker serviks merupakan tumor ganas
ginekologi, yang timbul dibatas antara epitel yang melapisi ektoserviks (Porsio)
endoserviks kanalis serviks yang disebut squamo-columnar junction (SCJ).

2.2 EPIDEMIOLOGI KANKER SERVIKS


Pada tahun 2010 estimasi jumlah insiden kanker serviks adalah 454.000 kasus.
Data ini didapatkan dari registrasi kanker berdasarkan populasi, registrasi data vital,
dan data otopsi verbal dari 187 negara dari tahun 1980 sampai 2010. Per tahun insiden
dari kanker serviks meningkat 3.1% dari 378.000 kasus pada tahun 1980. Ditemukan
sekitar 200.000 kematian terkait kanker serviks, dan 46.000 diantaranya adalah wanita
usia 15-49 tahun yang hidup di negara sedang berkembang.
Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke-7 secara
global dalam segi angka kejadian (urutan ke urutan ke-6 di negara kurang berkembang)
dan urutan ke-8 sebagai penyebab kematian (menyumbangkan 3,2% mortalitas, sama
dengan angka mortalitas akibat leukemia). Kanker serviks menduduki urutan tertinggi
di negara berkembang, dan urutan ke 10 pada negara maju atau urutan ke 5 secara
global. Di Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua dari 10 kanker terbanyak
berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens sebesar 12,7%.
Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah Wanita penderita
baru kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk dan setiap tahun
terjadi 40 ribu kasus kanker serviks. Kejadian kanker serviks akan sangat
mempengaruhi hidup dari penderitanya dan keluarganya serta juga akan sangat
mempengaruhi sektor pembiayaan kesehatan oleh pemerintah. Oleh sebab itu
peningkatan upaya penanganan kanker serviks, terutama dalam bidang pencegahan dan
deteksi dini sangat diperlukan oleh setiap pihak yang terlibat (Kemenkes, 2017)

