Anda di halaman 1dari 74

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan bayi dan anak dengan
memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar membuat antibody untuk mencegah
penyakit tertentu. Vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang
pembentukan zat anti yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan seperti
vaksin BCG, DPT, Campak , melalui mulut seperti polio. (Hidayat, 2008)
Pemberian imunisasi pada anak yang mempunyai tujuan agar tubuh kebal
terhadap penyakit tertentu, kekebalan tubuh juga dapat dipengaruhi oleh beberapa
factor diantaranya terdapat tinggi kadar antibody pada saat dilakukan imunisasi,
potensi antigen yang disuntikkan, waktu antara pemberian imunisasi. Kefektifan
imunisasi tergantung dari factor yang mempengaruhinya sehingga kekebalan
tubuh dapat diharapkan pada diri anak.
Efek samping vaksin bagi sebagian anak umumnya berupa reaksi ringan di
area penyuntikkan seperti nyeri, bengkak, dan kemerahan. Terkadang reaksi
disertai demam ringan 1-2 hari setelah imunisasi, gejala tersebut umumnya tidak
berbahaya dan akan hilang dengan cepat. (subdit imunisasi kementrian kesehatan
RI,2010)
Imunisasi dapat digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit poliomyelitis ,
virus dapat dilemahkan serta pemberian imunisasi polio pada umur 0-11 bulan
selama empat kali dengan jarak pemberian empat minggu melalui oral. Imunisasi
dapat mencegah terjadinya campak pada anak sebab penyakit ini sangat menular,
pemberian vaksin pada usia 9-11 bulan dengan cara subkutan efek sampinngnya
terjadinya ruam pada tempat suntikan dan panas.
Campak merupakan salah satu penyakit menular dengan berbagai komplikasi
yang berat, sangat potensialmenimbulkan wabah atau kejadian luar biasa (KLB),
serta dapat menyebabkan kematian. Sedangkan gambaran situasi global tahun
2008, diketahui terdapat 164.000 kematian akibat campak di dunia. Artinya
terdapat 450 kematian akibat campak terjadi setiap hari, atau 18 kematian akibat
campak terjadi setiap jam. Namun pada dasarnya , penyakit ini merupakan
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Status imunisasi anak ditentukan tidak hanya oleh factor factor yang berada
di tingkat rumah tangga (factor komposisional) melainkan factor factor yang
berada seperti komunitas, geografis dan program imunisasi dinas kesehatan
kabupaten/kota. Di tingkat rumah tangga berdasarkan penelitian, diketahui
variable variable yang mempengaruhi cakupan imunisasi adalah pengetahuan
ibu, pendidikan ibu, usia ibu dan jumlah kunjungan antenatal serta status ekonomi
rumah tangga. keberhasilan imunisasi telah terbukti dapat menyelamatkan jiwa
manusia dari penyakit infeksi berat seperti polio, difteri, pertusis, tetanus,
campak , hepatitis, dll dikatakan dr. Badriul Hegar, Sp.A.(K) Ketua umum PPIDAI.
WHO dan UNICEF menetapkan indicator cakupan imunisasi adalah 90% di
tingkat nasional dan 80% di semua kabupaten. Dalam rencana strategis
Departement Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005-2009, target universal
child immunization (UCI) desa sebesar 98 % tercapai pada tahun 2009. Anak
balita di Indonesia tahun 1999/2000 sebesar 66,3 % yang memiliki cakupan
imunisasi lengkap, angka cakupan tersebut masih jauh dari target Universal Child
Immunization (UCI) sebesar 90% (jurnal pembangunan manusia Vol. 7 No. 1
April 2009)
Banyak penyakit baru yang menular dan mematikan serta penyakit infeksi
masih menjadi masalah di Indonesia. Selain gaya hidup yang sehat dan menjaga
keberhasilan imunisasi merupakan cara melindungi anak- anak dari bahaya
penyakit menular. Standart pelayanan minimum kesehatan (SPMK) yang
dicanangkan oleh pemerintah, bahwa tahun 2010 nanti bayi yang lahir
mendapatkan imunisasi secara merata.
Karena banyaknya penyakit menular dan rata-rata masih bisa dilakukan
pencegahan dengan adanya imunisasi maka dengan ini akan diuraikan beberapa
penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana cara pencegahan penyakit DPT dengan imunisasi?
1.2.2 Bagaimana cara pencegahan penyakit Hepatitis A dan B dengan
1.2.3
1.2.4

imunisasi?
Bagaimana cara pencegahan penyakit Poliomelitis dengan imunisasi?
Bagaimana cara pencegahan penyakit Campak dengan imunisasi?
2

1.2.5
1.2.6

Bagaimana cara pencegahan penyakit Campak TBC dengan imunisasi?


Bagaimana cara pencegahan penyakit Pneumokokkus dengan

1.2.7

imunisasi?
Bagaimana cara pencegahan penyakit Typus dengan imunisasi?

1.3 Tujuan
1.3.1

Untuk mengetahui bagaimana cara pencegahan penyakit DPT dengan

1.3.2

imunisasi.
Untuk mengetahui bagaimana cara pencegahan penyakit Hepatitis A dan B

1.3.3

dengan imunisasi.
Untuk mengetahui bagaimana cara pencegahan penyakit Poliomelitis

1.3.4

dengan imunisasi.
Untuk mengetahui bagaimana cara pencegahan penyakit Campak dengan

1.3.5

imunisasi.
Untuk mengetahui bagaimana cara pencegahan penyakit Campak TBC

1.3.6

dengan imunisasi.
Untuk mengetahui bagaimana cara pencegahan penyakit Pneumokokkus

1.3.7

dengan imunisasi.
Untuk mengetahui bagaimana cara pencegahan penyakit Typus dengan
imunisasi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus)
2.1.1 Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphtheria. Bakteri ini terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang - kadang konjunngtiva
atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh
bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu - abuan yang
dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada
difteria faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar
dan melunak. Pada kasus - kasus yang berat dan sedang ditandai dengan
pembengkakan

dan

oedema

di

leher

dengan

pembentukan

membran

pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas. Difteri hidung
biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi
ekskorisasi. Infeksi subklinis (kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin
dapat menyebabkan gejala umum atau local antara lain myocarditis dengan heart
block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah
gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam - macam dan tidak
dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan
bagian dari impetigo (Kadun,2006). Penularan umumnya melalui udara, berupa
infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria merupakan
bakteri Gram positif yang bersifat polimorf, tidak berspora, tidak bergerak,
bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasif, tetapi kuman
dapat mengeluarkan toxin, yaitu eksotoxin yang bersifat patologis. Terdapat 3
jenis basil Corynebacterium diphtheriae, yaitu : type mitis, type intermedius dan
type gravis.

Corynebacterium

diphtheria

dapat

dikalsifikasikan

dengan

cara

bacteriophage lysis menjadi 19 tipe.


a. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis,
b. Tipe 4-6 termasuk tipe intermedius,
c. Tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya
termasuk tipe gravis yang virulen.
Corynebacterium diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang
tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa. Basil
dapat membentuk :
a. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih
keabu abuan yang meliputu daerah yang terkena : terdiri dari fibrin, leukosit,
jaringan nekrotik dan basil.
b. Eksotoxin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa
jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas
terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose
(MLD) toksin ini adalah 0, 02 ml.
Patogenesis
Basil hidup dan berkembang biak pada saluran nafas atas, terlebih lebih
apabila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus dll. Basil dapat pula hidup
pada vulva, telinga dan kulit. Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran
dan melepaskan eksotoxin.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh, terutama jantung dan saraf. Toksin biasanya menyerang saraf tertentu,
misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada
minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu
keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis)
bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat

ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat,
bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung
dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita
dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di
dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna
abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya
akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udaraatau secara
tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami
kesulitan bernafas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah
diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di
tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung
yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG.
Klasifikasi
Berdasarkan tingkat keparahannya :
a. Infeksi ringan: pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fasial
dengan gejala hanya nyeri menelan
b. Infeksi sedang: pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding
posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan
pengobatan konservatif
c. Infeksi berat: disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapt
diatasi dengan trakeostomi serta gejala komplikasi miokarditis, paralisis atau
pun nefritis dapat menyertainya.
Berdasarkan lokasi gejala yang dirasakan penderita :
a. Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan
ingus yang bercampur darah. Prevalesi difteri ini 2 % dari total kasus
difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan
sumber utama penularan. Gejala konstitusi ringan.
b. Difteri faring (pharingeal diphtheriae) dan tonsil dengan gejala radang
akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,50C, nadi yang cepat, tampak
6

lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada


difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu-abuan
atau abu kehijauan di daerah rongga mulut sampai dengan dinding
belakang mulut (faring) dengan tepi sedikit terangkat. Bila membran
diangkat akan timbul perdarahan. Tetapi, prosedur ini dikontraindikasikan
karena mempercepat penyerapan toksin.

c. Difteri laring (l a r y n g o t r a c h e a l d i p h t h e r i a e ) dengan gejala tidak


bisa bersuara, afonia, sesak, stidor inspirasi, demam sangat tinggi sampai
400C, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher, bull neck. Difteri
jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa
penderita akibat gagal nafas.
d. Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa
luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya.
Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka
yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.
Manifestasi Klinis
Penularan terutama melalui saluran napas dengan gejala bervariasi dari
asimtomatis (dan penderita bertindak sebagai karier) sampai berat yang ditandai
dengan obstruksi jalan nafas atau adanya komplikasi (miokarditis yang dapat
menyebabkan complete heart block, neuritis; paralisis palatum molle, paralisis
okular, paralisis diafragma, atau paralisis ekstremitas, gagal ginjal).
Masa inkubasi antara 1-5 hari dengan perjalanan penyakit bersifat
insidious (perlahan-lahan) dimulai dengan gejala yang tidak spesifik seperti
demam, lesu, nafsu makan menurun sampai kemudian muncul gejala klinis yang
khas diantaranya; sekret hidung bercampur darah (serosanguinus) dan kemudian
mukopurulen,

membran

putih

keabu-abuan

di

tonsil/

faring/

laring

(psudomembran) yang bila dilepaskan akan mengakibatkan perdarahan,


limfadenitis servikalis dan submandibula disertai dengan edema jaringan lunak
leher (bullneck), serta stridor akibat obstruksi jalan nafas atas.
Diagonosis
Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan
pemberian

antitoksin

sangat

mempengaruhi

prognosa.

Diagnosa

harus

ditegakakkan berdasarkan gejala klinik. Test yang digunakan untuk mendeteksi


penyakit difteri meliputi:
a. Gram noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi
Corynebacterium diphtheriae.
b. Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung)
dapat di lakuka dengan electrocardiogram (ECG).
c. Pengambilan smear dari membran dan bahan di bawah membran, tetapi
hasilnya kurang dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak
spesifik. Pemeriksaan Shick test bisa dilakukan untuk menentukan status
imunitas penderita.
Penatalaksanaan
Dilakukan jika gejala klinis mengarah ke arah difteri tanpa menunggu hasl
pemeriksaan penunjang. Tata laksana umum dengan tirah baring, isolasi pasien,
pengawasan ketat atas kemungkinan komplikasi antara lain pemeriksaan EKG
setup minggu. Pasien dirawat selama 3-4 minggu. Sedangkan secara khusus :

Anti-Diphtheria Serum (ADS) diberikan dengan dosis 20.000-100.000 U


bergatung pada lokasi, adanya komplikasi dan durasi penyakit.
Sebelumnya lakukan uji kulit (pengenceran 1:100) atau mata (pengenceran

1:10). Bila pasien sensitif, lakukan desensitisasi cara Besredka.


Antibiotik. Penisilin prokain 50.000 U/kgBB/hari sampai 10 hari. Bila
alergi, berikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari. Bila dilakukan trakeotomi,
tambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis.

Kortikosteroid. Digunakan untuk mengurangi edema laring dan mencegah


komplikasi miokarditis. Diberikan prednisone 2 mg/kgBB/hari selama 3

minggu yang dihentikan secara bertahap (tapering off)


Bila ada komplikasi paresis otot dpat diberikan striknin mg dan vitamin
B1 100 mg setup hari, 10 hari berturut-turut.

Komplikasi
a. Saluran nafas

obstruksi

jalan

nafas,

bronkopneumonia,

atelektasis paru
b. Kardiovaskuler
c. Urogenital
d. Susunan saraf

: miokarditis akibat toksin kuman


: nefritis
: paralisis/paresis palatum mole (minggu I dan II),

otot mata (minggu III) dan umum (setelah minggu IV).


Pencegahan
a. Isolasi pasen. Isolasi ini dihentikan bila hasil pemeriksaan sediaan
langsung Corynebacterium diphtheria selama 2 hari berturut-turut negatif.
b. Secara khusus dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT dan
pengobatan karier.

Imunisasi
Imunisasi DPT merupakan vaksin mati, sehingga untuk
mempertahankan kadar antibodi menetap tinggi di atas ambang
pencegahan, kelengkapan ataupun pemberian imunisasi ulangan sangat
diperlukan. Imunisasi DPT lima kali harus dipatuhi sebelum anak
berumur 6 tahun.
Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi
primer DPT tiga kali dengan interval masing-masing 4 minggu.
Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan
imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang), dan yang telah

lengkap imunisasi primer (< 1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT


ulangan 1x.

Pengobatan karier
Pengobatan yang diberikan adalah Penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu
minggu.