2.3 FAKTOR RISIKO KANKER SERVIKS


Penyebab kanker serviks diketahui adalah virus HPV (Human Papilloma Virus).
Adapun faktor risiko terjadinya kanker serviks antara lain: aktivitas seksual pada usia
muda (usia perkawinan), berhubungan seksual dengan multipartner, merokok,
mempunyai anak banyak, sosial ekonomi rendah, pemakaian pil KB (dengan HPV
negatif atau positif), penyakit menular seksual, dan gangguan imunitas (Kemenkes,
2017).
1. Human Papiloma Virus (HPV)
Human Papiloma Virus adalah virus yang menyebabkan penyakit menular
seksual pada manusia. Virus ini ditularkan secara seksual melalui kontak kulit dan
membran mukosa. Pada umumnya, infeksi HPV dapat diatasi oleh sistem imun
tubuh dan sembuh dengan sendirinya. Namun pada kasus tertentu, pada pasien
yang memiliki fungsi sistem imun yang tidak baik, maka HPV tidak dapat
disembuhkan, sehingga HPV dapat menyebabkan beberapa gangguan (National
Institute of Allergy and Infectious Disease, 2014).
Virus akan tetap berada pada sel epitel atau mukosa membran dari serviks,
kemudian virus ini dapat menyebabkan perubahan sifat dari sel epitel atau mukosa
membran yang disebut dengan kondisi displasia (U.S National Library of library
National Institutes of Health, 2014). Terdapat lebih dari 100 jenis Human Papiloma
Virus telah ditemukan, 40 di antaranya menginfeksi kulit pada daerah genital dan
cara transmisinya adalah melalui hubungan seksual HPV yang menginfeksi daerah
genital ini dibedakan menjadi low-risk types (lrHPV) dan high-risk types (hrHPV).
low-risk types (lrHPV) menyebabkan kutil atau yang disebut dengan condylomas,
HPV 6 dan 11 adalah HPV tipe lrHPV yang sering ditemukan pada daerah genital).
High-risk types (hrHPV) sering ditemukan pada daerah transisi vagina dan serviks,
virus ini dapat menyebabkan perubahan sel (displasia) yang dapat berkembang
menjadi sel kanker. HPV 16 dan 18 adalah tipe HPV yang sering ditemukan pada
kejadian tumor di serviks. HPV tipe 16 dan 18 merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya kanker serviks (U.S National Library of library National Institutes of
Health, 2014).
2. Usia Perkawinan
Perempuan yang melakukan hubungan seksual pertama ketika berumur kurang
dari 21 tahun memiliki risiko untuk mengalami kanker serviks lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan yang melakukan hubungan seksual pertama
ketika berumur 21 tahun ke atas, perempuan yang melakukan hubungan seksual
pertama saat berumur di bawah 17 tahun memiliki risiko paling tinggi, yaitu 2-3x
lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang melakukan hubungan seksual
pertama ketika berumur 21 ke atas (Rasjidi, 2009). Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lesi pra kanker dan
kanker serviks dengan aktivitas seksual pada usia dini, khususnya sebelum umur
16 tahun. Hal ini disebabkan karena belum matangnya daerah transformasi pada
usia tersebut bila sering terekspos (Fatimah, 2009).
3. Pola Seksual
Frekuensi hubungan seksual berpengaruh terhadap tingginya risiko pada usia
muda, tetapi tidak pada kelompok usia lebih tua. Jumlah pasangan seksual
menimbulkan konsep pria berisiko tinggi sebagai vektor yang dapat menimbulkan
infeksi yang berkaitan dengan penyakit hubungan seksual. Terdapat analisis bahwa
akan terjadi perubahan pada sel leher rahim pada wanita yang sering berganti-ganti
pasangan, penyebabnya adalah sering terendamnya sperma dengan kadar pH yang
berbeda-beda sehingga dapat mengakibatkan perubahan dari displasia menjadi
kanker (Fatimah, 2009).
4. Jumlah Paritas
Wanita dengan jumlah kehamilan sebanyak 3 atau lebih memiliki risiko lebih
tinggi menderita kanker serviks (American Cancer Society, 2016). Penyebab pasti
meningkatnya risiko kanker serviks dengan jumlah kehamilan yang tinggi belum
diketahui, Namun secara teori dijelaskan bahwa terjadi perubahan hormonal saat
kehamilan, sehingga memudahkan wanita hamil untuk terinfeksi HPV dan
berkembang menjadi kanker, serta pada saat hamil sistem imun wanita menurun
sehingga memudahkan terjadinya infeksi HPV dan berkembang menjadi kanker
(American Cancer Society, 2016).
5. Riwayat Merokok
Rokok merupakan faktor risiko terjadinya kanker secara umum pada berbagai
organ (sumber rokok). Rokok mengandung bahan-bahan karsinogen yang ketika
dihirup akan masuk ke aliran darah dan menyebar ke berbagai organ dan akan
mengganggu fungsi serta metabolisme dari sel atau organ tersebut. (Rasjidi, 2009).
Dilihat dari segi epidemiologinya, perokok aktif dan pasif berkontribusi pada
perkembangan kanker serviks yaitu 2 kali sampai 5 kali lebih besar dibandingkan
dengan yang bukan perokok. Pada wanita perokok terdapat nikotin yang bersifat
kokarsinogen di cairan serviksnya sehingga dapat mendorong terjadinya
pertumbuhan kanker (Trimble, 2005).
6. Riwayat Kanker Serviks pada Keluarga
Kanker juga dapat diturunkan secara genetik. Wanita mempunyai saudara
kandung atau ibu yang mempunyai kanker serviks, maka mempunyai kemungkinan
2-3 kali lebih besar untuk juga mempunyai kanker serviks dibandingkan dengan
orang normal. Hal ini disebabkan karena DNA sel genetik yang sama, yang retan
terhadap infeksi virus yang menyebabkan kanker.
7. Penggunaan Kontrasepsi Oral Jangka Panjang
Kontrasepsi oral dalam jangka panjang merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya kanker serviks. Namun hal ini belum dapat dipastikan karena tidak
semua penelitian menunjukkan hasil yang sama mengenai hubungan penggunaan
kontrasepsi oral (Rasjidi, 2009). Selain itu, menopause dan terapi hormon yang
didominasi progestin menyebabkan penipisan lapisan epitel skuamosa dan
produksi mukus serviks berkurang. Penelitian epidemiologik menunjukkan hormon
seks baik endogen maupun eksogen mempengaruhi risiko seorang wanita yang
terinfeksi HPV. Diketahui bahwa estrogen receptor-α menstimulasi proliferasi
traktus sistem reproduksi (Elson et al., 2000). Selain estrogen, pengaruh
progesteron pada terjadinya kanker serviks juga menjadi faktor risiko terjadinya
kanker serviks karena pada daerah squamous-columnar junction serviks uteri
terdapat reseptor progesteron (Chan et al., 1989).
Penelitian yang dilakukan oleh Chan et al pada tahun 1989 mengenai respon
progesteron dan Glucocorticoid Response Elements (GRE) terhadap HPV pada
displasia anogenital menunjukkan bahwa HPV-16 GRE menunjukkan respon
terhadap progesteron (Chan et al., 1989). Progesteron diproduksi dalam konsentrasi
yang tinggi selama kehamilan dan fase luteal siklus ovulasi.
8. Status Gizi, Sosial & Ekonomi
Peningkatan displasia ringan dan sedang berhubungan dengan defisiensi zat
gizi seperti beta karotene, vitamin A dan asam folat. Banyak mengkonsumsi
sayuran dan buah-buahan yang mengandung bahan-bahan antioksidan seperti
alpukat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, dan tomat berkhasiat
untuk mencegah terjadinya kanker. Dari beberapa penelitian melaporkan bahwa
defisiensi asam folat, vitamin C, vitamin E, dan beta karotene atau retinol
dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks, serta konsumsi makanan
yang mengandung karsinogenik seperti makanan yang dibakar, junkfood dan
banyak mengandung MSG juga akan meningkatkan risiko kanker. Pernyataan
tersebut diperkuat dengan adanya penelitian yang menunjukkan bahwa infeksi
HPV lebih prevalen pada wanita dangan tingkat pendidikan dan pendapatan yang
rendah. Adanya kaitan yang erat antara status sosial ekonomi rendah dengan status
gizi karena status gizi berhubungan dengan daya tahan tubuh baik terhadap infeksi
maupun kemampuan untuk melawan keganasan (Fatimah, 2009).
9. Status Imunitas Rendah
Status imunitas yang rendah, contohnya pada kasus HIV/AIDS merusak
sistem kekebalan tubuh dan menempatkan perempuan pada risiko tinggi untuk
infeksi HPV. Sistem kekebalan tubuh penting dalam menghancurkan sel-sel kanker
dan memperlambat pertumbuhan dan penyebaran mereka. Pada wanita dengan
HIV, pra-kanker serviks bisa berkembang menjadi kanker invasif lebih cepat dari
biasanya (Goodrich, 2007).
10. Infeksi Klamidia
Klamidia adalah jenis bakteri yang dapat menginfeksi sistem reproduksi. itu
yang ditularkan melalui hubungan seksual. Infeksi klamidia dapat menyebabkan
peradangan panggul, yang menyebabkan infertilitas. Beberapa studi menyatakan
bahwa risiko kanker serviks lebih tinggi pada wanita dengan hasil tes infeksi
klamidia positif dibandingkan dengan wanita yang memiliki hasil tes normal
(American Cancer Society, 2013).