2.1.2 Pertusis
Pertussis adalah infeksi saluran pernafasan akut . Bordetella pertussis
merupakan penyebab pertussis epidemic dan merupakan penyebab biasa pertussis
sporadis. B. pertussis merupakan penyebab pertusisi kadang kadang.
Penyakit ini berlangsung lama dan berbahaya khususnya pada masa bayi.
Setelah masa inkubasi selama 7 hari , terdapat stadium kataral yang berlangsung
1-2 minggu yaitu selama kondisi anak tersebut tidak baik dengan tanda tanda
infeksi saluran nafas atas. Batuk menjadi semakin parah dan bersifat paroksismal.
Spasme batuk dpat diikuti whoop saat inspirasi, terutama pada anak-anak yang
lebih besar. Muntah dapat terjadi, dan anak tersebut dapat menjadi sianosis atau
apnea selama spasme batuk, serta menjadi kelelahan setelah batuk. Di antara
spasme mungkin terdapat kesulitan nafas yang nyata meskipun pemeriksaan fisik
menunjukkan paru paru tidak ada kelainan. Fase ini berlangsung selama 4
sampai 6 minggu, dan batuk membaik secara bertahap selama lebih dari 2-3
minggu sesudahnya. Pada kasus kasus ini dilakukan pembiakan kuman
penyebab yang diambil dari apusan nasofaring dengan menggunakan media
Bordet- Gengou. Namun tersebut sulit diambil bila batuk telah muncul.
Limfositosis yang mencolok mendukung diagnosis pertusis
PATOGENESIS
Bordetella merupakan kokobasili gram negative yang sangat kecil yang tumbuh
secara aerobic pada media agar darah tepung atau media sintetik keseluruhan
dengan factor pertumbuhan nikotinamid, asam amino untuk energy , dan arang
atau resin siklodekstrin untuk menyerap bahna bahan berbahaya. . Spesies
10

bordetella memiliki tingkat homologi DNA yang tinggi pada gen virulen, dan ada
kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin klasifikasi sebagai
spesies yang berbeda.Hanya B. pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP).
Sitotoksin trachea , adenilat siklase, dn TP tampak menghambat pembersihan
organisme. Sitotoksin trachea, factor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima
secara dominan menyebabkan cedera epitel local yang mengasilkan gejala
gejala pernafasan dan mempermudah penyerapan TP. TP terbukti mempunyai
aktivitas biologis (missal, sensitivitas histamine, sekresi insulin, disfungsi leukoit)
beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP menyebbakan
limfositosis segera pada binatang percobaan dengan pengembalian limfosit agar
tetap dalam sirkulasi darah. TP tampak memainkan peran sentral tetapi bukan
peran tunggal dalam pathogenesis.
MANIFESTASI KLINIS
Pertusis dibagi dalam 3 stadium
1. Stadium Kataral : 1-2 minggu
- Mulai seperti ISPA biasa
- Febris absen atau ringan
- Makin lama makin batuk keras terutama batuk malam
2. Stadium Paroksismal/ Spasmotik : 4-6 minggu bisa sampai 10 minggu
- Batuk berat yang singkat dan rangkaian 5- 20 batuk tanpa
bernafas . muka bisa menjadi merah, sianosis dan edema, vena
-

vena leher melebar, mata menonjol dan lidah terjulur


Setelah rangkaian batuk tanpa bernafas itu, pasien akan menarik
nafas keras dengan suara whoop yang melengking tinggi

menyerupai suara burung laut.


Kemudian proses tersebut dapat terulang lagi
Proses ini berhenti kalau pasien mengularkan lendir kental atau

mutah muntah
Habis semua ini, pasien terbaring kelelahan, berkeringat, dan sesak

nafas
Rangsangan apapun dapat memulai proses ini kembali
Febris tetap ringan kalau ada.
Pada bayi dibawa 3 bulan, whoopnya biasanya tidak ada, namum

bayi tersebut sering apnea lama & mati.


80% kasus fatal terjadi pada pasien < 2 tahun
11

Remaja & dewasa sering tidak bersuara whoop, hanya ada batuk

ngikil yang bertahan lama.


Anak yang sudah divaksinasi lengkap masih dapat kena infeksi
Pertusis. Kasusnya lebih ringan tetapi bisa menular!

3. Stadium Konvalesen / Penyembuhan : 2-4 minggu


- Batuk masih ada, tetapi serangan rangkaian batuk serta whoop
-

makin berkurang (frekuensi dan beratnya)


Tidak ada muntah muntah lagi
Akhirnya batukpun makin berkurang sampai tiada

DIAGNOSA
Pertusis harus dicurigai pada setiap individu yang mempunyai keluhan
batuk murni atau dominan, termasuk jika yg berikut ini tidak ada : demam,
malaise atau mialgia, eksantema dan enantema, nyeri tenggorok, parau, takipnea,
mengi dan ronkhi. Untuk kasus sporadic, definisi kasus klinik batuk yang lamanya
14 hari atau lebih dengan sekurang kurangnya disertai satu gejala paroksismal,
rejan atau muntah pascabatuk mempunyai sensitivitas.
KOMPLIKASI
Bayi sebelum usia 6 bulan mempunyai mortalitas dan morbiditas
berlebihan. Mereka yang berumur sebelum 2 bulan mempunyai frekuensi yang
dilaporkan tertinggi kasus rawat inap karena pertusis (82%), pneumonia (25%),

12

kejang-kejang (4%), enselopati (1%) dan kematian 1 %. Komplikasi yang utama


adalah apnea, infeksi sekunder (seperti otitis media dan pneumonia) dan sekuele
fisik batuk kuat. Apnea, sianosis dan pneumonia bakteri sekunder merupakan
kejadian kejadian yang mempercepat intubasi dan ventilasi. Pneumonia bakteri
atau sindrom distress pernafasan dewasa merupakan penyebab kematian yg lazim
pada setiap umur, perdarahan paru terjadi pada neonatus. Demam, takipnea atau
distress pernapasan antara paroksismal dan neutrofilia absolute merupakan kunci
terhadap pneumonia . kelainan fungsi paru mungkin menetap selama 12 bulan
pasca pertusis tidak berkomplikasi pada ank kurang dr 2 tahun.
Kenaikan tekanan intratoraks dan intra abdomen selama batuk dapat
menyebabkan perdarahan konjungtiva dan sclera,petekie pada tubuh bagian atas,
epistaksis, perdarahan pada system saraf sentral dan retina, pneumotoraks, dan
emfisema subkutan , dan hernia umbilikalis serta inguinalis. Prolaps rectum
mungkin dikarenakan malnutrisi atau salah diagnosis dengan kistik fibrosis.
Kelainan system saraf sentral terjadi relative sering dan hampir selalu
akibat hipoksemia atau perdarahan akibat batuk atau apnea pada bayi muda.
Apnea atau bradikardia dapat terjadi karena laringomalasia atau rangsangan vagus
tepat sebelum episode batuk, dari obstruksi selama episode atau dari hipoksemia
pasca episode.

Pertussis adalah penyakit yang lama dibagi menjadi stadium kataral,


paroksimal, dan konvalesen, masing masing berakhir 2 minggu. Secara klasik
pasca masa inkubasi yg berkisar 3 sampai 12 hari, gejala kataral tidak khas, terjadi
kongesti dan rhinorrea, secara berbeda disertai dengan demam, bersin, lakrimasi,
dan penutupan konjungtiva . ketika gejala semakin berkurang , batuk mulai mula
mula sebagai batuk pendek iritatif, kering, intermitten dan berkembang menjadi
paroksismal yang tidak berhenti henti yang merupakan tanda khas pertusis. Pasca
kekagetan minggu (lebih lama pada bayi muda). Pada puncak stadium
paroksismal, penderita mungkin mengalami lebih dari satu epiode per jam. Ketika
stadium paroksismal menghilang menjadi kovalescen, frekuensi, keparahan, dan

13

lama episode berkurang. Sebaliknya pada bayi dengan pertumbuhan dan


bertambahnya kekuatan, batuk dan rejan dapat menjadi lebih keras dan lebih
klasik pada konvalesen.
Anak yg diimunisasi mengalami pemendekan semua stadium pertusis.
Pada bayi sebelum umur 3 bulan fase kataral baisanya beberapa hari dan tidak
dikenali sama sekali kapan apnea, tercekik, batuk ngorok yang menandai
mulainya penyakit termasuk kovalesen batuk paroksismal intermitten selama
umur tahun pertama termasuk berulang dengan penyakit pernafasan
selanjutnya , keadaan ini bukan karena infeksi berulang atau reaksi aktivasi B.
pertusis
Pemeriksaan fisik biasanya tidak informative. Tanda tanda penyakit
saluran pernafasan bawah tidak diharapkan . sering ada perdarahan konjungtiva
dan petekie pada tubuh bagian atas.
PENGOBATAN
Kasus bayi dan balita berat perlu MRS untuk perawatan pernafaan dengan
suksion, oksigen, IV (bahaya minum)
Eritromicin (40 mg/kg/hari, maks 2 mg, QID X 14 hr) dapat menolong
meringankan perkembangan batuknya asal dimulai pada stadium kataral ,
pada stadium paroksimal antibiotika hanya menolong menghentikan
infektiviti
Trimethoprim sulfamethoxazole pada pasien yang tidak tahan eritromicin
tetapi manfaatnya belum dibuktikan
Steroid dan beta 2 agonis mungkin dapat menolong
PENCEGAHAN
Isolirkan kasus dan kontak serumah sampai minum eritromicin 5 hari
untuk membunuh baksilnya
Vaksin pertusis Whole Cell
Diberi 5x pd bayi yang berumur 2, 4, 6 bulan, 6 12 bulan
kemudian dan pada umur 5 7 tahun (tergabung dengan
Vaksin Difteri & Vaksin Tetanus: DPT).

14

Anak yang berumur 7 tahun atau > diberi dT (dosis Vaksin


Difteri dikurangi, maka lebih aman bagi anak sekolah,

remaja & dewasa)


Anak yang menerima DPT ke4 sesudah umur 4 tahun tidak

perlu diberi DPT ke5.


Anak yang telah menderita Pertussis (terbukti dengan
biakan) tidak perlu menerima Vaksin Pertussis lagi. Sebagai
ganti, berilah DT/dT.

Reaksi terhadap vaksin Whole Cell


-

Ringan
iritibel 53 %, nyeri local 51 %, Febris > 38 derajat Celcius : 47 %,
edema local 40 %, eritema local 37 %
Berat
Anafilaksis (2:100.000), langsung dalam 3 jam sesudah suntikan
Enkefalopati (1:140.000), dalam 7 hari
Konvulsi [dengan/tanpa febris] (6:10.000), dalam 3 hari
Menangis jerit / teriak terus-menerus > 3 jam (1:100), dalam 48
jam
Syok / Pingsan (hipotensi, hiporesponsif) (6:10.000), dalam 48
jam
Febris >40,5 C (3:1000), dalam 48 jam

Bila terjadi salah satu reaksi berat, anak tidak diberi Vaksin Pertussis
Whole Cell lagi. < 7 tahun DT, > 7 tahun dT. Maka sebelum reseptor
Vaksin Pertussis disuntik ulang, dokter/petugas wajib bertanya tentang
reaksi dulu! Bagi pasien neurologis non-progresif (retardasi mental, spastis
otot, epilepsi yang terkontrol Rx) boleh diberi vaksin pertussis whole cell.
Banyak dokter menyaran memberi paracetamol (10 15 mg/kg/dosis)
sebelum dan setiap 4 6 jam sesudah vaksin pertussis ini selama 24 48
jam untuk mencegah febris tinggi (& mungkin konvulsi febris) serta nyeri
lokal.
Vaksin Pertusisi Acelluler (aP)
Mengandung immunogens dari B. pertussis, bukan sel utuh
yang mati. Reaksi-reaksi sama, namun lebih ringan & jarang (25-

15

50%). Kini AAP merekomendasi pemberian Acellular Pertussis


Vaccine untuk semua bayi & anak yang menerima imunisasi rutin.
Biasanya dikombinasi dengan vaksin tetanus toxoid & diphtheria
toxoid: DTaP. DPT (yang mengandung Whole Cell Pertussis
Vaccine) masih boleh dianjurkan. Dosis ke 4 boleh diberi sebelum
umur 12 bulan apabila sudah ada 6 bulan sejak dosis ke3 dan
kemungkinan besar reseptor tidak kembali pada umur 15 18
bulan.
2.1.3 Tetanus
Penyakit tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh Clostridium
tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang
sistem saraf pusat.
Kekebalan terhadap tetanus hanya dapat diperoleh melalui imunisasi
TT. Sembuh dari penyakit tetanus tidak berarti bahwa seorang bayi
selanjutnya kebal dari tetanus. Toksin tetanus dalam jumlah yang cukup
untuk menyebabkan penyakit tetanus, tidak cukup untuk merangsang tubuh
penderita dalam membentuk zat anti (antibodi) terhadap tetanus. Itulah
sebabnya seorang/bayi harus mendapatkan imunisasi tetanus pada saat
didiagnosa dan/atau setelah sembuh dari tetanus.
TT akan merangsang pembentukan antibodi spesifik yang mempunyai
peranan penting dalam perlindungan terhadap tetanus. Ibu hamil yang
mendapatkan imunisasi TT dalam tubuhnya akan membentuk antibodi
tetanus. Seperti difteri antibodi tetanus tersebut dalam golongan IgG yang
mudah melewati sawar plasenta, masuk, dan menyebar melalui aliran darah
janin ke seluruh tubuh janin, yang akan mencegah terjadinya tetanus.
Imunisasi TT pada ibu hamil diberikan 2 kali (2 dosis). Jarak
pemberian TT pertama dan TT kedua, serta jarak antara TT kedua dengan
kelahiran sangat menentukan kadar antibodi tetanus dalam darah bayi.
Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan kedua, serta antara
TT kedua dengan kelahiran bayi, maka kadar antibodi tetanus dalam darah
bayi akan semakin tinggi, karena interval yang panjang akan mempertinggi
respon imunologik dan diperoleh cukup waktu untuk menyeberangkan

16

antibodi tetanus dalam jumlah yang cukup dari tubuh ibu hamil ke tubuh
bayinya.
Imunisasi TT pada kehamilan sendiri mungkin akan memberikan
cukup waktu antara dosis pertama dan dosis kedua, serta antara dosis kedua
dengan saat kelahiran. Interval imunisasi TT dosis pertama dan dosis kedua
minimal 4 minggu.
TT adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk wanita
hamil. Tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan
imunisasi TT. Pada ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT tidak
didapatkan perbedaan risiko cacat bawaan atau pun abortus dengan mereka
yang tidak mendapatkan imunisasi.

Faktor Risiko dan Predisposisi

Pemberian imunisasi tetanus toksoid (TT) pada ibu hamil, tidak


dilakukan atau tidak lengkap, atau tidak sesuai dengan ketentuan

program.
Pertolongan persalinan yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan

sterilitas
Perawatan tali pusat tidak memenuhi persyaratan kesehatan, misalnya
pemotongan tali pusat dengan bambu atau gunting yang tidak steril, atau
setelah tali pusat dipotong dibubuhi abu, tanah, minyak, daun-daunan dan
sebagainya

Patofisiologi

17

Spora bakteri Clostridium tetani tersebut masuk ke dalam tubuh bayi


melalui pintu masuk satu-satunya, yaitu tali pusat, yang dapat terjadi saat
pemotongan tali pusat ketika bayi lahir maupun saat perawatannya sebelum
puput (terlepasnya tali pusat). Masa inkubasi 3-28 hari, rata-rata 6 hari.
Apabila masa inkubasi kurang dari 7 hari biasanya penyakit lebih parah dan
angka kematiannya tinggi. Perjalanan penyakitnya seperti pada tetanus
anak, tetapi lebih cepat dan berat, serta tidak dibagi dalam 3 stadium seperti
tetanus anak.
Tetanus neurotoksin yang diproduksi oleh bakteri anaerob dari genus
Clostridium, adalah protein yang dikenal paling beracun dan bertanggung
jawab tunggal untuk patogenesis tetanus. Bakteri tersebut memasuki
terminal kolinergik saraf perifer dan proteinnya membelah aparat
neuroexocytosis

menyebabkan

penghambatan

terhadap

pelepasan

neurotransmitter secara terus-menerus namun reversibel.