2.4 PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS KANKER SERVIKS


Gambar. Patofisiologi Perjalanan Kanker Serviks
Perkembangan kanker invasif berawal dari terjadinya lesi neoplastic pada lapisan
epitel serviks, dimulai dari neoplasia intraepitel serviks (NIS) 1, NIS 2, NIS 3 atau
karsinoma in situ (KIS). Selanjutnya setelah menembus membran basalis akan
berkembang menjadi karsinoma mikroinvasif dan invasif. Pemeriksaan sitologi
papsmear digunakan sebagai skrining sedangkan pemeriksaan histopatologik sebagai
konfirmasi diagnostic (Kemenkes, 2017).
Karsinoma serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo-columnar
junction (SJC) atau sambungan skuamo-kolumnar (SSK), yaitu batas antara epitel yang
melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis serviks, di mana secara histologik
terjadi perubahan dari epitel ektoserviks yaitu epitel skuamosa berlapis pipih dengan
epitel endoserviks berbentuk kuboid/kolumnar pendek selapis dan bersilia. Letak SSK
dipengaruhi oleh faktor usia, aktivitas seksual, dan jumlah paritas. Pada wanita muda,
SSK berada di luar ostinum uteri eksternum, sedangkan pada wanita berusia di atas 35
tahun SSK berada di dalam kanalis serviks. Oleh karena itu pada wanita muda, SSK
rentan terhadap faktor luar berupa mutagen yang akan memicu displasia dari SSK
tersebut. Pada wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SSK terletak di ostium eksternum
karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin (American Cancer Society, 2013).
Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel serviks,
epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari
cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa
disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengarruh pH vagina yang rendah.
Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat proses
metaplasia ini, maka secara morfogenetik terdapat 2 SJC, yaitu SJC asli dan SJC baru
yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar.
Daerah di antara kedua SSK ini disebut daerah transformasi (American Cancer Society,
2013).
Pada proses karsinogenesis asam nukleat virus dapat bersatu ke dalam gen dan
DNA sel host sehingga menyebabkan terjadinya mutasi sel. Sel yang mengalami mutasi
tersebut dapat berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang
disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat dan
karsinoma in-situ dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Tingkat
displasia dan karsinoma in-situ dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker. Pada tahap
awal infeksi, sebelum menjadi kanker didahului oleh adanya lesi prakanker yang
disebut Cervical Intraepthelial Neoplasia (CIN) atau Neoplasia Intraepitel Serviks
(NIS). Lesi prakanker ini berlangsung cukup lama yaitu memakan waktu antara 10 -20
tahun. Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spekrum penyakit yang dimulai
dari CIN I (NIS I) akan berkembang menjadi CIN II (NIS II) kemudian menjadi CIN III
(NIS III) yang bila penyakit berlanjut maka akan berkembang menjadi kanker serviks.
Konsep regresi spontan serta lesi yang persiten menyatakan bahwa tidak semua lesi pra
kanker akan berkembang menjadi lesi invasif atau kanker serviks, sehingga diakui
masih banyak faktor yang mempengaruhi. CIN I (NIS I) hanya 12% saja yang
berkembang ke derajat yang lebih berat, sedangkan CIN II (NIS II) dan CIN III (NIS
III) mempunyai risiko berkembang menjadi kanker invasif bila tidak mendapatkan
penanganan.
Klasifikasi Sitologi (untuk skrining) Klasifikasi Histologi (untuk diagnosis)
PAP Sistem Bethesda NIS (neoplasia Klasifikasi
Intraepitelial Deskriptif WHO
Serviks)
Kelas I Normal Normal Normal
Kelas II ASC-US Atipik Atipik
ASC-H
Kelas III LSIL NIS 1 (termasuk Koilositosis
kondiloma)
Kelas III HSIL NIS 2 Displasia sedang
Kelas III HSIL NIS 3 Displasia berat
Kelas IV HSIL NIS 3 Karsinoma in situ
Kelas V Karsinoma invasif Karsinoma invasif Karsinoma invasif
ASC-US: atypical squamous cell of undetermined significance
ASC-H: atypical squamous cell: cannot exclude a high grade squamous epithelial
lesion
LSIL: Low-grade squamous intraepithelial lesion
HSIL: High-grade squamous intraepithelial lesion
Berikut ini adalah gambaran perkembangan sel normal dan akhirnya menjadi sel
kanker:
2.5 MANIFESTASI KLINIS KANKER SERVIKS
Pada tahap awal dan pra kanker biasanya tidak akan mengalami gejala. Gejala akan
muncul setelah kanker menjadi kanker invasif. Secara umum gejala kanker serviks
yang sering timbul (Malehere, 2019) adalah :
a. Perdarahan pervagina abnormal
Perdarahan dapat terjadi setelah berhubungan seks, perdarahan setelah menopause,
perdarahan dan bercak diantara periode menstruasi, dan periode menstruasi yang
lebih lama atau lebih banyak dari biasanya serta perdarahan setelah douching atau
setelah pemeriksaan panggul.
b. Keputihan
Cairan yang keluar mungkin mengandung darah, berbau busuk dan mungkin terjadi
antara periode menstruasi atau setelah menopause.
c. Nyeri panggul
Nyeri panggul saat berhubungan seks atau saat pemeriksaan panggul.
d. Trias
Berupa back pain, oedema tungkai dan gagal ginjal merupakan tanda kanker serviks
tahap lanjut dengan keterlibatan dinding panggul yang luas.

Gejala kanker serviks menurut (WHO, 2007) adalah sebagai berikut:


a. Periode menstruasi yang tidak teratur
b. Keputihan
c. Perdarahan pervaginam yang abnormal
d. Pendarahan vagina setelah melakukan hubungan seksual (Post-Koital Bleeding)
e. Rasa nyeri dan tidak nyaman pada vagina & pelvis serta vagina mengeluarkan
cairan yang bau
f. Lemas, letih, penurunan nafsu makan & BB
g. Edema pada kaki

2.6 STADIUM KANKER SERVIKS


Stadium kanker serviks berdasarkan klasifikasi TNM The American Joint Committee
on Cancer (AJCC) dan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO):
Stadium Karakteristik
0 Lesi belum menembus membrana basalis
I Lesi tumor masih terbatas di serviks
IA1 Lesi telah menembus membrana basalis kurang dari 3 mm dengan
diameter permukaan tumor <7mm
IA2 Lesi telah menembus membrana basalis > 3 mm tetapi <5mm dengan
diameter permukaan tumor <7mm
IB1 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer <4cm
IB2 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer >4cm
II Lesi telah keluar dari serviks (meluas ke parametrium dan sepertiga
proksimal vagina)
IIA Lesi telah meluas ke sepertiga proksimal vagina
IIB Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai dinding panggul
III Lesi telah keluar dari serviks (menyebar ke parametrium dan atau
sepertiga vagina distal)
IIIA Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal
IIIB Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding panggul
IV Lesi menyebar keluar organ genitalia
IVA Lesi meluas ke rongga panggul, dan atau menyebar ke mukosa vesika
urinaria
IVB Lesi meluas ke mukosa rektum dan atau meluas ke organ jauh

Klasifikasi histologik kanker serviks:


WHO 1975 WHO 1994
Karsinoma sel skuamosa Karsinoma sel skuamosa
 Dengan pertandukan  Dengan pertandukan
 Tipe sel besar tanpa pertandukan  Tanpa pertandukan
 Tipe sel kecil tanpa pertandukan  Tipe verukosa
Adenokarsinoma  Tipe kondilomatosa
 Tipe endoserviks  Tipe kapiler
 - Tipe endometrioid  Tipe limfoepitelioma
Karsinoadenoskuamosa Adenokarsinoma
(adenoepidermoi)  Tipe musinosa
 Karsinoma adenoid kistik  Tipe mesonefrik
 Adenokarsinoma  Tipe clear cell
 Mesonefroid  Tipe serosa
Tumor mesenkim  Tipe endometrioid
 Karsinoma tidak berdiferensiasi Karsinoadenoskuamosa
 Tumor metastasis  Karsinoma glassy cell
 Karsinoma sel kecil
 Karsinoma adenoid basal
 Tumor karsinoid
 Karsinoma adenoid kistik
Tumor mesenkim
 Karsinoma tidak berdiferensiasi
Dari seluruh jenis kanker serviks di atas jenis skuamosa merupakan jenis yang
paling sering ditemukan, yaitu ± 90%; adenokarsinoma 5%; sedang jenis lainnya 5%.
Karsinoma skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari
skuamosa dengan pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang tumor sendiri dari selsel
yang berdiferensiasi buruk atau dari sel-sel yang disebut small cell, berbentuk
kumparan atau kecil serta bulat dan batas tumor stroma tidak jelas. Sel ini berasal dari
sel basal atau reserved cell. Sedang adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang
berasal dari epitel torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang mengeluarkan
mukus.

TNM FIGO TEMUAN GAMBARAN SERVIKS


Kategori Stadium PATOLOGIS
TX Tumor primer tidak
dapat dinilai
Tidak ada bukti
T0 adanya tumor
primer

Tis Carcinoma in situ


T1 I Kanker terbatas
pada serviks uteri

Kanker hanya dapat


didiagnosis dengan
pemeriksaan mikroskop ;
T1a IA kedalaman invasi kanker
maksimal 5.0
mm diukur dari dasar
epitelium dan lebar
maksimal 7.0 mm;
keterlibatan vaskular dan
limfatik tidak
memengaruhi klasifikasi

Invasi kanker dengan


T1a1 IA1 kedalaman ≤ 3.0 mm dan
lebar ≤ 7.0 mm

Invasi kanker dengan


kedalaman > 3.0 mm dan
T1a2 IA2 ≤ 5.0 mm dengan lebar ≤
7.0 mm
Gambar. Kanker serviks stadium IA1
dan IA2 (National Cancer Institute,
2015)
Invasi kanker dapat
dilihat pada pemeriksaan
klinis serviks uteri atau
pada pemeriksaan
menggunakan mikroskop
T1b IB ukuran invasi kanker
lebih besar daripada
T1a/IA2

Invasi kanker dapat


dilihat pada pemeriksaan
T1b1 IB1 klinis serviks uteri
dengan ukuran ≤ 4.0 cm

Invasi kanker dapat Gambar. Kanker serviks stadium IB1


dilihat pada pemeriksaan dan IB2 (National Cancer Institute,
T1b2 IB2 klinis serviks uteri 2015)
dengan ukuran > 4.0 cm
Kanker telah
T2 II menyebar, namun
tidak sampai ke
dinding pelvis atau
satu pertiga bagian
bawah vagina

T2a IIA Tumor tanpa invasi


pada parametrium

Invasi kanker dapat


dilihat pada pemeriksaan
T2a1 IIA1 klinis dengan ukuran
≤ 4.0 cm
Invasi kanker dapat
dilihat pada pemeriksaan
T2a2 IIA2 klinis dengan ukuran
> 4.0 cm

Tumor dengan invasi Gambar. Kanker serviks stadium IIA1-


T2b IIB pada parametrium IIA2 dan IIB (National Cancer Institute,
2015)

Tumor mencapai satu


pertiga bawah vagina
dan/atau menyebabkan
T3 III hidronefrosis atau
tidak berfungsinya
ginjal
Tumor mencapai satu
pertiga bawah vagina,
T3a IIIA namun belum mencapai
dinding pelvis

Gambar. Kanker serviks


stadium IIIA (National Cancer Institute,
2015)

Tumor mencapai satu


pertiga bawah vagina
dan dinding pelvis
T3b IIIB dan/atau menyebabkan
hidronefrosis atau tidak
berfungsinya ginjal