Gejala Klinis
Gejala klinis yang sering dijumpai pada tetanus adalah:
a. Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar membuka
mulut. Kekakuan otot pada leher lebih kuat akan menarik mulut
kebawah, sehingga mulut sedikit ternganga. Kadang-kadang dapat

18

dijumpai mulut mecucu seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut
sehingga bayi tak dapat menetek .
b. Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan
mengerut, mata bayi agak tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke
samping dan ke bawah.
c. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti
busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Jika dibiarkan
secara berterusan tanpa rawatan, bisa terjadi fraktur tulang vertebra.
d. Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding perut teraba
seperti papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga dada
(toraks) juga menjadi kaku sehingga penderita merasakan kesulitan
untuk bernafas atau batuk. Jika kekakuan otot toraks berlangsung
lebih dari 5 hari, perlu dicurigai risiko timbulnya perdarahan paru.
e. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan akibat
kekakuan yang terus-menerus dari otot laring yang bisa menimbulkan
sesak nafas. Efek tetanospamin dapat menyebabkan gangguan denyut
jantung seperti kadar denyut jantung menurun (bradikardia), atau
kadar denyut jantung meningkat (takikardia). Tetanospasmin juga
dapat menyebabkan demam dan hiperhidrosis. Kekakuan otot polos
pula dapat menyebabkan anak tidak bisa buang air kecil (retensi urin).
f. Bila kekakuan otot semakin berat, akan timbul kejang-kejang umum
yang terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit,
digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya.
Lambat laun, masa istirahat kejang semakin pendek sehingga
menyebabkan status epileptikus, yaitu bangkitan epilepsi berlangsung
terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselangi oleh
masa sadar; seterusnya bisa menyebabkan kematian.
Komplikasi

19

Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi yang mengalami tetanus adalah
spasme otot faring, pneumonia aspirasi, asfiksia, ateletaksis, fraktur kompresi
Diagnosis
Stadium 1: trismus 3cm tanpa kejang tonik umum walau dirangsang
Stadium 2: trismus <3 cm dengan kejang tonik umum bila dirangsang
Stasium 3: trismus 1 cm dengan kejang tonik umum spontan
Diagnosis Banding
Diagnosis banding tetanus antara lain striknin, tetani, meningitism rabies,
angina yang berat, abses retrofaringeal, abses gigi, pembesaran kelenjar getah
bening leher, kuduk kaku, mastoiditis, peneumonia lobaris atas, myositis leher,
spondylitis leher.
Pencegahan
Tetanus adalah penyakit yang sepenuhnya dapat dicegah; kadar
antibody serum 0,01 U/mL dianggap protektif. Imunisasi aktif harus
mulai pada masa bayi dengan vaksin gabungan toksoid difteri-toksoid
tetanus-pertusis (DPT) pada usia 2, 4, dan 6 bulan, dengan booster pada
usia 4-6 tahun dan pada interval 10 tahun sesudahnya sampai dewasa
dengan toksoid tetanus-difteri (Td). Imunisasi wanita dengan toksoid
tetanus mencegah tetanus; dosis tunggal toksoid yang berisi 250 Lf unit
mungkin aman diberikan pada trimester ketiga kehamilan dan member
cukup antibody transplasenta untuk melindungi anak untuk sekurangkurangnya 4 bulan. Untuk orang-orang umur 7 tahun atau lebih yang
belum diimunisasi, seri imunisasi primer terdiri dari 3 dosis toksoid Td
yang diberikan secara intramuskuler, yang kedua 4-6 minggu sesudah yang
pertama dan yang ketiga 6-12 bulan sesudah yang kedua.
Cara-cara pencegahan tetanus pascatrauma

terdiri

dari

menginduksi imunisasi aktif terhadap toksin tetanus dan secara pasif


member antibody antitoksin. Profilaksis tetanus merupakan bagian yang
penting dari semua manajemen luka, tetapi cara-cara spesifik tergantung
pada sifat jejas dan status imunisasi penderita. Toksoid tetanus harus selalu
diberi sesudah gigitan anjing atau binatang lain, walaupun C.tetani jarang

20

ditemukan dalam flora mulut anjing. Semua luka, kecuali luka-luka pada
penderita yang terimunisasi penuh, memerlukan GIT manusia. Pada setiap
keadaan lain (misal, penderita dengan riwayat imunisasi tidak diketahui
atau tidak sempurna; luka remuk; luka tusuk atau luka proyektil; luka-luka
yang terkontaminasi dengan ludah, tanah atau tinja; jejas tarikan; fraktur
komplikata; radang dingin) harus diberi 250 U GIT secara intramuscular,
dan naik sampai 500 U untuk luka yang sangat cenderung-tetanus (yaitu
tidak dapat dibersihkan, dengan banyak kontaminasi bakteri atau lamanya
>24 jam). Jika GIT tidak tersedia, maka penggunaan GIIV manusia dapat
dipertimbangkan. Jika tidak ada dari produk ini yang tersedia, maka 3.0005.000 U antitoksin tetanus yang berasal dari kuda atau sapi (ATT) dapat
diberikan secara intramuscular sesudah uji untuk hipersensitivitas;
walaupun pada dosis ini penyakit serum dapat terjadi.
Luka itu sendiri harus dilakukan pembersihan dan debridement
secara bedah untuk membuang benda asing dan jaringan nekrotik apapun
yang memungkinkan keadaan anaerobic terjadi. Toksoid tetanus harus
diberikan bersama dengan GIT (atau ATT) jika diberikan dalam semprit
yang berbeda pada tempat yang berbeda. Booster toksoid tetanus (lebih
baik Td) diberikan pada semua orang yang berjejas yang telah
meyelesaikan seri imunisasi primernya jika (a) luka bersih dan kecil tetapi
telah 10 tahun sejak booster yang terakhir, atau (b) luka lebih serius dan
telah 5 tahun sejak booster terakhir. Pada luka yang perawatannya
tertunda, imunisasi aktif harus dimulai segera. Walaupun toksoid tetanus
cair menghasilkan respons imun lebih cepat daripada toksoid terserap atau
terpresipitasi, toksoid terserap dapat menahan titer lebih lama.
Penanganan
Penanganan tetanus difokuskan untuk menangani kejang. Adapun
langkah langkah untuk menangani tetanus adalah sebagai berikut :
a

Puskesmas
Menjaga jalan nafas tetap bebas dengan membersihkan jalan

nafas.
Pemasangan spatel lidah yang di bungkus kain untuk mencegah
lidah tergigit.

21

Berikan oksigen
Pasang infuse glucose 10% sebanyak 80ml/kg/hari
Mengatasi kejang dengan memberikan suntikan anti kejang

dengan:
Diazepam 0,5mg/kg/i.m atau supositoria
Apabila masih kejang, ulang tiap 30 menit
Ditambah Luminal 30 mg i.m. sampai kejang berhenti
Mencari tempat masuknya spora tetanus, umumnya di tali pusat

atau telinga, kemudian bersihkan.


Berikan antibiotika 1 kali (Penisilin Prokain 50.000 U/kg/hari

i.m.)
Rujuk ke rumah sakit

Rumah Sakit
Menjaga jalan nafas tetap bebas dengan membersihkan jalan

nafas.
Pemasangan spatel lidah yang di bungkus kain untuk mencegah

lidah tergigit.
Berikan oksigen
Pasang infuse glucose 10% sebanyak 80ml/kg/hari
Mencari tempat masuknya spora tetanus, umumnya di tali pusat

atau telinga, kemudian bersihkan.


Bila umur bayi lebih dari 24 jam ditambah Bikarbonas Natrikus

1,5% (4:1)
Dosis anti kejang i.v. dengan dosis rumat
Diazepam 8-10 mg/kg i.v. diganti tiap 6 jam
ATS 10.000 U/hari i.m
Ampisilin 100 mg/kg i.v. atau Prokain Penisilin 50.000 U/kg I.m

selama 3 hari
Ruang perawatan tenang dengan sedikit sinar karena penderita
sangat peka akan suara dan cahaya yang dapat merangsang
kejang. (Saifuddin, 2009)
Menurut jurnal Intrathecal antitetanus serum (horse) with steroid

in the treatment of neonatal tetanus, disebutkan bahwa pemberian ATS


secara intratechal lebih efektif karena ATS memiliki kemampuan penetrasi
yang rendah untuk memasuki cairan serebrospinal. Cara pemberian
inytratechal ini dilakukan dengan dua cara yaitu pemebrian secara lumbal
dan cisternal. Selain itu pemberian ATS dengan dexamethasone langsung
22

ke cairan serebrospinalis dapat mengurangi angka kematian akibat tetanus.


ATS yang diberikan kurang dari 24 jam dari onset kejang pertama kali
lebih efektif, namun juika pemberiannya lebih dari 24 jam maka risiko
kematian akan semakin tinggi (75%).
Prognosis
Dalam jurnal Tetanus toxoid immunization to reduce mortality
from neonatal tetanus disebutkan bahwa prognosis tetanus neonatorum
akan menjadi sangat buruk bahkan dapat mencapai kematian (100%) jika
tidak mendapatkan penanganan medis, angka kematian turun menjadi
60%-80% jika mendapatkan perawatan di rumah sakit, namun ini
tergantung pada kemampuan perawatan intensif dari rumah sakit tersebut.
Vaksin DPT atau DTwP atau DTaP
Saat ini telah beredar vaksin DTaP (DTP dengan komponen acelluler
pertussis), disamping DTwP (DTP dengan whole cell pertussis) yang telah ada
selama ini. Keduanya dapat digunakan secara bergantian, DTP adalah toksoid
difteria digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertussis. DT adalah
kombinasi toksoid difteria dan tetanus, yang dapat diberikan pada anak dengan
kontraindikasi vaksin pertussis.
Jadwal pemberian imunisasi DTP adalah diberikan 3 kali sejak umur 2
bulan ( tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-6
minggu. DTP-1 umur 2 bulan, DTP-2 umur 3 bulan, dan DTP-3 umur 4 bulan.
DTP ulangan diberikan 1 tahun setelah pemberian DTP-3 yaitu pada umur 18-24
bulan. DTP-5 diberikan pada saat anak usia 5 tahun. DT-6 diberikan saat anak usia
12 tahun pada bulan imunisasi anak sekolah (BIAS), karena kasus difteri masih
dijumpai pada anak usia 10 tahun. Vaksin disuntikkan intramuscular pada bagian
anterolateral paha sebanyak 0,5 ml.
Kemasan yang dibuat Biofarma berupa flakon 5 ml, 10 dosis. Kandungan
vaksin terdiri dari 40 Lf toksoid difteri, 15 Lf toksoid tetanus, 24 (OU) Bordatella
pertussis (mati) diserapkan kedalam alumunium fosfat dan mertiolat. Secara fisik
berupa cairan tidak berwarna, berkabut dengan sedikit endapan putih, yang rusak

23

bila beku, terkena panas, atau sinar mataharilangsung. Vaksin disimpan dalam
lemari es suhu 20-80C dengan masa kadaluarsa 2 tahun.
Kontraindikasi pemberian vaksin DTp antara lain usia anak diatas 7 tahun,
demam lebih dari 280 C, sakit berat (terutama kelainan neurologis), riwayat reaksi
berat terhadap pemberian DTP sebelumnya berupa syok, kejang, penurunan
kesadaranm atau gejala neurologis lainnya. Bila anak berusia lebiih dari 7 tahun
dapat diberi imunisasi DT. Efek samping yang mungkin terjadi setelah pemberian
imunisasi DTP adalah demam, nyeri, bengkak local. Abses steril, syok, kejang.
Bila terjadi demam dan nyeri pada tempat suntikan dapat diberi analgetikantipiretik. Bila terdapat reaksi berlebihan maka imunisasi berikutnya diberikan
DT.
2.2 Hepatitis A dan B
Hepatitis A
Etiologi
Hepatitis A disebabkan oleh virus HAV. Virus hepatitis A merupakan virus
RNA dalam famili Picornaviridae. Virus hepatitis A (HAV) menginfeksi hati,
infeksi ini dapat menyebabkan ikterik maupun non-ikterik. Ada tidaknya tanda
klinis ikterik tergantung oleh usia pasien yangmengalami hepatitis A. Pada anak
berusia kurang dari 6 tahun, lebih dari 90 % yang menderita infeksi HAV bersifat
asimtomatik. Kontrasnya, lebih dari dua pertiga anak yang lebih besar dan orang
dewasa mengalami tanda klinis ikterik setelah infeksi HAV (Committee on
InfectiousDisease Pediatrics, 2007).
Beberapa karakteristik HAV diantaranya :
a. RNA virus
b. Dikenal sebagai enterovirus 72, namun sekarang digolongkan menjadi
heptovirus
c. Hanya memiliki 1 serotif
d. Susah dikultur
e. Memiliki empat genotif

24

Transmisi melalui close personal contact, kontaminasi air dan makanan


(fecal oral) dan darah (jarang). Pola penularan virus hepatitis A terjadi melalui
fekal-oral. Artinya, keberadaan virus tersebut mula-mula terdapat dalam tinja
seseorang yang menderita hepatitis A. Kemudian menjadi virus tersebut dan
mengontaminasi makanan, minuman, atau peralatan makan yang digunakan oleh
orang lain. Sehingga orang tersebut akan sakit apabila terkontaminasi oleh
makanan, minuman, atau peralatan makan tersebut. Virus ini akan masuk melalui
mulut dan berkembang biak di dalam hati.
Faktor Risiko Penularan HAV, yaitu :
a. Sanitasi yang buruk
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Daerah padat seperti poliklinik dan rumah sakit jiwa


Jasa boga terinfeksi
Pekerja layanan kesehatan
Wisatawan internasional
Pecandu narkotika
Hubungan seksual dengan orang terinfeksi

Patofisiologi Hepatitis A

25

Pada wanita di Amerika Serikat, kehamilan bukan merupakan faktor risiko


terjadinya infeksi HAV yang lebih berat. Walaupun transmisi ke fetus tidak
biasanya terjadi, telah ada 2 laporan kasus dimana ibu yang mengalami hepatitis
A selama trimester pertama

kehamilan,

mengalami peritonitis mekonium.

anak

Risiko

mengalami hepatitis A selama trimester ketiga

dalam

kandungannya

transmisi
ke

janin

dari

dapat

ibu

yang

umumnya

rendah

(Committee onInfectious Disease Pediatrics, 2007).


Transmisi HAV terbanyak melalui fecal oral. Pada anak-anak penyebaran
virus yang banyak terjadi lewat close contact dan kontaminasi makanan dan
minuman yang mengandung HAV. Virus ini merupakan RNA virus. Feses dari
anak yang terinfeksi hepatitis A virus sangat infeksius dari 14-21 sebelum dan 8
hari setelah munculnya ikterus (Committee on InfectiousDisease Pediatrics,
2007). Masa inkubasi hepatitis A berkisar antara 15-45 hari, atau rata-rata 30 hari.
Masa penularan tertinggi adalah pada minggu kedua segera setelah timbulnya
ikterus (Price& Wilson, 2006).
Manifestasi Klinis
Secara umum, gejala hepatitis akut (hepatitis A) terbagi dalam 4 tahap
yaitu:
Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau
ikterus. Hepatitis ikterik secara umum disertai dengan demam, rasa sakit pada
abdominal kuadran kanan atas, mual, muntah, urin berwarna gelap, tinja berwarna
gelap, dan memburuknya gejala sistemik. Gejala klinik disertai dengan
meningkatnya serum bilirubin, gamma globulin dan transaminase hepatic dari 410 kali diatas normal. Kebanyakan pasien dengan anikterik akut atau hepatitis
akut juga akan mengalami fase penyembuhan untuk menyelesaikan proses
recovery tanpa menimbulkan komplikasi atau menjadi kronik.
Fase ini pada hepatitis A berkisar antara 15-50 hari (rata-rata: 30 hari), dan
berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis. Panjang fase ini tergantung pada

26

dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar dosis
inokulum, makin pendek fase inkubasi ini.
Fase Prodromal (Pre ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala
ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidious ditandai dengan malaise
umum, mialgia, atralgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas, anoreksia dan
diare. Fase preikterik yang mana setara dengan inisiasi respon imun hostdan
terjadi sebelum sel liver mengalami kerusakan yang signifikan. Fase preikterik ini
secara teratur berasosiasi seperti gejala influenza non spesifik yang terdiri atas
anoreksia, mual, pening dan meriang - meriang. Kebanyakan pasien dengan
hepatitis viral akut menunjukkan hanya sedikit gejala ringan dan kerusakan
hepatosit yang minimal.
Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan
dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah
timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru terjadi
perbaikan klinis yang nyata.
Fase Konvalesen (Penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih
sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam
2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis dan laboratorium lengkap terjadi
dalam 9 minggu dan 16 minggu untuk hepatitis B. Pada 5-10% kasus perjalanan
klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminan
(Sudoyo, 2006).
HAV resisten terhadap asam, sehingga memungkinkan virus ini untuk bisa
melewati lambung dan masuk ke dalam usus halus. Setelah masa inkubasi selama
28 hari (antara 15-50 hari), orang yang terinfeksi dapat mengalami vague dan
gejala-gejala non-spesifik. Salah satu gejala awal yang sering menjadi perhatian

27

medis yaitu terlihatnya urine yang berwarna gelap, yang biasanya didahului oleh
penyakit prodromal ringan selama 1-7 hari, yaitu meliputi anoreksia, malaise,
demam, mual, dan muntah. Dalam beberapa hari setelah onset bilirubinemia, feses
mulai clay colored , dan sklera, kulit, serta membran mukosa mulai menjadi
jaundice (kuning). Hepatomegali dapat ditemukan dalam pemeriksaan fisik. Tidak
adanya pewarnaan feses dapat kembali normal dalam 2 hingga 3 minggu, yang
sering mengindikasikan adanya perbaikan dari penyakit. Pruritus jarang terjadi.
Durasi penyakit bervariasi, tetapi sebagian besar pasien secara signifikan
membaik dalam 3 hingga 4 minggu, termasuk perbaikan dari meningkantnya
konsentrasi enzim-enzim hepatoseluler.
Efek patologik hepatitis A terhadap hati terbatas. Saat HAV bereplikasi
dalam sel-sel hati,virions dilepaskan ke dalam sinusoid hepatik dan kanalikuli
bilier, kemudian menuju ke usus dan diekskresikan ke dalam feses. Puncak
infektivitas terjadi selama 2 minggu sebelum onset jaundice atau peningkatan
kadar enzim-enzim hepar dalam serum. Viremia terjadi segera setelahinfeksi
terjadi dan muncul selama periode meningkatnya konsentrasi enzim hepatoseluler,
tetapikonsentrasi virus dalam darah lebih sedikit dibandingkan yang berada dalam
feses.
Infeksi Hepatitis A selama masa kanak-kanak sebagian besar asimptomatik
dan menimbulkan imunitas seumur hidup, sedangkan infeksi setelah masa kanakkanak akan disertai dengan peningkatan keparahan dari gejala dan dapat
menimbulkan kematian.
Pemeriksaan Penunjang
Tes serologi untuk mengetahui kadar immunoglobulin M Hepatitis - A
virus (IgM HAV) yang dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya infeksi virus
hepatitis A serta untuk menentukan apakah infeksi terjadi akut atau tidak. Tes
serologi ini penting untuk skrining anak-anak yang rentan terkena penyakit ini.
Diagnosis hepatitis A ditegakkan dengan tes darah untuk mencari dua jenis
antibodi terhadap virus, yang disebut IgM dan IgG. Pertama, dicari antibody IgM,
yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh 5-10 hari sebelum gejala muncul dan

28

biasanya hilang dalam 6 bulan. Tes juga mencari antibody IgG yang
menggantikan antibody IgM yang seterusnya melindungi infeksi HAV.

Apabila tes darah menunjukkan negative untuk antibody IgM dan IgG
kemungkinan pernah terinfeksi HAV. Sebaiknya pertimbangkan untuk

vaksinasi HAV.
Apabila tes menunjukkan positif untuk antibodi IgM dan negatif untuk IgG,
maka kemungkinan tertular dalam 6 bulan terakhir ini dan sistem kekebalan

sedang mengeluarkan virus atau infeksi menjadi semakin parah.


Apabila tes menunjukkan negatif untuk antibodi IgM dan positif untuk
antibodi IgG, maka kemungkinan terinfeksi HAV pada suatu waktu
sebelumnya atau sudah divaksinasi terhadap HAV sehingga lebih kebal
terhadap HAV.

Terapi
Tidak ada terapi yang spesifik yang dapat meringankan penyakit pada
hepatitis A. Bed rest atau tirah baring mungkin dapat membantu meringankan.
Jika pasien mengalami vomiting yang frekuent, perlu diperhatikan bila ada gejala.
Pasien harus menghindari alcohol dan obat-obatan yang dimetabolisme di hepar
atau dapat memperparah hepar.
Pencegahan
Cara yang paling efektif sebagai pencegahan hepatitis A antara lain
sanitasi yang baik, perbaikan hygiene makanan dan minuman, imunisasi maupun
vaksinasi. Sebagai contoh, tersedianya pasokan air minum yang aman, tempat
pembuangan limbah dalam masyarakat yang baik, adanya praktek kebersihan
pribadi seperti mencuci tangan secara teratur dengan air bersih.
Upaya Imunisasi Hepatitis A
Vaksinasi terhadap hepatitis A harus menjadi bagian dari rencana
komprehensif untuk pencegahan dan pengendalian virus hepatitis. Semua anak
yang berusia > 1 tahun, kelompok faktor risiko, pasien penyakit hati kronis dan
orang-orang dengan gangguan pembekuan darah sebaiknya menerima vaksin
hepatitis A. Terdapat dua jenis vaksin hepatitis A yang berlisensi di AS adalah

29

Vaqta dan Havrix. Efek samping dari vaksin tersebut adalah rasa sakit dan panas
di tempat injeksi, sakit kepala, tidak enak badan dan nyeri. Adapun efek samping
serius seperti anafilaksis, sindrom Guillain Barre, brachial plexus neuropathy,
tranverse myelitis, sklerosis multipel, enselopati dan erythema multiforme juga
pernah dilaporkan.

Hepatitis B
Penyakit hepatitis B disebabkan virus hepatitis B (VHB), anggota famili
Hepadnavirus. Virus hepatitis B menyebabkan peradangan hati akut atau
menahun, yang pada sebagian kasus berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker
hati. Hepatitis B mula-mula dikenal sebagai "serum hepatitis" dan telah menjadi
epidemi pada sebagian Asia dan Afrika. Hepatitis B telah menjadi endemik di
Tiongkok dan berbagai negara Asia.
Penyebab hepatitis ternyata tak semata-mata virus. Keracunan obat dan
paparan berbagai macam zat kimia seperti karbon tetraklorida, chlorpromazine,
chloroform, arsen, fosfor dan zat-zat lain yang digunakan sebagai obat dalam
industri modern, juga bisa menyebabkan hepatitis. Zat-zat kimia ini mungkin saja
tertelan, terhirup atau diserap melalui kulit penderita. Menetralkan racun dalam
darah adalah pekerjaan hati. Jika terlalu banyak zat kimia beracun masuk ke
dalam tubuh, hati bisa rusak sehingga tidak dapat lagi menetralkan racun-racun
lain.
Manifestasi Klinis

30

Masa inkubasinya 6-8 mingg. Lamanya masa inkubasi ini tergantung dari
faktor pejamu. Gejala infeksi HBV akut sangat jarang ditemukan pada masa anak,
haanya terjadi pada 5% bayi, 5-15% anak berusia 1-5 tahun. Sedangkan pada anak
yang lebih besar dan dewasa 33-50%. Pada kasus yang simptomatik akut,
umumnya ditemukan malaise, anoreksia, rasa tidak enak di perut yang biasanya
mendahului timbulnya ikterus dan timbulnya dalam beberapa minggu sampai
bulan setelah terpapar virus. HBsAg mulai terdeteksi dalam fase ini. Pada
pemeriksaan fisis, umumnya hanya ditemukan hepatomegali. Gejala artralgia dan
kemerahan pada kulit yang kadang-kadang timbul, kemungkinan berhubungan
dengan pembentukan kompleks HBsAg- anti HBs. Hal tersebut timbul sebelum
terjadi peningkatan kadar SGPT dan manifestasi lain yang menunjukkan
keterlibatan hati.
Tanda dan gejala
Tanda dan gejala hepatitis B biasanya muncul sekitar 3 bulan setelah
terinfeksi dan dapat berkisar dari ringan sampai parah. Tanda dan gejala Hepatitis
B hampir sama dengan hepatitis A, yaitu:
a. Urine gelap
b. Sakit perut
c. Demam
d. Nyeri sendi
e. Kehilangan nafsu makan
f. Mual dan muntah
g. Kelemahan dan kelelahan
h. Kulit menguning dan bagian putih mata (jaundice).
Kebanyakan orang yang terinfeksi hepatitis B di saat dewasa sepenuhnya
pulih. Namun bayi dan anak-anak jauh lebih mungkin untuk mengembangkan
infeksi Hepatitis B kronis. Belum ada obat untuk hepatitis B namun vaksin dapat
mencegah penularan penyakit ini. Penyakit Hepatitis B bukan tidak bisa
disembuhkan, namun proses pengobatannya biasanya dilakukan dalam jangka
waktu lama atau bahkan seumur hidup. Jika tidak diobati, hepatitis B bisa
berkembang menjadi sirosis dan kanker hati. Gejala hepatitis B umumnya ringan.

31

Gejala hepatitis B dapat berupa selera makan hilang, rasa tidak enak di perut,
mual sampai muntah, demam ringan, kadang-kadang disertai nyeri sendi dan
bengkak pada perut kanan atas. Setelah satu minggu akan timbul gejala utama
seperti bagian putih mata tampak kuning, kulit seluruh tubuh tampak kuning dan
air seni berwarna seperti teh.
Penularan
Hepatitis B merupakan bentuk hepatitis yang lebih serius dibandingkan
dengan jenis hepatitis lainnya. Penderita hepatitis B bisa dari semua golongan
umur.
Ada beberapa cara penularan virus hepatitis B:

Secara vertikal, penularan terjadi dari ibu pengidap virus hepatitis B


kepada bayi yang dilahirkan, yaitu pada saat persalinan atau segera setelah
persalinan.

Secara horisontal, dapat terjadi akibat penggunaan alat suntik yang


tercemar, tindik telinga, tusuk jarum, transfusi darah, penggunaan pisau
cukur dan sikat gigi secara bersama-sama (Hanya jika penderita hepatitis
B memiliki penyakit mulut (sariawan, gusi berdarah, dll) atau luka yang
mengeluarkan darah) serta hubungan seksual dengan penderita hepatitis B.
Sebagai antisipasi, biasanya darah-darah dari pendonor dilakukan tes

terlebih dulu apakah reaktif terhadap hepatitis, sipilis dan HIV. Sesungguhnya,
tidak semua yang positif hepatitis B perlu ditakuti. Dari hasil pemeriksaan darah,
dapat terungkap apakah ada riwayat pernah kena hepatitis B dan sekarang sudah
kebal, atau bahkan virus hepatitis B sudah tidak ada lagi. Bagi pasangan yang
hendak menikah, dianjurkan memeriksakan pasangannya untuk mencegah
penularan hepatitis B.
Diagnosis
Dibandingkan virus HIV, virus hepatitis B (HBV) seratus kali lebih ganas
dan sepuluh kali lebih menular (infectious). Virus ini juga dapat bertahan hidup di

32

luar tubuh manusia selam 7 hari. Kebanyakan gejala hepatitis B tidak jelas
terlihat.
Hepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati yang
disebabkan infeksi virus hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis ditandai dengan
HBsAg positif (>6 bulan) di dalam serum, tingginya kadar HBV DNA dan
berlangsungnya proses nekroinflamasi kronis hati. Carrier HBsAg inaktif
diartikan sebagai infeksi HBV persisten hati tanpa nekroinflamasi. Sedangkan
hepatitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan
peningkatan intermiten ALT>10 kali batas atas nilai normal (BANN). Diagnosis
infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda virologi,
biokimiawi dan histologi.

Secara serologi, pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi

infeksi hepatitis B kronis adalah : HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV DNA.
Pemeriksaan virologi, dilakukan untuk mengukur jumlah HBV DNA serum,
sangat penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus hepatitis

B.
Pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan terapi
adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktivitas
nekroinflamasi. Oleh karena itu, pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai
prediksi

gambaran

histologi.

Pasien

dengan

proses

nekroinflamasi

menunjukkan kadar ALT lebih berat dibandingkan pada ALT normal. Pasien
dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi kurang baik pada terapi
antiviral. Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal dipertimbangkan
untuk tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan histologi menunjukkan
proses nekroinflamasi aktif.
Sedangkan tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat

kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan


menentukan manajemen anti viral.
Ada 3 kemungkinan tanggapan kekebalan tubuh terhadap virus hepatitis B
pasca periode akut. Kemungkinan pertama, jika tanggapan kekebalan tubuh
adekuat, maka akan terjadi pembersihan virus hepatitis B, pasien sembuh. Kedua,
jika

tanggapan

kekebalan

tubuh

lemah,

33

maka

pasien

tersebut

akan

menjadi carrier hepatitis

inaktif.