Gambar. Kanker serviks stadium IIIB


(National Cancer Institute, 2015)

Tumor menginvasi
mukosa kandung
kemih, rektum
dan/atau mencapai
T4 IV pelvis minor (edema
bulosa tidak cukup
untuk
mengklasifikasikan
tumor sebagai T4)

Tumor menginvasi
mukosa kandung
T4a IVA kemih atau rektum
(edema bulosa tidak
cukup untuk
mengklasifikasikan
tumor sebagai T4)

Gambar. Kanker serviks stadium IIIB


(National Cancer Institute, 2015)
Invasi tumor
T4b IVB mencapai pelvis
minor

Gambar. Kanker serviks


stadium IVB (National Cancer
Institute, 2015)
KelenjarGetah Bening Regional (N)

Kelenjar getah bening


NX regional tidak dapat dinilai

Tidak ada metastasis ke kelenjar getah


N0 bening regional

N1 Metastasis kelenjar
getah bening regional

Metastasis Jauh (M)

M0 Tidak ada metastasis


jauh
Metastasis jauh (persebaran pada
peritoneum; keterlibatan supraklavikular,
M1 mediastinum, atau kelenjar getah bening
para-aorta; dan paru,
liver, atau tulang)

2.7 DETEKSI DINI DAN DIAGNOSIS KANKER SERVIKS


A. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinik.
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya, lesi prakanker belum memberikan gejala. Bila telah
menjadi kanker invasif, gejalan yang paling umum adalah perdarahan (contact
bleeding, perdarahan saat berhubungan intim) dan keputihan. Pada stadium
lanjut, gejala dapat berkembang mejladi nyeri pinggang atau perut bagian
bawah karena desakan tumor di daerah pelvik ke arah lateral sampai obstruksi
ureter, bahkan sampai oligo atau anuria. Gejala lanjutan bisa terjadi sesuai
dengan infiltrasi tumor ke organ yang terkena, misalnya: fistula vesikovaginal,
fistula rektovaginal, edema tungkai.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan klinik ini meliputi inspeksi, kolposkopi, biopsi serviks,
sistoskopi, rektoskopi, USG, BNO -IVP, foto toraks dan bone scan, CT scan
atau MRI, PET scan. Kecurigaan metastasis ke kandung kemih atau rektum
harus dikonfirmasi dengan biopsi dan histologik. Konisasi dan amputasi serviks
dianggap sebagai pemeriksaan klinik. Khusus pemeriksaan sistoskopi dan
rektoskopi dilakukan hanya pada kasus dengan stadium IB2 atau lebih.
Stadium kanker serviks didasarkan atas pemeriksaan klinik oleh karena itu
pemeriksaan harus cermat kalau perlu dilakukan dalam narkose. Stadium klinik
ini tidak berubah bila kemudian ada penemuan baru. Kalau ada keraguan dalam
penentuan maka dipilih stadium yang lebih rendah.
B. Diagnosis Banding
1. Adenokarsinoma Endometrial
2. Polip Endoservikal
3. Chlamydia trachomatis atau Infeksi menular seksual lainnya pada wanita
dengan:
- Keluhan perdarahan vagina, duh vagina serosanguinosa, nyeri pelvis
- Serviks yang meradang dan rapuh (mudah berdarah, terutama setelah
berhubungan seksual).
C. Deteksi Dini
Tes untuk kanker serviks biasanya dilakukan sebagai bagian dari program
skrining kesehatan reproduksi atau pelayanan kesehatan primer. Sehingga perlu
ditanyakan riwayat singkat kesehatan reproduksinya antara lain: Riwayat
menstruasi, Pola perdarahan (mis. paska koitus atau mens tidak teratur), Paritas,
Usia pertama kali berhubungan seksual, Penggunaan alat kontrasepsi.

Deteksi lesi pra kanker terdiri dari berbagai metode:


1. Papsmear (konvensional atau liquid-base cytology/LBC),
Papanicolaou (Pap) Smear adalah tes yang digunakan untuk skrining
kanker serviks. Pemeriksaan pap smear dilakukan dengan mengambil sampel
sel epitel pada permukaan serviks menggunakan spatula atau brush khusus (U.S
National Library of library National Institutes of Health, 2015). Sampel yang
telah diambil kemudian diwarnai dengan pewarnaan khusus, kemudian
diperiksa di bawah mikroskop untuk menentukan adanya ketidak normalan sel
epitel serviks atau tidak. Apabila terdapat ketidaknormalan sel epitel, hasil
pemeriksaan pap smear ini juga bisa diinterpretasikan lebih lanjut untuk
mengetahui tingkat ketidaknormalannya, mulai dari displasia hingga kanker
(Rasjidi, 2009).