Ketiga,

jika

tanggapan

tubuh

bersifatintermediate (antara dua hal di atas), maka penyakit terus berkembang


menjadi hepatitis B kronis.
Penatalaksanaan
Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pada awal
periode simptomatik dianjurkan tirah baring. Pasien dirawat bila ada dehidrasi
berat dengan kesulitan masukan peroral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai
normal, atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Pemantauan dilakukan 6
bulan kemudian dengan memeriksa fungsi hati dan serologi HBV. Apabila HBsAg
saat itu positif dinyatakn sbagai pengidap kronis HBV.
Pengobatan
Infeksi virus hepatitis B menyebabkan sel-sel hati mengalami kerusakan
sehingga hati tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Umumnya, sel-sel hati
dapat tumbuh kembali dengan sisa sedikit kerusakan, tetapi penyembuhannya
memerlukan waktu berbulan-bulan dengan diet dan istirahat cukup.
Hepatitis B akut umumnya sembuh. Hanya 10% menjadi hepatitis B
kronik (menahun) dan berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Saat ini
beberapa perawatan hepatitis B kronis dapat meningkatkan kesempatan hidup bagi
penderita hepatitis B. Perawatannya tersedia dalam bentuk antiviral seperti
lamivudine dan adefovir dan modulator sistem kebal seperti Interferon Alfa
(Uniferon).
Selain itu, ada juga pengobatan tradisional hepatitis B. Tumbuhan obat
atau herbal yang digunakan untuk mencegah dan membantu pengobatan hepatitis
di antaranya mempunyai efek hepatoprotektor, yaitu melindungi hati dari
pengaruh zat toksik yang merusak sel hati, juga bersifat anti radang, kolagogum
dan khloretik, yaitu meningkatkan produksi empedu oleh hati. Beberapa jenis
tumbuhan obat untuk pengobatan hepatitis, antara lain temulawak, kunyit,
sambiloto, meniran, daun serut/mirten, jamur kayu/lingzhi, akar alang-alang,
rumput mutiara, pegagan, buah kacapiring, buah mengkudu, jombang.

34

Pencegahan
Penularan virus hepatitis B dicegah dengan memelihara gaya hidup bersih
sehat, misalnya menghindari narkotika, tato, tintik badan, hubungan homoseksual,
hubungan seks multi partner. Selain itu, pencegahan paling efektif terhadap
hepatitis B adalah dengan imunisasi (vaksinasi) hepatitis B. Imunisasi hepatitis B
dilakukan tiga kali, yaitu bulan pertama, dua bulan dan enam bulan kemudian.
Imunisasi hepatitis B dianjurkan bagi setiap orang dari semua golongan umur.
Kelompok yang paling membutuhkan imunisasi hepatitis B yaitu bayi baru lahir,
orang lanjut usia, petugas kesehatan, penderita penyakit kronis (seperti gagal
ginjal, diabetes, jantung koroner), pasangan yang hendak menikah, wanita pra
kehamilan.
2.3 Poliomelitis
A. Pengertian Polio
Polio atau poliomyelitis adalah penyakit paralisis atau lumpuh yg
disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang
dinamakan poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi
saluran usus. Viru ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke system
saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan
(paralisis).
B. Etiologi
Virus polio termasuk family Picornavirus dan genus Enterovirus
merupakan virus kecil dengan diameter 20-32 nm, berbentuk sferis dengan
ukuran utamanya RNA yang terdiri dari 7.433 nukleotida, tahan pada Ph
3-10, sehingga dapat tahan terhadap asam lambung dan empedu. Virus
tidak rusak beberapa hari dalam temperature 2-8 C, tahan terhadap
gliserol, eter, fenol 1 % dan bermacam-macam detergen, tetapi mati pada
sushu 50-55 C selama 30 menit, bahan oksidator, formalin , klorin dan
sinar ultraviolet.
Secara serologi virus polio dibagi 3 tipe yaitu :
a. Tipe I Brunhilde
b. Tipe II Lansing
c. Tipe III Leon

35

Tipe I yang sering menimbulkan epidemic yang luas dan ganas ,


tipe II kadang kadang menyebabkan kasus yang sporadic dan tipe III
menyebabkan epidemic ringan. Di Negara tropis dan subtropics
kebanyakan disebabkan oleh tipe II dan III dan virus ini tidak
menimbulkan imunitas silang.
C. Patologi
Tanda klinis yang bervariasi akibat infeksi virus polio, mencerminkan
gambaran patologi yang beraneka ragam dan sesuai dengan lesi yang terkena,
tetapi tidak semua kerusakan dapat membaik dalam 3-4 minggu setelah
timbulnya gejala.
Daerah yang biasanya terkena ialah :
1. Medulla spinalis terutama kornu anterior
2. Batang otak pada nucleus vestibularis, inti- inti saraf cranial dan
formation retikularis yang mengandung pusat vital.
3. Serebellum terutama inti-inti pada verniks
4. Midbrain pada masa kelabu, substansia nigra dan kadang kadang
5.
6.
7.
8.

nucleus rubra
Thalamus dan hipotalamus
Palidum
Korteks cerebri daerah motoris
Medulla spinalis yang sering kena ialah segmen cervikalis dan
lumbalis .
Gambaran patologi ialah kerusakan motor neuron, pada awalnya

memperhatikan partikel halus yang menyebar dan butiran kasar yang


disebut dengan badan-badan Nissl (sel neuron mengalami kromatolisis

36

dan pembengkakakn sitoplasma). Pada keadaan ini neuron masih dapat


membaik. Pada stadium lanjut, badan badan Nissl tidak ada dan
sitoplasma jadi homogeny dan agak basofilikk, inti sel mengerut,
kadang-kadang didapati infiltrasi eosinofilik didalam inti sel.
Pada kerusakan lebih lanjut, bila terjadi kematian neuron, maka
sejumlah fagosit mengelilingi sel, inti sel hilang dan sitoplsma
mengerus sehingga batas sel tidak jelas dan akson terputus. Pada
autopsy terlihat adanya serbukan limfosit, tapi keadaan akut, fase
pertama terlihat infiltrasi sel PMN. Setelah fase akut berakhir, sel
neuron yang mati diganti oleh jaringan ikat, sehingga medulla spinalis
yang terkena menjadi kecil. Terjadinya paralisis asimetris dan atrofi
otot sesuai dengan persarafan medulla spinalis yang terkena.
Gambaran

mikroskopis

ini

tidak

patognomonis

untuk

poliomyelitis, karena gambaran lesi ini sama dengan gambaran


mikroskopis yang disebabkan oleh virus virus neutropik yang lain.
D. Jenis jenis Polio
1. Polio Non- Paralisis
Polio non paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit perut,
lesu dan sensitive. Terjadi kram otot pada leher dan punggung, otot
terasa lembek jika disentuh
2. Polio Paralisis Spinal
Strain poliovirus

ini

menyerang

saraf

tulang

belakang,

menghancurkan sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan


batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun strain ini dapat menyebabkan
kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari 200 penderita
akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan
terjadi pada kaki. Setelah poliovirus menyerang usus, virus ini akan
diserap oleh kapiler darah pada dinding usus dan diangkut seluruh
tubuh. Poliovirus menyerang saraf tulang belakang dan neuron motor
yang mengontrol gerak fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti
flu. Namun, pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum
divaksinasi, virus ini biasanya akan menyerang seluruh bagian batang
37

saraf tulang belakang dan batang otak. Infeki ini akan mempengaruhi
system saraf pusat menyebar sepanjang serabut saraf. Seiring dengan
berkembang biaknya virus dalam system saraf pusat, virus akan
menghancurkan neuron motor. Neuron motor tidak memiliki
kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak
akan bereaksi terhadap perintah dari system saraf pusat. Kelumpuhan
pada kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas kondisi ini disebut
acute flaccid paralysisi (AFP). Infeksi parah pada system saraf pusat
dapat menyebabkan kelumpuhan pada batang tubuh dan otot pada
toraks dan abdomen, disebut quadriplegia.
3. Polio Bulbar
Polio jenis ini disebabkan tidak adanya kekebalan alami sehingga
batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung neuron motor
yang mengatur pernapasan dan saraf cranial, yang mengirim sinyal ke
berbagai otot yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal
dan saraf muka yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi,
dan otot muka; saraf auditori yang mengatur

pendengaran; saraf

glossofaringeal yang membantu proses menelan dan berbagai fungsi di


kerongkongan, pergerakan lidah dan rasa;saraf yang mengirim sinyal
ke jantung usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur
pergerakan leher.
Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabakan
kematian. Lima hingga sepuluh persen penderita yang menderita polio
bulbar akan meninggal ketika otot pernapasan mereka tidak dapat
bekerja. Kematian biasanya setelah terjadi kerusakan pada saraf cranial
yang bertugas mengirim perintah bernafas ke paru-paru. Penderita juga
dapat meninggal karena kerusakan pada fungsi penelanan; korban
dapat

tenggelam

dalam

sekresinya

sendiri

kecuali

dilakukan

penyedotan atau diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot cairan


yang disekresikan sebelum masuk ke dalam paru-paru. Namun
trakeostomi juga sulit dilakukan apabila penderita telah menggunakan
paru-paru besi(iron lung). Alat ini membantu paru-paru yang lemah
dengan cara menambah dan mengurangi tekanan udara di dalam
38

tabung. Kalau tekanan udara ditambah, paru-paru akan mengempis,


kalau tekanan udara dikurangi, paru-paru akan mengembang. Dengan
demikian udara terpompa keluar masuk paru-paru. Infeksi yang jauh
lebih parah dari otak menyebabkan koma dan kematian.
Tingkat kematian karena polio bulbar berkisar 25-75% tergantung
usia penderita . hingga saat ini , mereka yang bertahan hidup dari polio
jenis ini harus hidup dengan paru-paru besi atau alat bantu pernafasan.
Polio bulbar dan spinal sering menyerang bersamaan dan merupakan
sub kelas dari polio paralisis. Polio paralisis tidak bersifat permanen.
Penderita yang sembuh dapat memiliki fungsi tubuh yang mendekati
normal.
E. Gambaran Klinis
Sebagian besar (90%) infeksi virus polio akan menyebabkan inapparent
infection, sedangkan 5 persen akan menampilkan gejala abortive infection,
1 persen non paralytic, sedangkan sisanya menunjukan tanda klinik
paralitik
Penderita yg menunjukkan tanda klinik paralitik, 30 persen akan
sembuh, 30 persen menunjukkan kelumpuhan ringan, 30 persen
menunjukkan kelumpuhan berat, 10 persen menunjukkan gejalan yg berat
dan bisa menimbulkan kematian. Masa inkubasi biasanya 3-35 hari.
Penderita sebelum masa ditemukannya vaksin, terutama berusia di bawah
5 th. Setelah adanya perbaikan sanitasi serta penemuan vaksin, penderita
bergeser usianya pada kelompok anak beruia diatas 5 th.
Pada stadium akut (sejak adanya gejala klinis hingga 2 minggu)
ditandai dengan suhu tubuh yang meningkat, jarang lebih dr 10 hr, kadang
disertai sakit kepala dan muntah.
Kelumpuhan terjadi dalam seminggu dari permulaan sakit.
Kelumpuhan ini terjadi sebagai akibat dari kerusakan sel sel motor
neuron di Medulla spinali yg disebabkan karena invasi virus. Kelumpuhan
ini bersifat asimetris sehingga cenderung menimbulkan deformitas
(gangguan bentuk tubuh) yang cenderung menetap atau bahkan menjadi
lebih berat. Sebagian besar kelumpuhan akan mengenai lengan.
Kelumpuhan ini akan berjalan bertahap memakan waktu 2 hari s/d 2 bulan.

39

Pada stadium sub akut (2 minggu 2 bln) ditandai dengan


menghilangnya demam dalam waktu 24 jam atau kadang suhu tidak terlalu
tinggi. Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Kelumpuhan
anggota gerak yang layuh dan baisanya pada salah satu sisi.
Stadium convalescent (2 bln s/d 2 th) ditandai dengan pulihnya
kekuatan otot yang lemah. sekitar 50-70 persen dari fungsi otot pulih
dalam waktu 6-9 bln setelah fase akut. Selanjutnya, sesudah usia 2 th
diperkirakan tidak terjadi lagi perbaikan kekuatan otot. Stadium kronik
atau lebih 2 th dari gejala awal penyakit biasanya menunjukkan kekuatan
otot yang mencapai tingkat menetap dan kelumpuhan otot yang ada
bersifat permanen.

F. Masa Inkubasi
40

Masa inkubasi penyakit polio 3-6 hari dan kelumpuhan terjadi dalam
waktu 7-21 hari. Paparan virus polio pada seseorang dapat menimbulkan
bentuk klinik :
1. Inapparent infection, tanpa gejala klinik, yg banyak terjadi (72 %)
2. Infeksi klinik ringan, sering terjadi (24 %) dengan gejala panas, lemas,
malaise, pusing, muntah, tenggorokan sakit dan gejala kombinasi
3. Abortive poliomyelitis, jarang terjadi (4 %) didahului dengan panas,
malaise, pusing, muntah , dan sakit perut
4. Paralytic Poliomyelitis, dimulai dari gejala seperti pd infeksi klinik
ringan, diselang dengan periode 1-3 hr tanpa gejala lalu disusul dengan
nyeri otot, kaku otot dan demam.
5. Post polio syndrome (PPS) yaitu bentuk manifestasi lambat (15-40 th)
setelah infeksi polio dengan gejala klinik polio paralitik yg akut.
Gejala yang muncul adalah nyeri otot luar biasa, paralisis baru.
Pathogenesis blm jelas namun bukan akibat infeksi yang persisten.
G. Penyebaran Penyakit
Virus ditularkan oleh infeksi droplet dari oro faring (mulut dan
tenggorokan) atau tinja penderita yg terinfeksi. Penularan terutama terjadi
melalui fekal oral atau yang jarang melalui oral-oral.
Virus polio sangat tahan terhadap alcohol dan lisol, namun peka
terhadap formaldehid dan larutan klor. Suhu yang tinggi cepat mematikan
virus, tetapi pada keadaan beku dapat bertahun-tahun. Ketahanan virus di
tanah air sangat tergantung kelembaban suhu dan adanya mikroba lainnya.
Virus ini dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan,
bahkan dapat sampai berkilo kilometer dari sumber penularan. Meskipun
penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan oleh viru polio dari
penderita yang infeksius, namun virus ini hidup di lingkungan terbatas.
Salah satu inang atau makhluk hidup perantara yang dapat dibuktikan
sampai kini adalah manusia.
H. Diagnosa
Diagnosa poliomyelitis ditegakkan berdasarkan :
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
Tanda tanda vital penting dinilai pada virus polio. Gejala dapat
bervariasi dari infeksi yang tidak jelas sampai paralitik
c. Pemeriksaan neurologis

41

Terdapat kelemahan otot :


- Otot otot tubuh terserang paling akhir
- Sensorik biasanya normal
- Reflek tendon dalam biasanya menurun atau tidak ada sama sekali
- Atrofi otot biasanya mulai terlihat 3-5 minggu setelah paralisis ,
dan menjadi lengkap dalam waktu 12-15 minggu serta bersifat
-

permanen
Gangguan fungsi otonom sesaat, biasanya ditandai dengan retensi

urin
Tanda tanda rangsang meningeal
Gangguan sarf cranial (poliomyelitis bulbar). Dapat mengenai saraf
cranial IX dan X atau III. Bila mengenai formasio retikularis di
batang otak maka terdapat gangguan bernafas, menelan, dan

system kardiovaskular.
d. Pemeriksaan Penunjang
- Isolasi virus. Virus polio dapat diisolasi dari apusan faring, urine,
-

atau feses penderita polio


Serologi : periksa konsentrasi antibodi pada fase akut dan
konvalesen. Kadar tinggi saat fase akut sampai 3-6 minggu
setelahnya. Dapat naik hingga 4 kali lipat. Diagnosis fase akut
dapat ditunjukkan oleh kenaikan titer igG sebanyak 4 kali lipat atau

titer igM positif.


Cairan serebrospinalis.

Cairan

serebrospinalis

menunjukkan

kenaikan leukosit (10-200 sel/mm3, terutama limfosit) dan


kenaikan ringan protein sekitar 40-50 mg/100ml.
I. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk poliomyelitis
a. Simptomatis
Analgesic atau NSAID diberikan untuk mengatasi mialgia, spasme
otot, dan nyeri kepala. Bila terjadi kelumpuhan otot otot pernafasan,
diperlukan ventilator portable.
b. Mempercepat pertumbuhan
Tirah baring sampai gejala demam mereda, cegah kelelahan, makanan
kaya nutrisi, terapi fisik dengan penyanggah atau sepatu korektif,
terapi fisik untuk poliomyelitis paralitik, mobilisasi intensif serta
gerakan aktif, dan pasif untuk tahap pemulihan.
J. Pencegahan

42

Mencegah komplikasi
Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi traktus urinarius,
Betanekol dapat mencegah retensio urin. Terapi okupasional dan
terapi bicara.
Pencegahan
Menjaga kebersihan penting dalam pencegahan. Terdapat 2 tipe
vaksin yang digunakan dalam pencegahan poliomyelitis :
1. Vaksin polio yg tidak aktif (Inactivated Polio Vaccine/IPV)
Vaksin primer. Diberikan dalam 3 dosis awal : saat usia 6
minggu atau biasanya pada usia 2 bulan, usia 4 bulan, dan usia
antara 6-18 bln. Dosis keempat diberikan pada usia 4 tahun.
2. Vaksin polio oral (Oral Polio Vaccine/OPV)
Pemberian sama dengan IPV
K. Prognosis
Prognosis polio bergantung pada derajat penyakitnya. Pada polio ringan
dan sedang , kebanyakan pasien sembuh sempurna dalam jangka waktu
singkat. Penderita polio spinal 50 % akan sembuh sempurna, 25 %
mengalami disabilitas ringan, 25 % disabilitas serius dan permanen.
Sebanyak 1 % penderita polio berat akan mengalami kematian.
2.4 Campak
Campak ( Gabak, Morbili, Measles, Rubeola) merupakan penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus Morbillivirus. Diperkirakan 30.000 anak meninggal
setiap tahun karena komplikasi yang diakibatkan oleh campak di Indonesia. Pada
tahun 2002, dilaporkan 777.000 kematian, 202.000 kematian diantaranya berasal
dari negara ASEAN serta 15% dari kematian akibat campak berasal dari
Indonesia. Penderita campak terbanyak adalah anak anak dengan usia kurang
dari 12 bulan, diikuti kelompok usia 1 4 tahun dan 5 14 tahun terlebih yang
tidak mendapatkan imunisasi campak.
Cara penularan
Penularan virus Morbillivirus dari orang ke orang melalui percikan air
ludah dan tansmisi melalui udara (sampai 2 jam setelah penderita meninggalkan
ruangan). Waktu penularannya 4 hari sebelum muncul ruam dan 4 hari setelah

43

muncul ruam. Sedangkan waktu penularan maksimum pada 3 4 hari setelah


munculnya ruam.
Manifestasi klinis campak
Gejala campak jarang dideteksi sejak dini. Hal ini disebabkan karena
gejala penyakit campak-seperti batk, pilek dan demam-hampir sama dengan
penyakit flu biasa. Pada penyakit campak biasanya muncul ruam dikulit yang
dapat berubah warna dari kemerahan menjadi coklat kehitaman. Perlu
diperhatikan perbedaan antara ruam campak dan ruam biang keringat. Pada ruam
karena biang keringat tidak disertai dengan demam, melainkan hanya rasa gatal.
Lokasinya ada ditempat yang banyak berkeringat seperti lipatan leher, ketiak,
tubuh, atau lipatan paha. Sedangkan gejala campak biasanya diawali dengan
batuk, pilek, demam, lesu dan rewel. Setelah itu baru timbul bercak merah.
Lokasinya disekitar muka, atau dibelakang telinga. Lalu menyusul ke depan
telinga, muka, dan kemudian menyebar ke leher. Ketika ruam mencapai wajah
anak, kedua mata bisa ikut terkena, sehingga berwarna merah, banyak
mengeluarkan kotoran dan air. Seringa kali bibir menjadi pecah-pecah. Setelah itu,
ruam mejalar sampai ke dada. Bercak merah di bagian wajah dan dada ini
biasanya sifatnya mengumpul. Baru ketika menjalar ke tungkai kaki, bercaknya
menjadi menyebar. Ketika ruam sudah keluar semua panas anak mulain turun.
Kemudian bercak merah menjadi bercak kecoklatan. Dan itu berarti anak masuk
ke fase penyembuhan.
Secara singkat gejala gejala campak dapat dibagi menjadi 3 stadium yaitu:

Stadium kataral (prodromal) berlangsung 4-5 hari. Gejala menyerupai


influenza, yaitu, demam, malaise, batuk, fotofobia, konjungtivitis, dan
koriza. Gejala khas (patognomonik) adalah timbulnya bercak Koplik
menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantem.
Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum, dikelilingi oleh
eritema, dan berlokalisasi di mukosa bukalis berhadapan dengan molar

bawah.
Stadium erupsi. Gejala pada stadium kataral bertambah dan timbul
enantem di palatum durum dan palatum mole. Kemudian terjadi ruam
44

eritematosa yang berbentuk macula-papula disertai meningkatnya suhu


badan. Ruam mula-mula timbul dibelakang telinga, di bagian lateral
tengkuk, sepanjang rambut, dan bagian belakang bawah. Dapat terjadi
perdarahan ringan, rasa gatal, dan muka bengkak. Ruam mencapai anggota
bawah pada hari ketiga dan menghilang sesuai urutan terjadinya. Dapat
terjadi pembesaran kelenjar getah bening mandibular dan leher bagian
belakang, splenomegaly, diare, dan muntah. Variasi lain adalah black
measles, yaitu morbili yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung

dan traktus digestivus.


Stadium konvalensi. Gejala padastadium kataral mulai menghilang, erupsi
kulit berkurang dan meninggalkan bekas di kulit berupa hiperpigmentasi
dan kulit bersisik yang bersifat patognomonik.

Komplikasi penyakit campak


Sering
-Diare

yang

dapat

diikuti

Jarang
- Encephalitis / radang otak

dehidrasi

- Myocarditis / radang otot jantung

-Radang paru-paru

- Pneumonia / radang paru-paru

-Malnutrisi

- Subacute Sclerosing Pan Encephalitis (SSPE):

-Radang telinga tengah

proses degeneratif susunan saraf pusat. Disebabkan

-Sariawan

karena infeksi virus yang menetap.

-Komplikasi mata

Pengobatan
Pada umumnya penyakit Campak dapat sembuh dengan sempurna.
Komplikasi terjadi bila kekebalan anak tidak bagus atau anak menderita kurang
gizi. Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan yang cukup,
suplemen nutrisi, obat anti-demam, obat batuk dan pilek. Bila tidak ada
komplikasi dilakukan rawat jalan. Anak perlu dirawat inap bila anak mengalami
demam tinggi (>39C), dehidrasi, kejang, asupan makanan / minuman sulit, atau
adanya komplikasi. Selain itu anak juga perlu untuk diisolasi untuk mencegah
penularan virus Morbilli.

45

Selain diberikan obat anak juga diberikan Vitamin A 100.000 IU untuk


anak usia 6 12 bulan dan 200.000 IU untuk anak usia lebih dari 12 bulan.
Vitamin A berfungsi untuk perbaikan selaput lender ( mata, mulut, hidung, usus )
yang meradang.
Pencegahan
Vaksin Campak
Penyakit campak dapat dicegah dengan vaksinasi campak yang
merupakan imunisasi rutin pada anak. Pemberian vaksin ini menimbulkan
kekebalan aktif terhadap penyakitr campak. Imunisasi campak dianjurkan
diberikan satu dosis pada usia 9 bulan, pemberian vaksin dibawah usia 9 bulan
kurang efektif karena bayi masih mendapat proteksi kekebalan dari ibu.
Sedangkan pada kejadian luar biasa dapat diberikan pada umur 6 bulan dan
diulang 6 bulan kemudian.
Ada dua jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus
campak hidup yang dilemahkan dan vaksin yang berasal dari virus campak yang
dimatikan. Vaksin disuntik subkutan dalam sebanyak 0,5 ml. Kemasannya yang
dibuat oleh Biofarma berupa flakon 10 dosis dan pelarut akuabides 5 ml.
Kandungan vaksin yang sudah dilarutkan terdiri dari virus campak ridak kurang
dari 5000 TCID50 atau PFU, kanamisin sulfat tidak lebih dari 100 mcg, dan
eritromisin tidak lebih dari 30 mcg. Secara fisik vaksin yang beku kering,
sedangkan setelah dilarutkan tidak tahan panas (suhu 2 0 -80 C) sehingga harus
selalu tersimpan dalam pendingin serta harus dipaki dalam waktu 8 jam. Vaksin
harus disimpan dalam suhu 20 -80 C (masa kadaluarsa 2 tahun), untuk
penyimpanan jangka panjang disimpan dalam suhu -200C dan dihindarkan dari
sinar matahari serta pelarutnya disimpan dalam tempat yang sejuk. Imunisasi
ulangan perlu diberikan pada saat anak masuk SD (5 6 tahun) untuk
mempertinggi serokonversi. Apabila anak pada usia 15 18 bulan telah
mendapatkan vaksin MMR, maka imunisasi ulangan campak pada usia 5 tahun
tidak perlu diberikan.
Kontraindikasi pemberian vaksin campak antara lain infeksi akut disertai
demam

lebih

dari

380C,

defisiensi

46

imunologis,

pengobatan

dengan

imunosupresif, alergi protein telur, hipersentivitas terhadap kanamisin dan


eritromisin, dan wanita hamil. Reaksi KIPI yang mungkin terjadi setelah
pemberian vaksin campak berupa demam, ruam kulit, diare, konjungtivitis, dan
gejala kataral serta ensefalitis (jarang).
2.5 TBC
A. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis.

B. Penyebab
Tuberkulosis

merupakan

penyakit

infeksi

yang

disebabkan

oleh

Mycobacterium tuberculosis.

C. Tanda dan Gejala


Gejala umum:
1. Batuk terus menerus lebih dari 4 minggu atau lebih dengan atau tanpa
sputum
2. Badan lemah
3. Gejala flu
4. Demam derajat rendah
5. Nyeri dada
Gejala yang sering jumpai:

47

1. Dahak bercampur darah


2. Batuk darah
3. Sesak nafas dan rasa nyeri dada
4. Badan lemah, nafsu makan menurun
5. Berat badan turun rasa kurang enak badan (malaise) berkeringat malam
walaupun tanpa kegiatan deman meriang lebih dari sebulan.

D. Perjalanan Penyakit (Patogenesis)


1. Tuberkulosis Primer
Penularan terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap
dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar UV
ventilasi yang baik dan kelembabab udara. Dalam suasana gelap dan
lembab kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan.
Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel
pada jalan nafas atau paru-paru. Kuman dapat juga masuk melalui luka
pada kulit atau mukosa tapi hal ini jarang terjadi.
Bila kuman menetap di jaringan paru maka akan membentuk sarang
TB pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer. Sarang
primer ini dapat terjadi dibagian mana saja jaringan paru. Dari sarang
primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis local) dan juga diikuti pembesaran getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer + limfangitis local + limfadenitis
regional = kompleks primer.
Komplek primer ini selajutnya dapat menjadi:

48

a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.


b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus atau kompleks (sarang) Ghon.
c. Berkomplikasi dan menyebar secara:
1) Per kontinuitatum, yakni menyebar kesekitarnya.
2) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan
maupun paru disebelahnya. Dapat juga kuman tertelan
bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.
3) Secara limfogen, keorgan tubuh lainnya.
4) Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.
2. Tuberkulosis Post Primer
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa (TB post primer).
TB post primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region
atas paru-paru (bagian apical posterior lobus superior atau inferior).
Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru.
Tergantung dari jumlah kuman, virulensi dan imunitas penderita, sarang
dini ini dapat menjadi:
a. Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa cacat.
b. Sarang yang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dengan
sebukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi
lebih keras, menimbulkan perkapuran dan akan sembuh dalam
bentuk perkapuran.
c. Sarang

dini

menghancurkan

meluas

dimana

jaringan

sekitarnya

49

granuloma
dan

bagian

berkembang
tengahnya

mengalami nekrosis dan menjadi lembek membentuk jaringan


keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadillah kavitas.
Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya
menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar,
sehingga menjadi kavitas sklerotik.

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Reaksi hipersensitivitas : Tes Kulit Tuberkulin
a. Tes tuberkulin intradermal (Mantoux)
b. Tes tuberkulin dengan suntikan jet
c. Tes tuberkulin tusukan majemuk
2. Pemeriksaan radiografik
Gambaran TBC milier berupa bercak-bercak halus tersebar
merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiology lain yang
sering menyertai TBC paru adalah penebalan pleura, efusi pleura
atau empisema, penumothoraks (bayangan hitam radio lusen
dipinggir paru atau pleura).
3. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan ini penting karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis dapat dipastikan. Kriteria sputum BTA
positip adalah sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman
BTA pada satu sediaan.

F. Penatalaksanaan

50

1. Obat anti TB (OAT)


Karena pemakaian obat tunggal banyak terjadi retesistensi karena
sebagian besar kuman TB memang dapat dibinasakan tetapi
sebagian kecil tidak maka terapi TB dilakukan dengan memakai
paduan obat.
Jenis Obat:
a. Obat primer

isoniazid = INH - Streptomisin = SM.

Rifampisin = RMP Etambutol

Pita zinamid

b. Obat sekunder

Etionamid - P.A.S (Para Amine Saliycylic Acid)

Prorionamid Tiasetazon

Sikloseren Viomysin

Kanamisin Kapremisyn

2. Pembedahan pada TB Paru


3. DOTS
4. Pencegahan

Kemaprofilaksis

Vaksinasi BCG

51

Program kontrol.