Gambar. Pemeriksaan Pap Smear

2. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA),


Tes visual dengan menggunakan larutan asam cuka (asam asetat 3-5%) dan
larutan iodium lugol pada serviks dan melihat perubahan warna yang terjadi
setelah dilakukan olesan. Tujuannya untuk melihat adanya sel yang mengalami
dysplasia sebagai salah satu metode skrining kanker serviks.
Klasifikasi IVA Temuan Klinis
Hasil Tes-Positif Plak putih yang tebal atau epitel acetowhite, biasanya
dekat SSK
Hasil Tes-Negatif Permukaan polos dan halus, berwarna merah jambu,
ektropion, polip, servisitis, inflamasi, Nabothian cysts.
Kanker Massa mirip kembang kol atau bisul
Tes IVA dapat dilakukan kapan saja dalam siklus menstruasi, termasuk saat
menstruasi, pada masa kehamilan dan saat asuhan nifas atau paska keguguran.
Untuk masing-masing hasil akan diberikan beberapa instruksi baik yang
sederhana untuk pasien (mis. kunjungan ulang untuk tes IVA setiap 5 tahun)
atau isu-isu khusus yang harus dibahas bersama, seperti kapan dan dimana
pengobatan yang diberikan, risiko potensial dan manfaat pengobatan, dan kapan
perlu merujuk untuk tes tambahan atau pengobatan yang lebih lanjut. (Laras,
2009)
Yang disarankan untuk menjalani tes IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat),
adalah:
a) Menjalani tes kanker atau pra kanker dianjurkan bagi semua perempuan
berusia 30-50 tahun. Kanker leher rahim menempati angka tertinggi di
antara perempuan berusia 40 dan 50 tahun, sehingga tes harus dilakukan
pada usia dimana lesi pra kanker lebih mungkin terdeteksi, biasanya 10
sampai 20 tahun lebih awal.
b) Sejumlah risiko yang berhubungan dengan perkembangan kanker leher
rahim dan mungkin prekusornya. Faktor-faktor risiko diantaranya sebagai
berikut : usia muda saat pertama kali melakukan hubungan seksual (usia <
20 tahun), memiliki banyak pasangan seksual, riwayat pernah mengalami
Infeksi Menular Seksual (IMS), seperti klamidia, gonorrhea, dan khususnya
HIV (Human Papilloma Virus)/AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome), ibu atau saudara perempuan yang memiliki kanker leher rahim,
hasil pap sebelumnya yang tak normal dan merorok.
3. Inspeksi Visual Lugoliodin (VILI),
Inspeksi visual lugolidodin atau juga dikenal sebagai tes Schiller adalah
alternatf pemeriksaan deteksi dini kanker serviks yang hampir mirip dengan
IVA. Bedanya, VILI ini menggunakan lugol iodin sebagai usapan serviks.
4. Test DNA HPV (genotyping/hybrid capture)
Pemeriksaan HPV DNA adalah prosedur pemeriksaan yang dilakukan pada
wanita untuk mendeteksi infeksi HPV (human papilloma virus) tipe risiko
tinggi. Infeksi HPV tipe risiko tinggi dapat memicu perubahan dalam sel serviks
dan dapat berubah menjadi kanker serviks atau jenis kanker lainnya, seperti
vagina dan anus.
Pemeriksaan HPV DNA dilakukan dengan memeriksa materi genetik
(DNA) HPV pada sel serviks. Prosedur pemeriksaan ini hanya untuk
mendeteksi tipe HPV yang berisiko tinggi dan tidak digunakan untuk
mendiagnosis gangguan kesehatan yang disebabkan tipe HPV berisiko rendah,
seperti kutil kelamin.
Pemeriksaan HPV DNA memiliki tujuan yang sama dengan prosedur pap
smear, yaitu mendeteksi adanya kanker serviks secara dini. Pemeriksaan HPV
DNA dapat dilakukan bersama pap smear sebagai pemeriksaan penyaring
kanker serviks. Pemeriksaan HPV DNA sebaiknya dilakukan secara rutin setiap
3-5 tahun sekali.
D. Algoritma
Gambar. Algoritma Diagnosis Deteksi Dini dan Tata Laksana (Program Skrining)

Gambar. Algoritma deteksi dini (program skrining) dengan Tes IVA


2.8 PENATALAKSANAAN KANKER SERVIKS
A. Tatalaksana Lesi Prakanker
Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang ada.
Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat
dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes
IVA dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program,
yaitu bila didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan
pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah
terlatih.
Pada skrining dengan Papsmear, temuan hasil abnormal direkomendasikan
untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi. Bila diperlukan maka
dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter Procedure (LEEP) atau
Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ) untuk kepentingan
diagnostik maupun sekaligus terapeutik. Bila hasil elektrokauter tidak mencapai
bebas batas sayatan, maka bisa dilanjutkan dengan tindakan konisasi atau
histerektomi total (Kemenkes, 2017).
Temuan abnormal hasil setelah dilakukan kolposkopi :
1. LSIL (low grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan
observasi 1 tahun.
2. HSIL (high grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan
observasi 6 bulan.

Berbagai metode terapi lesi prakanker serviks:


1. Terapi NIS dengan Destruksi Lokal
Beberapa metode terapi destruksi lokal antara lain: krioterapi dengan N2O dan
CO2, elektrokauter, elektrokoagulasi, dan laser. Metode tersebut ditujukan
untuk destruksi lokal lapisan epitel serviks dengan kelainan lesi prakanker yang
kemudian pada fase penyembuhan berikutnya akan digantikan dengan epitel
skuamosa yang baru.
a. Krioterapi
Krioterapi digunakan untuk destruksi lapisan epitel serviks dengan metode
pembekuan atau freezing hingga sekurang-kurangnya -20oC selama 6 menit
(teknik Freeze-thaw-freeze) dengan menggunakan gas N2O atau CO2.
Kerusakan bioselular akan terjadi dengan mekanisme: (1) sel ‐ sel
mengalami dehidrasi dan mengkerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel
terganggu; (3) syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4) status
umum sistem mikrovaskular.
b. Elektrokauter
Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi dengan
melakukan eksisi Loop diathermy terhadap jaringan lesi prakanker pada
zona transformasi. Jaringan spesimen akan dikirimkan ke laboratorium
patologi anatomi untuk konfirmasi diagnostik secara histopatologik untuk
menentukan tindakan cukup atau perlu terapi lanjutan.
c. Diatermi Elektrokoagulasi
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan
efektif jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan
dengan anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan
jaringan serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat
dipengaruhi, terutama jika lesi tersebut sangat luas.
d. Laser
Sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu
muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas
helium, gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser
yang mempunyai panjang gelombang 10,6u. Perubahan patologis yang
terdapat pada serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan
dan nekrosis. Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap karena
cairan intraselular mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik
terletak di bawahnya. Volume jaringan yang menguap atau sebanding
dengan kekuatan dan lama penyinaran.