G. Diagnosis Tuberkulosis pada anak


Diagnasis paling tepat adalah dengan ditemukan kuman TBC dari bahan
yang diambil dari penderita misalnya dahakbilasan lambung biopsi dll.
Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat sehingga sebagian besar
diagnasis TBC anakdidasarkan atas gambar klinis gambar foto rontgen
dada dan uji tuberkulin. Untuk itu penting memikirkan adanya TBcpada
anak kalau terdapat tanda tanda yang mencurigakan atau gejala gejala
seperti dibawah ini :
1. Seorang anak harus dicurugai menderita tuberkulosis kalau:
a. Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TBC
BTA positif
b. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam
37 hari)
c. Terdapat gejala umum TBC
2. Gejala umum TBC pada anak
a. Berat badab turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang
jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipunsudah dengan
penanganan gizi yang baik (failure to thrive).
b. Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat
badan tidak naik (failure to thrive) denganadekuat.
c. Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria
atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertaikeringat malam.
d. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit biasanya
multipel paling sering didaerah leher ketiak danlipatan paha
(inguinal).
e. Gejala gejala dari saluran nafas misalnya batuk lama lebih dari 30
hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk)tanda cairan didada
dan nyeri dada.
f. Gejala-gejala dari saluran cerna misalnya diare berulang yang tidak
sembuh dengan pengobatan diare benjolan (masa) di abdomen dan
tanda-tanda cairan dalam abdomen.
3. Gejala spesifik

52

Gejala-gejala ini biasanya tergantung pada bagian tubuh mana yang


terserang misalnya :
a. TBC Kulit/skrofuloderma
b. TBC tulang dan sendi:
Tulang punggung (spondilitis): gibbus
Tulang panggul (koksitis): pincang pembengkakan dipinggul
Tulang lutut: pincang dan / atau bengkak
Tulang kaki dan tangan
c. TBC Otak dan Saraf:
Meningitis : dengan gejala iritabel kaku kuduk muntah-muntah dan
kesadaran menurun
Gejala mata
Konjungtivitis fliktenularis
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
Lain-lain
4. Uji Tuberkulin (Mantoux)
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (pernyuntikan
intrakutan) dengan semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26.
Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2
TU. Pembacaandilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan.
Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran
dinyatakan dalam milimeter, uji tuberkulin positif bila indurasi>10 mm
(pada gizi baik), atau >5 mm pada gizi buruk.
Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC dan
kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun ujituberkulin dapat
negatif pada anak TBC dengan anergi (malnutrisi, penyakit sangat
berat pemberian imunosupresif, dll).Jika uji tuberkulin meragukan
dilakukan uji ulang.
5. Reaksi Cepat BcG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari)
berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anaktersebut dicurigai
telah terinfeksi Mycobacterium tubercolosis.
6. Foto Rontgen dada
Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto
biasanya sulit, harus hati-hati kemungkinan bisaoverdiagnosis atau

53

underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan


pembesar kelenjar hilu atau kelenjarparatrakeal.
Gejala lain dari foto rontgen yang mencurigai TBC adalah:
- Milier
- Atelektasis /kolaps konsolidasi
- Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
- Konsolidasi (lobus)
- Reaksi pleura dan atau efusi pleura
- Kalsifikasi
- Bronkiektasis
- Kavitas
- Destroyed lung
Bila ada diskongruensi antara gambar klinis dan gambar rontgen
harus dicurigai TBC.
Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA (postero- Anterior) dan
lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja.
7. Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya
dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulitdidapat pada anak.
Pemeriksaan BTA secara biakan (kultur) memerlukan waktu yang lama
cara baru untuk mendeteksikuman TBC dengan cara PCR (Polymery
chain Reaction) atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis
praktis.
Demikian juga pemeriksaan serologis seperti Elisa, Pap, Mycodot
dan lain-lain masih memerlukan penelitian lebih lanjutuntuk
pemakaian dalam klinis praktis.
8. Respons terhadap pengobatan dengan OAT
Kalau dalam 2 bulan menggunakan OAT terdapat perbaikan klinis
akan menunjang atau memperkuat diagnosis TBC, Bila dijumpai 3
atau lebih dari hal-hal yang mencurugakan atau gejala-gejala klinis
umum tersebut diatas, maka anaktersebut harus dianggap TBC dan
diberikan pengobatan dengan OAT sambil di observasi selama 2 bulan.
Bila menunjukanperbaikan, maka diagnosis TBC dapat dipastikan dan
OAT

diteruskan

sampai

penderita

tersebut

sembuh.

Bila

dalamobservasi dengan pemberian OAT selama 2 bulan tersebut diatas,

54

keadaan anak memburuk atau tetap, maka anaktersebut bukan TBC


atau mungkin TBC tapi kekebalan obat ganda aatau Multiple Drug
Resistent (MDR), Anak yangtersangka MDR perlu dirujuk ke rumah
Sakit untuk mendapat penatalaksanaan spesialistik lebih jelas.
Penting diperhatikan bahwa bila pada anak dijumpai gejala-gejala
berupa kejang kesadaran menurun, kaku kuduk, benjolan dipunggung
maka ini merupakan tanda-tanda bahaya, Anak tersebut harus segera
dirujuk

ke

Rumah

Sakit

untuk

penatalaksanaan

selanjutnya.

Penjaringan Tersangka Penderita TBC . Anak bisa berasal dari


keluarga

penderita

BTA positif(Kontak

serumah),

masyarakat

(kunjungan posyandu), atau dari penderita penderita yang berkunjung


ke Puskesmas maupun yang langsung ke Rumah Sakit

ALUR DETEKSI DINI DAN RUJUKAN TBC ANAK

55

H. Diagnosis Tuberkulosis Ekstra Paru


Gejala tuberkulosis Ekstra paru tergantungan organ yang terkena , misalnya
nyeri dada terdapat pada tuberkulosis pleura (Pleuritis) pembesaran kelenjar
limfe superfisialis pada limfadenitis TBC dan pembengkakan tulang
belakang
I. KLASIFIKASI PENYAKIT
Tuberkulosis Paruadalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru tidak
termasuk pleura (Selaput Paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC
Paru dibagi dalam:
1. Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurang 2 dari 3 Spesimen dahak SPS hasilnya BTA Positif.
1 Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada
menujukkan gambar tuberkulosis aktif
2. Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto
rontgen dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif,TBC paru BTA
Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
nya, yaitu bentuk berat dan ringan.Bentuk berat bila gambar foto rontgen
dada memperlihatkan gambar kerusakan paru yang luas (misalnya proses
far advanced atau millier) dan/atau keadaan umum penderita buruk.
a. Tuberkulosis Ekstra Paru
56

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya


pleura selaput otak, selaput jantung (pericardium)kelenjar lymfe, tulang
persendian, kulit ,usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lainlain. TBC ekstra paru dibagiberdasarkan pada tingkat keparahan
penyakit yaitu :
TBC Ekstra Paru Ringan
Misalnya TBc kelenjar Limphe, Pleuritis eksudativa unilateral tulang

(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjaradrenal


TBC Ekstra Paru Berat
Misal: meningtis, millier, perikarditis, peritionitis,

pleuritis

eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC Usus, TBC saluran


kencing dan alat kelamin.
J. JENIS DAN DOSIS OAT
1. Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi
kuman dalam beberapa hari pertamapengobatan. Obat ini sanat efektif
terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang
sedangberkembang, Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kk BB,
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan
dengan dosis 10 mg/kg BB.
2. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi dormant ( persister )
yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10mg/kg BB diberikan
sama untuk mengobatan harian maupun intermiten 3 kal seminggu.
3. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25mg/kg BB,
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan
dengan dosis 35 mg/kg BB.
4. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan
dosis yang sama penderita berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75
gr/hari sedangkan unuk berumur 60 tahunatau lebih diberikan 0,50
gr/hari.

57

5. Etambulol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg
BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan
dosis 30 mg/kg/BB.
K. PENGOBATAN TBC PADA ANAK
Prinsip dasar pengobatan TBC pada anak tidak berbeda dengan pada orang
dewasa tetapi ada beberapa hal yang memerlukan perhatian:
a. Pemberian obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan
diberikan setiap hari
b. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak
Susunan paduan obat TBC anak adalah 2HRZ/4HR:
Tahap intensif terdiri dari isoniasid (H), Rifampisin (R), dan Pirasinamid
(Z), selama 2 bulan diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari
Isoniasid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan setiap hari (4
HR).

1. JENIS DAN DOSIS OBAT TBC ANAK


Catatan

Penderita yang berat badannya kurang dari 5 kg harus dirujuk.


- Pemantauan kemajuan pengobatan pada anak dapat dilihat antara lain
-

dengan terjadinya perbaikan klinis, naiknya berat


badan dan anak menjadi lebih aktif dibanding dengan sebelum
pengobatan.

2. PENGOBATAN PENCEGAHAN UNTUK ANAK


Semua anak yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TBC BTA positif berisiko lebih besar untuk terinfeksiinfeksi
pada anak ini dapat berlanjut menjadi penyakit tuberkulosis sebagian

58

menjadi penyakit yang lebih serius (misalnya meningitis dan milier)


yang dapat menimbulkan kematian.
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau
kontak erat dengan penderita TBC BTA posotif perludilakukan
pemeriksaan:
- Bila anak mempunyai gejala-gejala seperti TBC harus dilakukan
-

pemeriksaan lebih lanjut sesuai dengan alur deteksidini TBC anak.


Bila anak balita tidak mempunyai gejala gejala seperti TBC, harus
diberikan pengobatan pencegahan dengan Isoniasid(INH)dengan
dosis 5 mg per kg berat badan per hari selama 6 bulan Bila anak
tersebut belum pernah mendapatimunisasi BCG perlu diberi BCG
setelah pengobatan pencegahan dengan INH selesai.

2.6 Pneumokokkus (PCV)


Definisi
Infeksi pneumokokus adalah infeksi yang disebabkan olek bakteri Streptococcus
pneumoniae. Streptococcus pneumoniae merupakan flora normal pada saluran
respiratorik atas anak dan ditemukan pada 29-60% balita sehat. Di Indonesia
25,4% balita dengan pneumonia ringan-sedang, 67,8% adalah pneumonia.
Penyebab
Streptococcus

Pneumoniae

(Pneumokokkus).

Streptococcus

pneumoniae

terbanyak ditemukan pada bayi, anak di bawah umur 2 tahun, dan anak yang
tinggal di lingkungan padat. Pneumonia pneumokokkus biasanya terjadi setelah
suatu infeksi virus pada saluran pernfasan (demam, nyeri tenggorokan atau
influenza) menyebabkan kerusakan pada paru-paru sehingga memungkinkan
pneumokokkus menginfeksi daerah ini.
Penyakit ini dapat menyebabkan radang selaput otak, pneumonia (infeksi paruparu), bacterimia (infeksi yang masuk ke dalam darah), dan infeksi telinga tengah.
Penyakit ini sangat berbahaya karena menyebabkan gangguan pendengaran yang
menetap, kerusakan otak, dan kematian.

59

Pneumokokus dapat menyebabkan berbagai penyakit, yang dibedakan non-invasif


seperti sinusitis dan infeksi telinga tengah (otitis media), serta invasive
pneumococcal disease (IPD) misalnya pneumonia, bakteremia, dan meningitis.
Pneumonia merupakan penyakit pneumokok yang tersering.
Faktor resiko
-

Bayi yang tidak mendapatkan ASI

Perokok pasif

Serta anak dengan imunokompromais (HIV positif/AIDS, keganasan dan


sindrom nefrotik).

Gejala
Gejala infeksi yang muncul bergantung pada penyakit yang ditimbulkannya.
-

IPD
Pada IPD umumnya ditemukan adanya demam, batuk produktif, sesak
napas, kejang (pada meningitis), pada bayi kadang disertai nyeri dada yang
tidak khas. Untuk memastikan apakah seseorang terserang IPD, selain
adanya tanda-tanda di atas, juga dibutuhkan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan kuman S. pneumoniae dari sediaan
yang diambil dari darah dan cairan otak. Bila panas tinggi hingga >40 oC
dan gejala klinis yang berat pada anak usia di bawah 3 tahun, ini kian

memperkuat penyebabnya adalah S. pneumoniae.


Meningitis
Meningitis merupakan penyakit pneumokokus invasif yang paling
serius. Penyakit ini dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 24
jam atau dapat terjadi secara bertahap dengan gejala tipikal nyeri
kepala, demam, kuduk kaku, muntah atau terjadinya peningkatan
tekanan intra kranial (tekanan dalam tulang tengkorak). Adanya
peningkatan

tekanan

intra

kranial

dapat

ditandai

dengan

penonjolan pada ubun-ubun besar pada bayi dan adanya kejang.


Diagnosis meningitis pneumokok dipastikan dengan mendapatkan
60

adanya bakteri S. pneumoniae pada kultur darah atau cairan otak

(serebrospinal).
Pengobatan yang paling tepat untuk penyakit pneumokok invasif
adalah dengan memperhatikan hasil kultur dan resistensi. Dengan
demikian ketepatan terapi dapat dilakukan, namun sayangnya
pemeriksaan kultur bakteri membutuhkan waktu yang lama. Tapis
pertama

pengobatan

dapat

dilakukan

dengan

memberikan

amoksisilin atau kombinasi amoksisilin dan asam klavunalat.


Pengobatan meningitis dapat dengan penisilin dosis tinggi namun
bila penyebabnya pneumokok maka sudah banyak yang resisten
terhadap

penisilin.

Penting

diperhatikan

tentang

adanya

kecenderungan peningkatan resystensi terhadap S. pneumoniae,


karenanya perhatikan bila pemberian antibiotik tidak menunjukkan
kemajuan yang berarti.
Cara penularan
1. percikan air liur (saat bersin atau batuk)
2. melalui aliran darah
3. penyebaran ke mukosa yang berdekatan (lapisan lendir)
Pencegahan
-

Pneumokokus invasif adalah penyakit serius, karenanya langkah

pencegahan sangat penting dilakukan, yakni dengan vaksin pneumokokus.


American Academy of Pediatric (AAP) merekomendasikan PCV7 sebagai
vaksin rutin pada anak. Terutama diberikan kepada anak usia 2, 4, 6, dan
12-15 bulan. Untuk anak yang lebih besar (2-5 tahun) yang belum
mendapat PCV7 tetap direkomendasikan apabila mempunyai risiko tinggi

seperti perokok pasif dan tinggal di pemukiman padat.