B. Tatalaksana Kanker Serviks Invasif


1) Stadium 0 / KIS (Karsinoma in situ)
Konisasi (Cold knife conization).
- Bila margin bebas, konisasi sudah adekuat pada yang masih memerlukan
fertilitas.
- Bila tidak tidak bebas, maka diperlukan re-konisasi.
- Bila fertilitas tidak diperlukan histerektomi total
- Bila hasil konisasi ternyata invasif, terapi sesuai tatalaksana kanker invasif.
2) Stadium IA1 (LVSI negatif)
Konisasi (Cold Knife) bila free margin (terapi adekuat) apabila fertilitas
dipertahankan. (Tingkat evidens B)
- Bila tidak free margin dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi.
- Histerektomi Total apabila fertilitas tidak dipertahankan
3) Stadium IA1 (LVSI positif)
Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fertilitas
dipertahankan. Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi medik
dapat dilakukan Brakhiterapi.
4) Stadium IA2, IB1, IIA1
Pilihan :
1. Operatif
Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik.
(Tingkat evidens 1 / Rekomendasi A)
Ajuvan Radioterapi (RT) atau Kemoradiasi bila terdapat faktor risiko yaitu
metastasis KGB, metastasis parametrium, batas sayatan tidak bebas tumor,
deep stromal invasion, LVSI dan faktor risiko lainnya. Hanya ajuvan radiasi
eksterna (EBRT) bila metastasis KGB saja. Apabila tepi sayatan tidak bebas
tumor / closed margin, maka radiasi eksterna dilanjutkan dengan
brakhiterapi.
2. Non operatif
Radiasi (EBRT dan brakiterapi)
Kemoradiasi (Radiasi : EBRT dengan kemoterapi konkuren dan brakiterapi)
5) Stadium IB 2 dan IIA2
Pilihan :
1. Operatif (Rekomendasi A)
Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi. Tata laksana selanjutnya
tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi anatomi untuk dilakukan
ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
2. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Tujuan dari Neoajuvan Kemoterapi adalah untuk mengecilkan massa tumor
primer dan mengurangi risiko komplikasi operasi. Tata laksana selanjutnya
tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi anatomi untuk dilakukan
ajuvan radioterapi atau kemoterapi.

6) Stadium IIB
Pilihan :
1. Kemoradiasi (Rekomendasi A)
2. Radiasi (Rekomendasi B)
3. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik
limfadenektomi.
4. Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy (dalam
penelitian)
7) Stadium III A  III B
1. Kemoradiasi (Rekomendasi A)
2. Radiasi (Rekomendasi B)
8) Stadium IIIB dengan CKD
1. Nefrostomi / hemodialisa bila diperlukan
2. Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin atau
3. Radiasi
9) Stadium IV A tanpa CKD
1. Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasi terlebih
dahulu dilakukan kolostomi, dilanjutkan :
2. Kemoradiasi Paliatif, atau
3. Radiasi Paliatif
10) Stadium IV A dengan CKD, IVB
1. Paliatif
2. Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif / radiasi paliatif dapat
dipertimbangkan.
Gambar. Algoritma Penanganan Kanker Serviks Invasif

2.9 PENCEGAHAN KANKER SERVIKS


Beberapa hal lain yang dapat dilakukan dalam usaha pencegahan terjadinya kanker
serviks antara lain:
1. Vaksin HPV
Sebuah studi menyatakan bahwa kombinasi vaksinasi HPV dan skrining dapat
memberikan manfaat yang besar dalam pencegahan penyakit ini. Vaksin HPV dapat
berguna dan cost-effective untuk mengurangi kejadian kanker serviks dan kondisi
prakanker, khususnya pada kasus yang ringan. Vaksin HPV yang terdiri dari 2 jenis
dapat melindungi tubuh dalam melawan kanker yang disebabkan oleh HPV (tipe 16
dan 18). Salah satu vaksin dapat membantu menangkal timbulnya kutil di daerah
genital yang diakibatkan oleh HPV 6 dan 11, juga HPV 16 dan 18. Manfaat tersebut
telah diuji pada uji klinis stahap III dan harus dapat diwujudkan dalam waktu dekat.
Keyakinan hasil uji klinis tahap III ini menunjukan bahwa vaksin-vaksin tersebut
dapat membantu menangkal infeksi HPV dari tipe-tipe diatas dan mencegah lesi
prakanker pada wanita yang belum terinfeksi HPV sebelumnya.
2. Penggunaan kondom
Para ahli sebenarnya sudah lama meyakininya, tetapi kini mereka punya bukti
pendukung bahwa kondom benar-benar mengurangi risiko penularan virus
penyebab kutil kelamin (genital warts) dan banyak kasus kanker leher rahim. Hasil
pengkajian atas 82 orang yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine
memperlihatkan bahwa wanita yang mengaku pasangannya selalu menggunakan
kondom saat berhubungan seksual kemungkinannya 70% lebih kecil untuk terkena
infeksi human papilloma virus (HPV) dibanding wanita yang pasangannya sangat
jarang (tak sampai 5% dari seluruh jumlah hubungan seks) menggunakan kondom.
Hasil penelitian memperlihatkan efektivitas penggunaan kondom di Indonesia
masih tergolong rendah. Dari survey Demografi Kesehatan Indonesia pada 2003
(BPSBKKBN) diketahui bahwa ternyata penggunaan kondom pada pasangan usia
subur di Indonesia masih sekitar 0,9%.
3. Sirkumsisi pada pria
Sebuah studi menunjukkan bahwa sirkumsisi pada pria berhubungan dengan
penurunan risiko infeksi HPV pada penis dan pada kasus seorang pria dengan
riwayat multiple sexual partners, terjadi penurunan risiko kanker serviks pada
pasangan wanita mereka yang sekarang.
4. Tidak merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai
rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclicaromatic
hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok konsentrasi nikotin
pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung
bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga
dapat menjadi ko-karsinogen infeksi virus.
5. Nutrisi
Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan anti-oksidan dan berkhasiat
mencegah kanker misalnya alpukat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang,
bayam, tomat. Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi asam folat (folic acid),
vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko
kanker serviks. Vitamin E, vitamin C dan beta karoten mempunyai khasiat
antioksidan yang kuat. Antioksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap
pengaruh
buruk radikal bebas yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia.
Vitamin E banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan
kacang-kacangan). Vitamin C banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-
buahan (Laras, 2009).
BAB III
PENUTUP

2.10 KESIMPULAN
1. Kanker serviks adalah salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di
kalangan wanita. Di seluruh dunia kanker serviks adalah peringkat keempat yang
sering terjadi keganasan pada Wanita. Di Indonesia kanker serviks menempati
urutan kedua setelah kanker payudara.
2. Penyebab utama dari kanker serviks yakni infeksi HPV (Human Papillomavirus)
yang berada di dalam tubuh manusia. Diketahui bahwa DNA HPV dapat ditemukan
pada 99% kasus kanker serviks di seluruh dunia. Kejadian kanker serviks
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor sosio demografi yang meliputi
usia, status sosial ekonomi, dan faktor aktivitas seksual yang meliputi usia pertama
kali 3 melakukan hubungan seksual, pasangan seksual yang berganti-ganti,
pasangan seksual yang tidak disirkumsisi, paritas, kurang menjaga kebersihan
genital, merokok, riwayat penyakit kelamin, riwayat keluarga penderita kanker
serviks, trauma kronis pada serviks, penggunaan pembalut dan pantyliner,
dietilstilbestrol (DES) serta penggunaan kontrasepsi oral.
3. Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kanker
yaitu dengan melakukan deteksi dini kanker leher rahim pada wanita usia 30-50
tahun dengan menggunakan metode IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat).
Pemerintah telah membuat berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat kanker di Indonesia
dengan mewujudkan penanggulangan kanker yang terintegrasi. Namun hal ini perlu
melibatkan semua unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat.

2.11 SARAN
1. Bagi pemerintah diharapkan dapat menetapkan kebijakan terkait pencegahan kanker
serviks agar dapat menekan angka kejadiannya
2. Bagi masyarakat diharapkan dapat lebih meningkatkan kesadarannya terhadap
kejadian kanker serviks dengan melakukan deteksi dini.
3. Bagi layanan kesehatan diharapkan meningkatkan kemampuan dan fasilitas dalam
pelayanan deteksi dini kanker serviks.
4. Bagi advokat kesehatan masyakarat dapat memberikan edukasi dan menggalakkan
upaya promotif dan preventif guna meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat terkait kanker serviks dimulai dengan upaya deteksi dininya.
3.2
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Hari Kanker Sedunia 2019. Biro
Komunikasi Dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI.
https://www.kemkes.go.id/article/view/19020100003/hari-kanker-sedunia2019.html

Wulandari, S. 2018. Hubungan Pengetahuan Wanita Usia Subur Tentang Kanker Serviks
dengan Keikutsertaan dalam Melakukan IVA Tes di Puskesmas Tambusai
Kabupaten Rokan Hulu Tahun 2018. Jurnal Maternity and Neonatal. 2(6). 327-340.

GLOBOCAN (2018). Cancer today. International Agency for Research on Cancer.


http://gco.iarc.fr/

WHO. (2019). Human Pappiloma Virus and HPV Vaccines.


https://www.who.int/buletin/volumes/85/9/06-038414/en/.

Ahmad, M. (2020). Perilaku Pencegahan Kanker Serviks (R. R. Rerung & D.Putry (eds.)).
CV. Media Sains Indonesia. Perilaku Pencegahan Kanker Serviks - Mukhlisiana
Ahmad, SST., M.Kes. - Google Buku

Rasjidi I. (2009). Deteksi Dini & Pencegahan Kanker pada Wanita.Jakarta: Sagung Seto.

Pulungan, P. W., Rusmini, Zuheriyatun, F., Faizah, S. N., Kurniasih, H., Winarso, S. P., Aini,
F. N., Amalia, R., Lubis, R. I. P., & Nurul, U. vina. (2020). Teori Kesehatan
Reproduksi (1st ed.). Rikki, Alex. https://books.google.co.id/books?
id=micKEAAAQBAJ&pg=PR9&dq=deteksi+dini+kanker+serviks&hl=id&sa=X&v
ed=2ahUKEwin863Cn5HuAhXVXisKHb5gBJIQ6AEwA3oECAAQAg

Pusat Data dan Informasi. (2015). Situasi Penyakit Kanker. Buletin Jendela Data & Informasi
Kesehatan. https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/buletin/
buletin-kanker.pdf

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Panduan Penatalaksanaan Kanker


Serviks. Komite Penanggulangan Kanker Nasional, Kementerian Kesehatan RI.

Laras L. 2009. Analisa Faktor Pendidikan Pada Wanita Peserta Program Penapisan Kanker
Leher Rahim dengan Pendekatan “See and Treat” untuk Deteksi Dini Lesi Prakanker
dan Pengobatan dengan Terapi Beku. Jakarta: FK UI.
American Cancer Society. (2015). A Guide to Chemotherapy. American Cancer Society.

Fatimah, A.N., 2009, Studi Kualitatif Tentang perilaku Keterlambatan Pasien Dalam
Melakukan Pemeriksaan Ulang Pap Smear di Klinik Keluarga Yayasan Kusuma
Buana Tanjung Priuk Jakarta Tahun 2008, Skripsi, Jurusan Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Indonesia.

Malehere, J. 2019. Analisis Perilaku Pencegahan Kanker Serviks pada Wanita Pasangan Usia
Subur Berdasarkan Teori Health Promotion Model. Skripsi. Program Studi
Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. Surabaya

Anda mungkin juga menyukai