Mengingat kejadian tertinggi pada balitakhususnya anak di bawah 2
tahun, maka vaksin PCV ditujukan terutama pada anak di bawah 2 tahun
atau mereka yang berisiko tinggi. Jumlah bayi yang menderita penyakit

61

pneumokok invasif menurun sebanyak 78% setelah diberi vaksinasi


pneumokokus pada saat berusia di bawah 2 tahun. Dengan dasar di atas,
vaksin pneumokok merupakan vaksin yang diwajibkan di Amerika
Serikat, Australia dan Eropa serta digunakan lebih dari 100 juta dosis di
seluruh dunia.
Imunisasi PCV
-

Jenis imunisasi ini tergolong baru di Indonesia. PCV atau Pneumococcal


Vaccine alias imunisasi pneumokokus memberikan kekebalan terhadap
serangan penyakit IPD (Invasive Peumococcal Diseases), yakni meningitis
(radang selaput otak), bakteremia (infeksi darah), dan pneumonia (radang
paru). Ketiga penyakit ini disebabkan kuman Streptococcus Pneumoniae
atau Pneumokokus yang penularannya lewat udara. Gejala yang timbul
umumnya demam tinggi, menggigil, tekanan darah rendah, kurang
kesadaran, hingga tak sadarkan diri. Penyakit IPD sangat berbahaya karena
kumannya bisa menyebar lewat darah (invasif) sehingga dapat
memperluas organ yang terinfeksi. Diperlukan imunisasi Pneumokukus
untuk mencekal penyakit ini.

Usia & JumlahPemberian


Dapat diberikan sejak usia 2 bulan, kemudian berikutnya di usia 4 dan 6
bulan. Sedangkan pemberian ke-4 bisa dilakukan saat anak usia 12-15
bulan atau ketika sudah 2 tahun. Bila hingga 6 bulan belum divaksin, bisa
diberikan di usia 7-11 bulan sebanyak dua dosis dengan interval pemberian
sedikitnya 1 bulan. Dosis ke-3 dapat diberikan pada usia 2 tahun. Atau
hingga 12 bulan belum diberikan, vaksin bisa di berikan di usia 12-23
bulan sebanyak dua dosis dengan interval sedikitnya 2 bulan.

2.7 Typus
A. Definisi
Demam tifoid (Typhus abdominalis, Typhoid fever, enteric fever)
merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan dengan gejala demam selama satu minggu atau lebih dengan

62

disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran (Ngastiyah, 2005).
B. Etiologi
Penyakit tifus disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhosa, basil
gram negatif, berflagel (bergerak dengan bulu getar), anaerob, dan tidak
menghasilkan spora. Bakteri tersebut memasuki tubuh manusia melalui
saluran pencernaan dan manusia merupakan sumber utama infeksi yang
mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit saat sedang sakit atau
dalam pemulihan. Kuman ini dapat hidup dengan baik sekali pada tubuh
manusia maupun pada suhu yang lebih rendah sedikit, namun mati pada suhu
70C maupun oleh antiseptik. Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B atau C
(Soedarto, 1996).
Salmonella Typhosa memiliki tiga macam antigen, yaitu:
a. Antigen O (Ohne Hauch) : merupakan polisakarida yang sifatnya spesifik
untuk grup Salmonella dan berada pada permukaan organisme dan juga
merupakan somatik antigen yang tidak menyebar.
b. Antigen H : terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.
c. Antigen Vi : merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi antigen O terhadap fagositosis.
C. Patofisiologi

63

Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman. Setelah berada


dalam usus halus kemudian mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus
(teutama Plak Peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan
peradangan dan nekrose setempat, kuman lewat pembuluh limfe masuk ke
aliran darah (terjadi bakteremi primer) menuju ke organ-organ terutama hati

64

dan limfa. Kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak dalam hati dan
limfa sehingga organ tersebut membesar disertai nyeri pada perabaan.
Pada akhir masa inkubasi (5-9 hari) kuman kembali masuk dalam darah
(bakteremi sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam
kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak berbentuk lonjong di atas
Plak Peyer. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi
usus. Pada masa bakteremi ini, kuman mengeluarkan endotoksin yang
mempunyai peran membantu proses peradangan lokal dimana kuman ini
berkembang.
Demam tifoid disebabkan karena Salmonella Typhosa dan endotoksinnya
merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang
meradang. Zat pirogen ini akan beredar dalam darah dan mempengaruhi pusat
termoregulator di hipotalamus yang menimbulkan gejala demam.
D. Manifestasi klinis
Masa inkubasi rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi
terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi
melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala
prodroma, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan
tidak bersemangat.
Kemudian gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu:
a. Demam lebih dari 7 hari
Pada kasus tertentu, demam berlangsung selama 3 minggu,
bersifat febris remiten dan suhu tidak seberapa tinggi. Selama minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Dalam minggu ketiga, suhu badan berangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Gangguan saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan
pecah-pecah (ragaden), lidah ditutupi selaput putih kotor (coated
tongue, lidah tifoid), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai
tremor. Pada abdomen terjadi splenomegali dan hepatomegali dengan

65

disertai nyeri tekan. Biasanya didapatkan kondisi konstipasi, kadang


diare, mual, muntah, tapi kembung jarang.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak seberapa
dalam, yaitu apatis sampai somnolen.Jarang terjadi sopor, koma atau
gelisah.
d. Pada punggung terdapat roseola (bintik kemerahan karena emboli basil
dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama
demam).
e. Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis,
akan tetapi berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu
kedua setelah suhu badan normal kembali, terjadinya sukar
diterangkan. Menurut teori relaps terjadi karena terdapatnya basil
dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat zat
anti. Mungkin terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi
basil bersamaan dengan pembentukan jaringan fibrosis.
f. Epitaksis
g. Bradikardi
E. Prognosis
Prognosis Tifus abdominalis pada anak umumnya baik, asal pasien cepat
berobat. Menurut Ngastiyah (2005) mortalitas pada pasien yang dirawat ialah
6%. Prognosis menjadi tidak baik bila terdapat gambaran klinis yang berat
seperti :
1. Demam tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinua.
2. Kesadaran sangat menurun (sopor, koma, atau delirium).
3. Terdapat komplikasi yang berat, misalnya dehidrasi dan asidosis,
perforasi
F. Komplikasi
Dapat terjadi pada :
a. Di usus halus
Umumnya jarang terjadi, namun sering fatal, yaitu :
1. Perdarahan usus
Diagnosis dapat ditegakkan dengan:
penurunan TD dan suhu tubuh
denyut nadi bertambah cepat dan kecil
kulit pucat
penderita mengeluh nyeri perut dan sangat iritabel

66

2. Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi
pada bagian distal ileum.
3. Peritonitis
Pada umumnya tanda gejala yang sering didapatkan:
nyeri perut hebat
kembung
dinding abdomen tegang (defense muskulair)
nyeri tekan
TD menurun
Suara bising usus melemah dan pekak hati berkurang.
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan lekosit
dalam waktu singkat.
b. Diluar usus halus
Bronkitis, terjadi pada akhir minggu pertama.
Bronkopneumonia, kasus yang berat bilamana disertai infeksi

sekunder.
Kolesistitis
Tifoid ensefalopati, gejala : kesadaran menurun, kejang-kejang,

muntah, demam tinggi.


Meningitis, gejala : bayi tidak mau menetek, kejang, letargi,

sianosis, panas, diare, kelainan neurologis.


Miokarditis
Karier kronik
G. Diagnosa Medis
Selain melihat gejala klinis yang ada, diagnosa juga ditegakkan melalui
pemeriksaan laboratorium, yaitu :
1. Pemeriksaan yang berguna untuk menyokong diagnosis
a. Darah tepi : terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif,
aneosinifilia, anemia, dan trombositopenia ringan.
b. Sumsum tulang : terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif
RES dengan adanya sel makrofage, sedangkan sistem eritopoesis,
granulopoesis, dan trombopoesis berkurang.
2. Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis
a. Kultur empedu (+) dalam darah pada minggu I, dalam tinja pada
minggu ke II dan urin pada minggu ke III.
b. Reaksi widal (+), Titer zat anti terhadap antigen O >1/160 atau 1/200
H. Diagnosa Banding

67

Sesuai perjalanan penyakit harus dibedakan antara lain :


Bronchitis
Influenza
Bronkopneumonia
Pada stadium lanjut :

demam paratifoid
malaria
TBC milier
Meningitis
Riketsia
Bakterial endokarditis

Pada stadium toksik harus dibedakan dengan : leukemia, limfoma, penyakit


Hodgkin.
I. Penatalaksanaan
a. Perawatan

Penderita perlu dirawat di RS untuk diisolasi, observasi, dan

pengobatan
Harus istirahat 5-7 hari bebas panas
Mobilisasi sewajarnya, sesuai kondisi
Bila kesadran menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi dan
komplikasi yang lain

b. Diet

Makanan mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein (TKTP)


Bahan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang, dan

menimbulkan gas
Susu 2 kali sehari perlu diberikan
Bila anak sadar dan nafsu makan baik, dapat diberikan makanan lunak

J. Pencegahan
a.
penyediaan air minum yang memenuhi syarat
b.
perbaikan sanitasi
c.
imunisasi
d.
mengobati karier
e.
pendidikan kesehatan masyarakat
K. Discharge Planning

68

1. Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan


tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak.
2. Jelaskan terapi yang diberikan : dosis, efek samping.
3. Menjelaskan gejala gejela kekambuhan penyakit dan hal yang harus
dilakukan untuk mengatasi hal tersebut.
4. Tekankan untukmelakukan kontrol sesuai waktu yang ditentuka

69

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

Kasus

70

Seorang wanita berusia 25 tahun datang ke BPM Bunda Dewi pukul 08.00
WIB untuk memeriksakan bayinya, Ardian yang berusia 3 bulan Ibu mengatakan
takut dan cemas dengan keadaan bayinya karena sejak 2 hari lalu bayinya demam
dan sejak dini hari tadi kadang-kadang disertai kejang, mulutnya mencucu seperti
mulut ikan, terkadang sesak nafas, kulitnya membiru, bayinya juga susah
menyusu dan rewel.

DOKUMENTASI KEBIDANAN PADA BAYI DENGAN TETANUS


Tempat: BPM Bunda Dewi
Alamat

: Jalan Raya Diponegoro No. 1 Pringu, BUlulawang, Malang

Tanggal

: 5 Maret 2013

Waktu

: 08. 00 WIB

BIODATA
Nama bayi

: Ardian Mulyawarman

Tanggal lahir : 23 November 2012

jam 21.45 WIB

Jenis kelamin : Laki laki


Anak ke

:1

Nama ibu

: Dwi Handayani

Umur

: 25 tahun

27 tahun

Agama

: Islam

Islam

Ayah: Galuh Prasetya

Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia

Jawa/ Indonesia

Pendidikan

: D3 Akuntansi

S1 Teknik

Pekerjaan

: Wiraswasta

Kayawan swasta

Alamat

: Jln. Sri Rejeki no. 11 Pringu, Bululawang, Malang

No Telp/HP

: 085785178600

085755998535

DATA SUBJEKTIF

71

Ibu mengatakan bahwa anaknya demam sejak 2 hari yang lalu , dini hari
tadin anaknya kejang dan mulutnya mencucu dan bila terkena rangsangan

seperti disentuh anak menjadi kejang.


Ibu merasa khawatir dengan keadaan anaknya saat ini, karena anaknya

menjadi rewel dan susah menyusu.


Ibu mengatakan bahawa anaknya pernah demam tapi tidak swampai

kejang dan mencucu seperti ini


Ibu mengatakan bahwa bayi mendapat ASI Eksklusif sampai saat ini dan

tidak diberikan PASI


Ibu mengatakan bahwa anaknya telah mendapatkan imunisasi dasar BCG,
Hepatitis B 0,1 2, Anti Polio 1, 2, 3, DPT 1, 2.

DATA OBJEKTIF

Keadaan umum: Lemas


Kesadaran
: Composmentis
Tanda vital
Tekanan darah: 98/65 mmHg
Suhu
: 380C
Nadi
: 120 x / menit
Pernafasan
: 55x/menit
Status gizi
: TB 54 cm, BB 4,5 kg, LK 38 cm, LLA 12 cm
Mulut tampak mmencucu seperti ikan, bila disentuh bayi kejang dan kaku.

ASSESMENT

Diagnosis
Masalah

Kebutuhan

cahaya matahari
Perbaiki keadaan umum bayi
Konseling cara pemberian ASI menggunakan sendok/pipet
Konseling kepada ibu mengenai keadaan bayi
Diagnosa masalah potensial: Sepsis
Masalah potensial: Kejang ulang
Kebutuhan tindakan segera berdasarkan kondisi klien: Rencana rujukan

: Bayi laki laki usia 3 bulan dengan tetanus


: Kebutuhan nutrisi bayi tidak terpenuhi
Kekhawatiran ibu terhadap keadaan bayinya
: Isolasi bayi ditempat tertutup dan tenang terhindar dari

segera
PLANNING

72

Menjelaskan pada keluarga keadaan bayi saat ini, bahwa bayi mengalami
tetanus yang disebabkan oleh Clostridium tetani yang menyebabkan bayi

kejang dan mencucu seperti ikan.


Menjelaskan pada keluarga pentingnya untuk merujuk bayi ke rumah sakit

agar mendapat pengobatan yang tepat.


Melakukan perbaikan kondisi umum bayi dan mencegah terjadinya kejang
dengan cara mengisolasi bayi dari tempat yang terang, gaduh, dan

mengurangi kontak sentuhan dengan bayi agar bayi tidak kejang.


Menganjurkan ibu untuk tetap memberikan ASI dengan pipet atau sendok.
Menyiapkan surat rujukan
Meminta keluarga untuk mempersiapkan biaya
Menyiapkan kendaraan untuk merujuk bayi bila bayi sudah tidak kejang
Menyiapkan alat dan obat-obatandarurat yang digunakan selama
perjalanan
Menemani keluarga sampai bayi mendapat perawatan
Melakukan rujukan

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization, Pneumococcal conjugate vaccine for
childhood immunization, March 2008-WHO position paper. Wkly
Epidemiol Record 2008;12:93-104.
2. Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulhoholland K, Campbell H.
Epidemiology and etiology of childhood pneumonia. Bull World Health
Organ 2008;86:408-16.

73

3. Buku rujukan, 2002, Eradikasi polio diIndonesia , Dep. Kesehatan RI dan


WHO

DKK

Giatkan

http://.suara.merdeka.com

Kampanye

Imunisasi

Imunisasi

Satu-Satunya

Cara

Polio,
Mencegah

Penulran Virus Polio,http://www.rsud.kebumen.go.id


4. Hull,David dan Derek I. Johnston.2008. Dasar Dasar Pediatri. Cetakan
II. Jakarta: EGC
5. Behrman, Kliegman, Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Cetakan
1. Jakarta: EGC
6. Buku Rujukan, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Cetakan ke 8. Dep. Kesehatan RI : Jakarta
7. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Buku Pedoman Imunisasi Di
Indonesia)
8. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. 2000. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI
9. Muslihatun, Wafi Nur. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. 2010.
Yogyakarta: Fitramaya
10. RSUP Dr. Suradji

Tirtonegoro.

2009.

Typoid.

http://ppni-

klaten.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=77:thypoid&catid=38:ppni-akcategory&Itemid=66. Diakses pada tanggal 5 Maret 2013 jam 13.40
WIB.
11. Hepatitis A. http://www.scribd.com/doc/44035470/Hepatitis-A. Diakses
pada tanggal 4 Maret 2013 jam 19.35 WIB

74

Anda mungkin juga menyukai